Anda di halaman 1dari 305

KOTA BANDA ACEH

HAMPIR 1000 TAHUN

Diterbitkan oleh :
PEMERINTAH KOTAMADYA DAERAH
TINGKAT II BANDA ACEH
198 8
02^ 5 ? > M 0 0 ^
BIBLIOTHEEK KITLV

0078 3637
c- -J
KOTA BANDA ACEH
HAMPIR 1000 TAHUN

Diterbitkan o
PEMERINTAH KOTAMADYA DAERAH
TINGKAT II BANDA ACEH

19 8 8
Ill

^ M i ^ - n
v Pencetak
Prakarsa Abadi Press
Medan

IV
IBRAHIM HASAN
GUBERNUR KEPALA DAERAH ISTIMEWA ACEH
VI
DRS. BAHARUDDIN YAHYA
WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH TINGKAT II
BANDA ACEH

VII
VIII
HAJI. SAYED ZAKARIA
KETUA DPRD KOTAMADYA DAERAH TK.II
BANDA ACEH

IX
Prof. ALI HASJMY.
KETUA MAJELIS ULAMA INDONESIA
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH.

XI
XII

1
KATA PENGANTAR
Buku Banda Aceh hampir 1000 tahun
merupakan kumpulan makalah yang disampaikan
oleh para Sejarahwan dalam Seminar Hari Jadi Kota
Banda Aceh yang diselenggarakan tanggal 26 - 28
Maret 1988 di Banda Aceh. Bersamaan dengan
Seminar Har. Jadi Kota Banda Aceh tanggal 26 Maret
1988, juga dimaksudkan dalam rangka memperingati
115 tahun Perang Aceh.
Dorongan untuk menerbitkan buku ini, kami
peroleh dan Bapak Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Aceh pada kesempatan memberikan sambutan dalam
acara penutupan seminar. Usaha menerbitkan buku
mi juga tidak terlepas dari kerja keras Prof.Ali Has-
jmy selaku ketua team beserta anggota team
penyusunan buku hasil seminar ini, dan kepada semua
pihak yang telah ikut menyumbangkan buah pikiran
sehingga seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh telah'
? w K, ü g a n b a i k ' m e n « a p k a n tanggal 22 April
1205 M. sebagai hari lahir KOTA BANDA ACEH
Kepada Prof.DR. T. Iskandar; Prof.DR.'
Ï i / S T u , a n ; u P r o f D R - Hasan M. Ambary;
M H D R - H I , s m u h a ' S H ; Prof.DR. Syamsuddin
Mahmud, dan kepada tokoh-tokoh sejarahwan lain-
nya yang cukup panjang untuk disebutkan satu per
satu dimana kami memperoleh sumbangan pemikiran
sewaktu seminar berlangsung, kami sangat berterima
kasih.
Tiada lain harapan kami, semoga buku ini akan
dapat merupakan salah satu sumber sejarah dan Per-
juangan Bangsa Indonesia ini dimasa lampau.

Banda Aceh, 1 Juni 1988


WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH
TINGKAT II BANDA ACEH

= DRS. BAHARUDDIN YAHYA

XIII
XIV
DAFTAR ISI:
Halaman
1. Kata Pengantar Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II Banda Aceh 5
2. Daftar Isi 7
. Sambutan Walikotamadya KDH Tk. II Ban-
da Aceh pada Pembukaan Seminar Hari Jadi
Kota Banda Aceh 9
4. Sambutan Gubernur KDH Istimewa Aceh
pada Pembukaan Seminar Hari Jadi Kota
Banda Aceh I4
5. Kesimpulan Seminar Hari Jadi Kota Banda
Aceh jg
6. Banda Aceh sebagai pusat awal perang di
jalan Allah 2«
7. Kota Banda Aceh, Hari Jadi dan perkem-
bangannya dari masa ke masa 3g
8. Sulthan Alaidin Johan Syah pendiri Banda
Aceh Darussalam 49
9. Hari Jadi Kota Banda Aceh ..". 57
10. Hari Jadi Kota Banda Aceh 75
11. Banda Aceh sebagai Pusat Kebudayaan dan
Tamaddun «,
12. Banda Aceh sebagai Pusat Kebudayaan dan
Tamaddun ," QQ
13. Tanggapan terhadap makalah Banda Aceh
sebagai Pusat Kebudayaan dan Tamaddun 110
14. Banda Aceh dalam siklus perdagangan inter-
nasional suatu tinjauan historis .,6
15. Tanggapan terhadap makalah Banda Aceh
dalam siklus perdagangan internasional suatu
tinjauan historis j3j
16. Peran Banda Aceh sebagai pusat perlawanan
terhadap kolonialisme dan imperialisme di
kawasan Selat Malaka 136
17. Bandingan atas makalah peran Banda Aceh ~'
sebagai pusat perlawanan terhadap
kolonialisme dan imperialisme di kawasan
Selat Malaka j 4 8
18. Banda Aceh sebagai pusat dakwah Islamiyah . 158
19. Bandingan terhadap makalah Banda Aceh
sebagai pusat dakwah Islamiyah 174
20. Banda Aceh pada masa kemerdekaan isi
21. Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan'
Kesultanan Aceh t 203
XV
Halaman
22. Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan
Kesultanan Aceh -..
23. Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan
Kesultanan Aceh 230
24. Sambutan Walikotamadya KDH Tk" H Ban-
da Aceh pada acara Penutupan Seminar Hari
Jadi Kota Banda Aceh 238
25. Sambutan Gubernur KDH Istimewa Aceh
pada Penutupan Seminar Hari Jadi Kota Ban-
da Aceh 241
26. Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Banda Aceh No. 05.3.06/09/SK/
1988 tanggal 15 Januari 1988 tentang Pem-
bentukan Panitia Pelaksana Seminar Hari
Jadi Kota Banda Aceh 244
27. Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Banda Aceh No. 481.3/70/SK/
1988 tanggal 22 April 1988 tentang Pem-
bentukan Team Pengedit buku Seminar Hari
Jadi Kota Banda Aceh 248
28. Jadwal kegiatan Seminar hari Jadi Kota Ban-
da Aceh dari tanggal 26 s/d 29 Maret 1988 250
29. Daftar nama-nama peserta Seminar Hari Jadi
Kota Banda Aceh 254
30. Lampiran gambar-gambar

XVI
Pidato - Sambutan Walikotamadya
Kepala Daerah Tingkat II Banda Aceh
Pada Acara Pembukaan Seminar
Hari Jadi Kota Banda Aceh
Tanggal 26 Maret 1988

Assalamualaikum, W.W.
Syukur Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat ALLAH
SWT yang atas limpahan Rahmat dan KaruniaNya kita telah
dapat berhadir dalam ruangan ini dalam rangka mengikuti
Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh. Salawat dan salam kita
persembahkan keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW sebagai
Rasul Pemimpin Ummat dengan kepemimpinannyalah kita semua
telah dapat mengambil hikmah dan suri tauladan dalam
kehidupan kita di dunia ini.

Yang kami hormati Bapak Gubernur dan Ibu.


Bapak-bapak unsur Muspida Tingkat I dan Ibu.
Bapak-bapak Rektor, Pimpinan dan para Anggota DPRD.
Saudara-saudara unsur Muspida Tingkat II Banda Aceh dan Ibu.
Bapak-bapak Anggota Sterring Committee Pelaksana Seminar.
Bapak-bapak Penyaji Makalah, penanggap dan Saudara-saudara
peserta Seminar sekalian yang kami muliakan.
Hadirin yang berbahagia.

Pertama-tama yang perlu saya jelaskan bahwa Seminar Hari


Jadi Kota Banda Aceh yang insya Allah akan dibuka sebentar
lagi oleh Bapak Gubernur bukanlah suatu kegiatan yang muncul
secara mendadak, tapi merupakan wujud dari suatu keinginan
yang sudah lama sekali dipikirkan dan diharapkan. Keinginan un-
tuk dapat menetapkan Hari Jadi Kota Banda Aceh ini saya kira
bukanlah suatu ide yang hanya menjadi pikiran saya sejak saya
memulai memangku jabatan sebagai Walikotamadya Banda
Aceh, akan tetapi sebenarnya ide itu sudah ada jauh sebelum itu.
Syukurlah bahwa ide itu pada akhirnya pada saat ini telah pun
menjadi kenyataan.
Pada hari ini tanggal 26 Maret akan kita saksikan suatu
peristiwa yang penting di dalam perjalanan sejarah dari kota kita
yang tercinta Banda Aceh. Pemilihan tanggal 26 Maret mem-
punyai arti penting di dalam perjalanan sejarah di daerah Aceh,
karena pada tanggal tersebut 115 tahun lalu, Pemerintah Kera-
jaan Belanda melalui Gubernur Jenderal Hindia Belanda James
9
Laudon memproklamirkan pernyataan perang terhadap Kerajaan
Aceh. Oleh karena itu pada hari ini sekaligus kita peringati 115
tahun perang Aceh melawan Belanda. Untuk itu, selesai upacara
pembukaan Seminar kita bersama-sama akan mendengarkan
Pidato Ilmiah yang akan disampaikan oleh Bapak Prof DR T
Ibrahim Alfian, MA. Guru Besar sejarah di Universitas Gajah
Mada yang berkaitan dengan itu judul Banda Aceh sebagai pusat
awal perang di jalan Allah.
Bapak-bapak, Ibu-ibu dan Saudara-saudara yang terhormat
Berbicara tentang Hari Jadi sesuatu kota, dan khususnya ten-
tang Hari Jadi Kota Banda Aceh ini, sebenarnya dilatarbelakangi
oleh beberapa pertimbangan. Pertama-tama memang harus diakui
secara jujur bahwa cukup banyak kota-kota di Indonesia baik
ibukota Negara, Propinsi Kabupaten maupun Kotamadya yang
telah berhasil menetapkan Hari Jadi Kota-kota tersebut. Hal ini
terlihat atau dapat kita baca di berbagai mass media yang
memberitakan tentang berbagai upacara peringatan ulang tahun
kota-kota tersebut, sementara kota Banda Aceh yang merupakan
salah satu kota tertua dalam jajaran kota-kota tradisional di
kawasan Asia, yang telah berdiri sejak pertumbuhan dan perkem-
bangan ekonomi, politik dan kebudayaan jauh sebelum
kedatangan pengaruh Barat, sampai hari ini belum dapat
ditetapkan hari lahirnya.
Faktor kedua, dan faktor ini merupakan faktor yang terpen-
ting mengapa Seminar Hari Jadi ini dilangsungkan, tidak lain
dimaksudkan dalam rangka usaha pengenalan identitas pribadi
kita semua sebagai warga masyarakat kota Banda Aceh. Adalah
suatu hal yang rasanya sulit untuk dibantah bahwa sesungguhnya
kelompok masyarakat yang hidup pada masa kini tidak dapat
melepaskan dirinya dari dua dimensi lain, yaitu masa lampaunya
yang telah berlalu dan masa depan yang akan dituju. Masa kini
di mana manusia itu hidup sekarang tidak lain adalah ujung akhir
dan masa lalunya dan masa sekarang ini sekaligus juga
merupakan titik awal dari masa yang akan datang. Setiap generasi
ummat manusia memang selalu berharap, sekurang-kurangnya
ada dalam pikirannya, dan bahkan selalu diusahakan dengan
segenap usaha dan tenaga untuk menyongsong masa depan yang
jauh lebih baik dari masa kini atau masa yang telah lalu.

Hadirin yang kami muliakan.

Banda Aceh sebagai Ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh


dapat dipastikan telah lahir dan berkembang beriringan dengan
muncul dan berkembangnya masyarakat Aceh di dalam berbagai
aspek kehidupan. Namun demikian, sampai hari ini Pemerintah
Kotamadya Banda Aceh belum memperoleh tanggal yang pasti
sebagai Hari Jadi Kota ini. Oleh sebab itu Pemerintah Daerah
10
Kotamadya Banda Aceh mengambil suatu kebijaksanaan untuk
menyelenggarakan suatu Seminar tentang Hari Jadi Banda Aceh
yang bertemakan: "PENETAPAN HARI JADI KOTA BANDA
ACEH DAN PERKEMBANGANNYA DARI MASA KE MASA
u ? A B ^ M S U M B E R MUNCULNYA KESADARAN SEBAGAI
WARGA KOTA DAN WARGA NEGARA YANG BAIK."
Seminar ini mempunyai tujuan:
1. Mendapatkan kesimpulan para ahli sejarah sekitar pertanggal-
an Hari Jadi Kota Banda Aceh yang dapat dijadikan pegangan
untuk menetapkan Hari Jadi di Kota Banda Aceh
2. Mengumpulkan uraian sejarah kehidupan kota Banda Aceh
yang akan dijadikan bahan penyusunan sejarah kota Banda
Aceh yang lebih lengkap, sistematis dan ilmiah pada masa vang6
akan datang.
Bertitik tolak pada tema dan tujuan tersebut, maka di dalam
torum Seminar ini, akan diketengahkan sejumlah kertas kerja
yang akan disajikan oleh para ahli yang mempunyai pengetahuan
yang luas tentang daerah ini. Topik-topik yang menjadi bahan
pembahasan ialah: Hari Jadi Kota Banda Aceh, Banda Aceh
sebagai pusat kebudayaan dan tamaddun, Banda Aceh sebagai
pusat pemerintahan Kesultanan Aceh, Banda Aceh sebagai pusat
perdagangan internasional, Banda Aceh sebagai pusat dakwah
Islamiyah, Banda Aceh sebagai pusat perlawanan terhadap im-
perialisme dan Banda Aceh pada masa kemerdekaan.

Bapak-bapak, Ibu-ibu dan Hadirin yang terhormat.

Di dalam upaya memperoleh hasil yang maksimal dari


îsemmar mi telah diundang para ahli baik yang berada di Aceh
maupun yang berasal dari luar daerah, yang menurut hemat kami
mereka mempunyai pengetahuan yang luas tentang daerah kita
seperti yang telah kami uraikan tadi. Usaha untuk menyongsong
masa yang akan datang yang lebih cerah membutuhkan berbagai
tindakan nyata, sebagai suatu aktifitas sosial, dalam arti kata
suatu aktifitas secara bersama dari kelompok-kelompok
masyarakat. "Aktifitas sosial" ini, baik yang sedang kita lakukan
sekarang ini maupun yang ingin dan akan kita kerjakan di masa
yang akan datang, sangat tergantung kepada pengalaman sosial
kita sebagai suatu masyarakat. Rasanya tidaklah ada suatu cara
yang paling aman untuk dapat mengetahui dan mempedomani
pengalaman sosial dari masa lalu kecuali dengan jalan mengenal
kembali identitas kita di masa kini dan masa lalu.
Salah satu titik penting dalam pengenalan diri itu ialah
dengan cara mulai mempertanyakan kapan kita sebagai suatu
kelompok masyarakat mulai lahir dan bagaimana proses perkem-
bangan itu berlangsung hingga sampai kepada titik di mana kita

11
sekarang berada. Banyak pengalaman yang berharga dari masa
lalu kecuali dengan jalan mengenal kembali identitas kita di mana
kini dengan cara mulai mempertanyakan kapan kita sebagai suatu
kelompok masyarakat mulai lahir dan bagaimana proses perkem-
bangan itu berlangsung hingga sampai kepada titik di masa kita
sekarang berada.
Banyak pengalaman yang berharga dari masa lalu yang dapat
kita pergunakan sebagai dasar menentukan arah bagi perkem-
bangan yang sedang kita tuju ke masa yang akan datang. Oleh
karena itu pulalah izinkan saya pada kesempatan ini mengutip
pernyataan seorang ahli sejarah terkemukan berkebangsaan Ing-
gris: Sir John Seeley, beliau menyatakan bahwa tiada lain maksud
dari mempelajari sejarah adalah agar orang (masyarakat) dapat
menjadi lebih bijaksana sebelum segala sesuatu terjadi.
Demikian pulalah tujuan yang dikandung dari Seminar Hari
Jadi Kota Banda Aceh ini, tujuannya jangan hanya dilihat dalam
arti yang sempit hanya yang bersifat seremonial belaka, akan
tetapi tujuan dari usaha ini kita perlu melihat dalam arti yang
lebih luas. Dengan penetapan Hari Jadi kota ini hendaknya ia
merupakan titik awal dari usaha pengenalan diri kita ini sebagai
suatu masyarakat. Dengan berusaha untuk lebih mengenal diri
kita ini, kita menjadi arif tentang berbagai kelemahan dan juga
potensi yang ada pada kita, dengan demikian ini semua akan
dapat kita jadikan sebagai modal besar guna menggerakkan pem-
bangunan yang terasa amat kita butuhkan guna menyongsong
masa depan yang lebih baik dan cemerlang yang diridhai Allah
SWT.
Pada kesempatan ini saya kira sudah sepantasnyalah saya
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada Steering Committee dan Panitia Pelaksana
Seminar ini yang telah bekerja keras dalam mempersiapkan
berlangsungnya acara ini. Kepada para ahli baik yang berasal dari
luar negeri, dalam negeri dan dari Daerah Aceh sendiri yang telah
bersusah payah mengadakan penelitian, menyajikan hasil peneli-
tian itu dalam bentuk makalah yang disampaikan pada seminar
ini, atau makalah bandingan dan juga berbagai bahan pemikiran
yang akan dituangkan dalam seminar yang akan berlangsung ini,
sudah seyogianya saya mengucapkan terima kasih yang tiada
terhingga dan semoga karya-karya tersebut dapat menjadi amal
baik Bapak-bapak dan Saudara-saudara sekalian. Di samping itu
juga kepada berbagai pihak Instansi Pemerintah dan Swasta,
Kepala-kepala Dinas dan Jawatan dalam lingkungan Pemerintah
Kotamadya Banda Aceh yang terlibat atau telah membantu kelan-
caran acara ini saya ucapkan terima kasih
Saya juga ingin menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-
baiknya untuk menyampaikan pernyataan maaf yang sebesar-
besarnya kepada para hadirin yang mulia, khususnya kepada para

12
peserta Seminar, sekiranya dijumpai pelbagai kekurangan dalam
penyelenggaraan seminar ini. Kadang-kadang kekurangan itu
tetap hadir kendatipun kami tidak pernah mengundangnya.
Akhirnya pada kesempatan ini pula dengan segala keren-
dahan hati saya memohon kesediaan dan perkenan dari Bapak
Gubernur untuk memberikan pengarahan dan bimbingan, serta
sekaligus menyatakan dimulainya Seminar Hari Jadi Kota Ban-
da Aceh.
Semoga Allah SWT «memberkati kita sekalian, Wabillahi
taufiq Walhidayah.
Assalamualaikum W.W.

Banda Aceh, 26 Maret 1988.


WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH
TINGKAT II BANDA ACEH

= DRS. BAHARUDDIN YAHYA =

13
Sambutan
Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh
Pada
Pembukaan Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh
Tanggal 26 Maret 1988
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Saudara Wakil Gubernur, Muspida, DPRD, MUI, Rektor Un-
syiah, Rektor IAIN Bapak A. Muzakkir Walad, Pakar-pakar Se-
jarahwan, Prof. Ali Hasyimi, Prof. Dr. Ibrahim Alfian, Dr T
Iskandar, Prof. Dr. M. Hasan Ambari, Tgk. Lukman Sinar, Ibu
Ani Idrus, hadirin dan hadirat peminat Sejarah Aceh.
1. Marilah kita menyampaikan puji syukur yang tulus ke hadirat
Allah Subhanahu Wata'ala, karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, kita masih sempat hadir di tempat yang ber-
bahagia ini, dalam rangka melaksanakan Seminar Hari Jadi
Kotamadya Banda Aceh.
Dalam kesempatan yang berbahagia ini, adalah pada tem-
patnya saya mengucapkan terima kasih dan selamat datang
kepada para peserta seminar, yang telah berusaha datang dari
jauh memenuhi Undangan Panitia Penyelenggara untuk
membawa Makalah dan mengikuti Seminar ini. Seminar ini
bertepatan dengan 115 tahun Perang Aceh di jalan Allah
melawan Belanda.Saya harapkan selama Anda berada di
bekas bumi Bandar Aceh Darussalam yang tempo doeloe,
bergelar Kota Metropolitan, Kota Dagang, Spiritual, budaya!
Kota Tamaddun mendapat perlindungan dari Allah
Subhanahu Wata'ala, dan memperoleh berbagai kesan yang
bermanfaat untuk menambah berbagai pengalaman hidup.
Saya menilai bahwa prakarsa Panitia Penyelenggara,
mengadakan Seminar ini mengandung makna yang penting,
bagi sejarah perkembangan kota Banda Aceh pada masa yang
akan datang.
Walau bagaimana pun, hari jadi sebuah kota harus/perlu
ditelusuri, baik dalam rangka pengembangan kota itu sen-
diri maupun bagi para ilmuan sejarah, dan bagi kelangsungan
kembali identitas, harga diri, dan martabatnya di masa lalu.
Oleh sebab itu, prakarsa Panitia melaksanakan Seminar ini
pantas disambut gembira, karena lewat seminar ini, hari jadi
Kota Banda Aceh yang sampai sekarang masih diperdebatkan
mungkin akan disepakati, dipastikan, dikonkritkan dan
disatubahasakan. Mudah-mudahan.
14
Saudara-saudara sekalian.

2. Dipandang dafi sudut ini, sesungguhnya kita relatif keting-


galan dan seyogianya cepat mengejar ketinggalan tersebut,
karena kota-kota lain di Indonesia telah banyak diseminarkan
dan telah berhasil ditetapkan hari jadinya secara pasti,
sehingga secara reguler setiap tahun telah dapat diperingati
oleh warga kota yang bersangkutan.
Memperingati hari jadi itu sungguh penting, karena lewat per-
ingatan hari jadi tersebut akan dapat melakukan berbagai in-
trospeksi, sejauh mana kçmajuan maupun upaya kita dalam
menata kota yang bersangkutan, sebagai proses kesinam-
bungan dengan masa lalu dapat ditelusuri.
Dalam menata suatu kota, tidak bisa dilepaskan dengan se-
jarah masa lalunya, karena kejadian masa lalu itu berkaitan
erat dengan masa sekarang, bahkan masa yang akan datang.
Dalam kaitan ini, kita harus dapat memandang bahwa
memahami sejarah masa lalu adalah cukup penting, karena
dari masa lalulah kita mengetahui masa sekarang, dan
meramalkan masa yang akan datang.
Kesinambungan sejarah seperti ini harus tetap dijaga, tidak
boleh diputus-putuskan, baik secara sengaja maupun tidak
sengaja.

Saudara sekalian.

3. Untuk itu saya menganggap Seminar ini merupakan momen-


tum yang tepat untuk memahami masa lalu Aceh dengan
tekad untuk mengkonkritkan hari jadi Kota Banda Aceh yang
sampai sekarang belum memperoleh kepastian secara formal
dan konkrit.
Mengungkapkan sejarah hari jadi kota Banda Aceh ini cukup
penting, karena hari jadi kota akan dapat dijadikan pilar un-
tuk melakukan berbagai upaya pembinaan, penertiban
maupun program yang telah dicanangkan oleh
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Banda Aceh
beberapa tahun yang lalu.
Sejarah masa lalu telah membuktikan bahwa di masa jayanya
Kerajaan Aceh pada abad ke-17, Banda Aceh yang pada
waktu itu digelar Bandar Aceh Darussalam, tersohor sebagai
kota metropolitan, dagang, agamis, ilmu pengetahuan, bukan
hanya dikenal secara Nasional, tetapi ketenarannya sampai
ke tingkat Internasional.
Ini bukan tidak beralasan, karena sesuai dengan fakta sejarah
Aceh pada masa itu, Kerajaan Aceh Darussalam dikenal
sebagai lima besar Dunia dalam bidang Agama Islam yang
setaraf dengan Bagdad, Damaskus, Agra, Isfahan dan Aceh

15
Darussalam.
Dengan tidak bermaksud membangkit-bangkitkan batang
terendam, karena walau bagaimana pun fakta sejarah ini
tidak boleh kita lupakan, karena melupakan sejarah berarti
kita telah mempretelin sebagian riwayat hidup dan kehidupan
yang cukup penting dari sesuatu kejadian masa lalu.
Banda Aceh, hari ini berfungsi ganda yaitu sebagai ibu kota
Kotamadya Banda Aceh dan sekaligus sebagai ibukota Pro-
pinsi Daerah Istimewa Aceh sangat memerlukan pembinaan
yang intensip dan kerja keras pimpinan dan seluruh perangkat
Pemerintah secara terkendali, terprogram, maksimal dan
optimal.
Belum adanya keseragaman hari jadi kota Banda Aceh ini
adalah logis, sebab Banda Aceh mempunyai latar belakang
yang rumit, mengalami pasang naik dan pasang surut yang
cukup banyak, melintasi lembaran sejarah yang panjang,
sehingga sekitar tahun 1970-an, bukan hanya hari jadinya
yang belum seragam, tetapi soal namapun pernah
dipersoalkan.
Saya mengharapkan agar seminar ini tidak perlu lagi memper-
soalkan soal nama, sebab kalau menurut sejarahnya, maupun
dari segi yuridis formal memang namanya yang asli adalah
Banda Aceh, bukan Kutaradja.
Menurut sejarah, ini dapat dijelaskan bahwa tatkala umat
Islam Kerajaan Indra Purba memproklamirkan Kerajaan
Islam yang diberi nama Kerajaan Aceh Darussalam pada 1
Ramadhan 601 H atau 1205 M atas Arsitek Sultan Alauddin
Johan Syah sekaligus diresmikan Ibukota Kerajaan/Negara
yang baru dekat Sungai Kuala/Sungai Aceh sekarang, yang
diberi nama Bandar Darussalam.
Kemudian pada masa Pemerintahan sultan Husein Syah
sekitar tahun 1465-1480 M, Kerajaan Aceh Darussalam, Kera-
jaan Daya dan Kerajaan Pidie bersatu/melakukan federasi, maka
ibukota negara tetap Bandar Darussalam, hanya namanya
mengalami perubahan yaitu menjadi Banda Aceh Darussalam.
Dengan tidak bermaksud membangkit masa lalu secara
berkelebihan, Banda Aceh Darussalam terus berkembang, bahkan
pada waktu jayanya Kerajaan Aceh pada abad ke-XVI dan XVII,
Banda Aceh menjadi tersohor, sekaligus sebagai pusat kegiatan
politik, ekonomi, kebudayaan dan Pusat Pendidikan Agama
Islam di kawasan Asia Tenggara. Kemudian, setelah Jenderal Van
Swieten melakukan agresor merebut Keraton Darut Dunia pada
tanggal 24 Januari 1874, ibukota negara (pada waktu itu) dirubah
namanya oleh Van Swieten menjadi Kutaraja. Perubahan yang
dilakukan oleh Van Swieten ini bertujuan politis dan ingin
menyulap dan memberitahukan kepada Gubernur Jenderal di
Betavia, dan Raja Belanda di Amsterdam, bahwa ia telah berhasil

16
menguasai istana Raja, merebut ibukota negara dan sekaligus
menguasai Kerajaan Aceh. Setelah 89 tahun Banda Aceh
Darussalam dikuburkan hidup-hidup oleh Belanda, pada masa
Gubernur Aceh Ali Hasjmy dengan Surat Keputusan Menteri
Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor
Des.52/I/43-43 tanggal 9 Mei 1963, Kutaraja dirobah/dikem-
balikan pada nama semula menjadi Banda Aceh sampai sekarang
ini. Ini berarti mulai tahun 1963 sampai sekarang, Banda Aceh
dihidupkan/dibangkitkan kembali dari kuburan yang digali oleh
Belanda. Apabila kita pandang dari sisi ini, maka secara sepin-
tas dapat ditarik garis pemisah antara yang hak dan yang bathil,
yaitu hari jadi kota Banda Aceh adalah pada tanggal 9 Mei 1963
tetapi apabila kita tengok sejarahnya, Banda Aceh sudah
hidup/lahir sekitar abad ke-I 5 M. Dari sudut mana kita meman-
dang hari jadi kota Banda Aceh sekarang ini, kiranya seminar
inilah yang dapat memberikan jawaban yang tepat dan akurat.
Akibat belum jelasnya hari jadi kota Banda Aceh ini, tentu
akan mengalami kesulitan bagi kita untuk melaksanakan HUT
kota ini, sehingga sukar bagi kita melakukan introspeksi, penilaian
usaha dan upaya maupun melakukan suatu perbandingan.
Membanding-banding masa lalu dengan masa sekarang maupun
dengan umur sesuatu kota perlu, karena upaya tersebut dapat
melahirkan sintesa yang lebih bermakna dan lebih berbobot, demi
untuk kesempurnaan nilai sejarah dan keagungan kota ini. Un-
tuk generasi yang akan datang bangga memiliki nilai sejarah yang
cukup penting dan cukup panjang.
Saudara sekalian.
Saya yakin, bahwa apabila saya memperhatikan bobot pem-
bawa makalah yang memang cukup dikenal dan terkenal secara
nasional dan internasional, sebagai sejarahwan, ilmuan, seniir an,
tidak sedikit pun saya menaruh kesangsian bahwa seminar ini
akan melahirkan konsep dan rumusan yang bet bobot untuk
dipersembahkan pada kejayaan masa depan Kota Banda Aceh.
Lebih-lebih setelah saya memperhatikan thema seminar dan judul
makalah yang cukup menarik, menyebabkan seminar ini men-
jadi tempat dan perhatian masyarakat Banda Aceh menggantu-
jgkan harapan agar dapat melahirkan sebuah hari jadi kota Banda
Aceh yang selama ini diidam-idamkan seluruh strata masyarakat.
Demikianlah sambutan dan harapan saya, semoga ada man-
faatnya. Akhirnya, dengan mengucapkan 'Bismillahirrahmanir-
rahim', seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh dengan resmi saya
nyatakan dibuka.
Wabillahi taufik wal hidayah.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
GUBERNUR KEPALA DAERAH ISTIMEWA ACEH
IBRAHIM HASAN

17
Kesimpulan
Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh yang diselenggarakan


oleh Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh pada
tanggal 26 sampai dengan tanggal 28 Maret 1988 di Banda Aceh.
Mendengar:
1. Pidato Pengarahan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh;
2. Pidato Sambutan WaHkotamadya Kepala Daerah Tingkat II
Banda Aceh.

Membaca dan Membahas :

1. Pidato Pengarahan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh :


2. Pidato Sambutan WaHkotamadya Kepala Daerah Tingkat II
Banda Aceh.

Membaca dan Membahas:

1. Prasaran-prasaran:
a. Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh yang disam
paikan oleh Prof. A. Hasjmy (Ketua Majelis Ulama Daerah
Istimewa Aceh); Prof. DR. Teuku Iskandar (University
Brunai Darussalam); Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh (Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh),
tentang HARI JADI KOTA BANDA ACEH;

b. Prof. DR. Ibrahim Alfian, MA. Dekan Fakultas Sastra


Universitas Gajah Mada tentang BANDA ACEH
SEBAGAI PUSAT AWAL PERANG DI JALAN ALLAH;

c. Prof. DR. Hasan Muarrif Ambary MA (Kepala Pusat


Penelitian Arkeologi Nasional); Kantor Wilayah
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Daerah Istimewa
Aceh yang disampaikan oleh Drs. T. Alamsyah tentang
BANDA ACEH SEBAGAI PUSAT KEBUDAYAAN DAN
TAMADDUN;

d. Masyarakat Sejarahwan Indonesia Daerah Istimewa Aceh


yang disampaikan oleh Drs. Zakaria Achmad (Ketua
Masyarakat Sejarahwan Indonesia Daerah Istimewa Aceh);
H. Mohd. Said yang disampaikan oleh Drs. Anas Mahmud;

18
Teungku Luckman Sinar SH; tentang BANDA ACEH
SEBAGAI PUSAT PEMERINTAHAN KESULTANAN
ACEH;

e. Universitas Syiah Kuala yang disampaikan oleh DR. M.


Isa Sulaiman, tentang BANDA ACEH DALAM SIKLUS
PERDAGANGAN INTERNASIONAL;

f. IAIN Jamiah Arraniry yang disampaikan oleh Drs.


Abdurrahman Kaoy tentang BANDA ACEH SEBAGAI
PUSAT DAKWAH ISLAMI YAH;

g. Masyarakat Sejarahwan Indonesia Daerah Istimewa Aceh


yang dibawakan oleh Drs. Muhammad Ibrahim (anggota
Masyarakat Sejarahwan Indonesia) tentang BANDA ACEH
SEBAGAI PUSAT PERLAWANAN TERHADAP IMPE
RIALISME DAN KOLONIALISME DI KAWASAN
SELAT MALAKA:

h. T. Ali Basyah Talsya (Sekretaris Laka) tentang BANDA


ACEH PADA MASA KEMERDEKAAN:
2. Bandingan-bandingan:
a. Drs. H. Muhammady MA:
b. Prof. DR. Syamsuddin Mahmud:
c. Drs. Abidin Hasyim M Sc:
d. DR. Safwan Idris, MA:
e. DR. M. Isa Sulaiman:

3. Tanggapan-tanggapan:
Dari peserta seminar baik yang disampaikan secara lisan
maupun secara tertulis selama berlangsungnya seminar (lihat
lampiran);
C. Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 8 (darurat) tahun 1956 Tentang
Pembentukan Daerah Otonom Kota-kota Besar Dalam Ling
kungan Daerah Propinsi Sumatera Utara Jonto Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Perubahan Batas
Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang


Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah;

3. Surat Keputusan WaHkotamadya Kepala Daerah Tingkat II


Banda Aceh Nomor 05.3.06/09/SK/1988 tanggal 15 Januari
1988 Tentang Pembentukan Panitia Pelaksana Seminar Hari
Jadi Kota Banda Aceh;

19
MENETAPKAN KESIMPULAN-KESIMPULAN
SEMINAR HARI JADI KOTA BANDA ACEH
I. HARI JADI:
1. Sultan Alaidin Johan Syah yang memerintah dalam tahun
601-631 H (1205-1234 M) adalah pendiri Kerajaan Aceh
Darussalam dengan ibukota Banda Aceh Darussalam;
2. Hari Jadi Kota Banda Aceh adalah tanggal 1 Ramadhan
601 H, hari Jum'at bertepatan dengan tgl. 22 April 1205
M. Tanggal ini didasarkan kepada permulaan pemerintahan
Sultan Alaidin Johan Syah, seperti yang termaktub dalam
naskah 'adat Aceh.'

3. Istana yang didirikan oleh Sultan Alaidin Johan Syah yang


merupakan pusat kerajaan bernama Kandang Aceh ber
lokasi di Kampung Pande;

4. Sultan Alaidin Mahmud Syah yang memerintah dalam tahun


665-708 H (1267 -1309 M) telah memindahkan pusat kera-
jaan Aceh dari kandang ke seberang Krueng Aceh, dan
dibangun pusat kerajaan dan istana baru yang diberi nama
Kuta Dalam Darud Dunia;

5. Bersamaan dengan pembangunan Kuta Dalam Darud Dunia,


Sultan Alaidin Mahmud Syah membangun sebuah mesjid
yang diberi nama Mesjid Jamik Baiturrahman, yang ber-
fungsi sebagai pusat ibadat, pengembangan ilmu pengetahu-
an dan kebudayaan;

II. PERANAN BANDA ACEH DALAM PERJALANAN


SEJARAH
1. Banda Aceh sebagai pusat Kesultanan Aceh sejak abad
ke-16, telah menjelma sebagai salah satu pusat kekua-
saan politik di Asia Tenggara/belahan timur dunia;
2. Banda Aceh dengan mesjid jamik Baiturrahman meru-
pakan pusat Islam (Islamic Centre) telah tampil sebagai
kota ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

3. Banda Aceh sebagai salah satu kota yang menerima Is-


lam pada priode awal telah tampil sebagai kota dakwah
I s lamiah terpenting di Asia Tenggara;

4. Banda Aceh sebagai ibu kota Kerajaan Aceh telah


berperan dalam menghubungkan umat Islam Asia

20
Tenggara; kemajuan dalam berbagai bidang ilmu pe-
ngetahuan agama, penyebaran aliran-aliran yang tum-
buh dalam dunia Islam, ketaatan penduduknya serta
kemajuan dalam bidang dakwah telah menyebabkan
Aceh digelar Serambi Mekkah;

5. Banda Aceh letaknya strategis pada jalur perdagangan


internasional dan kekayaan alam yang melimpah
dengan kekuatan politiknya sejak awal abad ke-16 ber-
kembang menjadi salah satu kota perdagangan
internasional;

6. Karena Kerajaan Aceh menganut politik pintu terbuka


terhadap para pedagang asing, maka kota Banda Aceh
menjadi suatu bandar internasional yang dihuni oleh
berbagai bangsa;

7. Ancaman imperialisme semenjak penghujung abad ke-


15 telah menyebabkan Banda Aceh muncul sebagai
pusat kekuatan dan perlawanan yang tangguh;

8. Kecakapan membuat senjata yang diperoleh dari pakar-


pakar bangsa Turki dan bangsa-bangsa lainnya, Ban-
da Aceh telah berkembang pula sebagai kota industri
perang;

9. Banda Aceh dengan Kuta Dalam Darud Dunia, Taman


Gairah, pusat kesenian dan hasil kerajinan rakyat, men-
jadikan kota ini sebagai kota wisata budaya;
10. Sejak diumumkannya perang oleh Pemerintah Hindia
Belanda terhadap Kerajaan Aceh pada tanggal 26 Maret
1873, Banda Aceh tampil sebagai pusat awal perang di
jalan Allah melawan penjajah Belanda;

11. Dalam masa revolusi kemerdekaan (1945-1949 M),


Banda Aceh tampil sebagai ibukota daerah Modal
Republik Indonesia;

12. Selama pendudukan Belanda, Banda Aceh ikut ber-


peran dalam pergerakan Nasional;
13. Dengan peresmian Kopelma Darussalam tanggal 2 Sep-
tember 1959, Banda Aceh telah menjadi salah satu pusat
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan
kebudayaan di Indonesia;

21
III. SARAN-SARAN :

1. Menyarankan kepada Pemerintah Kotamadya Daerah


Tingkat II Banda Aceh, agar menetapkan tgl. 22 April
(1 Ramadhan) menjadi Hari Jadi Kota Banda Aceh
yang diperingati tiap-tiap tahun;

2. Menyarankan kepada Pemerintah Propinsi Daerah Isti-


mewa Aceh agar menetapkan tanggal 26 Maret sebagai
hari Syuhada;

3. Menyarankan kepada Pemerintah Propinsi Daerah Is-


timewa Aceh dan Pemerintah Kotamadya Daerah
Tingkat II Banda Aceh, agar mengambil langkah
konkrit untuk menyelamatkan benda-benda pening-
galan sejarah dan kepurbakalaan serta merealisir pem-
bangunan museum perjuangan;

4. Menyarankan kepada Pemerintah Kotamadya Daerah


Tingkat II Banda Aceh agar membangun Monumen
hari jadi Banda Aceh, yang antara lain di atasnya
direkam tanggal hari jadi, nama Sultan Alaidin Johan
Syah sebagai pendirinya. Monumen tersebut sebaiknya
berdiri di depan Kantor Balai Kota;

5. Menyarankan kepada Pemerintah Kotamadya Daerah


Tingkat II Banda Aceh agar mengambil langkah-
langkah konkrit untuk menjadikan Banda Aceh sebagai
kota wisata budaya, wisata dakwah dan wisata sejarah;
6. Menyarankan kepada Pemerintah Kotamadya Daerah
Tingkat II Banda Aceh agar berusaha menjadikan Ban-
da Aceh kembali menjadi kota industri kerajinan
rakyat;

7. Menyarankan kepada Pemerintah Propinsi Daerah


Istimewa Aceh dan Pemerintah Kotamadya Daerah
Tingkat II Banda Aceh untuk mendirikan sebuah
monumen perjuangan rakyat Aceh, yang melam-
bangkan perjuangan rakyat Aceh semenjak awal Islam
di Nusantara sampai dengan revolusi 1945;

8. Menyarankan kepada warga kota Banda Aceh agar


bersama-sama Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat
II Banda Aceh berusaha untuk menjadikan Banda Aceh
sebagai benteng Islam dan benteng Pancasila yang
tangguh;
9. Menyarankan kepada Pemerintah Kotamadya Daerah
Tingkat II Banda Aceh agar nama kota Banda Aceh
disempurnakan menjadi Banda Aceh Darussalam;
10. Sesuai dengan citra Banda Aceh sebagai ibukota daerah
Serambi Mekkah menyarankan kepada Pemerintah Ko-
tamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh agar mengam-
bil langkah-langkah untuk menjadikan Banda Aceh
terhindar dari kegiatan-kegiatan yang bertentangan
dengan ajaran Islam dan Pancasila;

11. Menyarankan kepada Pemerintah Kotamadya Daerah


Tingkat II Banda Aceh agar menyusun sebuah buku
tentang perkembangan kota Banda Aceh sepanjang se-
jarahnya.

BANDA ACEH, 28 MARET 1988


PANITIA PENGARAH
SEMINAR HARI JADI KOTA BANDA ACEH

1. Ketua Prof. A. Hasjmy


2. Sekretaris Drs. Zakaria Ahmad
3. Anggota Drs. Muhammad Ibrahim
4. Anggota Drs. M. Gade Ismail MA
5. Anggota Drs. Rusdi Sufi
6. Anggota Drs. Nasruddin Sulaiman
7. Anggota Tuanku Abdul Jalil

23
L A M P I R A N
FOTO KOPI KUTIPAN HALAMAN AL RRABI KUWAIT

IVi >

«_iJI i JfiU ( j 1 \ ) \T o f U o l i JV,^ JJ- r-* ^'j-Jf J'*»- L J«; ^ J u j ^ l J J

_L-i~ j i f J S J A J I .Ui „'L^»- j l k L J l t+sy-

JL*-J-S ! v L à — i . . f">L-^l j l l _ * i j »—J'


u
, - WrL k- : v J i : - j , V-li ^ ^ 1 . „ *
j ^ — ! w-sl/.—ïU_> (. < : U LCL. < / » J**-Ji

.-i J W J' v/Ji v>ii <_: -j. j^uJi


U £ . . . |,ln . L v r">V_Vl , L i i l j t i . _J ^ _ j^iJL . c-J-i aujii A ^ ^ ^
>

_JLU j i » t « . L L - L i , J i - ^ - jl>L> JS p*, jLC


C—L j t JLA/ LJ ^ - Ä ^ J,**"' / L î j i j Jl'U'
^ ^ : > - ^ ' y U p ^ OjoJyi
- ' » » i ^ J J L-^j-^1 ^ c l i v ^ | «SU*

24
L A M P I R A N
FOTOKOPI KUTIPAN NASKAH TUA ADAT ACEH

ADAT ATJ EH
Reproduced in facsimile from a manuscript
in the Iodia Office Librarv

AL—ja-o.

25
Banda Aceh Sebagai Pusat
Awal Petang Di Jalan Allah

Oleh :
Ibrahim Alfian
Universitas Gadjah Mada
Menjelang bulan Maret yang sedang kita lalui ini pada tahun
1873, 115 tahun silam, kota tempat kita mulai berseminar hari
ini, sedang dilanda suasana yang mencekam. Kedaulatan kera-
jaan Aceh serta integritas bangsa terancam oleh Kerajaan
Belanda.
Pada masa itu kerajaan Aceh terdiri atas (1) Aceh Besar yaitu
daerah sepanjang sungai Aceh, yang terbagi atas tiga wilayah,
disebut sagi, masing-masing sagi diberi nama menurut jumlah
mukim yang dipunyainya, yakni Mukim XXII, Mukim XXV, dan
Mukim XXVI, dan bagian-bagian yang terletak di selatan Mukim
XXV, yaitu Lho'Nga, Leupueng dan Lhong; (2) Daerah-daerah
di luar Aceh Besar, yang merupakan taklukan Aceh, terletak di
pantai barat, pantai utara dan pantai timur dari ujung utara pulau
Sumatera, yang terdiri atas negeri-negeri atau kerajaan kecil yang
otonom atau pun yang merupakan federasi; (3) Daerah-daerah
Gayo dan Alas yang terletak jauh di pedalaman. Adapun daerah
yang berada langsung di bawah kekuasaan Sultan adalah kawasan
dalam (Kraton), Pekan Aceh, Kampung Merduati, Kampung
Jawa, Kampung Pande, dan Kampung Kedah."
Dalam menghadapi kemungkinan agresi Belanda, Sultan
Alaiddin Mahmud Syah bersama para pemimpin di ibukota kera-
jaan Aceh, yang pada abad XIX lengkapnya bernama Madinat
al-Sultan al-Asyi al-Kubra Bandar Aceh Darussalam me-
ningkatkan kegiatan untuk mempertahankan kerajaan dari an-
caman asing. Pasukan-pasukan disiagakan dan rakyat dikerahkan
untuk mempertahankan negeri, di bawah pimpinan Panglima
Polem Mahmud Arifin Seri 'Muda Perkasa', Panglima Sagi
Mukim XXII, Sri Imam Muda, Panglima Sagi Mukim XXVI dan
Sri Setia Ulama Cut Abbas, Panglima Sagi Mukim XXV.
Aceh mengimpor 5000 peti mesiu dan 1349 peti senapan dari
pulau Pinang sejak bulan Agustus 1872 sampai Maret 1873.2)
Dana-dana dihimpun dari masyarakat untuk menghadapi
peperangan. Anak cucu keluarga Sultan Alaudin Jamalul Alam
Badrulmunir al-Jamalullail memberikan sumbangan sebesar 12

O E.B.Kielstra, eschrijving van den Atjeh Oorlog, 1883, jilid I, hlm.7.


2)- Ibid, Mm 58.

26
kilogram emas untuk keperluan belanja peperangan.3)
Jika kerajaan Aceh pernah menjalankan politik luar negeri
yang tangguh dari Kota Banda Aceh ini, berperang menghadapi
Portugis pada abad ke XVI dan XVII serta merupakan kerajaan
pertama di benua Asia yang dalam tahun 1601 mengirimkan
dutanya kepada Republik Belanda, maka dalam tahun 1873 ketika
menghadapi Belanda Kerajaan Aceh tidak lagi merupakan suatu
kekuasaan yang kuat.
Untuk dapat mengantar kita kepada struktur situasi 26 Maret
1873, patutlah kita surut 164 tahun ke belakang untuk dapat
melihat jalannya berbagai jalinan peristiwa, yang membawa
kepada ketegangan struktural seperti yang telah disinggung di
muka.
Pada tahun 1824 disepakati suatu perjanjian antara Kera-
jaan Belanda dengan Kerajaan Inggris dengan Traktat London.
Dalam nota yang dilampirkan pada Traktat itu dinyatakan bahwa
kedua kerajaan itu tidak melakukan tindakan permusuhan ter-
hadap Kerajaan Aceh. Namun demikian dalam perjalanan sejarah
karena ulah pihak Belanda jua serentetan konflik antara Kera-
jaan Belanda dengan Kerajaan Aceh tidaklah dapat terhindarkan.
Belanda melakukan provokasi dengan menHuduki Barus
yang berada dibawah kekuasaan Aceh diserang Belanda pada
1829. Serangan Belanda ini dapat dipatahkan, malah benteng
Belanda di Pulau Poncang di Teluk Tapanuli diserang oleh
pasukan-pasukan Aceh. 4'
Kemudian pada tahun 1834 dan 1835 Belanda melakukan
provokasi lagi di sekitar Pulau Poncang, dengan menahan
beberapa perahu Aceh padahal perahu-perahu itu memiliki pas
atau surat keterangan berlayar yang sah dari Kerajaan Aceh.
Sebagian awak perahunya ditangkap dan sebagian lagi dibunuh.5»
Setahun kemudian, pada tahun 1836, awak kapal sebuah
kapal Belanda Dolphijn, berontak dan membunuh nakhodanya,
melarikan kapal itu dan mempersembahkannya kepada Sultan
Aceh. Dengan menggunakan sebuah kapal perang, Belanda menu-
ju Aceh dan meminta kapal Dolphijn itu, akan tetapi Sultan Aceh
berkeberatan mengembalikannya, apalagi perutusan Belanda itu
tidak membawa surat kuasa dari Gubernur Jenderal Hindia Belan-
da untuk mengambil kapal itu. Namun ketika surat kuasa yang
dimaksud dibawa oleh sebuah komisi Belanda kepada Sultan,
kapal Dolphijn tidak dapat dibawa berlayar oleh karena sudah

3
>- Ms. Aceh di Perpustakaan Universitas Kebangsaan Malaysia, lembarlepas. belum
dikatalogkan.
4) Kielstra, op. dr., him 15,16,19
5) G.B. Hooyer, De Krijgsgeschiedenir van Nederlandsch, indie van 1811 tot 1894,
jilid III, 1897, him.25.

27
dibakar di Pidie. 6)
Dalam suasana permusuhan itu kerajaan Aceh mendirikan
tiga buah benteng didekat Barus, serta memperkuat kedudukan
Aceh di Singkel. Belanda pun rupanya tidak tinggal diam. Kolonel
H.V Michiels diperintahkan untuk menyerang dan mengusir
pasukan-pasukan Aceh pada 1840 dan kolonel ini berhasil
mengalahkan pasukan-pasukan Aceh. Akibat tindakan Belanda
ini kapal-kapal dagang orang Eropa tidaklah mendapat sambutan
yang semestinya sehingga tidaklah aman bagi kapal-kapal dagang
itu untuk memasuki pelabuhan-pelabuhan Aceh. Khawatir akan
adanya usaha negara lain mencari pengaruh di Aceh, pemerin-
tah Hindia Belanda berusaha mengadakan hubungan dengan
Sultan Aceh.7)
Akhirnya pada 1857 Mayor Jenderal van Swieten berhasil
menandatangani perjanjian persahabatan dan perdamaian dengan
Sultan Ibrahim Mansur Syah. Isi pokok perjanjian itu, antara lain
(1) membolehkan kawula kedua pihak, dengan mengindahkan
undang-undang yang berlaku, untuk melawat bertempat tinggal
dan menjalankan perdagangan dan pelayaran di daerah kedua
belah pihak; (2) kedua pihak melepaskan tuntutan masing-masing
mengenai segala pertikaian yang timbul sebelum perjanjian ini;
(3) semufakat untuk mencegah dengan sekuat-kuatnya perom-
pakan dan penangkapan manusia untuk dijual dan pembajakan
di pantai di daerah masing-masing; (4) Sultan Aceh mengakui
bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda diwakili oleh Guber-
nur Belanda di Sumatera Barat dalam hal urusan dengan Sultan
Aceh, dan (5) segala salah paham yang mungkin timbul akan
diselesaikan dengan cara damai.8)
Tidak sampai setahun kemudian, yakni pada tahun 1858,
sebuah perjanjian ditandatangani antara pemerintah Belanda
dengan Sultan Siak.
Isinya yang terpenting, ialah bahwa Siak dan jajahan
taklukannya menjadi bahagian wilayah Hindia Belanda dan
berada di bawah kedaulatan Kerajaan Belanda. Jajahan takluk
Siak ini, antara lain, terdiri dari wilayah-wilayah di pantai
Sumatera Timur dari batas Siak ke utara sampai Sungai Tamiang.
Pada tahun 1865 kerajaan Aceh yang menganggap Tamian,
Langkat, Deli dan Batu Bara di Sumatera Timur, sebagai daerah
pengaruhnya dan yang mengharuskan raja-raja negeri itu mem-
bayar upeti kepada Sultan Aceh, melakukan campur tangan di
Deli dan Langkat dan menyerang Batu Bara dengan sebuah ar-
mada. Hal ini dilakukan, karena wilayah-wilayah ini telah
6) Ibid, Mm 25-6.
1)- Kielstra, op.cit., Mm. 24-5
8). Officieele Bescheiden Mm. 19-20.

28
mengangkat bendera Belanda. Sebaliknya Asahan dan Serdang
di Sumatera Timur makin lama bermusuhan pula dengan Belan-
da. Karena itu pada 1863 Belanda mengirimkan pasukan-pasukan
tentaranya ke sana dan berhasil menaklukkan kedua negeri itu.
Pada tahun itu juga Belanda mengirimkan pasukan tentaranya
ke Pulau Nias untuk menghalangi Aceh melakukan perdagangan
budak.
Pada mulanya Belanda tidak dapat berbuat apa-apa terhadap
Aceh, sebab Traktat London (1824) menyebutkan bahwa Belan-
da harus menghormati kedaulatan kerajaan Aceh. Namun
beberapa puluh tahun kemudian Belanda berhasil membawa In-
ggris ke meja perundingan hingga akhirnya tercapailah perjan-
jian 1871 yang terkenal dengan nama Traktat Sumatra. Di dalam
traktat baru ini antara lain dinyatakan, bahwa Belanda bebas un-
tuk memperluas kekuasaannya di seluruh pulau Sumatra sehingga
dengan demikian tiada kewajiban lagi bagi Belanda untuk
menghormati kedaulatan kerajaan Aceh sesuai dengan isi Traktat
London itu.
Multatuli, pujangga besar Belanda, pengarang karya besar
Max Havelaar, membayangkan akan terjadinya perang akibat
traktat ini. Dalam surat terbukanya kepada raja Belanda, dengan
judul 'Surat Kepada Raja', terbit pada bulan Oktober 1872, an-
tara lain ia menulis 'Gubernur Jenderal Anda, Tuanku, dengan
bermacam-macam dalih yang dicari-cari, paling-paling didasarkan
alasan provokasi yang dibuat-buat bersikap memaklumkan perang
kepada Sultan Aceh, dengan tujuan merampas kedaulatan
kesultanan itu. Tuanku! perbuatan ini tidak berbudi, tidak luhur,
tidak jujur, tidak bijaksana.'
Adapun Kerajaan Aceh sudah jelas merasa terancam akibat
Traktat Sumatra ini.
Dalam bulan September 1871 pihak Belanda menempuh
suatu kebijaksanaan baru. yakni politik tidak campur tangan yang
dianut, diganti dengan suatu politik tanpa agresi yang ditujukan
untuk melindungi siapa yang perlu dilindungi dan untuk
memperkukuh kedudukan Belanda yang dianggap menjadi
haknya di Sumatera.
Patut dicatat bahwa pada 1863 Belanda sudah mulai bertapak
di Deli. Sultannya mengingkari pertuanan Aceh dan Siak dengan
mengadakan hubungan langsung dengan Belanda di Batavia.
Seorang pengusaha swasta Belanda J. Nienhuijs berhasil
membuka perkebunan tembakau di tanah Deli dan setahun kemu-
dian export pertama tembakau Deli menuju negeri Belanda,
dengan mutu cemerlang dan harga tertinggi yang dicapai pada
abad 19. Dengan meraih keuntungan yang besar berdirilah pada
tahun 1870 Deli Maatschappij, perusahaan perkebunan pertama
yang 'modern' di Hindia Belanda. Dengan dibukanya Terusan
Suez pada tahun 1869, Selat Malaka menjadi sangat strategis dan

29
posisi Aceh pun menjadi semakin penting. Tidak mengherankan
jika kedudukan Aceh sebagai negara merdeka ingin diakhiri oleh
pihak Belanda.
Pada tahun 1871 itu juga Belanda mengirimkan kapal Jam-
bi ke perairan Aceh untuk menyelidiki ujung-ujung pantai dengan
maksud agar di tempat itu dapat didirikan menara api pantai dan
meneliti dangkal dalamnya perairan di pantai. Tujuan yang lain-
nya ialah untuk mengetahui keadaan politik di daerah ini. Sebuah
kapal juga dikirimkan ke Selat Malaka untuk memberantas ba-
jak laut dan memamerkan kekuatan di beberapa tempat di pan-
tai Aceh Utara.
Hal-hal tersebut di atas jelas tidak menyenangkan kerajaan
Aceh dan dapat dipahami mengapa utusan Belanda yang berkun-
jung ke Aceh tidak diterima dengan 'manis' oleh para pembesar.
Dalam pertemuannya di geladak kapal Jambi pada 27 September
1871, Habib Abdurrachman yang memangku jabatan perdana
menteri, menyatakan bahwa bilamana Belanda ingin bersahabat
dengan Aceh hendaklah dimulainya dengan mengembalikan
wilayah-wilayah yang dahulunya termasuk dalam kerajaan Aceh,
yaitu Sibolga, Barus, Singkel, Pulau Nias, dan kerajaan-kerajaan
Sumatera Timur kepada pihak Aceh.
Pada 1872 raja Trumon di Aceh Barat dan raja Idi di Aceh
Timur menyatakan keinginannya untuk mengakui kedaulatan
Belanda. Selain dari pada itu pada September 1872 pihak Belan-
da menahan sebuah kapal Aceh, Gipsy namanya, milik Teuku
Paya Raja Simpang Ulim yang dituduh oleh Belanda melakukan
perampokan. Ketegangan semakin mencekam antara Belanda
dengan Aceh. Akibat utusan Belanda, yang pada bulan Mei 1872
datang lagi, gagal untuk menghadap Sri Sultan, dan pembesar-
pembesar Aceh.
Selanjutnya pada bulan Oktober 1872 pemerintah Hindia
Belanda menyatakan keinginannya kepada Sultan Aceh untuk
mengirimkan sebuah komisi yang diketuai oleh residen Riau guna
menyelesaikan beberapa hal yang menyangkut kepentingan kedua
belah pihak. Pada Desember 1872 sultan menjawab kepada
Residen Riau melalui melalui sebuah perutusan yang diketuai oleh
Panglima Tibang Mohammad, agar perutusan Belanda menun-
da kedatangannya beberapa bulan, sebab kerajaan Aceh sedang
menanti hasil kunjungan duta besarnya yang menghadap sultan
Turki di Constantinopel.
Dalam perjalanan kembali dari Riau pada 25 Januari 1873
utusan Aceh singgah di Singapura dan di kota ini mereka
mengadakan hubungan dengan konsulat Amerika dan Italia. Kon-
sul Amerika bersama para utusan Aceh itu mempersiapkan sebuah
konsep kerjasama sederajat antara Amerika dengan Aceh untuk
menghadap ancaman Belanda. Setelah mengetahui kejadian ini
Konsul selama di Singapura mengawatkan kepada pemerintah

30
Hindia Belanda, bahwa konsul-konsul Amerika dan Italia
berusaha agar pemerintah mereka masing-masing menyokong dan
membantu Aceh. Akibatnya pada 18 Pebruari 1873 pemerintah
Belanda di Nederland memerintahkan kepada Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, James London, agar mengirimkan angkatan laut
ke Aceh, kalau perlu disertai dengan pasukan yang kuat. Adanya
kekuatan lain yang hendak memainkan peranan di Sumatra,
nengkhawatirkan pihak Belanda.
Takut akan kelanjutan hasil perundingan di Singapura an-
tara Aceh dengan Amerika Serikat itu yang dapat merugikannya.
Belanda segera mengambil tindakan. Setelah diperoleh berita
bahwa sebuah squadron angkatan laut Amerika di bawah Ad-
miral Jeakins akan berangkat pada 1 Maret 1873 dari Hongkong
ke Aceh, F.N. Nieuwenhuyzen, Wakil Presiden Dewan Hindia,
diangkat sebagai komisaris pemerintah dan ditugaskan berangkat
ke Aceh. Kepadanya diarahkan untuk menuntut penjelasan
mengenai keselingkuhan utusan Aceh selama berada di Singapura
serta untuk mengusahakan agar mengakui kedaulatan Belanda.
Jika Sultan Aceh menolak, Nieuwenhuyzen hendaklah
mengumumkan perang atas nama Gubernemen Hindia Belanda.
Yang dikehendaki oleh pihak Belanda adalah agar Aceh takluk
kepada Belanda sehingga kekuatan-kekuatan ketiga akan terham-
bat untuk melakukan intervensi.

Dengan sebuah kapal perang, Citadel van Antwerpen dan


diiringi pula sebuah kapal api, Siak, Nieuwenhuyzen mening-
galkan Betawi menuju perairan Aceh melalui Singapura pada 7
Maret 1873. Dengan menambah dua buah kapal perang lagi, Mar-
nix dan Coehoorn, ia bertolak dari pulau Pinang pada 19 Maret
dan tiba di perairan Aceh pada tanggal 22 Maret 1873. Kepada
Sultan Aceh disampaikannya pada hari itu juga kehendak
pemerintah Hindia Belanda agar Sultan memberikan penjelasan
tertulis kepada pihak Belanda mengenai perbuatan utusan kera-
jaan Aceh yang mengadakan hubungan dengan wakil negeri as-
ing di Singapura guna menghadapi Belanda. Oleh pihak Belanda
hal ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap perjanjian per-
damaian, persahabatan dan perniagaan 1857 yang telah ditan-
datangani antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Belanda.
Jawaban Sultan tidak memuaskan Belanda, oleh karena itu
Nieuwenhuyzen menyampaikan ultimatum untuk mengambil tin-
dakan yang tepat dan meminta agar kerajaan Aceh mengakui sa-
jakedaulatan Belanda. Jawaban Sultan Aceh tidak berisi
pengakuan sebagaimana yang dikehendaki oleh pihak Belanda.
Akibatnya pada tanggal 26 Maret 1873 Nieuwenhuyzen menyam-
paikan manifesto atau pernyataan perang terhadap kerajaan Aceh
yang berbunyi sebagai berikut:

31
KOMISARIS PEMERINTAH HINDIA BELANDA
UNTUK ACEH
Menimbang:
dsb, dsb.:

MENYATAKAN PERANG
Kepada

Sultan Aceh

Ä J S K Ä S i S S r?beri,ahui"'" * ^ m
setiap orang aka„ S a S , , ™t*™W*™ k=Pada
olehnya ™ ^ S & £ £ ™ £ % & * £ * £ »
ES Ï S 7 dHdaLam masa iÄSÄ

sssssasnss
Perkenankanlah saya m o h o n ä r i n er d ri seiSaT n S " '

a s -Äs» s s*.'.".1 - ™»
ja paksa dengan 50 mandor, 220 orang wanita bumiputera (8
orang setiap kompi) serta 300 orang laki-laki bumiputera sebagai
pelayan-pelayan perwira, dipimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R.
Kohier, dibantu oleh wakilnya merangkap komandan infanteri
Kolonel E.C. van Daalen, disertai pula oleh kepala dan wakil
kepala staf, ajudan-ajudannya, komandan-komandan batalyon,
zeni, kesehatan dan topografi.
Keesokan harinya pada tanggal 6 April untuk pertama kali
pasukan Belanda mendarat di Pante Ceureumen, sebelah timur
Ulee Lheu untuk melakukan pengintaian; mereka dipukul mun-
dur oleh pejuang-pejuang Aceh, dan barulah pada tanggal 8 April
berikutnya seluruh induk pasukan Belanda didaratkan di bumi
Aceh. Pada hari pendaratan pertama saja kapal 'Citadel van Ant-
werpen' memperoleh dua belas tembakan meriam Aceh.
Setelah beberapa hari peperangan berlangsung di Banda
Aceh, Belanda dapat menguasai Mesjid Raya, tetapi kemudian
karena tekanan-tekanan pasukan Aceh terpaksa mereka
tinggalkan.
Dalam pertempuran-pertempuran ini kalimah thayibah, La
ilaha illa'llah, senantiasa dikumandangkan oleh pasukan-pasukan
Aceh. Pasukan-pasukan Aceh ada yang bertempur dalam kum-
pulan kecil yang terpisah-pisah dan ada juga yang bergabung
dalam pasukan-pasukan besar yang dipimpin oleh para
uleebalang. Salah seorang pemimpin pasukan Aceh adalah T. Im-
eum Lueng Bata.
Pada 14 April 1873 dalam kontak senjata memperebutkan
mesjid Raya, panglima Balatentera Belanda, Jenderal Kohier,
tewas terkena peluru pasukan Aceh. Kota Banda Aceh telah
mengukir sejarah yang gemilang, yang menjadi berita utama di
koran-koran Hindia Belanda dan Negeri Belanda. Belanda tidak
dapat menguasai dalam (kraton), mereka dipukul mundur dengan
menderita kekalahan berat, 45 orang mati, termasuk delapan
orang opsirnya serta 405 orang luka-luka, di antaranya 23 orang
opsir. Tiga hari setelah Kohier tewas, Belanda mengundurkan diri
ke pantai dan setelah memperoleh izin dari pemerintah Hindia
Belanda, pada 23 April mereka lalu membongkar sauh mening-
galkan pantai Aceh pada 29 April 1873. Agresi yang pertama ini
gagal total.
Pemerintah Hindia Belanda ingin segera mengirimkan
angkatan laut dan daratnya dalam penyerangan kedua guna
menebus kekalahannya. Selama mengadakan persiapan untuk
keperluan ini Belanda mengadakan blokade terhadap pantai Aceh,
dengan menggunakan angkatan lautnya untuk menghalangi Kera-
jaan Aceh berhubungan dengan negara luar.
Menghadapi situasi seperti ini Aceh pun tidak tinggal diam.
Di Penang terbentuklah sebuah dewan yang terdiri dari delapan
orang anggota untuk mewakili kepentingan-kepentingan Aceh ke

33
luar. Dewan ini mengusahakan perbekalan perang dengan men-
cari daya upaya menembus blokade Belanda serta berusaha sekuat
tenaga mengadakan hubungan agar di tempat-tempat lain di
Nusantara juga timbul perlawanan terhadap Belanda.
Anggota-anggota Dewan ini terdiri dari empat orang
bangsawan, yaitu Tungku-tungku (baca Teuku) Ibrahim, Nyak
Rayek, Haji Panglima Perang Yusuf, Nyak Abu, kemudian dua
orang Arab kelahiran Penang, Syaikh Ahmad dan Syaikh Kasim
serta dua orang Keling kelahiran Penang, Umar dan Illah meidin.
Tetapi sementara itu pemerintah Hindia Belanda mulai memper-
siapkan agresi kedua.
Hal ini terjadi di bulan November tahun itu juga. Belanda
memberangkatkan dari Jawa angkatan laut dan daratnya yang
berkekuatan dua kali lipat dari pada waktu agresi yang pertama
Angkatan ini terdiri dari 18 buah kapal perang uap, tujuh buah
kapal uap angkatan laut, 12 buah barkas, dua buah kapal peronda
yang dipersenjatai, 22 buah kapal pengangkut dengan alat-alat
pendarat yang terdiri dari 6 buah barkas uap, dua buah rakit besi
dua buah rakit kayu, lebih kurang 80 buah sekoci, beberapa buah
sekoci angkatan laut dan sejumlah besar tongkang-tongkang. Kali
ini angkatan perangnya dipimpin oleh Letnan Jenderal J van
Swieten, pensiunan panglima pasukan Hindia Belanda, yang ter-
paksa diaktifkan kembali. Ia berangkat dari Den Haag pada 16
Juli 1873 dan sampai di Betawi pada 24 agustus 1873, khusus un-
tuk memimpin peperangan ini. Ia dibantu oleh Mayor Jenderal
G.M. Verspijck. Dengan mendaratkan pasukannya di kampung
Leu'u, dekat Kuala Gigieng, Aceh Besar pada 9 Desember 1873
berlangsung agresi Belanda kedua ke atas persada Tanah Aceh!
Kesetiaan raja-raja dan rakyat kepada Sultan tetap besar
Pasukan-pasukan Aceh dipimpin oleh Tuanku Hasyim, salah
seorang anggota keluarga sultan yang ketika agresi Belanda per-
tama berlangsung, masih berada di Sumatra Timur. Ia dibantu
oleh T. Imum Lueng Bata dan T. Nanta Setia. Setelah delapan
hari mempertahankan pantai mereka kemudian terpaksa mengun-
durkan diri. Tuanku Hasyim mengatur pertahanan mesjid Raya,
memperkukuh kubu pertahanan di Peukan Aceh dan Lambhuek'
serta menyusun pertahanan dalam atau kraton.
Menurut laporan spion Belanda, setelah mesjid dapat
diduduki Belanda pada 6 Januari 1874, masih terdapat lagi 3.000
orang Aceh yang berasal dari Mukim XXII untuk memper-
tahankan garis perang yang dibuat oleh panglima Polem dengan
mengambil kedudukan di Lampu'uk. Dalam dijaga oleh lebih
kurang 900 orang bersenjata. Raja Pidie datang ke Aceh Besar
bersama kira-kira 500 orang rakyatnya dan membuat kubu per-
tahanan di Lueng Bata. Pada pertengahan Januari 1874 telah
datang pula kurang lebih 1.000 orang rakyat Peusangan dengan
mengambil kedudukan di Kuala Cangkul. T. Imum Muda, Raja
34
Teunom, juga turut mengambil bagian dalam menghadapi Belan-
da. Ia mengerahkan sekitar 800 orang rakyatnya ke Banda Aceh,
dengan sejumlah besar obat bedil.
Ketika dalam terus-menerus dihujani peluru Belanda ber-
jangkit pula penyakit kolera yang banyak mengambil korban.
Sultan Mahmud Syah dan Panglima Polem mengundurkan diri
ke Lueng Bata pada 13 Januari 1874. Dalam masih terus diper-
tahankan, sedangkan di Lueng Bata terdapat pertahanan dengan
kekuatan 1.000 orang. Dua orang kerabat sultan mempertahankan
diri di Keutapang Dua serta dibantu oleh lebih kurang 500 orang
rakyat dari Negeri Meureudu. Sayangnya, dalam pertempuran-
pertempuran ini kurang terjadinya koordinasi yang baik di an-
tara pasukan-pasukan ini. Akhirnya dalam rapat direbut oleh
Belanda. Namun pihak Aceh berpendapat bahwa jatuhnya dalam
disebabkan oleh pengkhianatan penduduk Meuraksa di tepi pan-
tai, dan karena datangnya bala penyakit kolera.
Setelah dalam dapat direbut oleh Belanda pada 4 Januari
1874 Belanda menghentikan dahulu agresinya dengan harapan
dapat tercapai persetujuan semacam Traktat Siak dengan Sultan
Aceh. Pada 29 Januari Sultan Mahmud Syah mangkat di Pasar
Ayer karena penyakit kolera dan dimakamkan di Cot Bada.
Namun pemimpin-pemimpin Aceh tetap meneruskan perlawanan
terhadap Belanda.
Meskipun yang dikuasai Belanda barulah dalam, pada 31
Januari 1874, van Swieten memproklamasikan, bahwa kerajaan
aceh sudah ditaklukkan dan pemerintah Hindia Belanda telah
menggantikan kedudukan Sultan dan menempatkan daerah Aceh
Besar menjadi milik pemerintah Hindia Belanda. Belanda
mengusahakan agar daerah-daerah di luar Aceh Besar mengakui
kedaulatannya. Jika hal ini tidak dapat dengan jalan damai, maka
akan ditempuh jalan kekerasan. Van Swieten kembali ke Betawi
pada 16 April 1874 dengan meninggalkan korban 28 opsir dan
1.024 bawahan tewas serta 52 opsir dan 1.181 bawahan
diungsikan.
Belanda menyangka bahwa dengan menduduki dalam dan
sebagian kecil daerah Aceh Besar serta dengan secarik kertas pro-
klamasi sudah cukup untuk membuat Negeri Aceh yang
selebihnya bertekuk lutut. Akan tetapi apa yang terjadi adalah
sama sekali di luar dugaan mereka, karena justru perlawanan
rakyat terus saja berlangsung.
Meskipun Raja Teunom yang karena banyak rakyatnya yang
mati syahid atau mendapat luka-luka, kembali ke tempatnya di
Aceh Barat dan Raja Pante Raja dari Pidie kembali ke daerahnya
bersama kurang lebih 500 pasukannya, semangat para pejuang
Aceh lainnya sama sekali tidak pernah menurun. Kebencian
kepada Belanda yang mereka anggap "kafir" bertambah meng-
gelora. Para pemimpin Aceh yang terpaksa menarik diri dari kota

35
Banda Aceh, terus menyusun kembali kekuatan. Kepada para
pemimpin dan rakyat diserukan agar memobilisasikan kekuatan
menghadapi Belanda. Salah satu seruan bertanggal 18 April 1874
yang dikirimkan oleh Bangta Muda Tuanku Hasyim Bin Tuanku
Kadir, Panglima Polem Sri Muda Perkasa, Sri Imam Muda,
Teuku Panglima Dua Puluh Enam, Sri Setia Ulama, kepala Ra-
ja Geudong di Pasai yang menyatakan bahwa ulama-ulama, haji-
haji dan sekalian muslimin di Aceh Besar telah semufakat untuk
melawan Belanda dengan sekuat tenaga. Antara lain ditegaskan,
' Insya Allah Taa'la tiadalah ubah kepada Allah dan rasul
melawan dengan sekuat-kuat melawan siang dan malam, Hatta
tinggal Negeri Aceh sebesar-besarnya nyira pun melawan juga.'
Panglima Polem juga menyerukan kepada uleebalang-uleebalang
dan anak negerinya di Sagi Mukim XXII untuk mengerahkan
segala daya dan tenaga selama masih ada imannya pada Allah
dan pada Nabi Muhammad guna terus memerangi Belanda.
Meskipun dalam telah berhasil direbut Belanda, keadaan ini
tidaklah berarti seluruh kekuatan rakyat Aceh berhasil ditakluk-
kan Belanda. Dalam boleh direbut Belanda, akan tetapi pusat-
pusat perlawanan rakyat terus dikembangkan di berbagai daerah
lain di luar pusat kekuasaan, dengan demikian perlawanan selan-
jutnya membuka medan-medan baru yang tersebar di hampir
seluruh daerah Aceh.
Luasnya daerah perlawanan yang disertai oleh kuatnya
kepemimpinan dalam mengatur pasukan melawan Belanda yang
ditandai oleh segera terjadinya pergantian pimpinan yang baru
apabila pimpinan yang lama telah melemah, ditambah lagi dengan
ideologi peperangan yang berlandaskan kepada ideologi perang
sabil, kekuatan rakyat Aceh terus bertahan berpuluh-puluh tahun
lamanya. Oleh karena itu pula, tidaklah berlebih-lebihan rasanya
apabila Paul Van't Veer menyatakan bahwa sebenarnya Perang
Belanda di Aceh tidak pernah berakhir sampai masa datangnya
bala tentara Jepang ke Indonesia pada tahun 1942. Daerah Aceh
adalah daerah yang paling akhir berhasil diduduki Belanda di
Indonesia akan tetapi daerah ini pulalah yang pertama-tama
berhasil melepaskan diri dari kekuasaannya.
Dalam perang menghadapi Belanda unsur perang sabil
dipergunakan sebagai basis ideologi dan dijadikan sebagai salah
satu faktor yang menentukan dalam perlawanan terhadap Belan-
da. Ideologi perang sabil yang lahir di kota Banda Aceh sejak
beberapa abad yang lalu dihidupkan kembali melalui Hikayat-
hikayat Perang Sabil pada pertengahan kedua abad XIX, ketika
negeri dilanda serangan "kafir". Peperangan tentu saja dapat di-
jalankan dengan cara apa pun namun bagi para pemimpin agama,
faktor manusia adalah yang terpenting. Karena itulah mereka
berusaha mendidik ummat dengan berbagai cara agar memiliki
motivasi yang padu dalam mengusir Belanda. Maka mereka pun

36
menimba dari kitab suci Al Qur'an nilai dan norma yang akan
dapat menimbulkan kewajiban untuk berperang di jalan Allah.
Upaya mengerahkan rakyat untuk menghadapi musuh itu
pada awalnya dijalankan oleh para pemimpin adat dan diteruskan
dengan lebih intensif oleh para pemimpin agama yang lebih faham
akan isi Al Qur'an dan hadith Nabi. Melalui khotbah dan
Hikayat-hikayat Perang Sabil para pemimpin agama dapat
menunjukkan dengan lebih mantap bahwa jihad adalah perbuatan
mulia dan adil.
Para pemimpin agama lebih dapat menghimbau naluri akan
kehidupan di dunia dan kemerdekaan serta kehidupan yang pal-
ing hakiki, yakni syurga. Tempat abadi ini sangat dekat dan dapat
diperoleh dengan perjuangan dan pengorbanan.
Para ulama berusaha agar ummat dapat dikerahkan untuk
menjadi anggota barisan muslimin yang tinggi dedikasinya, hingga
dalam berperang mereka kebal dari segala macam rasa takut. Para
ulama sadar bahwa tanpa dukungan rakyat tidak mungkin tu-
juan akan tercapai. Jika adilnya tujuan perjuangan dapat terhun-
jam dalam keyakinan rakyat serta tepat pula cara-cara yang
mereka tempuh untuk bertindak, maka barulah hasil dapat
diharapkan bisa terpetik. Tercapailah maksud para ulama untuk
menggalang kekuatan rakyat dalam menghadapi Belanda ber-
dasarkan alasan pembenaran legal dari Al Qur'an. Dalam situasi
ideologis inilah para uleebalang dan pemimpin adat lainnya
dimungkinkan untuk terus memimpin rakyat, meskipun Banda
Aceh telah dikuasai Belanda.
Dari sejak awal perkembangan agama, ekonomi, politik dan
kebudayaan di tanah meutuah ini, Banda Aceh, berlaksa peristiwa
sejarah telah berakhir.
Senafas dengan purna kata ini, izinkanlah saya mengutip
sebuah sanjak buah karya penyakit kita, LK Ara.

BANDA ACEH

yang masih kuingat tentang dirimu


adalah pahatan sejarah di batu
dalam goresan bisu
yang kuraba dengan rindu

Wassalamualaikum W.W.

37
Kota Banda Aceh;
Hari Jadi Dan Perkembangannya
Dari Masa Ke Masa
Oleh: Drs. Muhammad Gade Ismail, MA
Buku yang berjudul 'Banda Aceh: Hari Jadi dan Perkem-
bangannya Dari Masa ke Masa' yang disajikan kepada para pem-
baca ini, sebenarnya merupakan kumpulan dari berbagai paper
yang disajikan pada seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh dan
perkembangannya yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kotamadya Banda Aceh tanggal 26 sampai dengan 29 Maret 1988.
Di samping paper yang dipresentasikan oleh para pemrasaran
ditambah lagi dengan beberapa paper dari para pembanding
utama dan pembanding spontan yang disampaikan secara lisan
maupun tertulis pada waktu acara seminar. Dari sejumlah paper
dan bandingan spontan tersebut, setelah melalui proses editing,
yang dilakukan oleh sebuah tim, akhirnya buku ini dapat disa-
jikan kepada umum.
Sebenarnya usaha untuk menetapkan hari jadi kota Banda
Aceh telah lama sekali terfikirkan, rasanya tidaklah berlebih-
lebihan apabila disebutkan bahwa ide itu telah ada sejak hari-
hari pertama lahirnya Kerisidenan Aceh di awal usia proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Sejak itu kota Banda Aceh merupakan
ibukota pemerintah daerah Aceh, meskipun status daerah ini
beberapa kali mengalami pergantian, sebagai ibukota keresidenan,
menjadi ibukota propinsi Aceh, kemudian kembali menjadi
ibukota keresidenan Aceh yaitu dengan penggabungan daerah ini
ke dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan demikian kota
Banda Aceh sekaligus merangkap dua fungsi, baik sebagai ibukota
Propinsi Daerah Istimewa Aceh maupun sebagai ibukota Daerah
Tingkat II Kotamadya Banda Aceh.
Mengingat kepada latar belakang peranan yang telah di-
mainkan oleh kota Banda Aceh, sejak awal kelahirannya, jauh
sebelum kedatangan para ekspansionis dari Barat, kota ini telah
berdiri di barisan paling depan dari usaha menggerakkan pem-
bangunan baik dalam bidang perdagangan, ekonomi, politik, pen-
didikan, kebudayaan dan dakwah Islamiyah untuk seluruh
kawasan Nusantara dan Dunia Timur lainnya. Rasanya terlalu
naif bagi kita yang hidup pada masa kini melupakan begitu saja
semua kejayaan yang telah pernah dinukilkan oleh kota ini. Yang
tiada kalah pentingnya pula mengapa penetapan hari jadi kota
Banda Aceh beserta dengan riwayat perkembangannya dianggap
penting ditinjau dari berbagai aspek kehidupan ialah didasarkan

38
kepada kenyataan bahwa usaha pengenalan identitas pribadi
sebagai suatu masyarakat yang dalam hal ini menyangkut suatu
komunitas masyarakat suatu kota-kota Banda Aceh amat
diperlukan untuk menumbuhkan motivasi, sumber inspirasi dan
juga sebagai sumber kearifan guna menyusun strategi, pola peren-
canaan dalam melaksanakan pembangunan baik pada masa kini
maupun di masa-masa yang akan datang dengan suatu tujuan
yang murni yaitu menyongsong masa depan yang penuh
keberhasilan dan kemajuan. Usaha penetapan hari jadi dan se-
jarah perkembangannya pula juga untuk memenuhi tuntutan
"mempertanggungjawabkan masa lampau" kita sebagai suatu
generasi ummat yang sadar akan nilai-nilai kesejarahannya dan
sadar pula akan existensinya sebagai ummat yang "menyejarah."

Dilatarbelakangi oleh berbagai alasan yang telah disebutkan


di depan, akhirnya Pemerintah Tingkat II Kotamadya Banda
Aceh dengan didukung penuh oleh berbagai pihak di daerah ini
baik secara pribadi maupun lembaga, berketetapan hati
melaksanakan suatu aktivitas seminar tersebut yang cukup
menguras tenaga, fikiran dan dana. Alhamdulillah, pada akhir-
nya dapatlah dikatakan bahwa seminar itu telah berlangsung
dengan sukses.
Dari sejak permulaan pembentukan panitia pelaksana
seminar ini telah pula difikirkan bahwa alangkah sempurnanya
kegiatan ini apabila setelah berakhirnya seminar tersebut suatu
buku yang dapat mendokumentir seluruh fikiran, harapan dan
saran yang muncul dari arena seminar itu dapat dibukukan.
Dengan demikian dari buku itu orang dapat merunut kembali
bagaimana proses penetapan hari jadi itu berhasil ditentukan di
samping memang tidak dapat dipungkiri bahwa buku ini amat
berguna bagi pengembangan khazanah perpustakaan sejarah
daerah ini mengingat cukup banyak buah pikiran dan hasil peneli-
tian terbaru yang disajikan di dalamnya. Dengan demikian, hasil
penelitian tentang masa lampau sejarah kota Banda Aceh yang
dilakukan oleh para ahli pada masa kini menjadi sumber yang
akan tiada ternilai harganya bagi generasi-generasi penerus di
masa yang akan datang, terutama bila ini dipandang dari segi
penyediaan sebanyak mungkin sumber sejarah, ataupun bila
dipandang dari segi pewarisan dan penghayatan nilai-nilai sejarah.

Seminar yang telah berlangsung tersebut dapat dikatakan


merupakan suatu anjang temu bicara - menyambung rasa - yang
sangat komprehensif dan komperatif oleh karena setiap topik
seminar dibahas dan disajikan oleh berbagai para ahli yang berasal
dari berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian tidaklah dapat
disangkal bahwa hasil penelitian yang dilakukan dengan cara
begini akan memberikan hasil yang lebih memuaskan, jika apabila

39
hanya dibahas oleh seorang ahli atau oleh beberapa ahli tetapi
semuanya berasal dari satu disiplin ilmu yang sama. Bertolak dari
pemikiran tersebut maka adalah suatu hal yang logis apabila se-
jumlah ahli baik dari disiplin Ilmu Sejarah, Archeologi, Filologi
dan lain sebagainya secara bersama-sama urun rembuk, setelah
melalui suatu proses penelitian secara mendalam yang dilakukan
secara masing-masing, mengeluarkan pendapatnya di dalam
seminar tersebut.
Oleh karena seminar tersebut dilangsungkan pada saat per-
ingatan 115 tahun diproklamirkannya perang oleh Pemerintah
Hindia Belanda terhadap Kerajaan Aceh, maka pada bagian awal
buku ini disajikan orasi ilmiah yang disampaikan Prof. Dr. T.
Ibrahim Alfian, MA, Mahaguru Sejarah pada Fakultas Sastra dan
Kebudayaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Orasi ilmiah
tersebut dimaksudkan sebagai salah satu acara peringatan
tersebut, sekaligus merupakan acara pertama pada seminar.
Bagian berikutnya diikuti oleh beberapa tulisan yang khusus mem-
bahas tentang Hari Jadi Kota Banda Aceh. Untuk topik ini
pertama-tama ialah Prof. A. Hasymy dari Majelis Ulama In-
donesia Aceh, paper dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh
(PDIA) dan paper dari Prof. Dr. T. Iskandar dari University
Brunai.

