Anda di halaman 1dari 97
616.9 Ind a_& Fy ys® PANDUAN PELAKSANAAN PROGRAM KOLABORASI TB-HIV Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV. KATA PENGANTAR Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Pada 2013, estimasi prevalensi TB adalah sebesar 680.000 (WHO, 2014), sedangkan estimasi insidensi berjumlah 460.000 kasus baru. Di satu sisi, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah kasus HIV baru yang terus meningkat. Seperti halnya dengan negara Asia lainnya, epidemi HIV di Indonesia termasuk dalam epidemi terkonsentrasi, kecuali tanah Papua dengan tingkat epidemi HIV meluas. Selain itu, TB merupakan infeksi oportunistik kedua yang paling banyak ditemukan pada kasus AIDS di tahun 2013 setelah kandidiasis dan diperkirakan 3,3% pasien TB juga terinfeksi HIV. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghadapi situasi epidemi TB maupun HIV. Pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dimulai dengan implementasi skala kecil tahun 2005 di Provinsi DKI Jakarta. Sejak tahun 2007 kegiatan kolaborasi TB-HIV mulai dikembangkan sesuai kebijakan nasional meliputi pembentukan mekanisme kolaborasi, menurunkan beban TB pada ODHA dan menurunkan beban HIV pada pasien TB. Panduan ini menjabarkan kebjjakan dan tatalaksana klinis pasien koinfeksi TB-HIV dan diharapkan dapat menjadi pegangan tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik Rumah Sakit maupun Puskesmas serta pihak- pihak terkait lainnya. Dengan buku panduan ini diharapkan kasus TB-HIV dapat ditangani dengan baik dan terarah sehingga dapat menurunkan beban TB-HIV di masyarakat. Akhimya kami sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak, baik perorangan maupun lembaga yang terlibat dan penyusunan dan penyempurnaan buku panduan ini, terutama kepada tim penyusun dan para kontributor yang telah memberikan sumbang saran sehingga buku ini dapat diterbitkan. Semoga buku panduan ini bermanfaat bagi semua pihak yang terkait, khususnya dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pdirektur Jenderal PP & PL dr. H. M. Subuh, MPPM Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR KONTRIBUTOR . BAB | PENDAHULUAN .. Latar Belakang Dasar Hukum ... Tujuan Sasaran.. Ruang Lingkup moom> BAB II. KEBIJAKAN DAN STRATEGI KOLABORAS! TB-HIV DI INDONESIA A. Kebijakan Kolaborasi TB-HIV B. Tujuan Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV C. Kebijakan Kolaborasi TB-HIV (untuk menjelaskan hal-hal terkait Permenkes TB dan HIV Secara Operasional) ........:ae:u BAB II. PENGORGANISASIAN DAN JEJARING KOLABORAS! TB-HIV ... A. Organisasi Pelaksana Kolaborasi (Unit TB Dan HIV) B. Model Kolaborasi C. Perencanaan.... se D. Jejaring Penatalaksanaan Pasien Koinfeksi TB-HIV tatu Layanan dan Sistem Rujukan)......... E. Tugas, Pokok dan Fungsi Petugas Pelaksana Kegiatan Kolaborasi TB-HIV BAB IV PENATALAKSANAAN PASIEN KOINFEKSI TB-HIV... A. HIV pada Pasien TB Dewasa (Diagnosis). B. Tuberkulosis pada ODHA Dewasa C. Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) ...... BAB V PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI 1 (PPD) A. Pencegahan dan Pengendalian TB... B. Pencegahan dan Pengendalian HIV. C. Kecelakaan Kerja dan Tatalaksana Pasca Pajanan di Tempat. BAB VI MANAJEMEN LOGISTIK A. Batasan dan Tujuan... B. Jenis-jenis Logistik C. Siklus Manajemen Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV. BAB VII PERAN ORGANISAS! KEMASYARAKATAN DALAM KEGIATAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. }AB Vill. MONITORING DAN EVALUAS... MOOD>D OnmMoOmD KOLABORAS! TB-HIV... Keterampilan Organisasi pada Layanan