Berkenaan dengan topik 'Banda Aceh sebagai Pusat


Kebudayaan dan Tamaddun' pertama dibahas oleh Prof Dr
Hasan Muarrif Ambary dari Pusat Penelitian Archeologi Nasional
dan Drs. T. Alamsyah, mewakili Kakanwil Depdikbud Daerah
Istimewa Aceh. Terhadap kedua paper ini diberikan tanggapan
atau bandingan oleh Drs. H. Muhammady. MA dari FKIP
Bandung.
Dr. M. Isa Sulaiman dari Universitas Syiah Kuala, menyam-
paikan paper yang membahas tentang aspek perdagangan dari
kota Banda Aceh dengan pembandingnya adalah Prof. Dr. Syam-
suddin Mahmud, Ketua Bappeda Daerah Istimewa Aceh Di sam-
ping itu Drs. Rusdi Sufi, mewakili Masyarakat Sejarawan In-
donesia Cabang Aceh, menampilkan paper yang berjudul Peran
Banda Aceh sebagai pusat perlawanan terhadap Kolonialisme dan
Imperialisme di Kawasan Selat Malaka. Paper ini mendapatkan
bandingan dari Drs. Abidin Hasyim, MSc.
Menyangkut peranan Banda Aceh sebagai pusat dakwah
Islamiah Pemrasaran adalah Drs. Abdurrahman Kaoy dari IAIN
Jamiah Arraniry dengan bandingan dari Dr. Safwan Idris MA
Rektor Universitas Abulyatama Banda Aceh.
Topik yang berkenaan dengan kedudukan Banda Aceh
sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Aceh antara lain
dibicarakan oleh H. Mohd. Said, yang karena berhalangan hadir
disampaikan oleh Drs. Anas Mahmud dari IKIP Medan; Dari
40
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Aceh yang diwakili oleh
Drs. Zakaria Ahmad dan Drs. Muhammad Ibrahim, juga ber-
bicara masalah yang serupa. Ke dalam topik ini juga termasuk
paper yang disajikan oleh Tgk. Lukman Sinar SH dari Medan.
Suatu pembahasan tentang peranan Banda Aceh pada masa
kemerdekaan disampaikan oleh T. Ali Basyah Talsya dengan men-
dapatkan bandingan dari Dr. M. Isa Sulaiman dan Drs. Muham-
mad Ibrahim.
Penyampaian orasi ilmiah oleh Prof. Dr. T. Ibrahim Alfian,
MA sebagai peringatan ke-I 15 dimaklumkannya perang oleh
Pemerintah Hindia Belanda kepada Kerajaan Aceh, T. Ibrahim
Alfian mencoba dengan cara panjang lebar menerangkan latar
belakang hubungan Kerajaan Aceh dengan Pemerintah Hindia
Belanda, jauh ke belakang sampai kepada terjadinya pernyataan
perang tersebut. Untuk mengantarkak kepada struktur situasi 26
Maret 1873, T. Ibrahim Alfian menerangkan jalinan peristiwa
selama 49 tahun sebelumnya untuk sampai kepada ketegangan
struktural pada saat dinyatakan maklumat perang tersebut. Dalam
proses ini juga tidak lupa diterangkan kondisi internasional pada
masa itu terutama menyoroti hubungan antara Inggeris dan Kera-
jaan Belanda yang sama-sama berusaha memperluas daerah
pengaruhnya di Nusantara dan juga pandangan pemerintah Ing-
geris terhadap kedaulatan Aceh yang tercermin dari Traktat
Sumatra 1824 dan perubahannya dalam Traktat London 1871.
Dari pihak Kerajaan Aceh, menghadapi tantangan ini sudah
barang tentu tidak tinggal diam, berbagai usaha ke arah memper-
tahankan diri dari agresor Belanda pun dijalankan, baik dengan
membekali diri dengan alat persenjataan maupun memperoleh
dukungan dunia internasional melalui misi-misi diplomatik.
Ketegangan yang memuncak itu akhirnya menyebabkan
munculnya perang terbuka antara dua kerajaan tersebut, yang
berkepanjangan dan berlarut-larut memakan waktu lebih dari 40
tahun. Suatu hal yang amat berperan dalam membangkitkan
semangat juang para pasukan Aceh, oleh T. Ibrahim Alfian,
diterangkan kepada penggunaan ideologi perang Sabil, yang
memang telah ada sejak masa-masa sebelumnya dalam kalangan
masyarakat Aceh, diaktualisasikan kembali oleh para ulama dan
menjadi senjata ampuh dalam perjuangan itu.
Prof. A. Hasymy, yang menyampaikan makalah utama ten-
tang hari jadi kota Banda Aceh dengan judul 'Sultan Alaidin
Johan Syah pendiri B. Aceh Darussalam', memulai pembahasan-
nya dengan mengutip beberapa ayat Al Qur.an, Surat Al A'raf
ayat 96-100, dengan maksud ingin menunjukkan bahwa kota Ban-
da Aceh, sejak kelahirannya sampai dengan masa sekarang telah
pernah jatuh-bangun oleh karena perbuatan warganya. Adapun
pokok-pokok fikiran yang terpenting dari A. Hasymy mengenai
penetapan hari jadi kota Banda Aceh, dikemukakan bahwa ber-

41
dasarkan hasil penelitiannya terhadap sejumlah naskah-naskah
tua dan catatan safari para pengembara ilmiyah, dapatlah
dikatakan bahwa Johan Syah adalah pembangun kota Banda
Aceh, sebagai ibukota Kerajaan Islam, yang dibangun atas puing-
puing kerajaan Hindu/Budha. Suatu hal yang tampaknya perlu
dicatat, bahwa A. Hasymy dalam mempersiapkan makalah ini,
sumber-sumber yang dipergunakan juga dilengkapi dengan ber-
bagai karya para ilmiah Barat atau asing, meskipun itu adalah
sumber-sumber yang dapat digolongkan ke dalam kelompok
sumber-sumber sekunder.
Paper yang dipersiapkan oleh Pusat Dokumentasi dan In-
formasi Aceh yang membahas tentang penentuan Hari Jadi Kota
Banda Aceh, di samping mempergunakan sumber-sumber tertulis
baik berupa sumber-sumber lokal maupun asing, dilengkapi pula
dengan suatu penelitian lapangan, meskipun masih sangat ber-
sifat pendahuluan, terhadap sejumlah nisan yang terdapat di Kam-
pung Pande Banda Aceh. Temuan-temuan di Kampung Pande
itu telah berhasil membuka cakrawala baru dan juga sekaligus
memerlukan banyak interpretasi kembali terhadap berbagai
ceritera sejarah terutama tentang periode awal Kerajaan Aceh.
Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh berkesimpulan bahwa
pusat Kerajaan Aceh pertama ialah di Kampung Pande Banda
Aceh, di mana polanya berdasarkan kompleks perkampungan,
pasar, mesjid sebagai sentral dan juga terdapatnya istana (dalam)
sebagai pusat pemerintahan.
Paper ketiga yang membicarakan sekitar persoalan hari lahir
kota Banda Aceh dikemukakan oleh Prof. Dr. Iskandar, men-
coba mendekati persoalan ini dengan pendekatan filologis dengan
mendasarkan kepada sejumlah naskah, yang berupa sumber-
sumber lokal yang tersedia.
Untuk menelaah hari jadi kota Banda Aceh, T. Iskandar
mempergunakan tiga manuscript yaitu Adat Atjeh, Bustanus
Salatin dan Hikayat Aceh. Dari hasil perbandingan terhadap
sumber-sumber tersebut, T. Iskandar mengajukan tiga alternatif
bagi dasar yang dapat dipergunakan untuk menetapkan hari jadi
kota Banda Aceh. Pertama, apabila didasarkan kepada Adat
Aceh maka hari jadi itu disesuaikan dengan peristiwa pemindahan
istana (dalam) dari Kandang Aceh ke Darul-Dunia, antara 4
Sya'ban 665 H (12 Mei 1265) dan 12 Rabiulawal 708 H (30 agustus
1308). Alternatif kedua yaitu berdasarkan pemerintahan Sultan
Ali Mughayat Syah. Menurut T. Iskandar, pendapat kedua ini
kurang dapat dipertahankan berhubung Ali Mughayat Syah
bukanlah raja yang pertama di Aceh.
Pendapat kedua ini didasarkan kepada Bustanus Salatin.
Alternatif ketiga yaitu peristiwa penyatuan Mahkota Alam dan
Darul Kamal menjadi Aceh Darussalam dengan ibukota baru
yaitu Bandar Aceh Darussalam, yang dengan mendasarkan

42
kepada pendapat Husein Djajadiningrat terjadi pada tahun 1497.

T. iskandar dalam telaahan itu belum berani mengusulkan


secara pasti mana di antara ketiga alternatif itu yang dianggap-
nya paling tepat untuk dipergunakan sebagai dasar penetapan hari
jadi kota Banda Aceh. Sudah barang tentu keadaan itu didasarkan
kepada berbagai pertimbangan tersendiri.
Apabila ketiga paper yang membicarakan tentang Hari Jadi
Kota Banda Aceh kita perbandingkan maka tampaklah bahwa
A. Hasymy sangat menekankan bahwa hari jadi kota ini adalah
tanggal 1 Ramadhan 601 H. berdasarkan kepada mulainya
pemerintahan Sultan Johan Syah.
Pendapat A. Hasymy mendapat dukungan sepenuhnya dari
paper yang berasal dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh
(PDIA) dan sekaligus juga didukung oleh alternatif pertama yang
diajukan T. Iskandar, meskipun secara mendetail masih ada
beberapa peninjauan misalnya tentang tanggal yang tepat dalam
hitungan tahun Masehi.
Banda Aceh sebagai pusat kebudayaan dan Tamaddun yang
dibahas oleh Prof. Dr. Hasan Muarrif Ambary, dimulai dengan
membicarakan konsep 'kebudayaan' dan 'tamaddun' secara
teoritis. Setelah itu pembahasannya dimulai dengan mem-
bicarakan Banda Aceh sebagai pusat kerajaan Aceh dan
kedudukannya dalam jajaran kota-kota perdagangan lain di
Nusantara yang didasarkan kepada berbagai catatan yang dibuat
orang-orang Barat.
Pembicaraan berikutnya yaitu tentang lambang-lambang
sebagai legitimasi kekuasaan raja, dan diikuti pula oleh perkem-
bangan agama dan kesusasteraan di dalam Kerajaan Aceh, serta
perkembangan karya seni bangun Aceh di luar Kerajaan Aceh.
Hasan Muarrif Ambary berpendapat bahwa perkembangan
perdagangan yang cukup baik, memungkinkan kerajaan Aceh
mengembangkan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban.
Hal ini sangat didukung pula oleh sikap masyarakat Aceh yang
sangat terbuka bagi perkembamgan ilmu pengetahuan,
kebudayaan dan peradaban' baru.
Untuk topik yang sama seperti yang dibahas oleh Hasan
Muarrif Ambary, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh, yang diwakili oleh Drs. T.
Alamsyah juga mengetengahkan sebuah paper yang bertitik tolak
pembahasannya berorientasi pada masa kejayaan Kerajaan Aceh
sekitar abad ke-16 dan ke-17.
Mengapa pembahasan difokuskan kepada periode ini tidak
lain dikarenakan menurut T. Alamsyah, pada masa-masa tersebut
Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan betul-betul merupakan
pusat perkembangan kebudayaan, tamaddun dan juga pusat

43
perkembangan ilmu pengetahuan agama, seni, arsitektur, hukum
dan ketatanegaraan, bahasa dan kesusasteraan, perdagangan,
militer dan tehnologi. Perkembangan kebudayaan dan tamaddun
di Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Aceh juga
membawa pengaruh yang luas ke luar Kerajaan Aceh.
Dr. M. Isa Sulaiman dengan makalahnya yang berjudul 'Ban-
da Aceh dalam Siklus Perdagangan Internasional; Suatu Tinjauan
Historis' membicarakan tentang perkembangan kota Banda Aceh
sebagai salah satu pusat perdagangan di Asia Tenggara, dalam
periode waktu yang cukup panjang antara 1.500 sampai dengan
periode setelah kemerdekaan. Rentangan waktu yang panjang ini
dibagi atas beberapa fase, yaitu periode 1500 - 1876, 1876 - 1945
dan periode setelah kemerdekaan.
Dalam periode pertama, kedudukan Banda Aceh dalam
kegiatan perdagangan internasional di kawasan Barat Nusantara,
menunjukkan pertautan yang erat antara kegiatan perdagangan
itu sendiri dengan kegiatan politik. Kejayaan kota ini sebagai kota
perdagangan hendaklah dilihat dalam konteks kemampuan sultan
menjadikan kota Banda Aceh sebagai pusat kekuasaan pada
waktu itu, terutama pada perubahan pertama abad ke-17. Dalam
periode kedua, yaitu masa pemerintahan Belanda, fungsi Banda
Aceh sebagai salah satu pusat perdagangan mengalami kemun-
duran disebabkan oleh munculnya pusat-pusat baru seperti
Singapura dan Penang dan juga pelabuhan-pelabuhan dagang
lainnya yang muncul di pantai barat dan utara Aceh yang
dibangun oleh penguasa kolonial dengan fasilitas infrastruktur
modern. Periode ketiga, yaitu masa setelah kemerdekaan dibagi
atas dua periode yaitu sebelum tahun 1963 dan periode
sesudahnya. Pada periode pertama bagian ini, kota Banda Aceh
meneruskan tradisi dari masa kolonial dengan sedikit perubahan,
terutama apabila dilihat kepada para pelaku dalam bidang per-
dagangan. Para pedagang bumiputera atau badan-badan dagang
pemerintah menggantikan posisi perusahaan-perusahaan per-
dagangan milik orang Belanda atau Eropah lainnya. Setelah tahun
1963, dengan pembukaan Sabang sebagai pelabuhan bebas
mempengaruhi arus perdagangan di Banda Aceh. Kota ini men-
jadi pintu gerbang pelemparan barang-barang dari pelabuhan
bebas Sabang. Keadaan ini juga tidak dapat dilepaskan dari
kerangka pertautan politik dengan dunia dagang.
Drs. Rusdi Sufi yang mewakili Masyarakat Sejarawan In-
donesia Daerah Istimewa Aceh, mencoba menerangkan peranan
kota Banda Aceh sebagai pusat perlawanan terhadap kolonialisme
dan imperialisme di kawasan Selat Malaka. Sejak permulaan
terbentuknya Kerajaan Aceh dengan ibukotanya Bandar Aceh
Darussalam, pada awal abad ke-16, kerajaan ini terus dihadapkan
kepada ancaman yang datangnya dari bangsa Barat, pertama-
tama yaitu Bangsa Portugis yang berhasil menduduki Malaka

44
pada tahun 1511. Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan pada
waktu diharuskan untuk memberikan perlawanan terhadap usaha
Portugis yang ingin menduduki berbagai daerah di Aceh seperti
Pidie, Pasei dan Daya.
Dalam tahap ini kerajaan Aceh berjaya dalam mengusir
pasukan Portugis. Jika pada pergantian desenia pertama abad
ke-16, Kerajaan Aceh berusaha menolak kedatangan Portugis di
bumi Aceh dan itu berhasil dengan baik, memasuki desenia kelima
justeru Aceh berusaha mengusir Portugis dari sarangnya di
Malaka dan terus berlanjut sampai dengan desenia ketiga abad
ke-17. Meskipun berbagai usaha itu tidak membuahkan hasil yang
nyata, tetapi sekurang-kurangnya Kerajaan Aceh adalah salah
satu kekuatan yang selalu perlu diperhitungkan dan juga memiliki
sifat yang sangat anti kepada agresor Barat di kawasan Asia Teng-
gara.
Sejak tahun 1873, Kerajaan Aceh kembali menghadapi
serangan dari kolonialisme Belanda. Sejak awal peperangan
masyarakat di daerah ini telah memberikan perlawanan yang
sengit. Meskipun kemudian Belanda berhasil menduduki Dalam
Kerajaan Aceh dan setapak demi setapak memperluas daerah pen-
dudukannya, rakyat Aceh secara kontinyu dari sejak awal
peperangan sampai dengan Belanda angkat kaki dari Aceh pada
tahun 1942, secara terus-menerus memberikan perlawanan
terhadap penjajah Belanda. Dengan demikian tidaklah berlebih-
lebihan apabila disebutkan bahwa kota Banda Aceh dalam per-
jalanan sejarahnya selalu berperan sebagai pusat pertahanan
dalam melawan kolonialisme dan imperialisme baik di daerah
Aceh sendiri maupun untuk tingkat kawasan Asia Tenggara.
Drs. Abdurrahman Kaoy, mewakili IAIN Jamiah Arraniry,
Banda Aceh mengemukakan tulisannya tentang Banda Aceh
sebagai pusat dakwah Islamiyah. Point pertama yang dibicarakan
Abdurrahman Kaoy adalah kegemilangan masa dakwah Islamiyah
di Banda Aceh yang berlangsung sekitar abad ke-16 dan ke-17.
Pada masa ini Kerajaan Aceh merupakan salah satu dari lima
kerajaan Islam di dunia yang besar, yang berhasil menjadikan
kota ini sebagai pusat aktivitas dakwah Islamiyah dan mencetak
kader-kader ulama, muballig dan juru dakwah terkenal. Keadaan
seperti ini sangat ditunjang oleh adanya berbagai lembaga negara
yang mengayomi bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, di
samping juga terdapatnya berbagai lembaga pendidikan yang
sesuai dengan struktur pemerintahan. Pembangunan ummat
dimungkinkan pula oleh karena terdapat kerjasama yang baik an-
tara para penguasa dan kelompok ulama. Masuknya kekuasaan
Belanda pada penghujung berakhirnya abad ke- 19, menyebabkan
pudar pulalah dakwah Islamiyah yang semula berpusat di Banda
Aceh. Berpijak dari pengalaman masa lalu Abdurrahman Kaoy
mengingatkan perlunya dibentuk organisasi dan sistim

45
pengelolaan dakwah yang baik di masa-masa yang akan datang.
Memasuki topik yang membicarakan tentang Banda Aceh
sebagai pusat pemerintahan, pembahasan dilakukan dalam tiga
paper. Pertama-tama adalah dari Masyarakat Sejarawan In-
donesia, Cabang Aceh yang diwakili oleh Drs. Zakaria Ahmad
dan Drs. Muhammad Ibrahim. Tampaknya pembawa makalah
ini, sebagian besar bagian pertama tulisannya tetap masih mem-
fokuskan diri kepada pembahasan yang sangat vital dari seminar
itu ialah .soal penetapan hari jadi kota Banda Aceh.
Pada bagian pertama tulisan itu pembicaraan lebih banyak
diarahkan kepada perkembangan berbagai kerajaan atau
penguasa yang diperkirakan pernah muncul dalam sejarah Aceh
terdahulu, misalnya dengan membicarakan tentang kerajaan Poli,
Lamuri dan sebagainya. Pada bagian berikutnya diterangkan ten-
tang perkembangan kerajaan Aceh yang mulai bertambah kuat
dan bersatu sejak dimulainya pemerintahan Ali Mughayat Syah
sejak tahun 1520 dan terus berlanjut dengan masa kejayaan di
bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada periode ini juga
penulisnya memberikan gambaran tentang luas dan isi dari kota
Banda Aceh. Selain itu juga diterangkan tentang susunan pemerin-
tahan berdasarkan hirarchi kekuasaan politik. Bagian akhir dari
pembahasan ini diberikan suatu diskripsi tentang struktur
pemerintahan Kerajaan Aceh dari tingkat pemerintah pusat sam-
pai dengan tingkat yang terendah. Mengenai susunan pemerin-
tahan pada masa Sultan Iskandar Muda juga tidak lupa
diterangkan, meskipun sumbernya didasarkan kepada sebuah
manuskrip yang belum diteliti benar oleh para ahli. Meskipun
demikian dengan gambaran itu sedikit banyaknya telah dapat
memberikan gambaran yang agak jelas tentang susunan pemerin-
tahan dan lembaga-lembaga pemerintahan yang ada di kerajaan
Aceh.
Drs. Anas Machmud yang mewakili H. Mohd. Said
menurunkan tulisan yang sebenarnya adalah pokok-pokok pikiran
dari H. Mohd. Said yang telah terlebih dahulu disarikan. Pokok-
pokok fikiran itu antara lain, pertama-pertama perlu diperhatikan
kriteria yang layak dan 'aman' dipakai untuk menetapkan hari
jadi sesuatu kota. Kelahiran sesuatu kota, sebagai pokok fikiran
kedua, perlu dilihat dalam hubungan sesuatu kota dengan para
pedagang asing dan juga kepada peninggalan makam-makam raja
menunjukkan bahwa Sultan Johansyah telah memerintah Kera-
jaan Aceh sebagai penguasa Islam pada 601-631 H. Point berikut-
nya disebutkan bahwa perlu diberikan perhatian yang sungguh-
sungguh terhadap berbagai sumber sejarah baik yang berasal dari
dalam maupun dari luar negeri. Kesadaran sejarah, sebagai point
kelima, perlu terus dibina sebagai modal dasar bagi pembangunan
bangsa di masa yang akan datang. Point keenam disebutkan
bahwa orang sering salah mengartikan pemerintahan sultan-sultan

46
di Kerajaan Aceh yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Islam.
Kesalahan dalam mengartikan ini juga sering dihubungkan dengan
usaha unifikasi kekuatan yang dilakukan Kerajaan Aceh di
wilayah Perairan Malaka dan Pantai Barat Sumatera, ini
merupakan pokok fikiran yang ketujuh. Point kedelapan
menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh mencapai masa kegemilangan
pada waktu Sultan Iskandar Muda memegang kendali pemerin-
tahan. Point kesembilan menyatakan bahwa sebenarnya sejarah
Kesultanan Aceh tidak dapat dipisahkan dari konteks kejuangan
sepanjang masa sejarahnya.
Tengku Luckman Sinar, SH dalam tulisannya pada bagian
awal masih mencoba melihat perkembangan kekuasaan politik
di Aceh dari masa-masa Kerajaan Lamuri Purba dan sesudah itu
baru membicarakan tentang kontinuitas dan legitimasi yang
berlangsung di Kerajaan Aceh. Selanjutnya Tengku Luckman
Sinar, memfokuskan pembicaraannya kepada soal lahirnya Aceh
Darussalam. Dalam pembicaraan ini tokoh Sultan Ali Mughayat-
syah menduduki posisi yang sentral karena ia bertindak sebagai
unificator sejarah Nusantara.
Suatu soal yang amat penting yang ditampilkan Tengku
Luckman Sinar dalam tulisannya yang juga amat berkaitan erat
dengan soal kapan sesuatu kota sebagai pusat pemerintahan lahir
ialah pembicaraannya tentang konsepsi "kedaulatan". Ia
mengemukakan bahwa di "Dunia Melayu" "daulat" suatu kera-
jaan ada pada diri pribadi raja dan dengan demikian masalah
teritorial dapat diabaikan, karena pusat kedudukan raja adalah
kosmos centrum dan ini mendahului semua kegiatan lain. Tgk.
Luckman Sinar memberikan dua alternatif penentuan Hari Jadi
Kota Banda Aceh, pertama 1 Ramadhan 601 H, seperti pendapat
A. Hasymy dan Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh dan
secara umum juga sesuai dengan alternatif pertama dari T. Iskan-
dar. Alternatif kedua yang diajukan ialah masa pemerintahan
Sultan Ali Mughayatsyah yang bertindak sebagai unifikator, dan
penulis ini lebih cenderung kepada alternatif kedua.
Perang Banda Aceh pada masa kemerdekaan dibahas oleh
T.A. Talsya, yang membuka pembahasannya sekitar penggan-
tian nama Kutaraja kembali menjadi Banda Aceh pada acara
penutupan musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh di Banda Aceh
pada tanggal 21 Desember 1962. Selanjutnya diterangkan peranan
Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan sipil dan militer, per-
dagangan, politik dan sosial, yang telah dimainkan oleh kota ini
sejak zaman Kesultanan Aceh sampai dengan berakhirnya kekua-
saan Jepang pada tahun 1942.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Banda Aceh tidak semata-
mata menjadi ibukota Daerah Aceh, tetapi juga pernah menjadi
ibukota Propinsi Sumatera Utara dan bahkan ditetapkan oleh

47
Pemerintah Pusat sebagai tempat kedudukan resmi Wakil Per-
dana Menteri Republik Indonesia mulai tanggal 4 Agustus 1949.
Penyebaran informasi kemerdekaan dan pusat penggalangan
kekuatan yang dibutuhkan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Pada waktu kebanyakan daerah-daerah lain diduduki Sekutu dan
kemudian pasukan Belanda. Banda Aceh menjadi pusat pengatur
perlawanan terhadap pasukan penjajah yang datang kembali ke
Indonesia, terutama dengan pembentukan daerah gubernur militer
Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Pada waktu pemerintah Pusat
Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta ditawan
musuh, sekali lagi Banda Aceh berperan besar dalam membantu
pemerintah pusat. Dari kota inilah semua kebijaksanaan untuk
itu dirumuskan dan juga dijalankan.
Setelah membicarakan garis besar isi tulisan dari berbagai
pemrasaran yang disampaikan dalam seminar, maka sudah sepan-
tasnyalah di sini diaturkan ribuan terima kasih atas kesediaan para
penulis makalah yang disampaikan dalam semiar dan juga atas
kesediaannya memperbaiki kembali makalah itu untuk diterbitkan
dalam sebuah buku yang sekarang ini disajikan kepada para
pembaca.
Rasanya tidaklah berlebihan apabila sebagai penutup pengan-
tar ini kembali dikutip sebagian kecil dari pidato penutupan
Walikotamadya Banda Aceh Drs. Baharuddin Yahya, pada waktu
penutupan seminar, "Kita sadar bahwa semua pihak telah bekerja
extra keras dalam melakukan penelitian dan menyajikannya
dalam seminar ini, itu adalah usaha maximal yang dapat
dilakukan oleh generasi masa kini, dengan itu pula berarti generasi
masa kini telahpun "mempertanggungjawabkan masa lam-
paunya". Kita tidak perlu takut dikritik atau generasi yang akan
datang kembali menulis sejarahnya, karena pada hakekatnya
setiap generasi memang dituntut untuk menulis sejarahnya sen-
diri dan memang benar pula bahwa sejarah yang benar adalah
sejarah pada masa kini, artinya sejarah yang ditulis sesuai dengan
tuntutan dan persoalan yang dihadapi pada masa kini.

Jakarta, 22 April 1988

Muhammad Gade Ismail

4S
Sulthan Alaîdîn Johan Syah
Pendiri Banda Aceh Darussalam
Oleh PROF. A.HASJMY
KETUA UMUM MUI DAERAH ISTIMEWA ACEH

JATUH BANGUNNYA BANDA ACEH


Banda Aceh Darussalam sebagai Ibukota Kerajaan Aceh
Darussalam, yang sekarang menjadi Ibukota Daerah Istimewa
Aceh, telah berusia hampir 1000 tahun, satu atau salah satu Kota
Islam tertua di Asia Tenggara.
Sebagai Ibukota dari sebuah Kerajaan Islam yang pertama
di Rantau Asia Tenggara, Banda Aceh Darussalam dalam per-
jalanan sejarahnya telah pernah mengalami zaman gemilang dan
telah pernah pula menderita masa suram yang menggetirkan.
Masa-masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah Pemerin-
tahan Sulthan Alaiddin Ali Mughaiyat Syah, Sulthan Alaidin Ab-
dul Kahhar (Al Kahhar), Sulthan Alaiddin Iskandar Muda
Meukuta Alam dan Sulthanah Tajul Alam Safiatuddin, adalah
masa masa ZAMAN GEMILANG-nya Banda Aceh Darussalam.
Banda Aceh Darussalam mengalami percobaan berat, pada
masa Pemerintahan Ratu, yaitu ketika golongan oposisi yang
terkenal dengan "Kaum Wujudiyah" menjadi kalap karena
usahanya untuk merebut kekuasaan gagal, hatta kekalapannya
itu mendorong mereka untuk bertindak liar, yaitu membakar Kuta
Dalam Darud Dunia, Mesjid Jami' Baiturrahman dan bangunan-
bangunan lain dalam wilayah kota.
Sekali lagi Banda Aceh Darussalam menderita penghancuran
yang getir, pada waktu pecah "Perang Saudara" antara Sulthan
yang berkuasa dan adik-adiknya; peristiwa tragis yang dilukiskan
Teungku Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut
Muhammad.
Masa yang amat getir dalam sejarah Banda Aceh
Darussalam, ialah waktu terjadi Perang di Jalan Allah selama
hampir 70 tahun, yang dilakukan oleh Sulthan dan Rakyat Aceh
sebagai jawaban terhadap "ultimatum" Kerajaan Belanda yang
bertanggal 26 Maret 1873.
Yang lebih perih lagi, yaitu setelah Banda Aceh Darussalam
menjadi puing, dan di atas puing Kota Islam yang tertua di Nusan-
tara, Belanda mendirikan KOTA RAJA, sebagai langkah awal
dari usaha penghapusan dan penghancuran kegemilangan Kera-
jaan Aceh Darussalam dan Ibukotanya Banda Aceh Darussalam.
Banda Aceh Darussalam hancur seluruhnya, sebagai akibat
suatu peperangan yang terhebat dan terlama dalam sejarah
kolonialisme Belanda di Indonesia. Tidak ada satu bangunan pun
yang tinggal, karena Mesjid Raya Baiturrahman, Kuta Dalam

49
Darud Dunia, gedung-gedung pemerintahan, toko-toko di wilayah
perdagangan dan rumah-rumah rakyat merupakan "benteng"
yang dipertahankan dengan gagah berani, hatta menjadi puing
yang berserakan di atas bumi yang memerah karena disirami
darah para Syuhada.
Yang masih sisa dari penghancuran total itu, ialah Kandang-
Kandang (Makbarah) para Sulthan dan keluarganya dan Makam-
Makam para Ulama Besar. Bangunan-bangunan yang bernilai seni
tinggi itulah, yang menjadi SAKSI bisu sepanjang zaman, tetapi
sanggup menceritakan MASA LAMPAU ACEH yang megah dan
ZAMAN GEMILANG-nya Banda Aceh Darussalam.
Jatuh bangunnya Banda Aceh Darussalam sepanjang se-
jarahnya, adalah sesuai dengan Sunnatullah, yang dapat kita baca
dalam ayat-ayat 96-100 Surah Al A'raf, yang terjemahan maksud-
nya sebagai berikut:
Bismillahir Rahmanir Rahim.
— Sekiranya warga desa dan kota,
Sedia beriman dan bertakwa,
Akan Kami kurniakan kepada mereka
Barakah dari bumi dan dari langit.
Tetapi sayang mereka mendustakan Kami,
Hatta mereka Kami binasakan,
Hasil usahanya sendiri.
— Apakah warga desa dan kota
Sudah merasa dirinya aman,
Dari kedatangan azab siksaan Kami,
Di waktu malam, ketika mereka sedang tidur ?
— Apakah warga desa dan kota
Sudah merasa dirinya aman,
Dari kedatangan azab siksaan Kami,
Di pagi hari, ketika mereka sedang bermain ?
— Apakah mereka sudah merasa aman
Dari sasaran makar Allah,
Tidak, tidak ada yang merasa demikian,
Kecuali orang-orang yang merugi
— Apakah peristiwa peristiwa itu
Tidak diketahui oleh orang-orang
Yang mewarisi bumi dari mereka
Yang telah mendapat bencana,
Bahwa kalau Kami berkehendak,
Juga akan membinasakan mereka,
Karena dausa-dausa yang diperbuatnya,
Dan hati mereka Kami tutup,
Hatta mereka tidak dapat mendengar lagi ?
(Q.S. Al A'raf 96-100)

50
Banda Aceh Darussalam tidaklah lahir mendadak; tidak
didahului oleh peristiwa-peristiwa lain sebelumnya. Banda Aceh
sebagai Pusat Kegiatan Politik, Ekonomi, militer, Ilmu
Pengetahuan dan Sosial Budaya di belahan timur dunia, sebelum
ia lahir keadaan lingkungan di ujung utara Pulau Sumatra ini telah
menjadi matang untuk kelahirannya.
Sebagai Ibukota sebuah Kerajaan Islam, Tamaddun Islam
yang telah berkembang dalam Kerajaan Islam Perlak dan Kera-
jaan Islam Samudra/Pasai yang mendahuluinya, turut memben-
tuk wajah Banda Aceh yang lahir kemudian.
Menurut catatan-catatan yang dapat kita temui dalam
beberapa sumber dalam dan luar negeri, bahwa Islam telah masuk
ke ujung utara Sumatera (Aceh) pada abad pertama Hijriyah,
yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab/Persia. (Antara lain
baca Amir Syakib Arsalan : Hadlir Al Alam Al Islamy jilid I,
Dr.N.A.Baloch: Advent Of Islam In Indonesia, Mohammad Said:
Aceh Sepanjang Abad, Yunus Jamil : Tawarikh Raja-Raja Kera-
jaan Aceh, A.Hasjmy: Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
di Indonesia dan lain-lain).
Dalam abad ke IX Miladi atau awal abad ketiga Hijriyah,
telah berdiri Kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara, yaitu
Kerajaan Islam Perlak, dengan Ibukota Negara Bandar Khalifah,
pada masa mana, daerah-daerah sekelilingnya masih menganut
agama Hindu/Budha, seperti yang dapat kita baca dalam
beberapa sumber dalam dan luar negeri. (Antaranya, Amir Syakib
Arsalan: Hadlir Al Alam Al Islamy Jilid I, Dairat Al Ma'arif Al
Islamyah - - Ensiklopedia Islam - Jilid I, Dr.N.A. Baloch: Ad-
vent Of Islam In Indonesia, Mohammad Said: Aceh Sepanjang
Abad, M.Yunus Jamil: Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh,
A.Hasjmy: Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam di In-
donesia dan bunga Rampai Tentang Aceh).
Kerajaan Islam Samudra/Pasai betul-betul telah mencapai
kemajuan yang amat tinggi, menurut ukuran zamannya; ia mem-
punyai pemerintahan yang stabil, mempunyai angkatan perang
yang kuat, mempunyai lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang
cukup, mempunyai armada dagang yang melayari berbagai pen-
juru samudra, mempunyai hubungan luar negeri/diplomasi
dengan sejumlah negara. Hal ini diakui oleh para ahli sejarah
dalam dan luar negeri. Kemajuan-kemajuan ini kemudian
diwariskan kepada Kerajaan Aceh Darussalam, terutama kepada
Ibukotanya, Banda Aceh Darussalam. (Antaranya baca: Amir
Syakib Arsalan: Hadlir Al-Alam Al Islamy, Ibnu Batutah: Rihlah,
Dairat Al Ma'arif Al Islamyah - Ensiklopedia Islam - Jilid I,
Dr.N.A.Baloch: Advent Of Islam In Indonesia, M.Yunus Jamil
Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh, Mohammad Said: Aceh
Sepanjang Abad, Prof. Dr.Ismail Suny, SH, M.C.L : Bunga
Rampai Tentang Aceh, A.Hasjmy: Sejarah Masuk Dan Berkem-
bangnya Islam Di Indonesia, Rosihan Anwar: Waspada tanggal
11 Maret 1988).
HARI LAHIRNYA BANDA ACEH
Ada kesepakatan sejumlah naskah tua dan catatan-catatan
safari para pengembara ilmiyah, bahwa JOHAN SYAH adalah
pembangun kota Banda Aceh Darussalam, sebagai Ibukota Kera-
jaan Islam, yang dibangunnya di atas puing-puing Kerajaan-
Kerajaan Hindu/Budha, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan
Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura.
Menurut Dr.N.A Baloch (Advent Of Islam In Indonesia)
sebelum berdiri Kerajaan Aceh Darussalam, pada awal abad III
H, telah berdiri di bagian timur Aceh Kerajaan Islam Perlak
(Purlak). Menurutnya, barulah antara abad V-IX H, berdiri
Masyarakat Islam (Islamic States) di wilayah Sumatra paling
utara, yang oleh Baloch dinamakan "Achen Head (Kepala Aceh
atau Aceh Besar). Berdasarkan Alberuni dalam bukunya, Al
Qanun Al Mas'udi, Baloch mengatakan bahwa Kerajaan Lamuri
(Rumbli/Lumbli) di ujung utara Sumatera berdiri dalam satu
zaman dengan Kerajaan Sriwijaya di ujung selatan Sumatera. (Ad-
vent Of Islam In Indonesia him 25). Berdasarkan keterangan
tersebut,kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Kerajaan
Lamuri adalah Kerajaan Hindu/Budha. Jadi, Kerajaan Aceh
Darussalam yang berdiri dalam tahun 601 H, adalah untuk meng-
gantikan Kerajaan Lamuri.
Tentang Kota Lamuri (Rumbli/Lumbli) ada yang menga
takan ia adalah "Lam Urik" sekarang yang terletak di Aceh
Besar. Menurut Dr.N.A Baloch dan Dr.Lance Castle, bahwa yang
dimaksud dengan "Lamuri" ialah "Lamreh" di Pelabuhan
Malahayati/Krungraya sekarang. Pendapat ini lebih mendekati
kebenaran, karena De Hikajat Atjeh memberi petunjuk dengan
tulisannya: ....dari pada Peringgi di Teluk Lamri....(Dr.Teuku
Iskandar: De Hikajat Atjeh him 73). Kalau disebut "Teluk
Lamri", tentu di pinggir laut, sebab tidak mungkin "teluk" di
pedalaman.
Dalam bukunya, Prof.Dr.Raden Hoesein Djajadiningrat,
menulis bahwa pendiri Kerajaan Aceh ialah Sultan Djohan dalam
pertengahan kedua tahun 601 H. (1205 M), dan beliau tinggal di
Kandang Atjeh (Kampung Pande). Kesultanan Aceh him 9).
Menurut surat kabar Djawaib yang terbit di Turki, bahwa Ghazi
Djohan Syah menaklukkan Aceh dan mendirikan Kerajaan Islam
di sana pada tanggal 19 Januari 1215 M. (Kesultanan Aceh him
13). Ini berarti tahun hijrahnya 611. Menurut saya, bahwa lebih
betul catatan yang menyebut tahun 601 H. (1205 M.), karena
dikuatkan oleh beberapa catatan lain.
Mengenai penaklukan Kerajaan Lamuri sebelum Johan Syah

52
mendirikan Kerajaan Aceh Bandar Darussalam, dalam Daerah
Al Ma'arif Al Islamiyah (Ensiklopedia Islam) jilid I him 71, an-
tara lain termaktub (terjemahan maksudnya): "sebelum Ra-
ja ini (maksudnya Johan Syah) mendirikan Kerajaan Aceh Ban-
dar Darussalam, terlebih dahulu ditaklukan Kerajaan Lamuri dan
kerajaan-kerajaan kecil lain sekitarnya " Dari catatan ini
dapat kita pahami, bahwa "Kerajaan Lamuri" bukanlah Kera-
jaan Islam, karena kalau ia Kerajaan Islam tidak disebut
ditaklukan oleh Johan Syah.
Tentang Johan Syah sebagai pendiri Kerajaan Aceh Bandar
Darussalam, dalam Majallah Al Araby terbitan Januari 1897 yang
terbit di Kuweit, antara lain termaktub: (terjemahan maksudnya)
:...."tempat yang mula-mula masuk Islam, ialah ujung Sumatera
Bahagian Utara dalam tahun 55 M. (273 M) pada masa Khulafaur
Rasyidin; Kerajaan Islam yang mula-mula berdiri di Indonesia,
bahkan di Asia Tenggara, ialah Kerajaan Islam Perlak dalam
tahun 225 H. (840 M.) di ujung paling utara Sumatera dan Ra-
janya yang pertama Sulthan Alaiddin Syaiyid Maulana Abdul
Aziz Syah; setelah itu« berdirilah Kerajaan Aceh Bandar
Darussalam yang berasaskan Islam, dalam tahun 601 H (1205 M.)
kerajaan ini erat sekali hubungannya dengan Negara-negara Arab
dan dilaksanakan sepenuhnya hukum hukum Syari'at Islam dan
rajanya yang pertama ialah Sulthan Johan Syah yang datang ke
pantai-pantai Aceh untuk mendakwahkan Islam, hatta sebahagian
besar penduduknya memeluk Agama Islam. Johan Syah mem-
peristerikan seorang Puteri bangsawan negeri itu (mungkin yang
dimaksud, ialah Puteri Indera Kesuma, Puteri Mahkota dari
Maharaja Indra Sakti, Raja Kerajaan Indra Purba. AH). Ia
bergelar Seri Paduka Sulthan, dan Aceh dilakabkan dengan
Serambi Mekkah...." (lihat lampiran).
Mengenai dengan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam da-
lam kitab naskah tua tulisan tangan yang berjudul ADAT
ATJEH yang diulas oleh Prof. Dr.Drewers, antara lain termaktub
(salinan ke huruf Rumi/Laten)..." pada hijrah Nabi SAW enam
ratus setahun (601 H.) pada sehari bulan Ramadlan hari Jum'at
(tanggal 1 Ramadlan 601 hari Jum'at) setelah Shalat (Jum'at),
Sulthan Johan Syah datang dari "Atas Angin", yang meng-
islamkan Negeri Aceh Darussalam, yang beristerikan "Anak
Baludari", duduk di Kandang Aceh; beranak seorang lelaki dina-
mainya Sulthan Ahmad dan adalah umur anak baginda itu kira-
kira tiga puluh dua tahun; maka bagindapun mati pada sanah
enam ratus tiga puluh H.; memindah dari KANDANG ACEH...
Kuta Dalam yang bernama Darud Dunia " (Lihat lampiran).
Yang dimaksud dengan "BALUDARI" ialah Puteri Indera
Kesuma, Puteri Mahkota Maharaja Indera Sakti. Dari catatan
ini, menjadi jelas tanggal, yaitu tanggal 1 Ramadlan 601 H. dan
tahun Miladi setelah dicocokkan diketahui yaitu 22 April 1205 M.

53
M. Yunus Jamil dalam risalahnya yang berjudul : Tawarikh
Raja-Raja Kerajaan Aceh, antara lain menulis: " 25 tahun
kemudian setelah Maharaja Indra Sakti meninggal, pada Jum'at
sehari bulan Ramadlan tahun 601 H. (4 Mei 1205 M)., Ummat
Indra Purba/Indra Purwa mendirikan Pemerintahan Islam/Kera-
jaan Islam yang dinamai: "Kerajaan Darussalam". Raja yang
pertama terpilih Meurah Johan dengan gelar Sulthan Alaiddin
Johan Syah. Bandarnya dibuat di Sungai Kuala Naga (Kuala Aceh
sekarang) yang dinamai Bandar Darussalam..." Kemudian Kera-
jaan Darussalam menjadi KERAJAAN ACEH DARUSSALAM.
Bandar Darussalam menjadi BANDA ACEH DARUSSALAM
dan sungai Kuala Naga menjadi sungai KRUNG ACEH.
Tentang perkawinan Johan Syah dengan "Baludari" atau
Puteri Indra Kesuma, antara lain Yunus Jamil dalam risalahnya
itu menulis : "....Maharaja Indra Sakti dan seluruh keluarganya
menganut Agama Islam dan menganjurkan kepada rakyat supaya
beragama Islam. Pahlawan Meurah Johan diambil menjadi
menantu baginda; menjadi suami Puteri Indera Kesuma.
Yynus Jamil dalam menulis kitabnya, Tawarikh Raja-Raja
Kerajaan Aceh, bersumberkan pada banyak kitab-kitab/naskah
naskah tua, disamping pada buku buku baru, baik karangan ahli
sejarah dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu dari naskah
tua yang menjadi sumbernya, ialah IZHARUL HAQQ karangan
Abu Ishak Makarani. Dari 62 sumber yang disebut pada halaman
akhir kitabnya, kitab Izharul Haqq tercantum pada nomor 1.
Tentang kitab Izharul Haqq dengan pengarangnya Abu Ishak
Makarani, Dr.N.A.Baloch, dalam bukunya Advent Of Islam In
Indonesia, antara lain menulis pada him 17 sebagai berikut:
"There is evidence to the effect that of the scholarly
nachudas from Mekran (Baluchistan) had settled down in Sumatra
at an early stage. To one of the settled families belonged the
secholars historians Abu Ishaq al-Mekrani al-Fasi (i.e. whose
family originally came from Mekran or Balichistan, but had settl-
ed down in Pasai in Sumatra) who wrote an importand work on
the dynastic history of the rules of Perlak.... This book entitled
Kitab Izhar al-Haqq fi Silsilat Raja Ferlak..., which was discoverd
more recently, shows that the Muslim State in Perlak was found-
ed as early as 225 H.or 847 A.D " (...Terdapat bukti nyata
bahwa sebahagian dari Nakhoda yang Ulama dari Mekran -
Baluchistan mendarat di Sumatera pada masa yang lalu. Dalam
sebuah keluarga yang mendarat, terdapat seorang Ulama Ahli se-
jarah yang bernama Abu Ishak al-Makarani al-Pasi (yaitu
keluarga yang mula mula datang dari Mekran atau Baluchistan,
yang mendarat di Pasai, Sumatera), yang telah mengarang sebuah
karya yang amat penting tentang sejarah para penguasa yang
memerintah di Perlak. Buku ini berjudul: Kitab Izhar al-Haqq

54
fi Silsilat Raja Ferlak, yang menegaskan bahwa Kerajaan Islam
Perlak didirikan dalam tahun 225 H. atau 847 M....). Dari
keterangan keterangan tersebut diatas, ditambah lagi dengan
penemuan batu-batu nisan di Kampung Pande, antara lain batu
nisan Sulthan Firman Syah, cucunya Sulthan Johan Syah maka
saya rasa bahwa tidaklah khilaf kalau saya mengambil kesimpulan
berikut:
a. Banda Aceh sebagai Ibukota Kerajaan Aceh Darussalam di
bangun pada hari Jum'at tanggal 1 Ramadlan 601 H. (Jum'at
5 Mei 1205 M.) Jadi sampai sekarang Banda Aceh Darussalam
telah berusia 807 tahun kalau dihitung dengan tahun hijriyah,
dan 783 tahun kalau dengan tahun Miladi.
b. Pembangun kota Banda Aceh Darussalam pada tanggal ter
sebut, Sulthan Johan Syah, pendiri Kerajaan Aceh Darus
salam, setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Indra Purba
yang Hindu Budha dengan Ibukotanya Bandar Lamuri.
c. Istananya dibangun di tepi sungai Kuala Naga (kemudian
menjadi sungai Krung Aceh) di Kampung Pande sekarang,
dengan nama Kandang Aceh.
d. Pada masa pemerintahan cucunya, Sulthan Mahmud Syah,
istananya dibangun yang baru diseberang Sungai Kuala Naga
yang telah berobah namanya menjadi sungai Krung Aceh, de
ngan nama Kuta Dalam Darud Dunia, (dalam kawasan Meli
gou Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang). Sulthan Alaid
din Mahmud Syah pula yang mendirikan Mesjid Raya Baitur
rahman dalam tahun 691 H.
Baik juga saya jelaskan, bahwa makam dari Sulthan Alaid-
din Johan Syah, Sulthan Alaiddin Ahmad Syah dan Sulthan
Alaiddin Mahmud Syah (pembangun Kuta Dalam Darud Dunia
dan Masjid Raya Baiturrahman dalam tahun 691 H. (1292 M.)
bertempat di sebuah "Kota Istirahat" yang bernama "Glee
Weueng" di atas dataran tinggi Mamprai. Kota istirahat yang
tinggi sekitar 1000 meter dari permukaan laut, dibangun oleh
Sulthan Johan Syah sendiri waktu mula-mula pemerintahannya,
karena di tempat itulah Johan Syah dan pasukannya berkubu
sewaktu membantu Kerajaan Indra Purba yang diserang oleh ten-
tara Kerajaan Cina yang telah mendirikan Kerajaan Budha di
Seudu. Setelah Meurah Johan dapat mengalahkan tentera Cina,
maka Raja Indra Purba dengan rakyatnya masuk Islam, dan
diatas puing Kerajaannya, Meurah Johan yang telah menjadi
menantunya mendirikan Kerajaan Aceh Darussalam dengan
Ibukotanya Banda Aceh Darussalam. Menjelang Pekan
Kebudayaan Aceh II (PKA II) saya bersama satu rombongan,
telah pernah mendaki ke tempat itu.

55
TERBAKARNYA ARMADA PORTUGIS
Saya rasa, makalah ini belum boleh saya akhiri, sebelum saya
mengutarakan sebuah peristiwa yang amat penting yang pernah
dimainkan Banda Aceh Darussalam sebagai Ibukota Kerajaan
Aceh Darussalam. Peristiwa yang termuat dalam sebuah kitab
yang bernama Buhairah dalam bahasa Persia, ikhtisarnya seper-
ti diceritakan Dr. N. A Baloch dalam bukunya, Advent Of Islam
In Indonesia, yang menerjemahkan ke bahasa Inggris satu bab
dan kitab berbahasa Persia, yang bernama BUHAIRAH ka-
rangan seorang Ulama Parsia, Hashim Beg Fuzuni. Bab yang di
diterjemahkan itu bertajuk : JAZIRAH ACHIN (The Island of
Acnm). Pada akhir bukunya dilampirkan naskah asli dalam
bahasa Parsia. Dalam kitabnya itu, Fuzuni menceritakan sejarah
Kerajaan Aceh. Menurut Fuzuni, dekat Banda Aceh ada sebuah
Pulau (mungkin sekali Pulau Aceh atau Pulau Weh/Sabang AH)
yang merupakan benteng pertahanan bagi Banda Aceh. Di Pulau
itu ditempatkan meriam-meriam besar. Negeri Aceh, kata Fuzuni
penghasil minyak bumi terbesar. Waktu Portugis hendak merebut
Banda Aceh dan Benteng Pulau itu, orang-orang Aceh me-
nuangkan minyak sebanyak-banyaknya di laut dan dibakar hat-
ta laut itu menjadi "lautan api" dan terbakarlah Armada Por-
tugis itu, dan gagal pula mereka menguasai Banda Aceh dengan
Pulau Bentengnya itu. Because of this, the Portugee are un able
to conquer that Island (Karena itu, Portugis tidak sanggup
menaklukkan Pulau itu. Maksudnya Jazirah Achin atau Aceh)
Peristiwa ini membuktikan betapa besar jasa Banda Aceh dalam
menyelamatkan Pulau Sumatera, bahkan Nusantara dari penja-
jahan Portugis. Naskah tua bahasa Parsia itu saya lampirkan
fotokopinya.
XA Hannf t a n g g a l 2 6 M a r e t 1988
> U5 t a h u n l a l u . tanggal 26
Maret 1873 , Kerajaan Belanda menyatakan perang terhadap
Kerajaaan Aceh Darussalam yang ditolak oleh Sulthan Alaiddin
Mahmud Syah, Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam. Karena
penolakan itu maka terjadilah peperangan yang amat dahsyat an-
A u ~a U a h k e r a J a a n yang berdaulat, yaitu antara Kerajaan
Aceh Darussalam dan Kerajaan Belanda, seperti ditegaskan
oV,': m I a r K a y a m d a l a m bukunya: SEMANGAT INDONESIA-
SUATU PERJALANAN BUDAYA. Peperangan yang
berlangsung hampir satu abad itu, telah menyebabkan jatuhnya
korban yang cukup banyak di kedua belah pihak. Sekian banyak
jendral dan perwira menengah Belanda yang mati. Perkuburan
Kerkop menjadi saksinya. Dan sekian banyak pula pahlawan-
pahlawan Aceh yang gugur menjadi SYUHADA. Dalam kesem-
patan inu saya bersama seluruh peserta seminar menyarankan
kepada PEMDA ACEH (Gubernur/Kepala Daerah Istimewa
Aceh dan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa
Aceh) agar menetapkan tanggal 26 Maret menjadi HARI
56
SYUHADA, yang diperingati tiap-tiap tahun dalam rangka
memperingati ulang tahun PERANG DI JALAN ALLAH DI
ACEH.
Selanjutnya saya menyarankan kepada PEMDA ACEH dan
PEMDA KOTAMADYA BANDA ACEH, agar dengan segera
membangun di Banda Aceh sebuah MONUMEN PERJUANG-
AN RAKYAT ACEH.
Saya menyarankan agar dengan segera PEMDA ACEH dan
PEMDA KOTAMDYA BANDA ACEH mengambil langkah-
langkah konkret untuk menyelamatkan peninggalan-peninggalan
sejarah yang amat bernilai, dari pemusnahan oleh gelombang laut
dan tangan-tangan manusia jahil.
Akhirnya saya menyarankan kepada PEMDA
KOTAMADYA BANDA ACEH, untuk membangun sebuah
MUSEUM SEJARAH DAN PERJUANGAN BANDA ACEH.
KEPUSTAKAAN

l.Prof.DR.G. W.J.DREWERS: Adat Atjeh, 'S.Gravenhage, Martinus Nijhoff,

2. Prof. Dr.Teuku Iskandar: De Hikajat Atjeh, 'S Gravenhage, N. V Neder


landsche Boek En Steendrukkerij N.H.Smits, 1959.
3. DiMeulek: Qanun Al Asyi, Naskah Tua Tulisan Tangan, Perpustakaan A
Hasjmy, Banda Aceh.
4. M. Yunus Jamil: Tawarikh Raja-Raja Kerajaan Aceh, Ajdam Kodam I Is
kandarmuda, Banda Aceh 1968.
5. Prof. Dr. Ismail Suny, SH, M.C.L.: Bunga Rampai Tentang Aceh, Bhratara
Karya Aksara, Jakarta 1980.
6. Panitia Penyelenggara MTQ Tk. Nasional 12 : Dari Sini Ia Bersemi, Pemda
Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh 1981.
7. H.Mohammad Said: Aceh Sepanjang Abad, P. T Percetakan dan Penerbitan
Waspada, Medan 1981.
8. H.M. Zainuddin: Tarikh Aceh Dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda
Medan 1961.
9. A. Hasjmy: Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam di Indonesia P TAI
Maarif Bandung 1981.
10. A. Hasjmy: Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, P.T. Beuna, Jakarta 1983.
U. Prof Dr. R.Hoesein Djajadiningrat (terjemahan Teuku Hamid) Kesul
tanan Aceh, Museum Negara Aceh, Banda Aceh 1984.
12. Dr. N.A Baloch: Advent Of Islam In Indonesia, Fifteenth Century Hijra Publi
cations, World Of Islam Series Lahore 1980.
13. Amir Syakib Arsalan : Hadlir al-Alam al-Islamy, Jilidi, Isa al-Baby al-Halabv
Kairo 1352 H.
14. Dr.Abdulhamid Yunus - Ibrahim Zaky-Ahmad Syantanawy: Daerat
al-Maarif al-Islamiyuh jilid I (Ensiklopedia Islam), Al Sya'bu, Kairo 1969.
15. Majallah Al Araby terbitan Kuweit, Januari 1987.
16. Rosihan Anwar, Harian Waspada terbitan 11 Maret 1988.

Banda Aceh Darussalam 26 Maret 1988.

57
Lampiran Fotocopi Kitab Buhairah Dalam Bahasa Parsia Ten-
tang Kerajaan Aceh Darussalam

Jül j o i l j u^. JJ^- j j clj-C^ yS~ iSj-^j^- ^r^A J-^' jLiT

, Ç....I »JL2 ji_jX' d — j ^ i j i ^it» J— 2 -' » > ^4

J
j l _ L J j i j _ j i jh.',; A Ä - J àjK< ßji. ó"i» j ^ ^IJ fjr-*-*

óljl j-> Jl- jJ j c -J o - L . uv5 ^ j l ^ ï J l v.ïL) v^lji. i_jJL3j

.AJ w» ^SCÄ I_^»-L* . (_5^>^ oLiJu ._^J I OUJ Cjy^~> oLi.il> I^JJJ

^!l_\jw (JL-, i—'-'-O i j - ^ " J J ^ ' ( J * ^ - -^jH *J«P " * * J j v ^ , -> U i * l

. (JJ_)I Jl Ct i-U_»JI . J J j l i JJ-U-i l j j _ j i JuA

(on I U") Cr^?T Vrfj» ./"i


Ju-.U-_-i S-'JV3" ( ^ ^ 4
"J^j-f* O l p J ia**J C * - ~ l Cr-^-l ^j-**

u«J f*i>y <jl p JUJLJ L , ."'V»- J J j . * : C (_A»-I « j l _/^*; Jj>^0 J

ùvJ [»^T*: j y i S ' * i ^ (*-vi Ü U I J I IS^J iJl~ y j -^jy* <j* f * '

( j L y J Ü l j l j j ] «V ^ — I J « 3 * > jJ-»> i j L - ' J ^ « O J j O '—'J>1« (_jjl _)_>JQ

i_i)j-j LJI . J j - i ^ (J-»»b- JaJS' ^ . / - ^ r 1 (jJ^f Ar-* <^~*-j} L ) L r l J - i " "

uO (j)_JJ- Oi»"' j ' l j l f - f - UL=- |»lil J-3 i/Oo.>_j£ o-U>ULl l A ^ U j u U L ^ J j j j l

I-5J\J c-i-jJ j J j ^ ^ « j L - j i oL*ji> j_vj'b IJ i_j-^ (j- 1 i3*>"U- ó l j l j^5

58
(i IT "'f-J- " ^ JJ-'iS' J . jU». 0»J.3 b v«-Jl C~*jJ V^Ll-f i_}-i j_y<

ji ^f\ _j JC_U „U j ^ ^ Ij óï ->_*-i ( j - (J-'L-- ^~-y j ' *$*' -ij'-*


j l ^ 1 j Jo_p o'-X" 4 - f ^ ^ C-»-ji' y o—-_»-> ^ 1-^s-i> >»>
j C-JJS.
C£«-H ÖJ *^*s* J-11 J - ^ j P y » <"^-' J > ; ^ ' j 0 ] C—l >J^-ji Ó L -
^iï ^ U J ^ ^ T j l j . Jó\£_, „o-^i Ij j ^ l f i ^ i - j i j . C—I j_>^-i
óï i » * » j * JJjT J ji y u . ol~> j l ' j JJJQ J JójL._. i5_)=*"
óij^i» |»iT C J V J b" ùi»ï ^r-^ j ' J - ' - Ä ~ i ÛÏ O-rJ C-.I ^rOjjJ
,J/" <SJ j i ^ V J - J J I C J V J J Ï Û'j^i- f i l ^ J J J O—*lj » j j j £p>

j l >-5C _/> ÖC>J* J J o l j j i - j f l j i l y^i-iSLi j -^1 « i ^ ü U M çf\y

^ 1 j l J Û J I J ibu-y |^*'JH" ' j U r*- * > * j U u " " 5 " ^ L


^W-J*
Ij JLJ o i U j i j À & . J L J c - t l ~ i ^ - V ^ j ^ JJSCI _,-, A5Ó>I ijÄT ^y

Ó L I J I ÓL-J-5 ^ y J - ^ u - LT 1 *: ^ - ^ ^ ' ^ ^ J 1
* *^\) b .

ÙUJJ ;i Ij w ^iT JÜJ" ^ L j J i y ^ l j i j b j L C _>b _,- C-.I j^Tjjrf


x
Jj^j j\ WU j ^ y-.iT j~ àf \jSy» j -üy.j ^ *»U. j ^ =^'
c 1 j l C
b j%*a j Jujb ^ j ^ i /j-iSC o W J - ~ - ^ ^ ~J
t^b j c~:> Joàb j j ^ . JJJO -, j _ j i t^Ui-cl j l ojjJ c~iy j
«BT:...;»! j l Jb'l Az_j JJJTVVT'^JIJÜ-. c^y j Jjjj y * ' j 'jfcf&i
. J J j j ^ - . j Jo'jj ^ * L i x l jXJi b

j i jü jbj.» Aij-, ^ j l A > f»-5~b>. J JO'l.l... . 0>*l (J*' J


J _;0i C-IUJ O^-T f V Ü " - - O—l— Ak-l_jJ ijli i_v O^Jvi.
Ij j f ^ I t C - J OJL,>_. O - L - ^ U IJ ( j - ^ î . / I * ^ t j . JO^UJ

JLIS^C" C— i Ulk- ^ X ï . JJjL-} I J * Jo j l Jo «iUv VjP- t S j j j i


ULU j f l j . i j ^ - ' ùL; j -|oC:-. colSC- j i-Jy jy^-b. f^j*. J

59
. -luX-« AL_» ol <j~ïjy <^-i^ ^.yH -^1 (f* ól—ji (jÄ— »by> j
Ij ^ J T 0-i_ff Aifjjjb (5j'jrC *Tc Ijl O j " i j Ü Ï j * - J J

j_fyjj jj AJ O—Ol C-fJi»-J . Jjjjj*_i C J Ï J j l ^jlSl J pJ U.

^ u- j ' ó*- 5 J 5
O^y** J
J K L
- JJlc- I j y ^ ^
jvj"jlJJv_, I j j l J J U p - j ->yf~ ' i l j j j y I j -^LJ ^ jl ^ AT"

«Ju'li jT ij ^ ^ >5/ AT" b f ^jS (_ƒ f _ v óUi ' j ISJ^? J

JOL-J y. JXü Ij ( j - ^ - i J)>». *iyù~c' y*LU o l o j y f j L k A T "

J J J J . Jul vck j_>y"ï j i A 5 " ^^ïLjj-ól j b _ . j i Ij jl ( ^ U Ü I «J»».


i 1 1
AT ^ I J J » j i Ij jl Ji - y^fi fy^- ^k- *^k»> o'jL__«

JLJ. A 5 " «J.'li . J_J _ jlSó U' J u j L - - . J J J J JoC-. J J L J fv^l»-

juLf' y . c-ijbu jLL.1 tsLjJi j l Ü Ü 4 j ^ j A5"CU~OI JJl , j _ ^ "

( j l — j i O j ^ i . _J _ Jj'l AXi-L. J j j - j U - i I j C " i j (J^-t J J I I_JJJ' ^ j b

ji «Jl; OÏ ^yjf i f M\ oijT<^~~ij> uli» j c-,1 ^ J T OUJI

J . JJJL- ^ U . Fjji 'j*u. j jAk j i J*Jw (5JJ AT" ^JL^_. £ « *


ÜJ-»- (Jjl < »i ji ó'_j-i (J>-ibi ^ J - ^ i H * J j * Ó b o l _A=-i J _ƒ--J

.« I j jl j ^ j l j J W A - * jV>b- JI_^JjJ) Jo5C_j o U ^ L . yCiJóCj

C~iJO -JLtj-» jl «OjA J jj.»»C cfjy f U j j J »L. (_ƒ—i b' j J-ojJ

- » f U «5jJu r-l—» J w i y p>b I j ,jS ji tSy>> j . JoC— i>>y Jo»J

ó l j y . ( * i U j - ' - ^ T / * J i y * C r ^ f ^ * - o—JUcI I^JJ-. j l y I - JwJLj ..

A S " I J f»i^U 'g-y^' "-***' u ' < ƒ * C r - ^ óLli j - -^.y\/ *y»-

pjT"U. J J jt oJwïrf A ü y 1 ^ A » . I j L J o y y « j=tLl ( i T r u " ) ^ - J ^

. O-.I (yL/aJ (^U. AJ -^v"?4 Ôl-^ïr*-J 'j y » i J »r*^ J' iy^r 1 j l j - "
-« ÓIJ— j i j^i"*^i y l y j l Ij J i y 4 AJ iju-Jl obi-jl cr—J »J»*IJ

JXJJLSO uSojy «Jol_jj. C J J J J I i j l j y A i ' l i i U O L J I J J y> J o'yjl

^ x î l i i . J>Ti..jl ^« c_«J (-SÓU- jlJul i_Xi^ i-So y> ^ U ï ji j Jol ^,

60
<_ÇUJ y <iiGl j - JJT C y j l j l j l j l ULkj aJ^J^j'^ _^i.J "C_- y

j l j l j ' j ' S3* <xjLi. JJ_^< J~-J -Mi _J CHj'3 , C^-êJ «JIX~JI J-«J

JJ « u ^ j j l JUil C-JVJ L)L i j r - j ^ .r ' J - -^-V» OU j JLJ ^c' y


L ^ J ; J tjl C~J j y |» JjJ j l y 1 J - JjJL._<^ri ( j ^ L o i l j j v O j JUijj5\ -#
- ^jS-, *x_j*. y,} j j l i j - i ^"Ij ^-1 ^ 1
,_ÇI_VJ=- C~J JJ -*—"_M (j- 1 ^ U J S-1' ^ ^ J öl >y I J
O ....i Ól-W'j^ C—i «kj-J ^jjb Ij i_xjy j _ -Ij .KXL« i_^5d\_i vvIJJ i_Xj^J
_C~~J>IJ «jj^Só OC:5-' 'J «ji"é)l j l " ^ l ; j i -iJL_>ji-'c—I *j5~^ JS~
> 5
j*>\]i àjSij] j l Sr'jJ' (J-" cS'-^-" - J~ir' l"*sj ^ j iSJJ i ' j ^ 4 f »5j*
s
I_CL>. .MJUJCIJ C X L öl(ä> - —_7i-' CA» (3*1 o-j^s <JI j l j l Ajïli». -^-Nr»
(_£-5J j j ó_*->- *J i j , * l-1^ C J J J (jl j i ,t~^JJ J - Jj
> ^ r ' (Jj-*-£-»
k ) J l5->J ^ C~ù çSJ^f- ^ V / -^JJrr" L T J Ï J -tijîj (j-i I j j i
_> c - J \».U »yj^- jl <>V j-> <-&^ JAXAIJ ^1 jl . jj_^, ^

. c—l j j ä.';. j OJJJ I_XJJJLS4.J A'.j./r' c-j'b/jJl J ^ f - j i iß'y*' 3


v* c a V j J Ï J J OU j J-ilj yf" J U-i j ^ X . j é.^^c-iVjjTji j
j jJl oi^5 LJ î j l j j i j i j l i «I_^J J L d j j i j b i ' j j c~-l A j 5 j . JLiL
ö j i ï>j-> j l J J 5 » L J JLJ IJ ^ - 5 \ A . j j l o-UJUU j j l j j i ó l y J I J A I J I_5VJ

j i j ^J « j i ^ ó ï j l ly ICJI ^ X J J _\Tyi J . A i j j ï ^ j i ojljjj öT J J


J-vsU- ( j l j j j y j Jji «J-i _>*>j-i j ü j «o Jb'jl_-o _j . c-^-J j*-s-»

jl U*^*J -^j-i^-1 I-M «j^óT j i JjJü t^Uij—i j . UT -Ui tijS"


J :
- b j j tjUj—i J-J ól-i-il J Üji i** « ^ - """'J Utr-^J- 5 " - ^ j * l * ' ^ '

^S f\ j ; j^i» (jjl c—jj UU . 0 L^I j J j J» o > * (i)

. ' J ^ J " ^ Ja^i f ^ U j l O " f ^ ^ "^^ CJ""

61
j l i ÛJ-I ji »_)£- (j' JI Ô j » - J-^> J^j-i »^O - ^ c i AI-*J U i a . j - * J

-».»>« u t c—J j - - - . 0-U j i w^£j «ji"


JL-_J «_jJ j l j i i 1 Jj 1
j * j M J - -^'^-J u" i - ^ (j- VJH" y y.

uiai oliL. jl (jsaj ( ^ U < (jLja.(jlk. C~>jiC aLI JJ

ù i ' * J - i a. J jT (Oj-.. j l OljSÓ AaiT j\ (Jlja-I C-IJa. j ,j_jj

J-ki j ^y.b JLT O J o d J-1 J^J (jb, t-iai j l (^J— JuT"o—I


ll. C—J Ij Jl (.1
Jb .UT iy-^-4 J—- <0 O J V J (jl
fV
C-.jiC~ j j " u ' C~J|J^-. j l (jLuLu jj^a. j l Ij i_)a. - ^ (V^a. J^La.

LA1 J'5 L?JJJ J-i >j-U_. r J i fv^la. j CJjTjIjj j j i ' J - . J--Jb

-LAJ i_»c j L - c - l J—- JJ'J_O i*^_iJ O J V J J I ( J L i ' i*Jj-' j '


(JiiaJ
o^ " J;:
' u ' ^ " J ^ ^ 1 J' *^ J>\^>
jl » ij—J-1"^ jjjl ^fj— 1 j^èf- ^ j i tS4J j ' ója. i j l i (jL^j C-tUai

C—-ll A d a . JCÙ5 ? Jj J-jX (*J1«-I Aa- j l AJJ—^J J_— . J J I -I _J 4«J ( j l

j l J*j Jjjjf"^.. J—<=- -UC-a. (jT j i aJ_J (jLijj. : ' <oi_\JJ » j i " ^ ! j J

**-">-a- j — j) J - V J j j j i j X (*J^-*-J ^T** Ója- - Jj'jj«-« 4jJ ( j l j j l j t I >>

- 1 —^ (j' J — * 4—i-» ÓÏ j i oJ-J jL^J j l ,,«*? * j " j j i - J-i (JU^J A^ij

tisjb . JCL—I JL j i (_5yt ^ykl^j j i lybLU»Jjji ÖL-JI^J AJ^-, L-C AJ

LS->J j ' <Sß, (jT^i" - "^Ji -^'j-sf' j - ^ - ^ OLIJI j l ^ I ^ J


c
—4 c**'-^ * - ^ - -u-j-f ÓL-J» A^^T i j i j i . îLjjjbijj i^jijk^i

u*»I
1
-^ L T ^ I J »JJLI s J f j i (S' - ^ J j i ij5"otxi (jja. i-Lil J—

Jj-^ j i i j c^L-y j ij AJU AjJjTjji'.u j _ - , I j ,_5jj . JL£_,


(jljjjjj j j l . «ijjl Ji i j i . j-K j J |j ^ji J *S~ J> - iVj
J
, j i *-CJ ^ *-*J J^H -*s- c5JJj ' » i ' j j i ^ j j » AiCiLa. . J-i J v U
. A-Uiljf i_U J™ J.a.j5i_ - ^ " ( 5 ^ OÎ CwJa. j i ( fl ., r j*) |j

62
j ijX J i j «_-o (jü JU-J ^UJI ( ^ j j j , _ V J J ' ^ ? . ^ cJüUt j l
S - f s i "4 J ó f LH ù*L»y V J - ^ Aj"ib J i j «_^J AJ i i _ ,
jl J i A T 'ijC_c' j i j b (jlJJjy j l JU-JI A T J — j _JaUt Ij" Jfj
-> óks JLi» jJtji JCJI j c—I -JU (^jiL. c - ^ JLLTJ. LJJJJ

'ijji j>. b o* U* «ij^Tij ( j j j j ^ ÓÏ j i . i j T j ^ i j ü jjj». ô l i j j i .


x trt * J* fS'»^ J p A t t * i " i > r ' U-LJJI JL ijjr' j L
Ô'^j>j iSJj u-J c — t i AJU. (.L _J ^ j_To ^ 1 ^ j j i _o J.S* JJJK
,j J-.. «J-i jj_^i U-i j b Ij-, ^ ^ JJU OUU. ^1 *S~. : c-S?" . i j 5 "
^ - A k L J OJjJI (_.j û ^ i a . ó j ^ i l - a i j j U_i j j j .J_J J J Aj""ijJ
- <^-»J J « ^ Ól_^i> uCiT ^jjl . J j L y j i j i ^ j j j AJ frt ^ C U J . « i l i
- J-i ijjW-j (j-jï j l oJiL ól_ra- j j «_^J j JJijjT j j (jUi j i L j i (jlJj'jji
UI ij5j"U~j t5jlj j AJL «J-i ( J Ä L ( j l j j j j i L JuT j i J— tUîl ^ 1 ji
- ^ . « ( ^ i ^ l C-wa-j j l j ^ jSj (Jjjl jj ^ . C^\i ^'li A „

L" JJijr' oyJ C-JVJ C _ J - C j j - T l . J_- i V j l j l ^ ^ ^ 5 " ^


- ^ / j ^ " «J U. a i / ; c-jiC». j JJU' ^ïL cxL, jT j i j l J-J'jl ASJÏ
JU. L" j Jjx^b i-jJü jL5^«jU- J.*l o b L c-.j-Ca. >U j i J j ^ .
^ J -^JJ J J v AJ' '£JLJ J j i j X ' C~.jiC Jj>l j l (j-S'^J

63
j y
'" ^ ---f- » -'J J »b ^ v> - 4jl

: "v, ü j f , ^ ù T
-" ^ * i« * f ; ^

Ij ' j - « JIV, ,| f V ^ . -, . ^ - ^ ,. ^ ^

j —ji «J Ü * * J , ^ u ^ B or ji j . J J V " u ^
JU^ cJj j UJX. ^ ^ ^ «Jl J Ä j ^ ,/,X
,irfj»-Wl ^Jli -C-l ÖJ. yjj |j J| ^ j g - ^ j ^

s-« u— <*' Ju^utf-Vy.ijb.^iji^.r


l Ojli Ij J| JU j l ^ / ^ (i- J

64
LAMPIRAN
Fotocopy Kutipan Halaman Al Arabi Kuwait

<\ A Y >_-> ^ opyj^) "«CL^J \ rrAjj.^

-ih*

iSUcLUV-
,vu_ii ^ ijs> JA). ; > > - j c j j ( ->
ISU» JU.', . . U >.jaJI^ U V V - ^AJI «V* JJa j_a U j J - J">U L i - O-J L. j y i j%J
, ._X;I , iaUj- ( -» v \ ) \ 1 » r'* ^ u :
' j i * . . ' i , . «-rtJJi I^JUJL, JJ—JI.. j - j J - i

'i .tf. L."SL-Vl « j JJ' f 1 *" 1 W 0


A"-'
»>wj, , L.JL-1 L__,JJ,I ; ,a- J j l i,i"j— vUilS
Ja-<~ j l ,'jJ * - » * 4 » W &*-» ^
»Cj —jUj J-àl ,J», JjUvJI J~;,J»J' j * IfAija
La-J~ Jl - l ^ - l j r"*--VI J ' ^ V * ü,_i lj_U laj w-waJl w-yj . »a-U v« w,jjJI Jjjjj-
i a i - a ' - ' J ' « y.^ |JJ> J .«J"!-^' .jllj J j .j-J-C jUjJl jlSj . Jja-I i-a-l JJ
._ ~ ^ vjj,. ( > lÄia ». 'va-J . iVJ' f^joLJ. L4JI IjiiJ J j C j l JLU J - t JJJJ^J,
, j l k L - ISjA- j j _ J _ l l ^ j y j l jlaoJl O J U J & j . ^ j J - i l
. Ä JJa-)L_ . J | V ^ ' i^1*-- ^ ' -Li J Ijao-- j l l - j j l i j j j i - l *-iJja j j a j l i l l
Ji J,. «_ül u o JL, J > , *& »-UVI i l L J l J l Jj_i)L . i—J-l i V j i l J ; > JJ- i j j j + l ; p^J
. v* Lia-VI O l i j U l l j JJjJ-Jlj
l a j . 1 l f k_a i,i. f'SL.^I ;UiJ JL< ijiS _ v -
j f V—Vi t+Jl J - ^ j ^ j l JJ.L1I J j l CJIS
.LiJjU j _ + * gI (;1Vt) ^ j j ~ J l i
JLi* > l > .liuA. i > ; - > t a J Î r - ^ J j l j . i_JU_-Jl ijivaj-. . ^ t l j j ^ J j X i U l
L i J JL», L J w v ^ t ó y . ^ 1 „-u-«-; -Mr" w,jjr UU-. J j U - J J X I J vU.li i_. jL»I i£lf
m ) fAi f u J V j - »su ^» VJJLS L_i jji

65
LAMPIRAN
Fotocopi Kutipan Naskah Tua Adat Aceh

ADAT ATJ EH
Reproduced in facsimile from a nianü-cript
in the India Office Library

'I S.\ : » i ->-J

/J'-JV ^''f L - , ' j ^ o L k l _ ^ 3 > f>e6Üi>jj^J>L^^^L--< r ->' t / r ri

l
^ ^ ( ^ £ ^ J > ( ^ ^ l 4 a £ ^ a l LJ^.^'^L^'LJ^^Jia^^^l,

^^ijad'. 1 ù'»^ùU>ùLkL_--> j^a^^c-^.'^L^^^l^^

cv1

66
Hari Jadi Kota Banda Aceh
Oleh:
PROF.DR.T.ISKANDAR
PENSYARAH PADA UNIVERSITY BRUNEI DARUSSALAM

Sumber-sumber Yang Digunakan


Kertas kerja ini didasarkan pada tiga silsilah Raja-raja Aceh
yang ada pada saya.
Pertama yang terdapat dalam naskah pada India Office
Library London, yang dulu dipunyai R.T.Farquhar bekas Let-
nan Gubernur Pulau Pinang. Farquhar menerima naskah ini dari
sahabatnya W.E.Philips, yang juga pernah menjadi pejabat Pulau
Pinang pada 1805 hingga 1824. Naskah ini telah diterbitkan dalam
bentuk Faccimile di Leiden oleh G.W.J.Drewes dan
P.Voorhoevoe (1958) dengan judul "Adat Aceh".

IsiNaskah:
1. Fasal pada menyatakan umur dunia (hal 3).
2. Mabain as-Salatin atau Majelis Raja-raja (hal 4 - 27).
3. Silsilah Raja-raja Aceh: terdiri dari 35 nama Sultan Aceh
dengan tidak memakai tahun naik takhta atau mangkat atau
turun takhta (hal 28 - 30).
4. Silsilah Raja-raja Aceh Serupa dengan diatas, dengan tahun
naik takhta, mangkat atau turun takhta mulai 601-1230 H.
(hal 31 - 48).
5. Adat Majelis Raja-raja (hal 48 - 117).
6. Majelis pada bandar Negeri Aceh (hal 117 - 1760).

Silsilah (no.4) dimulai dengan:


Fasal: Pada Hijrah Nabi Muhammad SAW enam ratus tahu
pada sehari bulan Ramadhan Yaumal Jum'at ba'dasalawat
Sultan Johan Syah datang dari atas angin, yang mengislamkan
negeri Aceh Darus-Salam, yang beristerikan anak Balu dari,
duduk di Kandang Aceh, beranak seorang laki-laki di na-
mainya Sultan Ahmad.

Dan adalah umur anak baginda itu kira-kira tiga puluh dua
tahun, maka bagindapun mati pada saat 631 (enam ratus tiga
puluh satu tahun), pada sehari bulan Rajab Yaum Al Khamis.
Maka adalah baginda itu dalam tahta kerajaan tiga puluh tahun
sebelas bulan dua puluh enam hari.
Maka pada hari itu juga kerajaan anak baginda itu Sultan
Ahmad. Maka bergelar Paduka Seri Sultan Ri'ayat Syah. Dan
adalah baginda itu dalam takhta kerajaan tiga puluh empat tahun
dua bulan sepuluh hari maka baginda itupun mati pada saat 665

67
Yaum AWsnha8"1 P U l U h lim3 tahUn)
' CmPat hari bula
" Sya ban
'
Maka kerajaan anak baginda itu, baharu setahun. Pada hari
itu juga bergelar Sultan Mahmudsyan. Dan adalah baginda ,tu
dalam tahta kerajaan empat puluh tiga tahun. Maka baginda u
memindah dan Kandang Aceh, diperusah kota dalam yang ber
ftuhfh ™t H ^ U n , a " M u aka b a g i n d a i t U p u n m a t i ? a d a s a a t ™»
Yaum AlJum'aT a n ^ ^ ^ bUla" R a b i u l A w a l
Kedua Bustanus Salatin, karangan Nuruddin Ar-Raniry yang
terdiri dan 7 Bab. Bab I pasal 13, pada menyatakan tariïï, segala
r a i V " ? ^ dimulai
S i T.Iskandar)
oleh T d i dengan:
negeri A c e h D
»™salam (diterbitkan

Kata yang empunyai cerita: bahwa yang pertama-tama


mengempukan kerajaan Aceh Darussalam itu Sultan Ali
Mughayat Syah. Adalah ia kerajaan pada Hijrah sembilan
ratus tiga belas tahun. Ialah pertama-tama masuk agama Islam
dan mengeraskan agama Nabi Muhammad Rasulullah SAW
dan ialah yang terlalu perkasa mengalahkan Negeri Pidie dan
kecT ^ T H , T a n e g e r i l a i n d a r i p a d a n e * e r i y a "g k e c i l -
kecil. Syahdan adalah lama ia dalam kerajaan empat belas
^hun tujuh bulan. Setelah itu maka Sultan itupun hilang pada
Hijrah sembilan ratus dua puluh delapan tahun. Adapun
dahulu daripada kerajaan Sultan itu dalam negeri Aceh Darus-
salam tiada ada Raja, melainkan merah jua, masing-masing
pada pertuha pada tempatnya (hal 31).
HHavKHetJ8f u H - k a y a t A c e h ( diterbj tkan oleh T.Iskandar). yang
tidak diketahui pengarangnya, tetapi dikarang untuk mengagung
agungkan Sultan Iskandar Muda. s*ë"»g
Sesudah menceritakan asal-usul Raja-raja Aceh yang bersifat
mitos dibenlah silsilah Iskandar Muda dari pihak ayah dan l u

Kata (yang empunya cerita) asal nasab bundai Seri Sultan


Perkasa Alam Johan Berdaulat itu, bahwa Sultan Inayat Syah
yang kerajaan di Darul-Kamal itu beranakan Sultan Firman
byah Paduka Marhum Sayid al-Mukammil. Maka Paduka
Marhum Sayid al-Mukammil itu beranakkan Paduka Syah
Alam, bundai Sultan Perkasa Alam. Adapun raja Muzaffar
Syah yang seayah sebundai dengan Raja Munawar Syah itu
beranakkan Raja Syamsu Syah. Maka Raja Syamsu Syah itu
beranakkan Sayid al-Marhum. Maka Sayid al-Marhum itu
beranakkan Paduka Marhum. Maka Paduka Marhum itu
beranakkan Marhum Muda.
Kata yang bercerita: Bahwa Raja Muzaffar Syah ayah datu
Perkasa Alam daripada pihak Ayah itu Raja Makota Alam.
68
Dan Raja Inayat Syah yang ayah datu Perkasa Alam dari pada
pihak bundai itu raja di Darul-Kamal. Maka segala hulubalang
yang gagah dan segala rakyat yang tiada terhisab banyaknya
yang dalam negeri Aceh Darus-salam itu sekaliannya bahagi
dua, maka ada ngantarai dari pada dua raja itu suatu sungai,
setengah kepada raja Mahkota Alam, setengah kepada Raja
Darul Kamal. Maka Raja Muzaffar itu senantiasa berperang
jua dengan Raja Inayat Syah.

Menurut hikayat Aceh silsilah Iskandar Muda dari pihak


Ayah adalah: Sultan Inayat Syah, Sultan Firman Syah Paduka
Marhum, Paduka Marhum Sayid al-Mukammil dan Paduka Syah
Alam (Ibu Iskandar-Muda). Dan dari pihak Ayah; Raja Muzafar
Syah, Raja Syamsu Syah, Sayid al-Marhum, Paduka Marhum
dan Marhum Muda (Ayah Iskandar Muda).
Dari penyelidikan-penyelidikan yang telah dilakukan oleh
Prof Hoesein Djajadiningrat dan Moquette silsilah Iskandar
Muda adalah sebagai berikut. Dari pihak ibu; Inayat Syah,
Muzafar Syah, Firman Syah, Alaudin Ri'ayat Syah (Sayid al-
Mukammil) dan Puteri Raja Indera Bangsa; dari pihak Ayah:
Munawar Syah, Syamsu Syah, Ali Mughayat Syah, Alauddin
Ri'ayat Syah, Abangta Abdul Jalil dan Sultan Mansur.
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa Hikayat Aceh
tidak terdapat nama Muzaffar Syah dalam silsilah pihak ibu tetapi
dalam silsilah pihak Ayah. Sedangkan dalam silsilah pihak ayah
tidak terdapat Munawar Syah. Jadi Muzaffar Syah dari silsilah
tidak terdapat Munawar Syah. Jadi Muzaffar Syah dari silsilah
pihak ayah sebenarnya harus pihak ibu sedangkan Munawar Syah
dari silsilah pihak ibu harus dipihak ayah.
Raja Syamsu Syah negeri Mahkota Alam (Menurut Hikayat
Aceh Raja Muzaffar Syah, ini tidak mungkin karena ia anak In-
ayat Syah). Karena tidak ada yang menentang Syamsu Syah
berperang dengan Raja Inayat Syah negeri Darul Kamal.
Meminang Puteri Inayat Syah untuk puteranya Ali Mughayat
Syah, dan waktu mengantar pengantin laki-laki ke Darul-Kamal
dimasukannya senjata dalam perarakan dan dengan demikian
dapat mengalahkan Darul-Kamal.
Menurut Hikayat Aceh Raja Inayat Syah takluk pada Sultan
Syamsu Syah (disebut Muzafar Syah) dan kata Hikayat Aceh lagi:

Kata yang bercerita: Setelah terserahlah Aceh kepada tangan


Raja Muzafar Syah (baca Syamsu Syah) itu, Mak Raja
Muzafar Syah (Syamsu Syah) memerintahkan sesuatu peker-
jaan hulubalang Aceh Darussalam dan sesuatu pekerjaan yang
menyelenggarakan negeri Aceh itu.

Mulai dari masa inilah digunakan nama Aceh Darus-Salam

69
oleh Hikayat Aceh, jadi sesudah disatukan Makota Alam dan
Darul-Kamal. Dalam pertempuran untuk mempersatukan Aceh
itu agaknya Muzafar Syah, putera Inayat Syah, gugur (1497) dan
dimakamkan bukan di ibunegeri, karena sudah takluk pada Syam-
su Syah, tetapi di Biluy.
Pasti sesudah lahirnya nama Aceh Darus-Salam lahir pula
nama Bandari Aceh Darus-Salam sebagai ibu negeri.

Kesimpulan

Kalau diambil adat Aceh sebagai dasar maka hari dipin-


dahkan dalam istana dari Kandang Aceh ke Darul-Dunia, istana
masih wujud sampai ke zaman Perang Aceh, dapat dianggap
sebagai hari jadi ibukota Aceh. Yang sukar adalah untuk
menetapkan tanggalnya. Hanya kita ketahui bahwa hal tersebut
terjadi dalam pemerintahan Sultan Mahmud Syah, antara 4
Sya'ban 665 (12 Mei 1265) dan 12 Rabi-ul-awal 708 (30 Agustus
1308). Mengenai adanya Raja-raja Aceh sebelum Sultan Ali
Mughayat Syah, yang dikatakan oleh Bustanus-Salatin, tidak
disangsikan lagi. Akan tetapi tanggal-tanggal diatas disangsikan
kebenarannya, kalau kita bandingkan tarikh-tarikh yang terdapat
dalam Adat Aceh ini dengan tarik-tarikh dalam Bustanus-Salatin
(lihat lampiran). Lagi pula kesahihan nama Raja-Raja sebelum
Sultan Salahuddin dalam silsilah ini belum dibuktikan.
Kemungkinan kedua ialah apa yang dikatakan oleh Bustanus
Salatin, yakni Ali Mughayat yang pertama mengempu negeri Aceh
Darus-Salam dan mula-mula memasukkan agama Islam. Ini tidak
dapat dipertahankan sebagaimana yang kita lihat diatas tadi. Ali
Mughayat bukanlah Raja Yang pertama di Aceh, ayah Ali Sultan
Syamsu Syah sudah memerintah di Mahkota Alam dan
mengalahkan Darul serta menyatukan Darus-salam.
Kemungkinan ketiga adalah ketika disatukan Mahkota Alam
dan Darul Kamal menjadi Aceh Darus-Salam dengan ibukotanya
Bandar Aceh Darus-Salam. Peristiwa ini berlaku dengan
penaklukan Darul-Kamal oleh Mahkota Alam. Dalam peristiwa
mi Putera Sultan Inayat Syah, Sultan Muzafar Syah, gugur.
Tarikh gugurnya ini tercatat pada batu nisannya di Biluy, tang-
gal yang tepat tidak ada pada saya sekarang ini, tetapi tahunnya
ialah 1497 (ini dapat dilihat pada artikel Prof.Hoesein Djajadi-
ningrat, Critisch Overzicht Van de in de Malaische Werken Ver
vatte Gegevens over de Geschiedenis van hat Soeltanaat van At-
jeh, BKI 65, 1911).

70
SILSILAH ADAT ACEH

Sultan Johan Syah, datang dari atas angin pada 1 Ramadhan 601
(21 Juni 1204). Mengislamkan Aceh, mangkat pada 1 Rajab 631
(1 April 1234).
Sultan Ri'ayat Syah, mangkat pada 4 Sya'ban 665 (12 Mei 1265).
Sultan Mahmud Syah, memindahkan dalam dari Kandang Aceh
ke Darul Dunia. Setelah memerintah selama 43 tahun mangkat
pada 12 Rabi'ul-awal 708 (30 Agustus 1308).
Sultan Firman Syab, kerajaan 47 th 8 bulan 13 hari, mangkat 755
(1354).
Sultan Mansur Syab, kerajaan 53 tahun 1 bulan 23 hari mangkat
10 Sya'ban 81} (30 Desember 1408).

Sultan Alauddin Johan Syah, kerajaan 59 th 1 bulan 12 hari


mangkat 12 Sya'ban 870 (29 March 1466).
Sultan Husain Syah, kerajaan 31 tahun 4 bulan 2 hari, mangkat
1 Rajab 901 (17 March 1496).
Sultan Ali Ri'ayat Syah, kerajaan 15 tahun 2 bulan 13 hari,
mangkat 12 Rajab 917 (3 October 1511).
Sultan Salahuddin, kerajaan 28 tahun 3 bulan 22 hari, diturunkan
adiknya Firman Syah 4 Dzulka'edah 946 (28 August 1556).
Sultan Alauddin al-Kahar, kerajaan 28 t h 6 bulan 27 hari,
mangkat 15 Safar 975 (21 August 1567).
Sultan Husain Syah, kerajaan 8 tahun 4 bulan 12 hari, mangkat
15 Jumadil-akhir 983 (21 September 1575).
Sultan Muda, kerajaan 6 bulan 28 hari mangkat 12 Muharam 984
(23 April 1576).
Sultan Pariaman, kerajaan 1 bulan 22 hari, dibunuh 12
Rabiulawal 984 (10 Juni 1576).
Raja Zainal, kerajaan 10 bulan 10 hari, dibunuh 10 Muharam
985 (30 March 1577).
Sultan Mansur Syah, kerajaan 8 tahun 3 bulan 3 hari, dibunuh
17 Muharam 993 (19 Januari 1585).
Sultan Buyung, kerajaan 2 tahun 11 bulan 28 hari, mangkat
dibunuh 17 Dzulkaedah 996 (9 October 1587).
Sultan Alauddin Ri'ayyat Syah (Sayy id al-Mukammil).

71
SILSILAH BUSTANUS SALATIN

Sultan AU Mughayat Syah, mangkat 15 Rajab 928 (10 Juni 1522).


Sultan Salahuddin, turun takhta 20 Dzulkaedah 946 (29 Maret

s)XmiiTf5f5)R1'ayatSyab al Kabar man8kat 1 Safar975 21


' ' <
^\?^l^^w''^sy^r^8kati5Jumadiiakhir
983 (12 April 1575).
Sultan Muda, mangkat 10 Muharam 984 (31 Maret 1576).
Abangta Raja Pariaman, mangkat 5 Rabiul-awal 984 (2 Juni
15 76).

Sultan Zainal Abidin, mangkat 10 Muharam 985 (30 April 1577).


Sultan Alauddin Perak, mangkat 10 Muharam 993 (13 Januari
IJOj).

Makota Buyung, mangkat 15 Dzulkaedah 996 (7 October 1588).


Sultan Alauddin Ri'ayat Syah Sayid al-Mukamil

72
SILSILAH HIKAYAT ACEH
(DIREKONSTRUKSI)

MAKOTA ALAM DARUL — KAMAL

Raja Munawar Syah (1) Abdullah al-Malik al-Mubin

Sultan Syamsu Syah (2)

Sultan AliMughayatSyah (3) ^ ^ Inayat Syah


I
Sultan Salahuddin (4) I
I Raja Muzafar Syah
*- Sultan Alauddin Ri'ayat Syah (mangkat 1497)
al-Kahar (5)
S' ' Firman Syah
£ Sultan Ali Ri'ayat Syah (6)

(7) hilang halaman


I
- Sultan Seri Alam (8)
!
- Sultan Zainal Abidin (9)

.(10)
J hilang halaman
)
I
— Abangta Abdul Jalil Alauddin Ri'ayat Syah
Sayid al-Mukammil (12)

Sultan Mansur Puteri Indera Bangsa

Sultan Iskandar Muda

73
REKONSTRUKSI HOESEIN DJAJADININGRAT

Sultan Johan Syah


Tahun 1204-1233
Sultan Ahmad Tahun 1233-1266
Sultan Muhammad Syah (pindah dari Kandang Aceh ke Darul -
Duma
Tahun 1266-1308
Sultan'Firman Syah Tahun 1308-1354
Sultan Mansur Syah Tahun 1354-1408
Sultan Alauddin Johan Syah Tahun 1408-1465
Sultan Husain Syah Tahun 1465-1495
Sultan Ali Ri'ayat Syah (Ali Mughayat Syah) 1513-1530, keluarga
Darul-Kamal digantikan oleh keluarga Makota Alam: pemben
tukan Aceh Darussalam). Tahun 1495-1501
Sultan Salahuddin Tahun 1530-1537
Sultan Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahar Tahun 1537-1571
Sultan Husain (Ali Ri'ayat Syah) Tahun 1571-1579
Sultan Muda Tahun 1579
Sultan Seri Alam
Tahun 1579
Sultan Zainal Abidin
Tahun 1579
Sultan Mansur Syah
Tahun 1579-1585
Sultan Buyung
Tahun 1585-1589
Sultan Alauddin Ri'ayat Syah
Sayid al-Mukammil Tahun 1589-1604

74
Hari Jadi Kota Banda Aceh
OLEH
PUSAT DOKUMENTASI DAN INFORMASI ACEH
Pendahuluan.
Dalam rangka menentukan Hari Jadi Banda Aceh, Walikota
Kepala Daerah Tingkat II Banda Aceh dalam suratnya kepada
Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) tanggal 19
Januari 1988 Nomor 080/495 minta agar Pusat Dokumentasi
menyusun makalah dengan judul "HARI JADI BANDA ACEH"
pada tanggal 26 s/d 28 Maret 1988.
Permintaan Walikota merupakan sebuah penghargaan satu
lain hal tidak terlepas dari kerjasama Pusat Dokumentasi dan In-
formasi Aceh dengan Pemda Kotamadya Banda Aceh.
Kepastian Hari Jadi Banda Aceh sudah lama diharapkan oleh
semua pihak. Peringatannya baik sesudah ada keputusan seminar
maupun peringatan tahun tahun berikutnya, merupakan suatu
kebanggaan dalam arti yang luas bagi setiap warga Propinsi
Daerah Istimewa Aceh, termasuk mereka yang berada diluarnya.
Dalam hubungan keputusan seminar yang akan terwujud dalam
waktu relatif singkat, maka lambang Ibukota Banda Aceh sudah
selayaknya berlatar belakang historis Banda Aceh. Historisnya
dapat melahirkan rasa memiliki (Sense of belongings) serta par-
tisipasi segenap warga propinsi Daerah Istimewa Aceh pada
umumnya.
Seperangkat informasi sejarah asal nama Aceh dan kota da-
gang/ibukota Banda Aceh menurut karya R.A. Dr.Hoesein Dja-
jadiningrat dalam Atjehsch = Nederlandsch Woordenboek Jilid
1,1934 (hal. 91-2),° setelah diringkaskan terjemahannya antara
lain sebagai berikut 1):
Menurut faham orang orang Aceh sendiri, bahwa Aceh se-
mata-mata hanya daerah Aceh Besar sekarang. Batasnya lebih
kurang negeri Kluang dipantai Barat dan pantai timur dengan
Krueng raya. Kedua tempat ini dipedalaman dihubungkan oleh
garis melalui Reueng reueng, panca dan Jantho.
Menurut riwayat turun temurun, nama Aceh berasal dari
perobahan logat kata aca dan acih. Kedua kata tersebut berasal
dari bahasa Keling. Terucapnya aca (indah) karena awak kapal
keling yang mendarat dipantai Aceh terpesona melihat keindahan
sebatang pohon kayu besar dan rindang dikampung pandee
Meunasah Kandang. Demikian rindangnya pohon itu, sehingga
orang dapat berteduh pada waktu hujan. Kisah lainnya ketika
awak kapal keling (daerah pantai Coromandel dan Malabar)
menyapa acih (kakak) kepada perempuan penjual barang-barang

75
dagangan. Sejak nama Aceh berasal dari perobahan logat aca dan
acih, pohon kayu besar dan rindang itu hanya tumbuh dikam-
pung pande Meunasah Kandang yang dinamakannya bak si Aceh-
Aceï (A~h°H-SI A c e h " A c e h ) y™* P a d a m a ° a sekarang ini bak si
Aceh-Aceh dimana-manapun tidak lagi di jumpai.
Banda Aceh, kota dagang Aceh, dahulu ibukota komplek
perkampungan bersama istana raja (Dalam), pasar dan mesjid
Ä ' H H ; ya "S u n t u k ^luruhnya kerajaannya menjadi con-
S w n , 3 " 1 " ? d a n g a d a t ' busana -busana adat, bahasa dan
sebagainya. Dalam (istana raja) tersebut sudah ada tidak jauh dan
bak s, Aceh-Aceh dimaksud. Ibukota Banda Aceh dengan
lingkungannya mesjid, pasar dan tempat kediaman raja (Dalam)-
dalam hubungan sejarah mesjid (sejarah Islam) Banda Aceh baik'
sebagai kota dagang maupun dahulunya ibukota, pada hakekat-
nya adalah kota (pusat) dakwah pada kurun nama Aceh (Aceh)
yang hanya terbatas untuk daerah Aceh Besar sekarang.
Lokasi Banda Aceh dekat dengan sungai Aceh, dan
S T r ^ a m P U n g f n g m a k m u r d a l a m j a n g a n dalam Ban-
da Aceh kampung Jawa, Pande, Peunayong, Lambhuk, Lueng
seuhd R a T U p P T n g ' A i e u k : B a t o h . *™, Keudah, Pasar Meu
seujid Raya, Peulanggahan dan Biang Peureulak. (J. Kreemer,

1) Dalam bulan Mei 1914 sampai dengan April 1915 sarinnn B A n , u

0erdm aSa kamPUnS Pie UlHee


MeuZT ' 'HeU d°" «Si AboeblZTal
Selama penyusunan kamus tersebut di Jakarta, setiap konsep akhir (Dmfti

dua untuk koreksi dan dtben catatan. Setelah selesai ditangan Snouck Hurïmn
i 5 * l T'"" "U dikMm kemba,i ke ada
P Hoesein%aZTlgr7Z
tahun,'oiïl bera"gTg kbih kUrang duaPu,uh tah
™ 0914 ' 34, "dandaam
tahun 1934 barulah selesa, Landsdrukkerij Batavia mencetak kamus bahasa Acl
'lTldaiA'JehSCh - Nederlandsch Woordenboek) atas biayapëmerm,ahHn
du. Belanda yang terdiri atas Jilid 1 (1027 halaman dan Jilid UWW halaman)
Sampat sekarang ini Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek d manfaatkan oM,
para penyusun kamus lainnya, karena didalamnya fcnC^TÄX?
kata yang berasa dan bahasa Melayu Arab da.t Sansekera (R AIDrHoesein
Djajadmmgrat, I, 1934 : l-III; Ensiklopedi Umum, 1973 L 61 ' Ketika Hoe
sein Djadjanmgrat bermukim di Banda Àceh (1914 1915) haruJi\T
,jyj v
Belanda- Arph axa ;o;-n r. ,,"' *' '->'-°aru saja selesai perang
naraZmhJr * , l>' f™*"" * " ' " " « "U Miau ^njumpai sebagian nara

76
II, 1922 : 53 : Dr.C.Snouck Hurgronje, I, 1983, 26 - 7 ; Anthony
Reid, 1969 : 2). 2|
Pada umumnya kampung itu disebut Kampung Pande,, dan
namanya yang lengkap kampung pande Meunasah Kandang.
Menurut naskah "Silsilah Sultan-sultan Aceh dan "Ramalan-
ramalan" yang terdapat di Universiti Kebangsaan Malaysia Kuala
Lumpur, kampung Pande pusat penyebaran agama Islam untuk
Aceh (Aceh Besar sekarang) dalamtahun 510 H (terhitung mulai
16 Mei 1116) yang dipimpin oleh ulama besar Syaikh Adurrauf
Tuan Syaikh Bandar almu qallab Tuan di Kandang dan putranya
bernama Sultan Johan Syah yang menjadi raja di Kampung Pande
Bandar Darussalam.
Dengan diketahui nama Syaikh Abdurrauf Tuan syaikh Ban-
dar almulaqab tuan di Kandang (menurut naskah tersebut), maka
barulah jelas bahwa namanya itu tidaklah lain adalah nama dari
Tuan di Kandang dimana yang makamnya masih utuh dikam-
pung pande sampai sekarang ini. Dengan demikian kampung
pande Meunasah Kandang yang telah disinggung terdahulu
mengikut makam Tuan di Kandang. Gelar Tuan pada sesuatu
makam di Aceh, bermakna almarhum yang dimakamkan di tem-
pat itu berasal orang asing dan dipandang keramat, sementara
Kandang bermakna kompleks makam raja-raja/keramat. (R.A.
Dr.Hoesein Djajadiningrat, I, 1934 : 658 - 9,11 : 1205).
Menurut buku Adat Atjeh, Sultan Johan raja pertama di
Aceh ketika agama Islam bermula di daerahnya dalam tahun 601
H (terhitung muliai 29 Agustus 1204). (G.W.J.Drewes and
P.Voorhoeve, 1958 : Introduktion, 31 halaman aksara Arab). 3 '
Sementara itu, menurut "Silsilah Sultan-sultan Aceh dan
Ramalan-ramalan", kampung pande Bandar Darussalam Per-
tama sekali diperintah oleh Sultan Johan Syah sampai dengan
Sultan Alauddin Abukasim Muzafar Syah (10 sultan/533 H 689

2) Dalam masa pendaratan Jenderal J.H.R.Kohier ke Banda Aceh (April


1873), kampung-kampung dalam lingkungan Banda Aceh telah hancur sama sekali.
3) Penanggalan berdasarkan Harry W.Hazard, Atlas of Islamic History,
Princeton Univercity Press 1954 (Conversion Table of Date hal.44)
Dengan meninggalnya segala kerusakan sisa pasukan Kohier meninggalkan
Banda Aceh tanpa mencapai istana Sultan (Dalam), mereka via pantai Cermin
(Uleelheu) pulang kembali ke Jakarta dengan armada kapal perang.
Pendaratan kedua kali yang dipimpin oleh Jenderal J. V.Sweiten, berhasil
merebut istana Sultan (Dalam/Kutaraja) yaitu puing-puing dan bekas istana itu
pada tanggal 24 Januari 1874. Sejak saat itu hanya diperkuat garis hubungan
Dalam/Kutaraja dengan pantai Cermin di Uleelheu. Bekas lapangan dan puing-
puing istana (Dalam/Kutaraja) ditetapkan selaku pusat pertahanan militer un-
tuk daerah Aceh Besar (Srt keputusan 19 Maret 1874) (Staatsblaad 1874 no.86)
(J.Kreemer,1,1922 :16) Pendopo Gubernur Aceh (dahulu terkenal dengan nama
van Heutszaal) dibangun dalam tahun 1880.

11
- 1138 - 1270). Menurut orang-orang tua dahulu, Kandang
(Kompleks makam raja) yang tertua di Aceh (Aceh Besar)
tidaklah lain Kandang yang terdapat dikampung Pande ; tentu'
ada hubungannya dan yang disebutkan dalam De Hikayat At-
jeh dimana Kandang sekarang merupakan sebuah kampung yang
tidak jauh dari Kutaraja. (Dr. Teuku Iskandar, 1958 31)

(Kesimpulan)

Seperangkat informasi kota dagang/ibukota Banda Aceh


dimana pola-nya berdasarkan kompleks perkampungan, paar
i a n Ä - a n L m e T d , S e b a g a i S e n t r a l d a n D a l a m (istana raja)

u, , D a l a m D h u bungan ini dan untuk menentukan penanggalan


berd irin ya Banda Aceh, agak sulit, baik penelitian kepustakaan
maupun di lapangan. Untuk mengatasinya, Banda Aceh diang"
gap didinkan-oleh Sultan Johan Syah Sultan pertama di Aceh.

padaSXJa°lhaî ï m ^ h ï S ^ T l S Z T ™
a,aman tekS AJ ) m H
^MicT =S u S
W,™ f/, A uTnT D
?" Inf°rmasi
Ramala ra
Aceh-Banda Aceh memiliki Silsilah
JtnZh J ? "- ^^-<fotocopy,yangdiperoleh dari Univer-
e n an Mala a Kmla LumpUr Sils,lah
Tn , t r r - W Oudul) dimuat dalam Ar-
DrPrJk, ITT* 16 UdUl
l naSkaH
'ainnya yang berasal dari Aceh, keiika
MuZkh hkanda[memb™rakm "A Document Concerning the Birth of Iskandar
Muda berdasarkan naskah no. 15 (berkenaan hari bulan lahir Sultan Iskandar
Muda). (Acrhipel 20, 1980: 214-6). '^anaar
H ituTJn 'Iff m,e"8,Urm8i 'Ugas kepurbakalaan, atas bantuan Saudara
"SyukriDaud Kepala Urusan Agama Kecamatan Kuta Alam Kotamadya Ban-
da Aceh dan Sdr Bustami M.Aji mahasiswa IAIN Ar-Ramry Darussalam (sedang
7ada3eTtta)hSkriPt Dakwah
>^"-baru ini telah berhasil membacainskrpi
batU mSm dikor
PandlhT^T "P'ek ™k<"n Tuan di Kandang kampung
kekiblat(barT). " ^ * * * " " """"'' "*"" *«*' TU"" * ^ang'.rah
D Jf,"^! n'Sa" n0j an,ara 'ain Jelas d'baca : Sultan Muzaffarsyah 10
A di'thTl4°h
a H (
lrf""8 mUlai 9 M '339> d°" pada b«'« nisan nT9 Sultan
9 utl3Ï9)RPT, MKuhrmaiAlauddin <?) 19 Sya'ban 740 H terhitung mulai
L t } Kedm mskr s
'P ' '"i menghadap ke selatan
Pada batu nisan sebelah timur dari makam Tuan di Kandang terdapat batu
"r'am 865^71^'T"" *»**»**> : Sirajulmukmmin KLIS1S%«%?.
ram 865 H terhitung mula, 17 Oktober 1460 (Lihat lampiran ha 8)
Dalam Silsilah Sultan Sultan Aceh dan Ramalan Ramalan" tersebut dialas
tertulis : Sultan Alauddin Abuqasim Muzaffar Syah (678 - 689 H =12791290)
Dengan berhasilnya pembacaan 3 batu nisan tersebut merupakan bahan in-
f
niZ7,
ninggalan uZSadanSekali
T Sejarah UntUk proyek
Purbakala Propinsi Pemugara
Daerah" dIstimewa
°" Pemeliharaan
Aceh Pe-

IH
MAKAM SIRAJUL MUKMININ DI KOMPLEKS TUAN
DI KANDANG KAMPUNG PANDE BANDA ACEH

/. R.A. Dr.Hoesein Djajadiningrat, Atjehsch Nederlandsch Woordenboek, 1,11,


11934, Lansdrukkerij Batavia.
2. Ensiklopedi Umum - 1973-Pen. Jajasan Kanisius Jakarta.
3. Anthony Reid, The Contest for North Sumatra, University of Malaya Press

4. J. Kreemer, Atjeh, I, II, 1922.


5. Dr. C.Snouck Hurgronje, De Atjehers, I, 1983.
6. G.W.J. Drewes and P. Voorhoeve, (Adat Atjeh, 1958).
7. Harry W. Hazard, Atlas of Islamic History, Princeton University Press 1954.
8. Dr.Teuku Iskandar, De Hikayat Atjeh, 1958.
9. Archipel 20, (extrait), 1980, Publiées avecle concours du Centre National de
la Recherche Scientifique.

79
Hasil Penelitian Kaligrafi
Pada Beberapa Makam Lama Di Kampung Pande

Sepanjang diketahui di kampung Pande (dahulu termasuk


dalam Daerah eAceh Besar), sekarang dalam daerah Kotamadya
fifMn u b , h k u r a n f i 3 K -M. dari pusat kota kotamadya
(K.M.O jembatan Pante Perak), terdapat banyak makam lama,
yang sebagian besar batu-batu nisannya terukir kaligrafi yang
demikian rupa indahnya.
Pada umumnya disebut kampung Pande. Namanya yang
engkap Kampung Pande Meunasah Kandang "Nama Kandang
terkait dengan nama makam Tuan di Kandang, makam keramat
yang terkenal sejak dahulu sampai sekarang.
Baik makam-makam lama (Sultan) di sekitar Pendopo Gu-
bernur Aceh sekarang maupun ditempai lainnya yang telah ter-
tCahunmi9?4am ° U d h e i d k u n d i g V e r s l a 8 (Lapuran Kepurbakalaan)
Dalam hubungan ini makam-makam di Kampung Pande di
singgung sepintas lalu dalam buku Aceh
Zoo werd in nabij Koeta Raja gelegen kampoeng Bitaj aangetrof-
fen het graf van Soeltan Cala ad-din (1548),.... in de kampoeng
Pande dat van Soeltan Ali Riayat Sjah (1598)....
Dekat Kuta Raja terletak kampung Bitay, terdapat makam
Sultan Sala ad-din (= Salehhuddin), mangkat 1548 M...., dikam-
pung Pande makam Sultan Ali Riayat Syah (mangkat 1598....)2).
Para pengunjung makam kampung Pande baik dari luar
daerah maupun dalam daerah, senantiasa memberikan saran agar
kaligrafi pada nisan nisan disana sebaiknya diteliti kembali.
Dalam hubungan untuk memperluas informasi dalam buku
Atjeh karya tulis J.Kreemer mengenai kampung Pande dimaksud,
dan selanjutnya bermanfaat untuk seminar "HARI JADI BAN-
DA ACEH" yang diadakan di Banda Aceh pada tanggal 26 - 28
Maret 1988, termasuk kemanfaatannya dalam Pekan Kebudayaan
Aceh ke III (Agustus 1988).
Pusat Dokumentasi telah mengadakan penelitian pada be-
berapa makam di kampung Pande, penelitian sekedar untuk
mengungkapkan kaligrafi. Dengan bantuan Sdr.H.Syukri Daud

I). R.A. Dr.Hoesein Djajadiningrat, Atjehsch - Nederlandsch Woordenboek


I, 1934, hal. 91-92.
Kampung Pande terletak antara pantai Cermin Uleelheue dan sungai Aceh,
bertetangga dengan kampung-kampung Peulanggahan, Jawa dan Biang Peureulak.
Menurut keterangan penduduk, arah ke pantai Cermin dahulu ada kampung
bernama Lamraya yang telah lama dirusakkan oleh air asin dan menjadi tebat-
tebat ikan.
2). J.Kreemer, Atjeh, I, 1922, hal. 53.

80
h'

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Kuta Alam Kotamadya


Banda Aceh dan Sdr.Bustami M.Aji mahasiswa IAIN ar-Raniry
Darussalam telah berhasil membaca kaligrafi pada tiga batu nisan
di Kompleks makam Tuan di Kandang, dimana letaknya batu-
batu nisan tersebut terhitung batu nisan nomor 1 (satu) (pada
nisan kaki Tuan di Kandang) kekanan menghadap ke Selatan
(Lihat lampiran skets dan teks).
Untuk melestarikan kaligrafi pada batu-batu nisan di kam-
pung Pande...3)-, telah waktunya kompleks makam diberikan atap
dari terali (dinding) pengamanannya.
Demikianlah diperbuat lapuran hasil penelitian tersebut,
semoga bermanfaat, terutama bagi para peneliti.

BANDA ACEH, 12 FEBRUARI 1988.

Hari Jadi Banda Aceh


(TAMBAHAN)
Agama Islam berkembang di daerah Aceh Besar sejak
pertengahan kedua tahun 601 H (1205), dimana dalam kurun itu
yang bernama Aceh hanya untuk daerah Aceh Besar sekarang.
Yang mengembangkan agama Islam di Aceh Besar, menurut
kronik, yaitu Sultan Johan Syah dengan pusat kedudukannya di
Kandang Aceh. ')
Perkembangan Islam di Aceh Besar sesudah Kandang Aceh
telah melahirkan vorstendom lainnya seperti di daerah mukim
Biluy (pedalaman Aceh Besar) dalam kurun akhir abad ke XV
M. dan di daerah kampung Kuta Alam (Banda Aceh) dalam kurun
menjelang pertengahan abad ke XVI M.2>-
Baik Biluy maupun Kuta Alam sampai sekarang ini terdapat
makam-makam raja yang telah dipugar oleh Kanwil Depdikbud
Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Bidang Permuseuman dan
Kepurbakalaan), termasuk makam di kampung Pande (Banda
Aceh).
Telah lama menjadi pertanyaan, dimana letaknya Kandang
Aceh tersebut diatas, kendatipun menurut cerita dari mulut
kemulut Kandang Aceh itu terletak di kampung Pande, dimana
nama lengkapnya Kampung Pande Meunasah Kandanag karena
3). Telah dipugar oleh Kanwil Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Aceh
(bidang kepurbakalaan).
D- Raden Hoesein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh, alih bahasa Teuku Hamid.
Depdikbud Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa
Aceh 1982/1983, hal. 9
2). J.Kreemer, Atjeb, 1922, Eerste Deel, hal. 53.

81
Kanda 8
Ä^Ä*"di " ™ ^ >- « -
Berkenaan dengan penelitian makam-makam raia di Aceh

5anf be stfaf h i ? P e m o t r e t K a n P a d a nisan-nisan lama, terutama


yang bersifat historis, baru-baru ini Saudara Haji Syukri Daud
S A- " ' f A g a m a K e c a m a t a n Kota Alam dan Saudara Bus
term Aj, mahasiswa IAIN Ar-Raniry Darussalam telah berhasil
1 Pa 3 batU niSan di k 0 m l e k s
S Kandang
di Ä i!*™*
kampung Pande o Banda Aceh. Bantuan P tulus makam
ikhlas Ä
Saudara-saudara tersebut yang disumbangkan kepada Pu a
Dokumentasi tanpa pamrih sungguh kita menghargainya
Koleksi kahgrafi dimaksud dengan tujuan bahwa disamping
diUSah3kan membaca
S a penditi!' ^ " y a u ^ u k kepentingan
Dun e I p e a b nS a ,ti! ai îiî^ baCaan k a l i S r a f i P a d a 3 h ^ nisan di kam-
pung Pande itu, telah mengungkapkan sedikit periode perkem-
bangan Islam di Aceh Besar dalam abad ke XIII M. sebagaimana
PembaCaa Pada nisan
Ä t SS: "* W ^ S n Ali
Inilah makam Sultan almarhum yang diampuni lagi dimulia-
kan bernama Sultan Ali Riayat Syah ibn Munawar Syah ibn
Muhammad Alaidin Syah mangkat hari Rabu 17 Sya'ban
tahun 670 Hijriah Nabi Mustafa SAW (1271 M.)
Dengan bukti penanggalan mangkat Sultan Ali Riayat Syah
itu, berarti kampung Pande sekarang ini adalah Kandang
Aceh yang tersebut dalam naskah dan yang dibicarakan
oleh Bapak Dr.Teuku Iskandar dalam De Hikajat Atieh
1958, halaman 31:
De naam Atjeh is van zeer oude datum, zo niet greven oud
dan toch niet veel jonger dan Lamri.64
Immers de eerste vorsten van Atjeh hebben zich te Kandang
Atjeh gevestigd. Kandang is tegenwoordig een dorp op enige
afstand van Kutaradja. Sultan Mahmud Sjah verplaatste na

3). Ibid.

64. Gerini Acht he, waarschijnlijk dat het 1300 door Dimashki bedoelde Ar-
shir naar Atjeh terugwijst.

82
43 jaren te Kandang Atjeh geregeerd te hebben, zijn zetel naar
Dar ad Dunia...Dat dit Kandang Atjeh niet is opgemerkt
door buitenlandse zeevaarders voor 1500, komt onzes inziens
omdat het een onbeduidende plaats was, gelegen meer dan
een mijl het binnenland in, op enige afstand van de zuideli-
jke oever van de Atjeh-rivier.
Terjemahan bebas :
(Nama Aceh telah tua sekali, jika tidak sama tuanya toh tidak
lebih muda dari pada Lamri.64 Sesungguhnya raja-raja Aceh
pertama berkedudukan di Kandang. Kandang sekarang ini
merupakan sebuah kampung dekat Kutaraja. Sultan
Mahmud Syah memindahkan kedudukannya ke Daruldunia
setelah 43 tahun berkedudukan di Kandang. Bahwa Kandang
Aceh sukar diperhatikan oleh para pelaut luar negeri sebelum
tahun 1500. Karenanya kita perkirakan sebuah tempat yang
tidak mudah dilihat, letaknya satu mil dari tepi pantai, dekat
tepi sungai Aceh sebelah selatan).
Demikianlah'tambahan informasi untuk makalah Pusat Do-
kumentasi Dan Informasi Aceh Tentang Hari Jadi Banda Aceh.
Dicatat disini, bahwa bila pembacaan kaligrafi pada nisan-
nisan di kompleks Tuan di Kandang Kampung Pande dapat
diintensipkan dengan dukungan dana khusus, kelak membuka
tabir sejarah perkembangan Islam di Aceh Besar yang lebih luas.
Hasil pembacaan kaligrafi pada 3 batu nisan yang dibicara-
kan dalam makalah tambahan ini turut dilampirkan. Semoga ber-
manfaat hendaknya.

64. Gerini memperhatikan kemungkinan bahwa lebih kurang tahun 1300 Arshir
yang dimaksud oleh Dimashki adalah Aceh

83
^

T J W ' Î

Im lak makam S-irniuL


/5" MuJta.r-r-arii-

'cX^iu^-ü
'1 i *
>-*-/u£ ^ „ o ^ put.LtA.

7 e*t°ycr ll+^aj

kory,pLe.le

o~ VW'a
ia™ ala.' Ö c*™ _ a J)c,g_
. .-^

84
,
', i 3111 fl* i'

&X£JI

iitlmjjuiii
mulia y A , t u j u i t a n AVUlu'llah

^%J :
: Wmii
v vr--- <"' '^Siiw-

A , ,; H ibvi Sultan
*~ ' ' i i5i»fHH'«tiB?B Manaur Syah
' d-t'î-.'!iï'-lîS hari Ahud
waktu aüur

: ^ - °""al
. <>iS ..) 5 ^ - . a l ' J V l ! : < i MAKAM DALAM
' Z1 ' l f e " S 3 ? " » S f « J " - ' " . V ^ g KOHPffiKS MA-
K N J
- Jt>f ->*S
3~ * ™
ajm TUA« " DI
"I }
- |>*r KAHDAHG KAM- iffir
HING PANDÉ
,, " ' J ' JSIÜIE
^ "J W
l'a ssaallllaa ''llllaahhuu <aO > l ' , >-^—
^ £>\i > <^ V ^ L ^ ' - k ^ -
Uuaa.ya „lluh .ampunilah » > Çf"i K-'tW.-f. Z *TZT. J'V
....d.tl. JaJiKunHm-B. tempat»,» > J ! < 3 - " o - > " i i V & ï - ^ * , * ? <>î
' "w11 - 't ' /", -r. <.;Cr,-'-r-

85
Banda Aceh Sebagai Pusat
Kebudayaan Dan Tamaddun
Oleh :
Dr. Hasan Muarif Ambary
(Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)
I
A. Pengantar

Kami sependapat dengan Panitia Penyelenggara Seminar


yang menyatakan bahwa Banda Aceh yang tumbuh sebagai P u ï
äZTl \ C e h K e,ah I a h i r d a n b e r k e " * a n g dan muncul sejalan
er n g n y a m a S y a r a k a t d a l a m ber
hidu ann a °agai aspeic ke-
Dalam membahas Banda Aceh sebagai Pusat Kebudayaan
dan Tamaddun, pertama-tama kami akan mengemukakan ke-
rangka teoritis tentang konsep-konsep kebudayaan dan Tamad-
dun, dan dan sudut mana kita akan mengkajinya. Kedua, setelah
masalah teoritis itu dikemukakan kami perlu membatasi aspek
dibahas1"3 S a j a y a n g P e r l U d i t o n j o l k a n s e b a 8 a i Prioritas untuk

»K.h7 SiSi S l a h ,'J a k n i m a s a l a h kerangka teoritis tentang


Kebudayaan" dan "Tamaddun" dengan pendekatan analisis se
jarah dan bertujuan untuk membahas studi kasus tentang
beberapa aspek kebudayaan dan tamaddun yang berkembang
pada salah satu fase pertumbuhan kerajaan Aceh yang b e r n S
di Banda Aceh (Bandar Aceh Darussalam).

B. Kerangka Teoritis
Dengan tidak mengambil semua teori-teori tentang penger-
tian Kebudayaan'' maupun ''Tamaddun" serta berbagai aspek-
nya pertama-tama kami ingin mengemukakan dahulu pandangan
Islam tentang "Kebudayaan" dan "Tamaddun".
Konsep-konsep barat mengenai manusia, budaya dan
peradaban, hampir selalu bersifat antroposentrik (berkisar sekitar
manusia .sedangkan konsep-konsep Islam selalu bersifat teosen-
tnk (berkisarr sekitar Tuhan). Konsep Islam mengandung nilai
dan norma untuk mengatur kehidupan manusia kedalam empat
dimensi, yaitu hubungan dengan Allah (hablum minallah)
hubungan dengan sesama manusia (hablum minan naas)
hubungan dengan lingkungan alam (hablum minal 'alam), dan
hubungan dengan dirinya sendiri (hablum min nafsihi)
Konsep Islam tentang kehadiran manusia, antara lain-
manusia j a d i k a n oleh Allah sebagai khalifah Allah di muka
bumi (QS. 2-30, QS. 3: 26), dan Allah menyediakan apa^äng

86
PP"

ada di langit dan di bumi bagi manusia untuk diatur sebaik-


baiknya (QS. 45: 13. QS. 11: 61). Manusia diberi kelebihan dan
keutamaan oleh Allah melebihi makhluk yang lain (QS. 2: 243).
Konsep Islam dalam menuju tazkiyah, yaitu penyucian diri yang
tidak hanya individual tetapi juga secara kemanusiaan, menjadi-
kan peradaban dunia ini lebih agung dan manusia lebih mulia.
Berlainan dengan konsepsi seperti yang telah dikemukakan
tadi beberapa teori kebudayaan yang berasal dari barat telah
berkembang dan disebut sebagai bahagian dari filsafat ilmu
pengetahuan.
Semula kebudayaan dimengerti sebagai gagasan, nilai-nilai
dan kepercayaan yang dimiliki dan berlaku dalam sesuatu kelom-
pok manusia. Tetapi kemudian, pandangan ini diperbaiki dengan
munculnya anggapan bahwa kebudayaan itu merupakan sesuatu
sistem nonbiologis yang dikembangkan oleh manusia untuk meng-
hadapi lingkungannya (Stuart Streuver, 1979: 84).
Secara arbitrer unsur-unsur kebudayaan itu mencakup ber-
bagai subsistem, yaitu (1) Subsistem sosial, (2) Subsistem religi,
(3) Subsistem psikologi, (4) Subsistem ekonomi, dan (5) Subsistem
budaya material. Bagaimanapun, secara konseptualisasi sistem-
sistem budaya sebagai suatu integrasi antarsubsistem, berada pada
tiga level, yaitu (1) di dalam tiap subsistem, (2) di antara sub-
sistem, dan (3) antara seluruh sistem dengan lingkungannya.
(David L. Clarke, 1971: 103-104).
Di dalam rumusan yang lebih populer, seperti yang sering
dikemukakan Kuntjaraningrat, kebudayaan adalah seluruh
kelakuan, tata-kelakuan dan hasil-hasil kelakuan yang berlaku
pada masyarakat dan lingkungan tertentu. Selanjutnya, dengan
meringkas berpuluh batasan dan unsur kebudayaan, maka Kun-
tjaraningrat mencatat bahwa paling tidak terdapat tujuh unsur
kebudayaan yang bersifat universal, yaitu (1) sistem peralatan dan
perlengkapan hidup, (2) sistem mata pencaharian, (3) sistem
sosial, (4) sistem bahasa, (5) sistem ilmu pengetahuan, dan (6)
sistem kesenian, (7) sistem religi (Koentjaraningrat, 1980: 7-8).
Dengan pengamatan data arkeologi maupun sejarah tidaklah
secara keseluruhan dapat diamati dan dimengerti, karena sudah
tidak diperoleh sisa atau peninggalannya. Pandangan tersebut di
atas lebih bersifat etnologis dan antropologis, yang bukti dan
kesaksiannya masih ada dan dapat diamati secara jelas.
Baik dalam arkeologi maupun ilmu sejarah, data-data yang
diperoleh untuk diteliti jauh dari lengkap. Dalam perjalanan yang
panjang, data-data tersebut mengalami berbagai proses baik alami
maupun budaya, sehingga data-data itu mengalami perubahan,
penyusutan, penambahan, pindah tempat, bertukar hubungan dan
sebagainya. Perumusan dan pemahaman kebudayaan dalam
arkeologi lebih bersifat hipotetik didasarkan pada fakta dan
asumsi-asumsi yang teruji.

87
an t e Ä 211U™ngh fa rmUbSa mr ke al en Aa s«k a* sebagai pusat kebudaya-
S w vi K "f P n diri dari berbagai bias
ba k yang berprasangka kedaerahan maupun karena dfronTan
untuk mencapai tujuan secara tidak proporsional
arkeol
lomnol? °gi. terminologi pusat kebudayaan penge-
lompokan unit-unit pemukiman besar dan kecil, dimana salah
satu di antaranya berfungsi sebagai wilayah pusat fil?
sementara unit-unit lainnya berfungsi sebagai w layah s u b S
^ub-central place). Data yang diperoleh dari berbagai unkter
masuk pusat, mencerminkan saling hubungan S t a r uni
Hubungan tersebut bisa hubungan simetris ataupun reslprokâ'
sesuai dengan posisi dan fungsi masing-masing unh '
Melanjutnya, dari segi peradaban diperlukan pula pemerin-
cian.unsur-unsur apa saja yang dapat mendukung a s u m s f r X a
k^waslrrS? 6 ™ 1 1 bJfUn8Si Sebagai Pusat Peradaban bagi
kawasan di sekitarnya. Memang dalam kaitan ini rumusan
mengena, peradaban itu sendiri, kita tidak harus elalu meng
seLr2arma?ÏÏyang be embangdi b a
ï - t . karenaÄTeTafu
sesuai dalam aplikasinya. Namun demikian kita tidak menutun
diri untuk menggunakannya sebagai parameter pembandTg '
Peradaban merupakan salah satu tahapan lanjut dalam
fdeÏA
dan i ™ Z r S H dlti
vyang,îltandai 0leh berbagai macam
'«novasi
ÏÏLr P l nggalkannya perilaku barbarisme dan irra-
.onal. Puncak peradaban ditandai pula oleh perilaku meman-
faatkan secara optimum sumber-sumber daya fisik E v a
spiritual dan manusia, dimana individu-individu berada dakm
mekanisme dan kerangka sosial. (Webster, 1966: 413)
peradabatya n itu: ilde "*** " ^ < * * y a n g m e n a n d a i "**
1 1
SSSadan
' (kota) d a n b eSaran
>
Sf pemukiman P e sekitarnya
di
nduduk
dalam pemukiman pusat
2. Meningkatnya surplus hasil produksi
3. Spesialisasi dan penganekaan hasil produksi
4. Meni n g kat dan terorganisirnya perdagangan'jarak jauh
5. Pendirian bangunan-bangunan untuk umum, seperti
bangunan peribadatan, istana, gudang, irigasi dan sebaga!-
6. Meningkatnya ekspresi simbol-simbol
7. Munculnya seni tulisan
8. Meningkatnya perkembangan ilmu dan pengetahuan baik
yang diakibatkan oleh meningkatnya teknolog' secara Umum
maupun dikenalnya tulisan sebagai media rekam Han
am dan
menyiarkan informasi.
9. Sistem politik yang diorganisir secara baik.
ÏÏA S kelas - kelas penguasa- s"*rti k « ~ .
88
(E. Adamson Hoebel & Evertt L.Frost, 1976: 161).
Namun demikian, perincian Childe tentang peradaban itu
dianggap lebih mengacu kepada kriteria peradaban yang eksklusif,
yaitu pada urbanisasi, militerisasi, stratifikasi, dan birokratisasi,
yang keseluruhannya sangat bersifat teknis, yang satu sama lain
seringkali merupakan penemuan yang saling terpisah dan tidak
berkaitan. Adam cenderung berpendapat bahwa basis mata pen-
caharian pada setiap peradaban adalah pertanian menetap, yang
menimbulkan persamaan-persamaan hasil sehingga perlu dilaku-
kan organisasi dan distribusi dari surplus yang ditimbulkannya
(Robert M. Adam, 1966). Pertanian menetap memerlukan sistem
irigasi yang terorganisir, baik melalui modifikasi drainase-drai-
nase alami maupun pembuatan irigasi antar lembah-lembah
sungai.
Bahwa tidak seluruh aspek komponen peradaban versi Childe
itu harus ada. Terlihat bahwa peradaban Maya tidak mengenal
bangunan-bangunan yang kompleks dan tidak pula mengenal
tulisan (Stuart Struever, 1979: 78).
Hal-hal yang diuraikan di atas, bagaimanapun merupakan
parameter dan paradigma Barat yang tidak selalu pas buat kita
yang "timur", terlebih lagi yang "muslim". Untuk memahami
peradaban manusia, maka konsep Islam tetap akurat dan relevan,
yang secara jelas memperlihatkan hakikat, kodrat dan kedudukan
manusia terhadap Tuhan, sesama makhluk dan terhadap alam.
Namun demikian, cukup menarik ciri-ciri suatu peradaban
(tamaddun) seperti yang telah dirinci oleh Gordon Childe dalam
sepuluh komponen. Setidak-tidaknya dalam mengamati perkem-
bangan Banda Aceh sebagai pusat kebudayaan (culture) dan
peradaban (tamaddun) dalam perjalanan sejarahnya dengan studi
kasus dan memakai pendekatan sejarah dan arkeologi, kami akan
memakai konsep Gordon Childe untuk mengamati beberapa
aspek saja dari Tamaddun yang berkembang di Banda Aceh
terutama pada abad-abad 16-18 Masehi, yaitu:
(1) Berkembangnya pendirian bangunan untuk umum (istana, pu-
sat peribadatan, perkembangan irigasi, gudang, tamansari,
pusat pasar dan sebagainya).
(2) Meningkatnya (berkembangnya) ekspresi simbol-simbol.
(3) Meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan baik karena
kemajuan teknologi maupun karena kemakmuran yang ber-
sifat ekonomis.

II

A. Banda Aceh sebagai Pusat Kerajaan Aceh


Dalam sejarah perkembangan kota-kota di Indonesia, khu-
susnya kota yang sudah berdiri sejak masa kuno beberapa abad
89
lampau, barangkali hanya beberapa kota saja yang memiliki
S Ä de" 8 ' 1 beS% d a 7 ° r a n g a S i n g ' y a k n i berupa c ' t S a n n
l J l g k o t f d " n g a n c u k u P ungkap. Kota-kota tersebut di antara-
nya ialah Banten (berdiri permulaan abad 16), Kota Gede
abad I7) dan Bandar
(ïiffiA^
a S e m u a C a t a t a'n i t u elas B a n A^h-D^lSS
SU K K " J da Aceh-Iah yang
tebanvakT ^ " e t . r 0 p 0 l i t a n y a n g m e m i l i k i «tatan sejarah
terbanyak. Memang kalau saat ini kita melihat sisa peninggalan
dari aWal Pendirian dan
I^I^MT^Ï P-SaS d
hphlo P [ a d a lagl y a n g tersisa
- S i s a yang ada hanya
beberapa bangunan dari abad 17 Masehi, yakni Gunungan dan
Masjid Batturahim (yang dirombak toudoleh Belanda fbad 19

Banda A œ h l S ^ 8k ^m raja t 3 m a d a r i eni


^ Uraja Aceh baik P "ggalan
ang e sejarah di
Sghayatsyah)
avate H l l "
d kompleks makam Kandang XII bahkan y P "amamakam
(Mu-
AÏm a DaruI b K Um t*"*"" ^ berdi
" ^ k n i raja " S
Alam Darul Kamal yang terdapat di Kuta Alam (Bilay)
kot, A 3 T n ?u\Catatan dan
Pemberian kota serta bangunan
kota Aceh sejak berdirinya maupun pada masa kejayaannya S a h
menarik perhat.an banyak penulis asing terutama para pemim
yang CUkup ,ama b P
* r f t ermukim di k o ï Z -
da Aceh. Catatan berikut mi adalah cuplikan-cuplikan tentang tu
pemukiman Bandar Aceh dan kotanya P,1Kan ten
tang
A „ h D e l k ngpaS i t e n t a n , g k e akdear aa nj a aKngkungan alam sekitar Banda
n kalau disimak
F r n n l m e n 'u n^ u k k a^n b^a h a ' dari c ï a n
S f t J * lingkungan alam kota Banda Aceh
pada abad 16E maupun 17 tidaklah terlalu "ramah" terhadao nara
Ä S / a 0pah >- I Ketidak - ram ahan alam pantaJuntÄa^uk
catatan ™ Î * °^g a S m g d a l a m k u r u n d u a abad dan
catatan
e a gmereka menunjukkan Kres peristiwa
5 1 3 ) me yang tidak terlalu me
catat ba
Ko ta Ba nda TT.IT °
Kota Banda Aceh dikelilingi oleh Pulau Gomes (Ganispola " hwa walaupun
yang
maksudnya pulau dihadapan pelabuhan Aceh) namun t d a S
mudah untuk masuk ke Bandar, sebab kalau tidak hati-haribS
kandas. Hal ini pernah dialami oleh Graaf (1640-1650)
" K a S T f , m e n u l i s c a t a t a n Pengalamannya sebagai berikut:
Kami berlayar menyusuri pantai barat Sumatra dan nyaris kan
S f u ï t i d T f - ' 3 " " 8 P U , ° W e h ' d a n -andainyaTauTpada
waktu itu tidak tinggi, rasa-rasanya kami tidak bakal selamat "
(D. Lombard, 1986: 54, catatan 1). seiamat.
Teluk Aceh di abad 16-17 sampai sekarang dapat dimasuki
v"at H-Ï 8 n e r U S a n , a i a U a l U r S U p a y a berdekatandarfpulau p l u
Ya g p e a m a di ebut
S a n "Sura?"
terusan Surat Tdipakai F ^untuk T menuju
^ " " yang kedua
Gujarat, '
vâng
yang i'd J e Hbernama
tidak
USan B e n 8
adalah
ntUk m e n U U a n t a i
J f " Udimaksud J Selat
ke P Malaka timurïndLdan
(Damfier,
wmmm

1723: 148; D.Lombard, 1986: 54).


Demikian juga yang dialami oleh Laksamana Prancis
Beaulieu (1620-1630) ketika hendak mendarat di kota Banda
Aceh. Ia memerlukan delapan hari sebelum bisa mendarat padahal
untuk itu jaraknya hanya tinggal 4 mil dari tempat kapalnya
berhenti dan menjatuhkan sauhnya untuk berapung. Ketika hen-
dak masuk ke Banda Aceh melalui sungai, ia disambut oleh angin
yang bertiup dari haluan sampai ia kehilangan sangkar (D.Lom-
bard, 1986: 55).
Barangkali semua catatan musafir Eropah itu menunjukkan
kepada kita memang lingkungan alam pantai seperti Banda Aceh
merupakan pagar alamiah sehingga mereka tidak dengan mudah
masuk kota dari arah laut dan juga kita malah bertanya ke-
mampuan teknik navigasi orang Eropah abad-abad itu belum
begitu mengenal faktor-faktor alamiah daerah kawasan di ujung
utara Sumatra ini. Hal ini diakui sendiri oleh Beauliaeu yang
tercengang-cengang menyaksikan kota Banda Aceh tanpa benteng
kota namun secara alamiah kesukaran-kesukaran yang dialami
oleh orang-orang Eropah merupakan jawaban mengapa di
bahagian hadapan ke laut Banda Aceh tanpa tembok kota. Orang
Aceh cukup sadar tidak perlunya tembok kota untuk pertahanan
(T.Iskandar, 1958: 160; D.Lombard, 1986: 58) melawan musuh
yang datang dari kota daratan. Hikayat Aceh menyebutkan
bahwa gajah-gajah tempurnyalah yang merupakan benteng kota
sesungguhnya (T.Iskandar, 1958: 160; D. Lombard', 1986: 58).

Dengan gajah dan armadanya ini Banda Aceh memiliki


kesempatan berkembang. Di abad 17 kesan tentang kehidupan
yang penuh gairah dicatat oleh Davis. Ia mencatat bahwa kota
Aceh bukan main luasnya. "Kemanapun kami melangkah, ada
rumah dan kerumunan penduduk sehingga saya kira kota itu
meluas menutupi seluruh negri" (Davis, 1625: 121: D. Lombard,
1986: 59).
De Graaf mencatat bahwa kota Banda Aceh kelilingnya kira-
kira 2 mil dan Dampier menyebut jumlah rumah penduduk kota
Banda Aceh sekitar 7000-8000 (D. Lombard, 1986: 59).
Iskandar Muda menurut penjelasan Beauliau dapat
mengerahkan armada militernya 40.000 orang.
Pusat-pusat kegiatan umum yang menghidupkan denyut jan-
tung kota ialah pasar dan mesjid. Davis mencatat bahwa di Ban-
da Aceh terdapat tiga buah pasar besar untuk kegiatan transaksi
jual-beli dan segala macam barang perdagangan ada (Davis: 121;
D.Lombard: 60). Di tempat inilah para pedagang negeri dan
asing, baik ia muslim maupun nonmuslim, menyelenggarakan
kegiatan perdagangan. Peter Mundi bahkan mencatat bahwa di
pasar telur penyu rebus pun diperdagangkan (Mundi, jilid II: 33'6).

91
Iskan^a M.fn ya f ni^dA c e h dipugar dan diperbesar semasa
Ü fft uh nl t a hsu en m1614 - S a y a n S s e k a l i mesjid Baitul
A?am ( 1 6 7 * 58^) Gia m b^a r y a n^g pemerintahan
dibuat Peter M
Sultan Nuru
mS?n»ï H5 ' ™di 1637
mfn?K ? d o k u m l n t a s i P alin S Penting untuk mengetahui bagai
mana bentuk mesjid Baitul Rahman dahulu (Lombard, 1986:1?).

metrSebagai bukti bahwa Banda Aceh di abad 17Jtelah


0polltan; D a v i d m e n c a t a t b a h w a dj
meniadi
t o menjad
perkampungan yang dikelompokkan pada tempat tinggal p?
dagang dan bangsa asing. Ada kampung Portugis G u j i a f Arab
seperti orang Hindu. Kata Davis, mereka memiliki temDat
peribadatan sendiri. Kampung Cina dan Eropah malah berhfm
P tan. Pada umumnya rumah terbuat dari kayu, bambu dengan
g
atap alang-alang (Graaf: 23; D.Lombard: 61)
Dan deskripsi kota Banda Aceh di abad 16-17 tentane
lingkungan alam pusat-pusat kota, penduduk dan varias7Pen
tui lZ?hüIï J ak akW0 taal by ea rnd!i .r iPnr i b U m i d a n a s i n g merupakan peLn-
H» A w u ya hingga perkembangannya Ban-
da Aceh telah menjadi sebuah kota metropolitan dan irri oîeh
suatu sistem pemerintahan yang memiliki birokrasi yang kuat
B t t T Aceh
«anda c e h ltelah m ? H™perhatian
T a hmenjadi T 8 ™ dunia
^ aSing buk
™ ^ mereka
luar, karena *
tertank pada ekonomi dan perdagangan yang dikendalikanTceh
B. Lambang-lambang Sebagai Legitimasi Kekuasaan Raja

Sebuah pemerintahan yang kuat harus didukung oleh oe


rangkat hrokrasi dan didukung oleh ekonomi yan^kuat Untuk
tu raja memerlukan beberapa perlambang sebagai s e l -
egitimasi kekuasaan. Sejak awal kehadiran Aceh yang b e r C
tuk kesultanan, maka kekuasaan tertinggi dipegang oleh sultan
sebagai penguasa tertinggi. Kekuasaan itu dilambangkan dalam
dua lambang kebesaran raja, yakni keris (rencong) dan cap S
m 3 dilihat d a l a m S t r u k t u r
™l'. / f ' birokrasi kerajaan tan-
pa keris tak ada pegawai kerajaan dapat mengaku dirinya dan
bertugas untuk melaksanakan perintah raja; tanpa cap kerajaan
sWänsss"8mempunyai kekuatanhukum (D- L=
Dari deskripsi yang dibuat oleh Davis tahun 1599 sebagi
kerasan8 ia menCatat bahWa Para Pegawai
-tana 9mengantar
o r a n ë o r a n ë asing untuk LS a a g w
^^ S7Z
nTentang c a p ker
m»„„
'
ajaan kita ketahui bahwa sultan-sultan Aceh
menggunakan cap kerajaan berbentuk bundar. PadHingkaran
92
wmm

tengah terdapat nama sultan yang sedang memerintah dan pada


lingkaran kedua terdapat delapan nama sultan pendahulunya. Cap
kerajaan ini disebut Cab Thikureueng (D. Lombard, 1986: 105).
Pertanyaan yang agaknya belum terjawab hingga sekarang ialah
sejak kapan cap sikureueng ini berlaku sebagai cap kerajaan Aceh.

Berdasarkan data arsip Belanda di Den Haag, Denys Lom-


bard mengamati bahwa'pada bulan Desember 1600 Pangeran
Maurits van Nassau menulis surat kepada sultan Aceh, Alaud-
din Ri'ayat Syah dan dijawab oleh sultan pada tahun 1602. Surat
dari Sultan Alauddin sampai sekarang masih tersimpan di arsip
Kerajaan Belanda di Den Haag. Cap Sultan Alauddin merupakan
cap tunggal, yakni hanya memakai namanya pada cap kerajaan
(D. Lombard, 1986: 105).
Menurut perkiraan Raoffaer cap sikureueng mulai dipakai
sebagai cap kerajaan sejak masa Iskandar Muda (1607 - 1636),
berdasarkan kenyataan bahwa pada masa Iskandar Muda ter-
dapat kerjasama yang erat di bidang perdagangan dengan India.
Seperti diketahui raja-raja Islam Moghul di India memakai cap
kerajaan yang mengukir nama sembilan raja di dalamnya.
T.Iskandar juga melihat persamaan dan kesejajaran antara Akbar
nameh dan Hikayat Aceh. Hal ini dapat dianggap suatu analogi
kesejajaran kebesaran raja Aceh yang Agung Sultan Iskandar
Muda dengan Sultan Akbar dari Kerajaan Moghul.
Lambang kebesaran Aceh tidak hanya disimpulkan dalam
keris dan cap kerajaan, namun ia tercermin pula dalam
kelengkapan perangkat birokrasi kerajaan yang mendukung
kegiatan operasional kerajaan seperti perundang-undangan, tata
pemerintahan, dan peradilan.
Perundang-undangan dituangkan dalam peraturan kerajaan
yang diundangkan oleh Sultan Iskandar Muda pada 1050 Hijrah
tepat pada saat ia naik tahta. Peradilan negara menurut catatan
Laksamana Perancis, Beaulieu, meliputi empat macam peradilan
kekuasaan, yakni perdata, pidana, agama, dan niaga (Beaulieu,
1664-1666: 101-102; D.Lombard, 1986: 106-107).
Peradilan perdata dilaksanakan setiap pagi, kecuali hari
Jumat, di tempat balai peradilan yang letaknya di dekat mesjid
Agung Baitul Rahman. Peradilan pidana juga bertempat di balai
dekat balai perdata dan peradilan agama melaksanakan perkara-
perkara khusus dengan tujuan untuk menegakkan akhlak Islam
bagi masyarakat Aceh, terutama dalam hal-hal berjudi, minuman
keras, zinah, dan sebagainya.
Peradilan niaga dilakukan di balai yang terletak di dekat
pelabuhan untuk menyelesaikan perselisihan antara pedagang baik
pedagang asing maupun pribumi (D. Lombard, 1986: 109).
Pengadilan niaga diketuai oleh Orang Kaya Laksamana yang
kedudukannya sama dengan "walikota".

93
Yang menarik dari perkembangan peradaban Aceh yang ter-
t S a k kï ek raanjna ya an d?atpea mt kPi tear akde it laahnu'it at it da a kP-erintgahearn
e T s n i m b ü lbul
S / h n lT'
n a k h naskah dan
hanya dari
r i ! ; arsip-arsip saja, tetapi juga deskripsi orang-
orang asing yang membuat catatan cukup terperinci tentang Aceh
B a n d a X 1 ^ ^ o t a n y a ketika mereka datang dan bermukim di
Bandar Aceh sebagai duta-duta dari negaranya masing-masing
seperti Lancaster, John Davis, Laksamana Beaulieu, dan sebagal'
A c e h ï i m i 'f11 m e m b e r i k a n formasi kepada k S malnya
^ÄÄST 1besar dengan Banda Aceh sebagai Ban-
C. Perkembangan Agama dan Kesusasteraan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa daerah Aceh adalah daerah


yang menjadi tempat bermulanya perkembangan Islam. Di bumi
m i p T u T " ^ ' d a n k r 0 n 0 l 0 g i s t u m b u h kera Jaan Islam
mula, Perlak pada abad 9-10 M disambung oleh Pasai abad 13-16
dan ditutup oleh Kerajaan Aceh Darussalam berpusat di Bandar
Aceh sekitar permulaan abad 16 M
n „ 8 a ? ! n f n t a m p i l n y a B a n d a r Aceh di awal abad 16 sebagai
pusat kekuasaan politik dan sekaligus pusat perkembangan
budaya dan peradaban, maka dari Acehlah mengalir ke toffi
wilayah di kawasan Nusantara dan Asia Tenggara pengaruh dan
perkembangan sastra, agama, dan kebudayaan. Kerajaan
Kerajaan di Semenanjung dan juga di selatan Thailand, seperti
Pat mCraSakan Pengamh Aceh ke
terbut ^ ^ *S
Cl. Perkembangan di Bidang Sastra.

dal a m a d tn b a d 17 *? B a n d a r A c e h t d a h m e n J a d i P u s a t Pertemuan
dalam menerima dan menampung limpahan pengarang dan
bCraSal d a r i k a w a s a n
Sumatra
Sumatra ^
danTsebagian
^ \ lainnya
^ ^ bahkan'datang dari luar ^neeeri
i n d"
Abad 17 di Bandar Aceh telah muncul karya karya sastra dan
merupakan ompatan besar dari tradisi "dongeng" atau tutur kê
Tutu dneggihS baik daIam bemUk PrOSama
upUn
'
Ä L
Memang hasil kesusasteraan itu tidak semuanya meruoakan
karangan asli. Sebagian besar adalah terjemahan ata^, saduran
dan bahasa Parsi, Arab, atau Sanskerta
Tidak boleh dilupakan bahwa karya-karya saduran dan ter-
jemahan itu ditulis dalam bahasa Melayu dan hal ini merupakan
a
?buka
uk™ ta ddan
mata andfikiran
faiam ' masyarakat
^ " T """ P e n gkarya
melalui * a b - nMelayu
y a tadi.
« "

94
wmm

Dengan demikian abad 17 dan abad-abad kemudian telah


terjadi lompatan besar dalam bidang sastra, karena karya-karya
tersebut hingga sekarang pun masih menjadi bahan telaah untuk
kajian ilmiah untuk bidang sastra kuno (filologi). Para pengarang
asing pun, seperti Nuruddin al Raniri yang berasal dari Gujarat
telah membuahan karyanya dalam bahasa Melayu. Karya-karya
Nuruddin al Raniri hingga sekarang masih menjadi bahan telaah
untuk disertasi doktpr.
Beberapa karya besar di bidang sastra dapat kita kemukakan
ialah:
(1) Bustunus Salatin ditulis oleh Nuruddin al Raniri abad 17 M.
(2) Tajussalatin (Mahkota Raja-raja) ditulis oleh Alauddin Riayat
Syah pada tahun 1604 M.
(3) Hikayat Aceh ditulis pada masa Iskandar Muda, merupakan
riwayat Sultan Iskandar Muda serta raja-raja Aceh lainnya.
Dari kesusasteraan itu R.O.Winsted memberi nama Kerajaan
Aceh "The Agustan Period" atau jaman keemasan Kerajaan
Aceh (R. Winsted, 1939).

C.2 Karya-karya Keagamaan.

Aceh juga menjadi pusat keagamaan. Aceh adalah sebuah


contoh dimana faham keagamaan (Islam) tumbuh dan mekar
melalui diskusi dan perdebatan. Aceh juga telah menjadi pusat
perkembangan faham sufisme dan tasauf. Berawal dari Pasai
dimana Sultan Malik al Zahir telah mengumpulkan para ulama
dan ilmuwan agama Islam dan hal ini diberitakan oleh Ibn Batut-
tah tahun 1345, maka para raja dari kawasan Semenanjung seperti
Sultan Malaka di abad XV sering meminta pendapat ahli agama
dari Pasai tentang masalah pelik di bidang keagamaan. Para
ulama asal Aceh muncul dan menjadi terkenal karena karya dan
pengetahuannya. Hasil-hasil karya keagamaan muncul dan
berkembang serta menyebarkan fahamnya jauh melintasi kawasan
Aceh baik ke Sumatra, Semenanjung Malaysia, dan Selatan
Thailand (Kerajaan Patani).
Tokoh keagamaan yang sekaligus tokoh sufi yang dapat di-
sebut di sini pertama-tama adalah Hamzah al Fansuri. Ia yang
berasal dari negeri Fansur di Barus ini telah mengarang karyanya
yang terkenal dengan judul "Asrarul-arifin fi dayan ilm al suluk
awa'l Tahwid", yaitu suatu uraian singkat tentang sifat-sifat dan
inti ilmu al kalam menurut teologi Islam (J. Doorenbus, 1933).
Kemudian karyanya yang terkenal dalam bentuk puisi ialah Syair
Perahu yang juga merupakan implementasi sufi melalui karya
syair. Salah seorang yang dianggap "murid" Hamzah al Fansuri
yang terkenal ialah Syamsuddin as-Sumatrani. Karena keahlian-
nya dalam ilmu agama, ia diangkat jadi Mufti atau Kali Malikul
Adil di masa Sultan Iskandar Muda. Para penjelajah Eropah men-

95
catat bahwa mereka banyak berhubungan dengan Syaikh Svam
suddin untuk urusan kerajaan. Mereka tidak tahu istilah seSm"
pat sehingga dalam kisah-kisah Eropah beliau d i s e b m ^ E ? '
Lancaster boleh jadi berurusan dengannya ketikaTabatang ke
bahWa S y k h S y a m S u d d i n
ti aîa ZSÎSÏ7
Dicara bahasa Arab dengan ffasih. ? Karyanya yang- utama S u mialah
«
Mir'at-ul-mu'minin yang ditulis tahun 1601 (Cermin V™ÏÏ
Mujlimm)
B
berupa tanya-jawab tentang ilmu a L k S l Menurïï
«n\ n f US c Salatln ' S y a i k h Syamsuddin dari Pasai ini wafat tahun
1630 M. Sesudah itu hadirlah Syaikh Nuruddin a Rani i van*
men jadl m u f t i sa ^ ^ ^ ma^myjJJ

terhTTr N r d d i n ^ R a n i r i melakukan usaha pen^^ber^han


terhadap faham Wujudiah yang dikembangkan oleh Hamzah a^
Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani. Satah satu karya Nurud
din al Ramr, untuk menghancurkan faham yang dikembZkan
S a
™ Z h a h J UF r ,UUl cSr , r ad taanl Myu smsuddin
takim
Pasai ialah karyaXruddtn
£ 2 m S - Dalam tulisannya itu ia men"
coba memberantas gagasan-gagasan Hamzah al fansuri dan
Sumatrani-Karya Syeikh Nuruddin al Raniri berkembané S n
digemari d, Semenanjung dan dikenal dengan baik di Kedah
Karya lainnya yang terkenal selain Bustanus-sala? n yang teïh
d kemukakan ia ah sebuah karya ilmu al kalam brjudu]lAs aî
al Insan fi ma'rifa wal ruh (Tudjimah, 1961)
Dalam paruh kedua abad 17 M di Aceh telah muncul ulama
besar bernama Abdur Rauf Singkel. Bukunya b e r j u ^ - U m r « 3
Muhtajin" mencerminkan bahwa ia telah mendalami Ï™
pengetahuan-keagamaan sampai ke Mekah dan Madinai d a n S
leS H" k e p a d a S y a i k h Ahmad Kushashi. Makamnya yang t e r
member
KarvaT ^ ^ m y a * * * SyaikhKuIla
Karya-karya dan pengaruh ilmu dari para ulama yane telah
disebutkan tadi telah bergema jauh melampaui wilayah Aceh t n
berkembang di kepulauan Sumatra, Tanah Semenanjung selatan
Thailand, dan sampai ke negeri Bugis
Karya-karya Hamzah Fansuri berpengaruh besar atas diri
Anci Amin yang menulis Syair Perang MmJumrS^X^
din al Rann, berpengaruh besar di Kedah dan salah satu karvanva
diterjemahkan dalam bahasa Bugis. Karya Syamsudd n as
Sumatran. dan ajarannya telah mempengaruhi gernk lakkah
Syaikh Burhanuddin dari Ulakan (PariamL). Dengan dmfkian
betapa besar pengaruh ulama-ulama Aceh ini dafam nSkem
bangan agama Islam di Nusantara dan di kawasan A s ^ n g g a r t

D. Perkembangan Karya Senibangun Aceh di luar wilayahnya.

Salah satu karya seni bangun yang besar dan kaya akan nilai
seni dan kerajaan Aceh di masa silam ialah karya senikaLra?
P9a6da batu nisan. Batu nisan Aceh yang b c r t o r ^ J T m e Ä
jauh ke luar wilayah Aceh dan masuk ke Semenanjung Malaysia
baik barat maupun timur, ke negeri Patani (Thailand selatan),
Jawa, Indonesia timur (khususnya Sulawesi Selatan dan Nusa
Tenggara).
Nama dan sebutan batu nisan Aceh begitu terkenal dalam
bidang seni bangun di kawasan-kawasan tadi. Batu Aceh men-
jadi sebutan umum di Malaysia, Patani, dan Bugis. Bentuk batu
nisan Aceh pada umumnya berkembang sekitar abad 16-18 M.
Ada kecenderungan teori bahwa pengetahuan seni pahat dari
batu nisan Aceh berkembang bersamaan dengan perkembangan
agama Islam dan ekspansi politik kerajaan Aceh (Hasan Ambary,
1984).

III.

Dalam membahas Banda Aceh sebagai pusat kebudayaan


dan tamaddun telah dicoba melalui bukti-bukti berbagai aspek
ilmu dan sejarah. Dari abad-abad lampau karena Aceh telah
berkembang menjadi kerajaan besar, ia dapat pula mengem-
bangkan ilmu pengetahuan melalui hasil kekayaan Aceh dalam
bidang perdagangan menyebabkan timbulnya kemakmuran dan
suburnya pendalaman berbagai ilmu pengetahuan.
Dengan kejayaan ekonomi dan perdagangan, maka
kebudayaan dan peradaban telah dapat dikembangkan tidak sa-
ja untuk masyarakat Aceh, tapi ternyata gemanya menjangkau
jauh ke wilayah Nusantara dan beberapa kawasan Asia Tenggara.
Hal ini barangkali dapat menjadi cambuk bahwa masyarakat
Aceh perlu dibangkitkan kembali agar dapat berjaya sejaya masa
lampau dan potensi itu pada saat sekarang sebenarnya sangat
memungkinkan. Dari dahulu masyarakat Aceh adalah masyarakat
yang terbuka untuk ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan
peradaban baru (Tamaddun) karenanya untuk masa sekarang pun
mengapa tidak ?
DAFTAR PUSTAKA

Ali Hasymi, editor 1981


Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, P.T. Al maarif
Ambary, Hasan Muarif 1981
"Sejarah Masuknya Islam di Negeri Perlak ditinjau dengan pendekatan
Arkeolog, dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (ed.
Ali Hosjmi), Jakarta, 1981: 441-447.

m SU m ne en Ind0Besia de
d^erta^tlar"^"^ " ' " * origines aux xix erne siècle,
Adam, Robert M. 1966

The Evolution of Urban Society: Early Mesopotamia and Prehistoric Mexico


Chicago: Aldine Publishing Company. mnuionc Mexico.
Beaulieu, Augustin 1664-1666.
«elation de I'estat present du commerce des Hollandais et des Potugais dans les
Indes Orientales; Memoires du voyage aux Indes Orientales du General de Beaulieu
Paris, 1664-1666.
Clarke, David L. 1971.
Analytical Archaeology. London: Mathuen and Co LTD
Davis, John 1625
A Brief relation of Master John Davis, cbiefe pilot to the Zelander in tbeir East
India voyage, 1598, London 1625.
Dampier 1723

Supplement du voyage autor du monde (Contenant wie desciption d'Acbin ville


de Sumatra, du Royaume de Tonquin et autres places des Indes et de Campecbe
enrichi des cartes et figures), Rouen, 1723.
Hoebel, E.Adamson & Everett L.Frost. 1976.
Cultural and Social Anthropology. New York : Mc Grow Hill Book Company
Koentjaraningrat 1980.
Pokok-pokok Anthropologi Sosial. Jakarta: Penerbit Universitas
Lombard, Denys 1986.
.Kerajaan Aceb, Balai Pustaka, 1986, terjemahan dari Le Sultanat d'Aceh au temps
d'Iskandar Muda 107-1636, Paris, 1968.
Lancaster, Sir James 1940.
The Voyages of Sir James Lancaster to Brasil and the East Indies, 1591-1603
London, 1940. '
Mundy, Peter 1919.
The Traveil of Peter Mundy in England, Western India, Achen, Macao and the
Canton province, 1634-1637. London, Hakluyt Society, 1919.
Streuver, Stuart 1979.

Koster, Americans in Search of Their Prehistoric Past. New York: Doubledav Cov
y
Teuku Iskandar 1958. * '
"De Hikayat Atjeh", VKIXXVI, 1958.
Winsted, Sir R.O. ed 1938.
"The Malay Annal or Sajarah Melayu", JMBRAS, 1938.
1939. A History of Malay Literature, JEMBRAS, 1939.
Zakaria Ahmad 1968.
Sekitar Kerajaan Aceh 1500-1600. Monora, Medan, 1968.

98
Banda Aceh Sebagai Pusat
Kebudayaan Dan Tamaddun
OLEH
DRS.T.ALAMSYAH
KANWIL DEPDIKBUD ACEH

I
Upaya menetapkan hari jadi Kota Banda Aceh merupakan
suatu hal yang sulit, karena ia harus di dukung oleh fakta-fakta
dan data yang dapat di pertanggung jawaban secara ilmiah. Oleh
sebab itu studi ke arah tersebut merupakan hal yang sangat
menarik pula karena sebagai sebuah Kota, Banda Aceh
memerlukan suatu polahan hari jadi sebagaimana umumnya kota-
kota lain.
Usaha Pemerintah Daerah Kotamadya Banda Aceh untuk
mengkaji dan menetapkan hari jadi kota Banda Aceh melalui
suatu seminar, patut mendapat perhatian dari semua pihak.
Kiranya seminar ini dapat menjadi motivasi studi Sejarah Perko-
taan. Bermacam-macam makalah dan berbagai para ahli di ajak
untuk mengkaji masalah ini sehingga keputusan yang akan
dirumuskan nanti dapat di terima oleh semua pihak.
Kantor Wilayah Depdikbud Propinsi Daerah Istimewa Aceh
tentu sangat mensuport sepenuhnya, mengingat tugas ini adalah
bagian dari tugas Kanwil Depdikbud Daerah Istimewa Aceh.
Makalah yang berjudul "Banda Aceh sebagai pusat
Kebudayaan dan Tamaddun" adalah salah satu diantara banyak
makalah untuk membahas dan membentangkan hal tersebut di
atas, yang secara kebetulan makalah ini di sampaikan oleh Kepala
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pro-
pinsi Daerah Istimewa Aceh.
Dalam melakukan studi ini penulis lebih berorientasi pada
kajian-kajian masa lampau dikaitkan dengan kenyataan masa kini
dan juga beberapa analisa berdasarkan Peninggalan-peninggalan
yang ada.
Titik tolak tulisan ini berorientasi pada masa masa kejayaan
Kerajaan Aceh berkisar antara abad ke 16 sampai dengan akhir
abad ke 17. Namun ada ungkapan-ungkapan jauh sebelum atau
sesudahnya adalah untuk memperjelas cerita sekitar abad 16 dan
17 tersebut diatas.
Menurut hemat penulis pada masa-masa ini Banda Aceh
merupakan pusat kebudayaan dan Tamaddun, artinya pada masa
ini Banda Aceh merupakan ibu kota Kerajaan, Ia juga sebagai
Pusat Kekuasaan (Sentral Authority), pusat perkembangannya
Ilmu Pengetahuan dan Agama, pusat berkembangnya Seni, ar-
sitektur, hukum dan ketatanegaraan, pusat berkembangnya

99
bahasa dan kesusastraan, pusat berkembangnya Perdagangan
pusat berkembangnya ke Milliteran dan Tehnologi '
Berbicara tentang Banda Aceh sebagai pusat Kebudayaan
dan Tamaddun ada tiga hal pokok yang perlu mendapat perha-
tian kita, yaitu konsep konsep Budaya yang dikembangkan,
pengertian Tamaddun dan kapan kota Banda Aceh itu lahir
Para ahli dalam berbagai literatur telah mengemukakan pen-
dapatnya tentang Kebudayaan. Bila kita simpulkan Kebudayaan
adalah hasil pikiran dan perbuatan manusia, atau hasil puncak
dan upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kebudayaan mengandung pengertian yang sangat luas, me-
nyangkut semua sendi-sendi kehidupan manusia, baik yang teru-
jud bendawi maupun yang tercermin dari tata cara kehidupan itu
sendiri.
Adapun Tamaddun berasal dari bahasa Arab yaitu Maddina
yang artinya Kota. Kemudian berubah menjadi Tamaddana dalam
pengertian proses pengupayaan untuk sebuah kota sifat dan
karakter dari sebuah kota adalah simbol kemajuan. Jika kota-
kota pusat kerajaan yang bercorak Islam itu kita perhatikan letak
geografinya maka pada umumnya kota kota tersebut terletak di
pesisir dan di muara sungai-sungai besar. Demikianlah kota-kota
Samudera Pasai, Pidie, Aceh dan seterusnya. Berfungsi pula
sebagai kota pusat kerajaan yang bercorak maritim. Masyarakat
kota pusat kerajaan maritim lebih menitik beratkan kehidupan-
nya kepada perdagangan, kekuatan militernya lebih dititik
beratkan kepada angkatan lautnya yaitu suatu ciri penting pula
dan erat hubungannya dengan suasana politik serta perluasan-
nya. Letak kraton-kraton pada masa pertumbuhan dan perkem-
bangan Islam, pada umumnya mengarah ke utara. Kraton Ban-
da Aceh dan masa Iskandar Muda abad ke 17 berdasarkan berita
asing dan berdasarkan peninggalannya diarahkan ke Barat laut
jadi hampir kearah utara pula. Komplek bangunan-bangunan
yang termasuk kraton biasanya dipisahkan dari bangunan-
bangunan lainnya oleh tembok keliling, parit atau sungai buatan
untuk mencapai tempat yang terpenting yang biasanya dinamakan
dalem di Jawa atau dalam di Aceh tidak mudah. Karena halaman-
halaman diberi batu tembok-tembok pemisah, yang dapat
dimasuki hanya melalui pintu gerbang saja. Contoh antara lain
kraton Aceh, Samudra Pasai, Banten dan seterusnya.
Bangunan penting yang biasanya didirikan disisi Barat alun-
alun ialah mesjid sesuai dengan fungsinya sebagai mesjid yang
letaknya di pusat kota dan dipergunakan untuk sembahyang
Jum at dan sembahyang hari-hari raya Islam, maka mesjid
semacam itu dinamakan Mesjid Agung, Mesjid Raya atau Mes-
jid Jami . Di Banda Aceh terdapat beberapa mesjid di antaranya
Mesjid Raya yang didirikan pada masa Iskandar Muda. Dalam
hikayat mesjid ini disebut Bakul Rahman (Sejarah Nasional III
100
Nugroho Notosusanto hal 229 - 240). Kota dengan berbagai
perangkatnya mencerminkan suatu Totalitas dari upaya menuju
kesempurnaan, keutuhan, modernisasi sebagai pendukung sebuah
peradaban yang lebih berorientasi pada masa depan.
Dengan demikian Tamaddun yang berasal dari Maddina,
harus diartikan sebagai suatu upaya dalam proses kesempurnaan,
yang tercermin dalam kehidupan dan budaya suatu kelompok
atau masyarakat.
Barang kali dalam kaitan inilah kita akan melihat sejauh
manakah Aceh memegang peranan penting sebagai pusat
Kebudayaan dan Tamaddun.

II
Secara Geografis Aceh sangat strategis terletak pada jalur
Perdagangan Internasional, sehingga sering di singgahi kapal-
kapal dagang dari berbagai bangsa yang hendak menuju dan me-
ninggalkan Bandar Malaka yang waktu itu terkenal sebagai Ban-
dar Dagang tersebar di Asia Tenggara dan pusat kebudayaan dan
peradaban Melayu.
Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511), seakan-
akan Dunia Melayu kehilangan akar Budaya dan Tamaddun yang
memperoleh dukungan kekuasaan (Authority), Adanya kerajaan
Melayu di kepulauan Riau (seperti Bintan) yang sebelumnya
bersama-sama Malaka menjadi pendukung sebuah Wilayah
Budaya (Melayu lama), tampaknya tidak mampu menggantikan
Malaka yang telah berada dalam kekuasaan asing.
Oleh karena itu bangkitnya Kerajaan Aceh dengan ciri
kemelayuannya (1606) diidentikkan oleh para ahli sebagai suatu
penyambungan tradisi melayu bagi kerajaan-kerajaan Nusantara.
Gaya Pemerintahan, Penggunaan Bahasa, latar belakang Agama
sebagai pilar-pilar peradaban yang dibangun bersama-sama
pengembangan kekuasaan Aceh, nampaknya masih mengacu
pada kerajaan Malaka Pra Portugis. Demikian juga dalam hal
sosial politik dan ekonomi, nampaknya Aceh mampu menem-
patkan diri sebagai pusat perhatian dunia yang ingin melihat pro-
totipe Melayu dan Islam.
Kerajaan Aceh dengan Banda Aceh (Waktu itu Bandar Aceh
Darussalam) sebagai ibukota tidak hanya berfungsi sebagai pusat
pemerintahan tetapi juga tak kurang dari sentral pengembangan
ilmu pengetahuan, Sastrawan, dan Kesenian.
Kegiatan perekonomian yang ditandai dengan membuka diri
kepada dunia luar seperti Turki, India, Tiongkok, Arab dan
Eropa, seakan-akan sebuah revolusi telah berlangsung dimana
sebelumnya, jaringan ini nyaris berkembang, akibat anutan politik
dari beberapa kerajaan kecil di Nusantara, yang nyaris meneng-
gelamkan pamor kerajaan Melayu Pasca Melaka.
Para ahli juga menyebutkan perubahan kebijaksanaan di

101
bidang Agama dan ilmu Pengetahuan. Kedatangan saudagar-
saudagar Arab dan persi yang ikut mengembangkan agama dan
ilmu pengetahuan telah melahirkan pemikiran baru bagi perkem-
bangan Islam di Nusantara. Ini pulalah yang kemudian
melahirkan lembaga-lembaga Pendidikan sebagai pendukung
utama pengembangan Tamaddun dan Kebudayaan yang
diperankan oleh Aceh.
Praktek Aceh sebagai kota Maritim dan sentral ekonomi dapat
kita simak dalam "Hikayat Malem dagang" sebagai berikut:
Bak masa nyan rame pi that peue nyang hajat dum hale na,
Nanggroe pi luah, banda pi rame han meune-ne keunan teuka.
Padum- padum kapay di Kleng jime bakong, beusoe, meulila.
Padum kapay Meulabari ngon Go jeurati ngon Beung-
gala...Padum Kapay nyang me cawan, krikay, dulang, pingan
raya. Padum-padum kapay di keudah, ija mirah maneukat
jiba. Tunong, baroh, timu, barat dumpeue alat pi na jiba. Di
Aceh kon troih u barat, meueceuhu that pomeukuta. (DR
LANCE GASTLES, EKONOMI DAN KEUANGAN DI
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM, HAL 7).

Selanjutnya beberapa ahli seperti Denys lombard, Dasgub-


ta, Anthony Reid dalam banyak hal membenarkan Gambaran
kemakmuran dan untuk priode ini mereka telah menemukan
sumber-sumber primer yang luar biasa kaya, baik sumber pribumi
seperti Bustanus Salatin, Hikayat Aceh, dan Adat Aceh maupun
catatan pengunjung Asing seperti Beaulieu, De Houtmap, Davis,
Lancaster dan lain-lain.
Kemantapan ekonomi dan perdagangan seperti dikemukan
di atas dimungkinkan, disebabkan karena dalam kerajaan Aceh
terdapat "Concentration of economic Power" di tangan
penguasa.
Bertitik tolak dari faktor geografis, KFH Van Langen dalam
bukunya "Susunan Pemerintahan Aceh semasa Kesultanan" (Alih
Bahasa oleh Abu Bakar) mengemukakan besar kemungkinan im-
igrasi Hindu dimulai dari pantai Utara dan Timur Aceh terus ke
pedalaman dan bahagian mereka menetap di sana, untuk selan-
jutnya berkembang ke seluruh Aceh sementara sebahagian lagi
bergerak ke arah selatan. Hal ini dapat kita saksikan dengaan
adanya indikasi peninggalan-peninggalan seperti makam-makam
bertulis yang dijumpai di Tanoh Abee dan di pedalaman XXII
Mukim. Kemudian adanya cerita rakyat yang menyebutkan
Rawana sebagai Raja di Indra Puri. Kata Indrapuri, Indrapur-
wa dan Indra Patra adalah berasal dari bahasa sangsekerta.
Karenanya tidak dapat disangsikan lagi bahwa pengaruh Hindu
pernah ada di Aceh. Kelahiran Islam di Timur berlangsung secara
damai dan tidak merubah struktur-struktur yang telah ada,
karenanya Islam berkembang dengan cepat.

102
Dengan berkembangnya Agama Islam di Tanah Arab,
pedagang Islam sambil melakukan kegiatan dagang juga mem-
bawa missi, turut menyebarkan ajaran Islam ke Timur. Karena
Aceh terletak di jalur perdagangan maka sering disinggahi
pedagang-pedagang Islam, ini sesuai dengan pernyataan Van
Langen dalam bagian lain, bahwa pentabligh Islam pertama di
daerah itu bernama Syeh Ismail berasal dari Mekkah. Ia berhasil
mengislamkan Raja Pase yang ketika itu berkedudukan di
Samudra bersama rakyatnya. Pendapat ini dikuat oleh P.A. Hou-
sein Djayadiningrat bahwa di Malayapun ada suatu riwayat yang
menyatakan Raja Samudra yang pertama itu adalah seorang
penyembah berhala yang telah masuk Islam dan bergelar Malik
Al Saleh.
Agama baru itu mendapat tempat yang subur di Aceh dan
dalam waktu relatif singkat telah menyebar keseluruhan Aceh dan
lahirnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Kerajaan Pase, Pedir dan
Aceh Darussalam.
Pada masa Pemerintahan Sultan Ali Muhayatsyah, telah
berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Aceh dibawah
satu Pemerintahan dengan nama Kerajaan Aceh beribukota Ban-
dar Aceh Darussalam. Sedangkan nama Kota Banda Aceh sudah
lahir jauh sebelumnya yaitu pada masa Sultan Alaidin Djohan-
syah (1205-1234), tepatnya hari Jum'at satu Ramadhan 601 H)
"Sebagai pendiri dan Arsitek dari kota Bandar Darussalam"
(A.Hasjmy. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Hal 154). Nama
Bandar Darussalam selanjutnya menjadi Banda Aceh Darussalam
dan akhir sekali menjadi Banda Aceh saja dan berdasarkan data
di atas tahun ini kita memperingat HUTnya yang ke 783.