TB dan HIV Pencegahan TB di Layanan HIV..... Intensifikasi Penemuan TB dan HIV. Jejaring antara Layanan dan Komunitas dalam Kolaborasi TB-HIV .. Dukungan untuk Kepatuhan Pengobatan TB di Layanan HIV Advokasi pada Layanan TB dan HIV. Upaya Mengurangi Stigma TB dan HIV .. Ruang Lingkup Indikator Kegiatan Kolaborasi TB-HIV Surveilans HIV di antara Pasien TB.. Pencatatan dan Pelaporan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV .. Mekanisme Pelaporan Pasien TB-HIV Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV. DAFTAR TABEL Tabel 1. Kegiatan Kolaborasi TB-HIV di Faskes.......... see 12 Tabel 2. Tenaga yang dibutuhkan dalam Pelaksanaan Kegiatan TB-HIV di Faskes 13, Tabel 3. Tugas pokok dan fungsi petugas TB dan Petugas HIV di Faskes........ 17 Tabel 4. Diagnosis terduga TB Ekstra paru.... 30 Tabel 5. Dosis OAT lini pertama pada ODHA dengan TB dewasa . 132 Tabel 6. Paduan OAT pada ODHA dengan TB panu 32 Tabel 7. Dosis paduan OAT KDT untuk Kategori 1 (2(RHZE)/4(RH)3 ) 33 Tabel 8. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 1 (2RHZE/4R3H)3)........ 33 Tabel 9. Dosis paduan OAT KDT untuk Kategori 2 (2(RHZE)S/(RHZE)/ 5(RH)3E3.... 1.33 Tabel 10. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2 2HRZES/HRZE/SH3R3E3.. 33 Tabel 11. Pilinan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB.. 36 Tabel 12. Pemberian dan penghentian PPK ......c.:ssctsnenee es 38 Tabel 13. Tatalaksana efek samping ringan untuk pasien TB yang tidak dalam pengobatan ARV 40 Tabel 14. Tatalaksana efek samping berat untuk pasien TB yang tidak dalam pengobatan ARV... eee 40 Tabel 15. Tatalaksana efek samping obat pada pasien dengan pengobatan koinfeksi TB-HIV 42 Tabel 16. Rekomendasi paduan pengobatan untuk anak pada setiap diagnosis TB 49 Tabel 17. Penanganan efek samping PP INH Tabel 18. Tatalaksana lost to follow up PP INH . Tabel 19. Pilihan panduan untuk PPP....... 59 Tabel 20. Jenis-jenis logistik 61 Tabel 21. Alur pemilihan metode surveilans..... 1.70 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV. DAFTAR BAGAN Bagan 1 Bagan 2 Bagan 3. Bagan 4. Alur diagnosis TB paru pada ODHA di Faskes dengan akses tes cepat Xpert MTB/Rif 27 Ringkasan petunjuk untuk terduga TB ekstra paru dan tanda utama TB ekstra paru untuk membantu diagnosis ........:. 129 Alur tata laksana TB pada HIV dan PP INH «2.0... ... 50 Siklus manajemen 62 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV. DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Contoh ruangan Gambar 2. Contoh aliran udara 54 55 vi Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV. DAFTAR KONTRIBUTOR Pengarah: dr. H. Muhammad Subuh, MPPM dr. Sigit Prichutomo, MPH Penanggung jawab: dr. Christina Widaningrum, M.Kes dr. Siti Nadia Wiweko, M.Kes Kontributor: 1. dr. Christina Widaningrum, M.Kes (Dit.Jen PP & PL, Subdit TB) 2. dr. Siti Nadia Wiweko, M.kes (Dit.Jen PP & PL, Subdit AIDS & PMS) 3. dr. Vanda Siagian (Dit.Jen PP & PL, Subdit TB) 4. dr. Triya Novita Dinihari (Dit.Jen PP & PL, Subdit TB) 5. dr. Fatcha Nuraliyah, M.Kes (DitJen PP & PL, Subdit AIDS & PMS) 6. dr. Endang Budi Hastuti (Dit.Jen PP & PL, Subdit AIDS & PMS) 7. dr. Novayanti Rumambo Tangirerung (DitJen PP & PL, Subdit TB) 8. dr. Endang Lukitosari;MPH (Dit.Jen PP & PL, Subdit TB) 9. dr. Joan Tanumihardja (Dit.Jen PP & PL, Subdit TB) 10. Surjana, SKM, M.Sc (DitJen PP & PL, Subdit TB) 11. Suwandi, SKM, M.Epid (DitJen PP & PL, Subdit TB) 12, Sulistyo, SKM, M.Epid (Dit.Jen PP & PL, Subdit TB) 13. Indri Rizkiyani, SKM (Dit.Jen PP & PL, Subdit TB) 14, Silvia Dini, SKM (DitJen PP & PL, Subdit TB) 15. Rudi Hutagalung, BSc (DitJen PP & PL, Subdit TB) 16. Rizka Nur Fadila (Dit Jen PP & PL, Subdit TB) 17. Victoria Indrawati, SKM, MSc (DitJen PP & PL, Subdit AIDS & PMS) 18. Sugeng Wiyana, SKM (Dit.Jen PP & PL, Subdit AIDS & PMS) 19. Nurjanah, SKM, M.Kes (Dit Jen PP & PL, Subdit AIDS & PMS) 20. dr. Nurhalina Afriana (DitJen PP & PL, Subdit AIDS & PMS) 21. dr. Indri Octaria (Dit.Jen PP & PL, Subdit AIDS & PMS) Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV. 22. 