Secara garis besar ketegaran Aceh pada masa lalu dalam


kedudukannya sebagai pusat budaya dan Tamaddun dapat ditan-
dai tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi tetapi
juga sebagai sentral pengembangan ilmu pengetahuan (Agama,
Hukum, Sosiologi dan Pemerintahan, Kedokteran dan lain-lain).
Lahir dan berperannya ulama-ulama besar dengan karya-
karyanya. Tercatatlah Syamsuddin As Sumatrani dengan Miratul
Mukminin, Al Haraqah, Miratul Iman, Miratul Qulub dan Tan-
bihlah. Nuruddin Ar Raniry dengan karya: Siratul Mustaqim,
Bustanul Salatin dan lain-lain. Sedangkan Syeh Abdulrauf Singkil
menghasilkan Bayan Tajalli Kifayat Al Muhtayin, Mandat Al
Muhtayin dan lain lain. Hamzah Fansury ulama dan sastrawan
terkenal mempersembahkan pula kepada jamannya berupa
Sainatul Muwahhidin, Asral Al Arifin Fi Bayani dan sederetan
lain karya karyanya. (Petunjuk singkat Museum Aceh No.8 Hal.
42-43).
Di Banda Aceh pula pada masa kejayaan kerajaannya telah
berdiri lembaga pendidikan tinggi sebagai pusat studi ilmu

103
pengetahuan yang menampung para pelajar dari berbagai pen-
ZL » A l k a t a benar seperti yang di sebut oleh A.Hasjmy dalam
tulisan Apa sebab Pendidikan Islam menjadi faktor pembina
persatuan bangsa" (Sinar Darussalam No. 36 Juli 1971) maka
" t ^ d i d i k a n tinggi Baiturrahman telah ikut membina
s ah kera aan Islam yang maju kuat dan ber
tZ S*»
52; f T V ',' * '
^ Baiturrahman tidak- hanya menga-
Universitas
-
jarkan hukum Islam (Fiqh) tetapi juga mengajarkan berbagai il-
mu pengetahuan lam seperti diajarkan dalam Perguruan Tinggi
a Bagdad
AHw-m' ' ' K a i r a w a n d a n Agra....", tulfs
F a k , , h ï m b a r k a ^ b , a h W a U n i v e r s i t a s Baiturrahman memiliki 17
a l r n w ' / 3 " 8 t l d a k t e r b a t a s men gkaji masalah keagamaan
(Islam) tetapi juga menyangkut masalah kedokteran, pertanian
politik, sejarah, hukum, filsafat pemerintahan dan lain-lain
HiHi^ e r , a g a m n y a b i a n g S t U d i d a n k a J i a n d a r i lembaga pen-
didikan tinggi yang dibangun kerajaan Aceh pada masa itu, mem-
buktikan bahwa sebagai pusat pemerintahan, Banda Aceh ikut
mengembangkan suatu tradisi ilmu, yang mungkin belum dimulai
oleh kerajaan Melayu sebelumnya yaitu Malaka dan Pasai
InaXÄT T*^ "*?* A C C h d e n g a n " ^ r a k a t di
Zhyu ! U1 k e g i a t a n P e r d a g a n g a n, telah memungkinkan
Aceh berhasil menyerap pola pengembangan ilmu yang ada d"
negara negara Islam (Arab dan Turki) serta negara barat yang
kemudian melahirkan sebuah pusat ilmu pengetahuan dengan
8 beragam dan tidak terbata pada ilmu=
Ä&r Dengan berperannya lembaga-lembaga pendidikan yane
*
h P r dan
S àfnAcAceh
Kerajaan eh sebagai
: r * ' "pusat PT PdakSana
perhatian
tdah
^ngantaS
baik dari mitra dagangnya
maupun kerajaan-kerajaan lain sehingga banyak diantarf m?reka
yang mengirim utusan, para utusan yang datang ke Aceh disam-
pmg untuk mengadakan penelitian tentang sistim pemerintahan
sistim pertahanan, sistim ekonomi dan perkembangan Umù
pengetahuan pada masa itu. Apa yang kemudian dapat diperoleh
dan kedatangan orang-orang luar ke kerajaan Aceh
Pert ma y a n g d i r a s a k a n
t.rr.ulTT^ f Pada masa itu ialah ber-
T„ y, u \a Au e h k e d U n i a l u a r s e k a l i g u s memperluas ja-
ringan hubungan Aceh dengan mitra mitra barunya. Sedangkan
keuntungan lain yang tak kurang pentingnya adalah, banyak
tulisan-tulisan mengenaimasakesemarak
u a kerajaan Aceh yang ditulis
meniTblr/
b a h a n s t u Ç?
dl dan » >/ ^ «mp* hari inimafih S p
E™£? u Perbandingan bagi para ahli yang mem-
bicarakan Aceh masa lalu.
lain y a n
MMTÎ^T ! b i s a k i t a c a t a t s e b a g a i Pendukung Aceh
dU kannya Seba8ai PUSat k e b u d a
S h d
adalah h1d sistim
di bidang , pemerintahan dan y a apertahanan
" d a n tamaddun
yang
104
^ ^ ^ —

memang menjadi objek perhatian baik para pelawat maupun


negara-negara di belahan dunia barat.
Tersusunnya dengan rapi lembaga-lembaga pemerintahan
sebagai perangkat pembantu sultan dalam menjalankan tugasnya
baik sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan simbol
ketahtaan, boleh dikatakan sebagai indikasi kemajuan yang
dicapai Aceh. Terbaginya tiga kekuasaan: pembuat undang-
undang, pelaksanaan undang-undang dan lembaga kehakiman
yang mengawasi pelaksanaan undang-undang membuktikan
bahwa "Trias Politica" yang dikemukakan oleh Montesque di
Prancis (1689-1755) sebenarnya sudah lama dipraktekkan di Aceh
sebagai perujudan kerajaan yang demokratis.
Adanya Dewan Rakyat yang membuat undang-undang dan
peraturan yang harus dijalankan oleh sultan, selalu dibarengi
dengan peranan Malikul Adil sebagai lembaga kehakiman. "Adat
Bak Poteu Meureuhom, hukum bak syiah kuala, Kanun bak putru
phang, Reusam bak laksamana", bukan hanya sekedar mengatur
adat, hukum, kanun dan reusam. Tetapi secara filosofis meng-
gambarkan bagaimana setiap sisi mekanisme kekuasaan disatukan
dan diikat dalam suatu ungkapan dan diucapkan dalam satu
kalimat. Inilah simbol dari upaya menarik suatu garis dalam pro-
ses budaya pemerintahan Aceh menuju suatu kesempurnaan, yaitu
kesempurnaan dalam dimensi budaya dan tamaddun, yang telah
melahirkan tidak hanya nama dan kekuasaan bagi raja Aceh,
tetapi juga wibawa.
Dalam kaitan ini Prof Dr.Hamka menulis: "Memang kita
harus mengakui kewibawaan Aceh sebagai sumber sejarah dan
pusat tamaddun pemikiran Islam di Nusantara ini tidak dapat
dinafikan". (Lihat "Sejarah masuk dan berkembangnya Islam
di Indonesia hal 2-4-5).
Ungkapan "....Kanun bak Putroe Phang..." yang masih
dalam kalimat adat dan hukum membuktikan betapa peranan
wanita di Aceh telah lama dipikirkan yang tidak hanya dalam
konsepsi-konsepsi, tetapi dalam praktek sehari-hari. Inilah teori
emansipasi yang kemudian di abad lain menjadi tuntutan wanita
kita di Indonesia. Ini juga sisi lain dari Tamaddun yang berpusat
di Banda Aceh, sebuah upaya untuk memberi peranan yang lebih
besar kepada wanita, sebagaimana juga peranan yang diberikan
kepada Malahayati kemudian laksamana yang mampu berperang
di laut dan bertahan di darat. Sebuah sosok tugas yang mungkin
sering dihindari oleh seorang wanita meskipun ia menuntut
adanya emansipasi.
Berperannya Malahayati sebagai Panglima perang di laut,
selain menampilkan budaya kebersamaan antara pria dan wanita
dalam berjuang mempertahankan negara, juga dapat dilihat dari
rapinya kekuatan Angkatan Laut untuk kepentingan dihidang
maritim. Teori kelautan dan pentingnya kawasan laut bagi negara

105
kepulauan seperti negara kita sekarang ini, kiranya dasar-dasarnya
juga telah diletakkan dalam konsep dan pelaksanaan pertahanan
kerajaan Aceh. Sebuah budaya mencintai laut sebagai bahagian
penting dan darat dalam wawasan Nusantara kita rupanya ber-
jalan seiring dengan pengembangan tamaddun di mana Aceh
(baca Bandar Aceh Darussalam) sebagai pusat pengembangannya
Pnode sejarah dan peradaban (Civilazation) yang
diungkapkan dalam makalah ini adalah masa yang paling menon-
jol (Kejayaan) dalam priodisasi sejarah Aceh. Ini merupakan
Growth of Civilazation kata Toyimbee. Pada masa itu telah
berkembang sistim komunikasi dan informasi baik menyangkut
kegiatan perdagangan, Pemerintahan, Agama dan Ilmu
pengetahuan membutuhkan bahasa sebagai alat komunikasi yang
6
sangat efektif.
Berbagai buku, cerita-cerita Roman, Syair-syair seperti syair
Siti Asm, Syair Putri Bungsu, Syair Aulia tujuh dikarang dalam
tulisan Arab berbahasa Melayu dan bahasa Melayu ini merupakan
bahasa ilmu pengetahuan serta menjadi sarana untuk penyebaran
a ar an
J , ;^aran Islam- " L R Brakel
membandingkan 30
Naskah Melayu tersebar di Jakarta, Leiden Cambirdge, London
dan lam-lam tempat, beserta versi bahasa lain termasuk, parsi
Aceh, dan Jawa". (Dr. Lance Castles, hal 1).
Menurut hemat penulis bahasa Melayu telah .disebarkan ke
seluruh Nusantara sesuai dengan perkembangan kerajaan, bahkan
Van Leur mengatakan bahasa Melayu telah berkembang sampai
ke Madagaskar. Sejalan dengan perkembangan bahasa, seni
bangunan dan arsitektur juga berkembang dengan pesat.
Ada beberapa hal dalam segi seni bangunan yang perlu di
kaji yaitu seni bangunan keagamaan (Rumah Ibadah/Mesjid)
Makam-makam dan seni bangunan untuk tempat rekreasi seper-
ti Gunongan. Banyak Mesjid kuno di Aceh yang mempunyai
arsitektur dan ornamen mengandung nilai yang tinggi. Demikian
pula arsitektur yang terdapat pada makam-makam, arsitektur
yang terdapat pada romoh-rumoh Aceh dan arsitektur yang dapat
kita jumpai pada batu batu Nisan yang tersebar di seluruh Aceh
Apabila kita teliti, memberi kesan kepada kita pada suatu kurun
waktu di Aceh telah berkembang arsitektur yang maha dahsyat
Banyaknya bangunan, Ornamen/Arsitektur baik yang terdapat
pada Mesjid, Makam, Batu- batu Nisan, Rumoh Aceh dapat
diteliti pada lampiran terlampir.
Uraian diatas menunjukkan salah satu sisi kemajuan seni
Disisi lain kita melihat seni tari dan seni suara umpamanya
Seudati, sebuah tarian patriotik, penuh dinamika dan sarat pesan-
pesan sebagai media komunikasi dan dakwah. Tentang hal ini
dengarlah apa yang dikatakan oleh John Deway : "Art medium
of comunication making comunity of Expersence possible.
(Panitia pusat PKA II, Seminar Kebudayaan bahagian IV Hal
106
.^m^^^^^^^^^^^^^— i

3). seperti Seni suara : Ibu membuai anak, Pantun bersahut-


sahutan waktu antar pengantin, melakukan waktu membaca
hikayat pelipur lara, Dalail Khairat, Zikir Aceh, telah mendapat
tempat tertentu dalam masyarakat tempo dulu dan banyak lagi
seni-seni yang lain yang tak dapat kami terakan satu persatu.

III
PENUTUP
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN

A.Kesimpulan.
Sebelum masuknya Islam ke Aceh, daerah ini telah disen-
tuh oleh pengaruh Hindu. Kedatangan Islam tidak merusak
struktur yang ada, sehingga Islam dapat berkembang dengan cepat
dan pesat. Kerajaan kecil yang telah ada dapat dipersatukan di
bawah Sultan Ali Mughayatsyah yang merupakan Kerajaan Aceh
yang pertama dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam, sebagai
cikal bakal Kota Banda Aceh sekarang. Ia telah lahir sejak 783
tahun yang lalu.
Pada abad 1 6 - 1 7 Kerajaan Aceh merupakan suatu kurun
waktu puncak dalam Sejarah dan Kebudayaan. Pada masa ini
telah berkembang peradaban yang maha dahsyat. Perkembangan-
nya tidak hanya di Aceh, tetapi juga keseluruhan Nusantara dan
luar Negeri. Adapun pusat dari pada peradaban yaitu di Ibu Kota
Kerajaan, yaitu Banda Aceh. Sebagai Ibu Kota Kerajaan, disini
telah terjadi kontak-kontak kebudayaan, disini telah berkumpul
tokoh-tokoh besar dan kecil, ulama-ulama besar, pemikir-pemikir
yang dapat melahirkan karya-karya besar oleh karena itu Banda
Aceh telah terjadi sebagai pusat study, sehingga dikenal dimana-
mana.
Study tentang informasi kebudayaan dan kesejarahan
berkaitan dengan masalah pengaruh dan persebaran kebudayaan
dan Agama Islam di Indonesia, di kaitkan dengan kenyataan
bahwa Daerah Aceh dan sekitarnya pernah menjadi pusat
persebaran Agama Islam awal abad 13, disamping tradisi Islam
yang berkembang di daerah ini.
Peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala Aceh dewasa
ini juga dapat dijadikan study yang menarik disamping sebagai
objek wisatawan, naskah-naskah kuno membuktikan bahwa disini
telah lahir pengarang-pengarang yang terkenal dari berbagai
disiplin ilmu pengetahuan. Hal inipun, dapat menjadi perhatian
para ilmuwan dewasa ini.

B.SARAN-SARAN.
1 Mempelajari sejarah tidak hanya terpaku dalam masa lampau,
tetapi juga untuk mengerti hari ini dalam rangka matahari
esok. Kejayaan masa lampau tidak hanya untuk didengung-

107
ytTÄalk^ harUS dipacu untuk meraih masa d e P -
2. Peninggalan-peninggalan sejarah dan kebudayaan hendaknya
mendapat perhatian Pemerintah untuk m e Ä S Z
karena ia selalu dapat memberikan pengertian daLm X
seSuTaWi aah.rv
sekaligus ahli-ahli
erPU takaan n3Skah k U
H menterjemahkan,
yang dapat
di ka
"° perlukarena »
*disana
ÄaiTrftahuanws dapat ?-** Ä
3. Sehubungan banyaknya peninggalan sejarah dan purbakala
termasuk naskah-naskah kuno, sebaiknya Pemerimah mem'
bangun Pusat Kajian Sejarah dan Kebudayaan Islam di S
d a n n m n T " Sa Ï S a t " rek °mendasi Seminar Kebudayaan
dan Ilmu Pengetahuan di Takengon
4. Budaya yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
perlu dimasyarakatkan kembali karena banyak oraTg dewasa
d l à d a H k > ? U / m T g e r t i b u d a y a s e n d i r i < ™ * KebnugddaeyIan)
dapat dikhawatirkan terjadi erosi Kebudayaan yang dana
atkan identit3S H i I a n g n y a i d
aThüan
arti ^ f T ^ dan
hilangnya martabat harga' diri S a s be
h Uk ba C e h S e d i n i mUngkin d
untuk driLkan d 5T A . "n^ruksikan
untuk diajarkan di Sekolah Dasar karena banyak oemuda
sekarang yang tidak paham lagi tentang bahasa Daerah

108
DAFTAR KEPUSTAKAAN.

Ahmad, Zakaria, Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520 - 1675, Monora
Medan 1972.

Castles, Lance, DR, Ekonomi dan Keuangan di Kerajaan Aceh Darussalam,


Seminar Masuk dan Berkembang Islam di Indonesia, 1978.

Tanggapan Tentang Masalah Pernahkah ada Syiah di Aceh,


Seminar Masuk dan berkembang Islam di Indonesia, 1978.
Djajadiningrat, R.A Hoesein, Atjehsh-Neder Landsch Woor den Boek III
Batavia, Lands Drukkerij, 1934.

Hasjmy, A, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Beuna, Jakarta, 1983.

. ed; Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Majelis


Ulama, Banda Aceh, 1978.
Iskandar, T. DR. -Bustanus Salatin, Nuruddin Ar-Raniry, Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1966.

Lombard, Denys, Kerajaan Aceh, Zaman Sultan Iskandar Muda, Balai Pustaka
Jakarta, 1986.

Leur, Van, J.C, Indonesia Trade and sosiety, Foris Publication Holland/USA,

Langen, Van, KFH, Susunan Pemerintahan Aceh, Alih Bahasa Aboe Bakar,
PDIA, Banda Aceh, 1986.

Poesponegoro, Djoened Marwati; Nugroho Noto Susanto, Sejarah Nasional In-


donesia, Jilid III Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, PIDSN
Jakarta, 1981/1982.

Panitia, MTQ KE 12; Dari sini ia bersemi, Banda Aceh, 1981.


Sejarah Daerah Propinsi Istimewa Aceh; Proyek Penelitian dan Pencatatai
Kebudayaan Daerah, Banda Aceh, 1977/1978.
Siegel, T.James: The Rope of God, University of California Press, 1969.
Sulaiman, Setiawati, dkk, ed: Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke III, Proyek Peneli
tian Purbakala, Depdikbud, PT.Bunda Karya, Jakarta, 1985.

Said, Muhammad, H, Aceh Sepanjang Abad, Pengarang sendiri Medan, 1961

109
Tanggapan Terhadap Makalah DR.Hasan
Muarif Ambary Dan Makalah Kanwil
Depdikbud Aceh Dengan Topic "Banda Aceh
Sebagai Pusat Kebudayaan Dan Tamaddun"

Oleh
Drs. H.Muhammady MA
Dosen Fisipol IKIP Bandung

Pada saat pemberitahuan oleh Panitia bahwa saya diminta


berkenan untuk menjadi penanggap utama dari dua Makalah yang
tersebut di atas, saya menyatakan Insya Allah bersedia sebagai
suatu pertanda pernyataan partisipatie selaku seorang putra
daerah. Atas kepercayaan tersebut seyogianya saya menyam-
paikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada Panitia. Saya menyadari bahwa ke
mampuan dan pengetahuan saya tidak setara dengan kedua pem-
buat Makalah tersebut. Hal ini ditambah lagi tidak tersedia cukup
waktu dalam menyiapkan tanggapan tersebut, dikarenakan pada
tanggal 19 Maret 1988 saya berangkat ke Medan dengan meng
gunakan Kapal Laut untuk memimpin Team tenis IKIP Bandung
beserta rombongan sebanyak 20 orang untuk mengikuti per
tandingan tenis Sujiran Cup ke IV antar IKIP se Indonesia, yang
berlangsung di Medan sejak tanggal 22 s/d 25 Maret 1988 Men
jelang keberangkatan tersebut kedua Makalah tersebut saya
terima, sehingga saya menyusun tanggapan ini atau Makalah ban-
dingan dalam perjalanan di Medan dan Banda Aceh
Berkaitan dengan topik tersebut diatas DR.Hasan Muarif
Ambary maupun Kanwil Depdikbud Aceh memberikan pen-
jelasan serta batasan pengertian Kebudayaan dan Tamaddun
Pada dasarnya sepakat karena Kebudayaan dan Tamaddun tidak
dapat dipisahkan dari adanya kehidupan manusia. Manusialah
yang memiliki Kebudayaan, hal ini karena essensi dari kata Ke-
budayaan dapat dibagi menjadi dua kata yaitu budi dan daya
sedangkan kedua kata tersebut berasal dari bahasa Sansekerta'
Kata budi mengandung makna semangat perikemanusiaan, ke-
sopanan, kesusilaan dan sopan santun. Budi (semangat) adalah
yang memberikan obor hidup dalam roh yang mendorong segala
gerak kemanusiaan. Kaitan yang berdasarkan budi tidak ada lain
hanya berdasarkan kasih sayang, tidak mengenal kaya atau'
miskin tmgg, derajat atau rendah, yang ada hanya ketulusan
sedangkan mengenai budi hanya dapat dibalas dengan budi juga

110
Sedangkan kata daya mengandung arti usaha atau kekuatan un-
tuk memperoleh suatu yang dimaksud, jadi pengertian dari pokok
kata budi dan daya dari kata Kebudayaan itu melukiskan pengerti-
an semangat kesusilaan dan kekuatan atau semangat dan kekuatan
dijiwai oleh kesusilaan.
Pengertian Tamaddun yang dikemukakan didalam Makalah
Kanwil Depdikbud adalah berasal dari bahasa Arab yang akar
katanya Maddina yang berarti Kota. Dalam Makalah DR.Hasan
Muarrif Ambary dalam kerangka teoratisnya tidak mengemuka-
kan pengertian Tamaddun secara jelas, beliau kalau saya tidak
keliru cendrung mengartikan Tamaddun dengan Peradaban.
Dalam kaitan dengan topik diatas pengertian Tamaddun itulah
yang merupakan suatu knakteristik sebagai perkembangan dan
kemajuan suatu kota sebagai perlambang dari usaha manusia un-
tuk menciptakan suatu kota yang didalamnya penuh dengan nilai-
nilai pisik jasmaniah dan mental rohaniah (Cultural Center).
Dengan berorientasi kepada topik tersebut diatas kedua
Makalah itu menggunakan pendekatan historis (historical ap-
proach) dengan meninjau sejarah Aceh pada masa yang lampau
dengan menggunakan tiga dimensi sejarah yaitu masa lampau
(The past), masa kini (The present) dan masa mendatang (the
fritene).
Kerajaan lama Lamuri yang berada di Aceh Besar sudah di-
kenal diluar negeri sebelum Islam datang di Indonesia (Aceh).
Kemudian Islam datang ke Indonesia daerah pertama yang di-
singgahi adalah Aceh, melalui Acehlah yang kemudian Islam ter-
sebar keseluruh Wilayah Nusantara ini. Menurut sumber infor-
masi yang pernah diketemukan didalam beberapa literatur di-
kemukakan bahwa penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa di-
lakukan oleh para Walisongo. Kesembilan Walisongo tersebut
dianggap telah berhasil dan berjasa dalam menyebarkan Islam
di Pulau Jawa dari kesembilan Walisongo tersebut empat orang
berasal dari Aceh.
Kerajaan Aceh pada masa itu belum merupakan suatu kera-
jaan yang kuat karenamasih terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil,
baru kemudian dibawah Sultan Ali Muhayat Syah berhasil mem-
persatukan kerajaan kecil tersebut dibawah satu pemerintahan,
dengan Ibu Kotanya Bandar Aceh Darussalam. Kota Bandar Aceh
Darussalam makin populer setelah Kota Malaka jatuh ketangan
Portugis pada tahun 1511 sehingga para Saudagar Islam yang
menetap di Kota Malaka kemudian mencari tempat baru untuk
melanjutkan tugas mereka sebagai Saudagar dan kota yang sesuai
adalah Banda Aceh Darussalam.
Kalau kita mencoba menoleh kebelakang pada saat Sultan
Alaidin Johan Syah dilantik menjadi Sultan pada tahun 1205,
beliau telah mendekritkan akan membangun ibukota negara yang
baru bernama Bandar Bandar Aceh Darussalam untuk menggan-

111
Sl L m6 U 7 r i nngf SeCara
maSa p e m e r i n t a h a n
Sultan Alaidin Mahmud
kfaandar Aceh n , resmi l b u k o t a dipindahkan dari Lamuri
ke Bandar Aceh Darussalam, sejak saat itu Kota Bandar Aceh
Darussalam berangsur tumbuh dan berkembang menjadi kota Me
T7k? t âUTn g d d i d p t a n g i 0 l e h b e r b a g a i bangsa S a J a n ^ ;
I A ? ? ? ' d i a ' P e r a n c i s - Amerika dan lain-lain. Kota Ban
dar Aceh Darussalam betul-betul menjadi pusat percaturan nolidk
Internasional, demikian pula dalam bidang perdaganganeCo
mi, sos,al budaya serta perkembangan ilmu'pengmhuï'dar°Z-

(l46^T4stZTnZPemeTintahan Su,tan Alaidin H


™ " Syah

tahun f S saranBanal i l Ä " ' "f"1 Sa,u s e m i n


" P"""

Sipil-
112
masa Kejayaan Ciriwijaya dikatakan sebagai Negara Maritim.
Disamping Kerajaan Aceh mempunyai Armada Laut yang kuat
Sultan juga sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan
pertanian, terutama penanaman lada, sehingga Aceh juga dapat
dikatakan suatu Negara Agraris semacam kerajaan Majapahit,
jadi dengan kata lain Kerajaan Aceh sekaligus dapat dikatakan
Negara Maritim dan Agraris.
Kota Banda Aceh tidak hanya sebagai Pusat Perdagangan
Internasional akan tetapi juga sebagai Pusat Kebudayaan dan
Tamaddun. Hal ini terbukti perhatian Sultan yang sangat besar
terhadap kemakmuran dan kemajuan masyarakat serta pem-
bangunan baik pisik maupun non pisik menciptakan disiplin
aparat kerajaan Kesultanan, sehingga melahirkan suatu Peme-
rintahan yang stabil/kuat dan berwibawa, sehingga Kerajaan
Aceh ditakuti dan disegani baik oleh lawan maupun kawan.
Kraton Darud Dunia yang dibangun mempunyai ciri berbeda
dengan pengelompokan bangunan seperti yang kita jumpai di
pulau Jawa khususnya dimana Kraton/Pendopo sebagai Pusat
Pemerintahan, Alun- alun, Mesjid dan Penjara pada satu kelom-
pok yang berdekatan, sedangkan Kraton Aceh berada pada satu
garis agak berjauhan tidak berada pada satu kelompok barangkali
merupakan ciri khas Kerajaan Aceh. Bangunan kebanyakan
Rumah Aceh agak tinggi dari tanah naik kerumah dengan meng-
gunakan tangga, bagi rumah yang agak rendah menggunakan 5
anak tangga dan untuk rumah yang agak tinggi menggunakan
anak tangga sampai sembilan atau sebelas. Masuk kedalam rumah
melalui pintu yang agak sempit, tetapi setelah sampai didalam
kata Pak Ang Kunaifi kita bisa main bola, begitu lapang, ini
merupakan satu filsafah orang Aceh, kalau berkenalan untuk per-
tama kali agak sukar tetapi setelah kenal sangat intim dan sangat
terbuka benar tidaknya pendapat Pak Aang Kunaifi tersebut
terserah pada kita.
Beberapa bangunan lain juga dibangun diantaranya adalah
Kota Gunungan, Pinto Khop, Taman Gairah, Taman Sari, sehing-
ga benar-benar merupakan suatu komposisi yang serasi dan har-
monis sebagai satu kreatifitas serta nilai budaya yang sangat
tinggi, sayangnya pada saat sekarang ini tidak terpelihara lagi
sama sekali, barangkali Seminar ini akan mampu mengangkat
kembali kepermukaan nilai-nilai budaya tersebut.
Bangunan lain yang tidak terpisahkan dengan komposisi Kra-
ton Darud Dunia adalah bangunan Mesjid disamping tempat
ibadah juga sebagai Pusat Kegiatan Ilmu, terutama Ilmu Politik,
hukum, Ketatanegaraan, Keagamaan dan Kebudayaan. Mesjid'
yang paling tua adalah Mesjid Jami' Baiturrachman yang di-
bangun oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah I dalam tahun 1292 M,

113
yang kemudian Mesjid tersebut diperluas oleh Sultan-Sultan selan-
jutnya, terutama Sultan Iskandar Muda. Tidak berkelebihan
kalau dikatakan sampai saat sekarang ini Mesjid Baiturrachman
adalah merupakan kebanggaan rakyat Aceh, bahkan kebanggaan
seluruh Ummat Islam di Indonesia.
Dalam kaitan dengan sistim Pemerintahan birokrasi dimana
Sultan adalah titik central sedangkan staf dan aparat lainnya telah
diatur sesuai dengan bidangnya masing-masing, sebagaimana
DK.Hasan Muarnf Ambary mengemukakan kekuasaan Sultan
itu dilambangkan dengan keris dan Cap Kerajaan disebut Cap
Sikureng. Di Aceh tidak dikenal keris, akan tetapi adalah Ren-
cong, ini adalah merupakan ciri khas Seniata yang ada ditiap
daerah di Indonesia, seperti Keris di Jawa, Kujang di Jawa Barat
Mandau di Kalimantan dan Badik di Sulawesi Selatan (Makassar)
Rencong untuk daerah Aceh sudah merupakan Lambang Daerah
Kalau orang menyebutkan tanah rencong semua orang menge-
tahui itu adalah daerah Aceh, demikian pula kalau disebutkan
Daerah modal dan Serambi Mekkah itu juga merupakan daerah

Dalam bidang Keagamaan dan Kesusasteraan, Sultan dan


para Ulama cukup besar peranannya, dikarenakan adanya jalinan
yang erat dan mesra antara Ulama dan Umara, sehingga karya-
karya tulis dan para Ulama mendapat tempat dan dukungan dari
Sultan, sehingga benar-benar hal tersebut telah memperkarya
khasanah bangsa, bahkan sampai dewasa ini masih dirasa penga-
ruh dan manfaatnya dalam masyarakat. Hal ini, terbukti dua
buah perguruan tinggi yang terkenal di daerah Aceh telah meng-
abadikan nama Ulama, pada Perguruan tersebut, yaitu Univer-
sitas Syiah Kuala Darussalam dari Ulama yang bernama Syech
Abd.Rauf yang sesudah meninggal di makamkannya di Kuala
Aceh, sedangkan Institut Agama Islam Negeri (I.A.I.N.) diabadi-
kan namanya dari seorang Ulama yang bernama Syech Nurrud-
din Arraniry.
Demikianlah tanggapan dan bandingan -saya terhadap
Makalah DR.Hasan Muarrif Ambary yang menurut penilaian
saya cukup berbobot karena didukung dengan data yang akurat
sebagai suatu hasil penelitian sesuai dengan bidang beliau
demikian pula Makalah dari Kanwil Depdikbud Aceh sebagai
suatu Instansi yang berkecimpung dalam bidang tersebut, tentu
pengalaman lapangan telah memperkaya Makalah tersebut
Akhirnya saya mohon maaf atas kekurangan dan kesempatan un-
tuk saya menanggapi Makalah-makalah tersebut.

Kesimpulan/Saran-saran

Dari deskrepsi tanggapan saya terhadap kedua Makalah


diatas menunjukkan bahwa kerajaan Aceh Darussalam telah tum-

114
buh dan berkembang dalam kurun waktu yang cukup panjang
dan lama yang dimulai sejak adanya pengaruh Hindu sampai
dengan kedatangan Islam di Aceh. Pertumbuhan dan perkem-
bangan Aceh selanjutnya adalah berbarengan dengan penyebaran
dan perkembangan Islam Aceh sebagai daerah pertama yang di-
datangi Islam maka para Sultan sejak yang pertama sampai
dengan berakhir selalu bergandengan dengan para Ulama,
sehingga ciri Islam sangat menonjol dalam membangun dan mem-
bina Negara baik pisik maupun non pisik.
Saran-saran :
1. Seminar ini hendaknya mampu memutuskan untuk mengang-
kat kepermukaan nilai budaya yang berupa non pisik yang per-
nah diciptakan oleh Sultan semacam "Taman Kebudayaan"
sebagai ciri khas untuk Kota Banda Aceh.

2. Sedangkan nilai budaya yang berupa pisik perlu lebih dijaga


dan dipelihara lagi, maka disini peranan Museum Aceh sebagai
tempat lestari nilai budaya bangsa harus diberi peran yang lebih
positif serta harus mendapat dukungan Pemerintah dalam ben-
tuk moril maupun material baik oleh Pemerintah Pusat
maupun Daerah.

3. Perlu kiranya Pemerintah Daerah terutama Tk.II Kotamadya


Banda Aceh memikirkan untuk menjejaki kemungkinan un-
tuk menjalin kerja sama mitra dengan salah satu Kota diluar
negeri, saya tidak tahu persis sejauh mana Pemerintah Daerah
Tingkat I pernah menjalin kerja sama dengan Pemerintah
Belgia (Brusel) dengan Pemerintah Turki (Angkara), atau
dengan Pemerintah Jerman Barat (Edenburg). Sebagai con-
toh Kotamadya Bandung sampai sekarang cukup baik kerja
sama dengan Kota Brenwerg di Jerman Barat.

115
Banda Aceh Dalam Siklus
Perdagangan Internasional Suatu
Tinjauan Historis
Oleh : DR.M.ISA SULAIMAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
SIKLUS
™TVÂÎ*^?TALAM PERDAGANGAN
INTERNASIONAL: SUATU TINJAUAN HISTORIS
Tiada seorangpun kiranya yang membantah bahwa Banda
Aceh tergolong ke dalam kelompok kota tertua diantara ibukota
propinsi dan kota-kota besar yang terdapat di dalam gugusan
Kepulauan Nusantara. Ia bersama-sama dengan Malaka telah per-
nah menduduki posisi penting dalam arus lalu lintas perniagaan
timur dan barat pada abad ke'XVI - XVII. Namun demikian,
faktor usia tampaknya tidak selalu menjadi kartu jaminan bagi
pertumbuhan selanjutnya. Kenyataan empiris memperlihatkan
kepada kita bahwa kota-kota yang tumbuh kemudian; seperti
Padang Singapura dan Medan, melaju jauh lebih cepat dari kota
Banda Aceh dalam kegiatan perniagaan internasional
Berangkat dari kenyataan diatas, penulis akan berusaha un-
tuk menelusuri tahap-tahap perkembangan kota Banda Aceh
sebagai salah satu pusat perdagangan internasional di kawasan
barat nusantara, bagaimana bentuk dan sifat perdagangannya
jenis komoditi apa saja yang diperdagangkan, dan kelompok
sosial mana saja yang ambil bagian dalam kegiatan itu Untuk
menyusun karangan ini, penulis mempergunakan sejumlah
sumber baik lokal maupun asing.
Karena tulisan ini bersifat diakronik dalam perspektif waktu
yang panjang, cukup perlu kiranya dikemukakan terlebih dahulu
penodesasi kota Banda Aceh dalam dinamika perniagaan inter-
nasional. Menurut data empiris yang tersedia, dinamika kota Ban-
da Aceh dalam perniagaan tersebut secara umum dapat dibagi
P d
o ? Pf"°cde berikut: periode lebih kurang 1500 -1876, periode
1876 - 1945, dan periode setelah kemerdekaan. Meskipun pada
masing-masing periode terdapat suatu karakteristik, akan tetapi
ia saling berkaitan satu sama lain dalam suatu kontinuitas.

Periode 1500 - 1876


Seperti kebanyakan kota besar lainnya di Asia Tenggara
kota Banda Aceh (resminya Bandar Aceh Darussalam) tumbuh'
di pinggir sungai yang sekaligus menjadi jalur lalu lintas per-
niagaan dengan dunia luar dan sumber pencaharian penduduk

116
Para pelancong asing yang pernah berkunjung di ibu kota sebelum
l a i n 8 Seperti m i s a l n y a Sir J a m e s
Lancaster pada tahun
1601
, Laksamana Beaulieu 3) nada tahun 1620 - 12>, atau Jhon
Anderson pada tahun 1820 an . secara tegas mengatakan bahwa
sungai itu berfungsi sebagai jalur utama untuk memasuki kota
walaupun muaranya sedikit agak dangkal dan medannya sulit'
Muaranya berawa-rawa, sedangkan ibukota terletak pada suatu
dataran rendah dengan tanah subur sekelilingnya dan dilingkari
oleh perbukitan 4>
Posisi georgrafi yang terletak pada ujung utara Pulau
Sumatera dan pada sebuah teluk yang memungkinkan kapal-kapal
niaga keluar masuk kejurusan Birma, Benggala atau Srilangka,
Kaukut, Malaka, dan pantai barat Sumatera memberi keuntungan
kepada kota Banda Aceh dan daerah sekitarnya dalam kontak
perniagaan timur-barat sejak dahulu kala. Karenanya, ada kecen-
derungan diantara sejarahwan untuk mencari lokasi kerajaan
Huang Chih" yang disebut oleh dinasti Han dan "Lang po lu
Shih yang disebut oleh dinasti Tang pada daerah disekitar teluk
«u berbarengan dengan munculnya kerajaan-kerajaan otonom
di daerah Aceh seperti Pasai dan Padir sebelum tahuni500 para
pelancong asing, seperti Marco Polo^ d a n Laksamana Chengho
mencatat pula bahwa di daerah di sekitar teluk tersebut telah ber-
diri kerajaan Lamuri yang menghasilkan rempah-rempah
walaupun tidak sepenting Pedir atau Pasai7».

1 and lne second


of June (1602) we came to anchor in the roade of achem
some two miles of the citie. The Voyage of sir James Lancaster to Brazil and the
East Indies 1591 - 1603, the Haykluyt Society, 1940, p. 90
2. Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (ter-
jemahan), Balai Pustaka, 1986, pp. 54 - 55.
3 ....The town stands on river, which empties itself, by several channels near
the north-west point of the island, ...The depth of water in the bar being no more
than four feet at low water spring tides, only the vessels of the country can ven-
ture to pass it..., Jhon Anderson, Acheen and the ports on the north and the East
Coast of Sumatra (edited by A.J.Reid), Oxford University Press, 1970 p 22
Kesaksian yang sama diungkapkan juga oleh William Marsden yang pernah
berkunjung ke daerah itu beberapa puluh tahun sebelumnya of William marsden
The History of Sumatera. With an introduction by Jhon Bastin, Oxford Univer-
sity Press, 1975, p.397.
4 Marsden melukiskannya.... The town is situated on a plain in a wide valley
formed like an amphiteatre by lofty ranges of hills. M8d. Anderson menambahkan-
nya The country above the town is highly cultivated, and abounds with small
villages. Jhon Anderson, op.cit.p.23
5. Lihat, O. W. Wolters. Early Indonesian Commerce, Cornell University press
1967, pp.49 -61.
* i t Livre de M»rcopolo. Texte intergal mis en Francais moderne par
A. T.Sersteven, Albin Michel, Paris, 1955, pp.248 - 253.
7 Catatan mengenai Lamuri (Lambri) ditulis pada kitab Ying Yai Shenglan (1416)
dan buku 325 Dinasti Ming, lihat W.P. Groeneveldt, Notes on the Malay Ar-
chipelago and Malacca, 1887 pp.220 - 221.

117
P , S u "f g u ! 1 P u n s u d a h disinggung bahwa Huang Chih Lane
sekaraSnfk?t
sekarang,
a n LamU ri
d
kitaa dismi Hhanya^ akan dmembatasi
i
* * " * ^ pembicaraan
t a r B a S seiat
S
permulaan tahun 1500 saja, karena bukan h a n y a T u k u S S Ï
cari benang merah yang menghubungkan nama"nama X "
dunventansir itu dengan kota Banda Aceh, me'ainTan iugf
sumber-sumber yang tersedia tidak menunjukk^lokasMoS
yang telah disebutkan itu sebagai bandar perniagaan yangramai
Begitu membangun basis kekuasaannya di kota BanSfrTceh
Darussalam, sultan Ali Mughayatsyah kelihatannya melTbatkan
langsung kota tersebut dalam arus perniagaan " n a s i o n a l
walaupun porsinya tidak sesibuk atau seramfi Pidie d T p a s S » '
muk;'™ T ' ^ t ^ P ° r t U g i s y a n g P e r n a h I e b i " dua tahun ber-
muk,m di Malaka setelah Malaka ketangan Portugis 1511
mengatakan bahwa Sultan terlibat dalam perniagaan dengan
memilik, kapal (lanchara) sebanyak 40 buah') vLZit
a,ah b erUP bahan makanan
Xrtr
rempah. Walaupun daerah ' ^ a Aceh
H \ hinterland Banda s T a telah
^S
Ä Ä ^ ' r f ™ t e t a p i Pr°duksinya lebih^rendlh L f a p a
S e r 'Tôt m u t h 0 3 ^ * * * ^ *~ to
* ° f ^ S
Keadaan mulai berubah setelah para Sultan berhasil
menaklukkan Kerajaan-kerajaan otonom yang telah a d a di kedua
.s. pantai Sumatera (Daya, Singkel, B a r u s 5 Pariaman
U Siak
atau pàhanê)
atr D?*' n T ^ f 'terakhir
Pahang). Daerah-daerah ^ ^ dengan ^potensi ÄSS
daerah
hinterlandnya yang cukup kaya akan persedifan l ^ S t i n S ?
nian/hutan seperti lada, pinang, beras, damar, dan kapù b a r us"
ataupun bahan mineral seperti emas, belerang, dan minyak tanah'
n U m er emPU k
iTt
istana,renkarena
a k kondisi
H Kibukota ^ PCmaSUkan
mempunyai potensi ™Ä
d
daerah
pedalaman yang terbatas. Oleh sebab itu, dapat dlengefribüa
SuUan memberlakukan serangkaian kebijaksanaan yang b e s ^
akl dengan dUnia ,Uar dan
m^SZnl^
S o t a >«> "
l
kaPa, kapal
f asing untuk
«Sï
berhubungan dengan
Akibat nyata dari kebijaksanaan diatas, Bandar Aceh
Darussalambertumbuh jadi kota perniagaan yàng ramai, thon

mmmmm
118
Davis, Kapten salah sebuah kapal rombongan Cornelis De Hout-
man yang berlabuh di ibukota pada tahun 1599, memberikan
kesaksian kepada kita bahwa tatkala ia memasuki pelabuhan
Aceh, ia menemukan empat buah kapal asing sedang berada di
pelabuhan; yaitu tiga buah berasal dari Arab dan satu buah dari
Pegu »>: Tiga tahun kemudian, Sir James Lacaster yang tiba pada
masa pemerintahan Sultan Saidil Mukamil, kakek Sultan Iskan-
dar Muda, mengatakan bahwa ia menyaksikan 16 atau 18 buah
kapal niaga dari berbagai bangsa yang berlabuh disitu '->.
Dalam lalu lintas perniagaan internasional itu, posisi kota
Banda Aceh kelihatannya lebih bersifat "entrepot" dari komoditi
ekspor. Situasi demikian tentulah berkaitan erat dengan kondisi
dan potensi "hinterland" ibukota yang tidak begitu banyak mem-
produksikan bahan ekspor. Laksamana Beaulieu yang pernah
menetap di kota Banda Aceh pada tahun 1621 mencatat produksi
lada, yang waktu itu merupakan primadona ekspor, di sekitar
kota hanya 500 barel per tahun l3>-, sementara Jhon Davis yang
telah tiba di ibukota Kesultanan dua puluh tahun sebelumnya
memperkirakan produksi lada di daerah itu hanya berkisar 20
kapal (ingat tonasenya lebih kecil dari kapal sekarang) ner
tahun >">.
Disamping mengambil posisi sebagai "enterpot" dari
komoditi ekspor, Kota Banda Aceh memerlukan berbagai
komoditi impor yang dibutuhkan bagi keperluan penduduk. Mata
dagangan yang didatangkan ke Bandar Aceh Darussalam itu ter-

kepadapedagang islam yang bukan bangsa Aceh. Perhatikan pasal 18 Peraturan


di dalam Negeri Aceh Bandar Oarussallam disalin dari daftar Paduka Sri Sultan
Mahkota Alam Iskandar Muda; Adapun orang luaran yang Islam lam daripada
bangsa Atjeh seperti orang Arab, Benggali, Kling, Melayu, dan Jawa atau seum-
pamanya masuk ke dalam negeri Atjeh Bandar Dar As Salam pekerjaannya ber-
niaga tetapi ketika dia baru datang ada menghantarkan persembahan kepada ra-
ja supaya boleh kenal dengan raja. K.F.H. Van Langen "De inrichting van hel
Atjehsche Staatsbertuur onder het Sultanaat" dalam B.K.l. 1888, Bijlage A.
11. Lihat The Voyages and works of Jhon Davis, edited by Albert Hasting The
Hakluyit Society, London, MDCCCLXXX, p.. 140.
12.... in the made of Achem, some two miles off the citie; where we found eigh-
teene saile ofshippes of divers nations, some Goserats, some of Benggala some
of Calicut (called Malabares), some Pegues, and some Patanyes, which came to
trade there. The Voyages of Sir James Lancaster, loc.cit. Bandingkan petikan
dari permulaan Hikayat Malern Dagang dibawah ini:
Bak masa nyan (Iskandar Muda rame pi that, peu nyang hajat dum halena.
Nangroepi luah, banda pi rame han meu nefne keunanteuka. Padum-padum
kapay di Kleng jime bakong beusoe meutila. Padum kapay Meulabari ngon
Geujaratingon Beunggala... Padumkapay nayang me tjawan, krikay, dulang,
pingan raya. Padum-padumkapay di Keudah, idja mirah meuneukat jiba,
tunong baroh, timu barat, dempeu alat pi najiba. di Atjeh kon troih u barat,
meuceuhu that po meukuta. Lihat Hikayat Malern Dagang Edisi Cowan, 1937,
p. 15.
13. Dikutip oleh Denys Lombard, op.cit, p.88 satu bahar = 2 pikul.
14. The Voyages and Works of Jhon Davis, p. 146.

119
jumlah rnraah sekitar 7 atau 8000 b n ^ S p , ' d!°ean

duduk Ban'dar Ä i r i ' S » - - ~

waktu itupun dikerjakan dengan sistem perladangan oleh neiani


. i * fta,n,;Pmni " U ""-Konsentrasi pada sebnah a eal maka
terbentuklah persekutuannya yang disebut seuneubo^sfmenurâ
lai
Ä Z Ä " " "T""" *" °™* "' P™°da?£
yang umumnya kaum bangsawan dinamai penlnha pangkay. " S

Transaksi perniagaan telah pula memunculkan «kt™


takaran, timbangan dan mata uang satuanZkaran atau , T
Ä e S dYkat" " T " " ' ^ ^ aw
- ak-u
, i,u' y"ai,u
izxxz,isrrA Ï Ï T ^
* « _ transaksi adalah ^ S S Ï

« . Satu daftar barang-barang niaga di ibukota, lihat, Adat Atieh dari satu

'^Bertolak dari kesaksian Beualieu yang menyatakan bahwa Sultan Iskandar

^'ZZZ^aZZTi^^^^
W < W * » * « * « . d a , a teo™^ /WMrffa . Perlu diingat bZfpad^zâZn
dulu rajakerapkal, memobilisasi semua penduduk bila terjadi pep7anganWkaZ
betapa Iskandar Muda dan Pocut Muhammad, adik Sultan Alaiddin Jauhansvah
^jerahkan rakyat uleebalang di sekitar ibu kota dan pantai uTra Ace,t untuk
mengambil bagian dalam perang. Hikayat Malem Dagang. ZcTfanWkJvat

fkatiTô,62 Kg. baHar' ' baHar ' 2pikU' a'aU 2°° kaÜ- ] *** = m kati,
120
Spanyol atau ringgit meriam dan mata uang lokal, seperti derham,
mas, suku, kupang dan busuk. w.
Pelaku-pelaku yang terlibat dalam perdagangan internasional
itu terdiri atas pedagang keliling dan pedagang lokal, pedagang
keliling umumnya berasal dari pendatang bangsa asing yang me-
nyinggahi pelabuhan Aceh untuk memuat dan memunggah barang
dagangan. Mereka terdiri atas bangsa-bangsa Eropa (Portugis,
Inggris, Perancis dan Belanda), bangsa Amerika Serikat, bangsa-
bangsa India (keling, Malabar Gujarat) bangsa Turkir, bangsa
Arab, bangsa Persia, bangsa Birma (Pegu), bangsa Cina, dan
pedagang dari Nusantara (Malaka dan Jawa). Kadangkala
pedagang-pedagang keliling itu menetap dan membentuk
kampung-kampung di dalam kota, seperti kampung Keudah,
kampung Jawa, kampung Peulanggahan, atau kampung Pande.
Pedagang lokal umumnya terdiri atas kaum bangsawan atau
orang kaya.
Pasar yang terdapat di dalam kota Bandar Aceh Darussalam
hendaknya jangan diartikan sebagai pasar moderen yang bersifat
abstrak, melainkan lebih bersifat konkrit, artinya produsen dan
konsumen melakukan transaksi ditempat-tempat itu, lokasi pasar
kelihatannya kerapkali berubah sesuai dengan situasi politik
dalam ibukota. Sebagai contoh pada masa permulaan pemerin-
tahan Sultan Alaiddin Jauhansyah (1735-1760), saingannya Sultan
Jamal alam Badr al Munir, menjadikan kampung Jawa sebagai
pusat kegiatan perniagaan ™K Pejabat Kesultanan yang bertang-
gung jawab terhadap pelabuhan dan pasar di sebut Syahbandar
Keuntungan pertama yang dipetik oleh para Sultan dalam
pemusatan perniagaan di ibukota adalah penarikan bea cukai
terhadap barang niaga yang keluar masuk pelabuhan di ibu kota
dilakukan oleh petugasnya 2D. Para pedagang asing yang berlabuh
di ibu kota diharuskan pula untuk mempersembahkan upeti
kepada Sultan. Demikian pula kapal-kapal yang berlabuh di
pelabuhan dikenakan pula bea jangkar atau bea kawal ^) Disam-

L 1 f T PaVlS- JameS La c
" <K>er, Beaulieu, De Graaff, Marsden dan

PP426-434l)emnchtmg Vanj hetA


'J^he staatsbestuur onder Het Sultanaar,
20. Tindakan demikian merupakan salah satu sumber keluhan Pocut Muham-
mad, karena pendapatan istana berkurang, lihat Hikayat Muhammad pP4o72
ItlTpT'T ibuk0ta^ dibuat oleh Belanda pada permZn peran, Aceh
lokas, PeukanAceh terletak pada pertemuan Krueng Daroy dengan KmengAceh
atau pada lokasi kantor C.P.M sekarang ""'gan Krueng Aceh
dLZ"Zrika"?aJOifa/Cfa" dengan bmda atau
« " » hasil-hasil hutan seperti
damar dan rotan dtkenakan pajak 1: 10. cukup panjang bila dirinaZ^-

^'beabarangdaganganitu,untukmengetahuidaftarnyak^^

faan7artfnZetkZn'U^
121
ping itu, sultan memiliki pula beberapa hak istimewa terhadap
pedagang asing, seperti hak tawanan karang dan hak mewarisi
P d g Sm8 yang meninggal dUnia di Aceh
S,i kî ahirw aris ^
Keuntungan yang berakumulasi dari kegiatan perniagaan itu
segera dimanfaatkan untuk menyangga dan memupuk kekuasaan
Sultan. Pors! yang pertama tentulah diperuntukkan bagi pem-
biayaan istana dengan gaya hidup yang berlebihan «>. berikut-
nya adalah untuk membiayai angkatan perang yang mempunyai
em un ai
nussi untuk menegakkan kedaulatan Sultan *4. P y
Disampmg itu Sultan memanfaatkan pula dana tersebut sebagai
alat pengikat kesetiaan antara istana dengan para bawahan yang
terdapat disekitar ,bu kota, seperti Teuku Kali Malikul AM
ketiga Panglima Sagi, Teuku Panglima Mesjid Raya dan Teukû
meuem Lueng Bata, dengan cara pemberian hadiah pada saat
saat tertentu; seperti pada permulaan bulan puasa atau ketika
orang yang bersangkutan meninggal dunia 25)
di i h u t n ^ R ^ i 1 1 1 1 f a ^ h Pemusatan perniagaan internasional
di ibu kota Bandar Aceh Darussalam itu benar-benar efektif
Suatu halyang jelas bahwa sejak bagian kedua abad ke 17 po i
Bandar Aceh Darussalam sebagai eksport perniagaan inte?na
s.onal semakin melorot terus, walaupun berbarengan dengan
kemerosotan kesultanan itu pantai barat Aceh dan pantai utara
Aceh muncul sebagai daerah produsen lada yang cukup be s a r
n l a h H amP K knya tidak dapat berbuat **** Lhidap kL kota
pelabuhan baru, seperti Idi, Susoh, Kuala Batu, Lhok Seumawe
U n C U l a n g a i akibat dari
lada Ä Marsden, eksistensihkasfpenanaman
Edrdan pinang. W.lliam pejabat Inggris yane lama
1 Marlboro
m t m S S n kita
memberitakan 1 ^bahwa
? ° " pedagang-^>pedagane lllO,
- S tSS asing
S T diZ pantai' T 1barat
dapat
1118 dengan
atau Pelabuhan
utara Aceh
g
pelabuhan
untuk
n g
ter8
y ang atau
memuat
mem U n g g a h b a r a n g n j a g a 26) P e m a n ™(
berlangsung sampa, permulaan abad ke 19, akibatnya banyak

SÄi^ÄzzsÄSSryans ha,us-Beuiieu yang mem


dai emas, sida-sida 500 oramdan Z Z u P»"W< 300 orang pan-
Uhat Denys LombarTopJi^l ^ T ^ f f i * " * * " 3 " Hbvm
" » *
me ki m buah ga,ias
«S™*^ T «
A* Kuaa, dan 500pucuk meriam ibid nn 117 nn

122
penguasa lokal didaerah pelabuhan seperti Leube Dappa di Susoh
dan Kuala Batu, Tuanku Pakeh di Pidie, Teuku Muda Nyak
Malem di Simpang Ulim, dan Teuku Paya di Lambada muncul
sebagai 27penguasa kaya, hasil kegiatan dagang yang mereka
lakukan >.
Sebagaimana sudah disinggung bahwa sebab utama
kemerosotan posisi Bandar Aceh Darussalam dalam perniagaan
Internasional adalah kemerosotan kekuasaan Sultan untuk
mengontrol jalur dagang tersebut. Kemerosotan itu bersumber
bukan hanya pada pergulatannya dengan imperlialis barat yang
telah menghunjamkan kaki dikawasan barat Indonesia, akan
tetapi juga pada pergulatan internal di dalam istana antara para
pewaris tahta sebagaimana disaksikan pada serangkaian perang
suksesi sejak akhir abad ke 17. Dalam situasi demikian, bukan
mustahil seorang Sultan yang memenangkan tahta akan
memberikan konsesi atau imbalan kepada bawahan yang telah
mengantarkannya ke singgasana. Karena itu,kita menyaksikan
pada abad ke 19 ada sejumlah pejabat lokal yang berhak
memungut bea barang niaga di ibukota Bandar Aceh Darussalam
dan sekitarnya.
Kecuali Teuku Kali Malikul Adil yang berhak mengambil cukai
terhadap barang yang keluar masuk Kuala Aceh dan orang yang
naik Haji, beberapa pejabat lokal lainnya mempunyai porsi yang
telah ditentukan oleh Sultan T.Nek Raja Muda Setia boleh
memungut bea dari perahu yang keluar masuk Kuala Cangkul,
sementara T.Lam Gugob bisa memperoleh separo dari bea perahu
yang keluar masuk Kuala Gigieng. Demikian pula T.Nanta Setia
boleh mengambil bea dari Pulau Breuh/Nasi, sementara T.Imeum
Silang dan T.Imeum Cadek dan Lamanga berhak atas Pulau
W e h 28).
Surplus produksi ekspor Aceh itu tampaknya dipetik oleh
kota- kota baru yang sengaja dibangun oleh Pemerintah Kolonial,
di pantai barat Sumatera, Belanda membangun kota Padang pada
tahun 1660 yang dibarengi oleh kota Bengkulu (Fort
Marlborough) oleh Pemerintah Inggris. Di selat Malaka Pemerin-
tah Inggris membangun pula kota Penang tahun 1786 dan kota
Singapura pada tahun 1819, diantara empat kota itu, kelihatan-
nya kota Penanglah yang memetik manfaat paling besar
sebagaimana angka yang dipertunjukkan oleh Pejabat Kolonial
Inggris disana pada permulaan abad ke 19 29K
27. Menurut Antony Reid, Teuku Muda Nyak Malem malah mampu membeli
sebuah bangunan yang disebut Gedong Atjeh dengan harga $.40.000 dollar di
Penang. Lihat Antony Reid, The Contest for North Sumatra. Atjeh, the Nederlands
and Britain 1858 - 1898, Oxford University Press, 1969, pp,7,14,80,129-133.
28. Lihat K.F.H. Van Langen, op.cit, pp.445 - 447.
2
Z U"iUk,taM men mai
Z satuan
barang niaga dan nilainya dapat dilihat pada
Jhon Anderson, op. cit, pp. 161 - 166, dan appendix pp 222 - 230.

123
„ t , ....... PERIODE 1876 - 1945

nasional Langkah nert Z ! H , ^ n n g a n P e r d a 8 a ngan inter-

Pembangunan sarana transportasi dan komunikasi van.,


menun ja k e g i a t a n a d m i n i s t r a s i k o l o n i a l £ S £ £ £ n J^J
dapat perhatian pula, demikian juga struktur p h i s i k f t a u ^
ruang kota ditata kembali untuk menunjang fc^ i S S S
kolonial dan perdagangan. Kesemuanya itu telah i a S
terjadinya perubahan tata ruang kota dan p e r S a n pe^m
bangan penduduk kota. Brau de Saint Pol Lias, orang P e r a n i
yang mengunjungi Kutaraja pada tahun 1880, memberikan kesak
aan kepada tata bahwa Kutaraja sedang membenah diri m S i
kota administrasi kolonial dengan ditandai oleh k e b S a a n
kampung-kampung lama disamping munculnya b L a r orang
Eropa pasar, pemukiman pegawai atau serdadu Belanda dan
öeia
Daerah pecinan (Peunayone) m i, A- n a a dan
k ndlS1 Serupa tldak beruba
hingga akhir masa k o l o n i » . ' ° "
3 rnbangUnan infrastr
ctaKI f " k t u r ekonomi yang dibarengi oleh
stabil, as keamanan tentulah telah mengundang perharian
kapitalis untuk membuka usaha di Kutaraja P e S k N V S
Courant di Medan membuka pada tahun 1900 sebuah percetakan
d. Kutaraja bernama N. V Atjeh Drukkerij Nederlandse*Handïï
Maatschappij membuka cabangnya di Uleelheue paSa tahun Tm
caha ? !?l P U l a P a d a n g H a n d e l Maatschappij membuka
dl
diri
din sendiri " 1 3berubah
n T Jdan ? 3 d a n S a bmenjadi
ang Ya
- "N
g terakhir k e m u dui ôbeTr ,
V Atiehsrh*
Maatscoappü berfungsi sebagai p è r u l L * m p 0 r ek p t
dengan cabang-cabangnya di TapakTuan, Sigli Saban« dan
Residen T n , S a m P i n g P e r U S a h a a n y a n g t e l a b dîebufkan diafas
Residen Jongejans, mengatakan bahwa pada tahun 1938 t e r d a S
d u a j u a h perusahaan lain, yaitu Fa.J.Boon Jzn dan N v Bor

Chezkz Atches Lohong, A.PIou Nouritet cie Paris 1884, pp 20 2,

124
sumij yang dapat digolongkan sebagai perusahaan besar atau
grosir di Kutaraja M>. Perusahaan menengah atau kecil berada
di tangan pedagang Cina dan sebagian kecil terbagi ditangan
pribumi atau Timur Asing lainnya.
Penambangan minyak tanah di Aceh Timur dan pembukaan
perkebunan besar seperti sawit, karet, sisal, teh dan terpentin oleh
kapitalis asing pada permulaan abad ini kelihatannya tidak mem-
bawa akibat yang berarti terhadap komposisi dan volume
komoditi ekspor di Kutaraja. Hal ini terutama berkaitan erat
dengan kondisi daerah hinterland Kutaraja yang terbatas dan
tidak begitu subur, sementara pemerintah Kolonial sejak men-
duduki Aceh tetap melestarikan pelabuhan-pelabuhan yang telah
bermunculan di pantai barat dan utara Aceh. Pelabuhan-
pelabuhan itu disinggahi secara teratur oleh kapal milik
perusahaan K.P.M. Dilain pihak, sebagian besar perusahaan yang
menanam modal di Aceh, seperti N. V Deli Cultuur Maatschap-
pij atau Société financière des Cautschouc, hanya menjadikan
daerah Aceh sebagai daerah operasi, sementara markasnya ter-
dapat di Medan. Karenanya tidak perlu heran, bila pelabuhan
Uleelheue hanya mengapalkan lima mata dagangan: yaitu lada,
pinang, kapok, rotan dan kopra 32). sementara sepuluh mata
dagangan lain (tidak termasuk kayu) dikapalkan oleh pelabuhan-
pelabuhan lain yang terdapat di pantai barat dan utara 33).
Pengalaman berbagi ekspor itu bukan hanya berlangsung
dengan pelabuhan pelabuhan yang telah tumbuh jauh sebelum
pendudukan Belanda, akan tetapi juga dengan pelabuhan Sabang
yang dipromosikan Pemerintah Kolonial sejak akhir abad ke 19.
Dalam perkembangannya Sabang bukan hanya mengurangi porsi
pelabuhan Uleelheue dalam mengekspor barang komoditi di
daerah hinterland Kutaraja 34> melainkan juga berfungsi sebagai
31. J.Jongejans, Land en Volk van Atjeh. Vroeger en Nus, Hollandsche Druk-
kerij, 1937, p. 224.
32. Disekitar kota Kutaraja terdapat beberapa perkebunan kelapa, diantaranya
milik N. V.Landbouw Maatschappij Rumpel, Fa. J.Boon Jz, T. Teungoh Meuraksa,
T. Nyak A rief dan Kebun Habib.
33. Barang ekspor tersebut ialah; kemenyan, kapur barus, nilam, getah karet pala
terpentin minyak tanah, sawit sisal dan teh.
34. Sebagai contoh pada tahun 1902 Aceh Besar mengekspor lada dengan nilai
f.45.000,- lada terdapat di Pulau Weh dan Sagi XXII Mukim, Dari jumlah itu,
Uleulheue mengekspor f. 17.980, sementara Sabang mengekspor f.37.020 Kolonial
Verslag, 1902, p. 17.
+ ) Sayang penulis tidak mempunyai angka tentang ekspor pada tahun 1900. Akan
tetapi data tahun 1902 menyatakan Uleulheue dan Sabang mengekspor pinang
f.2.000 dan lada f.45.000,
Sumber : Perlu diketahui bahwa porsi ekspor Pelabuhan Uleulheue untuk mata
dagangan itu cukup kecil. Pada saat yang sama Daerah Aceh mengekpor 2.663.436
kg lada, 13.503.314 Kg pinang, 334.548 Kg Kapok, 4.538.192 Kg kopra, dan
174.485 Kg rotan, diolah kembali dari data yang tersedia pada Kolonial Verslag
1901 dan Kraemer, Atjeh Algemenen Samenvakkend Overzicht ran Land en Volk
van Atjeh en Onderhoorigheden E.J. Brill, Leiden 1923, pp. 18 - 26.

125
pintu gerbang kedua dari Kutaraja melalui jalur kapal feri yang
dioperasikan oleh maskapai "Sabang Bai".
Komposisi barang ekspor dan impor tidak jauh berubah dari
masa sebelum penjajahan. Barang ekspor terdiri atas hasil hutan
atau perkebunan, sementara barang import adalah bahan kon-
sumsi Untuk jelasnya perhatikan neraca barang keluar masuk
di pelabuhan Uleelheue tahun 1900 dan tahun 1921 sebagaimana
yang terdapat pada tabel dibawah ini-

A. Barang Impor

1900
Bahan makanan f.250.289
Beras (Kg) 3805.324
Minyak (liter) 793.120
Tembakau (Kg) 85.736
Ikan asin (Kg) 166.883
Tepung f. 61.580
Manufaktur f.260.156
B. Barang Ekspor + ) 1900

1921
Barang perhiasan f.86.977
Pakaian f.57.021
Tembikar/pecahbelah f.76.906
Sabun f.61.965
Manufaktur f.972.000
Garam (Kg) 4.400
1921
Lada 371.556 Kg
Pinang 244.744 Kg
Kapok 54 Ton
Kopra 383.477 Kg
Rotan 2.000 Kg

Suatu implikasi penting kebijaksanaan Pemerintah Kolonial


terhadap perniagaan internasional bagi kota Banda Aceh
diekspresikan melalui pergeseran orientasi arus tataniaga. Pinang
yang pada abad ke 19 merupakan ekspor utama dari perniagaan
Aceh mulai berkurang peranannya sebagai akibat diterapkan
peraturan pembatasan pelayaran yang disebut Sheepvaartregel-
mg pada akhir abad ke 19 oleh Pemerintah Kolonial
Kapitalis-kapitalis yang menanamkan modalnya di Aceh berusaha
pula menjad,kan Medan, Padang dan Pulau Jawa sebaga, salah
126
satu orientasi tataniaga baru, karena mereka telah melakukan in-
vestasi ditempat tersebut, oleh sebab itu Banda Aceh bukan saja
dibanjiri oleh produk-produk yang dihasilkan daerah itu, seperti
gula dan semen misalnya, akan tetapi pula mengirimkan mata
dagangannya ke daerah baru tersebut baik untuk diolah atau di
ekspor seperti misalnya karet, kopra dan damar ke pulau Jawa.

Periode Setelah Kemerdekaan

Bila disimak kedudukan Kota Banda Aceh dalam perniagaan


internasional setelah zaman kemerdekaan, kita dapat membaginya
kedalam dua fase; yaitu fase sebelum tahun 1963 dan fase
sesudahnya. Pada fase sebelum tahun 1963 kota Banda Aceh
masih tetap meneruskan posisinya dengan sedikit perubahan
seperti yang telah dirintis pada zaman kolonial, sementara pada
fase berikutnya kota Banda Aceh menjadikan dirinya sebagai pin-
tu gerbang pelemparan barang-barang dari pelabuhan Bebas
Sabang.
Setelah memperoleh kemerdekaan, kota Banda Aceh tetap
meneruskan tradisinya sebagai kota administrasi pemerintahan
dengan sedikit kegiatan dagang. Karena itu, sifat perdagangan
dan jenis komoditi yang diperdagangkan tidak jauh berbeda
dengan apa yang telah dilakukannya pada masa sebelumnya.
Perubahan yang amat tampak kita amati adalah menyangkut
dengan pelaku-pelaku dalam perniagaan internasional. Bila
sebelum kemerdekaan pedagang-pedagang besar atau grosir itu
dikuasai oleh kapitalis-kapitalis Eropa, posisi tersebut diganti oleh
sektor swasta pribumi dan sektor Pemerintahan. Usaha swasta
pribumi didirikan dan dikelola oleh organisasi tertentu, misalnya
Petraca (Persindo Trading Company) dan Gasida (Gabungan
Saudagar Indonesia Aceh) pada tahun 1947 atau dibangun oleh
pengusaha- pengusaha tertentu, seperti Fa.Indocolim, N.V.In-
dolco, Fa.Tenaga Desa, N.V. Permai, N.V. Lhok, nga Trading
Company, toko Aceh Barat, Fa.Tawison dan Azema. Usaha
Pemerintah dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau Instansi
Pusat. Usaha Pemerintah Daerah ditandai dengan berdirinya P.T
Panca Usaha atas prakarsa Pemerintah Propinsi Aceh. Usaha In-
stansi Pusat umumnya oleh perusahaan Negara yang membuka
cabangnya di Kutaraja, seperti P.N.Jaya Bakti dan Aduma Niaga.
Kiranya dapat juga kita golongkan ke dalam sektor Pemerintah
adalah koperasi yang digalakkan oleh pemerintah sejak tahun
1950-an. Dikota Banda Aceh kita menyaksikan G.K.K. (Gerakan
Koperasi Konsumsi) dan Koperasi militer, terutama Puskopad,
yang juga melakukan kegiatan dagang dalam komoditi tertentu
yang dikonsumsikan oleh masyarakat.
Kecuali kemunculan pengusaha-pengusaha besar Aceh yang
memanfaatkan posisi kosong yang ditinggalkan oleh kapitalis

127
Eropa dan memanfaatkan berbagai fasilitas yang diberikan oleh
pemerintah (dagang barter dan importir banteng n^salnTa), mâsa
ffl£ kemerdekaan ditandai pula oleh pefbaikan p^aTana
a permulaan tahun
TrTl r? i960 an, Pemerintah Daerah
merehabilitasi pasar Aceh dan pasar Peunayong seninya
prasarana perniagaan semakin bertambah baik
d
?o??r,ng diambil
° l e h P e m e r i n t a h Pusat sejak bulan
Oktober 1963 dalam upaya menjadikan Sabang sebagai Daerah
pelabuhan bebas telah mempengaruhi pula tefhadap a r ^ p e r
niagaan di kota Banda Aceh 35,. K o t a Banda Aceh segera diban-
jiri o eh barang kelontong, pakaian, atau elektronik yang berasal
dan luar negen, karena bukan saja pelabuhan Uleulheue diisi oleh
pelayaran fern reguler dengan sabang atau balohan, akan tetapi
daerah
S . P a n t a i B a n d a Aceh yang berawa-rawa itu dijadikan
Arlh H f ' ? a , e r a h P f n y e l u n d u P a n - Betapa posisi kota Banda
3

u ? i H T h a l f flabuhan U l e u l h e u e s e b a 8 a i Pintu gerbang


utama dan kegiatan ekspor barang pelabuhan bebas Sabang dapat P
diamati pada angka berikut.

Pada tahun 1965 nilai reekspor pelabuhan Sabang ke Ule


lheue melebih, 50 % atau U.S. $ 37.948,91 dari nilai feekspor
seluruhnya yakni U.S. $ 70.060,95. Persentase i u m d o S
meleb,h, 90% lima tahun kemudian yaitu U.S. $ 6.7310212? dari
nilai ekspor selurunya U.S. $ 7.230,325,28 36). Sisa ekspor ku
d,sa urkan lewat berbagai pelabuhan lainnya, terutama ya'ngtr
dapat d, pantai utara dan barat Aceh

iak zam a g nl a e h ^; P r e H n f Saha S W 3 S t a P r i b U m i y a n g t e l a h t u m b u h **


Ak»n tTt k e ™ r d , e k a a n s e S e r a memanfaatkan situasi tersebut.
Akan tetapi, tatkala mereka mendapat pembatasan-pembatasan
seperti Keppres No.47 tahun 1971 yang mengenakan pembayaran
retribusi terhadap barang import dari Sabang dan pembentukan
dolog yang menjadi penyalur bahan pokok, perusahaan
perusahaan swasta itu mulai merosot. Kondisi itu d^per ambah
parah agi oleh manajemen perusahaan dan permodalan Akibat
nya, kita menyaksikan munculnya perusahaan-perusahaan g os r
baru yang dimilik, oleh pedagang Tionghoa. Seperti P.T W
po, P.T. Paritex, P.T. Pebapan dan P.T. Borsumij Wehry In-

iTmTZfff3"posisi beberapa perusahaan prib-i U


nakan melalu, Undang-undang No.4 tahun 1970 tanggal 27 Maret 70
36. Angka itu merupakan hasil survey Fakultas Ekonomi Unsyiah yang dipetik

tonghoa d, Banda Aceh, Ringkasan Hasil Penelitian P.L.P.I.I.S. Aceh 1976


37. Suatu daftar perusahaan-perusahaan swasta pribumi yang merugi dan'daftar
T976Za7tJTghoar8bergerakd^
1976 dapat dibaca pada ringkasan penelitian dialas. Ibid.
128
Satu efek penting lain dari kehadiran pelabuhan bebas
Sabang bagi kota Banda Aceh adalah munculnya pedagang jengek
yang melakukan kegiatan dagang pulang pergi Sabang Ulhe lheue
dengan porsi satu tentengan. Barang-barang tentengan mereka
mi dipasarkan di salah satu sudut pasar Aceh yang dikenal oleh
penduduk kota sebagai pasar jengek. Barang yang diperjual-
belikan di situ sudah tentu produk luar negeri yang mereka bawa
melalui kapal feri.
Berkenaan dengan komoditi ekspor, barang yang diper-
niagakan di Banda Aceh tidak mengalami perubahan yang berarti.
Perubahan yang terjadi hanyalah pergeseran jenis komoditi
sebagai akibat permintaan Pasar. Menurut data yang tersedia,
pada tahun 1983 Banda Aceh dan Daerah hinderlandsnya, Aceh
besar, merupakan produksi cengkeh kedua terbesar di Daerah
Aceh dengan areal tanaman 5.007 Ha dan produksinya 1676
ton38) Disamping itu, ia memproduksikan pula kopi, pinang,
pala, dan udang dengan produksi masing-masing 195 ton, 54 ton,
9 ton, dan 269 ton39>. Jenis komoditi yang telah disebutkan
bersama-sama dengan ternak, terutama lembu, merupakan mata
dagangan yang diantar pulaukan atau diekspor ke luar negeri.

PENUTUP
Salah satu kesimpulan yang dapat kita tarik dari pengalaman
Banda Aceh dalam perniagaan Internasional menunjukkan betapa
pertautan yang erat antara kegiatan perniagaan dengan kegiatan
politik. Kejayaan Kota itu sebagai salah satu pusat perniagaan
internasional di kawasan barat Nusantara pada permulaan per-
tama abad ke 17 hendaklah dilihat dalam kontek kemampuan
Sultan untuk menjadikan Kota Banda Aceh sebagai pusat kekua-
saan pada waktu itu. Ketika kekuasaan Sultan merosot, posisi
Banda Aceh sebagai entrepot itu bukan saja diambil alih oleh
pusat-pusat baru, seperti Penang dan Singapura, dengan fasilitas
infrastruktur moderen yang dibangun oleh pemerintah Kolonial,
melainkan, juga Kota Banda Aceh terpaksa berbagi kegiatan
dagang dengan pelabuhan-pelabuhan lain yang muncul di pantai
barat dan utara Aceh. Demikian pula era pelabuhan lain yang
muncul di pantai barat dan utara Aceh. Demikian pula era
pelabuhan bebas Sabang yang telah menghidupkan kegiatan per-
dagangan di Kota Banda Aceh harus juga dilihat dalam kerangka
38. Pada tahun tersebut Daerah Aceh memproduksikan cengkeh sebanya 7 182
ton dengan daerah produksen terbesar Aceh Barat (3810 ton), lihat The Province
of Daerah Istimewa Aceh. Commersial Crop and Livestock, Corver nor office
Banda Aceh, 1985,p.8.
39. Menurut data dari buku dialas, Daerah Aceh pada waktu itu menghasilkan
14 komoditi pertanian ekspor dengan tujuh mata dagangan paling utama; yaitu
kopi, karet, produksi kayu, sawit, udang, pinang, pala. Ibid. p. 1.

129
pertautan politik dengan dunia dagang.
Kegiatan perniagaan Internasional pada masa kejayaan itu
tampaknya bertumpu atau bersumbu pada istana. Artinya ia ber-
fungsi untuk mensuplai barang mewah atau konsumsi bagi
keperluan istana dan perangkatnya serta sekaligus bagi
menghidupi istana melalui berbagai bentuk bea atau pungutan
(adat cap atau lapik) yang dikenakan oleh Sultan. Karenanya
pelaku-pelaku dalam kegiatan perniagaan internasional itu -
kecuali pedagang asing - adalah pejabat-pejabat kerajaan atau
kaum bangsawan, sementara sebahagian besar penduduk lainnya
tetap terserap dalam kegiatan pertanian tradisional yang hampir
bersifat swasembada.
Bila disimak pertumbuhan dan perkembangan Kota Banda
Aceh dalam siklus perniagaan internasional, kita dikesankan oleh
kurangnya perubahan yang bersifat kualitatif dalam struktur per-
niagaan. Jikapun ada, perubahan itu lebih bersifat pengrumitan
atau variasi bentuk permukaan dari elemen-elemen perniagaan
itu dalam upaya menyesuaian diri dengan perkembangan pasar
atau waktu. Jadi perubahan itu belum begitu menyentuh hal-hal
yang bersifat subtansial, sebagaimana disaksikan pada pelaku
ekonomi, jenis komoditi impor-eksport, dan managemen
pengelolaan.
Satu pernyataan yang menarik untuk dijawab pada akhir
tulisan ini adalah bagaimana prospek kota Banda Aceh dalam
perniagaan internasional pada masa mendatang. Memang sukar
untuk menjawab pertanyaan itu. Namun bagaimanapun, faktor
hinterland, faktor perkembangan pasar dunia, faktor politik, dan
faktor perbaikan kwalitas struktur perniagaan merupakan
variabel-variabel yang saling tumpang tindih dalam menentukan
posisi kota Banda Aceh pada hari-hari mendatang sebagai salah
satu mata rantai perniagaan dunia.

130
Banda Aceh Dalam Siklus
Perdagangan Internasional:
Suatu Tinjauan Historis

I. PENDAHULUAN.

Tulisan ini bermaksud untuk menelusuri kedudukan kota Banda


Aceh dalam perdagangan internasional dari masa ke masa, sebagai
suatu komentar terhadap makalah Dr. M.Isa Sulaiman.
Suatu keistimewaan Banda Aceh adalah peranannya sebagai
ibukota sejak zaman dahulu pada masa Kerajaan Aceh
Darussalam, masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang dan
hingga masa kini. Banyak kerajaan besar di kepulauan Nusan-
tara ini yang sulit diketahui bekas-bekas kedudukan ibukota
kerajaannya.
Demikian juga halnya dengan nama-nama besar para
penguasanya, seperti Gajah Mada sebagai penguasa terbesar pada
Kerajaan Mojopahit, Airlangga di Kerajaan Singosari, Syailen-
dra di Kerajaan Sriwijaya dan Pajajaran di Jawa Barat. Sulit
memastikan di mana makam mereka. Sebaliknya para penguasa
besar dalam Kerajaan Aceh dengan mudah dapat ditemui baik
Malikussaleh dari Samudra-Pasai maupun Iskandar Muda dan
Mohammad Daud dari Kerajaan Aceh Darussalam. Nama mereka
tercatat dalam sejarah dunia, dan makam mereka terpelihara
dengan baik.
Sebagai ibukota negara, kota Banda Aceh telah memainkan
peranan besar dalam transaksi perdagangan internasional, sejak
dia bernama Banda Aceh Darussalam sampai bernama Kotara-
ja. Dr. M.Isa Sulaiman telah menelusuri peranan Banda Aceh ini
dengan cukup baik dan jelas dan mempergunakan sumber-sumber
sejarah yang cukup otentik. Penelusurannya dilakukan dengan
membagi kurun waktu yang panjang ke dalam tiga periode, yaitu
periode 1500-1876, periode 1876-1945, dan periode setelah
kemerdekaan.

Kenyataan menunjukkan bahwa perubahan hubungan


ekonomi Aceh dengan dunia luar banyak terjadi setelah tahun
1876 dan setelah pemerintahan Orde Baru setelah kemerdekaan.
Oleh karena itu tulisan ini mengkaji ekonomi Aceh menurut
periode kerajaan-kerajaan Aceh, periode 1876-1965 dan periode
Orde Baru.

131
II. PERIODE KERAJAAN-KERAJAAN ACEH

Banyak data otentik telah dikutip oleh Dr.M.Isa, yang ber-


sumber dari para pelancong asing, baik Eropah, Arab, India
maupun Cina. Posisi geografik Daerah Aceh telah memberikan
keuntungan tersendiri dalam mengait arus perdagangan interna-
sional dari timur ke barat dan timur tengah. Para pelancong
dengan mudah dapat singgah dan sempat mengamati berbagai
kegiatan masyarakat baik dalam bidang ekonomi maupun dalam
bidang kehidupan sosial.
Kota dan daerah sekitarnya membentuk satu pusat-pusat
kerajaan Aceh, suatu kerajaan pantai Sumatra yang penting di
sebelah barat Indonesia. Kerajaan Islam Aceh merupakan rival
politik dan perdagangan yang luar biasa terhadap bangsa Por-
tugis di Malaka. Penerbitan Bengal; Past & Present mensitir:
"Its capital, the city of Acheh, was an important centre of Asian
trade. As in Malacca several lines of long-distance Asian trade
converged in Acheh to make it one of the major entrepot towns
of western Indonesia where the products of the Far East and
Southeast Asia could be exchanged for those of India and West
Asia." n-
Dari gambaran di atas dapat dibayangkan besarnya peranan
Banda Aceh (Bandar Acheh Dar-es-Salam) dalam perdagangan
internasional sebagai satu entrepot utama. Beberapa pulau di lepas
pantai muara Krueng Aceh membentuk jalur menuju ke kota Ban-
da Aceh. Kapal-kapal yang berkapasitas 60, 70 atau 80 ton dapat
berlayar melalui Krueng Aceh sampai sejauh 2 mil ( 3,2 km)
ke dalam di mana berdiri Kantor Bea Cukai. Krueng Aceh ini
telah membagi kota Banda Aceh ke dalam dua bagian, dan bagian
yang penting terletak di bagian barat daya.
Berkenaan dengan penduduk, Penerbitan tersebut juga men-
catat bahwa ' 'Acheh was one of the most populous cities of seven-
teenth century Indonesia. In the closing decades of the century
the city had about seven or eight thousand houses."2)-
Kota Banda Aceh mempunyai dua pasar utama, satu terletak
di pusat kota dan yang satu lainnya terletak di ujung utara kota.
Di pasar diperdagangkan beras, buah-buahan, sayur mayur,
ayam, dan ikan. Perikanan adalah suatu industri rakyat yang
sangat berkembang dan memberikan kesempatan kerja yang
cukup banyak kepada penduduk. Selanjutnya di pasar juga ba-
nyak tukang kayu, ahli pembuat kapal, penenun, tukang jahit,
penjual dan pembuat topi, pembuat pisau, tukang besi, tukang
senjata api, dan tukang emas. Kebanyakan tukang emas adalah
0. Journal of the Calcutta Historical Society, Bengal: Past & Present, Vol. LXXXI,
Part I, Serial No. 151, January-June 1962,, p. 37.
2). Loc. cit.

132
orang-orang asing. Penukar uang (money changers) pada umum-
nya adalah wanita. Sumber lain menyebutkan bahwa para money
changers itu terdiri dari budak, karena mereka sangat ahli dalam
meneliti keaslian mata uang yang dipertukarkan.
Selanjutnya McKinnon menyebutkan beberapa jenis barang
yang diperdagangkan, yaitu: "brazilwood, camphor, coral, cranes
nests, gold, ivory,, lign-aloes, rattan, tin dan tortoise atau turtle
shell." 3>
Di bagian timur Aceh terletak pelabuhan-pelabuhan Pedir
(Pidie), Pasai dan Deli (Aru). Pada abad 16, Pedir dan Pasai
adalah pelabuhan-pelabuhan yang penting dalam perdagangan
lada. Komoditi-komoditi yang menarik bagi pedagang asing (un-
tuk ekspor) adalah lada, sutera, kemenyan, tempayan, lignaloes,
kapur barus, belerang, saltpetre, minyak tanah, emas, timah, tem-
baga dan gading.
Selain itu para pedagang asing juga membeli barang-barang
produksi rakyat seperti kayu manis, cengkeh, pala, bunga pala,
kayu gaharu, pakaian India, porselein Cina. Kayu manis diim-
por dari Ceylon dan Jawa, rempah-rempah dari Maluku, dan
kayu gaharu diimpor dari Timor.
Dari uraian-uraian Dr.M.Isa dan beberapa tambahan kutipan
di atas dapat ditelusuri bahwa ekonomi Aceh amat berorientasi
ke ekspor (export economy). Dan dari jenis-jenis komoditi yang
diperdagangkan terbukti bahwa pertanian amat mendominan
struktur ekonomi, terutama hasil-hasil perkebunan rakyat, kecuali
lada yang pada umumnya dihasilkan perkebunan besar swasta.
Kenyataan memperlihatkan bahwa Raja atau Sulthan
memegang peranan penting dalam transaksi perdagangan inter-
nasional. Para pedagang asing terlebih dahulu harus mengadakan
hubungan dengan Sulthan sebelum melaksanakan sesuatu
transaksi.
Kondisi demikian mempengaruhi perkembangan per-
dagangan. Peranan pelabuhan-pelabuhan Pedir dan Pasai
merosot setelah Kerajaan Aceh Darussalam muncul dan semakin
kuat pada masa Sulthan Iskandar Muda.
Di samping itu kondisi prasarana ekonomi yang
menghubungkan daerah-daerah adalah amat lemah. Hal ini
menyulitkan pengawasan. Akhirnya muncul banyak pelabuhan
baik di pantai utara dan timur maupun sepanjang pantai barat
dan selatan. Perdagangan internasional menjadi tidak terawasi
lagi oleh kerajaan. Perkembangan ini telah merupakan sebab
utama yang telah memerosotkan peranan kota Banda Aceh
sebagai pelabuhan ekspor utama atau sebagai entrepot town.

E. Edwards McKinnon, Beyond Serandib: A note on Lambri at the northern


tip of Aceh (Revised), 15th. November 1987.

133
III. PERIODE 1876-1965.

Sejak 1876, Aceh telah memasuki era baru, dimulai dengan


perubahan kekuasaan politik oleh pendudukan dan penjajahan
Belanda. Langkah pertama adalah hubungan antara Uleelheue
dan Kutaraja (Banda Aceh), yaitu pembuatan jalan raya dan jalan
kereta api sepanjang 5 km. Demikian juga segera dibangun
hubungan telepon antara Uleelheue dan Kutaraja.
Selanjutnya sejumlah besar para pedagang yang terdiri dari
bangsa Eropah, Cina dan Arab, terutama dari pulau Penang ber-
datangan ke Aceh. Di samping itu banyak juga pedagang-
pedagang tersebut berasal dari Jakarta (waktu itu Batavia). Dalam
tahun 1877, hampir 5.000 orang Cina dari Singapore dan Penang
tiba di Aceh baik sebagai pedagang maupun sebagai tukang-
tukang.
Untuk memperlancar perdagangan internasional, pada tahun
1896, Belanda menetapkan pelabuhan Sabang sebagai Pelabuhan
Bebas. Kapal-kapal yang melintasi Selat Malaka singgah di
Sabang untuk mengisi bahan bakar batubara dan air, sehingga
Sabang menjadi ramai.
Sementara itu kondisi lahan yang relatif subur telah mengun-
dang investor-investor asing untuk menanam modalnya.
Dimulailah era karet, kopi, minyak sawit, yang terutama
dilakukan oleh perusahaan Perancis-Belgia -de Socie'te' Finan-
cière des Caoutchoucs, onderneming Batang Ara, maatschappij
Simpang Kanan, dan Simpang Kiri. Umumnya perusahaan-peru-
sahaan besar tersebut bergerak dalam komoditi karet, dan minyak
kelapa sawit.
Dengan perkembangan itu, komposisi mata barang Aceh
dalam perdagangan internasional mengalami perubahan besar.
Peranan lada dan lain komoditi yang telah disebutkan mulai
menurun, dan digantikan oleh komoditi karet, kopi, kelapa sawit,
dan kopra.
Sifat perdagangan internasional sejak itu memerlukan adanya
lembaga keuangan bank. Pada tahun 1918, Belanda membuka
Perwakilan de Javasche Bank di Kutaraja (Banda Aceh).
Jauh sebelum penanaman modal di sektor tersebut terlaksana
di Aceh, komoditi tersebut telah termasuk dalam komposisi
ekspor Indonesia, yang dilaksanakan melalui pelabuhan-
pelabuhan yang dibangun oleh Belanda, seperti Belawan. Oleh
karena itu, kebanyakan produksi perkebunan di Aceh mengalir
ke luar negeri melalui pelabuhan Belawan. Dengan begitu, maka
peranan Banda Aceh sebagai pelabuhan ekspor menjadi merosot.
Perkembangan ini menyebabkan kondisi pelabuhan di Aceh
semakin menurun, sedangkan pelabuhan Belawan semakin baik.
Pembukaan kembali Pelabuhan Bebas Sabang tidak mam-
pu menolong hal tersebut. Pembangunan jalan raya dan kereta

134
api telah lebih mempermudah pengangkutan barang-barang
ekspor Aceh ke pelabuhan Belawan.
Dalam pada itu struktur ekonomi daerah tidak mengalami
perubahan penting. Peranan sektor pertanian masih tetap
dominan, akan tetapi komoditi ekspornya telah berubah. Kea-
daan itu terus berlangsung sampai pada masa kemerdekaan dan
menjelang zaman Orde Baru.

IV. PERIODE ORDE BARU.

Pemerintahan Orde Baru melahirkan banyak perubahan


dalam ekonomi Aceh pada umumnya. Penemuan gas alam di
Arun membawa pengaruh besar terhadap pertumbuhan industri-
industri dasar, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan
industri-industri hilir. Perkembangan ini secara relatif telah me-
ningkatkan peranan komoditi hasil industri. Dengan demikian
struktur ekonomi Aceh secara relatif telah berubah, walaupun
sektor pertanian masih tetap berperanan.
Sementara itu peranan Banda Aceh berubah secara fun-
damental. Secara berangsur, Lhok Seumawe akan mengambil alih
posisi Banda Aceh sebagai pelabuhan ekspor. Banda Aceh akan
berkembang sebagai kota pemerintahan atau administrasi dan
kota pendidikan. Berakhirnya status Sabang sebagai pelabuhan
bebas telah memperkuat posisi Banda Aceh untuk hal-hal tersebut
di atas.

V. P E N U T U P
Telah diuraikan peranan Banda Aceh dalam transaksi per-
dagangan internasional dari masa ke masa. Dr. M.Isa ber-
kesimpulan bahwa antara kegiatan perniagaan dan kegiatan
politik terdapat pertautan yang erat. Dalam masa kerajaan Aceh,
kegiatan politik dan ekonomi berpusat di kota Banda Aceh
sebagai ibukota kerajaan. Pada zaman tersebut ibukota kerajaan
Aceh, Banda Aceh Darussalam, merupakan pusat perdagangan
yang penting di Asia, sehingga Banda Aceh menjadi satu entrepot
town utama di sebelah barat Indonesia.
Peranan Banda Aceh sebagai pelabuhan ekspor yang pen-
ting telah berubah sejak pemerintahan penjajahan Belanda. Kom-
posisi komoditi ekspor juga beralih, walaupun struktur ekonomi
masih tetap berat sebelah, ke sektor pertanian.
Sejak pemerintahan Orde Baru, Aceh mulai memasukkan era
industrialisasi, berkat penemuan gas alam di Aceh Utara (Arun).
Dalam struktur ekonomi, peranan industri memperlihatkan
semakin meningkat. Kedudukan Banda Aceh sebagai kota ad-
ministrasi dan kota pendidikan menjadi lebih dan akan semakin
menonjol. Peranan Aceh dalam perdagangan internasional akan
bergeser dari kota Banda Aceh ke Lhok Seumawe.