23 24 25. 26. 27 2 2 3 31 32. 3. 8838 8 dr. Yovita Hartanti, SpPD dr. Evy Yunihastuti, SpPD dr. Ana Uyainah, SpPD dr. Erlina Burhan, SpPD dr. Tiara Mahatmi Nisa, MS dr. Maria Regina Christian Yoana Anandita, SKM dr. Janto Lingga, Sp.P dr. Chawalit Natpratan dr. Merry Samsuri dr. Betty Nababan Rini Palupy, SKM, MKM viii (RSHS) (RSCM) (PAPDI) (PDP!) (WHO Hiv) (WHO TB) (WHO TB) (Panli HIV) (FHI 360) (FHI 360) (FHI 360) (FHI 360) Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV. DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome AKMS Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial ART Antiretroviral Therapy = terapi antiretroviral ARV Obat Antiretroviral BTA Basil Tahan Asam cD4+T Lymphocte cTx Contrimoxazole ddl Didanosine Dots Directly Observed Treatment Shortcourse (terapi yang diawasi langsung) a4T Stavudine EFV Efavirenz EKG Elektrokardiogram = perekaman jantung ELISA Enzyme Linked Immunosorbent Assay Faskes Fasilitas Pelayanan Kesehatan Gerdunas-TB Gerakan Terpadu Nasional TB HIV Human Immunodeficiency Virus = virus penyebab AIDS IMs Infeksi Menular Seksual lo Infeksi Oportunistik KDS Kelompok Dukungan Sebaya Kepatuhan Terjemahan dari adherence yaitu kepatuhan dan kesinambungan berobat yang melibaktan peran pasien, dokter atau petugas kesehatan, pendamping dan ketersediaan obat KIE Komunikasi, Informasi dan Edukasi KOMLI Komite Ahli KPANIKPAP/KPAK Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi/Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota KTIP Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan KT Konseling dan Tes KTS Konseling dan Tes HIV Sukarela Lapas Lembaga Pemasyarakatan LSM Lembaga Swadaya Masyarakat LvPir Lopinavir/ritonavir MDR Multi Drug Resistant M&E/MONEV Monitoring dan Evaluasi MTCT Mother-To-Child Transmission (of HIV); penularan HIV dari ibu ke anak NNRTI NVP RESISTAN OBAT OAT ODHA PCR PDP PGL Pir PMO PPIA POKJA PPK PPP RNA RS Rutan SDM soP TB TDF UNAIDS usG veT WHO ZDV Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor Nevirapine Kebal obat Obat Anti Tuberkulosis Orang Dengan HIV AIDS Polymerase chain reaction (reaksi rantai polimerasi) Perawatan Dukungan dan Pengobatan Persistent Generalized Lymphadenopathy _adalah limfadenopati pada beberapa kelenjar getah bening yang bertahan lama yang merupakan gejala khusus infeksi HIV pada lebih dari 50% ODHA Protease Inhibitor/tivonavir Pengawas Menelan Obat Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak = PMTCT (Prevention of Mother-To-Child Transmission) Kelompok Kerja Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol Profilaksis Pascapajanan = post exposure prophylaxis Ribo Nucleic Acid Rumah Sakit Rumah Tahanan Sumber Daya Manusia Standar Operational Procedure Tuberkulosis Tenovofir disoproxil fumarate The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS Ultrasonografi Voluntary Counseling and Testing (tes HIV secara sukarela disertai dengan konseling) = KTS World Health Organization Zidovudine Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV BAB | PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi Tuberkulosis (TB) di seluruh dunia yang