135
Peran Banda Aceh Sebagai
Pusat Perlawanan Terhadap
Kolonialisme Dan
Imperialisme Di Kawasan
Selat Malaka
OLEH
DRS. RUSDI SUFI
MASYARAKAT SEJARAHWAN INDONESIA (MSI)
CABANG BANDA ACEH

Tulisan ini mencoba membuat suatu kajian tentang salah satu


sisi sejarah kota Banda Aceh yang hingga kini belum banyak men-
dapat perhatian kalangan sejarah wan akademis. Sisi yang
dimaksud adalah tentang peran kota Banda Aceh sebagai pusat
perlawanan terhadap kolonialisme dan Imperialisme di kawasan
Selat Malaka.
Untuk merekonstruksi sejarah kota Banda Aceh, khususnya
yang menyangkut periode-periode awal, merupakan suatu hal
yang sulit. Hal ini disebabkan selain karena keterbatasan sumber-
sumber yang tersedia, juga karena kita dihadapkan kepada
kesukaran dalam penggunaan sumber-sumber yang ada. Adapun
sumber-sumber yang dimungkinkan untuk digunakan sejauh ini
yaitu beberapa historiografi tradisional setempat 0 , dan sumber-
sumber asing, baik berupa laporan-laporan maupun buku-buku
yang ditulis oleh orang-orang Barat. Jika di satu pihak
historiografi tradisional setempat di dalamnya mengandung pem-
bauran antara unsur-unsur kebenaran dan unsur-unsur yang mitis
legendaris, maka di pihak lain adanya berat sebelah serta tidak
lengkapnya uraian yang berasal dari sumber-sumber asing. Oleh
karenanya dalam penggunaan kedua jenis sumber tersebut ten-
tunya sangat diperlukan sikap yang kritis dan hati-hati, terutama
dalam mengkaji fakta-fakta yang termuat di dalamnya.
Akibat adanya penetrasi kekuasaan asing dalam bentuk pen-
jajahan atau penindasan, telah menyebabkan timbulnya per-

/. Di antara Historiografi tradisional setempat yang dapat digunakan


misalnya, "Hikayat Aceh", "Adat Aceh" dan "Bustanu's Salatin".

136
juangan berupa perlawanan, yang bertujuan untuk memper-
tahankan eksistensi bangsa yang bersangkutan. Jika kita
menelusuri sejarah dari pada penetrasi kekuasaan kolonial di kera-
jaan Aceh, akan terlihat adanya dua kekuasaan yang menonjol;
yaitu yang dilakukan oleh bangsa Portugis dan yang dilakukan
oleh bangsa Belanda. Dengan demikian juga telah timbul dua
perlawanan menonjol yang dilakukan rakyat Aceh dalam
mempertahankan eksistensinya; yaitu perlawanan menentang
Conwuistador Portugis dan perlawanan terhadap kolonialis
Belanda. Kedua perlawanan ini berpusat atau dikoordinir di kota
Banda Aceh selaku ibukota kerajaan pada waktu itu. Perlawanan-
perlawanan tersebut terjadi dalam ruang lingkup temporal yang
berbeda; yaitu sejak awal abad ke XVI, perempatan pertama abad
ke XVII dan akhir abad ke XIX, atau pada saat kedatangan
bangsa Portugis di kawasan Selat Malaka, masa kejayaan kera-
jaan Aceh dan masa Belanda menyerang kerajaan Aceh.

II
Berdasarkan hasil kajiannya atas beberapa sumber lokal
(Aceh) yang diperbandingkan dengan sumber-sumber Barat, Prof.
DR. Hoesein Djajadiningrat, berkesimpulan bahwa kerajaan
Aceh Darussalam didirikan oleh Ali Mughayat Syah yang
merupakan sultan pertama dari kerajaan tersebut pada sekitar
tahun 1514.2)Adapun ibukota kerajaannya bernama Bandar Aceh
atau secara lengkap Bandar Aceh Darussalam.3* Berdirinya kera-
jaan Aceh Darussalam ini berkait erat dengan penaklukkan kota
Malaka oleh Bangsa Portugis pada tahun 1511, yang salah satu
tujuannya ialah untuk menghancurkan perdagangan saudagar-
saudagar Islam di kota itu.4) Penaklukkan ini berakibat timbulnya
keguncangan dalam jaringan perdagangan di kawasan Selat
Malaka. Para pedagang Islam yang sudah secara tradisional ber-
dagang di Malaka terpaksa menyingkir dari kota itu ke tempat-
tempat lain. Salah satu sasaran mereka adalah kota Bandar Aceh
Darussalam. Oleh para saudagar Islam, kota ini hendak dijadikan
sebagai pengganti Malaka, baik untuk tempat berdagang maupun
tempa^menyebarkan agama Islam. Hal ini dimanfaatkan oleh
Ali Mughayat Syah untuk mendirikan kerajaan Aceh Darussalam.

2). R.A. Hoesein Djajadiningrat, "Critisch Overzicht van de in Maleische Werken


vervatte Gegevens over de Geschiedenis van het Soeltanaat Atjeh", BKI65
(1911), hal. 213.
3). Lihat Teuku Iskandar, "De Hikajat Atjeh", VKI 26, (1958), hal. 28.
4). Mengenai faktor-faktor yang mendorong bangsa Portugis datang ke Indonesia
dan merebut Malaka, lihat Sartono Kartodirdjo, "Religious and economic
aspects of Portuguese-Indonesian relations", Separata de STUDIA-Revista
Quadrimestral No. 29 (Lisboa : April 1970).

137
Setelah menduduki Malaka, pihak Portugis berusaha
menguasai jaringan lalu lintas perdagangan di kawasan Selat
Malaka dan meneruskan memerangi orang-orang Islam, lanjutan
dan Perang Salib. Oleh karenanya Selat Malaka menjadi tidak
aman lagi bagi pedagang-pedagang Islam. Selain kota Bandar
Aceh para pedagang Islam ini juga ada yang mendatangi kota
pelabuhan Pedir (Pidie) dan Pasai. Kedua tempat yang tersebut
terakhir, rupa-rupanya menjadi incaran pula dari pihak Portugis.
Mereka tidak menginginkan ada tempat-tempat lain di sekitar
Selat Malaka yang berkembang menjadi saingan Malaka yang
telah didudukinya. Oleh karena itu terlebih dahulu Portugis
mengirimkan armadanya ke Pedir dan Pasai. Rupa-rupanya di
kedua tempat tersebut, karena tidak menunjukkan keagresifan-
nya armada Portugis ini mendapat sambutan baik dari penguasa
setempat, bahkan kepada mereka diberi hadiah-hadiah sebagai
tanda persahabatan dengan kedua kerajaan itu.5»Khusus di Pedir
Pihak Portugis berhasil pula memperoleh izin untuk mendirikan
sebuah factorij (kantor dagang) milik mereka-disana. Dan untuk
memperkuat segi keamanan terhadap kantor ini oleh Portugis
didirikan pula sebuah benteng disekelilingnya.6)
Bersamaan dengan kehadiran Portugis di Pedir, tentera Kera-
jaan Aceh menyerang Pedir dalam rangka membebaskan diri dari
pengaruhnya dan untuk menyatukan Pedir dengan Kerajaan
Aceh. Penguasa Pedir terpaksa minta bantuan Portugis yang
berada disana untuk melawan serangan Aceh. Permintaan ini
diterima sehingga terjadilah kontak bersenjata pertama kali an-
tara Aceh dengan Portugis. Dalam kontak ini, Aceh keluar
sebagai pemenang dan sejak itu Pedir tunduk dibawah kuasa
Aceh. Tentera Portugis yang tersisa terpaksa melarikan diri ke
Melaka. Pada tahun 1519 pihak Portugis yang dipimpin oleh
Gaspar de Costa melakukan penyerangan langsung ke Ibukota
Kerajaan Aceh. Namun penyerangan ini berhasil dipatahkan oleh
pihak Aceh. Dua tahun kemudian (1521) kembali Portugis
menyerang kota Bandar Aceh dan kali ini mengalami kegagalan,
bahkan pimpinan mereka yang bernama Joge de Brito tewas
dalam penyerangan itu. 7 '
Setelah kejadian itu Aceh menganggap Portugis agresor yang
telah merusak keharmonisan jaringan perdagangan di kawasan
Selat Malaka. Karenanya Portugis harus diusir dari wilayah itu
Sebagai langkah awal, pada tahun 1524 Aceh melakukan penge-

5). C. WesselsS.J. "Portugeesenen Spanjaarden in den Indischen Archipel tot


aan de komst van de O.I. Compagnie 1515 -1605, didalam F. W. Stapel (ed)
Oeshiedenis van Nederlandsch Indie, deel-II, (Amsterdam : 1938) hal 153
b) Benteng m, mungkin yang dinamakan Benteng Kuta Asan sekarang
/). Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh tahun 1520-1675, (Medan 1972)
hal. 37. '

138
jaran terhadap Portugis yang sedang berada di Pasai. Seperti
halnya Pedir, Pasai yang memperoleh bantuan Portugis pada
tahun itu juga disatukan menjadi bagian dari kerajaan Aceh
Darussalam.
Pada tahun 1547 Aceh melakukan penyerangan pertama kali
terhadap kedudukan Portugis di Malaka. Dalam penyerangan ini
berhasil menenggelamkan dua buah kapal Portugis yang berada
di pelabuhan Malaka dan juga berhasil mendaratkan tentaranya
di sana serta mengepung Portugis yang hanya bertahan di dalam
bentengnya. Aceh mengultimatum penguasa Portugis yang berada
di benteng yaitu Simao de Mello supaya menyerah kepada pihak
Aceh. 8 'Namun sebelum hal ini terwujud, pihak Portugis telah
mendapatkan bantuan yang datang dari Goa dan juga dari kera-
jaan Johor. Dengan demikian pasukan Aceh terpaksa menarik
diri dari Malaka.
Karena kerajaan Johor telah membantu pihak Portugis,
maka pada tahun 1564, Aceh menyerang kerajaan itu dan berhasil
mendudukinya. Sultan Johor terbunuh dalam penyerangan itu
dan sejumlah tawanan dari Johor di angkut ke ibukota kerajaan
Aceh. Untuk beberapa tahun Johor menjadi vazal kerajaan
Aceh. 9 'Tindakan ini juga dimaksudkan oleh Aceh sebagai per-
siapan untuk menyerang Portugis di Malaka, agar Johor tidak
berkesempatan membantu Portugis seperti pada penyerangan
tahun 1547. Sementara itu Portugis memperbesar kekuatannya
di Malaka dan mengatur persiapan untuk menyerang balas kota
Bandar Aceh. Don Antonio de Noronda penguasa Portugis yang
baru untuk Malaka, dalam tahun 1564 telah memperoleh infor-
masi tentang Aceh yang telah membentuk suatu persekutuan
dengan beberapa kerajaan Islam untuk menentang Portugis. 10)
Langkah berikut yang ditempuh Aceh dalam rangka
mengusir Portugis dari kawasan Selat Malaka adalah memperkuat
angkatan perang terutama armada lautnya. Hal ini dilakukan di
bawah kuasa Sultan Alaudin Riayat Syah al Kahhar (1537-1571).
Untuk tujuan ini, salah satu cara yang ditempuh adalah menjalin
hubungan dengan kerajaan Islam terkemuka pada waktu itu, yaitu
Turki. Dengan harapan kerajaan ini akan memberi bantuan
militer kepada Aceh. Pada tahun 1563 Sultan Aceh mengirim
sebuah utusan ke kerajaan Turki. Utusan tersebut membawa serta
hadiah-hadiah berharga seperti emas dan lada untuk dipersembah-
kan kepada penguasa kerajaan Turki. 1 " Setiba di Turki para

8). R.O.Winstedt, A History of Malaya, (London : 1935), hal. 78.


9). I.A. Macgregor, "A Portuguese Sea Fight Near of Singapore", JMBRAS,
Vol.XXIX, part 3, (1957, hal.6).
10). Ibid., hal. 7. Lihat juga D.G.E. Hall, A. History of South East Asia, (Lon-
don : 1960), hal. 284.
11). Secara tradisi utusan ini di Aceh dikenal dengan kisah "Lada Sicupak".

139
utusan Aceh telah meyakinkan pihak Turki mengenai keuntungan
yang akan diperoleh kerajaan itu bila orang-orang Portugis dapat
diusir dan Malaka oleh Aceh dengan bantuan Turki. 12, Misi Aceh
mi berhasil, karena pihak Turki telah bersedia mengirimkan ban-
tuan militer kepada Aceh. Bantuan ini berupa dua buah kapal
percmg dan 500 personal Turki untuk mengelola kapal-kapal itu
Ke 500 orang Turki itu terdiri dari ahli-ahli militer yang juga dapat
membuat kapal/ kapal perang dalam berbagai ukuran dan
meriam-meriam besar. Selain itu pihak Turki juga memberikan
sejumlah meriam milik mereka dan perlengkapan-perlengkapan
militer ainnya.'3' Semuanya itu tiba di kota Bandar Aceh
Darussalam pada tahun 1566/1567.14 Selain bantuan militer dari
lurki, Aceh juga menggunakan sejumlah tentara sewaan yang
terdiri dan selain orang Turki juga orang-orang Gujerat, Malabar
dan Abessinia. ' 5 '
u A ? ? * ^ h u n 1568> kera J aar > Aceh kembali menyerang
kedudukan Portugis di Malaka. Serangan ini adalah yang paling
hebat yang pernah dilakukan oleh Sultan Alaudin Riayat Syah
ai Kahhar. Dalam penyerangan ini, Aceh berkekuatan 15 000
orang Aceh, 400 orang Turki termasuk tentara sewaan dan meng-
gunakan 200 pucuk meriam besar dan kecil yang terbuat dari
P T ga dipimpin sendiri oleh Sultan Ala
ZZ.T* l ?r uu V^ "din
Riayat Syah al Kahhar. «7> Namun pada penyerangan kali inipun
Aceh belum berhasil mengenyahkan Portugis dari kota Malaka
Setelah penyerangan yang dilakukan Aceh tahun 1568 itu
Portug,s menginsafi benar bahwa membiarkan Aceh merebut
Malaka, berarti membunuh diri bagi Portugis di Timur. Oleh
karena itu diputuskan oleh pemerintahnya di Lisabon, 18
untuk
mengirim suatu armada sekuat mungkin ke Malaka >
™ , P a d a . t a n 8 g a l 1 Januari 1577 Aceh kembali menyerang
Malaka di saat Portugis sedang menghimpun kekuatannya
Menurut I A. Macgregor, kekuatan Aceh yang menggempur
Malaka kali ini ada sekitar 10.000 tentara dengan menggunakan
meriam yang cukup banyak19'. Namun penyerangan kali inipun
belum memberi hasil bagi Aceh, yaitu mengusir Portugis dari

W ç„ t ' / ?L°" Portu^se Reactions to The Revival of The Red


On AT » . and lHe RiSe °fAcheh- 154°-l«00", International Conference
On Asian Htstory, Paper No.2, (Kuala Lumpur : Department of Hisïorl
Umvers.ty of Malaya, 5th-10th August, 1968), hal 9 *'
13). Ibid.
14). Ibid.
15). R.O. Winsledt, op.cil., hal. 79.
16). R.A. Hoesein Djajadiningrat, op.cil., hal. 153
17). I.A. Macgregor, loc.cit.
18). Ibid.
19). Ibid.

140
Suatu hal yang unik terjadi di Aceh ketika memerintah Sultan
Alaudin Riayat Syah al Mukammil (1587-1604). Sikap Sultan ini
terhadap Portugis berbeda dengan Sultan-sultan Aceh lain
sebelumnya. Sultan al Mukammil telah mengadakan suatu hu-
bungan untuk berdamai dengan pihak Portugis di Malaka.20)-
Usaha Sultan ini mendapat sambutan baik pula dari Portugis,
sehingga pada waktu itu terjadi suatu situasi damai antara pihak
Aceh dengan Portugis. Pada tahun 1600 suatu delegasi Portugis
atas nama Rajanya telah datang di Kota Bandar Aceh untuk
mengadakan perundingan lebih lanjut.21».
Mengenai sebab-sebab mengapa Aceh dan Portugis mau
menjalin suatu hubungan baik, C.R.Boxer menyebutkan bahwa
perubahan sikap kedua belah pihak yang sebelumnya saling
bertentangan itu, adalah disebabkan karena kejenuhan yang terus
menerus telah melibatkan diri dalam peperangan-peperangan.22).
Portugis ingin memanfaatkan masa damai tersebut untuk
"beristirahat" dan untuk menyiapkan suatu serangan secara
besar-besaran terhadap Aceh. Tetapi dari perkembangan situasi
selanjutnya pihak Portugis benar-benar telah merubah maksud-
nya itu. Mereka rupa-rupanya tetap menginginkan suatu suasana
damai dengan kerajaan Aceh.2^.
Mulai hubungan baik antara kerajaan Aceh dengan Portugis
di Malaka dirintis ketika Sultan al Mukammil mengirim seorang
utusan ke Malaka. Utusan ini membawa serta hadiah-hadiah dari
sultan Aceh untuk diberikan kepada penguasa Malaka pada waktu
itu yang berada di bawah D. Paulo de Lima.24). Melalui tulisan
ini Aceh mengucapkan selamat kepada Portugis yang telah
berhasil menghancurkan kerajaan Johor, yang pada waktu itu
telah bermusuhan/dengan Portugis di Malaka. Utusan Aceh ini
juga meminta kepada Portugis agar seorang wanita Aceh yang
sedang ditahan oleh Portugis supaya dibebaskan. D. Paulo de
Lima mengabulkan permintaan ini dan juga bersedia untuk men-
jalin suatu hubungan damai dengan kerajaan Aceh.25>
Sejak adanya perdamaian tersebut (1587), maka pihak Aceh
tidak lagi melakukan penyerangan atas kapal-kapal Portugis yang
lewat di perairan Aceh dan Selat Malaka. Kepada orang-orang
Portugis juga diperkenankan untuk datang dan berdagang di kota
Bandar Aceh Darussalam.
Situasi damai antara Aceh dengan Portugis tidak berlangsung
lama. Pada tahun 1602 sultan Aceh mulai menaruh curiga kepada
Portugis, yaitu ketika mereka meminta kepada sultan agar
20. C. Wessel S. J., op. cit, hal. 159.
21. P.A. Tiele, "De Europeers in de Maleische Archipel" BKI36 (1877), hal.16.
22. CR. Boxer, op.cit., hal 17-18.
23. Ibid.
24 P.A. Tiele, ibid., BKI37 (1888), hal. 177.
25. Ibid.

141
diberikan suatu pulau yang terletak di depan pantai Aceh Tu-
juannya adalah untuk mendirikan sebuah benteng di tempat itu
dengan alasan untuk menjamin keselamatan perdagangan Por-
tugis di Aceh.2*,. S u l t a n A c e h t i d a k h a n y a m e n o l a k p e r m i n t a a n
itu tetapi juga merasa tersinggung karena diajukan dengan sangat
angkuh. Sejak saat itulah Sultan Aceh mulai merubah kembali
sikapnya terhadap Portugis.28» Dan mulai saat itu pula terjadi lagi
yang tidak baik antara kerajaan Aceh d e n a n i h a k
Portuir 8 P
P a d a b u l a n J u n i 16
N„ , 06 tentara Portugis di bawah pimpinan
Martin Alfonso menyerang kota Bandar Aceh Darussalam Pada
n1£? ^ Z f 8 m e m e r i n t a h d i A ceh adalah Sultan Ali Riayat Syah
(1604-1607), putera Sultan al Mukammil. Sultan ini mempunyai
seorang kemenakan laki-laki yang bernama Darma Wangsa Tun
Pangkat. Ketika Portugis menyerang kota Bandar Aceh si
kemenakan mi berada dalam tahanan yang dihukum oleh paman-
nya karena sesuatu kesalahan. Ketika mendengar adanya
penyerangan yang dilakukan Portugis.
Ia memohon kepada pamannya agar dia dibebaskan dan
diperkenankan ikut berperang melawan orang-orang Portugis
Permohonan ini dikabulkan dan selanjutnya Darma Wangsa Tun
Pangkat bersama dengan tentara Aceh lainnya melakukan
perlawanan terhadap Portugis. Tentara Aceh ini berhasil mengusir
kembali orang-orang Portugis dari wilayah kota Bandar Aceh
Darussalam Darma Wangsa Tun Pangkat yang telah berjasa
karena keikutsertaannya dalam pertempuran-pertempuran
melawan pihak Portugis itu, menjadi terkenal dan menarik perha-
tian orang-orang di kalangan kraton Aceh. 29 '
Meninggalnya Sultan Ali Riayat Syah menurut Nuruddin Ar
Ranin, pada hari Rabu 4 April 1607.30) Sebagai penggantinya
adalah kemenakannya sendiri yakni Darma Wangsa Tun Pangkat
dengan gelar Sultan Iskandar Muda. 3» Di bawah sultan ini, Aceh
tetap melakukan perlawanan dengan menyerang kedudukan Por-
tugis di Malaka. Dan juga melakukan penaklukan-penaklukan
terhadap kerajaan-kerajaan Melayu di sekitarnya. Menurut N J
Ryan, penaklukan-penaklukan ini dilakukan dengan maksud un-
tuk memudahkan penyerangan yang akan dilakukan Aceh secara
besar-besaran terhadap Malaka Portugis.«) Dengan harapan agar
26) 7. Langhout Economische Staatkunde in Aljeh, (Den Haag, 1923), hal. 12
27). P.J. Veth, Atchm en Zijne Betrekkingen tot Nederland, (Leiden, 1887), hal.
28). Teuku Iskandar, op.cit., hal. 42.
ini' AK;JA-jGerlach- A
<Ji« en De Atjinezen, (Arnhem, 1873), hal 37
r BuStanUsSalalin disusun
pur 1966i hTS' - oie" T.Iskandar, (Kuala Lum-
31). R.A. Hoesein Djajadiningrat, op.cit., hal. 175.
32). N J Ryan, Sejarah Semenanjung Tanah Melayu, (Kuala Lumpur, 1966), hal.

142
kerajaan-kerajaan Melayu itu tidak akan membantu pihak
Portugis.33>
Pada tahun 1615 Aceh akan melakukan suatu serangan
terhadap Portugis di Malaka. Namun karena sebelumnya Aceh
terlebih dahulu telah menyerang Johor dengan armada yang
disiapkan untuk menyerang Malaka, maka berita penyerangan
ini telah diketahui oleh Portugis34», sehingga Aceh membatalkan
maksudnya itu. Meskipun demikian, ketika armada Aceh ini
dalam perjalanan pulang sempat juga terlibat dalam pertempuran
dengan kapal-kapal Portugis di dekat kota Malaka.35»
Penyerangan terhadap Portugis di Malaka baru dilakukan
kembali oleh Aceh pada tahun 1629. Penyerangan ini merupakan
yang terbesar. Karena untuk ini Aceh telah menggunakan sebuah
armada yang telah lama dipersiapkan di kota Bandar Aceh
Darussalam, sehingga merupakan sebuah armada yang cukup
besar menurut ukuran waktu itu. Tidak kurang dari 250 buah
perahu layar dan 47 kapal berukuran besar dengan sekitar 20.000
personal tenaga telah digunakan oleh Aceh dalam penyerangan
tersebut. Namun dalam penyerangan kali inipun Aceh mengalami
kegagalan, sehingga menjadikan penyerangan ini yang terakhir
yang dilakukan Aceh terhadap Portugis.36»
Tahun 1873 Belanda menyerang kerajaan Aceh. Sasaran per-
tama mereka yaitu kota Bandar Aceh, karena di sinilah pusat
kedudukan kerajaan Aceh dan pusat pertahanan rakyatnya.
Dalam menghadapi penyerangan Belanda ini, rakyat Aceh telah
siap. Karena sebelumnya berbagai kegiatan dalam hubungan ini
telah dilakukan. Di antaranya meningkatkan hubungan
diplomatik dengan beberapa negeri luar dalam rangka
memperoleh bantuan moral dan senjata, dan meningkatkan per-
tahanan dengan mendirikan sejumlah kuta di kota Bandar Aceh
dan sekitarnya. Di antara kuta-kuta dapat disebutkan kuta
Meugat, kuta Pohama, kuta Mussapi, kuta Gunongan dan kuta
Raja (dalam atau istana). Selain itu sebuah mesjid lama yaitu mes-
jid Raya Baitur Rahman juga dijadikan untuk salah satu tempat
pertahanan. Untuk menghadapi serangan Belanda ini, rakyat
Aceh yang berasal dari luar Banda Aceh, baik dari sekitar Ban-
dar Aceh maupun dari kenegerian-kenegerian di luar Bandar Aceh
seperti dari Samalanga, Meureudu, Pidie dan sebagainya, ber-

33). Ibid.
34). P.A. Tiele, op.cit., hal. 306-307.
35). Ibid.
36). Uraian tentang pertempuran antara kerajaan Aceh dengan Portugis di Malaka
pada tahun 1629, dapat dilihat misalnya dalam T.Iskandar, op.cit., hal. 47-48.
R.A. Hoesein Djajadiningrat, op.cit., hal. 180-181. Nuruddin Ar Raniry,
loc.cit. P. J. Veth, op.cit., hal. 74. Mohammad Said, Atjeh Sepandjang Abad,
(Medan, 1961), hal. 169-173. Dan R.O. Winstedt, op.cit., hal. 86.

143
datangan ke kota ini untuk ikut berperang melawan Belanda.
Maka tidak mengherankan jika penyerangan yang dilakukan
Belanda pada tahun 1873 atas kerajaan Aceh khususnya kota Ban-
dar Aceh mengalami kegagalan.37» Namun dalam penyerangan
Belanda pada kesempatan lainnya (1874), mereka berhasil
mematahkan pertahanan- pertahanan penting rakyat Aceh yang
terdapat di Bandar Aceh dan sekitarnya. Dapat disebutkan
misalnya Mesjid Raya Baitur Rachman, kuta Gonungan dan kuta
Raja (dalam) dapat dikuasai oleh Belanda.
Dengan demikian Belanda telah berhasil merebut pusat per-
tahanan rakyat Aceh dalam melawan mereka, yaitu kota Bandar
Aceh Darussalam. Pusat pertahanan dalam melawan Belanda
selanjutnya berpindah ke tempat-tempat lain dalam wilayah Pro-
pinsi Daerah Istimewa Aceh sekarang. Kota Bandar Aceh untuk
seterusnya dijadikan oleh Belanda sebagai tempat kedudukan
dalam mengamankan atau menundukkan Aceh secara
keseluruhan.
Dan hasil ini berlangsung hingga tahun 1942, saat Belanda
harus angkat kaki meninggalkan daerah ini untuk selama-
lamanya.

III

Setelah pada bagian II di atas diuraikan tentang perlawanan-


perlawanan yang dilakukan Aceh terhadap Portugis dan sedikit
dengan Belanda. Berikut ini akan diberikan pula sedikit gambaran
tentang situasi kota Bandar Aceh khususnya yang berhubungan
dengan kegiatan pertahanan terutama dalam melawan Con-
quistador Portugis dan kolonial Belanda.
Di kota Bandar Aceh mengalir sebuah sungai yang bernama
Krueng Aceh (kali Aceh). Di depan muara sungai ini yang
jaraknya sekitar 3 km dari ibukota terdapat beberapa pulau yang
membentuk sebuah teluk luas yang digunakan untuk tempat
berlabuh beratus-ratus buah kapal pada saat yang bersamaan.
Kapal-kapal yang berukuran 60 - 70 ton baik kapal dagang
maupun kapal perang/ galley dapat berlayar melalui muara sungai
Aceh menuju ke ibukotanya. 38)
Pada saat kejayaannya kerajaan Aceh mempunyai suatu
angkatan perang yang kuat menurut ukuran masa itu. Kekuatan
37). Cukup banyak literatur yang membicarakan Peperangan antara kerajaan Aceh
dengan Belanda. Di antaranya dapat disebutkan karya Anthony Reid, The
Contest for North Sumatra Atjeh, the Netherlands and Britain 1858-1898,
(Kuala Lumpur, University of Malaya Press, 1969). T.Ibrahim Alfian, Perang
Dijalan Allah, (Jakarta, Sinar Harapan, 1986). E.S. Klerk, De Atjeh Oorlog
deel I-II ('s-Gravenhage : Martinus Nijhoff, 1912).
38). Arun Kumar, Das Gupta, "Acheh in Indonesian Trade and Politics : 1600
- 1641", unpublished Ph.D. Thesis, (Cornell University, 1962), hal. 108.

144
terpenting terletak pada kapal-kapal galley yang dimiliki oleh ar-
mada lautnya dan pasukan gajah yang dipunyai oleh angkatan
daratnya. Aceh pada saat itu memiliki lebih dari 500 buah kapal
layar dan 100 buah kapal galley yang berukuran besar yang ditem-
patkan selain di kota Bandar Aceh juga pada beberapa pelabuhan
besar lainnya seperti Daya dan Pedir. Kapal-kapal galley yang
dimiliki kerajaan Aceh dapat mengangkut 600 hingga 800 orang
penumpang. Dan di antara kapal-kapal itu ada yang besarnya
melebihi dan pada kapal-kapal yang dibangun di negara-negara
Eropa pada masa itu.39) Selain besarnya kapal-kapal itu juga
mempunyai suatu tempat menembak di haluan depan yang dilapisi
dengan kepingan- kepingan emas murni yang pada waktu itu
banyak terdapat di Bandar Aceh.4<» Gajah-gajah yang dimiliki
kerajaan Aceh merupakan kekuatan inti angkatan daratnya dan
sebagai "benteng kota yang sesungguhnya".41» Jumlah binatang
ini pada masa jaya kerajaan Aceh sekitar 900 ekor. Mereka telah
dilatih sedemikian rupa, sehingga tidak takut lagi kepada api
ataupun suara-suara tembakan, selain itu juga diajarkan cara-
cara "penghormatan" yang diadakan di halaman kediaman
Sultan Aceh.42»
Sultan Aceh juga memiliki tentara khusus sebagai pengawal
istana, yang langsung berada di bawah perintahnya Mereka
sebenarnya pasukan berkuda yang setiap saat mengadakan
patroli, baik di sekeliling kraton maupun di dalam kota Bandar
Aceh. Jumlah mereka sebanyak 200 orang, dengan demikian
jumlah kuda yang ditungganginya juga 200 ekor.43»
Dalam melakukan peperangan atau ekspansi Sultan Aceh
tidak membutuhkan biaya banyak. Hal ini disebabkan karena ten-
tara yang diperintahkan untuk maju ke medan pertempuran di
seberang lautan telah menyediakan sendiri makanan atau peker-
jaan bagi dirinya selama tiga bulan.44» Yang mereka terima dari
Sultan Aceh hanya senjata-senjata, tetapi bila suatu ekspedisi
melebihi jangka waktu yang ditetapkan yaitu 3 bulan, maka
barulah Sultan Aceh menyediakan perbekalan untuk tentaranya
Setelah kembali dari suatu ekspedisi, senjata-senjata yang telah
diberikan oleh Sultan harus dikembalikan ke gudang persenja-

39). T.Braddel, "On The History of Achen", JIAEA, Vol. V, (Singapore, 1851)
KA J :^'JUga DenyS Lombard
- Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar
Muda (1607-1636), (Jakarta, Balai Pustaka, 1986), hal. 113.
40). HYule, "On Northen Sumatera and Especially Achin", BKI VIII (1873),

41). Lihai Laporan Perjalanan Augustin de Beaulieu ke Aceh dalam J.Jacobs


Het lamilie en Kampongleyen op Groot Atjeh, (Leiden : E.J. Brill, 1894)
hal. 251. Lihat juga dalam Denys Lombard, op. cit hal 117
42). Ibid.
43). Ibid, hal. 119.
44). Lihat A.J.A. Gerlach op.cit., hal. 40.

145
taan di Bandar Aceh.
Menurut Augustin de Beulieu yang mengunjungi kota Ban-
dar Aceh pada tahun 1621, di kota ini terdapat 2000 pucuk
meriam yang terdiri dari 1200 pucuk meriam berkaliber sedang
dan 800 berkaliber besar, yang kesemuanya terbuat dari
perunggu.45' Suatu hal yang sangat menguntungkan pasukan atau
tentara Aceh pada waktu itu yaitu didapatkannya sedemikian
banyak belerang di Pulau Weh yang terletak beberapa km sebelah
utara pantai Aceh dan pada sebuah gunung di dekat Pedir.
Dengan adanya belerang ini memudahkan tentara Aceh membuat
bahan-bahan peledak atau mesiu- mesiu bagi meriam-meriamnya
di kota Bandar Aceh.46»
Laporan lembaga pertahanan dan persenjataan Belanda,
pada tanggal 29 Januari 1874 (ketika Belanda telah berhasil
merebut kraton Aceh) menyebutkan bahwa di kraton Aceh
diketemukan berbagai jenis meriam yang terletak begitu saja
diatas tanah.47» Lembaga Belanda tersebut membuat suatu daf-
tar mengenai hasil temuannya itu. Dari daftar tersebut kita dapat
melihat dan mengetahui bahwa dalam satu hari saja (khusus tang-
gal 29 Januari) pihak Belanda menemukan 56 pucuk meriam
dalam berbagai ukuran. Dan bukan tidak mungkin pada hari-hari
berikutnya Belanda menemukan meriam-meriam ini dalam jum-
lah yang lebih banyak lagi.
Dari uraian dan penggambaran di atas, jelas menunjukkan
kepada kita bahwa kota Banda Aceh dalam perjalanan sejarahnya
pernah sebagai pusat pertahanan dalam melawan kolonialisme
dan imperialisme.

Banda Aceh 26 Maret 1988.

45). Denys Lombard, op.cit., hal. 120.


46). A.J.A. Gerlach, loc.cit.
47). Beschrijving van den Kraton Groot Atjeh, (Batavia : Lands- Drukkerij, 1874),
hal. 14 - 16.

146
DAFTAR BACAAN

Alfiun, T.Ibrahim. Perang Di Jalan Allah, Aceh 1873-1912. Jakarta: Sinar


Harapan. 1986.
Beschrijving van den Kraton Groot-Atjeh. Batavia : Lands Drukkerij, 1874.
Boxer, CR. "A Note on Portuguese to Revival of the Red Sea Spice Trade and
The Rise of Acheh 1540-1600", International Conference on Asian History, paper
No.2, 5 - Il th. August 1968, Kuala Lumpur : Universisty of Malaya, 1968.
Das Gupta, Arun Kumar. "Acheh in Indonesian Trade and Politics 1600 -1641",
Unpublished Ph.D. Thesis, Cornell University, 1962.
Djajadiningrat, R.A. Hoesein. "Critisch Overzicht van de in Maleische Werken
Vervalte Geggevens over de Geschiedenis van het Soeltanaal Atjeh ", BK165 (1911)
hal. 135-265.
Gerlach, A.J.A. Atjin en de Atjinezen. Arnhem : D.A. Theime, 1873.
Hall, D.G.E. A History of South East Asia. London : Macmillan & Co Ltd., 1960.
Iskandar. Teuku "De Hikajat Atjeh", VKI 26, 1958.
(Penyusun) Bustanus Salatin. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka
1966.
Jacobs. Julius, Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh. Leiden E J Brill
1894.
Klerk, ES. De Atjeh Oorlog. 's-Gravenhage : Martinas Nijhoff, 1912.
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (1607- 1636).
Jakarta : Balai Pustaka, 1986.
Langhout, J. Vijftig Jaren Economische Staatkunde in Atjeh. Den Haag : W. P.
van Slockum & Zoon, 1923.
Nacgregor, L.A. "A Portugese Sea Fight Near of Singapore", JIMBRAS,
Vol.XXIX, pari 3, 1957.
Mohammad Said. Atjeh Sepandjang Abad. Medan : diterbitkan oleh pengarang
sendiri, 1961.
Reid, Anthony. The Contest for North Sumatra : Acheh The Netherlands and
Britaian 1858 - 1898. Kuala Lumpur, Singapore : Oxford University Press, 1969.
Ryan, N.J. Sejarah Semenanjung Tanah Melayu. Kuala Lumpur : Oxford Univer-
sity Press, 1966.
Sartono Kartodirdjo. "Religious and Economic Aspects of Portuguese-Indonesian
Relations", Separata de STVDIA Revista Quadrimesiral, No. 29, Lisboa April
1970.
Tiele, P.A. "De Europeers in de Malaische Archipel", BKI 29(1881) 35(1886)
36 (1887) dan 37 (1888).
Veth, P.J. Atchin en Zijne Betrekkingen tot Nederland, Leiden : Gerallh Kol ff.
1887.
Wessels, S.J. "Porlugeezen en Spanjaarden in den Indischen Archipel tot aan
de komst van O.I. Compagnie 1515-1605" di dalam F. W.. Stappel (ed.)
Geschiedenis van Nederlandsch-Indie" deel II, Amsterdam : Joost van de Vondel
1938.
Winstedi, R.O. A History of Malaya. Kuala Lumpur, Singapore: Marican & Sons
1968.
Zakaria Ahmad. Sekitar Keradjaan Atjeh Dalam Tahun 1520-1675. Medan :
Monora, 1972.

147
Bandingan Atas Makalah Drs.Rusdi Sufi
Banda Aceh Sebagai Pusat
Perlawanan Terhadap Imperialisme
Di Kawasan Selat Malaka
Oleh
DRS. ABIDIN HASYIM, MsC
REKTOR UNIVERSITAS ISKANDAR MUDA

Munculnya Kerajaan Aceh.


Aceh terletak di ujung Utara Pulau Sumatera, sebagai
pengawal pintu masuk ke Selat Malaka. Sudah sejak zaman pra-
sejarah Selat Malaka merupakan jalan penting dalam gerak
migrasi bangsa-bangsa di Asia, juga menjadi pintu masuk
kebudayaan-kebudayaan asing dari India, Timur-Tengah dan
Eropa ke Indonesia. Selat Malaka adalah jalan penghubung utama
antara dua pusat kebudayaan yaitu Cina dan India. Selat sempit
ini pulalah yang memegang peranan penting dalam perdagangan
rempah-rempah antara Indonesia dengan Eropa selama beberapa
abad yang lalu. Dari kenyataan ini dapatlah dimengerti betapa
penting kedudukan Aceh pada posisi strategis tersebut, yang
dalam perjalanan sejarahnya telah berhasil memanfaatkan kenya-
taan tersebut untuk mengembangkan diri menjadi sebuah kera-
jaan yang besar dan kuat di Sumatera.
Bila kesultanan Aceh pertama kali muncul dalam gelanggang
sejarah tidak begitu jelas diketahui (Sanusi Pane, 1952: 191).
Menurut Husin Djajadiningrat Aceh kira-kira di tahun 1500 masih
merupakan suatu wilayah yang tidak berarti. Yang dimaksud ini
mungkin wilayah yang sekarang di kenal sebagai Aceh Besar, tem-
pat di mana Bandar Aceh yang kemudian menjadi ibukota kera-
jaan Aceh, terletak (Mohammad Said, 1961:13; Van den Berg
dkk, 1954: 193). Pada waktu itu Aceh masih terpecah-pecah ke
dalam kerajaan-kerajaan kecil seperti Lamuri, Daya Pasai dan
Samudra.
Berbeda dengan Husin Djajadiningrat, J.L Moens
mengatakan bahwa walaupun secara politis pada tahun 1500
masih kurang berarti, tapi dari sudut ekonomi, disamping
Samudra/Pasai, sejak dulu, selama berabad-abad lamanya, Aceh
sudah memegang peranan penting dalam perdagangan Asia dan
Barat (Mohammad Said, 1961:14).
Menurut A.Hasjmy, kerajaan Aceh Darussalam telah
didirikan di kerajaan Indra Purba pada tahun 1205, dengan
ibukotanya Bandar Darussalam (A.Hasjmy, 1983:56).

148
Mengenai peranan Aceh dalam perdagangan internasional
ditegaskan oleh R.Moh Ali bahwa Aceh atau bandar-bandar besar
pada ujung Utara pulau Sumatera serta disepanjang pantai timur-
nya mempunyai peranan penting dalam pelayaran dan per-
dagangan internasional melalui Selat Malaka, yang telah
berlangsung sejak zaman sebelum Masehi. Bandar-bandar
tersebut penting sebagai bandar penghubung yang melayani
perbekalan bagi kapal-kapal di wilayah tersebut. Kapal-kapal
pada waktu itu tergolong kecil sehingga tidak bisa berlayar terus
menerus tanpa mengisi perbekalan tambahan. (Moh Ali 1963-
114-115).
Sebuah kerajaan Aceh yang kuat dan bersatu baru muncul
dalam gelanggang sejarah Indonesia pada abad ke 16, ketika
Sulthan Ali Mughayat Syah (1511-1530) dari kerajaan Aceh
Darussalam mempersatukan Aceh dengan cara menaklukkan
kerajaan-kerajaan Pidie, Daya, dan Pasai. Ibu kota kerajaan
masih tetap Bandar Aceh.
Kedudukan kerajaan Aceh pada permulaan abad ke 17
berhubungan erat dengan letak yang strategis dari pada
ibukotanya. Kota Bandar Aceh yang terletak di bagian paling
Utara dan pulau Sumatera merupakan tempat istirahat yang baik
bagi kapal-kapal yang datang dari arah Barat, pada jalur per-
dagangan dengan India, Timur-Tengah dan Eropah. Oleh karena
itu Aceh merupakan bandar yang ramai perdagangannya Ia
merupakan pusat perniagaan lada yang dikumpul dari hampir
seluruh Sumatera. Sultan Aceh mendapat kesempatan yang baik
untuk membuat perjanjian monopoli perdagangan lada yang
sangat menguntungkan dengan kerajaan kerajaan di pantai Timur
dan Barat pulau Sumatera, bahkan dengan kerajaan kerajaan di
Semenanjung (Van den Berg, 1954: 201- 202; Anthony Reid,
1969:2).

Anthony Reid lebih jauh menegaskan bahwa raja-raja di


Aceh dan Malaka membangun kekuasaan dari ibukota-ibukota
yang terletak di bandar-bandar perniagaan internasional yang ma-
ju dan berkembang pada masa itu. Kekuasaan ini memungkinkan
setiap kesultanan itu memaksakan kebudayaannya pada daerah
yang lebih luas (Anthony Reid, 1987:23).
Kedudukan Aceh dalam perdagangan Nusantara bertambah
penting sejak jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Portugis pada
tahun 1511. Politik bea dan kegiatan penyebaran agama Kristen
yang dijalankan oleh bangsa Portugis menimbulkan kebencian
dikalangan saudagar-saudagar Muslim terhadap Portugis. Banyak
saudagar Muslim yang meninggalkan Malaka pindah ke Aceh,
sehingga Aceh menjadi pusat agama Islam dan berkembang men-
jadi pusat perdagangan yang maju (Van den Berg dkk, 1954: 198).

149
Kedatangan Bangsa Barat.
Sejak berakhirnya Zaman Pertengahan, kira-kira menjelang
berakhirnya abad ke 15 terdapat beberapa perkembangan pen-
ting di Eropa yang menentukan gerak perjalanan sejarah bangsa
Eropa dan bangsa-bangsa di luar Eropa. Perkembangan itu ialah-
1. Penemuan percetakan telah membangkitkan minat baca di
kalangan masyarakat Eropa, sehingga informasi dan kema
juan ilmu pengetahuan segera dapat mencapai segenap lapisan
masyarakat.
2. Kemajuan perdagangan telah menimbulkan suatu kelas pe
ngusaha yang menjadi pelopor pembangunan kota-kota, pe
labuhan dan sarana perhubungan.
3. Penggunaan senjata api secara bebas.
4. Kebebasan berpikir telah mendorong perkembangan ilmu
pengetahuan dan lahirnya paham-paham baru seperti, ajaran
Gahlei yang mengajarkan bahwa bumi itu bulat.
5. Penemuan baru seperti penemuan kompas yang memudahkan
pelayaran.
6. Bangkitnya negara negara nasional yang membebaskan diri
dari dominasi gereja.
7. Runtuhnya kekuasaan Islam di Spanyol.
Perkembangan tersebut telah mendorong bangsa Eropa men-
jelajahi wilayah-wilayah di luar Eropa. Dua bangsa yang terkenal
yang mengawali penjelajahan mencari daerah baru ialah bangsa
Portugis dan Spanyol (Moh Ali, 1954: 58-59).

a. Konflik dengan Portugis.


Tibanya armada Vasco de Gama di Goa menandakan per-
mulaan ancaman bangsa Barat terhadap kerajaan-kerajaan di
wilayah nusantara. Pukulan bangsa Barat yang pertama terhadap
kerajaan di nusantara ialah penaklukan Malaka oleh bangsa Por-
tugis (Alfonso d'Albuquerque) pada tahun 1511. Sejak itu tata
perdagangan nusantara yang telah terbentuk sejak berabad yang
lalu menjadi kacau. Tata perniagaan, melalui Selat Malakapun
terganggu, yang melahirkan jalur pengganti pesisir Barat
Sumatera, usaha Portugis untuk menguasai pasar lada di sekitar
Selat Malaka, menimbulkan pasar lada baru di Aceh & Banten
(Moh Ali, 1963: 117).
Sebelum sampai di Malaka armada Portugis di bawah pim-
pinan Lopes de Sequeira singgah di Pidie dan Pasai, di mana
? 1 n e 0 r 1 e ™ e m p e r o l e h i z i n u n t u k b e r d a g a n g (zakaria Ahmad dkk,
19o2/1983:- 6).
Setelah menduduki Malaka Portugis berusaha menguasai lalu
lintas perdagangan di kawasan Selat Malaka. Lambat laun daerah-
daerah produk si lada di wilayah pantai Timur Sumatera di
paksakan memasuki orbit tata niaga Portugis di Malaka. Tekad
Portugis untuk menguasai perdagangan Selat Malaka telah
150
memaksa mereka menduduki Pasai pada tahun 1521, yang di-
jadikan pangkalan untuk menguasai pantai Timur Sumatera.
Dengan cara demikian, sebagian besar lada jatuh ke tangan Por-
tugis. (Moh.Ali, 1963: 118). Kenyataan ini sangat menggusarkan
penguasa kerajaan di Bandar Aceh. Hak monopoli perdagangan
lada oleh Aceh yang telah lama diakui oleh kerajaan di Pantai
Timur Sumatera, telah direbut oleh Portugis. Hal ini sangat
merugikan Aceh. Oleh karena itu, penguasa kerajaan di Bandar
Aceh terpaksa mengambil tindakan tegas. Pada tahun 1521 Sultan
Ali Mughayat Syah mengirim tentara untuk menguasai Pidie dan
pada tahun 1524 menguasai Pasai, sebagai hukuman atas ker-
jasama mereka dengan Portugis. Begitu pula Siak di paksakan
mengakui pertuanan kepada Aceh. Setelah Aceh berhasil
melenyapkan benteng Portugis di Sumatera Timur (Aru) setidak-
tidaknya Aceh akan dapat menguasai produksi lada di daerah
pantai Timur Sumatera sampai ke Inderagiri dan Jambi. Di sam-
ping itu Aceh juga mengancam daerah-daerah di Semenanjung
Melayu yang berpusat di Johor sambil mengancam langsung Por-
tugis di Malaka (Moh Ali, 1963: 118; Van Leur, 1960: 143). Pada
tahun 1564 Aceh menyerang Johor dengan hasil yang gemilang.
Selama beberapa tahun Johor menjadi vazal kerajaan Aceh
(Zakaria Ahmad dkk, 1981/1983: 12). Untuk mencegah masuknya
pengaruh Portugis di daerah-daerah pantai Barat Sumatera,
di kuasainya pula daerah-daerah tersebut sampai ke Pariaman
Sumatera Barat. Pada masa itu pesisir Andalas Barat sampai ke
Inderapura telah dikuasai Aceh (Sanusi Pane, 1952: 192).
Kehadiran Portugis di Malaka, dan membiarkan mereka
menjadi kuat serta merajalela di sana merupakan ancaman serius
bagi eksistensi Aceh. Pemerintah di Bandar Aceh mengerti benar
hal ini. Dalam sejarah dapat kita lihat berkali-kali Bandar Aceh
berusha menghancurkan kekuatan Portugis di Malaka, walaupun
hasilnya kurang memuaskan.
Pada masa pemerintahan Ali Mughayat Syah pukulan
terhadap Malaka dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan
menghukum kerajaan-kerajaan di Aceh dan di pesisir Timur
Sumatera (Aru) yang telah bekerja sama dengan Portugis, Penak
lukan terhadap Pidie, Daya dan Pasai sebenarnya bertolak dari
kebijaksanaan yang telah digariskan bahwa Bandar Aceh tidak
dapat membiarkan bangsa Portugis menjadi lebih kuat serta men-
jadi penguasa tunggal dalam perdagangan lada di Selat Malaka.
Karena itu setiap persekutuan antara kerajaan-kerajaan di Aceh,
Pesisir Timur dan Barat Sumatera dengan Portugis dipandang
sebagai ancaman langsung terhadap kepentingan Bandar Aceh,
karena itu harus dihancurkan. Prinsip inilah yang berlaku
terhadap Pidie, Pasai, Daya dan Aru. Dari sudut inilah pula
seharusnya kita memahami tindakan pemaksaan yang dilakukan
Bandar Aceh terhadap wilayah-wilayah lain di Pesisir Timur dan

151
Barat Sumatera. Jadi bukan suatu hasrat imperialisme yang ter-
dapat pada pihak Bandar Aceh itu sendiri
/.caffcfff 1 1 1 1 A l i M u S h a y a t Syah sejak dari Al-Kahar
(1537-1571) sampai dengan Iskandar Muda (1607-1636) tidak
henti-hentinya mengadakan pukulan terhadap Malaka. Al-Kahar
sendiri melakukan tiga kali usaha untuk menghancurkan Malaka
yaitu pada tahun 1537, 1547 dan 1551. Sedangkan Iskandar Muda
melakukan beberapa kali penyerangan terhadap Malaka dan
sekutunya Johor. Serangan besar-besaran dilakukan pada tahun
1629 yang juga membawa kehancuran total bagi Iskandar Muda
akibat terjadinya penyatuan kekuatan antara Portugis, Johor
Pahang dan Patani yang bersama-sama menggempur pasukan
Aceh yang sedang menyerang benteng Malaka. Kekalahan ini
merupakan akhir dari perlawanan Aceh terhadap Portugis di
Malaka.
Dalam usaha menghadapi Portugis di Selat Malaka, Bandar
Aceh yang melakukan kegiatan diplomasi terutama dengan kera-
jaan Turki. Penguasa Portugis di Goa mendapat kabar bahwa
Aceh sedang berusaha membentuk suatu persekutuan antara
erajaan-kerajaan Islam untuk menentang Portugis. Pada tahun
1563 Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar mengirim utusan
kekerajaan Turki dengan membawa hadiah-hadiah yang berharga
untuk dipersembahkan kepada kerajaan Turki. Utusan tersebut
dapat meyakinkan Turki tentang prospek perdagangan rempah-
rempah di Indonesia, apabila kekuatan Portugis dapat diusir dari
Malaka. Atas usaha diplomasi di Aceh mendapat bantuan yang
T^T/J*-, S*?tiba d e n g a n s e l a m a t d i B a n d a r A c e h Pada tahun
1566-1567 (Zakaria Ahmad dkk. 1982/1983- 12-13)
b. Konflik dengan Belanda.
Bukan hanya Portugis dari bangsa Barat yang ditantang oleh
J a a n di B a n d a r Aceh Konflik
KndT - J"« 3 terjadi dengan
Beberapa dekade setelah kedatangan bangsa Portugis di In-
donesia datang pula bangsa Belanda. Hubungan antara Aceh
dengan Belanda pertama kali terjadi pada tahun 1599 ketika dua
buah kapal Belanda yang di pimpin oleh Kornelis de Houtman
dan saudaranya Frederick de Houtman tiba di Bandar Aceh Pada
mulanya mereka diterima dengan baik oleh Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Mukamil (1588-1604). Tetapi oleh karena hasutan
dan pihak Portugis terjadilah hubungan yang tidak serasi dengan
pedagang-pedagang Belanda, yang akhirnya memuncak menjadi
suatu penyerangan dari pihak Aceh terhadap pedagang-pedagang
Belanda d. atas kapal mereka. Kornelis de Houtman yang men
jadi pimpinan armada Belanda, mati terbunuh bersama anak
buahnya, sedangkan saudaranya Federick de Houtman ditawan
di Bandar Aceh selama 2 tahun. .
Konflik yang lebih buruk terjadi tidak lama setelah itu.
152
Pada tahun 1600 datang pedagang Belanda lainnya dua buah
kapal dipimpin oleh Paulus Van Caerdeh. Setiba di Aceh dia dan
anak buahnya bertindak ceroboh yaitu merampok, kemudian
menenggelamkan sebuah kapal Aceh. Mereka kemudian mening-
galkan pantai Aceh. Peristiwa ini telah membangkitkan amarah
sultan di Bandar Aceh. Sayangnya peristiwa tersebut telah
menyebabkan tertimpanya nasib malang bagi rombongan
pedagang Belanda lainnya yang tiba di Bandar Aceh pada tahun
1601 di bawah pimpinan Yacob Van Nech. Mengetahui bahwa
mereka adalah pedagang-pedagang Belanda, sultan memerin-
tahkan agar mereka di tawan.
Setahun kemudian datang pedagang Belanda lainnya, dengan
beberapa buah kapal, dipimpin oleh Gerard de Roy dan Laurens
Bicker. Mereka datang sebagai utusan khusus dari pangeran
Maurits dari negeri Belanda, yang pada waktu itu sedang
berperang melepaskan diri dari penjajahan Sepanyol. Utusan
tersebut bermaksud untuk menjalin hubungan persahabatan
dengan kerajaan Aceh. Dalam pertemuan dengan utusan khusus
tersebut di bicarakan peristiwa penyerangan terhadap Cornelis
de Houtman dimana pangeran mengakui bahwa peristiwa tersebut
terjadi akibat hasutan Portugis. Laurens Bicker juga menyam-
paikan rasa penyesalan atas terjadinya peristiwa Paulus Van
Caerden dan menjanjikan penyelesaiannya, dengan cara pem-
bayaran ganti rugi. Atas janji tersebut orang Belanda yang
ditawan dibebaskan kembali.
Peristiwa tersebut telah mencatat sejarah tersendiri dalam
hubungan antara Bandar Aceh dengan negeri Belanda. Bersama
dengan kembalinya utusan tersebut, sultan mengirim dua orang
utusan untuk menghadap pangeran Maurits dan majelis wakil
rakyat negeri Belanda. Utusan ini merupakan wakil resmi dari
sebuah kerajaan di Asia, karena itu mereka di sambut dalam suatu
acara kenegaraan.
Salah seorang dari delegasi Aceh tersebut yaitu Abdul
Hamid, selaku ketua delegasi, meninggal di negeri Belanda
(Zakaria Ahmad dkk, 1982/1983: 35-37). Patut dicatat dari
perutusan Aceh .tersebut bahwa kerajaan Aceh adalah sebuah
kerajaan yang berdaulat yang pertama mengakui lahirnya negara
Belanda yang berdaulat de Jure dan de Facto, lepas dari Sepanyol.
Kenyataan inilah yang mendorong Multatuli pada tahun 1872,
mengingatkan kembali peristiwa pengakuan itu, pada saat Belan-
da sibuk bersiap-siap menyerang Aceh. Dengan sedihnya
Multatuli mengingatkan "Ketika Belanda memperjuangkan
kemerdekaannya dari Sepanyol, kerajaan Acehlah yang pertama
mengakui Belanda sebagai satu bangsa yang merdeka" (Moham-
mad Said, 1961:133)
Demikianlah konflik-konflik antara Aceh dengan Belanda
masih bersifat kesalah fahaman dan curiga atas iktikad baik

153
mereka. Walaupun kekuasaan Belanda telah bercokal dibagian
lain wilayah Indonesia sejak permulaan abad ke 17, konflik secara
politik dengan Aceh baru terjadi pada abad ke 19, ketika wilayah
wilayah pengaruh Aceh di pesisir Timur dan Barat Sumatera
mereka hasut untuk melepaskan diri dari pengaruh Aceh. Konflik
menjadi memuncak pada saat Belanda menyerang Aceh pada
tünun lo73.
Suasana tanpa konflik antara Belanda dengan Aceh selama
kurang lebih dua abad adalah karena Belanda tidak mau
mengulangi kesalahan Portugis dalam hubungan dengan Aceh
Karena itu Belanda merasa cukup dengan memantapkan kekua-
saan wilayah lam dari nusantara dengan pusatnya di Batavia
Pada tahun 1641 Belanda menyelesaikan tugas-tugas dari sultan-
sultan Aceh, yaitu merebut Malaka dari tangan Portugis. Pada
awal abad ke 19 Belanda terikat dengan treaty of London (1824)
h8 V i ^ ° n men an
y g k u t tentang pembagian wilayah ja-
jahan di Indonesia dan Semenanjung Melayu antara Inggris dan
Belanda. Salah satu pasal dari pada perjanjian itu menyatakan
bahwa Belanda dan Inggris mengakui kedaulatan Aceh di mana
kedua mereka tidak akan menyerangnya. Pasal ini dicantumkan
untuk menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap Inggris yang
telah menandatangani Traktat Pidie pada tahun 1819, antara Ing
dan ekono n mt Ceh ' ^ m e r U p a k a n kerja s a m a di bidan
8 Politik
Bera ih nya
c u | u kekuasaan Inggris ke Semenanjung Melayu
k e n S n . H d a n faty °f L 0 n d 0 n "»«"berikan kesempatan
kepada Belanda untuk menetapkan kekuasaan di seluruh wilayah
ndonesia Karena itu masih adanya kerajaan Aceh di Ujung
Betenda' U tera
' m e r u P a k a n duri dalam daging bagi
Belanda dapat menerima eksistensi Aceh sebagai sebuah
S V ? / , 1 1 8 T d e k a d a u b e r d a U l a t S e b a g a i d i n y a t a k a " d i dalam
reaty of London tetapi harus dikucilkan dari dunia luar. Setiap
langkah Aceh yang mencoba mencari hubungan dengan negara
asing selalu dicurigai oleh Belanda.
Begit u
mp , , P u |a hubungan Aceh dengan negara tetangganya juga
mendapat reaks, negatif dari Belanda. Dalam usaha mengiso-
lasikan Aceh sejak tahun 1830-an Belanda secara aktif
mengadakan gangguan dengan menganeksi wilayah-wilayah
pengaruh Aceh d. pesisir Barat dan Timur Sumatera. Keengganan
Inggris membatalkan perjanjian Pidie dengan Aceh makin
menambah keinginan Belanda mengadakan pengacauan. Terikat
mennaaklurkk? Ï ^"f" ^ ^ **»" " Belanda
T'h , k u n A c e h d e n g a n s e n J a t a . kecuali hal itu dimulai oleh
Aceh. Inilah yang mendorong Belanda memancing ketegangan
dengan Aceh. Daerah-daerah Singkil, Barus, Trumon di pesisir
Barat Sumatera/Aceh, serta daerah-daerah Teuniyang, Deli, Ser-
154
dang dan Asahan di pantai Timur menjadi korban permainan
politik Belanda (zakaria ahmad dkk, 1982/1983: 44).
Pada tahun 1855 Gubernur Jendral Belanda di Batavia
menerima sebuah laporan bahwa Sultan Aceh sangat marah
kepada pemerintah Hindia Belanda karena tindakan pengacauan-
nya. Berdasarkan itu pemerintah Belanda/Batavia mengirim
sebuah messi untuk meredakan ketegangan dengan Aceh; Hasil
dari pada messi itu ialah ditanda tangani sebuah perjanjian per-
sahabatan kembali antara Aceh dan Belanda pada tahun 1857.
Tetapi pada tahun berikutnya Belanda telah melanggar perjan-
jian tersebut dengan ditanda tangani perjanjian Siak pada tahun
1858 antara Sultan Ismail dari kerajaan Siak dengan Belanda,
yang memaksakan .Siak menyerahkan kedaulatannya kepada
Belanda. Dengan perjanjian ini sekaligus kerajaan-kerajaan kecil
yang mengakui kedaulatan Siak, seperti Asahan, Deli, dan lain-
lain, secara otomatis tunduk kepada Belanda. Semua daerah-
daerah tersebut sebenarnya adalah daerah yang berada di bawah
pengaruh Aceh. Tindakan Belanda tersebut lebih mendekatkan
Belanda kepada perang dengan Aceh.
Untuk menjawab tindakan Belanda tersebut, pada tahun
1860 Sultan Ibrahim Mansyur Syah mengirim pasukan ke daerah-
daerah tersebut, dengan tugas mengamankan daerah-daerah
Tamiyang, Langkat, Deli dan Serdang dari pengacauan Belan-
da, serta membangun benteng-benteng pertahanan di daerah-
daerah tersebut, untuk menghadapi serangan Belanda. Tugas
Missi tersebut telah berhasil mengukuhkan kedaulatan Aceh atas
daerah-daerah tersebut. Namun hal itu tidak menghalangi usaha
Belanda untuk meneruskan pengacauan, apalagi setelah
kedudukan Belanda di Tapanuli, Riau dan Sumatra Barat makin
bertambah kuat (Zakaria Ahmad, 1982/1983: 46-47). Kekuasaan
Belanda melakukan tekanan terhadap Aceh makin bertambah
setelah ditanda tangani perjanjian Sumatera pada tahun 1871 an-
tara Belanda dan Inggris. Perjanjian tersebut memberikan kelelua-
saan kepada Belanda untuk mengambil tindakan kepada Aceh.
Dengan perjanjian tersebut ketentuan untuk menghormati
kedaulatan Aceh sebagai telah ditetapkan di dalam treaty of Lon-
don, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dua tahun kemudian pada 1 April 1873 dengan resmi di
umumkan pernyataan perang terhadap Aceh, yang bertanggal 26
Maret 1873.
Expedisi pertama dibawah pimpinan Jenderal Mayor Kohier
dapat di pukul mundur oleh patriot-patriot Aceh. Tapi pada ex-
pedisi ke dua tahun 1874 Belanda berhasil merebut keraton Aceh.
Sejak itu dimulai masa perang yang cukup panjang dan
melelahkan, selama 40 tahun yang sama sekali di luar
perhitungan Belanda. Perang tersebut telah banyak memakan kor-
ban dari kedua belah pihak.

155
KESIMPULAN

Bandar Aceh sebagai ibukota kerajaan Aceh Darussalam


telah memainkan peranan yang sangat berarti dalam kompetisi
memperebutkan kekuasaan tunggal di kawasan Selat Malaka
Sikap penguasaan di Bandar Aceh yang begitu tegas terhadap
ancaman imperialis Barat, ada hubungannya dengan letak ibukota
kerajaan sebagai Bandar perdagangan internasional. Sebab jika
peranan dan .bukota sebagai pusat perdagangan lada di kawasan
Selat Malaka diganggu oleh pendatang asing, akan merupakan
ancaman terhadap eksistensi Aceh. Oleh sebab itu dari satu sultan
berganti dengan sultan yang lain, sikapnya dalam memper-
tahankan eksistensi Aceh tetap sama dan berkesinambungan
Sikap tegas tersebut dikenakan baik terhadap bangsa Por-
tugis maupun terhadap bangsa Belanda.

TANGGAPAN.
Para hadirin sekalian.
Saya ingin menanggapi tentang hari jadi kota Banda Aceh
yang menjadi topik utama daripada seminar ini, yang ternyata
terdapat berbagai pendapat tentang saat terjadinya. Menurut
hemat saya perbedaan-perbedaan yang ada tentang hari jadi kota
Banda Aceh itu adalah perbedaan-perbedaan pada titik perkem-
bangannya sebagaimana di kemukakan oleh berbagai sumber.
Saya menyarankan agar seminar ini harus berani mengambil salah
satu titik perkembangan itu misalnya seperti yang disarankan oleh
Bapak Prof. A.Hasjmy, bahwa kota Banda Aceh sebagai ibu-kota
kerajaan Aceh Darussalam, dibangun oleh Sultan Alaiddin Johan
Syah pada tanggal 1 Ramadhan 601 H, atau 5 Mei 1205 M ber-
dasarkan sumber dari buku Adat Aceh.
Mengenai makalah utama yang dibanding oleh makalah ini
dapat saya sebutkan bahwa makalah tersebut cukup baik, mampu
mengemukakan point-point yang penting sesuai dengan judul
Kedua makalah ini, yaitu makalah yang dibanding dan makalah
pembanding ini terdapat persamaan-persamaan dalam pem-
bahasannya, dan sama sekali tidak terdapat hal-hal yang berten-
tangan. Kedua makalah ini, kiranya dapat saling melengkapi.
Demikianlah hal-hal yang dapat saya sampaikan, lebih dan
kurang saya mohon maaf.

ABIDIN HASYIM. /
DAHAR BACAAN.

A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah. Jakarta: Beuna, 1983.


Mohammad Said, Aljeh Sepanjang Abad. Medan: Pengarang Sendiri, 1961.
R. Moh Ali, Perdjoangan Feodal Indonesia. Bandung-Jakarta- Amsterdam:
Ganaco N. V., 1954.
R. Moh Ali DRS. Peranan Bangsa Indonesia Dalam Sedjarah Asia Tenggara.
Djakarta: Bhara t ara, 1963.
Reid, Anthony, The Contest For Sort Sumatra Atjeh, The Netherlands And Bri-
tain 1858-1898. Kuala Lumpur Singapore: Oxford University Press, 1969.
Reid, Anthony, Perjuangan Rakyat Revolusi Dan Hancurnya Kerajaan Di
Sumatra. Jakarta: CV. Muliasari, 1987.
Sanusi Pane, Sedjarah Indonesia. Djakarta: Balai Pustaka, 1952.
Van Den Berg. H.J. Asia Dan Dunia Sedjak 1500. Djakarta: J.B Wolters, 1954.
Van Leur, J.C, Indonesia Trade And Society. Bandung: Sumur Bandung, 1960.
Zakaria Ahmad, dkk. Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme Dan Im-
perialisme Di Daerah Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumen Se-
jarah Nasional, 1982/1983.

157
Banda Aceh Sebagai Pusat
Dakwah Islamiyah

Oleh
DRS. ABDURRAHMAN KAOY
IAIN JAMIAH ARRANIRY DARUSSALAM
BANDA ACEH

Bismillah irraliniaiiiiTiihiin
A RINGKAS
' ULAMKAH PERKEMBANGAN DAKWAH

Jauh sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik In-


donesia, Islam telah berkembang dan tegak dengan kokohnya di
kepulauan Nusantara. Di Sumatra berdiri Kerajaan Islam Peu-
reulakSamudra Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam. Di pulau
Jawa Kerajaan Islam Grisik, Demak, Pajang, Banten, Kerajaan
Islam Bone dan Goa di Sulawesi. Ternate dan Tidore di Maluku
Kerajaan-kerajaan tersebut telah berdiri dengan megahnya ratusan
tahun yang lalu. hingga datangnya kaum penjajah Belanda me-
naklukkannya.
Indonesia suatu negara yang mayoritas besar penduduknya
beragama Islam, dan merupakan jumlah ummat Islam yang ter-
besar dan negeri-negeri Islam lainnya. Ajaran agama telah men-
darah daging dalam masyarakat bahkan sebahagian telah men-
jadi adat istiadat masyarakatnya.
Banyak ahli sejarah yang telah melakukan penelitian dengan
seksama dimana telah didapat bukti yang meyakinkan bahwa
agama Islam telah melintasi Sumatra bahagian Utara, Bandar
Peureulak Samudra Pasai di abad pertama Hijriyah atau akhir
abad ke VII Masehi. Hal mana dikuatkan oleh keputusan seminar
sejarah masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963 (23
sampai 26 Juli 1963). Dan ditunjang pula oleh keputusan Seminar
Islam di Minangkabau tahun 1969. Di antara tokoh-tokoh se-
jarawan Muslim yang ikut memperkuat pendapat tersebut antara
hiin Prof A.Hasjmy, Prof.Dr. HAMKA, Drs.Ibrahim Bukhary,
H.Agus Sahm, H.M.Zainuddin. Di samping itu ada juga yang
berpendapat lain. Bahwa masuknya Islam ke Indonesia (Nusan-
tara) sekitar abad ke IX dan XII Masehi. Pendapat terakhir ini
umumnya bersumber dari penulis Barat.
Sejak abad ke III Hijriah atau abad ke VIII Masehi di
Sumatra telah berdiri Kerajaan Islam Peureulak (225 H - 840 M)
dan Kerajaan Samudra Pasai tahun 601 H - 1205 Masehi Dari
dua keraiaan Islam inilah dilancarkan Dakwah Islamiyah keber-
158
bagai wilayah Nusantara dengan cara-cara damai, tanpa pepe-
rangan dan paksaan Raja-Raja yang beragama Hindu dengan
sukarela memeluk Islam.
Kerajaan kerajaan Islam telah mencapai kemajuan dan ke-
jayaannya di kepulauan Nusantara, hingga menjelang akhir abad
ke XVII dengan datangnya Kolonial Belanda, merampas Negeri-
negeri Islam dengan kekerasan. Sehingga satu demi satu Kera-
jaan Islam jatuh dibawah kekuasaan Belanda. Sampai kerajaan
Islam yang terakhir di Aceh tahun turunnya Sultan Muhammad
Daud 1912. Namun perjuangan rakyat tak pernah padam hingga
masuknya Jepang. Ummat Islam dimana-mana melakukan perang
sabil dengan hebatnya, guna membela kemerdekaan dan
agamanya. Tapi karena keunggulan senjata dan teknologi kaum
penjajah akhirnya perlawanan rakyat tersebut dapat dipatahkan,
tapi dengan pengorbanan yang cukup besar.
Maka sejak Kerajaan-Kerajaan Islam itu jatuh, maka
pengembangan agama/Dakwah mengalami kemunduran
ketingkat yang paling rendah. Hal ini karena adanya rintangan
yang bertubi-tubi dari pihak penjajah. Hampir tiga setengah abad
lamanya Ummat Islam di Nusantara tertindas dengan tiada
taranya, hingga tibanya badai kebangkitan Islam yang ditiup dan
Timur Tengah oleh Pujangga Besar Ibnu Taimyah (1263-1328)
dengan kitabnya yang terkenal : "Muhyi Asharissalaf" kemu-
dian disokong oleh Ibnu Qayyim Jauziyah (1292-1350). Semangat
kebangkitan ini menjalar ke berbagai Negeri-Negen Islam ter-
masuk Indonesia. Namun arus ini selalu dihalang-halangi, tapi
tidak berhasil.
Dalam situasi Nusantara telah dikuasai Belanda serta tekanan
demi tekanan terus dilancarkan untuk mendeskreditkan Agama
Islam. Timbullah semangat dari para Ulama dan Pemimpin Islam
untuk membawa Organisasi Islam yang kuat. Guna dapat men-
jaga dan memelihara existensi Islam dibumi Indonesia.

B. PENGERTIAN DAKWAH

Dakwah berasal dari bahasa Arab Da'a, Yad'u, Dakwatan


yang berarti seman, panggilan dan Undangan. Dakwah dalam
pengertian istilah : Mengajak manusia supaya taat kepada Allah
serta mentauhidkannya dan memberi petunjuk kepada ummat
manusia kejalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan duniawi
dan ukhrawy. Mengajak manusia ke jalan Allah dengan cara bi-
jaksana mengenai amar makruf nahi mungkar untuk menuntun
manusia kepada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Syech Ali Mahfud mengatakan Dakwah adalah mendorong
manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyeru yang makruf
dan mencegah yang mungkar untuk mencapai kebahagiaan dunia
dan akhirat.
159
Jadi ringkasnya Dakwah adalah upaya menyampaikan dinul
Islam mengajak manusia mengikuti jalan Allah dengan cara bi-
jaksana menyeru kepada kebajikan, mengajak kepada yang
makruf dan mencegah yang mungkar serta mendorong manusia
agar menyesuaikan hidupnya dengan ketentuan syari'at Allah un-
tuk beroleh kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Adapun tujuan Dakwah adalah tersiarnya Islam keseluruh
penjuru dunia serta terwujudnya insan muslim yang bertaqwa
terbentuknya masyarakat muttaqin yang aktif melakukan segala
amal kebajikan serta tercapainya masyarakat adil dan makmur
yang diridhai Allah SWT yang berbahagia dalam kehidupan dunia
dan akhirat.
Pusat Dakwah ialah sentral dimana gerakan Dakwah dipan-
carkan serta disiapkan tenaga-tenaga Muballigh, guru agama dan
penyuluh masyarakat yang disebar-Iuaskan keseluruh Nusantara.

C. Sejarah Pembangunan Kola Banda Aceh.

Menurut penulisan buku-buku sejarah, kota Banda Aceh


sebagai pusat pemukiman penduduk, telah berdiri dalam masa
yang cukup lama, jauh sebelum kota tersebut berfungsi sebagai
pusat pemerintahan. Pada masa dahulu pemusatan pemukiman
penduduk lazimnya dipilih daerah lintasan manusia yang diang-
gap mudah terjangkau oleh penduduk yang bermukim di
pedalaman maupun yang bermukim di tepi pantai. Sebagai syarat
yang utama ialah daerah tersebut terletak di tepi sungai dan
memiliki lahan pertanian sebagai sumber usaha penduduk. Pada
masa itu, sungai dipandang sebagai alat lintas yang sangat pen-
ting, sebagai penghubung pusat pemukiman dengan daerah
pedalaman, dan sekaligus sebagai sumber usaha di bidang
perikanan dan jasa transportasi.
Penetapan pusat pemukiman ini sebagai kota pusat Pemerin-
tahan, didahului oleh nukilan sejarah yang amat menarik. Pada
saat itu kerajaan Indra Purba (LAMURI) yang terletak di Aceh
Besar diperintahkan oleh seorang raja yang bijaksana bernama
Maharaja Indrasakti. Pada pertengahan abab XII kerajaan ini
mendapat serangan dari kerajaan Cantoli yang beragama Budha
dibawah pimpinan panglima perang Puteri Nian Nia Liang Khi,
yang terkenal dengan julukan Putrou Neng. Pasukan Putrou
Neng dipusatkan disuatu daerah yang sekarang disebut Linekee
berasal dari Liang Khi.
Pada saat peperangan sedang berkecamuk dengan hebatnya
tibalah satu rombongan besar dari Peureulak dibawah pimpinan
Syiah Hudan (Syekh Abdullah Kan'an) yang kesemuanya telah
menganut Agama Islam. Dalam rombongan tersebut terdapat se-
orang pemuda yang gagah perkasa bernama Meurah Johan. Rom-
bongan ini menawarkan bantuan kepada Maharaja Indra Sakti

160
untuk bersama-sama berjuang mengalahkan bala tentara Putrou
Neng yang sangat kuat itu. Tawaran ini diterima dengan sangat
senang oleh Maharaja Indra Sakti. Kemudian dengan semangat
jihat, ummat Islam berjuang menghadapi Tentara Budha yang
berakhir dengan hancurnya bala tentara Putrou Neng tersebut.
Atas kemenangan yang gilang gemilang ini pahlawan Meurah
Johan diterima sebagai menantu Maharaja Indra Sakti, dan
sekaligus Maharaja menyatakan bahwa ia beserta seluruh rakyat-
nya memeluk Agama Islam.
25 Tahun kemudian Maharaja Indra Sakti mangkat. Pemim-
pin kerajaan dipegang oleh menantunya Meurah Johan yang
kemudian bergelar Sultan Alaidin Johan Syah. Setelah ber-
musyawarah dengan segenap pembesar kerajaan. Sultan Alaid-
din Johan Syah memproklamasikan perubahan nama kerajaan
Indra menjadi Kerajaan Islam Darussalam bertepatan dengan
tangal 1 Ramadhan 601 H (665-708 H - 1267 - 1309 M) di Kota
Bandar Darussalam ini dibangun Keraton Darut Dunya dan Mes-
jid Jamik Baiturrachman.
Pada masa Sultan Husein Syah (870 - 885 H - 1465 - 1480
M) beberapa kerajaan Islam yang terdapat di Aceh, yaitu keraja-
an Darussalam, kerajaan Pidie, dan kerajaan Daya digabungkan
dalam Kerajaan Aceh Darussalam, dan sekaligus merubah nama
Ibukota kerajaan Banda Aceh terus dipergunakan oleh Pemerin-
tah dan rakyat Aceh sampai terjadinya agresi kolonel Belanda
ke Aceh pada tanggal tahun 1873. Kemudian setelah jendral
Van Sweten merebut Keraton Darud Dunya pada tanggal 9 Mei
1874, nama Banda Aceh dirubah menjadi Kutaraja.
89 Tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 9 Mei 1963
dengan surat keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan
Otonomi Daerah No. DES.52/1/43-43, nama Kutaradja dihapus
dan diganti kembali dengan Banda Aceh.
Dalam masa Pemerintahan Aceh yang silih berganti itu Kota
Banda Aceh telah berkembang sebagai Kota pusat perkembangan
politik, perdagangan, ilmu dan pusat perkembangan dakwah.

D. Masa Kegemilangan Dakwah Islamiyah di Banda Aceh.

Pada masa jayanya Kota Banda Aceh disempurnakan nama-


nya menjadi Banda Aceh Darussalam, Ibu kota Negara Kerajaan
Aceh Darussalam yang berkembang terus menjadi Kota bertaraf
internasional dan menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahu-
an, agama, dan kebudayaan.
Dalam abad ke XVI dan XVII Banda Aceh menjadi pusat
percaturan politik, ekonomi tidak saja Nusantara bahkan di ran-
tau Asia Tenggara. Garis hubungan Banda Aceh Darussalam
waktu itu mencakup Cina, Korea, Amerika, Eropa, Timur
Tengah, India, Turki dan Afrika.

161
Banda Aceh Darussalam merupakan Ibukota Kerajaan Aceh
Darussalam salah satu dari lima kerajaan-kerajaan Islam yang
terikat dengan perjanjian kerja sama ekonomi, politik, militer dan
kebudayaan.
Lima besar kerajaan Islam termaksud adalah:
1. Kerajaan Turki Usmaniyah yang berpusat di Istambul.
2. Kerajaan Islam Marokko di Afrika Utara.
3. Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah.
4. Kerajaan Islam Akra di India, dan
5. Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.
Dari Kerajaan Islam inilah terpencarnya dakwah Islamiyah
keseluruh penjuru dunia. Pada masa jayanya Banda Aceh Darus-
salam merupakan pusat aktifitas dakwah dan mencetak kader-
kader ulama, muballiq dan juru dakwah terkenal. Dalam kota
terdapat berbagai lembaga negara yang bertugas mengayomi
bidang pendidikan, ilmu pengetahuan yang antaranya :
1. Balai Setia Hukama, sebagai tempat berkumpulnya para ilmu-
an Hukama (ahli pikir) dan cerdik pandai untuk membahas
dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2. Balai Setia Ulama, yang dapat disamakan sekarang sebagai
Jawatan Pendidikan dan Pengajaran.
3. Balai Jamaah Himpunan Ulama, yang dapat
disamakandengan Study Club tempat para ulama dan sarjana
bertukar pikiran dan membahas masalah pendidikan dan il-
mu pendidikan.
Upaya pembinaan kader dan penyebaran ilmu pengetahuan
telah merata ke seluruh wilayah negara Aceh Darussalam, baik
di kota bahkan kepelosok desa. Pendidikan bertingkat dan ber-
jenjang dari yang rendah sampai ketingkat tinggi disponsori oleh
ulama dan umara.
Dalam upaya pembinaan kader dakwah mempersiapkan
calon ulama dan umara dibuka pendidikan yang bertingkat-
tingkat merata di seluruh negeri di Banda Aceh Darussalam
bahkan sampai ke desa- desa terpencil. Diantara pendidikan ter-
maksud:
1. Meunasah (Madrasah) Meunasah dibangun disetiap kampung
dan berfungsi sebagai Sekolah Dasar dimana diadakan menulis
membaca huruf Arab, ilmu agama, Fiqh, Bahasa Jawi, Se-
jarah Islam dan cara bercerita. Disamping sebagai sekolah
Meunasah juga sebagai tempat musyawarah dan pusat kegiatan
masyarakatnya di Desa dan sebagai Losmen gratis penginapan
untu para remaja lelaki dewasa dan tetamu pria.
2. Rangkang, rangkang merupakan pendidikan tingkat lanjutan
dari Meunasah dimana diadakan di setiap mukim, tenaga
pengajar tetapnya disebut Tengku Leube. Pendidikan ini dapat
disamakan tingkat SMTP sekarang.
3. Dayah (Zawyah) ditiap wilayah Uleebalang dibangun Dayah

162
yang pada umumnya berpusat di Mesjid. Pendidikan Dayah
dapat disamakan dengan pendidikan tingkat lanjutan atas atau
SMTA sekarang.
4. Dayah Tgk. Syik, pendidikan ini dapat disamakan dengan pen-
didikan tingkat tinggi dimana diajarkan berbagai pengetahuan
agama Islam secara luas dan dalam.
Keempat pusat pendidikan ini merupakan dapur yang telah
mencetak kader ulama, pemimpin, muballigh, imam dan khatib
serta mujahid-mujahid dakwah yang berkualitas tinggi yang mam-
pu menyemarakkan syiar Islam keseluruh penjuru negeri di ran-
tau Asia Tenggara, para alumni dari Deyah Tengku Syik banyak
yang menjadi pemimpin, ulama dan fuqaha kenamaan yang
namanya harum sepanjang sejarah berkat usaha dan karya-karya
mereka.
Dan dipusat kota Banda Aceh Darussalam terdapat tiga buah
mesjid yang indah dan padat dengan berbagai kegiatan-kegiatan
ibadah, dakwah dan pengabdian untuk kepentingan kemanusiaan.
Dari ketiga mesjid ini terpancar sinar syariat peradaban ummat
manusia, pengaruh mesjid sangat terasa dalam segala segi ke-
hidupan masyarakat Aceh, diantara mesjid yang paling
berpengaruh itu adalah :
1. Mesjid Baiturrahim, mesjid ini berfungsi sebagai pusat
kegiatan ibadah dan kegiatan ilmu dalam Keraton Daruddunia
terutama dalam bidang ilmu politik, hukum dan Tata negara.
2. Mesjid Baitul Musyahadah, mesjid ini merupakan pusat
kegiatan ilmu dan kebudayaan dalam kota Banda Aceh
Darussalam, disamping fungsi dasarnya sebagai pusat ibadah
dan dakwah Islamiah.
3. Mesjid Jamik Baiturrachman, mesjid Jamik ini disamping
sebagai pusat ibadah juga merupakan Lembaga Pendidikan
Tinggi (Al Jamiah) yang termaju di Asia Tenggara, waktu itu
mesjid yang diperlengkapi dengan berbagai sarana pendidikan
tinggi (Takhasus). Di mesjid Jamik ini berhimpun para ulama
besar, para ilmuan dan sarjana terkemuka bukan hanya yang
berasal dari daerah Aceh, tapi juga dari Turki, Aceh, Mesir,
Persia dan India.
Dipusat Kota Banda Aceh Darussalam, didirikan mesjid
Jamik yang menjadi Pusat Aktifitas Dakwah Islam dan pen-
didikan kader Muballigh dan Ulama yang disana terdapat sekitar
tujuh belas buah Daar (Fakultas sekarang) yaitu; Darut Tafsir
Wal Hadis (Fakultas Ilmu Tafsir dan Hadis) Darut Thibi (Fakultas
Kedokteran) Darul Kimia (Fakultas Ilmu Kimia). Darut Tarich
(Fakultas Ilmu Sejarah), Darul Hisap (Fakultas Ilmu Pasti). Darut
Syasah (Fakultas Ilmu Politik), Darul Akli (Fakultas Ilmu
Logika), Darus Zira'ah (Fakultas Ilmu Filsafat), Darul Kalam
(Fakultas Ilmu Kalam/Tauhid) Darul Wizarah (Fakultas Ilmu

163
Pemerintahan). Darul Khasanah Baitul Mal (Fakultas Ilmu
Perbendaharaan Negara), Darul Ardhi (Fakultas Ilmu Pertam-
bangan), Darul Nahwu, Darul Mazahit (Fakultas Ilmu Per-
bandingan Mazhab) dan Darul Harb (Fakultas Ilmu Peperang-
an). Jamik Baiturrachman merupakan Universitas yang besar dan
masyhur masa itu. Dari silsilah dilahirkan Ulama fukhaha dan
mujahit-mujahit Islam yang terkemuka yang disebarkan keseluruh
wilayah Nusantara.
Di mesjid ini dipelajari tidak kurang dari 15 cabang ilmu
pengetahuan yang menyebabkan Kota Banda Aceh Darussalam
terkenal di kawasan Asia Tenggara. Pada masa jayanya kerajaan
Aceh Darussalam terkenal banyak para mujahid, muballiq dan
ulama besar yang namanya cukup harum dalam sejarah Kebu-
dayaan Islam seperti : Syeh Hamzah Fansuri, Syeh Syamsuddin
Sumatrani, Syeh Nuruddin Arraniry, Syeh Abdurrauf Assingkili
(Tengku Syiah Kuala), Syeh Burhanuddin, Tengku Syik Di Tiro,
Tengku Syik Pante Kulu dan sejumlah Ulama besar lainnya, yang
tak mungkin diungkap dalam paper yang singkat ini. Padahal
mereka telah memiliki jasa yang besar dalam pengembangan
dakwah Islamiyah, pembangunan ummat dan pemeliharaan
syariat.
Dalam membangun ummat para pemimpin dan ulama beker-
ja sama bahkan dengan hubungan yang sangat akrab sehingga
tersohorlah pepatah : "Adat Bak Pou Teumerehom, hukum bak
syiah Ulama, Qanun bak putrow Phang, Reusam bak
Laksemana". Hukum dengan adat lagei zat dengan sifat. Pada
masa itu dalam diri seorang umara terhimpun kekuatan jasmani
dan rohani bahkan yang lebih mengagumkan lagi terhimpun pada
diri seorang pemimpin, Sultan terhimpun ilmu ulama, sebaliknya
pada diri seorang ulama juga terdapat kemampuan duniawi.
Karenanya tidak jarang seorang ulama menjadi Jenderal atau
Menteri yang menjadi imam atau khatib di mesjid. Kader-kader
yang seperti itulah yang dipenghujung abad ke XVIII sudah mulai
langka. Karena itu mulai rengganglah dua kekuatan ummat yang
sangat potensial, yang dapat membawa kelumpuhan suatu bangsa.
Gerakan dakwah mulai lemah yang akhirnya disapu oleh Im-
perialisme Eropa yang membawa kelumpuhan untuk masa yang
panjang.

E. Masa suramnya Dakwah di Bandar Aceh Darussalam

Datangnya badai Imperialisme Eropah yang melanda negeri-


negeri Islam semula dengan tujuan mereka untuk berdagang men-
cari rempah-rempah dan ingin menguasai sumber-sumber
ekonomi (monopoli perdagangan) mencari keuntungan materil
yang besar dengan menguasai pusat-pusat perdagangan. Tetapi
setelah adat mereka yang pertama tercapai tumbuh pula keinginan

164
untuk merebut kekuasaan sosial politik guna dapat secara leluasa
mengurus keuntungan dan kekayaan yang tersimpan di negeri-
negeri Timur. Dalam masa setengah abad akhir abad ke XVII
sampai pertengahan abad ke XVIII hampir seluruh kerajaan Islam
dapat dikuasai. Dengan cara yang licik, semula mereka minta izin
untuk dapat menetap di berbagai pesisir negeri Islam yang secara
diam-diam mereka membangun benteng yang kuat, melalui bipak-
bipak yang mereka bangun serangan demi serangan dilancarkan
untuk menaklukkan kerajaan Islam di Nusantara satu demi satu.
Yang pada giliran akhir semua kekuatan diarahkan untuk menun-
dukkan kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Banda Aceh.
Pada tahun 1873 ultimatum Gubernur Hindia Belanda ditu-
jukan kepada Sultan Aceh agar menyerah kepada Pemerintah
Hindia Belanda atau perang. Angkatan perang Belanda yang kuat
disertai perlengkapan perang yang besar dan peralatan modern
menyerang Kota Banda Aceh dengan hujan meriam dari arah
lautan dimana setiap jengkal tanahnya dipertahan oleh rakyat
Aceh yang terkenal gagah berani. Sehingga terjadilah korban yang
dikedua belah pihak. Jenderal Kühler pemimpin agresi Belanda
pertama yang sangat mereka andalkan mati konyol diujung peluru
Mujahid Aceh. Keteguhan semangat juang rakyat Aceh memaksa
angkatan perang Belanda yang kuat dan besar mengundurkan diri
kelaut lepas menunggu bala bantuan dari Batavia guna melakukan
agresi yang ke II. Dalam agresi inilah terjadi pertempuran yang
dahsyat sehingga Banda Aceh menjadi lautan api ketiga mesjid
indah dan agung musnah terbakar. Pusat-pusat pendidikan yang
terkenal tinggal puing-puingnya. Para ulama pemimpin dayah ber-
sama santri berjuang dengan gigih mengorban harta dan jiwanya
di jalan Allah yang terkenal dengan perang Sabil.
Akibat perang yang berlarut-larut dimana kaum ulama dan
cendikiawan terlibat secara aktif didalamnya membawa dampak
negatif bagi pembinaan kader umat. Karena ketiadaan waktu un-
tuk belajar dan mengajar kecuali ilmu perang, menyebabkan
denyut nadinya dakwah di kota Banda Aceh Darussalam men-
jadi lemah. Beberapa generasi yang tumbuh dimasà perang
sebahagian besar kosong dari ilmu pengetahuan kecuali kekuatan
tekad dan semangat perang yang tinggi yang memang ditanamkan
sejak anak dalam ayunan dan mulai menginjak bumi disambut
dengan letusan meriam/bambu dan anggar pedang dari ahli
pemegang pedang. Dayah-dayah yang masih ada bagaikan
kerakap diatas batu. menggap-menggap hidupnya, karena tiada
ulama yang disegani, disamping kurikulumnya yang telah dikebiri
pengawasan yang sangat ketat dari pihak kolonial dan kaki tangan
mereka.
Demikianlah kondisi dakwah yang amat memilukan hati di
Kota Banda Aceh ini hingga timbulnya kebangkitan kembali
kesadaran umat diseluruh dunia bangkit serentak merebut ke-

165
merdekaan dan meraih kembali kebanggaan dan kehormatan yang
selama ini telah dirampas oleh kaum imperialis barat yang
serakah. Badai kebangkitan kembali dunia Islam menggema
keseluruh pelosok dunia mengagetkan kaum imperialis dan antek-
anteknya yang menyebabkan mereka senang atau terpaksa harus
mengembalikan kedaulatan politik dan kekuasaan.
Namun dapat dikatakan bahwa hampir semua organisasi
yang ada kurang mempersiapkan kader muballig secara khusus
dan intensif bahkan hanya bersifat sambilan dan insidentil saja
menjelang peringatan Hari-hari Besar Islam, Bulan Ramadhan
atau Ulang tahunnya.

3. Majelis Ulama Indonesia Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Satu-satunya organisasi semi pemerintah yang telah menun-


jukkan karyanya yang besar dan telah berhasil menghidupkan
kembali semangat dan kesadaran masyarakat Islam Aceh untuk
bangkit serentak mengangkat martabatnya baik di Nusantara
maupun dibelahan Asia Tenggara. Gebrakan Profesor A Hasymy.
Ketua Umum Majelis Ulama saat ini telah berhasil melaksanakan
berbagai Seminar baik yang bertaraf Nasional dan Internasional
yang mampu membuka mata rakyat dan rakyat Aceh untuk
melihat masa depan dengan tidak lengah mempersiapkannya masa
kini. Banyak konsep-konsep dan putusan yang bernilai telah dapat
dilahirkan dan yang diharapkan adalah realisasi dari semua
konsep-konsep itu dimana keberhasilan Orde Baru yang dimotori
oleh generasi muda idola angkatan Darussalam.

4. KOPELMA DARUSSALAM.

Dipelopori oleh Gubernur Aceh A.Hasymy (sekarang Ketua


Umum Majelis Ulama Indonesia Propinsi Daerah Istimewa Aceh)
maka pada tanggal 3 September 1959 diresmikanlah berdirinya
Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam oleh Presiden Sukarno
sebagai perwujudan cita-cita luhur rakyat Aceh yang meng-
inginkan terwujudnya pusat pendidikan tinggi yang mampu
melahirkan kader-kader mujahid bangsa, para ilmuan dan ulama
sebagai memvariasi keharuman Universitas Jamik Baiturrachman
masa silam itu. Dengan berkat kerja sama segenap lapisan ma-
syarakat, mulai dari tokoh-tokoh Pemerintahan, Alim Ulama dan
pemuka-pemuka masyarakat Aceh bekerjasama bahu mem-
bangun Kopelma Darussalam sehingga dalam masa relatif singkat
telah menjelma sebagai sebuah kota ilmu-ilmu keagamaan.
. ,. . _ Universitas Syiah Kuala telah mampu
melahirkan ribuan sarjana dalam berbagai jenis keahlian dan
bidang pengetahuan dengan delapan Fakultasnya. Demikian juga
Institut Agama Islam Negeri dengan enam buah Fakultasnya telah
166
dapat melahirkan sekitar seribu orang Sarjana Ahli Agama, mulai
dari Sarjana bidang Hukum Islam, Pendidikan, Usuluddin,
Dakwah dan Adab sebagai kader-kader kebudayaan dimasa
datang. Disamping itu Deyah Tinggi Teungku Syik Pante Kulu
juga telah banyak melahirkan calon Ulama yang berkualitas.
Pendeknya dalam masa yang sangat singkat sekitar 29 tahun
Darussalam dahulunya merupakan daerah yang sunyi sepi, telah
berobah menjadi Kota Ilmu Pengetahuan yang dihuni oleh
puluhan ribu mahasiswa, karyawan dan sarjana. Telah banyak
tokoh-tokoh angkatan Darussalam yang telah memegang peranan
penting dalam pemerintahan dan masyarakat yang telah dapat
meraih kembali keharuman daerah Serambi Mekkah tercinta ini,
serta dapat mendarma-baktikan tenaga dan pikiran para sar-
jananya untuk mensukseskan pembangunan bangsa Agama dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahkan untuk kepentingan
ummat manusia seluruhnya.

5. Proyek Dakwah masa datang di Banda Aceh.

Memperhatikan kondisi ummat manusia di berbagai dunia


baik di Barat (Kapitalis) maupun di Timur sebagiannya (Komunis)
dalam keadaan resah dan gelisah karena semua teori yang dianut
dan dibanggakan mereka belum mampu membuat dunia damai
bebas dari ketakutan, kesengsaraan dan kelaparan. Bahkan
dimana-mana terjadi perkosaan terhadap hak-hak asasi manusia.
Sekalipun kedua negara Raksasa Amerika dan Uni Sovyet meng-
gambar-gambarkan perannya dalam penciptaan perdamaian
dunia.

F. Masa Kebangkitan kembali Dakwah Islamiyah.

Peperangan yang panjang melawan Belanda telah menguras


segala tenaga dan kemampuan para Ulama dan pemimpin Aceh
yang menyebabkan terjadi kemunduran bidang pendidikan,
karena hampir seluruh Ulama dan Pemimpin Aceh ikut bergerilya
ke gunung-gunung dan daerah-daerah terpencil menyebabkan
banyak deyah mesjid, meunasah dan rangkang-rangkang yang
dahulunya merupakan pusat pendidikan kader Islam, menjadi
terbengkalai dan tiada pengurus dan pengelolanya yang cakap dan
trampil, salih lagi alim. Hal ini telah membawa dampak negatif
bagi pembinaan moral masyarakat dimana kebodohan telah
menjadi-jadi. Kenyataan pahit ini telah menimbulkan kesadaran
dikalangan tokoh-tokoh Aceh untuk menyelamatkan bangsanya
dari kehancuran serta memerangi kebodohan. Maka disusunlah
sebuah taktik perjuangan rahasia dikalangan pemimpin dan ulama
Aceh menempuh kebijaksanaan baru dalam berperang melawan
kolonial Belanda. Ulama-ulama Tiro yang terkenal gagah perkasa,

167
dihormati dan disegani oleh kawan lawan diserahkan melanjutkan
perang gerilya. Sedangkan sebahagian Ulama-ulama yang lain
turun kedalam masyarakat untuk menghidupkan kembali Deyah-
deyah. Meningkatkan Dakwah, menyemarakkan kehidupan mes-
jid, meunasah dan langgar dengan pengajian agama, bimbingan
tuntunan.
Untuk melaksanakan program ini tiga orang tokoh Pemim-
pin Masyarakat Aceh yang sangat berpengaruh pada tanggal 18
Rajab 1327, Teuku Mahmud, Teuku Panglima Polem dan Teuku
Raja Keumala membuat dan menanda-tangani sebuah surat ber-
sama dan mengirimkannya kepada para pejuang, tokoh-tokoh
Ulama di Gunung untuk membicarakan taktik baru guna men-
capai tujuan perjuangan. Surat tersebut lengkapnya sebagai
berikut:
. - . »«-.. o . . . — . . . .

-t.t. _ i t _ .

y :,W-J> \ ifoji Î^J^J ifs. rfij^tr-ifi >U

168
G. Organisasi dan Sistim Pengelolaan Dakwah.

Dakwah merupakan pekerjaan besar yang multi complek


yang meliputi segenap aspek hidup dan kehidupan manusia. Tidak
akan mungkin dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya lem-
baga khusus yang bertugas mengelola jalannya dakwah secara ter-
padu dan terkoordinir. Karena itu perlu adanya satu organisasi
dakwah yang kuat yang diterima dan didukung oleh semua
golongan masyarakat Islam. Pemerintah dan ABRI yang mam-
pu melaksanakan dakwah secara intensif konsepsional dan beren-
cana, didukung oleh managemen yang kuat, dana dan sarana yang
memadai.
Secara jujur kita akui bahwa selama ini di Kotamadya Ban-
da Aceh belum ada suatu organisasi dakwah yang profesional
yang setiap waktu menjadi pelayan dakwah dan bertugas tetap
menuntun dan membimbing umat menuju ridha Allah. Disam-
ping itu ulama penuntun, muballigh, imam dan khatib teladan
yang berkualitas kian terasa langka. Adapun organisasi yang
menaruh perhatian dihidang int belum mampu menunjukkan hasil
nyata yang dapat memenuhi harapan umat. Namun kita sangat
menghargai usaha-usaha mereka walau dalam kondisi serba
kekurangan dan kesederhanaan seperti kata pepatah: nibak putuh
get genteng, nibak buta get juleng.
Diantara lembaga dan Organisasi yang telah dapat menun-
jukkan karya dakwahnya walaupun kecil antara lain:
1. Lembaga Dakwah Dewan Mahasiswa IAIN Jamiah Arraniry
dalam upaya pembinaan kader dakwah telah melakukan
kegiatan :

a. Membuka Kursus Kader Dakwah Mahasiswa tahun 1965-


1969 dengan melahirkan lebih kurang 400 orang kader dak-
wah. Kemudian melanjutkan lagi pada tahun 1972 dengan
membuka kursus kader dakwah Tingkat SMTA se Kota-
madya Daerah Tingkat II Banda Aceh.
b. Kursus kader dakwah siswa-siswi teladan dibuka oleh Lem-
baga Dakwah pada tahun 1972 yang kemudian melahirkan
Ikatan Siswa Kader Dakwah (ISKADA) sebuah organisasi
profesi yang bergerak dalam bidang pembinaan kader dak-
wah dikalangan generasi muda. Sejak berdirinya sampai
saat ini Iskada telah mendidik tidak kurang dari 2000 kader
dakwah dikalangan generasi muda yang berasal dari ber-
bagai sekolah SMTA yang ada di Banda Aceh dan sekitar-
nya. Kader-kader dari Iskada ini dewasa ini telah bertebar
hampir diseluruh tanah air, Malaysia, Singapura, Australia
dan Mesir.

169
2. Organisasi Islam lainnya.

Diantara organisasi Islam lainnya yang agak menonjol dalam


pembinaan kader dakwah dan kepemimpinan dikalangan generasi
muda adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar
Islam Indonesia yang telah banyak membina dan mendidik kader
dengan mengadakan berbagai training, Seminar dan latihan yang
telah dapat membangkitkan kegiatan generasi muda dalam
melaksanakan ibadah dan mempelajari ilmu agama. Dalam
bidang Pendidikan Organisasi Muhammadyah lebih menampak-
kan karya nyatanya dimana kader-kader binaan organisasi ini
nampak lebih disiplin dalam melaksanakan ibadah dan suka
meno ong sesamanya. Dilain pihak organisasi Insaffuddin yang
mengkoordinir Deyah-deyah telah berhasil membangun sebuah
komplek pendidikan di Kotamadya Banda Aceh dengan berkat
kesungguhan dan keikhlasan para anggota-anggota dan sim-
patisannya. Organisasi ini juga tidak luput mengadakan training-
training guna mendidik kader muda yang berbakat bidang dakwah
dan pendidikan. Al Misbahk, Majelis Dakwah, Himmah dan Al
Washhyah juga telah melakukan berbagai usahanya.
Namun kenyataan yang terlihat adalah sebaliknya dimana
kedua Negara tersebut saling berlomba mempersiapkan kancah-
kancah neraka, senjata-senjata mutakhir yang bernilai milyaran
dolar yang mengancam keselamatan dunia dan makhluk hidup
diatasnya. Syukur pada masa-masa akhir ini Presiden Amerika
Reagen dan Presiden Uni Sovyet Gorbacev telah menyadari
bahaya yang mengancam dunia akibat oleh ketamakan dan sifat
agresif negara- negara kuat dan kaya yang berlomba-lomba mem-
buat senjata yang mematikan dan menghancurkan dunia dan
semua isinya. Kedua pimpinan telah mencoba meyakinkan dunia
akan itikad baiknya dan masing-masing mengandalkan keung-
gulan teorinya, baik kapitalis maupun teori komunis. Namun
kredibilitas mereka sudah mulai pudar diberbagai negara.
Suara hati nurani pimpinan dan para ilmuan yang jujur mengenai
kelemahan kedua teori yang telah dijajakan mereka ratusan
lamanya, namun belum satu pun yang telah menjadi kenyataan
karena tidak mampu menjawab tantangan semua serta
memecahkan problema umat manusia dan keadilan. Teori
Kapitalis dan komunis belum mampu membebaskan dunia dan
manusia dari kegelisahan, ketakutan dan kelaparan. Bahkan yang
lebih tragis lagi menghantui dunia dengan kecemasan, ketakutan
dan perbudakan. Kedhaliman dan kemelaratan merajalela, ke-
miskinan dan pelanggaran hak-hak azasi manusia sudah begitu
membudaya, pada hal dilain pihak terdapat kelompok elite yang
boros dan berfoya-foya, diatas penderitaan dan keresahan orang
lain. Jeritan kaum dhu'afa dan fugara tidak terdengar mereka
karena asik berpesta-pora dengan kemewahannya. Dari berbagai
170
fakta menunjukkan bahwa teori kapitalis dan komunis telah dekat
masa ajalnya. Kita yakin sungguh teori Qurani dan Pancasila yang
akan tampil menggantikannya. Karena dunia ini tidak sedikit para
ilmuan yang sedang mencari teori-teori baru .yang lebih sederhana,
praktis, dan mudah diterapkan, namun mampu memberi tun-
tunan yang pasti bagi kebahagiaan lahir dan bathin.
Dari berbagai kenyataan yang telah diungkapkan terbuka
kesempatan yang lebar bagi perluasan dakwah ditahun-tahun
mendatang asalkan para pemimpin dan ulama, mubaligh dan sar-
jana muslim arief membaca tanda-tanda zaman serta bijaksana
dalam mempergunakan peluang emas yang kini berada ditangan
mereka. Sekalipun hajangan dan rintangan tiada luput selama-
lamanya.
Untuk menggolkan tujuan termaksud perlu ditempuh cara-
cara antara lain:
1. Pendekatan dakwah binhal dimana para ulama dan ilmuan
muslim mampu menggali tuntunan hidup dari Al Quran dan
Hadis dan memformulasikan dalam bentuk konsepsi yang
praktis, realistis serta diperagakan dengan amal dan perbuatan-
nya. Sebagaimana yang dijalankan oleh Rasul yang Mulia.
2. Menggali prinsip-prinsip dasar ajaran Islam yang universal
yang mampu memberi isyarat dan arahan guna menyelamat-
kan umat manusia dari kehancuran lahir bathin.
3. Berupaya memperbaiki prilaku dan hal ihwal kaum muslimin
sehingga benar-benar sesuai dengan tuntunan Al Quran dan
Sunnah dengan penuh bijaksana, kekeluargaan dan kesetia-
kawanan.
4. Meningkatkan mutu kehidupan dimana disemarakkan
semangat kerjasama saling membantu dan membela keadilan
dan kebenaran, kehormatan bangsa agama dan negara.
5. Mendidik kader-kader muda yang berkualitas tinggi, mampu
mengemban amanat dakwah, menunjukkan keindahan dan ke-
luasan ajaran Islam dan mampu menolak segala tuduhan dan
pandangan yang salah terhadap ajaran Nabi Muhammad
SAW.
6. Menggembirakan kehidupan dan menghindri pendekatan kon-
prontatif dengan semangat toleransi, keteladanan, budi luhur
dan cinta kasih memelihara persatuan dan kesatuan saling
menghargai dan menghormati.
7. Menapis dan menolak segala bentuk infiltrasi musuh dan men-
jernihkan segala berita yang tidak benar terhadap Islam dengan
penuh hikmah, bijaksana dan bukan dengan cara emosional.
8. Arief menggunakan segala jalur dan kemudahan yang ada-yang
tersedia berkat keberhasilan pembangunan, kemajuan ilmu dan
tehnologi demi menyebarluaskan rahmad dan kedamaian
kepada seluruh umat manusia.
9. Adanya upaya pengadaan pusat latihan dan pengaturan

171
kegiatan dakwah terpadu yang mampu melahirkan kader-
kader da'i yang berbobot dan siap pakai dan memiliki
keariefan berkomunikasi dengan masyarakat lingkungannya
baik muslim maupun non muslim.
Dengan menempuh cara-cara dimaksud peluang mencapai
tujuan dakwah lebih besar dan kemungkinan kegagalan dapat
diperkecil. Infiltrasi panah racun dari musuh dapat ditangkis
dengan mempergunakan perisai anti peluru kendali, yaitu iman
dan keyakinan yang tangguh.

VI. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa prospek


dakwah dimasa datang adalah sangat cerah namun sangat tergan-
tung dengan keariefan kita memanfaatkannya. Pendapat saya di-
tunjang oleh beberapa faktor pendukungnya;

1. Tumbuhnya kesadaran harga diri diseluruh dunia Islam ter-


utama dikalangan pemimpin, ulama dan cendikiawan muslim
yang tidak ingin dijadikan sebagai boneka imperialis tetapi
ingin hidup merdeka terhormat sebagai hamba Allah dan Kha-
lifahNya.
2. Tampilnya tenaga pemikir yang berwawasan luas dan mam-
pu memandang jauh kedepan aktif dan kreatif dalam mem-
bangun kembali umat dakwah yang utuh dan bersatu padu di-
dukung oleh para ilmuan Kopelma Darussalam.
3. Tersedianya fasilitas dan kemudahan-kemudahan, berkat
keberhasilan pembangunan yang dapat dimanfaatkan secara
maksimal oleh para da'i yang bijaksana.
4. Terjaminnya ketertiban dan keamanan dan meningkatnya
kesadaran politik tidak lagi saling bermusuhan tapi berlomba
pada kebajikan dengan melakukan berbagai karya-karya nyata
yang berguna.
5. Tumbuhnya semangat dan kesadaran yang tinggi dikalangan
generasi muda untuk mempersiapkan diri menyongsong masa
depan dengan kekuatan ilmu dan iman, kesungguhan beribadat
dan beramal, bekerja dan berdoa.

172
DAFTAR BACAAN
Ali Machfudh, Hidayatul Mursyidin, Darul Ma'arif, Bairut 1.1.
A. Hasymi, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Beuna, Jakarta
1983
, Meurah Johan Sultan Pertama, Bulan Bintang
Jakarta, 1983
, Sejarah Masuk Dan Perkembangannya Islam di In-
donesia, Offset, 1981
Dada Meraxa, Aceh 1000 Tahun Dan Peristiwa Teungku Daud
Beureueh, Sadar, Medan, 1.1.
M.C. Zentgraaff, Aceh, Beuna, Jakarta 1983
Muhammad Hoesen, Adat Aceh, Dinas P & K Prop. Dista, Ban-
da Aceh 1970.
Yusuf Abdullah Puar, Masuknya Islam Ke Indonesia, Indrajaya
Jakarta, 1981
Nasir, M, Piqhud Dakwah, Dewan Dakwah Islamyah Indonesia,
1977
Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh, Meuraxa, Medan, 1972
H.M. Zainuddin, Tarich Aceh dan Nusantara, Pustaka Iskan-
dar Muda, Medan, 1961.

173
Bandingan Terhadap Makalah Banda
Aceh Sebagai Pusat Dakwah Islamiyah
Oleh Drs.A.Rahman Kaoy,IAIN
Jamiah Arraniry Darussalam

OLEH
DR.SAFWAN IDRIS.MA
REKTOR UNIVERSITAS ABUYATAMA

1. Pendahuluan

Dalam memberikan pandangan terhadap makalah yang di-


sampaikan oleh Sdr. Drs. Abdurrahman Kaoy dengan judul Ban-
da Aceh sebagai Pusat Dakwah Islamiyah saya akan melakukan
dua hal. Pertama saya akan memberikan pandangan terhadap
makalah tersebut tentang berbagai hal yang mungkin juga
dirasakan oleh banyak kita, dan untuk ini saya terlebih dahulu
minta maaf yang sebesar-besarnya terutama kepada penyaji
makalah. Kedua saya akan memberikan tambahan kajian tentang
Banda Aceh sebagai pusat dakwah Islamiyah yang belum disam-
paikan oleh penyaji dan yang saya rasakan perlu disampaikan
dalam majlis yang mulia ini. Dengan tambahan analisis ini saya
harapkan bahwa saya bukan saja akan memberi pandangan atas
apa-apa yang telah disajikan oleh bapak drs. A.Rachman Kaoy,
tetapi juga berusaha memberikan bahan-bahan tambahan untuk
menjadi bahanpemikiran kita bersama.

2. Perlu Batasan Batasan

Kesan pertama yang timbul waktu membaca makalah yang


dipersiapkan oleh Bpk. Drs.A.Rahman Kaoy ialah makalah yang
panjangnya 15 halaman ini mencoba menjangkau suatu masa
yang terlalu panjang yaitu mulai masa Aceh menjadi sebuah kera-
jaan Islam sampai masa sekarang. Masa awal di tandai dengan
cerita bagaimana Aceh menjadi kerajaan Islam dengan raja Islam
pertama bernama Meurah Johan dan masa sekarang di tandai oleh
cerita tentang perkembangan Dakwah di Banda Aceh dewasa ini
yang dimotori oleh Majlis Ulama Indonesia Daerah Aceh serta
badan-badan dan organisasi-organisasi lainnya yang diantaranya
melibatkan kegiatan Bapak Drs. A.Rahman Kaoy sendiri.
Kajian atau uraian yang rentangan waktunya sangat lama

174
ini memang ada untung ruginya; dilihat dari segi kesempurna-
annya, saya berpendapat lebih banyak ruginya. Untungnya ialah
dengan tulisan yang singkat ini kita dapat memperoleh suatu gam-
baran global tentang Banda Aceh sebagai pusat Dakwah Is-
lamiyah. Ruginya ialah, karena untuk masa yang panjang ini, in-
formasi dan data yang dapat disajikan akan terlalu sedikit.
Dengan demikian tulisan seperti ini dapat diibaratkan sebagai
menabur segenggam padi di sawah yang sangat luas. Akibatnya
ialah padi yang mungkin tumbuh akan mudah dikalahkan oleh
lalang sehingga kita akan memperoleh kesan bahwa disitu sebenar-
nya tidak ada padi. Demikian juga halnya dengan makalah yang
disajikan oleh penyaji tersebut. Karena data dan informasi yang
disajikan sangat sedikit untuk masa yang sangat lama, maka
belum cukup data dan informasi yang dapat meyakinkan kita
bahwa Banda Aceh betul-betul berperan sebagai pusat dakwah
Islamiyah.
Makalah ini dapat disempurnakan misalnya dengan mem-
bagi periode yang sangat lama tersebut ke dalam beberapa
periode. Secara umum periodisasi dapat dibuat misalnya sebagai
berikut. Periode pertama dimulai dengan masuknya orang-orang
Banda Aceh menjadi Islam sampai dengan akhir abad ke 15 ketika
orang-orang Portugis mulai datang ke Nusantara. Periode kedua
dimulai dengan jatuhnya Malaka ke tangan orang-orang Portugis,
sehingga pusat penyiaran Islam berpindah ke Banda Aceh.
Periode ke dua ini bisa dianggap berakhir dengan naiknya ratu-
ratu menjadi pemimpin negara di Aceh. Periode ke tiga dapat
dibatasi dengan masa pemerintahan ratu-ratu dan dilanjutkan
dengan reinstitusi sultan sebagai kepala negara dan berakhir
dengan dimulainya Perang Belanda di Aceh. Periode ke empat
dapat dibatasi dengan mulainya Perang Aceh sampai
kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Masa ke lima
dimulai pada awal kemerdekaan sampai masa kini. Saya disini
tidak akan menjelaskan periodisasi ini, tetapi mencoba
mengemukakan bahwa dengan periodisasi seperti ini maka penya-
jian informasi akan lebih terarah. Karena suatu kajian sejarah
yang panjang lazim sekali di batasi dalam bentuk periodisasi dan
ini merupakan suatu cara mengatasi penyajian dengan masa yang
panjang yang sering menimbulkan kekaburan.
Disamping rentangan waktu yang panjang yang tidak bisa
seluruhnya di tutupi oleh informasi yang diperlukan, makalah
yang disajikan tersebut memiliki keterbatasan teknis yang sangat
jelas. Kami yakin bahwa penulis menyadari hal ini tetapi karena
ditulis dalam keadaan tergesa-gesa tidak banyak yang bisa
dilakukan dalam menanggulangi masalah tersebut. Pensyaratan
teknis ini ialah tidak jelasnya sumber informasi yang diberikan
kepada kita. Dalam uraian yang panjangnya 15 halaman tersebut
tidak terdapat petunjuk tentang dimana diperoleh berbagai in-

175
formasi dan data baik secara umum maupun secara rinci.
Akibatnya akan sukar bagi kita untuk mencek kembali kre-
dibilitas informasi yang diberikan. Sebagai contoh misalnya pada
halaman 3 disebutkan bahwa, "garis hubungan Banda Aceh
Darussalam waktu itu mencakup Cina, Korea, Amerika, Eropah,
Timur Tengah, India, Turki dan Afrika." Hal yang meragukan
disini ialah adanya hubungan dengan Amerika pada waktu itu
yaitu pada abad XVI dan ke XVII. Padahal kita mengetahui
bahwa pada waktu itu Amerika baru saja dikolonisasikan oleh
orang-orang Eropah dan masih merupakan koloni Inggris yang
belum dikenal. Hal lain yang juga perlu disempurnakan ialah
pengetikan yang mungkin bukan dilakukan oleh penulis sendiri.
Satu kesan lain yang saya peroleh dalam membaca makalah
tersebut ialah bahasa yang dipakai juga diwarnai oleh bahasa yang
mengandung retorika dakwah. Kalimat-kalimat seperti
"Gebrakan Prof. A.Hasymy...", "sejak anak dalam ayunan dan
mulai menginjak bumi disambut dengan letusan meriam, bambu
dan anggar pedang..." merupakan kalimat-kalimat yang lebih
diwarnai oleh retorika berdakwah atau bersajak. Karena Bapak
Drs. A.Rahman Kaoy adalah seorang pendakwah, maka bahasa
beliau tentu masuk juga ke dalam makalah beliau tersebut.
Disamping bahasa beliau informasi tentang kegiatan beliau
pun banyak terdapat dalam makalah tersebut. Sebagaimana di-
ketahui Bapak Drs.A.Rahman Kaoy adalah seorang yang sangat
aktif dalam pembinaan Dakwah. Sejak beliau masih sebagai
mahasiswa IAIN tahun 1960an, beliau adalah pembina lembaga
Dakwah Dewan Mahasiswa IAIN Ar-Raniry dan sampai sekarang
terus bergelut dalam pembinaan kader-kader Dakwah. Kegiatan
ini telah dimasukkan dalam makalah beliau sebagai satu bagian
dari seluruh uraian tentang Banda Aceh sebagai pusat dakwah
Islamiyah yang dimulai dengan Islamnya Aceh dimasa Meurah
Johan. Dari informasi yang pernah saya peroleh dari penulis
tersebut, saya mengetahui bahwa kader-kader dakwah yang per-
nah beliau bina sekarang ini bukan saja berdakwah di Aceh tapi
sampai di Jokyakarta. Informasi ini patut saya sampaikan disini
untuk menjadi renungan kita semua tentang adanya kegiatan pe-
nulis sendiri dalam uraian makalah tersebut.

3. Banda Aceh Pewaris Malaka.

Satu hal lagi yang tidak dijelaskan dalam makalah yang disa-
jikan oleh Bapak A.Rahman Kaoy ialah apa yang dimaksud
dengan dakwah. Sebagai orang Dakwah mungkin bagi beliau ini
tidak diperlukan lagi. Oleh sebab itu dalam bagian ini saya akan
memulai dengan memberi definisi tentang dakwah. Dakwah disini
didefinisikan sebagai kegiatan penyebaran agama dan ajaran
agama Islam baik yang bersifat formal yang diusahakan secara
176
sadar dan sengaja maupun yang tidak begitu formal yang terjadi
sebagai proses assimilasi disebabkan adanya faktor-faktor yang
diperlukan untuk itu.
Sesuai dengan definisi diatas tersebut maka disini akan coba
diuraikan mengenai suatu masa dimana Banda Aceh terbentuk
menjadi suatu pusat dakwah Islamiyah dan ini terjadi pada awal
phase atau periode kedua yang dicontohkan diatas yaitu pada
masa kedatangan Portugis ke Nusantara dan jatuhnya Malaka
ke tangan Portugis pada tahun 1511. Inti dari uraian ini ialah
bahwa peranan Banda Aceh sebagai pusat penyebaran atau
dakwah Islam merupakan lanjutan dari peranan yang pernah di-
mainkan oleh Malaka sebelum Bandar tersebut jatuh ke tangan
Portugis. Anggapan ini juga didasarkan kepada kajian giografis
selat Malaka dimana dirasakan adanya persaingan perebutan
posisi atau perpindahan posisi utama antara berbagai bandar yang
ada dari waktu ke waktu. Sekarangpun ada suatu perasaan bahwa
ketinggalannya Banda Aceh antara lain disebabkan oleh dominasi
Medan yang sangat kuat yang langsung membentuk segi tiga
dengan Penang dan Singapore.
Penjelasan terhadap anggapan tersebut diatas dimulai dengan
mengemukakan sebuah teori tentang penyebaran Islam di Nusan-
tara. Meskipun diketahui bahwa Islam sudah mulai berkembang
di Aceh dan kawasan Barat Laut Nusantara sejak awal abad hij-
riah (A. Hasymy, 1981: 7; B. Schrieke, 1957: 231-232), namun
ada pendapat yang mengatakan bahwa penyebaran Islam yang
sangat giat dan sungguh-sungguh terjadi pada akhir abad ke 15
dan awal abad ke 16 yaitu pada waktu munculnya Portugis di
Lautan Hindia pada tahun 1497.
Beritanya dimulai dengan perlombaan antara Islam dan
Kristen yang pernah terlibat pertarungan yang lama di semenan-
jung Iberia. Kedatangan Portugis ke timur sudah mulai diketahui
oleh penguasa dan pedagang Islam mulai dari Timur Tengah, Asia
Selatan dan Asia Tenggara, terutama melalui pertemuan tahunan
di Mekkah. Sampai saat itu wilayah Lautan Hindia merupakan
wilayah dagang yang dikuasai oleh orang Islam terutama dari Gu-
jarat. Kedatangan Portugis ini bukan saja merupakan tantangan
bagi kegiatan perdagangan Islam tetapi juga merupakan tan-
tangan bagi kegiatan keagamaan. Ketika orang-orang Portugis
datang di Lautan Hindia mereka menyerang kapal-kapal
pedagang Islam yang diantaranya termasuk kapal jema'ah haji.
Meskipun kelancangan ini di protes sampai pada Paus di Roma
dan raja Portugis di Lissabon, penyerangan dan pengrusakan
bahkan pembunuhan terhadap jama'ah haji tetap saja dilakukan
(B. Schrieke, 1957: 232-5).
Menurut tiori yang dikemukakan oleh van Luer ini, inilah
faktor yang sangat penting yang menyebabkan ditingkatkannya
penyebaran dan dakwah Islam di Nusantara mulai awal abad ke

177
16. Seperti disimpulkan oleh D.G.E. Hall,
Karena itu pada waktu orang-orang Portugis datang kekuat-
an Islam telah lebih dahulu menggiatkan perluasan
penyebaran Islam seluas mungkin. Ketika Malaka jatuh pada
tahun 1511 ketangan Portugis dan menjadi pusat yang sangat
strategis untuk menyerang Islam dan perdagangan Islam,
dalam dunia kepulauan Asia Tenggara yang luas itu Bulan
Sabit selalu lebih maju dari Salib. Bulan sabit itu tidak per-
nah kehilangan posisinya yang memimpin itu (Hall, 1968-
215).
Justru pada saat inilah Banda Aceh sedang muncul sebagai
suatu kerajaan Islam yang baru dan sangat strategis. Banda Aceh
muncul pada saat dorongan untuk meningkatkan dakwah dan
penyebaran Islam di Nusantara ini sedang dirasakan begitu
mendesak. Peranan ini telah dimainkan oleh Malaka sebelum ban-
dar tersebut jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Sampai
saat tersebut Malaka telah memainkan peranan penting sebagai
pusat dakwah dan perdagangan Islam. Banyak kerajaan kerajaan
kecil disemenanjung Melayu dan di daerah Riaw di Islamkan dari
Malaka (Hall, 1968: 213).
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511
pedagang-pedagang dan pendakwah-pendakwah yang waktu itu
berkerumun di Malaka pindah dan menetap di Banda Aceh.
Dengan letaknya yang sangat strategis, Banda Aceh dengan
mudah meraih posisi sebagai pengganti terhadap bandar Malaka
yang telah jatuh ke tangan Portugis itu. Pada waktu Lautan Hin-
dia dan selat Malaka adalah kawasan perdagangan yang ramai,
dan pada waktu Malaka jatuh ke tangan Portugis, maka Banda
Aceh merupakan satu-satunya alternatif pelabuhan yang tersedia
untuk disinggahi kapal-kapal yang akan melayari Lautan Hin-
dia yang luas itu. Apalagi Banda Aceh waktu itu berhasil menem-
patkan atau memusatkan padanya pusat perdagangan lada yang
makin bertambah penting. Dengan demikian mulailah Aceh me-
mainkan peranannya yang baru sebagai pewaris Malaka sebagai
pusat penyebaran dan pengajaran Agama Islam untuk nusantara.
Dengan simpati yang kuat dari dunia Islam dan keberhasilan
dalam memperluas daerahnya di Sumatra, kata B. Schrieke,
"Aceh berkembang menjadi pusat studi agama di nusantara"'
(1977: 235).
Dalam masa inilah datang ke Banda Aceh Ulama-ulama
besar dari Timur Tengah, Gujarat dan India, seperti Nurruddin
Ar-Raniry. Beliau merupakan seorang ulama yang telah mem-
persembahkan karya-karya monumental dalam sejarah perkem-
bangan pemikiran Islam di Aceh. Dalam bahasa Syeh Muham-
mad Naquib Al-Lattas, "Ar-Raniry was a Sufi, theologian,
historian, man of letters and missionary par excellence. His in-
fluence in the Malay world wa s tremendous, and has never before

m
been properly understood or correctly assessed and acknowledg-
ed," (1986: 46). Seorang terkemuka lainnya yang datang ke Aceh
waktu itu adalah Fairus al-Bagdady, seorang kadli yang berasal
dari Bagdad. Fairus ini terkenal sebagai seorang kadli dan ulama
besar karena anaknya yang bernama Syekh Nayan adalah pen-
diri Pesantren Tanoh Abee yang sekarang terkenal dengan ber-
bagai naskah tua yang tidak terhingga nilainya (Zaslina, 1983:
12-13). Dari dalam negeri datang pula ke Banda Aceh ulama-
ulama terkenal seperti Syech Abdurrauf AI-Singkil dan Hamzah
al-Fansury, yang terlepas dari perbedaan-perbedaan pendapat
diantara mereka, telah turut menyemarakkan Banda Aceh sebagai
pusat penyebaran dan pengembangan Islam di Asia Tenggara.

4. Penutup

Uraian yang singkat ini diharapkan dapat menambah ke-


yakinan kita terhadap uruaian yang telah disampaikan oleh Bapak
Drs. A.Rahman Kaoy tentang peranan Banda Aceh sebagai pusat
Dakwah Islamiyah. Demikian juga diharapkan dapat menunjuk-
kan kepada kita bahwa Banda Aceh menjadi pusat dakwah
Islamiyah disebabkan oleh faktor-faktor sejarah yang sangat unik.
Kedatangan Portugis yang juga membawa missi agama Kristen
dengan memerangi kekuatan Islam telah menimbulkan suatu
respon dari pihak Islam untuk mempercepat proses penyebaran
dan dakwah Islam di nusantara. Dan Banda Aceh telah muncul
pada waktu yang sangat cocok untuk mengisi tugas yang sangat
bersejarah ini. Dalam mengisi tugas yang sangat bersejarah ini
Banda Aceh pun telah mengukir untuk dirinya suatu sejarah yang
sewajarnya harus menimbulkan perasaan "iri" dikalangan kita
dewasa ini.
Selama lebih satu setengah abad sejak jatuhnya Malaka ke
tangan Portugis Banda Aceh menjadi pusat penyebaran dan
pengajaran Islam yang sangat terkenal. Nampaknya pada masa
yang penuh nostalgia inilah di Aceh telah lahir suatu tradisi dan
nilai-nilai dalam masyarakat yang menyebabkannya dapat ting-
gal landas dan dapat bertahan dalam tahun-tahun yang sangat
sulit pada abad ke 18 dan 19. Perasaan ini akhirnya menjadi sir-
na dengan dimulainya penyerangan Aceh oleh Belanda pada tahun
1873. Sementara itu telah banyak pula ulama-ulama Aceh yang
pindah ke Penang dan bahkan Singapore yang dapat terus melan-
jutkan usaha penyebaranlslam selama perang (Roff, 1970:
177-178). Hal ini menampakkan kembali perulangan sejarah
Malaka ketika ditaklukkan oleh Portugis dimana para ulama dan
muballignya pergi ke Aceh untuk melanjutkan dakwah.
Penyerangan Belanda tersebut, karenanya, dapat dianggap
sebagai suatu titik berakhirnya suatu phase yang sangat gemilang
dalam sejarah Banda Aceh sebagai pusat dakwah Islamiyah.

179
S. Kepustakaan

A. Hasymy (ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Jakar-


ta, Al-Maarif 1981.
AI- Attas, Syed Muhammad Naquib, A Commentary on Hujjat al-Siddiq ofNur-
al-Din al Raniri, Kuala Lumpur, Ministry of Culture, 1986.
Hall, D.G.E. A History of Southeast Asia, 3rd students ed. London, The Mac-
Millan Press, 1968.
Roff, William R. "Southeast Asian Islam in the Nineteenth Century, " dalam The
Cambridge History of Islam, vol 2, London, Cambridge University Press,, 1970:
hal. 155-181.
Schrieke, B. Indonesian Sociological Studiest Selected Writings, Part Two, The
Hague, W. van Hoeve, 1957.
Zaslina S. Manuskrip Perpustakaan Islam Tertua di Indonesia, Tanoh Abee, Aceh
Besar (Menggali Kembali Naskah Lama), Skripsi Sarjana pada Jurusan Ilmu Per-
pustakaan, Fakultas Sastra, Universitas Sumatra Utara, 1983.

180
Banda Aceh Pada Masa Kemerdekaan
Oleh:
T. ALIBASYAH TALSYA

Suasana hening yang meliputi sidang-penutupan Musyawarah


Kerukunan Rakyat Aceh di Banda Aceh pada tanggal 21
Desember 1962, tiba-tiba menjadi gemuruh karena tepukan
tangan para hadirin.
Pada saat itu, di hadapan sekitar 1.000 orang peserta
musyawarah, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, A. Hasj-
my, mengumumkan bahwa mulai tanggal 1 Januari mendatang
nama ibukota Daerah Istimewa Aceh, Kutaraja, diganti dengan
nama aslinya, Banda Aceh.
Nama ini, kata Gubernur di hadapan pemuka-pemuka
masyarakat Aceh yang pulang dari perantauannya di seluruh In-
donesia, ditambah pemimpin-pemimpin di daerah dan tokoh-
tokoh nasional yang diundang, dikembalikan kepada nama
asalnya demi kepribadian rakyat Aceh, di mana agama dan adat
menjadi pegangan hidupnya.
Gubernur mengungkapkan selanjutnya, bahwa nama Kutara-
ja adalah pemberian Belanda yang dimaksudkan untuk
menghilangkan kemasyhuran Aceh, yaitu ketika Jenderal Van
Swieten pada akhir abad ke-19 mengumumkannya sesaat setelah
ia menduduki Dalam (istana Sultan).
Bertepatan dengan itu, nama Lapangan Gajah yang terletak
di jantung kota Banda Aceh, dikembalikan pula kepada nama
aslinya: Biang Padang, yang berarti lapangan luas yang di dalam-
nya tidak terdapat bangunan-bangunan ataupun sejenisnya.
Sebagai tindak-lanjut daripada pengumuman yang pada
mulanya memancing pendapat pro dan kontra itu, maka pada
tanggal 28 Desember berikutnya, tepat seminggu kemudian,
Gubernur dengan cara resmi mengeluarkan Keputusan Pemerin-
tah Daerah Istimewa Aceh yang menetapkan:
Pertama : Untuk mengembalikan sifat kepribadian asli rakyat
Aceh, terhitung mulai tanggal 1 Januari 1963,
merobah nama Kutaraja menjadi Banda Aceh.
Kedua : Menyampaikan keputusan ini kepada Y.M. Menteri
Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah untuk
urusan selanjutnya.
Ketiga : Memerintahkan kepada Bahagian Tata-Hukum dan
Perundang- undangan (Kantor Gubernur) untuk
menempatkan keputusan ini dalam Tambahan Lem-
baran Daerah Istimewa Aceh.
Tidak sampai lima bulan setelah Keputusan No. 153/1962

181
tersebut ditetapkan, Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi
Daerah melalui Surat Keputusan No. Des.52/143-43 menetapkan
nama Kutaraja, ibukota Daerah Istimewa Aceh, diubah menjadi
Banda Aceh.
Keputusan tersebut mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 1963,
yaitu pada hari penetapannya, serta diiringi perintah pengun-
dangannya, dengan penempatan dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Menteri melandaskan keputusannya itu pada Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, Undang-
Undang No. 24 Tahun 1956, Undang-Undang No. 8 Drt. Tahun
1956 dan dengan pertimbangan selaras dengan semangat rakyat
Daerah Istimewa Aceh untuk mengembalikan rasa kebesaran
kepribadiannya.
Semenjak saat itu, nama Kutaraja secara bertahap pupus dari
tulisan dan ucapan, berganti dengan Banda Aceh.
Nama tersebut dengan cepat populer di tengah-tengah
masyarakat. Bagi penduduk pedalaman ataupun yang berjauhan
tempat tinggalnya dengan Banda Aceh, bahkan pada masa Belan-
da dan masa Jepang pun, tetap menyebut ibukota Propin-
si/Keresidenan ini dengan nama Banda Aceh. Seringkali dengan
singkatan Banda saja ataupun Aceh saja.

Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan (sipil dan militer),


pusat perekonomian/perdagangan, pusat kebudayaan, pusat
spiritual, pusat kegiatan politik dan sosial dan lain-lain, semen-
jak masa jayanya Kerajaan Aceh Darussalam hingga masa pen-
jajahan Belanda dan Jepang, merupakan panggung peristiwa-
peristiwa besar, yang datang silih berganti dengan berbagai co-
rak dan gayanya.
Pada masa Aceh Darussalam, ibukota Kerajaan Maritim
terbesar pada abad ke-17 >> ini, merupakan kota yang berperan
besar antara Samudera Hindia dengan Laut China Selatan, bah-
kan pengaruh dan kemasyhuran namanya tersebar ke berbagai
negara di dunia.
Kapal-kapal Inggeris, Perancis, Belanda, Portugis, Spanyol.
Keling, Pegu dan lain-lain berlabuh di perairan bandar ini. 2>-
Banda Aceh menerima duta-duta negara asing dan mengutus
pula duta-duta Aceh ke beberapa negara sahabat. 3)-
Masa penjajahan Belanda, Banda Aceh pula yang dijadikan
ibukota propinsi yang kemudian berubah menjadi keresidenan.
1 ). Onghokham: Tentera dan Perang Di Masa Lampau, dalam Harian Kompas tanggal
5 Oktober 1984, h.4.
2). Denys Lombard: Kerajaan A ceh, jaman Sultan hkandar Muda, Balai Pustaka Jakar-
ta, 1986, h. 136.
3). H. Mohammad Said: Aceh Sepanjang Abad, PT. Perc. dan Pen. Waspada Medan,
1981, h.562; Tengku Luckman Sinar SH: Duta Kerajaan Aceh pada Kaisar Perancis
1852, dalam Waspada Medan tanggal 29 September 1983, h.8.

182
Keadaan yang sama berlaku pula pada masa pendudukan
Jepang.
Setelah kemerdekaan, Banda Aceh menjadi tidak sekedar
sebagai ibukota Daerah Aceh semata-mata, tetapi pernah
ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara, bahkan per-
nah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai tempat kedudukan
Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia.
Pada masa Daerah Aceh menjadi primadona di atas pang-
gung sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, beraneka ragam
peran telah dilakukan ibukota Banda Aceh sebagai pusat him-
punan para pembesar, cendekiawan, alim-ulama, pemuka-
pemuka masyarakat dari Pusat sampai daerah dengan berbagai
tugasnya masing-masing.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan pada
tanggal 17 Agustus 1945, tidak diketahui di Banda Aceh sampai
beberapa hari kemudian.
Pada saat-saat tersebut, yang masih menjadi pembicaraan
umum ialah mengenai berita-berita tentang kemajuan tentara
Sekutu di berbagai medan pertempuran, termasuk di perairan In-
donesia Timur yang sedang menghadapi ancaman perang
langsung.

Sikap pembesar-pembesar dan tentara Jepang, tidak berbeda


dengan hari-hari sebelum kapitulasi, mereka berusaha menyem-
bunyikan peristiwa tersebut.
Ketika pemuda-pemuda Indonesia dari kesatuan-kesatuan
angkatan bersenjata Jepang seperti Gyugun, Heiho, Tokubetsu
Keisatutai dan lain-lain ramai hilir-mudik di tengah kota, mun-
cul tanda tanya dan rasa ingin tahu dari penduduk.
Harakiri S. Masubuchi, pembesar Jepang ranking kedua
dalam susunan pemerintahan di Aceh, semakin memperluas desas-
desus, bahwa sesuatu peristiwa yang belum terungkapkan sudah
terjadi.
Di tengah-tengah suasana yang membingungkan itu timbul
pula kabar selentingan bahwa tidak berapa lama lagi tentera China
dan tentara Australia akan mendarat di Aceh untuk melucuti
Jepang, mengembalikan mereka ke tanah airnya, dan menegak-
kan pemerintahan baru.
Barulah pada tanggal 21 Agustus kantor berita Domei di Ban-
da Aceh mendapat berita dari Jakarta bahwa peperangan telah
berakhir dan semua orang Jepang termasuk tentaranya akan
dikembalikan ke tanah airnya.
Pemuda-pemuda Banda Aceh yang berhimpun di kantor
suratkabar Aceh Sinbun dengan segera mengadakan pertemuan
untuk membicarakan isi berita Domei tersebut.
Pada waktu itulah dengan cara rahasia diambil keputusan
untuk membentuk sebuah organisasi yang akan menyeleng-

183
garakan tugas-tugas mempertahankan daerah ini dari
kemungkinan datangnya kembali pemerintah Belanda ataupun
pemerintah kolonial yang lain, misalnya dari negara-negara yang
bergabung dalam kelompok Sekutu.
Di ruangan kantor redaksi Aceh Sinbun di Banda Aceh, rapat
rahasia itu berlangsung dengan pimpinan Sdr. A. Hasjmy,
Redaktur Senior Aceh Sinbun.
Sungguhpun perkembangan dari Jakarta mengenai sikap
pemimpin-pemimpin nasional belum diketahui sama sekali, rapat
tersebut mengambil keputusan akan menggerakkan massa menen-
tang kembalinya penjajahan ke daerah ini.
Untuk mengkoordinir rencana tersebut, pada waktu itu juga
diresmikan sebuah organisasi, Ikatan Pemuda Indonesia (IPI).
IPI yang diketuai Sdr. A. Hasjmy dalam perkembangan pada
hari-hari selanjutnya bertukar nama menjadi Barisan Pemuda In-
donesia (BPI), Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan akhirnya
Pemuda Sosialis Indonesia Aceh (Pesindo-Aceh).
Di gedung kantor Aceh Sinbun dan di beberapa gedung
pemerintahan yang lain dikibarkan bendera kebangsaan Indonesia
Merah-Putih tanpa seizin pejabat-pejabat Jepang yang masih
berkuasa.
Insiden bendera terjadi di berbagai tempat antara pemuda-
pemuda Indonesia dengan pembesar-pembesar Jepang. Namun
akhirnya bendera kebangsaan dan lambang yang menggelorakan
semangat perjuangan itu dapat berkibar terus.
Pemuda-pemuda Indonesia bekas Gyugun, Tokubetsu
Keisatutai, Heiho dan kesatuan-kesatuan lain yang telah
dibubarkan Jepang, berhimpun untuk membicarakan tugas
apakah yang dapat dilakukannya untuk menanggulangi keadaan
yang telah berubah itu.
Merekapun berhasil membentuk Angkatan Pemuda In-
donesia (API), yang kemudian menjadi tentera resmi Republik
Indonesia dengan beberapa kali pertukaran nama, yaitu Barisan
Keamanan Rakyat (BKR), Tentera Keamanan Rakyat (TKR),
Tentera Keselamatan Rakyat (TKR), Tentara Republik Indonesia
(TRI) dan akhirnya Tentera Nasional Indonesia (TNI) hingga
sekarang.
Baik IPI maupun API, bersama-sama dengan berbagai
lapisan masyarakat membulatkan tekad dan sikap akan berjuang
bahu-membahu memenuhi panggilan Ibu Pertiwi.
Di tengah-tengah suasana bergolaknya semangat
kemerdekaan itu, pada tanggal 25 Agustus, Kepala Pemerintahan
Jepang Keresidenan Aceh (Aceh Syu Chokang) S. Iino dengan
resmi mengumumkan bahwa baru-baru ini telah dicapai per-
damaian antara Jepang dengan Sekutu.
Diharapkannya supaya rakyat Aceh jangan berbuat kacau
atau melakukan pergerakan dengan tidak berpikir, melainkan
184
hendaklah mengerjakan masing-masing pekerjaan dengan
sungguh-sungguh.
Barang siapa yang merusakkan keamanan ataupun meng-
ganggu kesentosaan negeri akan dikenakan hukuman berat.4»
Larangan Chokang tersebut tidak dihiraukan sama sekali.
Sebaliknya pemuda-pemuda Indonesia di kota ini dengan cara
terang-terangan menentangnya, antara lain dengan cara
melakukan latihan-latihan perang, mengibarkan bendera Merah-
Putih di toko-toko, rumah-rumah dan kantor-kantor, memakai
lencana merah-putih pada baju setentang dada sebelah kiri dan
menempeli bangunan-bangunan di berbagai penjuru kota dengan
pamflet/surat selebaran yang isinya menganjurkan penduduk ber-
satu dan berjuang untuk membina hari depan.
Pemimpin-pemimpin perjuangan yang belum berhasil men-
jalin hubungan dengan pusat pemerintahan dan pusat perjuangan
di Jakarta, menyadari bahwa perjuangan tanpa memiliki alat sen-
jata berarti sia-sia.
Oleh karena itu, digerakkanlah barisan-barisan untuk
melakukan perampasan senjata pada pribadi orang-orang Jepang,
dalam gudang-gudang simpanan dan menyerbu tangsi-tangsi
militer.
Kegiatan itu sangat menggusarkan pembesar-pembesar
Jepang, sehingga Chokang mengundang pemimpin-pemimpin In-
donesia ke tempat tinggalnya untuk meminta pertanggungan
jawab atas berbagai kejadian.
Pertemuan yang menegangkan itu berakhir dengan
penyerahan 600 pucuk senjata ringan berbagai jenis yang diterima
oleh Residen T. Nyak Arif.
Di pihak Indonesia hadir Residen T. Nyak Arif, Ketua
Komite Nasional Indonesia Tuanku Mahmud, Ulama dan ang-
gota Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh Tgk. Muhammad
Daud Beureueh, Ketua Markas Daerah API Sjamaun Gaharu,
Ketua Barisan Pemuda Indonesia A. Hasjmy, Konsul Muham-
madiyah Daerah Aceh T. Cut Hasan, Asisten Residen Aceh Besar
T. Achmad Jeunib dan Said Abubakar.
Di pihak Jepang, selain Chokang S. Iino hadir pula Aceh
Syu Seicho Soumubucho S. Masubuti, Aceh Syu Seicho
Keimubucho (Kepala Kepolisian), Bo-eitaicho (Panglima Militer),
Kempeitaicho (Komandan Polisi Militer) dan Jurubahasa T. Eiri.
Karena perjuangan yang sedang dihadapi tidak akan berhasil
jika hanya memiliki 600 pucuk senjata saja, maka berbagai tin-
dakan kekerasan dilakukan untuk memperoleh senjata-senjata
tambahan.
Tindakan-tindakan keras pemuda-pemuda terhadap Jepang
terjadi di mana-mana. Beberapa orang pemuda menyusup ke
*
4).Maklumat Atjeh Syu Tyokan, Syowa 20 Nen 8 Gata 25 Niti

185
dalam tangsi Kraton (sekarang Jalan Sultan Alaiddin Mahmud-
syah) dan berhasil melarikan beberapa pucuk senapang.
Pertempuran besar-besaran terjadi di Lhoknga, 14 kilometer
dan Banda Aceh, yang menelan korban jiwa kedua pihak.
Lhoknga terkenal sebagai pusat penyimpanan senjata Jepang
menghadapi penyerbuan Sekutu. Di tempat ini terdapat kubu-
kubu pertahanan dari beton yang kokoh, menghadang ke
Samudera Hindia.
Pada malam tanggal 30 Nopember, Lhoknga mendadak
ramai dengan para pejuang yang berdatangan dari berbagai arah
baik dan Kabupaten Aceh Besar maupun dari kota Banda Aceh'
Dalam pertempuran itu 84 serdadu Jepang tewas bersama-
sama 37 pejuang kemerdekaan.
Pada puncak krisis yang sangat mengkhawatirkan, Koman-
dan Garnisun Kutaraja (Banda Aceh), yaitu perwira Jepang yang
turut hadir dalam pertemuan di kediaman Chokang baru-baru
mi, meminta campur tangan Residen T. Nyak Arif untuk
menghentikan serangan.
Residen mengutus satu tim ke tempat kejadian, dipimpin
Ketua Komite Nasional Daerah Aceh Tuanku Mahmud yang
ditemani beberapa opsir Kempeitai.
Perjalanan sejarak 14 kilometer itu memakan masa hampir
4 jam karena sepanjang jalan raya antara Banda Aceh dengan
kawasan kejadian telah dihempangi dengan pohon-pohon besar
sejak malam tadi oleh para pejuang untuk menghalang-halangi
bala bantuan Jepang.
Dalam perundingan yang berlangsung di tengah-tengah pekik
penyerbuan pejuang dan pekik komando Jepang itu, akhirnya
disepakati, semua tentera Jepang di tempat ini diungsikan ke
Biang Bintang, 15 kilometer arah timur Banda Aceh.
Pada tanggal 6 Desember, tentara Jepang garnisun Lhoknga
seluruhnya berangkat ke Biang Bintang lewat Banda Aceh, dengan
meninggalkan senjata-senjata yang mestinya harus mereka per-
tanggungjawabkan kepada Sekutu.
Kedua pihak terus-menerus dicekam perasaan saling curiga
Akibat daripada sikap bertolak belakang itu maka permusuhan
makin meningkat.
Semangat kemerdekaan yang meluap-luap dalam dada
bangsa Indonesia semakin merangsang karena berbentur dengan
semangat lesu dan sikap prihatin Jepang yang sedang bergelut
dengan kekecewaan.
Untuk memperkecil bertambah banyaknya korban, maka
semua orang Jepang bersama tentaranya di seluruh Aceh dihim-
pun pada dua tempat.
Pasukan dari Lhoknga, garnisun Banda Aceh, Seulimeum
Sigh, Lammeulo, Bireuen, Takengon dan sekitar wilayah-wilayah
mi dipusatkan di pangkalan Biang Bintang, Aceh Besar.
186
Dari wilayah pesisir barat dan selatan berhimpun di
Meulaboh sedang dari Aceh Utara dan Aceh Timur berkumpul
di Langsa dan kemudian berangkat ke Medan.
Di kota Banda Aceh masih ditempatkan sebagian dari
pasukan Jepang (sementara) untuk pengamanan.
Tentara Jepang yang dipusatkan di Biang Bintang mening-
galkan tempat tersebut pada tanggal 15 Desember dan berkum-
pul di Uleelheue.
Pada waktu mereka berangkat, singgah di Banda Aceh,
menawan beberapa orang perwira API/TKR sebagai sandera un-
tuk keselamatan mereka.
Beberapa hari kemudian mereka meninggalkan Aceh,
sedangkan teman-temannya di daerah Aceh Utara dan Aceh
Timur berangkat ke Medan.
Tidak saja di Banda Aceh, tetapi di seluruh daerah ini ter-
jadi pertempuran-pertempuran merampas senjata dengan korban
kedua belah pihak, di antaranya di Aceh Barat, Krueng Panjoe
di Aceh Utara dan Langsa-Kualasimpang di Aceh Timur.
Bahkan, di Kuala Simpang dan Langsa, tentara Jepang yang
telah berangkat ke Medan diperintahkan Sekutu balik ke Aceh,
mengambil senjata-senjata yang telah jatuh kepada bangsa
Indonesia.
Dalam penghadangan sejak dari perbatasan Aceh - Sumatera
Timur sampai ke kota Langsa, banyak pejuang-pejuang yang
tewas.
Pada tanggal 9 Oktober 1945, sepuluh hari setelah rekan-
rekannya mendarat di Tanjung Periok Jakarta, tentera Sekutu
yang terdiri dari pasukan Inggeris, Gurkha dan diboncengi ser-
dadu Belanda (NICA), menduduki Sumatera.
Dipimpin Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly, pasukan ini men-
darat di Belawan, terus menuju Medan.
Kemudian Sekutu mendaratkan pula pasukan-pasukannya
di Palembang dan Padang.
Pada tanggal 5 Oktober, empat hari sebelum induk pasukan-
nya mendarat, tiba di Kutaraja seorang opsir Belanda yang ber-
tugas dalam komando Sekutu, Mayor M.J. Knottenbelt.
Knottenbelt yang terjun dengan parasut dekat Medan pada
tanggal 1 Oktober, setibanya di Banda Aceh lalu berusaha
mendekati orang-orang bekas tentara KNIL dan pensiunan yang
baru keluar dari tawanan Jepang.
Di Banda Aceh, wakil tentera Sekutu itu menyaksikan
gerakan-gerakan revolusioner pemuda Indonesia yang melakukan
berbagai tindakan, baik dengan cara terang-terangan maupun
dengan cara diam-diam.
Kehadirannya di kota ini yang semula diperkirakan cukup
aman di bawah perlindungan tentera Jepang, ternyata sangat

187
merisaukannya.
Setiap malam, tempat tinggalnya di sebuah rumah besar yang
mewah di pinggiran barat Biang Padang, selalu diganggu dengan
ancaman-ancaman yang mengkhawatirkan.
Bahkan ketika ia ingin memperoleh sambutan lembut dari
Kepala Pemerintahan Keresidenan Aceh, T. Nyak Arif, ternyata
sia-sia belaka.
T. Nyak Arif tidak bersedia berunding dengan Knottenbelt,
karena, wewenang untuk itu berada dalam tangan Pemerintah
Pusat Republik Indonesia, ujarnya.
Residen menegaskan bahwa tentera Sekutu tidak perlu datang
ke Aceh, karena daerah ini aman dan tenteram.
Untuk melucuti, kemudian mengirimkan tentera Jepang ke
tempat kedudukan markas Sekutu di Medan, ia menyanggupinya.

Katanya, tugas itu dapat dilakukan dengan baik oleh prajurit-


prajurit Indonesia dengan pimpinannya sendiri.
Jika Sekutu berkeras datang juga ke daerah ini, kata T. Nyak
Arif, keamanan dan hal-hal yang mungkin terjadi berada di luar
tanggung jawabnya.
Sebagaimana ternyata kemudian, tentera Sekutu yang telah
bersiap-siap di Medan untuk mengambil alih daerah ini dari
Jepang, tidak pernah datang.
Knottenbelt pun setelah beberapa hari berada di Banda Aceh,
berangkat ke Medan kembali, bergabung dengan induk'
pasukannya.
Sasaran penyerangan tentera Belanda ke Aceh dilakukan
terhadap basis-basis pertahanan, baik yang terletak di pedalaman
terutama yang terdapat di pesisir.
Banda Aceh sebagai pusat kegiatan berbagai gerakan dan
pertahanan, merupakan sasaran paling utama dari angkatan udara
dan angkatan laut Belanda.
Hampir setiap hari, kota ini diserang ataupun sekurang-
kurangnya diganggu oleh provokasi-provokasi, seperti penyebaran
pamflet dengan pesawat udara dan unjuk kekuatan angkatan laut
dengan kapal-kapal perangnya.
Setiap serangan itu ditangkis oleh barisan pertahanan yang
dan sehari ke sehari perlengkapan persenjataannya semakin ber-
tambah lengkap, baik yang didapati dari timbunan tempat-tempat
disembunyikan Jepang, maupun perolehan baru dari luar negeri
dan medan pertempuran Medan Area ataupun Sumatera Timur
Area.
Di samping mempertahankan diri terhadap serangan itu
pasukan-pasukan dari Aceh terus-menerus dikirim ke Medan
ataupun tempat-tempat lain di Sumatera Timur (bahagian dari
Propinsi Sumatera Utara sekarang).

188
Di sana mereka berjuang di front Medan Area dan berbagai
medan pertempuran yang hendak dicaplok musuh menghadapi
tentera Belanda dan Poh An Tui yang bersenjata mutakhir.
Panglima Tentera Republik Indonesia Komandemen
Sumatera Mayor Jenderal R. Soehardjo Hardjowardojo, menum-
pahkan harapan besar kepada pasukan Aceh.
Dalam sebuah telegramnya, Panglima meminta kepada
pemimpin-pemimpin rakyat Aceh supaya mengalirkan terus
kekuatan dari Aceh ke Medan dan jangan berhenti berjuang
sebelum Medan dikuasai Republik Indonesia kembali.
Pengembalian kota Medan terletak di tangan saudara-
saudara segenap penduduk Aceh, antara lain isi telegram itu.5)
Pada hari-hari selanjutnya, sebagian wilayah Sumatera
Timur, berdasarkan keputusan Pemerintah Pusat digabungkan
ke Aceh di bawah pimpinan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan
Tanah Karo, Jenderal Mayor Tgk. Muhd. Daud Beureueh.
Pusat komando Gubernur Militer tersebut adalah Banda
Aceh.
Pada masa itu dari sinilah diatur dan dikendalikan berbagai
kegiatan pertahanan, pemerintahan, perdagangan, politik, sosial,
hubungan dengan luar negeri dan lain-lain sebagainya.
Devisa yang dihasilkan dari penjualan aneka-ragam hasil-
bumi daerah Aceh dipergunakan untuk membeli alat-alat perang
dan kebutuhan pemerintahan umum.
Kapal-kapal yang sarat dengan getah, kelapa sawit dan ser-
baneka komoditi, mengharungi Selat Melaka menuju Pulau
Pinang ataupun pelabuhan lain di Semenanjung Tanah Melayu.
Para pelaut ini, baik yang berlayar dengan kapal-kapal
bermesin maupun yang berkayuh dengan biduk-biduk tanpa
mesin adalah patriot-patriot, yang berhasil menembusi blokkade
Belanda yang kejam di perairan Selat Melaka.
Presiden Sukarno pada pertengahan tahun 1948 mengunjungi
Banda Aceh, Sigli dan Bireuen, selain untuk menyaksikan
langsung ketahanan daerah harapannya ini, juga untuk
menyatakan bahwa Aceh adalah Daerah Modal Kemerdekaan
Republik Indonesia, s)
Pada tahun 1948 penduduk daerah ini menyumbangkan dua
buah pesawat terbang untuk negara.
Pesawat terbang R.I. 001 Seulawah pada hari-hari selanjut-
nya menjadi alat perjuangan yang sangat penting artinya, karena
ia merupakan jembatan udara satu-satunya bagi Republik In-
donesia di tengah-tengah blokkade ketat tentera Belanda.
Dengan hasil-hasil yang diperolehnya selama beroperasi di
luar negeri, Seulawah berhasil pula memberikan biaya perjuangan
5). Dua Windhu Kodam 1/Iskandarmuda, Semdam 1/Isk. 1972
6). Pidato Presiden Sukarno di Aceh.

189
kepada para duta Republik di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
di beberapa negara sahabat.
„ m dengan pesawat terbang Dakota itu pula Kepala Perwakilan
Republik Indonesia di New Delhi, Dr. Soedarsono, pulang ke
tanah air dan India dan kemudian berangkat kembali ke sana
S ed ars ono
A^?n ? A 1 mendarat di Biang Bintang dan Lhoknga,'
dekat Banda Aceh, membawa alat-alat senjata, obat-obat dan ber-
bagai keperluan perjuangan.
Setelah mengadakan pertemuan untuk mengatur langkah-
ï 3 1 ? : 1 yang akan ditempuh, Sudarsono meninggalkan
Banda Aceh kembal, ke tempat tugasnya dengan membawa dana
untuk perbekalan perjuangan di luar negeri
Biasanya Wakil Republik itu membawa emas dari sini
sehingga penggunaannya lebih mudah.
Pada tanggal 19 Desember 1948, ibukota Negara, Yogyakarta
diduduki musuh serta menawan Presiden, Wakil Presiden ber-
sama beberapa orang pimpinan tinggi negara.
Setelah itu tentera Belanda menyerang dan menyerbu pula
daerah-daerah Republik yang lain, sehingga wilayah kekuasaan
RI menjadi sangat kecil.
Pemimpin-pemimpin perjuangan, baik militer maupun sipil
bersama-sama rakyat terus berjuang melancarkan perang gerilya
di mana-mana.
Masa itu, Aceh merupakan tumpuan perhatian dan harapan
pemimpin-pemimpin di pusat dan teman-teman seperjuangan di
berbagai daerah di tanah air.
Di Banda Aceh ditempatkan pejabat-pejabat teras Republik
dan perwira-perwira inti Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara.
Menurut Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal A H
Nasution, pengiriman perwira-perwira itu ke Aceh ialah untuk
memperkuat barisan perjuangan Republik Indonesia di tempat
ini, bila Yogyakarta diserang dan diduduki oleh Belanda D
Ini berarti, bahwa Banda Aceh sebagai tempat kedudukan
para pejabat teras Pemerintah Pusat telah dipersiapkan untuk
melanjutkan peranan ibukota negara, Yogyakarta
Pihak Komando Divisi X TNI Sumatera telah menyiapkan
langkah-langkah, sehingga waktu Banda Aceh diserahkan tang-
gung jawab oleh Pemerintah Pusat untuk menggantikan Ibukota
maka perintah tersebut dapat dilaksanakan dengan sukses
Dan berdasarkan karakter serta sikap hidup rakyat daerah
ini maka tidak sukarlah Banda Aceh dipersiapkan sebagai calon
ibukota Republik Indonesia andaikata Yogyakarta dan Bukit-
tinggi tidak dapat dipertahankan, demikian diungkapkan A.G.
71
took4à™yzTi$rh^n'anNasionai di Bidan8 Bersenja,a- Meg°
190
Mutyara, bekas Kepala Penerangan TNI Divisi X Sumatera 8>
Pada masa dilancarkan Aksi Militer Belanda yang pertama
dan kedua, Aceh secara mengagumkan telah memperlihatkan ciri-
khasnya sebagai pejuang yang tidak kenal menyerah.
Tidak saja kaum lelaki, bahkan wanita-wanita pun turut
memanggul senjata, seperti Resimen Pocut Baren, dan lain-lain
sebagainya.
Penulis bangsa Belanda, Zentgraaff mengatakan, bahwa
peranan wanita Aceh dalam peperangan biasanya aktif sekali.
Mereka gagah berani, merupakan penjelmaan dendam-kesumat
terhadap Belanda yang tak ada taranya. Jika mereka turut bertem-
pur maka tugas itu dilaksanakannya dengan enerji yang tidak
mengenal maut. 9)

Senjata-senjata yang hilang di medan pertempuran ataupun


peluru-peluru yang habis tertembakkan segera diganti baru, dibeli
di luar negeri.
Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang bertualang di
pedalaman Sumatera, menjadikan Banda Aceh sebagai terminal
utama untuk menghubungkannya dengan Pemerintah Darurat di
Pulau Jawa dan dunia internasional.
Banda Aceh dijadikan pula sebagai pusat pemberitaan dan
pengiriman radiogram ke dalam dan ke luar negeri.
Pada masa itulah menonjol peranan Radio Republik In-
donesia Kutaraja dan Radio Rimba Raya.
Kedua pemancar tersebut merupakan corong atau mulut
Republik Indonesia yang berbicara kepada bangsanya dan kepada
bangsa-bangsa di dunia.
Pada masa itu kepercayaan tertumpah ke Aceh, karena Aceh,
sebagaimana diucapkan oleh Presiden Republik Indonesia Soekar-
no, merupakan modal perjuangan bagi Republik. 10>
Upaya Belanda melalui pembentukan negara Sumatera, kan-
das di tengah jalan karena Aceh menolak turut serta.
Ajakan Wali Negara Sumatera Timur supaya Aceh
mengirimkan wakilnya menghadiri musyawarah pembentukan
negara Sumatera di Medan ditolak dengan tegas melalui pemberi-
taan dalam siaran Radio Republik Indonesia Banda Aceh
beberapa hari setelah undangan resmi diterima Gubernur Militer
Aceh, Langkat dan Tanah Karo.
Dan akhirnya, pada tanggal 4 Agustus 1949, Banda Aceh
ditetapkan pula oleh Presiden Republik Indonesia menjadi tem-
pat kedudukan Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia.
8). A.G. Mutyara: Banda Aceh pernah berperan sebagai Ibukota Ri. makalah pada
Seminar Perjuangan Aceh di Medan 1976, h.l.
9) U.C. Zentgraaff: Aceh (terjemahan Aboe Bakar), Pen. Bena Jakarta 1983, h.78.

10) SMU Sardjono: Suka-duka Patriot Di dalam Rimba, dalam majalah


Angkasa/Pahlawan Jakarta No. 5 Thn. 1950, h. 192.

191
Semenjak proklamasi kemerdekaan Indonesia, Banda Aceh
selain menjadi ibukota Lunak/Kabupaten dan Kotamadya
berturut-turut berkedudukan sebagai ibukota Keresidenan Aceh'
ibukota Propinsi Sumatera Utara, pusat kedudukan Gubernur
Militer, ibukota Propinsi Aceh-I, tempat kedudukan Wakil Per-
dana Menteri Republik Indonesia, ibukota propinsi Aceh ke-II
dan akhirnya menjadi ibukota Propinsi Daerah Istimewa Aceh
hingga sekarang.
Pada awal kemerdekaan, Aceh merupakan salah satu
keresidenan dalam Propinsi Sumatera.
Residen pertama T. Nyak Arif menjalankan pemerintahan
bersama Komite Nasional Indonesia Daerah.
Ibukota Keresidenan Aceh ialah Banda Aceh.
Pada tahun 1948 terjadi perobahan susunan pemerintahan
di seluruh Pulau Sumatera.
Dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1948 bertanggal 15
April 1948, berhubung luasnya Pulau Sumatera, maka Propinsi
Sumatera dibagi menjadi tiga propinsi otonom.
Propinsi-propinsi dimaksud ialah Propinsi Sumatera Utara
meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli Pro-
pinsi Sumatera Tengah meliputi Keresidenan Sumatera Barat
Riau dan Jambi, Propinsi Sumatera Selatan meliputi Keresidenan
Bengkulu, Palembang, Lampung dan Bangka - Belitung
Gubernur dari ketiga Propinsi yang baru ini ialah para
Gubernur Muda dari 3 Sub Propinsi terdahulu, sedangkan pada
tingkat bekas Propinsi Sumatera dibentuk lembaga Komisariat
Pemerintah Pusat Sumatera dipimpin Komisaris Pemerintah
Pusat Mr. T. Muhammad Hasan, bekas Gubernur Propinsi
Sumatera.
,n^o U n t u k m e r e a l i s i r kandungan Undang-Undang No. 10 Tahun
1948, pada tanggal 13 Desember 1948 Pemerintah Propinsi
Sumatera Utara mengadakan rapat pemerintahan di Tapaktuan
Dipilihnya kota kecil yang terletak di pantai barat yang
terpencil itu, karena ditinjau dari segi keamanan dan untuk
memudahkan utusan-utusan dari Tapanuli dan Sumatera Timur
mencapainya.
Pembicaraan mengenai ibukota Propinsi yang muda itu
berlangsung dalam suasana perdebatan yang sengit.
Golongan pertama menghendaki agar Kutaraja (Banda Aceh)
ditetapkan sebagai ibukota, karena kota perjuangan ini memiliki
cukup persyaratan untuk kedudukan itu.
Golongan yang lain menghendaki agar Sibolga menjadi
ibukota, dengan mengemukakan alasan-alasannya pula.
Setelah pembahasan dilakukan dalam dua termijn, diadakan
pemungutan suara yang menghasilkan 14 suara menghendaki
Kutaraja (Banda Aceh), 7 suara mengusulkan Sibolga, sedangkan
anggota-anggota dari Front Demokrasi Rakyat tidak ikut memilih
192
karena telah lebih dahulu meninggalkan sidang sebagai sikap pro-
tes terhadap acara terdahulu.
Sesuai dengan hasil pemilihan tersebut maka Kutaraja (Banda
Aceh) lalu ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.
Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M. Amin dilantik oleh
Presiden Soekarno di pendopo Gubernuran Banda Aceh. pada
tanggal 19 Juni 1948.
Hanya satu tahun saja Undang-Undang No. 10 Tahun 1948
dapat berjalan.
Pada tanggal 16 Mei 1949 Pemerintah Darurat Republik In-
donesia ii). mengeluarkan Keputusan No. 21/Pem/PDRI,
menetapkan kedudukan dan tugas Gubernur Militer dalam
daerah-daerah militer 12).
Dalam keputusan tersebut ditetapkan bahwa dalam daerah-
daerah militer segala kekuasaan sipil dan militer dilakukan oleh
Gubernur Militer yang mempunyai tugas kewajiban (a) men-
jalankan pemerintahan sipil, dan (b) mengadakan tindakan-
tindakan dalam lapangan militer.
Ditetapkan pula bahwa pemerintahan sipil dalam
Keresidenan-keresidenan dijalankan oleh Dewan Pertahanan
Daerah atas nama dan bertanggung jawab kepada Gubernur
Militer sementara urusan militer dijalankan oleh Komandan atas
nama dan bertanggung jawab kepada Gubernur Militer pula.
Maka semenjak saat itu, kekuasaan sipil dan militer di daerah
ini berpunca dalam tangan Gubernur Militer.
Dengan berlakunya pemusatan kekuasaan tersebut, jabatan
Gubernur Propinsi dihapuskan.
Selanjutnya dengan Keputusan Pemerintah Darurat Republik
Indonesia No. 23/Pem/PDRI tanggal 17 Mei 1949, Gubernur
Sumatera Utara Mr. S.M. Amin diangkat menjadi Komisaris
Pemerintah Pusat untuk Sumatera Utara.
Bidang tugasnya ialah mengawasi dan memberi tuntunan
agar alat-alat pemerintahan, militer maupun sipil menjalankan
kewajiban menurut Peraturan-peraturan Negara dan instruksi-
instruksi Pemerintah Pusat.
Selain itu, Komisaris Pemerintah bertugas memajukan usul-
usul kepada Pemerintah Pusat dan anjuran-anjuran kepada
Gubernur Militer mengenai pertahanan dan pemerintahan.
Dalam urusan-urusan yang masuk kekuasaan Pemerintah
Pusat, Komisaris Pemerintah berhak dalam keadaan yang
mendesak mengambil keputusan sambil menunggu pengesahan

11). Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) memegang kekuasaan atas Wilayah
Republik Indonesia setelah ibukota Negara, Yogyakarta, diduduki tentara Belanda.
'2). Dengan Keputusan Wakil Presiden/Wakil Panglima Tertinggi No. 3/BKP/U/47tang-
gal 26 Agustus 1947, mulai tanggal tersebut Keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat
dan Kabupaten Tanah Karo ditetapkan menjadi Daerah Militer, dipimpin seorang
Gubernur Militer yang berkedudukan di Banda Aceh.

193
dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Pada masa itu, kekuasaan sipil dan militer untuk daerah
Aceh, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Tanah Karo
dipusatkan pada Gubernur Militer.
Pemerintahan sipil dijalankan oleh Dewan Pertahanan atas
nama dan bertanggung jawab kepada Gubernur Militer
Dewan Pemerintahan Keresidenan Aceh berkedudukan di
Banda Aceh diketuai Residen T.M. Daudsjah dengan anggota-
anggotanya bekas anggota Badan Eksekutif Dewan Perwakilan
Rakyat Sumatera Utara.

Dengan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti


Peraturan Pemerintah No. 8/Des/WKPM Tahun 1949, tanggal
17 Desember 1949, mulai tanggal 1 Januari 1950 dibentuk Pro-
pinsi Aceh, meliputi Keresidenan Aceh ditambah sebagian dari
Kabupaten Langkat.
Propinsi Aceh dengan ibukotanya Banda Aceh mempunyai
Dewan Perwakilan Rakyat terdiri dari 27 orang anggota, seorang
di antaranya warga negara keturunan China yang diangkat oleh
Presiden dan tiga orang calon yang diajukan.
Pembentukan Propinsi Aceh dimaksudkan untuk menyem-
purnakan dan melancarkan pemerintahan daerah dan berdasarkan
keinginan umum, sebagaimana ditulis pada konsiderans peraturan
tersebut.
Setelah selesai Konperensi Meja Bundar di Den Haag yang
dilanjutkan dengan pengakuan kedaulatan terhadap Republik In-
donesia Serikat oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, Propinsi Aceh
dicabut kembali.
Pencabutan itu mendapat reaksi keras dari berbagai lapisan
masyarakat Aceh, baik yang berada di daerah maupun yang
berada di perantauan.
Penolakan terhadap peleburan Propinsi Aceh ke dalam Pro-
pinsi Sumatera Utara yang makin bertambah meluas telah menim-
bulkan kesibukan di kalangan Pemerintah Pusat dan Pemerin-
tah Daerah.
Silih berganti para Menteri mengunjungi Banda Aceh untuk
menjelaskan makna peleburan itu, bahkan Wakil Presiden
Mohammad Hatta pun turut berusaha mengatasi sikap keras
pemimpin-pemimpin di Aceh.
Namun, setelah Perdana Menteri Mohammad Natsir tiba di
Banda Aceh, ia berhasil menggoalkan keputusan Pemerintah
Pusat tersebut dan Propinsi Aceh yang baru berusia 1 tahun
itupun dihapuskan kembali.
Aceh tunduk ke Propinsi Sumatera Utara, semuanya dipin-
dahkan ke sana, baik pegawai-pegawai maupun alat inventaris
pemerintahan.
Tak lama kemudian terjadilah pemberontakan yang berlarut-
194
larut bertahun-tahun lamanya, yang memusnahkan banyak harta-
benda dan menewaskan banyak manusia.
Peristiwa yang meletus pada bulan September 1953 itu
diakhiri pada tahun 1961, tanggal 17 Agustus pada saat Panglima
Kodam I/Iskandarmuda Kolonel Muhammad Yasin
mengumumkan Aceh kembali menjadi daerah yang aman, dari
Darulharb menjadi Darussalam. Akan tetapi pemimpin
pemberontakan tersebut, Tgk. Muhd. Daud Beureueh barulah
pada tanggal 9 Mei 1962 kembali ke pangkuan Republik
Indonesia.
Untuk mengakhiri pemberontakan yang telah menelan
banyak korban dan masih berlarut-larut, berbagai upaya oleh ber-
bagai pihak dilakukan, baik di daerah Aceh sendiri, maupun di
luar daerah.
Masyarakat Aceh di luar daerah mengikuti pergolakan itu
dengan sangat prihatin.
Di kota-kota seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakar-
ta dan lain-lain terdapat kegiatan-kegiatan untuk mencari jalan
sebaik-baiknya dalam upaya mengakhiri peristiwa menyedihkan
itu.
Laporan Komisi Parlemen yang telah selesai meninjau kea-
daan Aceh secara langsung dan usul mosi supaya diberikan pro-
pinsi otonomi untuk Aceh amat melegakan mereka, karena
dinilainya langkah tersebut merupakan salah satu cara yang besar
pengaruhnya terhadap pulihnya kembali keamanan.
Pada tanggal 17 Pebruari 1955 di Jakarta dibentuk Panitia
Putera Aceh Untuk Otonomi, yang bergiat memperjuangkan
sebuah propinsi otonomi bagi Aceh.
Panitia tersebut diketuai T. Alibasjah Talsya, dengan Wakil
Ketua Abutari, Sekretaris I Anwar Mahmud, Sekretaris II Sjar-
fini S, Bendahara H. Muhammad Hasan dan sejumlah pemuka-
pemuka masyarakat Aceh i3).
Dua hari setelah pembentukannya, Panitia menyampaikan
pernyataan kepada Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri,
Menteri Dalam Negeri dan Ketua Parlemen, meminta secepat
mungkin diberikan status Propinsi Otonomi bagi Aceh dan
memberikan isi yang bermanfaat di dalam wadah tersebut.
Kepada masyarakat Aceh diserukan supaya mewujudkan per-
satuan yang kukuh sebagai salah satu syarat terkabulnya tuntutan
tersebut.
Seruan itu mendapat sambutan luas dan simpatik dari ber-
bagai lapisan masyarakat Aceh.
Bahkan sambutan yang menggembirakan datang pula dari
luar negeri, di antaranya Negeri Belanda.
Komite Aceh yang beralamat Oude Rijn 27, Leiden pada
13) Keng Po Jakarta tanggal 21 Pebruari 1955 No. 2413.

195
tanggal 10 April 1955 menyurati Panitia Otonomi Untuk Aceh
mengemukakan gagasannya bagi pembentukan Propinsi Aceh.
Dalam surat yang ditandatangani Jakoub Djuly, T. Iskan-
dar dan T. Ubit Azhari itu, Komite mengharapkan otonomi bagi
Aceh dapat merupakan langkah untuk kesejahteraan rakyat
Aceh. 14).
Perjuangan yang sengit di dalam Parlemen yang ditunjang
oleh tuntutan-tuntutan dan desakan-desakan berbagai lapisan
masyarakat, akhirnya memberikan hasil.
Dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 ditetapkan
pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh.
Propinsi Aceh ke-II ini diresmikan pada tanggal 27 Januari
1957 di Banda Aceh, sekaligus dengan pelantikan Gubernurnya,
A. Hasj my.
Pada tanggal 23 Mei 1959 suatu Misi Pemerintah Pusat
dipimpin Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi mengunjungi Banda
Aceh.
Dalam serangkaian perundingan yang dilakukan Missi
dengan Komando Daerah Militer Aceh, Gubernur Kepala Daerah
dan Dewan Revolusi NBA/NII, dicapai persesuaian mengenai ber-
bagai masalah yang dihadapi.
Maka pada tanggal 26 Mei, Wakil Perdana Menteri I/Ketua
Missi Pemerintah ke Aceh mengeluarkan Keputusan No.
1/Missi/1969, yang menyatakan Daerah Swatantra Tingkat ke-I
Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh.
Peristiwa bersejarah itu berlangsung dalam suasana per-
saudaraan dan kerukunan di antara pihak-pihak yang terkait. Dan
untuk kesekian kalinya kota Banda Aceh tampil lagi sebagai pen-
tas sejarah yang akan menentukan pertumbuhan dan perkem-
bangan Daerah Istimewa ini di masa-masa mendatang.
Selanjutnya, kota yang langka tugu dan monumen ini pada
tanggal 18 sampai 21 Desember 1962 menyelenggarakan
Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, dihadiri oleh pemimpin-
pemimpin Aceh dan pemimpin-pemimpin nasional, baik yang
berada di Aceh ataupun Jakarta dan kota-kota lain seluruh
Indonesia.
Peristiwa yang telah menciptakan kembali ikatan per-
saudaraan dan kerukunan di tengah-tengah masyarakat Aceh ini
merupakan pula satu momentum sejarah bagi kota Banda Aceh
khususnya dan bagi masyarakat luas umumnya.,
Musyawarah itu telah berlangsung di tengah-tengah Biang
Padang Banda Aceh atas tiga landasan, sebagaimana diutarakan
Ketua Badan Penyelenggaranya Letkol Nyak Adam Kamil, yaitu:
Pertama: bahwa penyelesaian keamanan lahir (phisik) di
Daerah Istimewa Aceh telah dicapai sepenuhnya sesuai
14) Harian Tangkas Medan tanggal 30 Januari 1955 No. 659.

196
dengan pidato Panglima Kodam I/Penguasa Perang
Daerah pada tanggal 17 Agustus 1961 di Langsa;
Kedua : Bahwa policy Panglima Kodam I dalam penyelesai
an keamanan di Aceh bukan saja berlandaskan kepada
penyelesaian keamanan lahir, tetapi juga tercapainya
penyelesaian keamanan bathin;

Ketiga : Tujuan Musyawarah adalah mencapai kerukunan


yang positif bagi kehidupan dan persatuan sebagai lan-
dasan pembangunan daerah.

Dalam suasana yang agung itulah pada tanggal 21 Desember


1962, sebagaimana telah diungkapkan pada awal kisah ini, Guber-
nur Kepala Daerah Istimewa Aceh, A. Hasjmy, mengumumkan
bahwa nama ibukota Daerah Istimewa Aceh ini, Kutaraja, dikem-
balikan kepada nama asalnya: Banda Aceh.

KESIMPULAN

Tatkala Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tang-


gal 17 Agustus 1945, Rakyat Aceh yang tebal sekali rasa per-
musuhannya terhadap kolonialisme telah bangkit serentak dalam
gelombang jihad kemerdekaan itu dengan segenap kekuatan dan
segala kemampuan yang mereka miliki.
Setiap percobaan musuh kemerdekaan untuk kembali ke In-
donesia mereka tantang dengan gigih hingga berhasil baik dengan
serbaneka jenis senjata yang dipunyainya, antara lain berupa
senjata-senjata perang mutakhir yang dirampas dari militer
Jepang.
Kekuasaan dan kekuatan pasukan Jepang yang sedang
menanti kedatangan tentera Sekutu untuk menyerah mereka gem-
pur dan melumpuhkannya, sehingga tentera dan pembesar
pembesar Jepang meninggalkan Aceh sebelum Sekutu yng dinan-
tikannya sempat datang ke daerah ini.
Gagalnya rencana Belanda untuk datang kembali ke Aceh
dan terusirnya kekuasaan Jepang dari daerah ini adalah berkat
perjuangan mereka yang rela mengorbankan apa saja yang
dimilikinya untuk tetap teguh tegaknya Republik Indonesia yang
mereka cintai.
Tekad ini mendapat landasan berpijak yang makin teguh
karena ajaran Agama Islam yang mereka anut dan ta'ati menga-
jarkan, bahwa kewajiban membela Tanahair adalah sebahagian
daripada iman. Dan perjuangan mempertahankan Republik In-
donesia yang telah lahir itu adalah suatu jihad fi sabilillah yang
wajib mereka tunaikan.

197
Mulai dari kota sampai ke desa-desa hingga kepelosok yang
sangat terpencil sekalipun disusun badan-badan pemerintahan dan
barisan-barisan perjuangan, baik yang bersifat resmi kenegaraan
maupun barisan-barisan kelasykaran, dengan pimpinan pemuka-
pemuka masyarakat setempat.
Disamping A.P.I. (Angkatan Pemuda Indonesia), yang
kemudian menjadi B.K.R. (Badan Keamanan Rakyat), T.K.R
(Tentera Keamanan Rakyat), T.K.R (Tentera Keselamatan
Rakyat), T.R.I (Tentera Republik Indonesia) dan T.N.I (Tentera
Nasional Indonesia) berdiri pula barisan-barisan perjuangan
bersenjata seperti Divisi Rentjong, Divisi Teungku Tjhi' Di Tiro,
Divisi Teungku Tjhi' Di Paja Bakong, Hizbullah, T.R.I.p!
(Tentera Republik Indonesia Pelajar), T.P.I. (Tentera Pelajar
Islam) dan sebagainya.
Dasar dan program perjuangan dari semua badan-badan dan
barisan perjuangan tersebut ialah menegakkan Kemerdekaan
Republik Indonesia 100%, Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, Negara Kesatuan dari Sabang sampai Merauke dan
keta'atan atas pimpinan Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Pertempuran-pertempuran tiada putus-putusnya terjadi an-
tara barisan pertahanan Aceh melawan serangan-serangan dari
udara ataupun mematahkan gempuran-gempuran kapal-perang
dari lautan.
Bujukan Belanda supaya Rakyat Aceh jangan turut serta
dalam apa yang dinamakannya "gerakan extremist", dan hasutan
serta fitnah yang disalurkannya melalui surat-surat selebaran lewat
udara menjadi bahan cemooh Rakyat Aceh di setiap tempat dan
sesuntuk waktu.
Ajakan Belanda supaya Aceh memisahkan diri dari apa yang
mereka sebut "extremist-extremist di Pulau Jawa", telah menim-
bulkan perasaan marah dikalangan Rakyat Aceh yang garis ser-
ta tekad perjuangannya tidak hendak dipisah-pisahkan dengan
saudara-saudaranya di daerah lain di Indonesia.
Malahan ajakan Belanda yang disalurkan melalui Wali
Negara Sumatera Timur, Dr.T.Mansoer, supaya Aceh bersedia
menghadiri suatu permusyawaratan di Medan yang surat un-
dangannya ditujukan kepada Teungku Muhammad Daoed
Beureueh, Gubernur Militer Keresidenan Aceh, Kabupaten
Langkat dan Kabupaten Tanah Karo, tidak dihiraukan beliau.
Malahan pada saat-saat yang bersamaan pasukan-pasukan
Aceh telah melancarkan serangan-serangan gencar ke wilayah
Sumatera Timur, yang sempat mengucar-kacirkan pertahanan
Belanda dan mengacau-balaukan jalannya roda pemerintahan di
daerah tersebut.
Kemajuan-kemajuan yang dialami oleh gerakan militernya
diberbagai daerah tidak memuaskan hati Belanda, karena diu-
jung utara Pulau Sumatera masih terdapat sebuah daerah (ter-
198
ritorial) kekuasaan Republik Indonesia yang tidak tersentuh
samasekali, apalagi untuk mendudukinya, yakni Aceh.
Daerah ini, sepanjang penilaian mereka, bukan saja mam-
pu mempertahankan diri dari setiap percobaan agressinya, akan
tetapi merupakan pula suatu basis dimana digerakkan bala-
bantuan ke daerah lain.
Berbagai jalan dan daya-upaya ditempuh oleh pihak Belan-
da dan sekutu-sekutunya untuk melumpuhkan potensi Daerah
Aceh, antara lain dengan cara menghasut, taktik divide et im-
pera dan gertakan-gertakan militer.
Karena semua usaha menemui kegagalan, maka ditempuhlah
cara diplomasi dengan mengajak pemimpin-pemimpin Rakyat
Aceh supaya hadir dalam perundingan, seperti diutarakan di atas.
Tabung-tabung surat undangan yang dijatuhkan dari udara
di Kutaraja dan Takengon yang dialamatkan kepada Jenderal
Mayor Teungku Muhammad Daoed Beureueh, merupakan salah
satu daripada usaha diplomasi yang diduganya berhasil. Tetapi
karena sambutan yang diharapkannya tidak diperoleh, maka
dugaan mereka tidak mengenai sasaran.
Karena Daerah Sumatera Timur sebahagian telah diduduki
oleh tentera Sekutu (NICA), malahan di kota Medan telah pula
berhasil dibentuk lembaga pemerintahan kolonial yang teratur,
maka kesatuan-kesatuan angkatan bersenjata dan barisan-barisan
perjuangan Rakyat Aceh dikirim kesana berikut alat-alat
peperangan dan bahan-bahan kebutuhan, untuk membuka front-
front pertempuran.
Disekitar Medan Area dan berbagai front pertahanan di kota-
kota lain, juga didaerah-daerah pedalaman Sumatera Timur
ditempatkan kesatuan-kesatuan bersenjata dari Aceh, yang
dengan cara sendiri ataupun bersama-sama dengan barisan per-
juangan setempat melakukan perlawanan terhadap serangan
Belanda.
Sungguhpun kemudian dengan menempuh waktu yang pan-
jang pasukan Belanda dapat memperluas daerah kekuasaannya
di sana, tetapi ternyata peranan pejuang-pejuang dari Aceh telah
berhasil memperlambat gerakan-gerakan musuh.
Apabila pada masa itu Rakyat Aceh mengalihkan sebahagian
daripada potensi perangnya untuk Sumatera Timur, sampai-
sampai jauh diluar batas daerahnya sendiri, adalah atas kesadaran
bahwa tiap jengkal bumi Indonesia adalah Tanahairnya juga yang
wajib mereka bela dari setiap ancaman.
Daerah-daerah di Sumatera Timur, seperti Kabupaten
Langkat dan Kabupaten Tanah Karo yang dapat dipertahankan
dari pencaplokan tentera Belanda, kemudian digabungkan ke
Aceh, dalam Daerah Militer Istimewa, dibawah Gubernur Militer
Atjeh, Langkat dan Tanah Karo.
Daerah-daerah tetangga yang mengalami kesulitan, men-

199
dapat bantuan dari Aceh, misalnya dengan cara pengiriman
bahan-bahan pakaian, bantuan alat kebutuhan sehari-hari, beras,
hewan-ternak dan lain-lain.
Devisa di luar negeri, terutama di Malaya yang dihasilkan
oleh Daerah Aceh dari penjualan aneka-ragam hasil-buminya, di
samping menjadi modal untuk pembeli kelengkapan angkatan
perang serta alat kelengkapan pemerintahan umum, juga di sum-
bangkan untuk dana Pemerintah Pusat Republik Indonesia bagi
kepentingan-kepentingan nasional menyeluruh, terutama untuk
kebutuhan-kebutuhan perjuangan diplomasi di luar negeri.
Dalam tahun 1948 secara riel Rakyat Aceh telah menyum-
bang dua buah pesawat udara kepada Negara untuk dipergunakan
oleh Angkatan Udara Republik Indonesia dalam melancarkan
operasi dan kegiatan pertahanan serta tugas-tugas perjuangan
seluruhnya.
Ternyata kemudian, bahwa kedua pesawat terbang itu telah
merupakan alat yang sangat penting dalam perjuangan
kemerdekaan kita di luar negeri. Berkat hasil-hasil yang diperoleh
oleh pesawat terbang SEULAWAH itu, maka biaya Perwakilan-
Perwakilan Republik Indonesia telah dapat diatur dengan baik.
Menjelang Pemberontakan P.K.I. pertama tahun 1948 yang
terkenal dengan Pemberontakan P.K.I. Madiun, kaki-kaki
tangannya pelarian Sumatera Timur, telah pernah mengadakan
kegiatan-kegiatan untuk menarik Daerah dan Rakyat Aceh ber-
simpati pada pemberontakan itu.
Kegiatan yang tersembunyi dan aksi terang-terangan di
lakukan oleh gembong-gembong P.K.I Sumatera Timur yang
secara tidak bermoral berlarian dari daerahnya sendiri, mening-
galkan rakyat disana diperkosa oleh serdadu-serdadu Nica dan
terbirit-birit mencari perlindungan ditempat aman di Aceh.
Rakyat Aceh menyambut berita tentang pemberontakan itu
dengan kutuk yang sekeras-kerasnya. Disamping tantangan-
tantangan langsung yang diunjukkannya, Rakyat Aceh dengan
tegas menghukum pemberontakan tersebut sebagai pengkhianatan
besar yang tiada ampun.
Berbagai perlembagaan dan organisasi di Aceh yang mem-
punyai induk yang melibatkan diri kedalam pemberontakan Ma-
diun serentak melepaskan dirinya dari ikatan pusat dan
menyatakan berdiri sendiri.
Pesindo Aceh yang mempunyai sejarah gemilang dalam per-
juangan mempertahankan kemerdekaan di wilayah ini dan
Sumatera Timur, selain memutuskan hubungan dengan Pesindo
Pusat yang telah memihak pemberontak, juga secara frontaal
memberikan tantangan terhadap gembong-gembong P.K.I
berselimut di Aceh.
Pada masa Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, direbut
Belanda dan Presiden Soekarno serta pemimpin-pemimpin lain-
200
nya ditawan atau menyingkir kepedalaman, pihak Belanda
menganggap peristiwa itu suatu kemenangan besar yang akan
mempercepat tumpasnya Republik Indonesia.
Dimana-mana dipropagandakannya, bahwa Republik In-
donesia telah jatuh, Republik telah habis dan kini Pemerintah
Belanda akan memasuki fase-fase normalisasi.
Mungkin berita itu dapat mempengaruhi banyak orang di
mana-mana, oleh karena memang telah banyak daerah-daerah
Republik yang dikuasai Belanda.
Akan tetapi propaganda itu tidak dapat mempengaruhi
pejuang- pejuang di Aceh, karena mereka tidak mau melihat
Republiknya hancur.
Soekarno boleh ditawan, Yogya boleh jatuh ke tangan
musuh, akan tetapi Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
tidak bisa ditawan dan tidak bisa dijatuhkan.
Rakyat Aceh yang sejak semula telah mencetuskan sum-
pahnya untuk menunaikan missi suci membela Republik Indonesia
ini dengan jihad fi Sabilillah, saat inipun sumpah itu diamalkan-
nya secara konsekwen, biarpun ibukota tak ada lagi, biarpun
Kepala Negara tak ada lagi.
Ketika itu, bersama-sama dengan Pemerintah Darurat
Republik Indonesia yang diketuai oleh Mr.Sjafruddin
Prawiranegara, dan bersama-sama rakyat Republikein diberbagai
tempat, Rakyat Aceh memperlihatkan kemampuan dan
keperwiraannya.
Menjadilah kala itu Aceh sebagai suatu sumber dimana setiap
langkah dan gerak perjuangan diatur.
Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia Mr.Sjafrud-
din Prawiranegara kemudian berkedudukan di Aceh, Panglima
Tentera Territorial Sumatera, Kolonel (kemudian Letnan-
jenderal) Hidajat, Pimpinan Komando Angkatan Laut Mar-
tadinata, Pimpinan Komando Angkatan Udara Sujoso dan
pemimpin-pemimpin tertinggi Republik lainnya berkedudukan di
Kutaraja (Banda Aceh).
Selain mengatur dan menggerakkan operasi-operasi militer,
dari Aceh pula dimatangkan bahan bahan bagi kepentingan per-
juangan diplomasi di luar negeri.
Melalui Pemancar Radio Perdjuangan yang dimilikinya,
dengan kapal-kapal layar ataupun perahu-perahu yang setiap saat
terancam patroli Angkatan Laut Belanda, dikirimkan dari Aceh
instruksi-instruksi dan bahan-bahan perjuangan kepada
Perwakilan- Perwakilan Republik Indonesia diluar negeri, antara
lain kepada Dr.Soedarsono dan Lambertus Nico Palar
Gelar kehormatan yang diberikan kepada Aceh sebagai
DAERAH MODAL REPUBLIK INDONESIA, adalah ber-
sumber pada perjuangan Rakyat Aceh dari masa ke masa yang
mencapai puncak dalam Revolusi Kemerdekaan ini.
201
Selanjutnya, kesetiaan Rakyat Aceh terhadap Republik In-
donesia yang dicintainya telah pula dibuktikan dengan sungguh-
sungguh ketika terjadi Pemberontakan P.K.I. pada tahun 1965
Sebelum pemberontakan itu terjadi, Comité P.K.I. Aceh dan
orang-orang yang sengaja dikirim ke daerah ini dari pusatnya
telah bekerja keras untuk menggerakkan aksi-aksi rahasia dan
aksi-aksi terbuka, hendak menyeret Aceh ke dalam kancah
pemberotakan itu.
Mereka melakukan pengacauan di dalam berbagai badan
pemerintahan, mengadakan hasutan-hasutan di tengah-tengah
ketenangan masyarakat, menyampaikan fitnah-fitnah berbisa
kepada Pemerintah Pusat dan meniup-niupkan issu untuk melum-
puhkan potensi Republik Indonesia di daerah ini.
Tetapi berkat kewaspadaan Pemerintah dan Rakyat, maka
aksi G.30.S P.K.I. dapat dipatahkan dalam waktu singkat.

202
Banda Aceh Sebagai Pusat
Pemerintahan Kesultanan Aceh
OLEH
HAJI MOHD. SAID
DRS. ANAS MAHMUD

1. PENGANTAR.
Pokok-pokok pikiran yang tertuang dalam makalah mi
disarikan dari hasil pertemuan dengan Bapak H.M.Said yang kita
harapkan bersama dapat mengikuti Seminar kita ini. Panitia
dalam hal ini Panitia Pengarah menugaskan saya membantu
beliau disebabkan usia beliau yang sudah lanjut dan kesehatan
sering terganggu untuk membantu Bpk.H.M.Said merekam pem-
bicaraan dan menuliskannya kalau perlu mengedit untuk jadi
makalah.
Saya sangat berbahagia menerima tugas itu dan telah
melakukan pertemuan-pertemuan dengan beliau pada akhir bulan
Februari 1988. Pada pertemuan pertama saya mengantarkan
Bpk.Tuanku Abd.Jalil ke rumah beliau di Sungai Buluh lk. 50
Km dari Medan. Beliau dengan penuh semangat menyatakan akan
turut seminar ini. "Memang saya baru keluar dari perawatan
rumah sakit, tapi untuk Aceh saya akan tetap bersemangat dan
akan sehat serta ikut bersama Sdr.Sdr. berseminar, begitu antara
lain kata beliau.
Demikian besar minat beliau untuk membicarakan Kota Ban-
da Aceh ini sehingga tiap pertemuan dan diskusi tentang Banda
Aceh beliau selalu segar dan gembira, malahan beliau pada tang-
gal 1 Maret yang lalu sengaja ke Jakarta untuk mengambil bahan-
bahan yang ada di rumah beliau di Jakarta. Sekembali dari Jakar-
ta saya datang lagi tanggal 15 Maret 1988 seperti yang sudah kami
janjikan semula, ternyata Bpk. M.M.Said sakit. Rupanya
bepergian jauh ke Jakarta itu belum sanggup dan di Jakarta Pak
Said sakit. Beliau menyerahkan kepada saya bahan-bahan foto
copy: "Critisch Overzicht van De In Makeische Werken Vervatte
Gegevens Over De Geschiedenis van Het Soeltanaat van Aceh
tulisan Prof.DR.Hoesein Djajadiningrat, beserta beberapa lem-
bar copy lain. Pada waktu itu beliau menyatakan bahwa kesehatan
beliau tidak mengizinkan berangkat ke Banda Aceh dan saya pun
tidak ingin banyak menyita waktu istirahat yang waktu itu sangat
beliau perlukan nampaknya.
Walaupun beliau tidak dapat datang bersama kita hari ini
saya sampaikan pokok-pokok pikiran beliau yang saya anggap
sangat bernas dan bersemangat serta perlu mendapat perhatian
kita semua.
203
2. Masalah pertama yang perlu dirumuskan ialah kriteria lahir-
nya suatu kota bagi menetapkan hari lahir Kota Banda Aceh ini.
Hal itu tidak perlu diartikan kapan baru kota itu disebut atau
di beri nama yang sekarang. Misalnya Kota Banda Aceh tidak
lahir setelah kota ini diberi nama "Banda Aceh", ibarat nama
orang ketika lahir belum bernama, kemudian diberi nama dan
setelah dewasa mungkin saja diberi gelar atau sebutan sesuai
dengan umur atau kedudukannya.
Pusat pemerintahan sebagai ciri kota di Indonesia juga harus
hati-hati dipergunakan, sebab pada masyarakat kita dulu pemim
pin sekelompok orang dapat saja disebut raja dalam berbagai
sebutan. Di Tanah Batak misalnya ada saja yang disebut "Raja
Huta" yaitu orang yang dituakan di desa itu. Begitu pula di Aceh
ini "Meurah", "Pohcut" atau sebutan lain yang berkedudukan
di satu tempat malahan sebenarnya pada semua tempat ada yang
disebut "Peutua."
3. Disamping ada penguasa (Raja, Sultan) sekurangnya sudah
ada hubungannya dengan pihak lain, misalnya bangsa-bangsa
asing (Arab, Cina, India) atau kerajaan lain. Kata "Peukan
Aceh" itu belakangan yang berarti pasar tempat umum berjual
beli. Jauh sebelum ada sebutan Peukan Aceh kegiatan perniagaan
itu sebenarnya sudah ada sebab kegiatan seperti itu dulu terutama
dengan bangsa lain dilakukan oleh raja atau orang suruhan raja.
Tentang itu dapat dibaca tulisan van leur Indonesia Trade and
Society, yang telah pula disadur Prof. D.H.Burger,
Prof.Dr.Prayudi dengan judul Sejarah Ekonomi Sosiologis
Indonesia.
Melihat letaknya yang sangat strategis di ujung pulau
Sumatra dikaitkan dengan munculnya pelayaran Cina-India se-
jak Abad Pertama Masehi bukan tidak mungkin sebuah kota telah
muncul ditempat yang sekarang ini Banda Aceh. Penelitian masih
perlu dilakukan sebab berita-berita luar tentang Aceh sebenar-
nya sama tuanya dan kemungkinan lebih tua dari Sriwijaya.
Sumber-sumber Cina menyebut Poli, Ta Che, Kan To Li kemu-
dian sumber-sumber Arab Persia menyebut Rami, Ramni, Al
ramni, Lamri, Lamuri. Penelitian Sejarah Aceh Pra-Islam sangat
pentinfc .dilakukan baik dalam kaitan penelitian hari jadi Banda
Aceh ini maupun dalam hubungan lain.
Latar belakang "Budaya politik", "budaya agama", budaya
sosial, malahan filsafat serta sikap dan prilaku hidup masyarakat
di daerah ini akan banyak diungkapkan dengan penelitian seper-
ti itu. Ketiadaan sumber-sumber tertulis ierupa prasasti dalam
tulisan yang utuh aksara Pallawa atau Pra Nagari, begitu pula
tidak ditemukan lagi candi yang utuh Hindu - Budha sebenarnya
tidak perlu terlalu merisaukan. Hapusnya sumber-sumber sejarah
seperti itu mungkin gejala yang timbul belakangan, sebab
sekarang kita masih dapat menandai berbagai hal seperti "Indra

204
Patra", "Indra Puri" yang dahulunya mungkin benteng-benteng
kerajaan Aceh yang sudah sangat tua dari zaman Pra Islam. Kalau
demikian halnya apakah tidak mungkin "Aceh" satu kerajaan
yang merdeka yang tidak tunduk pada Sriwijaya. Ekspedisi Ra-
jendra Cola pada abad XI ternyata mendapat tantangan yang
hebat dari Lamuri Desa walau pun sebelumnya Sriwijaya sudah
dihancurkannya dan rajanya sudah ditawan (1030).

4. Ada saja kemungkinan kita terbawa arus perasaan dalam


menetapkan hari jadi Kota Banda Aceh ini oleh kebanggaan
menetapkan sebagai kota tertua di Indonesia hal itu tidak salah
jika fakta yang mendukung dapat dipertanggung jawabkan. Bagai
manapun serangan Cola pada permulaan Abad XI memberi lan-
dasan yang kuat terkristalisasinya masyarakat Islam yang lebih
kuat di daerah ini dan tidak mengherankan jika bukti-bukti se-
jarah sesudah itu memerintah sultan-sultan Islam di Aceh. Jauh
sebelum itu masyarakat Islam sudah ada di Aceh dan daerah ini
telah di datangi orang-orang Islam sejak Abad Pertama Hijriah
atau Abad VII Masehi. Peninggalan-peninggalan makam-makam
raja di berbagai tempat tersebar di Banda Aceh dan sekitarnya
membuktikan Sultan Johan Syah yang beragama Islam telah
memerintah pada 601-631 Hijriah. Pengkajian terhadap sumber-
sumber dalam negeri itu yang dilakukan oleh Prof.DR.Hoesein
Djajadiningrat telah beliau tulis dalam judul Critisch Overzicht
van de Maleische werken vervatte De Geschiedenis van het
Soeltanaat van Aceh (1911) dan berhasil menyusun kronologi
Sultan. Sultan yang memerintah pada permulaan Kesultanan Aceh
itu:
1. Johan Syah (601-631 H
2. Ri'ayat Syah (Sultan Ahmad) 631-665 H
3. Mahmud Syah membangun kota Darud Dunya 665-708 H
4. Firman Syah 708-755 H
5. Mansur Syah 755-811 H
6. Ala'uddin Johan Syah (Raja Mahmud) 811-870 H
7. Husein Syah 870-901 H
8. 'Ali Ri'ayat Syah 901-917 H
9. Salahuddin 917-946 H
10. Ala'addin 946-975 H
Dari daftar nama-nama Sultan itu tidak banyak kesukaran
lagi meneruskan silsilah Sultan-sultan yang memerintah
Kesultanan Aceh sampai Sultan yang terakhir Sultan Alaidin
Muhammad Daud Syah yang mangkat dipembuangan tahun 1939.
Baik sumber dalam negeri seperti Hikayat Aceh dan Bustanus
Salatin maupun catatan-catatan bangsa asing cukup luas tentang
pemerintahan Sultan-Sultan Aceh.

205
5. Teks dan Konteks dalam sumber-sumber sejarah Aceh baik
dalam mempergunakan sumber dalam negeri seperti Hikayat Aceh
dan Bustanussalatin maupun catatan catatan asing yang datang
ke Aceh perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.
Seorang yang sangat berjasa membahas karya-karya sastra di ran-
tau ini R.O.Winstetd memperingatkan karakteristik sumber
sastra-sastra lama itu banyak mengacaukan hal-hal yang
berhubungan dengan tempat, waktu dan kebenaran sejarah
(R.O.Winstedt, A History of Classical Malay Literature, 1958).
Bagaimana persepsi penulis-penulis kita pada masa klasik itu serta
hubungan antara mitos dan realitas telah pula dibahas oleh
A.H.Johns (Anthony Reid and David Marr, Perception of the
Past in Southeast Asia, 1979). Dalam tulisan itu telah dikutip pem-
bahasan Teuku Iskandar tentang Hikayat Aceh.
Bagaimanapun kelemahan-kelemahan berbagai sumber
namun sumber sejarah tetap sumber sejarah yang menghendaki
penafsiran dengan pemikiran yang jernih. Adanya berbagai mitos
dalam penulisan klasik bukan hanya terdapat pada bangsa kita,
Homerus dan Vergilius yang menulis sumber untuk Eropah
kunoa (Yunani dan Romawi) tidak luput dari mitologi itu.
Penulis-penulis catatan bangsa Eropah tentang Aceh seperti
Laksamana Beaulieu (1620), Tome Pires (Suma Oriental), William
Marsden (The History of Sumatra), Jhon Anderson (Acheen) ten-
tu mempunyai kelemahan lain pula. Titik perhatian yang deskrip-
tif pada masa itu jelas luput dari pertimbangan-pertimbangan
historis yang utuh. Mereka hanya mencatat hal-hal yang penting
baginya.
Yang penting bagaimana mempergunakan sumber sebagai
sumber dan sejarah Aceh memiliki sumber yang kaya jauh lebih
kaya dari sumber sejarah daerah-daerah lain di Indonesia. Yang
perlu dikerjakan sesungguhnya bukan hanya sekedar membalik-
balik sumber atau menelaah teks pada sumber melainkan menem-
patkan cerita sumber itu pada konteks sejarah Aceh secara
keseluruhan.
Membicarakan sejarah pemerintahan Kesultanan Aceh secara
terpisah dari berbagai segi kehidupan lain seperti perdagangan,
penyiaran agama atau dakwah, kesenian dan kebudayaan sesung-
guhnya adalah mustahil. Pemisahan itu akan menghancurkan
keutuhan sejarah menjadi bahagian-bahagian yang tak berarti
malahan salah arti. Begitu pula memisahkan sejarah Aceh dari
perkembangan sejarah Nasional, regional dan internasional tidak
mungkin, sebab peran kesultanan Aceh itu baru akan terlihat
secara utuh dalam sejarah dalam kaitannya dengan sejarah na-
sional, regional (Asia Tenggara dan dunia Internasional).
6. Seminar ini selain menetapkan hari jadi Kota Banda Aceh juga
bermaksud membahas perkembangannya dari masa ke masa. Hal
itu dimaksudkan sebagai dirumuskan panitia dalam tema seminar:

206
"....sebagai sumber munculnya kesadaran sebagai warga kota dan
warga negara yang baik."
Kesadaran adalah bentuk paling tinggi dalam kehidupan manusia
dan bagi warga kota Banda Aceh adalah modal dasar yang tak
dapat diingkari bagi pembangunan masa yang akan datang.
Dengan kesadaran kita berkreasi kita berpikir apa yang baik bagi
kota kita dan negara serta bangsa kita. Satu hal yang tak boleh
kita lupa bahwa kita sekarang berpikir mulai dari lingkaran
kosong. Kita berpikir sebagai langkah lanjut jalan pikiran nenek
moyang kita pada masa silam. Mengkaji sejarah memang mem-
bicarakan apa yang telah dilakukan orang. Semua dilakukan
orang pada masa lampau itu kita sebut pengalaman. Pengalaman
menurut Collingwood tak lain dari pengalaman pemikiran
manusia. (Idea of History, Oxford, 1946). Kita sekarang melihat
benda-benda berupa monumen seperti komplek berbagai pusara
Sultan-Sultan (Kandang, Dekat Istana dll), Gunongan dan
bangunan lain yang ada di sekitarnya. Namun apa sebenarnya
"keberadaan" benda-benda itu bagi masyarakat sekitarnya. Jika
dulu lonceng Cakra Donya punya arti bagaimana kita sekarang
dapat memberi arti.
Berbagai benda kita kumpul di Museum Aceh yang megah
itu semua itu baru ada artinya dalam hubungannya dengan
manusia sekitarnya dalam bentuk kesadaran yang sebebas-
bebasnya selaku manusia yang utuh. Kesadaran akan
kemerdekaan, kebebasan, kebersamaan telah mengilhami
kreativitas Sultan-Sultan Aceh pada zaman dulu. Kesultanan Aceh
tumbuh dan berkembang secara pesat sebagai jawaban terhadap
ancaman kolonialisme Portugis terhadap kemerdekaan,
kebebasan dan kebersamaan itu. Itulah sebabnya mengapa sejarah
Aceh dapat dibedakan antara masa pemerintahan Sultan-Sultan
sebelum dan sesudah Abad XVI. Sebelum Abad itu ancaman
terhadap kemerdekaan itu tidak ada, sehingga jawaban Aceh
dalam interaksi terhadap wilayah sekitarnya juga biasa-biasa sa-
ja, tetapi setelah ancaman terhadap kemerdekaan dan kebersa-
maan itu terancam Portugis sejak menduduki Malaka 1511
kesadarannya muncul dalam bentuk kejuangan memberi perlin-
dungan pada kebebasan perdagangan di Asia Tenggara. Run-
tuhnya Bandar Melaka ketangan Portugis membangkitkan Ban-
da (R) Aceh Darussalam yang mampu memberi perlindungan
kedamaian dan kesejahteraan.
Kekerasan dan peperangan bukanlah sesuatu yang tidak
berimbangan dengan kelemah lembutan. Keindahan dan kegairah
an hidup masa pemerintahan Sultan-Sultan Aceh masih tersisa
pada monumen "Gunongan" dan "Pinto Khob" yang dewasa
ini Isnya Allah masih terpelihara dengan baik. Lukisan sehibut
tarikh dari zaman itu tentang taman gairah yang pintunya
menghadap keistana yang demikian indah disebut Pintu Biram

207
Indrabangsa. Di taman yang penuh dengan bunga aneka warna
ada sungai, ada danau, air terjun, sebuah pulau buatan yang
dinamakan "Pulau Sangga Marmar". Pada pulau itu ada peman-
dian yang dinamakan "Sangga Sumak" yang berisi air mawar.
Satu hal yang orang jangan lupa bahwa dalam taman itu ada
mesjid yang indah yang dinamai "Isyki Musyahadah" yang sangat
indah. Lukisan taman gairah yang lepas dari konteksnya dapat
memberi tafsiran keliru. Dari sumber yang lengkap akan terlihat
unsur unsur keindahan alam (sungai, air terjun, danau buatan,
pemandian, bermacam ikan, bunga-bungaan) yang memancarkan
kegairahan hidup duniawi. Tetapi kita jangan lupa bahwa disana
juga ada tumbuh-tumbuhan yang memberi kehidupan, bermacam
buah-buahan, nyiur, pisang dan berjenis buah-buahan lain lam-
bang kemakmuran. Dua tempat lain yang penting ialah balai dan
tempat perenungan dan akhirnya mesjid tempat segalanya
diserahkan kepada Allah SWT. (Raden DR.Hoesein Djajadin-
ingrat, De stichting van het "Goenongan" geheeten monument
te Koetaradja, Weltevreden, Juni, 1916).

7. Pemerintahan Sultan-Sultan Aceh yang didasarkan pada


ajaran-ajaran Islam sering disalah artikan secara sempit. Lukisan
pikiran seolah Aceh tertutup bagi berbagai pihak adalah anggapan
yang paling keliru. Jika orang meneliti deretan nama Sultan-
Sultan Aceh akan terlihat hubungan yang demikian luas dengan
berbagai daerah di Nusantara. Hubungan dengan keturunan
Minangkabau, Johor, Makassar atau Bugis. Begitu pula tentang
pembesar-pembesar negeri terbuka bagi semua pihak di dasarkan
pada kemampuannya, tidak pandang turunan malahan ada Arab
ada pula India.
Betapa mesranya hubungan Aceh dengan Cina dapat dilihat
dari berbagai hadiah yang diterima dari negeri Cina. Kebebasan
Cina dalam perdagangan di Asia Tenggara sungguh terganggu
dengan monopoli Portugis sejak Melaka jatuh kepada mereka
1511. Lonceng besar yang disebut Cakra Donya adalah lambang
kebebasan dan kebersamaan antar bangsa yang pada masa lam-
pau hidup di kota Banda Aceh ini.
Hubungan yang tidak baik dengan Portugis dan Belanda
bukan didasarkan perbedaan agama melainkan masalah politik,
kekuasaan, masalah kemerdekaan dan kedaulatan Aceh yang
dilanggar kedua bangsa itu. Dalam masa-masa yang baik
hubungan saling menghormati dapat dikembangkan. Malah Aceh
mengirim dutanya ke negeri Belanda. Hubungan dagang yang
bebas dan saling menghormati dapat dilakukan dengan berbagai
bangsa untuk kemajuan negeri.
8. Unifikasi kekuatan disepanjang wilayah pelayaran Selat
Melaka dan pantai Barat Sumatera salah diartikan sebagai
penaklukan Aceh yang lepas dari hubungan percaturan politik
208
dan kekuatan regional waktu itu. Sultan Ali Mughayat Syah
memulai menyatukan wilayah tersebut sejak dari Pidie, Pasei
(1521). Selanjutnya wilayah Sumatera Timur yang waktu itu
diperintahi kerajaan Aru. Peristiwa itu erat hubungannya dengan
Hikayat Putri Hijau Ratu atau Putri Aru yang menentang maksud
Sultan Aceh (Tengku Luckman Sinar, SH, Sari Sejarah Serdang,
1971).
Unifikasi ini tidak akan dapat kita pahamkan jika terlepas
dari situasi internasional yang berlaku waktu itu. Kita semua tahu
latar belakang Portugis menjelajahi jalan laut ke Nusantara. Hal
itu berpangkal dari kebangkitan Turki Osmani yang merebut
Konstantinopel 1453 kemudian mengancam jantung Eropa sam-
pai kedepan gerbang kota Wina. Peristiwa itu sebenarnya adalah
titik balik dari ancaman Eropah dalam Perang Salib yang
dikobarkan Paus Urbanus II dan pecah pada 1096-1291.
Ancaman Turki Osmani ke Eropah dan kemenangan orang-
orang Spanyol Portugis di Semenanjung Iberia itulah yang men-
dorong Paus Julius II merestui perjanjian Thordessilas antara
Spanyol dan Portugal untuk membagi wilayah dunia atas dua
bahagian, belahan barat untuk Spanyol dan Timur untuk Por-
tugis dihitung dari garis bujur Verde membelah Lautan Atlan-
tik. Perjanjian kedua negara itu berlangsung 7 Juni 1494 dan men-
dapatkan penyucian Paus dengan Bui tertanggal 24 Juni 1506.
Strategi perang Portugis ialah memutus kekuatan Turki dari
sumber ekonomi perdagangannya dengan menduduki bandar-
bandar dagang di India dan Asia Tenggara. Dengan monopoli
dagang yang jauh ke tangan Portugis itu Turki akan kehilangan
daerah juangnya. Oleh sebab itulah, Portugis menduduki Diu di
Teluk Persia, Goa di India, Melaka di Selat Melaka. Setelah
mengenal situasi rempah-rempah sumber dagang terpenting yaitu
cengkeh dan pala dari Maluku (Indonesia Timur), lada dari
Sumatera, Jawa Barat dan Semenanjung Melaka, maka usaha
Portugis sesudah menduduki Melaka ialah menguasai Maluku,
Sunda Kelapa dan Aceh.
Hubungan Aceh dengan daerah pesisir Timur dan Pesisir
Barat Sumatera kemudian hubungan Aceh dengan Turki sejak
pemerintahan Al Qahar hendaknya kita pahamkan dari sudut
yang lebih luas, yaitu menghimpun kekuatan melawan Portugis.
9. Pada Abad XVII masih ada tiga pelabuhan di Indonesia yang
merdeka dari pengaruh asing yaitu Aceh, Makassar dan Banten,
tetapi dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Maetsuyker, kemu-
dian Rijklof van Goens (1678-1681) dan Cornelis Speelman
(1681-1684) Makassar dan Banten kehilangan kedaulatannya.
Sebaliknya pada masa itulah Aceh berada pada puncak kebesaran-
nya sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda Maharaja Dhar-
ma Wangsa Tun Pangkat 1607-1636 serta pengganti-

209
penggantinya. Masa sesudah Iskandar Muda dan Iskandar Sani
(1636-1641 diikuti dengan fluktuasi kekuasaan Sultan-Sultan Putri
dan Sultan-Sultan yang tak mampu melanjutkan unifikasi wilayah
Aceh dengan daerah sekitarnya. Walaupun mengalami
desintegrasi. Namun kedaulatan Aceh masih tetap berlaku sam-
pai permulaan Abad XX. Keadaan yang demikian tidak pula luput
dari pengaruh keadaan politik serta perimbangan kekuatan
internasional.
Putusnya urat nadi perdagangan Islam secara berangsur-
angsur sejak permulaan Abad XVI sangat melemahkan Turki.
Pada abad XIX Turki tidak lagi diperhitungkan dalam percaturan
politik dunia. Perancis dan Inggris serta Rusia muncul sebagai
negeri yang berpengaruh begitu pula Ustria. Tetapi Russia dan
Ustria bukan negara yang memiliki kekuatan maritim yang
mengancam kekuasaan dunia. Akhirnya hubungan Inggris dan
Belanda dalam Convention of London, (1814), Treaty of Lon-
don (1824), Treaty of Sumatra 1878 sangat menentukan
kedudukan Kedaulatan Kesultanan Aceh.
Namun demikian sampai saat terakhir Aceh tidak pernah
menyerahkan kedaulatannya pada Belanda, sehingga Sultan Aceh
yang terakhir mangkat di pembuangan pada tahun 1939.
10. Dari pokok-pokok pikiran yang dikembangkan dalam
makalah ini jelas bahwa Sejarah Kesultanan Aceh tidak dapat
dipisahkan dari konteks kejuangannya. Banda Aceh adalah kota
perjuangan dan lambang perdamaian. Hanya orang yang mengerti
Sejarah Acehlah yang dapat memahami pikiran-pikiran orang-
orang Aceh yang demikian terbuka, penuh energi berjuang un-
tuk kemerdekaan, pantang menyerah, cinta persatuan dan rela
berkorban apa saja demi persatuan itu. Sultan-Sultan dapat
berperang dengan kekuatan senjata tetapi dapat pula berunding
dengan kehalusan budi. Dibalik itu semua kita mendambakan
keindahan dan kegairahan hidup seperti dilambangkan kisah ahli
tarikh tentang Taman Gairah yang menghiasi istana Aceh
Darussalam:
"Syahdan adalah pertemuan dewala Taman Ghairah itu,
yang pada sungai Daru'1-iski itu diturapnya dengan batu Pan-
cawarna, bergelar tebing Sangga Safa. Dan adalah kiri kanan teb-
ing itu arah kehulu dua buah tangga batu hitam, diikatnya dengan
tembaga seperti emas rupanya. Maka adalah disisi tangga arah
kekanan suatu batu mengampat bergelar Tunjung Indrabangsa.
Diatasnya suatu batu delapan segi seperti peterana rupanya.
Disanalah tempat Halarat yang Mahamulia semayam mengail.
Dan disisinya itu sepohon beraksa terlalu rampak rupanya seperti
payung hijau".
Demikian, terima kasih, semoga Banda Aceh meneruskan
keindahan dan memberikan kehijauan yang sejuk sepanjang
masa. Terima kasih.

210
Banda Aceh Sebagai Pusat
Pemerintahan Kesultanan
Aceh
OLEH
DRS. ZAKARIA AHMAD
DRS.MUHAMMAD IBRAHIM
MASYARAKAT SEJARAHWAN INDONESIA
(M.S.I) CABANG BANDA ACEH
I

Dalam usaha Walikota Kotamadya Banda Aceh men-


dapatkan data sejarah yang berkaitan dengan "HARI JADI
KOTA BANDA ACEH", maka dicetuskanlah ide mengadakan
seminar yang sedang berlangsung ini. Kepada M.S.I. (Masyarakat
Sejarawan Indonesia) Cabang Aceh yaitu sebuah organisasi Pro-
fesi Sejarawan diminta untuk menyumbangkan dua buah
Makalah yang masing-masing berjudul :
- Banda Aceh sebagai Pusat Pemerintahan.
- Banda Aceh sebagai Pusat Perlawanan terhadap Imperialisme
(Penjajahan).
Makalah tersebut akan disampaikan oleh Ketua Umum dan
Ketua I M.S.I. yaitu Sdr. Drs.Zakaria' Ahmad dan Sdr. Drs.
Muhammad Ibrahim.
Usaha Walikota untuk mendapatkan Hari Jadi melalui data-
data sejarah yang faktual serta dapat dipertanggungjawabkan,
bagi kami Masyarakat Sejarawan Indonesia patutlah menyam-
paikan penghargaan setinggi-tingginya. Kalau dilihat dari
banyaknya judul Makalah dibahas di seminar ini kami berke-
yakinan bahwa sasaran yang hendak dicapai tidaklah sekedar
sebagai upaya mencari Hari jadi semata-mata tapi lebih luas dari
itu yaitu sebagai upaya mengumpulkan sebanyak mungkin data-
data sejarah yang akan dapat digunakan dalam penyusunan se-
jarah Kota Banda Aceh yang lebih lengkap dan sistematis. Apakah
semua upaya itu perlu ? Ditilik dari ilmu sejarah wajarlah kita
simak apa yang pernah dikemukakan oleh almarhum Dr. Mohd.
Hatta dalam kata sambutan beliau pada buku sejarah Minang-
kabau bahwa :
"Sejarah maksudnya bukanlah menuliskan selengkap-lengkapnya
fakta yang terjadi pada masa lampau yang tidak mungkin terker-
jakan oleh manusia. Tujuan sejarah ialah seperti yang
dikemukakan oleh Prof.Huizinga mendiang dalam bukunya

211
"Cultuur Historische Verkeningen"; memberi bentuk masa lalu,
supaya roman masa yang lalu itu jelas tergambar dimuka kita".
Sejarah haruslah dapat memberi pengertian kepada kita ten-
tang masa yang lampau, sehingga kita mampu memahami masa
lampau itu, dengan demikian diharapkan kita dapat bertindak
bijaksana pada hari ini dan pada masa-masa yang akan datang.
Sejarah adalah Guru yang paling baik. Dalam kerangka pemikiran
semacam itulah kami menyusun makalah ini.
Banda Aceh sebagai Pusat Pemerintahan merupakan sebuah
kota tua yang masih bersisa di Indonesia. Berbagai Daulah
(kekuasaan) yang pernah memerintah dikawasan lembah Krueng
Aceh, atau daulah yang memerintah kawasan daerah Istimewa
Aceh sekarang atau yang memerintah kawasan yang lebih luas
dari itu telah pernah menjadikan kota ini menjadi pusat Peme-
rintahannya. Nama kota inipun sepanjang perjalanan sejarahnya
tidak sama benar dengan namanya yang sekarang. Pada waktu
Aceh baru merupakan sebuah negeri kecil pusat kerajaan bernama
Kandang Aceh (Kandang = Komplek). Letaknya barangkali
dekat atau sekitar Kampung Pande sekarang, masih dalam wi-
layah Kotamadya Banda Aceh. Pusat Pemerintahan kemudian
dipindahkan lagi ke Daruddunia (Nama istana raja-raja Aceh),
sesudah memerintah 43 tahun. Kemudian dipindahkan lagi ke
Daroi Kameu (Darul Kamal) dekat Uleelueng/Bilui sekarang yaitu
di Kecamatan Darul Imarah dengan begitu tidak terletak dalam
wilayah Kotamadya Banda Aceh. Pusat Pemerintahan Lamuri
yang diperkirakan tidak terletak di wilayah Kotamadya Banda
Aceh sekarang, pada penghujung abad ke-15 dipindahkan ke
Makota Alam (Meukuta Alam) yang letaknya disekitar Kampung
Pango Kecamatan Kuta Alam Kotamadya Banda Aceh.
Sesudah Syamsu Syah berhasil mengalahkan Darul Kamal
(Daroi Kameu) dan kemudian dipersatukan dengan Makota
Alam, maka nama kerajaan ini diubah menjadi Kerajaan Aceh
Darussalam dengan Pusat Pemerintahan masih tetap di Makota
Alam. Barulah sesudah Ali Mughayat Syah naik Takhta pada
tahun 1516 menggantikan ayahnya Syamsu Syah Pusat Pemerin-
tahan dipindahkan ke Daruddunia yang letaknya sekitar kampung
Keraton sekarang. Daruddunia beserta kawasan kota lainnya
diberi nama BANDA ACEH DARUSSALAM. Selama kerajaan
ini berdiri nama ini tak pernah berubah. Pada zaman pemerin-
tahan Belanda, Pusat Pemerintahan beserta seluruh kawasan kota
dinamakan Kutaraja mengambil nama komplek istana Sultan
yang dahulu bernama Daruddunia. Pada masa Propinsi Aceh
diubah namanya menjadi Daerah Istimewa Aceh, maka Pusat Pe-
merintahan dirubah pula dengan nama baru Banda Aceh. Per-
kataan Darussalam tidak dipakai lagi, seperti pada masa dahulu.
Dalam makalah ini pada bagian II akan disajikan catatan

212
sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan kecil di lembah Krueng
Aceh sebagai proses sejarah terbentuknya kerajaan Aceh, pada
permulaan abad ke-16, di mana tempat-tempat dalam wilayah
Kotamadya Banda Aceh sudah pernah digunakan sebagai Pusat
Pemerintahan.
Pada bagian III makalah ini dipilih beberapa catatan sejarah
yang berkaitan erat dengan perkembangan kota Banda Aceh yang
sudah barang tentu sejalan pula dengan perkembangan sejarah
Kerajaan Aceh itu sendiri. Di samping itu pada bagian III ini
dipilih pula beberapa peristiwa yang berkaitan dengan perkem-
bangan kota pada waktu ia bernama Banda Aceh Darussalam.
Pada bagian IV sebagai bagian penutup makalah ini kami men-
coba memberi sedikit pemandangan, kesimpulan dan saran-saran
yang kiranya patut kami sampaikan pada forum seminar ini.
Propinsi Daerah Istimewa Aceh dengan ibu kota Banda Aceh
hampir sebahagian besar dikelilingi laut, yaitu sebelah Utara,
Barat, Barat Daya dan Timur. Hanya pada bagian Tenggaranya
daerah ini berbatasan dengan dataran yaitu Propinsi Sumatera
Utara. Selain itu Aceh merupakan wilayah pinggir negara Re-
publik Indonesia, yang bila kita lihat dari Pulau Jawa sebagai
"core area" dan Pusat Pemerintahan Negara Republik Indonesia,
Atjeh berada pula pada ujung barat laut Indonesia. Dapat kita
anggap Aceh merupakan Propinsi Barat Laut (North West Pro-
pince) dan batas Barat Laut Negara Republik Indonesia dengan
Samudera luas. Kalau dilihat dari letak geografis seperti tersebut
diatas Propinsi Daerah Istimewa Aceh sangatlah strategis, se-
hingga merupakan pula pintu gerbang sebelah Barat kepulauan
Indonesia. Karena letaknya di tepi selat Malaka dan Samudera
Indonesia, maka daerah ini penting pula dilihat dari sudut lalu
lintas internasional.
Sejak zaman neolithikum Selat Malaka merupakan terusan
penting dalam gerak migrasi bangsa-bangsa di Asa, dalam gerak
ekspansi kebudayaan India dan sebagai jalan niaga dunia serta
jalan penghubung utama dua kebudayaan besar Cina dan India.
Semestinyalah apabila wilayah sekitar Selat Malaka selalu mem-
punyai peranan penting sepanjang gerak sejarah Indonesia. Mun-
cul dan berkembangnya negara-negara sekitar wilayah Selat
Malaka ini tak mungkin kita pisahkan dari letak geografisnya
yang sangat penting itu. Munculnya Banda Aceh sebagai pusat
politik dan pemerintahan di kawasan ini hanya dapat dipahami
dari sudut keletakannya tersebut.
Sejak zaman permulaan terbentuknya jaringan-jaringan lalu
lintas internasional ( abad I Masehi), agaknya Aceh sudah
dikenal. U Berita tertua dari Dinasti Han (abad I - VI Masehi)

1). D.H. Burger dan Prayudi, Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia, (Jakarta Padnya
Pramita, 1962), hal. 14.

213
menyebutkan negeri yang bernama Huang-Tsche. Menurut isi
catatan Cina tersebut penduduk negeri itu sama dengan penduduk
Hainan, hidup dari berdagang dan perampokan. Kaisar Wang
Mang dari Dinasti Han telah meminta kepada penguasa negeri
ini untuk mengirimkan seekor badak. Tempat ini identik dengan
Aceh baik berdasarkan hadiah maupun letaknya.2) Dalam buku
Geografika Hypogetis karangan Claudius Ptolomeus seorang ahli
ilmu bumi (guru di Iskandarriah Mesir) yang dikarang dalam
tahun 65 Masehi, menyebutkan satu persatu nama-nama negeri
yang terletak pada jalan perdagangan India - Cina. Di antara
negeri-negeri yang dicantumkan dalam buku itu disebutkan
Barousai yang mungkin letaknya di Aceh dan identik dengan
Barus sekarang.3) Disebutkan juga hasil utama negeri itu yaitu
sejenis kapur yang hingga sekarang dikenal dengan nama kapur
barus.
Berita tentang Poli kita jumpai dalam catatan Cina. Berita
pertama tercantum dalam catatan Dinasti Leang (502-556) kemu-
dian dari Dinasti Sui (581-617) dan berita terakhir mengenai negeri
ini berasal dari catatan Dinasti Tang (618-908 M).4) Mengenai
letak negeri ini belum ada kata sepakat para ahli tetapi ada para
ahli yang condong untuk menempatkan negeri ini di Aceh seper-
ti yang dikemukakan oleh Groenevelt, Cowan dan ahli-ahli ilmu
bumi Cina. Sejalan dengan pendapat terakhir ini De Casparis
mengatakan bahwa nama Poli tidak kurang pentingnya dan meng-
gemparkan. Ada yang menyamakannya dengan Bali, Brunai
(Kalimantan Utara) dan dengan Sumatera Utara. De Casparis,
mengatakan bahwa Poli dapat disamakan dengan Puri, lengkap-
nya Dalam-Puri yang disebut Lamuri oleh orang-orang Arab dan
Lambiri oleh Marco Polo (Nama Daerah Aceh dikemudian hari).
Selanjutnya De Casparis mengatakan bahwa jika penetapan ini
benar (kemungkinan besar menurut pendapat De Casparis adalah
besar, hanya ada satu berita Cina yang menyebut- nyebut sebuah
pulau yang lebar dan panjangnya sama yang bertentangan dengan
kesimpulan Cowan, tetapi ini mungkin kekeliruan berita Cina itu),
kita mempunyai suatu pegangan yang penting.5)
Sejauh mana Poli itu identik dengan Lamuri seperti yang
dikemukakan oleh De Casparis, barang kali masih memerlukan
serangkaian penelitian yang sungguh-sungguh pada masa yang
akan datang. Penelitian naskah-naskah yang mungkin masih ter-
sisa dan belum dikenal oleh dunia ilmu pengetahuan yangharus

2). NJ. Krom, Zaman Hindu, terjemahan AriJ Effendi, (Jakarta; PT. Pembangunan, 1956)
hal 9 dan 10; lihat juga B. HM. Vlekke, Nusantara, A History of Indonesia, (Let Edi-
tions Mankan S.A. Bruzelles, 1961), hal. 17
3). N.J. Krom, op. cit.
4). W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia Malaya Complied from Chines
Sources, (Jakarta, CV Brata, 1960), hal. 82-84.
5). J. G. de Casparis, Perkembangan Pengetahuan Sejarah Indonesia Lama, terjemahan
Said Raksakusumah, (Bandung, tetai, 1961), hal. 32.

214
dicari di daerah Aceh sendiri dan tempat-tempat lain mungkin
akan banyak membantu pemecahan masalah tersebut. Begitu juga
penelitian arkeologi baik teerhadap peninggalan yang sudah
dikenal atau belum maupun ekscavasi-ekscavasi di daerah ini akan
memegang peranan penting untuk memecahkan teka-teki Poli
yang sudah lama tak terjawab oleh para ahli. Sementara itu peneli-
tian mengenai Lamuri yang banyak diberitakan oleh sumber-
sumber dalam dan luar negeri, hingga saat ini belum memuaskan
pula.
Dalam naskah-naskah Aceh sendiri seperti Hikayat Aceh di-
sebutkan Kerajaan Lamuri yang dieja dengan l.m.r.i. Antara m.
dan r tidak terdapat tanda vokal, sehingga jika kita menuruti cara
mengeja di dalam naskah itu, maka tidak akan mungkin sama
sekali bahwa nama itu akan dibaca Lumuri atau Lamiri. 6) Di
dalam naskah negara kertagama dicantumkan nama Lamuri
sebagai salah sebuah negeri yang takluk kepada Maharaja Maja-
pahit. 7 ) Di dalam buku Sejarah Melayu negeri ini disebut dengan
Lamiri (L.m.y.r.y.) sebagai salah sebuah negeri yang di Islamkan
sesudah Samudera sebelum tiba di Pase.8)
Berita tertua mengenai Lamiri berasal dari Ibnu Khor-
dadhbeh (844 - 848), Sulaiman (955), Mas'udi (943) dan Buzurg
bin Shahriar (955) semuanya penulis-penulis Arab. Mereka telah
menyebut negeri ini dengan nama Ramni dan Lamuri, sebuah
daerah yang menghasilkan kapur barus dan hasil bumi penting
lainnya. Mas'udi menyebutkan pula bahwa Ramni takluk di
bawah Maharaja Sriwijaya.9)
Berita Cina yang paling tua berasal dari tahun 960, di mana
di dalamnya sudah disebut nama Lanli, sebuah tempat yang dapat
disinggahi oleh utusan-utusan Parsi yang kembali dari Cina
sesudah berlayar 40 hari lamanya. Di sana mereka itu menanti
musim teduh untuk seterusnya berlayar lagi ke negeri asal
mereka. 10 ) Ilamuridecam yang tercantum dalam prasasti Tanjore
(1030) yang memuat laporan ekspedisi Rajendracola Dewa I,
menyebutkan bahwa salah sebuah daerah yang ditaklukkan pada
tahun 1025 itu merupakan daerah takluk Sriwijaya. Menurut N.J.
Krom daerah ini dapat diidentikkan dengan Lamri.H)
Seterusnya Chau-Yu-Kwa dalam bukunya Chu Fan-Shi yang
terbit dalam tahun 1225 menyebutkan bahwa di antara jajahan-
jajahan San- fo-ts'i (Sriwijaya) termasuk juga Lan-wu-li yang tak

6). T. lskandar, de Hikayat Aceh, hal. 24, selanjutnya tentang nama Lamuri bandingkan
dengan pendapat Cowan, B.K.I. 90, 1933, hal. 421-424.
7). Mohd. Jamin, Gajah Mada, (Djakarta, Balai Pustaka, 1956) hal. 50-51.
8). T. lskandar op. cit. hal. 25
9). Ibid: hal. 24-25.
10). A.K Dasgupta, 'Aceh'mIndonesia Trade and Politic'; 1600-1641, unpublished Ph.D
Thesis, Cornel University, 1962, hal. 6
11). NJ Krom, op. cit. hal 130, 131 dan A.K. Dasgupta op. cit. hal. 5.

215
dapat diragukan tentulah Lamri. 12) Raja Lam-wu-li disebutkan
belum beragama Islam, memiliki dua buah ruang penerimaan
tamu di istananya. Jika ia bepergian ia diusung atau mengendarai
seekor gajah. Jika dari negeri ini seorang bertolak di musim timur
laut, maka ia akan tiba di Ceylon di dalam waktu 20 hari. Dalam
tahun 1286, Lan-wuli bersama-sama Su-wen-ta-la mengirim
utusan ke negeri Cina dan berdiam di sana sambil menunggu kem-
balinya ekspedisi Kubilai Khan dari Jawa. 13)
Ketika Macro Polo pada tahun 1292 tiba di Jawa Minor (Su-
matera) ia mendapatkan di sana delapan buah kerajaan di an-
taranya Lamri. Kerajaan ini katanya tunduk kepada Kaisar Cina
dan mereka diwajibkan membayar upeti.14) Dalam tahun 1310
seorang penulis Parsi bernama Rashiduddin menyebut untuk per-
tama kalinya, bahwa tempat-tempat penting "dipulau Lumari
yang besar itu", selain Peureulak dan Jawa (yang dimaksud
Samudera) adalah Aru dan Tamiang.15) Pra Odorigo dari
Pordenone yang singgah juga di Lamri (ia menyebutnya dengan
Lamori) mengatakan bahwa negeri ini banyak disinggahi oleh
pedagang-pedagang yang datang dari negeri- negeri jauh dan
dikatakannya pula bahwa Lamori sering berperang dengan
Sumoltra (Samudera) yang terletak dibagian selatan. 16)
Seperti sudah dijelaskan di atas, sejak tahun 1286 Lamri telah
mengirim utusan-utusannya ke Cina. Dalam buku tahunan Dinasti
Ming dijelaskan pada tahun 1405 telah dikirim ke Lam-bu-li
sebuah cap dan sebuah surat dan pada tahun 1411 negeri ini
mengirimkan utusan ke Cina untuk membawa upeti. Perutusan
tiba bersamaan dengan kunjungan perutusan Klantan dan Cail,
kemudian kembali bersama-sama ekspedisi Cheng Ho. 17) Tahun
1412 Raja Maha-Ma-Shah (Muhamad Syah) dari Lam-bu-li ber-
sama-sama Samudera mengutus sebuah delegasi ke Cina untuk
membawa upeti. Di antara utusan- utusan Lam-bu-li ke Cina yang
secara teratur dikirim saban tahun terdapat nama Sha-che-han
(Syah Johan ?) putera Mu-ha-ma-sha.18) Sewaktu Ceng Ho dalam
tahun 1430 membawa hadiah-hadiah keseluruh negeri, Lamripun
memperoleh bahagiannya pula. Besar kemungkinan bahwa pe-
ngiriman hadiah-hadiah ini bukanlah untuk pertama kali, karena
lonceng bernama Cakro Donya yang dulunya tergantung di istana
Sultan Aceh dan sekarang disimpan di Museum Aceh dengan tu-
lisan Cina dan Arab padanya dibubuhi angka tahun 1409.19)
Menurut dugaan Tichelman bahwa lonceng ini dibawa dari Pase

12). R. O. Winstedt, A History of Malaya, (London, Luzak de co, 1935), hal. 28


13). T. lskandar op. cit, hal. 25.
14). Ibid, hai. 25
15). Ibid
16). Ibid
17). Ibid, hal. 26
18). Ibid, hal. 27
19). Ibid

216
ke Aceh sesudah kerajaan itu dapat ditaklukkan oleh Ali Mugha-
yatsyah. Menurut anggapan Tichelman Aceh tidak mempunyai
hubungan dengan Cina.20) Kalau kita ingat bahwa sejak tahun
1286 Lamri telah mempunyai hubungan dengan Cina, bukanlah
tidak mungkin lonceng tersebut bukan dari Pase, tetapi dari
Lamri.
Kemudian dapatlah disimpulkan disini bahwa dalam kata
Rami, Ramni dan Lamuri yang disebut-sebut oleh penulis Arab
dan Parsi, Ila-muridecan yang disebut dalam prasasti Tanjore,
Lan-li, Lan~bu-li, Lan-u-lio dan Nan-poli yang dicatat oleh
penulis-penulis Cina, Lambri dan Lamori yang berasal dari berita-
berita Eropa dan Lamiri yang tertera dalam naskah sejarah
Melayu dapat diserupakan dengan Lamri sesuai dengan berita
yang berasal dari Aceh sendiri sebagaimana tersebut dalam
Hikayat Aceh. Yang jadi masalah sekarang ini di manakah letak
lokasi kerajaan itu yang tepat.
Untuk itu marilah kita ikuti apa yang dikemukakan oleh
T.Iskandar dalam bukunya "De Hikayat Aceh". 2 !) Mula-mula
adalah Valentijn (1725) yang mengatakan di dalam karangannya
yang berjudul "Beschrijving van het eiland Sumatera" bahwa
Lamri tidak lain dari Jambi. Pendapat yang serupa dikemukakan
oleh Werndly dan Marsden (1725) dan (1818). Sebaliknya Yule
mengatakan bahwa Lamri lain daripada tempat pertama di
Sumatera yang disinggahi oleh pelaut-pelaut Arab dan India.
Tempat tersebut tentu ujung utara pulau Sumatera yaitu daerah
Aceh atau lebih tepat Aceh Besar sekarang.
Menurut catatan yang tercantum dalam buku Ying-Yai-
Sheng-lan oleh Ma-Huan disebutkan bahwa Lamri terletak tiga
hari berlayar dari Samudera pada waktu angin baik. Negeri ini
bersebelahan pada sisi timur Litai, bahagian utara dan barat ber-
batas dengan laut yang dinamakan juga laut Lamri (lautan Hin-
dia) dan kesebelah selatan berbatas dengan pegunungan. Ber-
dasarkan berita Cina ini Groenevelt mengambil kesimpulan pula
bahwa letak Lamri mestilah di Sumatera bahagian utara, tepat-
nya di Aceh Besar. Berita Cina ini sendiri mengatakan pula Lamri
terletak di tepi laut.22) Cowan, de Casparis dan T. lskandar turut
memperkuat pendapat- pendapat sebelumnya, bahwa Lamri
mestilah terletak di Aceh, tepatnya di Aceh Besar sekarang.
Kalau kita dapat menetapkan pendapat bahwa Lamri sebagai
sebuah kerajaan terletak di Aceh Besar, maka timbul pula per-
tanyaan di mana letak pusat kerajaan itu dahulunya ? Penelitian
Arkeologi yang masih terlalu sedikit mengenai Lamri tidak banyak
membantu pemecahan masalah ini. Walaupun demikian usaha

20) Tichelman, De Indische Gids, 1939, hal. 23-27


21). T. lskandar, op. cit. hal. 28.
22). Groenevetdt, op. cil, hal. 98-100

217
untuk memberi jawaban tersebut di atas telah dilakukan oleh
beberapa orang peneliti. M.J.C. Lucardie di dalam karangannya
"Mevelies de Lindie", penerbitan van der Lith (1836) me-
nyebutkan, bahwa Lumreh yang terletak dekat Tungkop besar
kemungkinan adalah peninggalan sari kerajaan Lamri. 2 3) Pen-
dapat ini kemudian diambil oleh Cordier di dalam karangannya
yang berjudul "Les Voyages en Asie aux XIV e siecie du Bien-
nhcureux Frere Ordoric de Pardenone" (1891) dan kemudian pula
di dalam karangannya mengenai Marco Polo dan Cathay and the
Way Thither II" oleh Yule.24) Akan tetapi semua penulis itu tidak
ada yang membedakan penggunaan nama Aceh, adakah sesudah
Lamri lenyap dari panggung sejarah maka muncul kerajaan Aceh
sebagai penggantinya.
Berita yang ditulis oleh Thome Pires di dalam karangannya
mengenai pulau Sumatera menyebutkan bahwa di pantai utara
daerah Aceh sekarang terdapat enam reinos dan 2 terras, yaitu
reino de Achey e Lambry, terra de Biar, rainos de Pedir, terra
de Aeilabu, reino de Lide, reino de Pirada, reino de Pasee. 2 ^)
Nama-nama tersebut dengan mudah dapat dikenal karena masih
dipakai sampai sekarang, yaitu Aceh, Lamri, Biheue, Pidie, Ie
Leubeue, Peudada dan Pasee.
Di dalam naskah "Hikayat Aceh" disebut teluk Lamri dan
didalam buku Ying-Yai-Sheng-Lan (1416) disebut laut Lamriyang
membuktikan bahwa Lamri ini terletak di tepi pantai/teluk.
T.lskandar mengatakan bahwa Lamri terletak dekat Krueng Raya
sekarang yang teluknya sekarang dinamakan dengan nama yang
sama. Desa Lamrehpun terletak tiada berapa jauh dari Krueng
Raya. Bukti-bukti yang dikemukakan oleh T.lskandar antara lain
ialah sisa-sisa bangunan peninggalan zaman dahulu yang terdapat
disekitar daerah ini yang diduga berasal dari zaman Lamri. Kira-
kira 500 meter dari Krueng Raya terdapat sebuah runtuhan
bangunan dan kira-kira 6 km dari tempat tersebut terdapat pula
bangunan yang sampai sekarang dikenal dengan nama Benteng
Indrapatra.Tidak kurang enam buah runtuhan bangunan kuno
kita jumpai di sekitar tempat tersebut yang sampai sekarang belum
pernah dilakukan penelitian. Ada yang mengatakan bahwa di an-
tara runtuhan bangunan itu ada yang dibangun oleh Portugis
sebagai Benteng, tapi hal ini tidak mungkin, karena tidak ada satu

23). T. lskandar, op. cit, hal. 27-28. Desa Lamreh sekarang terletak kira-kira 750 meter
dari Krueng Raya dan persis dekat kampung tersebut telah selesai dibangun pelabuhan
Kemala Hayati.
24). Ibid, hal. 28
25). Pengertian Aceh secara umum adalah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam penger-
tian yang sempit Aceh Besar disebut juga dengan Aceh saja. Akan tetapi Aceh
dipergunakan juga untuk menyebut Banda Aceh atau lengkapnya Banda Aceh
Darussalam.
26). Tome Pires, The Sums Oriental or Tome Pires rol. I translated and edited by Arnan-
do cortesao. (London Printed for the Hakluys, Society, 1944), hal. 138.

218

J
beritapun dari pihak Portugis atau Aceh yang menyebutkan ten-
tang adanya garnizun- garnizun Portugis di Aceh Besar/')
Berita-berita Cina yang mengatakan bahwa penduduk Nan-
wu-li sebagian berdiam di bukit-bukit dan jumlah mereka sedikit,
menunjukkan bahwa Lamri tidaklah terletak di lembah Aceh,
tetapi terletak pada sejalur pantai kecil yaitu daerah Krueng Raya.
Meskipun pusat kerajaan terletak di jalur yang sempit, tapi
sebagai sebuah kerajaan daerahnya meluas sampai kebahagian
lembah Aceh. Hal ini dikatakan juga oleh Tome Pires bahwa kera-
jaan Lamri daerahnya meluas jauh ke pedalaman. Meskipun
Krueng Raya sesudah abad ke-18 menjadi sepi hal ini adalah
lumrah. Bukankah bekas kerajaan Samudera Pase dahulu,
sekarang inipun tak lebih dari sebuah desa kecil yang tak ber-
arti. 28 ) . A. . , , . ,
Pada akhir abad XV pusat kerajaan Lamri dipindahkan ke
Makota Alam (sekarang Kuta Alam) yang terletak pada sisi utara
Krueng Aceh di lembah Aceh. Pemindahan ini disebabkan karena
adanya serangan dari Pidie dan pendangkalan muara sungai yang
mengalir melalui pusat kerajaan Lamri sehingga tak begitu baik
lagi untuk kepentingan pelayaran. Sejak itu Lamri lebih dikenal
dengan nama kerajaan Makota Alam.29)
Kalau kita ikuti uraian yang ada, di dalam buku Bustanus-
salatin yang disusun oleh Nuruddin Arraniry, dalam urutan raja-
raja Aceh yang tercantum dalam buku tersebut dimulai dari Sultan
Ali Mughayat Syah. Sebab itulah sebahagian ahli berpendapat
bahwa kerajaan Aceh dimulai sejak raja tersebut memerintah atau
lebih kurang pada tahun 1516.30) Pendapat lain mengemukakan
bahwa nama Aceh itu sudah tua sekali, walaupun tidak sama
tuanya dengan Lamri, tetapi setidak-tidaknya kerajaan Aceh telah
tumbuh dan berkembang berbaringan. Raja-raja yang pertama
di Aceh berkedudukan di Kandang Aceh (tidak begitu jauh dan
kota Banda Aceh sekarang). Di dalam Hikayat Aceh disebutkan
bahwa Sultan Mahmud Syah telah memindahkan istananya ke
Daruddunia sesudah memerintah di Kandang Aceh selama 43
tahun. Aceh belum tidak dikenal sebelum tahun 1500 oleh orang-
orang asing karena ia terletak lebih dari 1 mil ke pedalaman
sehingga tidak banyak disinggahi oleh orang-orang asing yang
melakukan perjalanan/pelayaran antara India dan Cina. Sebuah
catatan Aceh yang dipelajari oleh Hoesein Djajadiningrat me-
ngatakan bahwa Sultan Johan Syah yang memerintah pada tahun
601 H (1205 M) dan berkedudukan di Kandang Aceh. Sebuah
karangan yang diterbitkan di Konstantinopel berjudul Djawaib,

2
28) TelTKrlaeng%aCyaLataud2ahulu mungkin dinamakan Teluk Lamri seperti yangter-
cantum dalam Hikayat Aceh. Di tempat ini sekarang dibangun pelabuhan baru dengan
nama Kemala Hayati dan sudah mulai ramai lagi.
30). Hoesein Djajadiningrat, op. cit. hal. 142-143 dan 146

219
mengatakan bahwa Sultan Aceh yang pertama yang beragama
Islam adalah Gazi Djohansyah yang mulai memangku jabatan-
nya pada 19 Januari 1215.31) Jadi kalau kita ikuti pendapat yang
terakhir ini jelaslah bahwa Kerajaan Lamuri dan Aceh telah tum-
buh dan berkembang berbarengan sampai penghujung abad XV.
Seperti sudah dijelaskan diatas Lamri sesudah pusat kera-
jaannya dipindahkan, lebih dikenal dengan nama Makota Alam,
sedangkan Aceh sesudah pusat kerajaannya dipindahkan ke
Daruddunia, dipindahan lagi ke Darul Kamal (lebih kurang 10
km dari pantai).Sebab-sebab pemindahan itu tidak diketahui. Se-
jak itu kerajaan Aceh dikenal dengan nama kerajaan Darul Kamal
atau Aceh Darul Kamal.32) Dengan demikian pada penghujung
abad XV di lembah Aceh terdapat 2 buah kerajaan yaitu Makota
Alam dan Kerajaan Darul Kamal yang daerahnya masing-masing
dipisahkan oleh Krueng Aceh (sungai Aceh). Kedua belah pihak
tak pernah dapat hidup rukun, dan selalu bermusuhan. Pe-
perangan sering terjadi tapi tak satupun di antaranya berhasil
menghancurkan lawannya walaupun kerajaan Makota Alam
memperkuat persenjataannya dengan mendatangkan meriam dari
luar negeri melalui teluk Lamri. Pertentangan kedua kerajaan itu
berakhir setelah Makota Alam yang pada waktu itu diperintah
oleh Sultan Syamsu Syah putra Munawar Syah melakukan suatu
siasat yang licik. Di dalam Hikayat Aceh diceritakan bahwa Syam-
su Syah pura-pura mengakhiri permusuhan yang berlarut-larut
itu dengan cara menjodohkan puteranya Ali Muhayat Syah
dengan puteri kerajaan Darul Kamal. Peminangan ini dapat
diterima oleh Sultan Muzaffar Syah putera Inayat Syah yang pada
waktu itu memerintah di Darul Kamal. Dalam arakan mengan-
tarkan mas kawin ke Darul Kamal maka di dalam arak-arakan
itu disembunyikan senjata-senjata, alat perang. Sesampainya di
Darul Kamal pasukan Makota Alam mengadakan serangan tiba-
tiba terhadap Darul Kamal. Banyak pembesar-pembesar Darul
Kamal dan Sultan Muzaffar Syah sendiri terbunuh. Maka sejak
peristiwa itu Sultan Syamsu Syah dari Makota Alam memerin-
tah kedua kerajaan itu.
Putera Inayat Syah yang bernama Alauddin Riayat Syah
yang pada waktu peristiwa di atas terjadi berada di daerah Daya,
tidak kembali lagi ke Darul Kamal dan kemudian mendirikan
kerajaan Daya. Pada tahun 1516 Ali Mughayat Syah dinobatkan
menjadi raja, menggantikan ayahnya Sultan Syamsu Syah.33)
31). Ibid
32). T. lskandar op. cit. hal. 32
33). Ibid hal. 35 T. lskandar mengambil tahun 1516 sebagai tahun penobatan Sultan Ali
Mughayat Syah dengan alasan bahwa pada batu nisan sultan terletak di Kandang XII
Banda Aceh tertulis tahun meninggal sultan tersebut 12 Zulhijjah 936 H atau di dalam
Bustanussalatin disebutkan sultan tersebut memerintah selama 14 tahun sebelum ia men-
inggal. Selanjutnya lihat G.K. Niemann Bloemlezing Uil Maltische Geschriften, twede
stuk, (1892), hal. 120 Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa tahun penobatan Ali
Mughayat Syah ialah 1514, lihat: Hoesein Djajadiningrat, op. cit. hal. 213.

220
Pusat kerajaan dipindahkan lagi ke Daruddunia (Banda Aceh)
dan sejak itu kedua kerajaan yang sudah dipersatukan itu diberi
nama kerajaan Aceh Darussalam dengan pusat kerajaannya
disebut juga dengan nama Bandar Aceh Darussalam.
Perkembangan kerajaan Aceh sesudah Ali Mughayat
Syah naik takhta terutama sejak tahun 1520 telah menen-
tukan nasib kerajaan-kerajaan kecil dalam wilayah Propinsi
Daerah Istimewa Aceh sekarang, Perlak, Samudera Pasai,
Pidie dan lain-lain ditaklukkan dan dimasukkan dalam
wilayah kerajaan Aceh Darussalam. Perluasan kerajaan
Aceh Darussalam adalah sebagai jawaban atas pendudukan
Portugis atas Malaka pada tahun 1511. Usaha ini mendapat
dukungan pedagang-pedagang Islam yang melarikan diri
dari Malaka. Sudah barang tentu atau dianggap oleh Por-
tugis tindakan-tindakan Sultan Ali Mughayat Syah ini
dipandang sangat bertentangan dengan kepentingan Por-
tugis di Selat Malaka. Hal inilah yang menjadi sebab utama
timbulnya konfrontasi terus-menerus antara kerajaan Aceh
dan Portugis selama 125 tahun. Pertentangan ini pada
hakekatnya bersumber pada pertentangan agama dan ber-
muara dalam persaingan politik/ekonomi.
Kerajaan Aceh Darussalam berusaha mengikat ker-
jasama dengan kerajaan Islam seperti Turki dan lain-
lainnya. Pinto, seorang Portugis mencatat bahwa Aceh telah
mendapat sumbangan dari Turki sebanyak 300 orang ahli
dan sejumlah besar alat-alat senjata yang diangkut oleh
kapal-kapal Aceh sendiri. Di samping itu pada sekitar tahun
1538 seorang Admiral Angkatan Laut Turki yaitu
Laksamana Sidi Ali Celebi berada di India untuk mengawasi
operasi dari kesatuan gabungan Angkatan Laut negara-
negara Islam dalam usaha membantu kerajaan Aceh
melawan Portugis di Malaka dan di perairan Selat Malaka.
Menjelang berakhirnya abad 16, fajar kegemilangan
mulai bersinar. Pada tahun 1606 Iskandar Muda diangkat
menjadi sultan Aceh. Perhubungan dengan berbagai negara
berkembang dengan baik di antaranya termasuk pula
dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda,
Perancis dan lain-lain kecuali Portugis. Dengan Belanda
diadakan hubungan yang bersejarah dan berlangsung selama
kedua belah pihak saling menghormati, sama derajat dan
saling menguntungkan. Duta besar pertama bangsa asing
yang berkunjung ke negeri Belanda adalah Duta Besar kera-
jaan Aceh yang bernama Abdul Hamid, Laksamana Sri
Muhammad dan seorang bangsawan bernama Mir Hasan.
Mereka meninggalkan Aceh pada 29 Juli 1601 dan sampai
di Negeri Belanda pada 6 Juli 1602. Abdul Hamid yang

221
sudah berusia 70 tahun meninggal dunia di Zeeland dan
dimakamkan di sana telah mengunjungi beberapa tempat
seperti Amsterdam, Nijmegen, Guilenburg, Utrecht dan
kota-kota lain, kemudian dalam tahun berikutnya kembali
ke tanah air.
Iskandar Muda berhasil membawa kerajaan Aceh ke
zaman keemasan dan kegemilangan. Luas kerajaan Aceh
sudah meliputi sebahagian besar Sumatera Utara/Tengah
dan sebahagian besar Malaysia. Pemerintahan teratur rapi,
sistem perdagangan dan Perhubungan Luar Negeri cukup
rapi sehingga sukar kebobolan infiltrasi dan intrik-intrik
politik dari dalam dan luar.
Demokrasi sering dalam pemerintahan dan pembagian
kekuasaan antara berbagai lembaga pemerintahan yang
disesuaikan dengan kekuatan sosial dalam masyarakat
menyebabkan Iskandar Muda dapat memerintah dengan
aman. Keadaan ini berlainan dengan sultan-sultan Aceh
sebelumnya. Iskandar Muda adalah contoh dari seorang raja
yang paling taat kepada hukum yang berlaku dalam
negerinya. Hal ini dapat dibuktikan dengan peristiwa
hukuman mati kepada anak kandungnya sendiri yang
melanggar hukum. Pada masanya pula hukum-hukum yang
berlaku dikodifikasikan yang kemudian hari terkenal dengan
Adat Meukuta Alam (A.M.A.) Patriotisme yang
ditanamkan pada setiap rakyatnya merupakan contoh abadi
pada setiap putera-puteri Aceh berabad-abad kemudian.
Sultan Iskandar Muda merupakan pula tokoh teladan yang
tak habis-habisnya bagi rakyat Aceh khususnya dan rakyat
Indonesia umumnya tentang kesetiaan yang tulus terhadap
tanah air. Walaupun ia tak berhasil menghancurkan Por-
tugis di Malaka, tapi ia telah memaksa Portugis terpaku di
kota tersebut sehingga tak berdaya berbuat sesuka hatinya
di kawasan selat Malaka.
Sesudah Iskandar Muda meninggal masih satu abad
lamanya kerajaan Aceh merupakan kekuatan yang disegani
dan dihormati oleh lawan dan kawan.
Pemerintahan dinasti Said-said dari Arab walaupun
berhasil dalam mengukuhkan kehidupan beragama tapi
telah banyak merusakkan tradisi-tradisi dan warisan yang
berharga dari masa lampau. Kerajaan Aceh dengan cepat
meluncur ke lembah kemunduran.
Abad ke-19 adalah abad di mana di Selat Malaka ter-
jadi persaingan antara Inggris, Belanda dan Aceh. Meskipun
Aceh di bawah Sultan Ibrahim Mansur Syah berusaha
memperbaiki posisi kerajaan Aceh di dunia internasional
dengan perbaikan-perbaikan pemerintahan dan men-
ingkatkan kerjasama internasional dengan beberapa negara
seperti Amerika, Italia, Perancis dan Jepang, tapi usaha
tersebut sia-sia. Persekongkolan negara-negara
Imperialis telah melahirkan persetujuan-persetujuan yang
tak menguntungkan kerajaan Aceh. Persetujuan yang
dicapai antara Inggris dan Belanda yang terkenal dengan
Traktat Sumatera, telah menyebabkan perang antara Belan-
da dan Aceh tak terelakkan.

Perang Belanda Di Aceh yang dimulai pada tanggal 26 Maret


1873 dan berakhir berpuluh-puluh tahun kemudian adalah perang
yang terlama dalam zaman kolonial Belanda serta paling banyak
pula merugikan Belanda dan kerajaan Aceh baik nyawa maupun
harta. Dugaan Belanda bahwa kerajaan Aceh yang kondisinya
sudah sangat lapuk dan lemah dengan mudah dapat dihancuran
ternyata melesat sama sekali. Pada bulan Januari 1903 sultan
Muhammad Daud Syah terpaksa menyerah. Dengan peristiwa ini
berakhir pulalah pemerintahan kerajaan Aceh, walaupun
perlawanan masih terus berlangsung pada tahun-tahun
berikutnya.
Demikianlah pemilihan beberapa peristiwa yang berkaitan
dengan perkembangan sejarah kerajaan Aceh. Banda Aceh
Darussalam sebagai pusat kerajaan Aceh dalam perkembangan
sejarahnya tentu berkaitan erat dengan perkembangan sejarah
kerajaan Aceh sendiri. Bila dilihat dari sudut geografis letak Ban-
da Aceh di pesisir dan dekat dengan muara sungai. Pemilihan
letak kota pusat kerajaan tersebut erat kaitannya dengan kepen-
tingan militer dan ekonomi, oleh karena itu Banda Aceh adalah
kota pusat kerajaan bercorak maritim. Masyarakat bercorak
maritim lebih menitik beratkan kehidupannya kepada per-
dagangan yaitu suatu ciri yang erat hubungannya dengan kenya-
taan bahwa para pedagang lebih sesuai hidup dalam masyarakat
kota bercorak maritim. Sesudah Malaka diduduki Portugis
banyak pedagang-pedagang Islam yang pada umumnya tidak
disukai, mereka mencari tempat-tempat baru disekitar selat
Malaka sebagai ganti Malaka. Sebahagian besar dari mereka ber-
pindah ke Banda Aceh. Sebagai kota maritim dan pusat kerajaan,
maka kekuatan militer lebih dititik beratkan pada angkatan laut.
Sejak mulai terbentuknya kerajaan Aceh, sultan- sultannya
berusaha membangun angkatan lautnya. Pada puncak kejayaan-
nya kerajaan Aceh memiliki enam ratus buah kapal yang terdiri
dari lima ratus buah kapal layar dan seratus buah galley yang
penempatannya sebagian besar berada dipusat kerajaan. Kapal i
galley itu adalah kapal yang berukuran besar yang dapat memuat
600 hingga 800 orang penumpang. Agustin de Bealieu yang telah
menyaksikan kapal tersebut mengatakan bahwa kapal-kapal itu
besarnya tiga kali lebih besar dari kapal-kapal yang dibangun di

223
Eropa pada masa itu. 34) Salah sebuah diantaranya yang paling
terkenal diberi nama "Cakra Donya". Dalam laporan Agustin
de Beaulieu diketahui pula bahwa pasukan gajah merupakan in-
ti pasukan darat yang jumlahnya 900 ekor. Binatang itu dilatih
sedemikian rupa, sehingga tidak takut kepada api dan suara suara
tembakan. Alat-alat kebutuhan militernya berupa mesiu dapat
diproduksi sendiri karena tersedianya belerang di pulau Weh dan
pegunungan dekat Pidie. Minyak yang banyak terdapat di Aceh
Timur telah dimanfaatkan untuk kebutuhan militer yang
digunakan untuk membakar kapal-kapal musuh. Alat-alat persen-
jataan lain yang dimiliki berupa 2000 pucuk meriam, yang ter-
diri dari 800 meriam besar dan 1200 meriam biasa. Pada setiap
saat kerajaan Aceh dapat mengerahkan bala tentera berpuluh ribu
yang sebahagian berdomisili di Banda Aceh dan sebahagiannya
diambil di Pidie dan lain-lain tempat.
Mengenai luas kota Banda Aceh barangkali melebihi luas
kota yang sekarang. Hal ini di dasarkan pada peninggalan sejarah
yang masih tersisa. Untuk menentukan batas areal dari kota pada
zaman itu yang lebih tepat, sedangkan penelitian Arkeologi di
masa yang akan datang perlu dilakukan.
Berapa jumlah penduduk kota Banda Aceh pada masa itu
sukar pula dipastikan. Hal ini disebabkan karena terbatasnya
sumber- sumber yang dapat digunakan, lagi pula cara-cara sen-
sus penduduk belum menjadi kebiasaan dan kalaupun ada angka
untuk itu hanya bersifat perkiraan. Misalnya berita Thomas
Bowrey, menyebutkan di Banda Aceh pada waktu itu ada 7000
atau 8000 rumah. 35) Kalau tiap rumah dihuni rata-rata 5 orang
saja, maka jumlah penduduk kota ditaksir antara 35.000 atau
40.000 orang. Kalau kita lihat jumlah pasukan Aceh yang dapat
dikerahkan ke medan perang oleh Iskandar Muda yang
sebahagian besar berdiam di Banda Aceh, maka taksiran
penduduk Banda Aceh akan melebihi angka tersebut di atas
Kemungkinan mencapai 100.000 orang.
Mengenai tata kota Banda Aceh antara lain dapat disebutkan
bahwa tata kotanya mengikuti pola tata kota tradisional yang
lazim ada pada tata kota pusat kerajaan Islam lainnya di In-
donesia. Letak istana kerajaan Aceh yang dinamakan Daruddunia
itu menghadap ke Barat Laut, jadi hampir sama dengan istana
kerajaan lain di Indonesia yang menghadap ke Utara, hal ini dapat
dilihat pada peta yang dibuat oleh orang asing seperti Portugis
dan Belanda serta peninggalan-peninggalan sejarahnya. Di sekelil-
ing istana dibuat danau dan sungai buatan yang mengalir di tengah

34). Muhammad Ibrahim (ed) Sejarah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Dep. Pendidikan
dan Kebudayaan, 1977/1978), hal. 64.
35). Sartono Kartodirjo (ed) Sejarah Nasional III (Jakarta Dep. Pendidikan dan
Kebudayaan, 1975) hal.

224
istana yang dinamakan Darul Asyiki. 3 6 ) Disamping itu bagian
penting dari istana yang dinamakan dalem dikelilingi tembok dan
disitu pula bangunan tempat kediaman sultan didirikan.
Kelengkapan lain ialah Taman Sari yang dinamakan Taman
Ghairah. Dimana sungai Darul Asyiki mengalir juga ditengah-
tengahnya. Di sebelah Barat istana oleh Iskandar Muda dibangun
sebuah mesjid raya (Mesjid Jamik) yang dinamakan Baiturrahman
sedangkan mesjid di dalam istana dinamakan Baiturrahim. Di
samping itu terdapat sejumlah mesjid kecil lainnya di dalam
kota. 37).
Di dalam kota Banda Aceh terdapat status kebiasaan yang
didasarkan pada status sosial-ekonomi, status keagamaan, status
kekuasaan dalam pemerintahan. Berdasarkan nama kampung
yang sampai sekarang masih dipakai dapat diperkirakan bahwah
kampung Mperum dan Bitai adalah tempat kediaman orang Turki
dan Arab, Kampung Biduen tempat kediaman para penghibur,
kampung Pande tempat kediaman tukang-tukang. Di dalam
hikayat Aceh disebutkan adanya kampung Birma dan Jawa,
tempat-tempat kediaman orang asing lainnya misalnya kampung
Kleng, Penayong, kampung Kedah dan lain- lain. Pada sekitar
akhir abad ke-16 Yohn Davis memberitakan adanya perkam-
pungan orang orang Portugis, Gujarat, Arab, Benggala dan Pegu
di samping perkampungan orang Cina. 38)'
Di samping itu diketahui pula perkampungan tempat kediaman
prajurit dan pembesar seperti Neusu, Pelanggahan, Meurduati
dan lain-lain.
Bangunan untuk perumahan pada umumnya dibuat dari
kayu, hanya untuk bangunan tertentu saja yang dibuat dari batu,
misalnya Makam, tembok istana. Rumah-rumah didirikan di atas
tiang kayu yang tinggi, diatapi dengan ilalang (barangkali yang
dimaksud di sini atap rumbia), membujur arah Timur Barat, yang
terakhir ini adalah pengaruh agama Islam yang maksudnya un-
tuk memudahkan penentuan kiblat.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa wilayah kerajaan Aceh
dibagi atas wilayah-wilayah yang lebih kecil misalnya gampong
adalah teritorial yang paling kecil, gabungan beberapa gampong
disebut mukim dan gabungan mukim adalah nanggroe. Khusus
di Aceh Besar beberapa Nanggroe tergabung dalam sebuah
federasi yang dinamakan Sagoe. Di samping itu ada pula teritorial
yang dinamakan daerah Bibeueh, hampir sama dengan daerah
Perdikan di Jawa. Di seluruh kerajaan Aceh terdapat 30 buah
daerah Bibeueh dalam bermacam tingkatan, ada Nanggroe, ada
Mukim dan ada Gampong. Daerah-daerah Bibeueh ini langsung
di bawah perintah sultan kota Banda Aceh Darussalampun ter-

36). Ibid, hal.


38). Ibid, hal.

225
masuk katagori daerah semacam itu. Sebuah jabatan kesultanan
yaitu orang kaya laksamana yang mengetuai pengadilan niaga
diserahi juga kedudukan yang sama dengan walikota. Di dalam
hikayat Aceh, Bustanussalatin dan sebuah manuskrip yang berupa
fotocopy yang ada di Museum Negeri Aceh, menyebutkan bahwa
dalam wilayah kota Banda Aceh terdapat sejumlah kampung-
kampung (Gampong) yang dikepalai oleh Keucik Mulok. Istilah
Kecik Mulok menunjukkan bahwa kampung-kampung tersebut
berstatus daerah Bibeueh yang langsung di bawah pengawasan
sultan.
Tingkat tertinggi dalam struktur pemerintahan kerajaan Aceh
adalah pemerintah pusat, yang berkedudukan di Banda Aceh
Darussalam sebagai pusat kerajaan. Kepala pemerintahan pusat
adalah sultan yang lazim dipanggil oleh rakyatnya Poteu (Our
King). Sultan dibantu oleh beberapa pembantu yang masing-
masing membawahi bidang-bidang tertentu. Ketika pedagang-
pedagang Inggris dan Belanda pertama kali datang ke Banda
Aceh, mereka mencatat bahwa sultan dalam memerintah kera-
jaannya dibantu oleh lima orang yang terkemuka yaitu seorang
Bendahara dan 4 orang Syahbandar. Bendahara berfungsi sebagai
penulis atau sekretaris kerajaan Yohn Davis dalam laporan per-
jalanannya menyebutkan Bendahara sebagai penulis rahasia dari
kerajaan Aceh. Para Syahbandar berfungsi sebagai pembantu
sultan dalam mengurusi dan mengepalai perdagangan di kota-kota
pelabuhan.
Berdasarkan sebuah manuskrip yang belum diteliti benar oleh
para ahli yang fotokopynya ada di Museum Negeri Aceh di dalam-
nya terdapat susunan pemerintahan pada masa sultan Iskandar
Muda. Di dalam manuskrip itu disebutkan bahwa ada 24 buah
lembaga atau jabatan, yang namanya masing-masing sebagai
berikut: 39)
1. Keureukon Katibul Muluk atau Sekretaris Raja.
2. Rais Wazirat Addaulah atau Perdana Menteri.
3. Wazirat Addaulah atau Menteri Negara.
4. Wazirat Al Akdham atau Mengeri Agung.
5. Wazirat Al Harbiyyah atau Menteri Peperangan.
6. Wazirat Al Haqqamiyah atau Menteri Kehakiman.
7. Wazirat Ad Daraham atau Menteri Keuangan.
8. Wazirat Al Mizan atau Menteri Keadilan.
9. Wazirat Al Maarif atau Menteri Pendidikan.
10. Wazirat Al Khairijiyah atau Menteri Luar Negeri.
11. Wazirat Addakhilyaah atau Menteri Dalam Negeri.
12. Wazirat Al Augaf atau Menteri Urusan Waqaf.
13. Wazirat Azzirah atau Menteri Pertanian.
14. Wazirat Al Maliyyah atau Menteri Urusan Harta.

39). Muhammad Ibrahim (ed) op. cit hal. 68, 69 dan 70.

226
15. Wazirat Al Muwashalat atau Menteri Perhubungan.
16. Wazirat Al Asyighal atau Menteri Urusan Kerja.
17. Syikh Al Islam Al Mufti empat Syikh Kaabah.
18. Qadhi Malikul Adil atau Khadi raja yang adil
19. Wazir Tahakkum Muharrijlailan atau ketua pengurus korps
kesenian.
20. Qadhi Mualdlam atau Kadhi/Jaksa Agung.
21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam.
22. Keucik Muluk (atau keucik raja)
23. Imum Muluk atau Imam raja
24. Panglima Khanduri Muluk atau ketua penyelenggara kenduri
raja.
Kedua puluh empat lembaga atau jabatan yang ada di Kera-
jaan Aceh seperti tersebut di atas, dibawahi oleh orang-orang yang
membawahi lembaga masing-masing yang amat dekat dan amat
besar pengaruhnya kepada Sultan. Di antara mereka itu adalah
Perdana Menteri, biasanya bergelar Orangkaya Maharaja Sri
Maharaja; ialah orang yang membawahi wazir-wazir atau menteri
menteri di kerajaan Aceh. Kemudian Kadhi Malikul Adil ialah
orang yang mengurusi pengadilan agama di kerajaan Aceh.
Jabatan Kadhi ini diadakan pertama kali pada masa sultan Iskan-
dar Muda, namanya Tjut Sandang atau Dja Bangka. Dinamakan
demikian karena ia berasal dari Kawom Dja Sandang. Dalam
panggilan sehari-hari kadhi di kerajaan Aceh dipanggil sesuai
dengan jabatannya, yaitu Kadhi Malikul Adil.
Pemimpin selanjutnya yang amat dekat dan besar
pengaruhnya kepada Sultan, adalah Wazir al Harbiyyah atau
menteri peperangan. Dia lebih dikenal dengan sebutan Laksamana
atau orang kaya Laksamana. Pada waktu kerajaan Aceh di bawah
sultan Alauddin Riayat Syah al Mukammil (1588-1604),
Laksamananya adalah seorang wanita. Kepada Laksamana oleh
Sultan Aceh dipercayakan untuk memimpin angkatan perang
Aceh, baik angkatan darat maupun armada lautnya. Pada masa
Sultan Iskandar Muda, Laksamana inilah yang selalu memim-
pin penaklukkan-penaklukkan yang dilakukan kerajaan Aceh dan
berkat kemenangan-kemenangan yang diperolehnya membuat
kekuasaan Sultan Iskandar Muda menjadi lebih besar. Oleh
H.K.J. Cowan, Laksamana Aceh pada masa Sultan Iskandar
Muda diidentikkan dengan tokoh Malem Dagang dalam epos De
Hikayat Malem Dagang. Hikayat ini menceritakan kehebatan
Sultan Iskandar Muda dan Laksamananya dalam melakukan
penaklukan ke salah sebuah kerajaan di Semenanjung Melayu.
Mengenai kehebatan Laksamana Aceh pada masa Sultan Iskan-
dar Muda, P.J. Veth dalam sebuah karyanya mengenai sejarah
Aceh, memberikan pujian dengan menyebutkan Laksamana Aceh
itu merupakan seorang pemimpin perang yang terbesar yang per-

227
;' <4P -

nah memimpin suatu ketentaraan di kepulauan Indonesia pada


masa itu.
Pemimpin lain yang merupakan pembantu Sultan ialah yang
disebut Kerukun Katibul Muluk. Dia berkedudukan sebagai juru
tulis sultan. Dialah yang menulis surat-surat yang berhubungan
dengan kepentingan kerajaan, seperti surat menyurat dengan kera-
jaan lain, membuat surat lisensi dan surat-surat pengangkatan
Uleebalang.
Selain ke dua puluh empat jabatan yang ada di kerajaan
Aceh, seperti telah disebut di atas, terdapat pula beberapa buah
badan atau lembaga yang turut mendampingi Sultan Aceh dalam
melaksanakan tugasnya. Di antara lembaga itu adalah (1)
Balairungsari, yaitu tempat bermufakat empat orang Ulee balang
(hulubalang empat) dan tujuh orang Alim Ulama, serta menteri-
menteri kerajaan Aceh. (2) Balai Gading yaitu tempat mufakat
dari delapan orang Uleebalang dan tujuh Alim Ulama serta
menteri- menteri kerajaan Aceh. (3) Balai Majlis Mahkamah
Rakyat, yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat sebanyak tu-
juh puluh tiga orang yang datang dari tujuh puluh tiga Mukim.
Jadi tiap-tiap Mukim diwakili satu orang.
Selain ketiga lembaga di atas, dalam sebuah naskah yang ber-
nama "Kanun Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda disebut pula
ada Balai Laksamana, yaitu semacam markas angkatan perang,
yang dikepalai oleh seorang yang disebut Laksamana, yang tun-
duk atau berada di bawah sultan. Selanjutnya ada pula yang
disebut Balai Fardah, yang tugasnya memungut atau mengum-
pulkan wasel (bea cukai). Balai ini tunduk kepada perintah per-
dana menteri serta sekalian menteri-menteri kerajaan Aceh, tun-
duk kepada Sultan dan juga kepada Kanun.
Demikianlah beberapa peristiwa sejarah yang dapat disajikan
dan diangkat dari berbagai sumber dalam kesempatan terbatas
ini. Peristiwa-peristiwa tersebut ada yang berkaitan langsung dan
ada yang tidak langsung dengan sejarah perkembangan Banda
Aceh sebagai pusat pemerintahan. Dari uraian tersebut jelaslah
bahwa tempat-tempat sekitar Banda Aceh sudah dikenal sejak
abad ke I Masehi oleh pedagang-pedagang yang melalui selat
Malaka dan Lautan Hindia.
Berdasarkan Manuskrip yang dibahas oleh Prof. Hoesein
Djajadiningrat dan berita yang dimuat dalam sebuah penerbitan
di Turki yaitu Jawaib menyebutkan bahwa sultan Johan Syah lah
yang pertama menjadikan Banda Aceh sebagai pusat pemerin-
tahan, Sultan tersebut berdasarkan manuskrip tersebut diatas
mulai memerintah pada tahun 601 H (1205 M) dan berdasarkan
surat khabar Jawaib Ghazi Johansyah mulai memangku jabatan-
nya pada 19 Januari 1215. Walaupun kedua naskah tersebut

228
sebagai sumber sejarah tidak dapat dinilai tinggi oleh para ahli
karena uraiannya yang kacau balau bila dibandingkan dengan
uraian pada naskah-naskah yang lain mengenai pemberitaan yang
serupa, patut juga dipertimbangkan untuk menetapkan penang-
galan dari Hari Jadi Kota Banda Aceh.
Sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada penghujung
abad ke XV terdapat dua buah kerajaan kecil dilembah Aceh yaitu
Kota Alam dan Darul Kamal. Penyatuan ke dua kerajaan itu oleh
Syamsu Syah melahirkan kerajaan Aceh Darussalam dan pada
waktu Sutlan Ali Mughayat Syah dinobatkan sebagai pengganti
ayahnya (1516 M) pusat pemerintahan atau istana dipindahkan.
Seluruh kawasan kota yang menjadi pusat pemerintahan dikenal
dengan nama Bandar Aceh Darussalam. Pada masanyalah Ban-
da Aceh menjadi kota bercorak maritim, pusat perdagangan dan
mulai berkembang menjadi, kota Metropolitan.
Perkembangan Banda Aceh mencapai puncak kejayaannya pada
masa Iskandar Muda. Banda Aceh pada zaman kejayaan itu telah
tumbuh menjadi sebuah kota Metropolitan yang terbesar di Asia
Tenggara yang didiami dan dikunjungi oleh berbagai bangsa dan
menjadi pusat perdagangan lada yang terbesar di dunia.
Tumbuhnya kota Banda Aceh menjadi sebuah kota besar
pada zamannya adalah berkat kearifan para pemegang kekua-
saan pada masa itu dalam memahami situasi dan kondisi yang
sedang berkembang dan kecakapan dalam memanfaatkan potensi
yang tersedia. Banda Aceh sebagai pusat pemerintahan Propinsi
Daerah Istimewa Aceh dan termasuk dalam wilayah Republik In-
donesia merupakan sebuah kota tua yang beruntung dibandingkan
dengan Pasai, Perlak, Gresik, Banten, Tuban dan lain-lain kota
tua pada zaman kerajaan Islam Indonesia. Banda Aceh masih
tetap potensial dilihat dari berbagai aspek kehidupan. Apakah
sejarah akan berulang ? Jawabnya tergantung pada kita semua
yang hidup hari ini dan kemampuan kita menyiapkan pewaris
yang gigih dan arif. Nenek moyang kita telah membuktikannya
semua itu.

229
Banda Aceh Sebagai Pusat
Pemerintahan
Oleh
Tengku Luckman Sinar.S.H.

Sangat kita sesalkan bahwa bapak H.Mohd.Said karena ke-


uzurannya tidak dapat hadir dalam "Seminar Hari Jadi Kota Ban-
da Aceh" (26-29 Maret 1988), tetapi didalam artikel yang ditulis-
nya dalam harian "Waspada" (Medan) tanggal 26-2-1988 dengan
judul : "Menemukan Kepastian Hari Jadi Ibukota Banda Aceh",
ada disinggungnya mengenai hubungan dengan "P'oli" (menurut
berita Cina) dan "Lamuri". Kalau hubungannya dengan "P'oli"
kita sedikit harus berhati-hati, karena banyak sarjana terkemuka
didunia yang menempatkannya pula pada negeri-negeri lain yang
jauh dari Aceh, tetapi hubungan Aceh dengan kerajaan purba
"Lamuri" ada kontinuitasnya terutama untuk memperkuat
legitimasi. Dizaman dahulukala raja dan rakyat menghendaki agar
raja mereka ada memelihara legitimasi secara turun-temurun
dengan sesuatu turunan dewa atau dari wangsa yang tersohor.
Jepang memelihara dinasti turunan raja-raja dari dewa, Imperium
Melayu di Melaka memelihara turunan dari Sang Sapurba, anak
cucu dari Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great dari Yunani)
yang turun di Bukit Seguntang Maha Meru.

KERAJAAN LAMURI PURBA

Kerajaan di wilayah Aceh sekarang yang paling tertua ada


dalam catatan asing ialah " L a m u r i " / " L A M R I " / " L A M I R I "
/ " R A M N I " , seperti yang dicatat oleh Ibn Khordadbeh (844-848
M) (O atau oleh Sulaiman (851 M) (2), oleh Mas'udi (943 M) (3),
dan oleh Buzurg bin Shahriyar (955 M) ( 4 ). Juga terdapat laporan
Cina tentang "Lan-li" dimana orang menunggu angin untuk
berlayar ke barat. Didalam inskripsi Tanjore (1030 M), Raja Ra-
jendra Coladewa-I dari India Selatan ketika mara menaklukkan
Sriwijaya, juga menundukkan "Illamuridecam" yang perkasa

I). "Ibn Khordadhbeh. Kitab alMasalik wa'lMamalik", Ed.J.deGoeje, Leiden


1889.
2). "Abu Zayd Hasan. Voyage du Marchand Arabe Sulayman en Inde et en
Chine rédige en 851, suivi de remarque par (vers 916) trad G.Ferrand (Paris
1922)", oleh Arbier de Meynard, C.
3). "Mas'udi, Les Prairies d'Or I", juga oleh B.de Meynard dan Pavet de
Courteille, 1861.
4). "Buzurg bin Shahriyar al Pam-Hurmuzi, livre des Merveilles dl'Inde par
Bozorgfils de Chahriyar de Pamhormaz", P.A. van der Lith (Leiden 1883-86).

230
didalam pertempuran hebat. Juga laporan Chau-Yu-Kua (1225
M) bahwa "Lan-Wu-Li" yang belum Islam bersama dengan
Samudera mengirimkan utusan kepada Kaisar Kublai Khan
setelah berakhirnya expedisi ke Jawa. Pelawat Marco Polo (1292
M) (5), yang singgah di Samudera-Pasai menyebut "Lambri"
punya raja dan bahasa sendiri dan penduduknya masih belum
Islam. Didalam tahun 1310 M orang Persia, Rashiduddin, me-
nyebut Perlak, Samudera, Aru (Deli sekarang) dan Temiang
berada didalam "Pulau Lamuri".(6)
Fra Odorico de Pordeone (1323 M) O), juga menyebut
"Lamori" belum Islam, tetapi sebaliknya "Sejarah Melayu" me-
nyebut missi Syekh Muhammad dan Nakhoda Ismail yang ingin
meng-Islam-kan Samudera Pasai, sesat terlebih dahulu ke Lamuri
dan meng-Islam- kan raja disitu. Disebut juga bahwa Lamuri
berperang dengan Samudera Pasai. Didalam "Negarakertagama"
(1365 M), disebut bahwa Lamuri, Perlak, Samudera Pasai dapat
ditaklukkan oleh Majapahit. Menurut Kronik Ming, ditahun 1412
M. seorang "Su-lu-tan Mohama-Sha" (Sultan Muhammadsyah)
dari "Lan-bu-li" mengirim utusan ke Tiongkok. Juga puteranya
"Sha-Cha-Han" (Syah Johan) mengutus missi ke Cina juga.(8)
Meskipun dilaporkan bahwa raja Lamuri belum Islam di
abad ke-9, tetapi dapat diketahui bahwa banyak pedagang Arab
dan Persia telah lama menyinggahi Lamuri didalam perjalanan
mereka pulang dari Tiongkok. Tidaklah mustahil jika diadakan
exkavasi kepurbakalaan akan didapati sudah terbentuknya pula
disana suatu masyarakat Islam pada awal Hijrah. Dimanakah
terletaknya pusat kerajaan Lamuri purba itu ? Menurut Van der
Lith(9), pusatnya terletak didekat Lamreh dekat Tungkop, yang
menurutnya pasti ada peninggalan kepurbakalaan disana. Lalu
apakah hubungannya dengan Aceh yang kemudian lahir ?
Menurut Tome PiresOO), y a ng ditahun 1511 M. berada di
Melaka ketika ditaklukkan Portugis, mencatat bahwa di utara
Sumatera ada 6 buah "Reinos" (kerajaan) dan 2 buah "Terras"
(negeri) yaitu:
Reino de Achey e Lambri (Kerajaan Aceh dan Lamuri), Terra
de Biar, Reino de Pedir, Terra de Aeielabu, Reino de Lide, Reino
de Pirada, Reino de Pacee.
Jadi Aceh sudah lahir dan nampaknya disenafaskan dengan
Lambri. Juga disebut ada Teluk Lambri.

5). "Marco Polo", ed.A.C.Moule & P.Pelliol (London 1938).


6). "Geographical Notices", p.351.
7). H.Cordier, "Odorico de Pordenone", Paris 1891.
8). G.Schlegel, "Geographical Notes XVI : The Old States in the Island of
Sumatra", T'oung Pao, Seri II, Vol. 11 (1901), p.357-359.
9). Lihat "Merveilles....", 1886, p.235.
10). "Tome Pires, The Suma Oriental", terjemahan Armando Cortesao, Vol.1,
Hakluyt Society (London 1944), p.38-45.

231
Lamreh yang dekat Tungkop itu termasuk didalam XXVI
Mukim, tetapi disini tidak ada teluk ? Disebelah timur Lamreh,
kira-kira 12 KM lagi, ada sungai Krueng Raya dengan teluknya
dan 500 m dekat muaranya ada ruine (reruntuhan) di dekat mes-
jid dan di dekat Indrapatra tidak sampai 6 KM jauhnya dari Teluk
Krueng Raya dekat Ujong Krueng, di mana ditemukan pening-
galan kepurbakalaan, juga dekat Krueng Bui.01) Tidaklah per-
nah di dalam catatan Portugis bahwa mereka pernah menetap di
dalam wilayah ini. Jadi sudahlah dapat direka bahwa Pusat Kera-
jaan Lamuri purba ada di dekat wilayah Krueng Raya di mana
menurut Hikayat Pocut Muhammad (abad ke-18) masih merupa-
kan bandar yang ramai lagi. Jadi dapatlah direka bahwa wilayah
Lamuri melingkupi juga Lamreh (XXVI Mukim) dan mungkin
sampai ke sungai Aceh. Pires yang mula-mula menyebut bahwa
Aceh sudah Islam dan rajanya masa itu adalah seorang 'a homem
cavaleiro'.(12)
Menurut riwayat, raja Aceh yang pertama Islam ialah, Sultan
Johansyah, yang memerintah kira-kira di tahun 601 H (= 1203-
1204 M), yang bermakam di Kampung Pande (Kandang Aceh),
sebuah kampung tidak berapa jauh dari Kutaraja (DR. Teuku
Iskandar, 1958: 31).
Kalau boleh dipercaya 'Hikayat Aceh' selaku sumber oten-
tik, maka ia naik tahta 1 Ramadhan 601 H = 29 Agustus 1204 M.
Cuma yang menjadi pertanyaan apakah Kraton (= Dalam =
Kotaraja = Pusat Pemerintahan) masa itu ada di kampung
Pande, dimana terletak makam itu ?

KONTINUITAS DAN LEGITIMASI


DR. Teuku Iskandar didalam thesisnyaG3) menyebut bahwa
Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, adalah turunan langsung
dari Sultan Munawarsyah dari Kerajaan Lamuri, yang menurut
teromba (silsilah) adalah pula turunan langsung dari Raja Iskan-
dar Zulkarnain dan Munawarsyah itu beristerikan pula seorang
"bidadari". Dia yang mula pindah ke Makota Alam, sebelah
utara memudik sungai Aceh pada akhir abad ke-I5 M. Jadi kita
lihat bahwa riwayat itu mempertautkan adanya suatu legitimasi
yang terus menerus sejak Raja Iskandar Zulkarnain dari Yunani
yang menaklukkan India Utara, melalui kerajaan Lamuri Purba
yang sudah dikenal sejak abad ke-9 M, ke kerajaan Aceh
Darussalam!
Makam raja-raja Aceh terdahulu itu disebut "Kandang
U). Goldie, dalam TBG 53 (1911), p.301-313.
12). R.Boxer, "Portuguese in Asia", p. 185.
13). "De Hikajat Atjeh", p.30

lil
Aceh", beberapa kilometer dari pusat kraton di Kotaraja. Me-
nurut setengah riwayat setelah memerintah selama 43 tahun, di
zaman pemerintahan Sultan Mahmudsyah zetel kraton berpin-
dah ke Darul Donia, kemungkinan sekali karena sudah dangkal-
nya sungai Lamuri itu. Menurut Mohd.SaidU4); yang mem-
bangun Darul Donia ialah Sultan Muhammadsyah kira-kira
ditahun 700 H (= 1260 M). Perpindahan dari Lamuri ke Darul
Donia (Makota Alam) bersamaan juga dengan dibangunnya suatu
kerajaan yang lain diseberang sungai yang disebut Darul Kamal.
Kedua kerajaan ini diperintahi dari satu turunan yang sama, tetapi
akhirnya saling berperang dimana kemudian Sultan Syamsusyah
bin Sultan Munawarsyah berjaya merebut Darul Kamal itu.
Menurut H.T. DamsteU5) kuburannya ada di makam "Kubu
Poteu Meurehom" di Kota Alam dan dijangka mangkat 1531 M.

LAHIRNYA ACEH DARUSSALAM

Sultan Syamsusyah kemudian abdikasi untuk kepentingan


puteranya Sultan Ali Mughayatsyah yang dijangka naik tahta 913
- 928 H. dan makamnya ada di Kandang XII Kotaraja.
Menurut "Oudheidkundig Verslag 1914, p.78, tarikh nisan-
nya ialah bertepatan dengan 7 Augustus 1530 M. Menurut "Bus-
tanussalatin" karangan Ar Raniri, 1507/1508-1521/1522 M.
"Hikayat Aceh" menyebut kira-kira 1513/1514-1530/1531 M.06)
Sedangkan menurut K.H. van LangenO?), adalah 1507-1522 M.
"Bustanussalatin" menceritakan bahwa ia memerintah selama 14
tahun. Orang Portugis keliru dengan mempertukarkannya dengan
Tuanku Raja Ibrahim, bahkan juga Prof.DR.Hussein
Djajadiningrat(18) didalam thesisnya keliru menukarkannya
dengan Tuanku Raja Ibrahim itu, padahal Raja Ibrahim adalah
adik dari Sultan Ali Mughayatsyah dan sangat terkenal sebagai
Panglima Mandala didalam penaklukan banyak kerajaan-
kerajaan di Aceh didalam proses unifikasi Aceh, dan mungkin
tewas ketika penyerangan ke Pasai ditahun 1523. Oleh sebab itu
dapatlah kita yakini bahwa Sultan Ali Mughayatsyah yang ber-
mukim (Kraton = Dalam = Kotaraja) di Kotaraja (kini Banda
Aceh) dan bermakam juga disitu, adalah Unificator (pemersatu
Aceh Raya) dan pendiri dari Kerajaan Aceh Darussalam!
Suatu peristiwa sejarah yang maha besar yang membawa im-
pact yang sangat penting didalam sejarah Nusantara kita.
14). "Aceh Sepanjang Abad".
15). "Atjeh Historie", Kol. Tijdschrift 1916 p.321.
16). "Hikajat Atjeh", oleh Hans Penth, Wiesbaden 1969.
17). "De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder het Sultanaat", BKI
37 (1888).
18). "Critisch Overzicht van de in de Maleische werken vervatte gegevens over
de Geschidenis van het Soeltanaal Atjeh", BKI 55 (1911), p.147.

233
KONSEPSI TENTANG "KEDAULATAN"

Kalau pada orang Melayu, "daulat" suatu kerajaan ada pada


diri pribadi Raja. Kemanapun dia berpindah, daulat berpindah
juga. Territori tidak menjadi masalah tetapi yang harus dijaga
dan diselamatkan ialah "daulat raja dari wangsa tersphor sejak
dahulu kala". Ketika Sultan Mahmudsyah terusir oleh Portugis
dari Melaka ditahun 1511 M, baginda berpindah ke Pahang, ke-
mudian ke Bintan dan akhirnya ke Kampar. Dimana saja bagin-
da bersemayam, Orang-Orang Besar dan rakyat dari segenap pen-
juru Imperium Melayu akan datang kesana menghadap dan pusat
pemerintahan itu akan menjadi ramai. Tetapi ketika Sultan
Alauddin Mohammad Daudsyah menyerah pada Belanda di Sigli
10 Januari 1903, Belanda menganggap remeh hal itu, dan me-
nimpakan padanya syarat-syarat seperti yang ditimpakan kepada
para Uleebalang lainnya.
Menurut "Encyclopedie van Nederlandsch-Indie" p.22:09)
'" den lOden Januari 1903 meldde zich de pretendent Sultan
Alaoedin Moehamat Dawodsyah te Sigli. Naar Koeta Radja
opgezonden schreeft hij een brief aan den Gouverneur waarin hij
zeide zijn persoon te stellen in 's gouverneurs handen en te willen
berusten in wat omtrent hem zou worden beschikt. Verder
verklaarde hij, dat het Rijk Atjeh deel uitmaakte van
Nederlandsch-Indie en dus stond onder het gezag van H.M.de
Koningin, aan wie hij voor altijd trouw beloofde, evenals aan den
Gouverneur Generaal als Hoogstderzelver Vertegenwoordiger.
Voorts zou hij zich bereidwillig voegen aan alle hem door den
Gouverneur te geven bevelen".
( pada tanggal 10-1-1903 melaporkan diri Pretendent (= yang
menganggap dirinya) Sultan Alauddin Mohamad Daudsyah di
Sigli. Didalam suratnya yang dikirim ke Kotaraja, ia menulis
kepada Gubernur dimana ia mengatakan telah meletakkan dirinya
ke tangan Gubernur dan sedia membuat sebarang apa saja atas
dirinya. Kemudian ia menyatakan bahwa Kerajaan Aceh
merupakan bahagian dari Hindia Belanda dan berada dibawah
kekuasaan Sri Baginda Ratu, kepada siapa ia selanjutnya akan
setia, begitu juga kepada Gubernur Jendral selaku Wakil Tertinggi
baginda. Kemudian ia akan siap sedia menjalankan semua perin-
tah dari Gubernur).
Mungkin pernyataan ini dilakukan karena paksaan ataupun
mungkin hanya selaku muslihat politik saja, tetapi bunyinya sama
dengan isi Korte Verklaring (Pernyataan Pendek) Atjeh Model
yang harus ditandatangani oleh para Uleebalang (Zelfbestuur)
yang lebih 100 orang di Aceh masa itu, yang merupakan penyerah-

19). Oleh J. T Bezemer.

234
an dari kedaulatannya. Sebaliknya Belanda lebih menganggap
penting penyerahan Panglima Polim, yang dirasa besar
pengaruhnya ketika itu kepada rakyat dan juga merangkap Orang
Besar utama Kerajaan Aceh yang menurut adat sebagai Panglima
Sagi menentukan pengangkatan seorang raja Aceh. Tetapi adanya
seorang Raja Aceh bisa menimbulkan kembali rasa kesatuan dan
"loco nationalisme" Aceh, yang akan dianggap sangat berbahaya,
oleh karena itu politik pecah belah dan kuasai, dengan membuat
wilayah kekuasaan di Aceh terpecah-pecah dalam ratusan Ulee-
balang (Zelfbestuurders) lebih menguntungkan Belanda. Sultan
Muhammad Daudsyah, yang dibiarkan Belanda hidup sebagai
rakyat biasa, kemudian sadar selaku orang Timur akan
kebangkitan Jepang yang berhasil mengalahkan negara besar
Eropah (Rusia) ditahun 1904 dan secara rahasia meminta
dukungan kekuatan baru itu buat memulihkan kedaulatan kera-
jaan Aceh kembali. Tetapi sayang korespondensinya dengan Kon-
sul Jepang di Singapura tertangkap oleh Belanda sehingga meng-
akibatkannya bersama Pangeran Husin dan Teuku Johan Lam
Pase dibuang Belanda ke Jawa 21-8-1907. Politik mendekati
Jepang untuk melawan Belanda ini sejalan dengan yang dilakukan
oleh Sultan Serdang dan Sultan Riau, dimana malahan Sultan
Riau berakibat dibuang Belanda ke Singapura dan kerajaan Riau-
Lingga dihapuskan. Pada akhir tahun 1930-han, telah pernah juga
dicoba untuk mempersatukan "loco nasionalisme Aceh" itu
dengan memulihkan Kesultanan Aceh dibawah Hindia Belanda,
dengan menampilkan seorang tokoh terpelajar Aceh turunan
Sultan-sultan Aceh, yaitu TUANKU MAHMUD, yang ketika itu
menjadi anggota Volksraad dan menantu Sultan Serdang. Beliau
dibacking oleh Uleebalang-Uleebalang terkemuka seperti Teuku
Cik Peusangan dan lain-lain, tetapi banyak juga Uleebalang yang
lain yang tidak menghendaki pulihnya kembali Kesultanan Aceh
itu yang tentu akan menurunkan status yang kini sudah mereka
miliki.(20)
Tetapi di Indonesia rupanya Belanda tidak berpegang
mengenai "kedaulatan" ditangan raja bumiputera. Belanda
berpegang kepada "recht van overwinning" (hak hukum karena
penaklukkan) dari suatu Kraton = Dalam = Kotaraja, selaku
sebagai cosmos dan pusat pemerintahan kerajaan itu, tidak per-
duli apakah sang Sultan masih bergerilya dipedalaman yang diang-
gapnya kini fugitive (pelarian). Begitulah ketika "Perang Asahan"
Belanda menduduki istana dan ibukota Tg.Balai ditahun 1865,
Sultan Ahmadsyah yang sedang bergerilya di pedalaman

20). Lihat juga DR.A J.Piekaar, "Atjeh en de Oorlog met Japan", p.14-16. Oleh
ipar saya Tuanku Mahmud, pernah juga ditunjukkan guntingan- guntingan
koran dan dokumen mengenai kegiatan ini dan juga sejumlah cap-cap raja-
raja Aceh.

235
dianggapnya pelarian dan begitu saja diumumkannya pemakzul-
annya. Mengenai didudukinya Kraton (dalam) yang disebut
"Kotaraja" di Banda Aceh, Belanda sudah menganggap Kera-
jaan Aceh seluruhnya takluk.
"De inlijving van Groot Atjeh bij het rechtstreeksbestuurdgebied
was het direct gevolg van de oorlogsverklaring aan dèn Sultan van
Atjeh en van de anexatie van diens gebied.(21)
(Dimasukkannya wilayah Aceh Besar ke dalam wilayah yang
diperintah langsung Gubernemen adalah akibat pernyataan
perang terhadap Sultan Aceh dan anexasi atas wilayahnya).
Menurut "Encycl. van Ned.Indie", 1921, p.247, "Kota Ra-
ja" berkembang asalnya dari "dalam" dimana Sultan berdiam
beberapa jaraknya dari tebing timur sungai Aceh, kira-kira 1 jam
berkayuh dari muaranya. Kota "Dalam" itu 4 persegi 600 x 250
m. dikelilingi tembok dari tanah dan dilewati oleh Krueng Daroy.
Dinding tanah itu kemudian diganti dan dibuatlah lobang-lobang
penembakan dari batu dan "Dalam" tadi berganti menjadi
"Kraton", jantungnya "Koeta Raja", ibukota yang resmi.
Tetapi Belanda tidaklah konsekwen terhadap konsep
penaklukkan ibukota itu. Ketika Nazi Jerman menguasai ibukota
negeri Belanda ditahun 1941 dan Ratu Wilhelmina mengungsi ke
Inggeris, Belanda menganggap "kedaulatan" ada pada Ratu
mereka dan menganggap "negara Belanda" masih tetap ada !
KESIMPULAN

Dapatlah disimpulkan bahwa bagi bangsa Asia, pusat ke-


dudukan Raja adalah cosmos centrum oleh karena itu ia men-
dahului semua kegiatan yang lain dan tempat kedudukan
"kedulatan" sesuatu kerajaan. Mengenai BANDA ACEH ada
2 alternatip :
(A). Makam SULTAN JOHANSYAH yang menjadi Raja 1 Ra-
madhan 601 H (= 29-8-1204 M), makamnya terletak di kam-
pung Pande Meunasah Kandang, sebuah kampung yang
tidak jauh dari Kutaraja; Sultan Aceh yang mula-mula
Islam;
(B) Makam SULTAN ALI MUGHAYATSYAH yang makam-
nya ada di Kandang XII Kraton Kotaraja (Pusat Kotamadya
Banda Aceh sekarang) dan makamnya bertarikh 7-8-1530 M.
Ia adalah Unificator seluruh Aceh dan Sultan Pertama Ke-
rajaan ACEH DARUSSALAM.
Ada pendapat menunjuk kepada tahun wafatnya Sultan Jo-
hansyah yang merupakan tahun terjauh yang dapat ditemukan
untuk berdirinya Banda Aceh. Tetapi menjadi pertanyaan kita:

DR. J.CC. de Haar, "De Zelfbestuurspolitiek ten opzichte van de Korte


Verklaringlandschappen in Ned.Indie", p.28.

236
(1) Benarkah kampung Pande merupakan pusat Banda Aceh
atau Kraton (dalam = kotaraja) dimana Raja bersemayam
sebelum pindah ke Mahkota Alam ?
Ini belum bisa secara yakin dipastikan ! Juga kampung
Pande itu zaman dahulukala belum termasuk wilayah
Kotaraja (kraton = Pusat pemerintahan dan bersemayam
raja).
(2). Bahwa pelabuhan Kerajaan Aceh, sebelum pemerintahan
Sultan Ali Mughayatsyah tidak merupakan pelabuhan yang
utama jika dibandingkan dengan Pasai, Pedir, Perlak dan
Lamuri (sebelumnya). Bahkan tidak lama kemudian di-
peroleh berita bahwa Kerajaan Aceh itu sendiri sudah men-
jadi taklukkan dari Pedir.
(3). Bahwa masih tentu ada makam raja-raja Aceh yang lebih
tua dari makam Johansyah itu.

Oleh sebab itu saya berpendapat bahwa menentukan suatu


Hari Jadi sebuah kota atau daerah tidaklah musti berdasarkan
terdapatnya sesuatu prasasti yang tua. Hari Jadi sebuah kota bisa
saja suatu tahun dimana terjadi suatu peristiwa yang besar, yang
menjadi kebanggaan masyarakat disitu. Oleh sebab itu saya
mengusulkan agar Hari Jadi Kota Banda Aceh ditetapkan pada
masa SULTAN ALI MUGHAYATSYAH (Makamnya bertarikh
7-8-1530 M), dengan pertimbangan sbb :

(1). Sultan Ali Mughayatsyah yang mula-mula membuat pusat


pemerintahan (kraton = dalam = Kotaraja) di pusat
Kotamadya Banda Aceh sekarang, paling tidak sejak 1515
M.
(2). Makamnya berada di pusat Kotaraja (Kotamadya Banda
Aceh sekarang).
(3). Ia adalah Unificator (pemersatu) Aceh dan melahirkan
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM.
(4). Unifikasi Aceh dan kejayaan Sultan Ali Mughayatsyah
membersihkan bumi Aceh dari kaum imperialis/kolonialis
Asing (Portugis), merupakan suatu peristiwa yang maha
besar didalam Sejarah Nusantara!

C
.. Mecjan, 1 8 - 5 - 1 9 8 8 , -

i (Tengku Luckman Sinar,SH)


ibni
Tuanku S u l t a n Sulaiman
Sy a r i . S.io'syall

237
B

Pidato Walikotamadya Kepala Daerah


Tingkat II Banda Aceh Pada Penutupan
Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh

Assalamu'laikum Wr.Wb.
Yth. Bapak Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan Ibu.
Yth. Bapak-bapak Muspida Tingkat I Propinsi Daerah Istimewa
Aceh dan Ibu. Bapak-bapak Anggota Steering Committee
Seminar. Bapak-bapak Penyaji Makalah, penanggap dan
Saudara-saudara Peserta Seminar sekalian yang kami muliakan.
Hadirin yang berbahagia.
Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur
kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan Karunia
Nya kepada kita semua, sehingga dimalam yang berbahagia ini,
kita masih diberi kesehatan dan kesempatan menghadiri
penutupan Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh yang Insya Allah
sebentar lagi akan ditutup oleh Bapak Gubernur Kepala Daerah
Istimewa Aceh.
Hadirin yang berbahagia.
Setelah selama 2 hari 2 malam Seminar ini berlangsung, maka
pada malam ini, sebagaimana telah diumumkan tadi oleh Ketua
Steering Committee, bahwa Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh
telah berhasil menetapkan tanggal 1 Ramadhan 601 H/22 April
1205 M sebagai Hari Jadi Kota Banda Aceh. Dengan demikian
Kota ini telah berusia 783 tahun, itu berarti Kota Banda Aceh
termasuk Kota yang berusia tua disamping Kota lain di Indonesia.
Seperti telah kami kemukakan pada pembukaan seminar ini,
penetapan Hari Jadi Kota Banda Aceh diharapkan akan
merupakan titik awal dari usaha pengenalan diri seluruh warganya
untuk lebih menggerakkan pembangunan dalam rangka masa
depan yang lebih baik.
Secara filosofis, setiap generasi dituntut untuk "mempertang-
gung jawabkan masa lampaunya". Apa yang dimaksud dengan
pengertian ini tiada lain bahwa setiap generasi dituntut untuk
menulis kisah di kelampauannya sebagai suatu masyarakat. Setiap
generasi berdasarkan kebutuhannya memiliki berbagai masalah
yang dihadapi. Usaha penulisan sejarah pada tingkat ini,
dimaksudkan, untuk menjawab berbagai masalah itu. Oleh
karenanya, tidaklah mengherankan apabila salah seorang se-
jarahwan terkemuka mengatakan "bahwa sejarah yang benar
adalah sejarah masa kini", dalam arti kata, sejarah yang ditulis
pada masa kini. Oleh karena itu pula seorang sejarahwan lain
menganjurkan agar setiap generasi berusaha untuk menulis se-
jarahnya. Dengan demikian sangatlah dapat diterima oleh akal

238
séhat kita, apabila sejarah memang selalu harus ditulis kembali.
Berdasarkan pendapat tersebut, sebenarnya kita tidak perlu
bersikap takut, apabila penulisan kita pada masa kini mendapat
kritik atau akan ditulis kembali oleh orang lain dimasa yang akan
datang. Menulis sejarah sebagai cerita sebenarnya tiada lain
adalah usaha merekonstruksikan peristiwa masa lalu. Peristiwa
atau kejadian yang berupa aktifitas manusia dalam ruang dan
waktu tertentu itu telah berlangsung jauh dibelakang kita. An-
tara kita yang hidup pada masa sekarang dengan peristiwa yang
terjadi di kelampauan itu, terdapat suatu jarak, sekurang-
kurangnya ada jarak waktu yang memisahkan kita.
Peristiwa masa lalu, tidak pernah kita saksikan sebagai suatu
fenomena yang utuh, atau tidak pernah meninggalkan saksi yang
lengkap dan sempurna. Yang tertinggal dan yang dapat kita
saksikan pada masa kini hanyalah bekas-bekas, relik-relik, sisa-
sisa dari peristiwa itu dalam wujudnya yang sangat fragmentaris.
Dari bahan serupa itulah rekonstruksi masa lampau dibentuk atau
dibangun kembali dengan mempergunakan methode sejarah
kritis. Oleh karena itu pulalah dapat disebutkan, bahwa alangkah
naifnya, apabila kita dituntut untuk membangun kisah tentang
masa lampau sebulat dan seutuh peristiwanya sendiri. Saya kira
siapapun orangnya tidak mungkin dapat menulis kisah sejarah
sesempurna mungkin, atau sesempurna peristiwanya sendiri.
Saya kira, sejauh kemampuan yang dimiliki dan sejauh
sumber-sumber yang tersedia, semua kita telah bekerja extra
keras, untuk berhasil menetapkan Hari Jadi Kota Banda Aceh
dan Perkembangannya dari masa ke masa. Inilah hasil maximal
yang dapat kita persembahkan pada masa kini. Dan memang
sesungguhnya kebenaran yang mutlak hanya ada ditangan
ALLAH SWT.
Atas keberhasilan Seminar menetapkan Hari Jadi Kota Ban-
da Aceh kami menyampaikan penghargaan dan sekali lagi
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.AIi Hasjmy,
kepada Bapak Prof.DR.T.Iskandar, Prof.Hasan M.Ambary,
Prof.DR.Ibrahim Alfian, Prof.DR.Syamsuddin Mahmud,
Prof.H.Ibrahim Husin, MA, Prof.DR.H.Ismuha, SH, DRS.
Abidin Hasyim, MSc, Ibu Hajjah Ani Idrus, Drs.Anas Mahmud,
Tengku Lukman Sinar SH, Drs.Muhammady, MA, dan lain-lain,
kami ucapkan terima kasih.
Kami menyadari, bahwa selama Bapak-Bapak dan Ibu-ibu
berada di Banda Aceh mengikuti Seminar, sudah barang tentu
disana sini terdapat berbagai kekurangan atau kejanggalan, dalam
pelayanan misalnya, maka pada kesempatan ini kami mohon
maaf yang sebesar- besarnya.
Seterusnya kepada Bapak-Bapak yang akan meninggalkan
Banda Aceh kami mengucapkan selamat jalan semoga bertemu
kembali dilain kesempatan, beupanyang umu dan beumudah

239
raseuki.
Kepada Bapak Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh,
kami mohon dalam kesempatan ini berkenan untuk menyam-
paikan kata-kata sambutan dan sekaligus menutup dengan resmi
Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh.
Sekian dan terima kasih.
Wabillahi Taufik Walhidayah.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

Banda Aceh, 28 Maret 1988.


WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH TINGKAT II
BANDA ACEH
d.t.o.
DRS.BAHARUDDIN YAHYA.

240
SAMBUTAN
GUBERNUR KEPALA DAERAH
ISTIMEWA ACEH
PADA
PENUTUPAN SEMINAR HARI JADI
KOTA BANDA ACEH
TANGGAL 28 MARET 1988

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Saudara Unsur Muspida, Ketua DPRD, Ketua MUI, Ketua


LAKA, Prof DR.T.Iskandar, Prof DR.T.Ibrahim Alfian, Tengku
Lukman Sinar, S.H, Ibu Ani Idrus, Sdr Drs.Muhammady MA,
Sdr Walikotamadya, hadirin dan hadirat yang mulia.
Syukur Alhamdulillah, karena dengan rahmat dan Karunia
Allah Subhanahu Wataala, pada hari ini kita bertemu kembali
untuk melaksanakan penutupan Seminar Hari Jadi Kota Banda
Aceh yang cukup penting ini.
Saya memperoleh laporan, bahwa Seminar Hari Jadi Kota
Banda Aceh yang dilangsungkan selama tiga hari penuh, secara
marathon ini telah diikuti oleh para peserta, baik pembawa
Makalah, pembanding/pembanding spontan secara tulus,
sehingga apa yang menjadi harapan saya pada waktu pembukaan
Seminar ini, secara umum telah mencapai sasaran, semangat yang
besar ini merupakan salah satu indikator, bahwa hasrat
masyarakat Banda Aceh untuk menetapkan hari jadi kota ini dan
idaman masyarakat untuk menjadikan Banda Aceh sebagai pusat
politik, kebudayaan, perdagangan dan kota tamaddun
(peradaban), benar-benar bukan hanya ungkapan dibibir saja,
tetapi diikuti dengan perbuatan nyata.
Hasrat ini memang dapat dipahami, karena sesuai dengan
laju pembangunan sekarang ini, pada masa mendatang Banda
Aceh akan memegang peranan yang penting sehingga memerlukan
pembinaan, penanganan maupun pengaturan yang intensif, serius,
berkesinambungan, terencana dan terprogram.
Saudara sekalian.
Saya menilai, bahwa apa yang telah diputuskan, dirumuskan
maupun kesepakatan yang telah dihasilkan oleh Seminar ini,
adalah merupakan salah satu ungkapan sejarah yang sangat ber-

241
makna, untuk dijadikan pilar dalam pengembangan Banda Aceh
pada masa yang akan datang. Ini perlu, sebab sejarah menga-
jarkan kepada kita tentang perbuatan dan perilaku manusia
dimasa lalu. Dari perbuatan perbuatan tersebut kita dapat bercer-
min dan menilai, perbuatan mana yang merupakan keberhasilan
dan yang mana yang merupakan kegagalan. Berdasarkan
pengetahuan sejarah itu, kita menjadi sangat hati hati agar
kegagalan itu tidak terulang kembali. Seorang Fhilosof Cina kena-
maan yang bernama Confutse pernah berucap "Sejarah mendidik
kita supaya bertindak bijaksana". Kesimpulan. Bahwa sejarah
tidak bisa dipisahkan dari hidup, sebab ia merupakan rangkaian
yang tidak terpisahkan dari hidup itu sendiri. Oleh karena itu,
maka Nehru pernah berkata "We cannot leave history, because
history begins with our own life" Kehidupan manusia sekarang
ini merupakan mata rantai yang tak terpisahkan dari kehidupan
manusia generasi sebelumnya dan bahkan generasi yang akan
datang.
Antara kelampauan-kekinian dan keakanan. merupakan dua
sisi dari satu mata uang. Tepatlah apa yang d' atakan oleh Prof
Toynbee "bahwa mempelajari sejarah itu aduiah untuk membuat
sejarah (to study history is to build history).
Keputusan ini akan sangat lebih penting lagi, karena Banda
Aceh mendatang akan dijadikan pintu gerbang masuk Wisatawan
ke Aceh, tentu Seminar ini secara implisit telah sangat memban-
tu untuk meningkatkan arus grafik Pariwisata ke Daerah Istimewa
Aceh yang telah memperoleh beberapa nama julukan.
Disisi lain, keputusan seminar yang ditelorkan oleh para se-
jarawan dan para-pakar dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan
ini akan dapat memperkaya pengetahuan sejarah dan seluk beluk
Banda Aceh pada masa lalu, untuk dijadikan pedoman pada masa
yang akan datang. Bernostalgia kepada masa lalu yang bukan
dalam arti sempit ini perlu, karena upaya ini merupakan salah
satu sisi untuk membangkitkan hasrat dan semangat mengem-
bangkan sejarah budaya bangsa untuk mengembangkan
kebudayaan Nasional, lebih-lebih pada bulan Agustus 1988,
Pemerintah Daerah Istimewa Aceh akan mengadakan PKA - 3
yang diikuti oleh seminar-seminar yang erat kaitannya bagaimana
Aceh masa lalu, masa sekarang dan bagaimana pada masa yang
akan datang.
Hasil seminar ini dipandang akan merupakan bahan yang
cukup besar artinya untuk meningkatkan kwalitas maupun tu-
juan dari PKA - 3 itu sendiri.
Saudara sekalian.
Adalah menjadi harapan saya kepada Panitia Penyelenggara
agar dapat membukukan hasil seminar ini dengan baik, agar hasil
seminar yang cukup berbobot ini dapat dipergunakan oleh semua
pihak. Ini penting, karena Aceh pada saat ini memang sangat

242
kekurangan penulis sejarah, padahal Aceh yang pernah tersohor
ke dalam dan keluar negeri pada masa lalu, sangat banyak
ungkapan sejarah yang harus kita petik, untuk kita terapkan
secara selektif pada saat ini.
Kepada peserta Seminar terutama kepada peserta yang
datang dari Luar negeri dan yang datang dari luar Propinsi Daerah
Istimewa Aceh (dari Sumatera Utara - Jakarta) dan lain-lain saya
ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Seiring dengan ucapan selamat menuju Daerah masing-
masing, saya harapkan agar dalam PKA-3 nanti anda sudi datang
lagi ke Daerah kami ini, karena kami nilai tenaga anda dalam
banyak hal sangat kami butuhkan demi untuk menggali sejarah
mengembangkan kebudayaan, maupun untuk mengejar segala
ketinggalan daerah kami, akibat pergolakan dan trauma politik
masa lalu.
Sekarang Daerah Istimewa Aceh, antara lapisan Pemerin-
tah dengan lapisan masyarakat, sedang bahu membahu
melakukan berbagai terobosan dan melaksanakan pembangunan
demi untuk menciptakan hari esok yang lebih baik dari pada hari
kemarennya.
Kini masyarakat Aceh telah semakin menyadari akan segala
ketinggalannya sehingga dengan adanya kesadaran tersebut akan
merupakan motivasi yang cukup kuat bagi kami untuk
mengayunkan langkahnya ke depan secara tepat dan pasti.
Demikianlah sambutan dan harapan saya, semoga ada man-
faatnya, akhirnya dengan mengucapkan "Alhamdulillahirabbil
Alamin" Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh dengan resmi saya
nyatakan ditutup.
Wabillahitaufiq walhidayah
Assalamu'laikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

GUBERNUR KEPALA DAERAH ISTIMEWA ACEH

IBRAHIM HASAN

243
Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Banda Aceh
Nomor : 0 5 . 3 . 0 6 / 0 9 / S K / 8 8
TENTANG
P e m b e n t u k a n Panitia P e l a k s a n a Seminar
Hari J a d i Kota Banda Aceh.

Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Banda Aceh


Menimbang:
a. bahwa dalam rangka untuk menentukan tanggal yang pasti
tentang Hari Jadi Kota Banda Aceh dipandang perlu memben-
tuk Panitia yang bertugas mengadakan Seminar, guna meren-
tukan tanggal yang pasti tentang Hari Jadi Kotamadyr Daerah
Tingkat II Banda Aceh.

b. bahwa untuk maksud tersebut perlu menetapkan dalam suatu


surat keputusan.

Mengingat:
1. Undang-Undang No. 8 (Drt) tahun 1956 tentang Pembentukan
Daerah Otonom Kota-kota Besar dalam lingkungan Daerah
Propinsi Sumatera Utara yo Peraturan Pemerintah No. 5
Tahun 1983 tentang Pembahan Batas Wilayah Kotamadya
Daerah Tingkat II Banda Aceh;
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Di Daerah;
3. Peraturan Daerah Kotamadya Banda Aceh No. 6 Tahun 1963
tentang Lambang Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II
Banda Aceh.

MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
Pertama: Membentuk/menunjuk mereka yang namanya tersebut
dalam lampiran Keputusan ini sebagai Ketua,
Sekretaris dan Anggota Panitia Pelaksana Seminar
Hari Jadi Kota Banda Aceh.
Kedua : Panitia dalam melaksanakan tugas bertanggung jawab
kepada Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Ban-
da Aceh dan Panitia dinyatakan bubar setelah selesai
menjalankan tugas secara keseluruhan.
244
Ketiga : Semua biaya yang timbul akibat dikeluarkan keputusan
ini dibebankan pada APBD Kotamadya Daerah
Tingkat II Banda Aceh.

Keempat: Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan


dengan ketentuan apabila ternyata terdapat kekeliruan
dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.

DITETAPKAN DI : BANDA ACEH


PADA TANGGAL ; 15 Januari 1988

WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH


TINGKAT II BANDA ACEH

DRS. BAHARUDDIN YAHYA

Tembusan:
1. Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh
2. Dan Dim 0101 Banda Aceh.
3. Kapolres 101 Aceh Besar/Banda Aceh
4. Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh.
5. Ketua Pengadilan Negeri Banda Aceh.
6. Ketua DPRD Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh.
7. Para Camat/Kepala Bagian/Kepala Dinas dalam lingkungan
Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh.
8. Yang bersangkutan.
9. A r s i p

245
Lampiran — Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Banda Aceh No.: 05.3.06/09/SK/1988
Tanggal 15 Januari 1988

Susunan Personalia Panitia Penyelenggara


Seminar Hari Lahirnya Kota Banda Aceh
I. DEWAN PENASEHAT:
Ketua : Walikotamadya Kepala Daerah Tk.
II Banda Aceh
Wakil : Ketua DPRD Tk. II Kotamadya
Banda Aceh
Anggota : l'. Kepala Kejaksaan Negeri
Banda Aceh
2. Dan Dim 0101 Banda Aceh
3. Dan Res 101 Aceh Besar/
Banda Aceh
4. Ketua Pengadilan Negeri
Banda Aceh

II. STEERING COMMITTEE (PANITIA PENGARAH):


Ketua : Prof. Ali Hasjmy
Sekretaris : Drs. Zakaria Ahmad
Anggota : 1. Drs. Muhammad Ibrahim
2. Drs. Rusdi Sufi
3. Drs. Nasruddin Sulaiman
4. Drs. M. Gade Ismail, MA
5. Twk. Abdul Djalil

III. ORGANIZING COMMITTEE (PANITIA PELAKSANA):


Ketua Drs. T. Sulaiman
Wakil Ketua Drs. Sulaiman Abbas
Sekretaris Syamsuddin Daud, SH
Wakil Sekretaris Drs. Yusrie Yakob
Bendahara Drs. Rusli Usman
Wakil Bendahara Husen Syam

SEKSI-SEKSI:

a. Tempat, Konsumsi, Angkutan


Ketua Drs. Sulaiman Ahmad
Wakil Ketua H. Sargono
Anggota 1. Staf Bagian Umum
2. Staf Dinas Pekerjaan Umum

246
b. Tamu, Protokol
Ketua Drs. T. Daud Syah
Wakil Ketua Dra. Chairida Tuty Thahir
Anggota 1. Sartono Abbas BA
2. Reporter RRI Banda Aceh
3. Unsur PWI Aceh
c. Kesehatan
Ketua dr. Buchari M.J.
Wakil Ketua dr. Zulfian
Anggota Staf Dinas Kesehatan Kotamadya
Banda Aceh
d. Keamanan
Ketua Mayor M. Noer By
Wakil Ketua Mayor Pakeh Ibrahim
Anggota 1. Staf Mawil Hansip Kotamadya
Banda Aceh
2. Anggota Dinas Peperda
e. Sekretariat
Ketua Iskandar AR, BA
Wakil Ketua Umar Abdullah
Anggota 1. Drs. Ikhbal Ahmad
2. Thanthawi, SmHk
3. M. Thahir
4. Hasballah, BA
5. M. Amin Umar

Pembantu-pembantu Umum:
1. Drs. Salman Usman
2. Sulaiman, SH
3. Ilyas Harun
4. Drs. Yuswanuddin
5. Haji Mohd. Hasan
6. Drs. T. Anwar Azwardy
7. Drs. Hasballah Sulaiman
8. Drs. T.M. Ali Ateuk
9. Drs. Chairuddin Abbas
10. A. Azies Koenoen.

Mengetahui,

WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH TINGKAT II


BANDA ACEH,

— DRS. BAHARUDDIN YAHYA

24->
Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II Banda Aceh
NOMOR 481.3/70/SK/1988
TENTANG
PEMBENTUKAN TEAM PENGEDIT BUKU SEMINAR
HARI JADI KOTA BANDA ACEH

WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH


TINGKAT II BANDA ACEH

Menimbang:
a. Bahwa dalam rangka untuk melestarikan nilai-nilai sejarah per-
juangan khususnya sejarah pertumbuhan kota Banda Aceh dan
perkembangannya dari masa ke masa, maka dirasa perlu
menghimpun semua naskah makalah dari Seminar Hari Jadi
Kota Banda Aceh, untuk selanjutnya dijadikan satu buku;

b. Bahwa untuk melaksanakan maksud tersebut dipandang perlu


ditetapkan suatu team yang bertugas melaksanakan pekerjaan
tersebut;

c. Bahwa untuk maksud tersebut perlu menetapkan dalam suatu


keputusan.

Mengingat:

1. Undang-Undang No. 8 (Drt) Tahun 1956 yo PP No. 5 Tahun


1983;
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

Pertama : Menunjuk mereka yang namanya tersebut di bawah


ini untuk duduk dalam Team Editing Buku Seminar
Hari Jadi Kota Banda Aceh dengan susunan per-
sonalianya seperti tersebut di bawah ini:
Prof. Ali Hasjmy Ketua
Drs. M. Gade Ismail, MA Sekretaris
Drs. Nasruddin Sulaiman Anggota
Drs. Rusdi Sufi Anggota
Twk. Abdul Djalil Anggota
Syamsuddin Daud, S.H. Anggota

248
Drs. Zakaria Ahmad Konsultan
Drs. Muhammad Ibrahim Konsultan
Thanthawi SmHk Sekretariat
Umar Abdullah Sekretariat

Kedua Team bertugas menghimpun/menyusun makalah/


saran dan tanggapan dari peserta Seminar dan mem-
bukukannya serta mengusahakan untuk penerbitan
buku tersebut.

Ketiga Semua biaya akibat dikeluarkan surat keputusan ini


dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kotamadya Banda Aceh.

Keempat Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan


dengan ketentuan apabila ternyata terdapat
kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan per-
baikan sebagaimana mestinya.

DITETAPKAN DI: BANDA ACEH


PADA TANGGAL : 22 APRIL 1988
WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH TINGKAT II
BANDA ACEH

DRS. «AHARUDDIN YAHYA

Tembusan:

1. Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh;


2. Pimpinan DPRD Kotamadya Banda Aceh;
3. Muspida Kotamadya Banda Aceh;
4. Para Kepala-kepala Dinas/Bagian/Lembaga/Kantor dalam
lingkungan Kotamadya Banda Aceh;
5. Para Camat Kepala Wilayah dalam Kotamadya Daerah
Tingkat II Banda Aceh;
6. Yang bersangkutan untuk dimaklumi dan seperlunya;
7. Arsip
249
Jadwal Kegiatan Seminar
Hari Jadi Kota Banda Aceh
Tanggal 26 - 28 Maret 1988

Tanggal 25 Maret 1988 (Jum'at)


Jam 14.00 - 20.00 WIB - Penerimaan tamu di hotel
Kuala Tripa

Tanggal 26 Maret 1988 (Sabtu)


Jam 09.00 - 12.00 WIB - Upacara pembukaan seminar
(acara tersendiri) dan dilan-
jutkan dengan ceramah dari
Prof. Dr. Ibrahim Alfian, de-
ngan judul "Banda Aceh Se-
bagai Pusat Awal Perang di
Jalan Allah."

12.00 - 20.30 WIB - Istirahat


20.30 - 21.00 WIB - Penyampaian makalah "Hari
Jadi Kota Banda Aceh" dari
MUI Daerah Istimewa Aceh.

21.00 - 21.30 WIB - Penyampaian makalah "Hari


Jadi Kota Banda Aceh" dari
Prof. T. Iskandar.

21.30 - 22.00 WIB - Penyampaian makalah "Hari


Jadi Kota Banda Aceh" dari
Pusat Dokumentasi dan In-
formasi Aceh.

22.00 - 22.15 WIB - Istirahat (Snack)


22.15 - 23.00 WIB -Tanggapan umum dari pe-
serta.

23.00 - 23.30 WIB - Penjelasan dari pembawa ma-


kalah.
- Moderator: Drs. Zakaria
Ahmad
- Notulis:

250
Tanggal 27 Maret 1988 (Minggu)
Jam 08.30 - 09.00 WIB - Penyampaian makalah "Ban-
da Aceh Sebagai Pusat Kebu-
dayaan dan Tamaddun" dari
Prof. DR. Hasan Muarrif
Ambary.

09.00 - 09.30 WIB - Penyampaian makalah "Ban-


da Aceh Sebagai Pusat Kebu-
dayaan Dan Tamaddun" dari
Kanwil Depdikbud Prop. Da-
erah 1st. Aceh.

09.30 - 09.50 WIB - Penyampaian makalah ban-


dingan dari Drs. Muhamma-
dy, MA

09.50 - 10.10 WIB - Istirahat (Snack)


10.10 - 11.00 WIB - Tanggapan umum dari pe-
serta.
11.00 - 11.30 WIB - Penjelasan dari pembawa ma-
kalah
- Moderator: Prof. A. Hasjmy
- Notulis:
Tanggal 27 Maret 1988 (Minggu)
Jam 11.30 - 12.00 WIB - Penyampaian makalah "Ban-
da Aceh Dalam Siklus Per-
dagangan Internasional Suatu
Tinjauan Historis" dari Uni-
versitas Syiah Kuala.

12.00 - 12.15 WIB - Penyampaian makalah ban-


dingan dari Prof. DR. Syam-
suddin Mahmud.

12.15 - 13.45 WIB - Istirahat, shalat, makan siang


13.45 - 14.15 WIB - Penyampaian makalah "Pe-
ran Banda Aceh Sebagai Pu-
sat Perlawanan Terhadap Ko-
lonialisme dan Imperialisme
di Kawasan Selat Malaka"
dari Masyarakat Sejarahwan
Indonesia Cabang Banda
Aceh.

251
14.15 - 14.30 WIB - Penyampaian makalah ban-
dingan dari Drs. Abidin Ha-
syim, MA.

14.30 - 14.45 WIB - Istirahat (Snack)


14.45 - 15.45 WIB - Tanggapan umum dari pe-
serta.
15.45 - 16.30 WIB - Penjelasan dari pembawa
makalah

16.30 - 20.30 WIB - Istirahat


- Moderator: Drs. M. Gade
Ismail, MA
- Notulis:

20.30 - 21.00 WIB - Penyampaian makalah "Ban-


da Aceh Sebagai Pusat Dak-
wah Islamiyah" dari IAIN
Jamiah Arraniry.

21.00-21.15 WIB - Penyampaian makalah ban-


dingan dari DR. Safwan Idris,
MA.

21.15-21.35 WIB - Penyampaian makalah "Ban-


da Aceh Pada Masa Kemer-
dekaan" dari TALSYA

21.35 - 21.55 WIB - Penyampaian makalah ban-


dingan dari DR. M. Isa Su-
laiman/Drs. Muhammad Ib-
rahim.

21.55 - 22.10 WIB - Istirahat (Snack)


22.10 - 22.40 WIB -Tanggapan umum dari pe-
serta.

22.40 - 23.00 WIB Penjelasan dari pembawa


makalah
- Moderator: Prof. DR. H.
Ismuha, SH
- Notulis:

252
Tanggal 28 Maret 1988 (Senin)
Jam 08.30 - 09.10 WIB Penyampaian makalah "Ban-
da Aceh Sebagai Pusat Peme-
rintahan Kesultanan Aceh"
dari H. Mohd. Said/
Drs. Anas Mahmud

09.10 - 09.40 WIB Penyampaian makalah "Ban-


da Aceh Sebagai Pusat Peme-
rintahan Kesultanan Aceh"
dari Masyarakat Sejarahwan
Indonesia (MSI)

Tanggal 28 Maret (1988) Senin


Jam 09.40 - 10.00 WIB - Penyampaian makalah ban-
dingan dari Tgk. Lukman
Sinar, SH.

10.00 - 10.15 WIB Istirahat (Snack)


10.15 - 11.00 WIB Tanggapan umum dari
peserta

11.00 - 11.30 WIB Penjelasan dari pembawa


makalah
Moderator: Drs. T. Syamsud-
din
Notulis:

11.30 - 12.30 WIB Sidang Steering Committee


12.30 - 14.00 WIB Istirahat
14.00 - 16.30 WIB - Lanjutan Sidang Steering
Committee
16.30 - 20.30 WIB - Istirahat
20.30 - 23.00 WIB - Upacara Penutupan
(Acara tersendiri)

Banda Aceh, 14 Maret 1988.

253
Daftar Nama-nama Peserta Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh
Tanggal 26 28 Maret 1988 di Banda Aceh
i —
No. Urut Nama Dari Unsur Keterangan
(D (2) (3) (4)
1. Prof Ali Has j my Ketua MUI Propinsi Daerah Ketua Steering Committee/
Istimewa Aceh Pembawa Makalah
2. Prot DR T. Ibrahim Alfian Dekan Fak Sastra Universitas Pembawa Makalah
Gajah Mada Jokyakarta
3. Prof DR T. Iskandar Pensyarah University Brunei Pembawa Makalah
Darussalam
4. Prot. DR Hasan M. Ambary MA Kepala Pusat Arkeologi Na- Pembawa Makalah
sional Depdikbud Jakarta
5. Prof. DR. H. Ismuha. SH Dekan Fak. Syariah IAIN Peserta
Ar-Raniry Banda Aceh
6. Prof. DR. Syamsuddin Mahmud Ketua BAPPEDA Propinsi Peserta
Daerah Istimewa Aceh
7^ Prot'. DR. Ibrahim Husen MA Rektor IAIN Jamiah Ar- Peserta
Raniry Darussalam Banda
Aceh
8. DR. VI. Isa Sulaiman Dosen FKIP Unsyiah Pembawa Makalah
9. DR. Safwan Idris. MA Rektor Universitas Abui Pembanding Utama
Yatama
(1) (2) (3) (4)
10. DR Darwis A. Sulaiman, MA Dosen FKIP Unsyiah Peserta
11. DR Muslim Ibrahim Dosen IAIN Ar-Raniry Da- Peserta
russalam Banda Aceh
12. A. Hamid Hasan Karyawan PT PIM Peserta
Lhok Seumawe
13. DR. Hakim Nyak Pha, SH Dosen Fak. Hukum Unsyiah Peserta
14. Drs M. Gade Ismail, MA Dosen FKIP Unsyiah Peserta/Anggota SC
15. Drs. Bakhtiar Akob Dosen FKIP Univ. Samudera Peserta
Langsa
16. Drs. Anas Mahmud/H. Mohd. Said Sejarahwan Sumatera Utara Pembawa Makalah
17. Drs. H. Muhammady, MA Dosen Fisipol IKIP Bandung Pembanding Utama
18. Fgk Lukman Sinar, SH Sejarahwan Sumatera Utara Pembawa Makalah
19. Drs. Abdurrahman Kaoy Dosen IAIN Arraniry Pembawa Makalah
Darussalam
20. Drs. Abidin Hasyim MSc Rektor Universitas lskandar Pembanding Utama
Muda Banda Aceh
21. Drs. T. Alamsyah Kanwil Depdikbud Aceh, Bi- Pembawa Makalah
dang Sejarah & Kepurbakalaan
22. Drs. Wamad Abdullah, MA Dosen FKIP Unsyiah B. Aceh Peserta
23. Drs. Rusdi Sut'i Dosen FKIP Unsyiah Peserta/Anggota SC
24. Drs. Zakaria Ahmad Museum Negeri Aceh Pembawa Makalah/
Anggota SC
25. Drs. T. Syamsuddin Dekan FKIP Unsyiah B. Aceh Peserta
(1) (2) (3) (4)
26. Drs. Nasruddin Sulaiman Museum Negeri Aceh Peserta/Anggota SC
77 Drs. Muhammad Ibrahim Dosen FKIP Unsyiah B. Aceh Peserta/Anggota SC
28. Drs. Sayed Mudhahar Ahmad Bupati KDH Tk. II Peserta
Aceh Selatan
29. Twk. Abdul Djalil LAKA Prop. Aceh/PDIA Peserta/Anggota SC
30. Haji Ahmad Amins Ketua DPRD Propinsi Aceh Peserta
31 Haji Badruzzaman, SH Kanwil Depag Propinsi Aceh Peserta
32. Muhammadiyah Haji, SH Anggota DPR-RI, Brigjen TNI Peserta
Purnawirawan
33. Drs. Adnan Abdullah Dosen FKIP Unsyiah Peserta
34. Drs. M. Thamrin Z. Kepala Perpustakaan Wilayah Peserta
Propinsi Daerah Istimewa Aceh
35. Drs. H. Adnan Hanafiah Kepala PDIA Peserta
36. Drs. Mustafa Djuned Anggota DPRD Tk. II Peserta
Banda Aceh
37. T. Djohan Meuraxa Staf LAKA Propinsi Aceh Peserta
38. Tgk. Syamsuddin Hasyim Anggota DPRD Tk. II Peserta
Banda Aceh
39. Dra. Elly Widarny Dosen AMBA-ST1ES Peserta
40. Thaib Husin, SH Dosen Fak. Hukum Unsyiah Peserta
41. Ir. Sabaruddin Dinas Pertanian Kotamadya Peserta
Banda Aceh
42. Teuku RI Azwar, SH Kepala Kejari Banda Aceh Peserta
(1) (2) (3) (4)
43. Drs. Said Mahmud AR Anggota DPRD Propinsi Aceh Peserta
44. H. Abdullah Husin Kadin Kotamadya Banda Aceh Peserta
45. Dra. Nurhayati, MA Dosen FKIP Unsyiah Peserta
46. H. Zainal Abidin Wakil Ketua DPRD Tk. II Peserta
Banda Aceh
47. Drs. M. Harun Djalil Dosen FKIP Unsyiah Peserta
48. Dra. Wardiah Staf Bid. Sejarah Kanwil Peserta
Dikbud
49. Ny. Ani Idrus Harian Waspada Medan Peserta
50. Zakaria Daud Desa Lambhuk Kodya Peserta
Banda Aceh
51. Naslisyah, SH Staf Di.las PK Prop. Aceh Peserta
52. Zakaria M. Ali Anggota P3SKA Banda Aceh Peninjau
53. Irfan Husni HMI Cabang Banda Aceh Peninjau
54. Ridwan Sulaiman Wartawan Aceh Post Peserta
Banda Aceh
55. T. Ali Basyah Talsya Sejarahwan Aceh Peserta
56. Amir Syam Asri, SH Kanwil Kehakiman Aceh Peserta
57. H. Djakfar Hanafiah Pengurus MUI Prop. Aceh Peserta
58. L.K. Ara Harian Waspada Medan Peserta
59. Hassan Basri Anggota DPRD Kodya Peserta
Banda Aceh
(1) (2) (3) (4)
60. Sudirman Adisa, SE Kepala Pusat Penelitian STIES Peserta
61. Cut Fauziah Sayed Yusuf Mahasiswi Peninjau
62. T. Syarif Alamuddin Wakil Ketua PWI Aceh Peserta
63. Abdullah Ahmad, SH Dekan Fak. Hukum Unsyiah Peserta
64. Mahyuddin Hasyim Pengawas SMA Kanwil Dikbud Peserta
65. M. Idris Madain Pengurus Muhammadiyah
Aceh Peserta
66. Drs. Burhanuddin Dosen APDN Banda Aceh Peserta
67. Syamsul Kahar Ketua PWI Aceh Peserta
68. A. Azies Koenoen Ketua LAKA Kodya Peserta
Banda Aceh
69. Drs. Tgk. H. Sulaiman Djalil Dosen IAIN Ar-Raniry Peserta
Darussalam
70. Sufairin Al Tasa Universitas Samudera Langsa Peserta
(Ketua Senat Mhs. FKIP)
71. Drs. Mukhtaruddin Ali Dosen APDN Banda Aceh Peserta
72. Drs. Maimun Bappeda Tk. II Kodya B.Aceh Peserta
73. Farsi Tandjung Wartawan LKBN Antara Peserta
74. Husni Hasan Kanwil Depdikbud Aceh Peserta
75. Drs. Muhammaddin HMI Cabang Banda Aceh Peserta
76. Abdullah Army Karyawan PT AAF Peserta
Lhokseumawe
(1) (2) (3) (4)
77. Drs. Abdullah Atiby IAIN Ar-Raniry Darussalam Peserta
78. Abubâkar Saleh, BA Kepala Musium Iskandar Mu- Peserta
da Korem 012/T.Umar B.Aceh
79. Drs. TM Ali Ateuek Kakandeppen Kotamadya Peserta
Banda Aceh
80. Drs. M. Hasan Basry Dosen IAIN Ar-Raniry Peserta
Darussalam
81. Tgk. H. Ainal Mardhiah Yayasan Cut Meutia B.Aceh Peserta
82. Hanafiah Muddin, SH Camat Baiturrahman B.Aceh Peserta
83. Drs. Hasballah Daud Camat Syiah Kuala B.Aceh " Peserta
84. Ifrizal Yunus, BA Camat Meuraxa Banda Aceh Peserta
85. Asmara Nasution, BA Camat Kuta Alam Banda Aceh Peserta
86. A. Muzakkir Walad Sejarawan Aceh Peserta
87. Tgk. H. Sofyan Hamzah Anggota DPRD Tk. I Aceh Peserta
88. Haji Sayed Zakaria Ketua DPRD Kotamadya Peserta
Banda Aceh
89. Haji Hamzah Ibrahim Kanwil Depdikbud Aceh Peserta
90. Drs. T. Sulaiman Sekretaris Kotamadya B.Aceh Peserta
91. Tia Huspia Sejarawan Aceh Peserta
92. Haji Syukri Daud Kuakec Kuta Alam Peserta
93. Drs. Sulaiman Abbas Asisten I Setwilda Peserta
Banda Aceh
(1) (2) (3) (4)
94. Abdullah Radja Pusat Dokumentasi Informasi Peserta
Aceh
95. M. Yudan Halim, SH Kepala BP7 Kotamadya Peserta
Banda Aceh
96. Mayor Ilyas Harun Kepala Sospol Kotamadya Peserta
Banda Aceh
97. Drs. Rusli Usman Kabag Keuangan Setwilda Peserta
Banda Aceh
98. Drs. Yuswanuddin Kakan Bangdes Kotamadya Peserta
Banda Aceh
99. Drs. Muhammad Basyir Kepala Bappeda Kotamadya Peserta
Banda Aceh
100. Sulaiman, SH Kabag Kepegawaian Setwilda Peserta
Banda Aceh
101. Dra. Armiaty Guru SMA Negeri II Peserta
Banda Aceh
102. Irfan Husni HMI Cabang Banda Aceh Peninjau
103. Isbadaly Anggota 3 PSKA Peninjau
104. Nurbaity A. Gani Mahasiswa Peninjau
105. Qudussisara Mahasiswa Peninjau
106. Dahliana ZA Mahasiswa Peninjau
Daftar - Nama-nama Anggota DPRD Kotamadya Daerah Tingkat
II Banda Aceh Priode 1988/1983.

Np NAMA JABATAN

1. H. Sayed Zakaria Ketua


2. Sapari Kadi Wakil Ketua
3. Tgk. H.Zainal Abidin Wakil Ketua
4. Sayed Amir Jihad Anggota
5. Tgk. Ismaiel Syah A' n g g o t a
6. Zubir Idris Anggota
7. Tgk. H.Mahyuddin Anggota
8. M. Yusuf Mahmud Anggota
9. Tgk. Syamsuddin Hasyim Anggota
10. H.Sayed Umar Al Hasbsyi Anggota
11. Drs. Musthafa Djoened Anggota
12. Mariyani Ali Hasyimi Anggota
13. Ahmad Amin Anggota
14. Zulkifli Usman. SH. Anggota
15. Joko Sumadi Anggota
16. Hasan Basri Anggota
17. Abdul Rasyid Anggota
18. Rasyidin Bulan Anggota
19. K u s m a n i. Anggota
20. Husaini Siregar Anggota
Daftar - Nama-nama Kepala Dinas/Bagian/Camat dalam
lingkungan Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh.

No NAMA Bagian/Instansi/Camat/Kantor

1. Drs. Yusri Yakob Kepala Bagian Pemerintahan


2. Syamsuddin Daud, SH Kepala Bagian Hukum, OT.
3. Drs. T.Saifuddin, TA Kepala Bagian Keuangan
4. Drs.T.Anwar Azwardi Kepala Bagian Pembangunan
5. Dra.Chairida Tuti Thahir Kepala Bagian Humas
6. Drs. Sulaiman Ahmad Kepala Bagian Umum
7. Drs. T.Daud Syah Kepala Bagian Perekonomian
8. Drs. Salman Usman Kepala Bagian Kesra
9. Sulaiman S.H Kepala Bagian Kepegawaian
10. dr. Buchari MJ Kepala Dinas Kesehatan
11. Haji Sargono Kepala Dinas PU
12. Drs. Sayed Hussain Kepala Dinas Pasar
13. Drs. Rusli Usman Kepala Dinas Pendapatan
Daerah
14. Drh. Syamsuddin Ali Kepala Dinas Peternakan
15. Ramlah Majid Kepala Dinas Perindustrian
16. M. Hasan Imeum Ben Kepala Dinas Kebersihan dan
Pertamanan
17. Ir. Mahraja Syahril Kepala Dinas Pertanian
Tanaman Pangan.
18. Abu Khanifah Kepala Dinas Pemadam
Kebakaran
19. Drs.Muhammad Basyir Ketua Bappeda Kotamadya Ban-
da Aceh
20. Drs. Yuswanuddin Kepala Kantor Pembangunan
Desa
21. Mayor Inf. Pakeh Kepala Dinas Penertiban Peratur
Imrahim an Daerah.
22. M.Yudan Halim, SH Kepala BP 7 Kotamadya Banda
Aceh
23. A.Jalil Gafar Kepala Inspektorat Wilayah
Kotamadya B.Aceh.
24. Ahmad Amri Hasibuan Kepala Kantor Agraria
Kotamadya Banda Aceh
25. Hanafiah Muddin, SH Camat Baiturrachman.
26. Drs. Hasballah Daud Camat Syiah Kuala
27. Asmara Nasution, BA Camat Kuta Alam.
28. Ifrizal Yunus, BA Camat Meuraxa
29. M. Noer By Kepala Mawil Hansip
30. Mayor Ilyas Harun Kepala Kantor Sospol
31. Drs.Sulaiman Abbas Sekretaris Dewan
WÜSTEN FELD-MAHLE R'SCH E
VERGLEICHUNGS-TABELLEN
ZUR M U S L I M I S C H E N UND I R A N I S C H E N Z E I T R E C H N U N G
MIT TAFELN ZUR UMRECHNUNG O R I E N T - C H R I S T L I C H E R ÄREN
D R I T T E , V E R B E S S E R T E UND E R W E I T E R T E AUFLACE
DER . V E R G L E I C H U N G S - T A B E L L E N DER MOHAMMEDANISCHEN
UND C H R I S T L I C H E N Z E I T R E C H N U N G .

U N T E R M I T A R B E I T VON

JOACHIM M'AYR
NEU B E A R B E I T E T VON

BERTOLD SPULER

1961
DEUTSCHE MORGENLÀNDISCIIE GESELLSCHAFT
IN KOMMISSION BEI FRANZ S T E I N E R VERLAG G M B H - W I E S B A D E N
X OC—«Z
"Mi'i-i.oa

a a j . a <
S S
x OC & - fc'S'S = = =
»p. ,b -i.oä
- ?
-. a o a a a E
»8»X 6 . I
xB.x"

«3»X PC d> > = = X. X X X

u e ^ a <

X 03
2:jlS
uiq.uj

»3»X OC X X X X
q»s»a
A—=-
Hi
a < M - o s s u. a «
oor.io.Ojo T w n n ÎI
»3»X 8 Ï S H . S.' M 3 X X X k = = = = =
g - r r - r - > > >

s § Ss
a i. 5 c a u. u < a = o a = u.
« « 'A « U »O - f CO CO Cl
X OC j , 5 x x x x
o ! > > > * " *
li
z a a i. o -e. a a c a < u . ^ <
Ä o « 'O eo O O » 3D r- '.O lO lO ift
»3»x 00 CO £ 1 Cl — ©
~55** M
S 5 = = a = s = d .r.s > > >
> >
ii.iq°H

10 a c a < BTCiTsrä
U) tO I O - f J
o8nx OC x x x x x
'i.iqm

a<u*'-j« w a u. a < 2 ö 3 i i S *
A c] D » Cl Tl — O O Tt B t. N h U £
X 65
~ > > sg|g> ?£>>> fchiis *
< UI O U Q o i*, p < u; - ^ a a u- o < u o o "^
p » 'O x -j
« o .o eo « » « ^'O O <n "^ fi £ "* *
L OC

Sf § s
o = jif.f-.j9m »*« «Î* m ^ «o «o t - oo o ç> J
<o 2
slssi IsilS <« « m v « u) w <o i d ù . '

264
iiinri
I I I 711
1121 K
nun
Juui, VII - J..H, vill . Amu«. IX - Sepi.. K - Okt, XI - Xo» "XU : II SA
- Uill.oel., K . 1>»M,„U,(VTV^ÏÛ>/1 r. Suuu.bt.tl. Ihr».
Kompleks Makam Raja di Kampung Pande Banda Aceh.

Inilah makam Sultan almarhum yang diampuni lagi dimuliakan


bernama Sultan Ali Ri'ayat Syah ibn Munawarsyah.

266
Hï:

-- : * >u~>Aji "Pi
/bn Muhammad Ala'idin Syah mangkat hari Rabu 17 Syah'ban
tahun 670 H. mulai 9 Agustus 1271 menurut Harry W.Hazard,
Atlas of Islamic History. Princeton University Press 1954 (Conver-
sion Table of Dates hal.44).

267
m

268
Lonceng Cakra Donya (1439 M).

269
Pinto KHOP (Peninggalan pintu belakang istana Daruldunia Abad
XVI M. o
r-

Pantai Cermen Ulee Lheue.


Tempat pendaratan Jendral J.H.R. Kohler April 1873 (Perang
Belanda - Aceh I)
.

Sulaman Tradisionil Aceh untuk hiasan dinding

272
m
r-

Anjongan Kotamadya Banda Aceh dalam PKA-3 (Agustus-


September '88).
Rumoh Aceh (Atjeh - Museum 1915) r-
«o
r-

GUNONGAN
Tempat kesenangan putri Pahang (putro phang) permaisuri Iskan-
dar Muda (1607-1636)
Sulaman Tradisional Aceh
r-

Tari Rebana Sanggar Cut Nyak Dhien Sarana Dakwah


MONUMEN REPLIKA 001 SEULAWAH
OO
Penghubung Rep.Indonesia - luar negeri 1948
Makam raja-raja Aceh di Kandang XII Banda Aceh (Abad XVI M)
Makam Sultan Iskandar Muda Banda Aceh

280
^3
SC

3
o

281
Pinto Gerbang Perkuburan (Kerkhof peucutj tentera Belanda
kuburan Jendral J.H.R. Kohier 14 April 1873 dilihat dari pintu «N
00
gerbang
CO
00
(N

Meuligo Gubernur Aceh


Pakar-pakar sejarah pada saat penutupan seminar
00
00
<N

Drs.Baharuddin Yahya selaku Peutu Adat Kotamadya Banda Aceh


yang dilantik oleh Peutua Adat Daerah Istimewa Aceh Ibrahim
Hasan.
Staf Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh
00
<N
Wahkotamadya Kepala Daerah Tingkat II Banda Aceh bersama
pemimpin DPRD dan anggota DPRD daerah tingkat IIKotamadya
Banda Aceh.
288
0\
00

Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh meresmikan pembukaan


Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh.
Pakar-pakar sejarah-mengikuti Seminar Hari Jadi Kota Banda Aceh oas
«s
Gedung Bank Indonesia Jl.Cut Meutia Banda Aceh dalam tahun
1948 bekas Javashe Bank ini dipergunakan untuk Dewan Per-
wakilan Aceh.

291
292
DAFTAR RALAT: BUKU KOTA BANDA ACEH HAMPIR 1000 TAHUN
BARIS BARIS TERTULIS:
HAL: ATAS: BAWAH SEHARUSNYA:

12 11 - terkemukan terkemuka
16 4 - mempretelin mempreteli
17 - 10 menggantujgkan menggantungkan
28 - 6 Tamian Tamiang
35 20 - Pasar Ayer Pagar Ayer
36 4 - Bangta Baute
37 - 7 Penyakit Penyair
38 1 Banda Aceh: Kota Banda Aceh
Hari Jadi- Hampir 1000 Tkhun
Dan Perkembangan
nya-Dari Masa Ke
Masa.
39 - 19 merunut menurut
41 15 - menggantarkan mengantarkan
43 2 - T.iskandar T.iskandar
49 - 16 Dirukam di Lamrukam
53 14 - 55. M 55. H
67 - 15 tahu Tahun
68 4 - Mahmudsyan Mahmudsyah
69 - 19 Dihapuskan
77 9 - Adurrauf Abdurrauf
77 14 - Almulaqab Almuqalaf
81 - 1 Kandanag Kandang
162 - 6 untu untuk
163 . 12 Aceh Arab
164 6 - silsilah sinilah
203 - 14 M.M. Said H.M. Said
204 14 - Pohcut Pocut
206 20 - kunoa kuno
209 - 20 jauh jatuh
281 -. - Pupuk Peupok
285 - - Peutu Peutua
lbb\tOZ<i

Anda mungkin juga menyukai