berakibat meningkatnya jumlah kasus TB di masyarakat. Epidemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan salah satu infeksi oportunistik yang banyak terjadi dan penyebab utama kematian pada Orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Kolaborasi kegiatan bagi kedua program merupakan suatu keharusan agar mampu menanggulangi kedua penyakit tersebut secara efektif dan efisien. Pada tahun 2012 dilaksanakan external review HIV AIDS dan Joint External Monitoring Mission TB pada tahun 2013 di Indonesia. Keduanya merekomendasikan perlu dilakukan percepatan upaya kolaborasi TB-HIV dan segera disusun Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-HIV sebagai panduan pelaksanaan program di seluruh Indonesia. Perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di kawasan Asia meskipun secara nasional angka prevalensinya masih termasuk rendah, pada tahun 2015 di Indonesia diperkirakan terdapat 735,256 ODHA. Penularan HIV tertinggi melalui transmisi seksual (heteroseksual) yaitu 52% diikuti dengan penggunaan jarum suntik 27,1%. Salah satu masalah dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah variasi antar wilayah baik dalam hal jumlah kasus maupun faktor-faktor yang mempengaruhi. Epidemi HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemi terkonsentrasi dengan kecenderungan menjadi epidemi meluas pada beberapa provinsi. Meskipun secara Nasional terdapat perkiraan prevalensi HIV di antara pasien TB diperkirakan sebesar 3,3% (WHO TB Global Report 2014), tetapi sampai saat ini belum ada angka nasional yang menunjukkan gambaran HIV di antara pasien TB. Hasil studi tentang serosurvei prevalensi yang dilaksanakan di Provinsi Dl.Yogyakarta (2006) menunjukkan angka prevalensi HIV sebesar 2% di antara pasien TB dan pada tahun 2008 di Provinsi Bali sebesar 3,9%, di Provinsi Jawa Timur sebesar 0,8% dan di Provinsi Papua sebesar 14%. Berdasarkan Laporan tahun 2014 infeksi HIV dan kasus Acquired Immune Deficiency Syndrome Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV (AIDS) menunjukkan bahwa TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak nomor dua setelah kandidiasis. Di tingkat Dunia, berbagai upaya penanggulangan dilakukan untuk merespons dampak koinfeksi TB-HIV bagi kedua program. World Health Organization bekerja sama dengan Stop TB Partnership telah mengembangkan panduan untuk pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV yang disusun berdasarkan tingkat prevalensi HIV. Di banyak negara yang telah melaksanakan kegiatan perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) HIV, kegiatan kolaborasi ini dimulai sebagai bagian dari upaya pengendalian TB dan upaya meningkatkan keberhasilan Program AIDS. Di Indonesia, kegiatan kolaborasi TB-HIV mulai diujicobakan di Provinsi DKI Jakarta (2004), di Kabupaten Merauke Provinsi Papua dan di Kota Denpasar Provinsi Bali (2006) yang merupakan wilayah dengan epidemi HIV-AIDS yang terkonsentrasi. Kegiatan ini dikembangkan ke 9 Provinsi lainnya (2008) dan pada tahun 2010 diperluas ke 12 Provinsi (Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, DK! Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Papua Barat dan Papua). Berdasarkan hasil uji coba dan pengalaman beberapa daerah yang telah melaksanakan kegiatan kolaborasi_ TB-HIV maka Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 1278/MENKES/SK/XII/2009 tentang Panduan Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV. Panduan tersebut merupakan kebijakan secara umum tentang halhal yang harus dilakukan dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV karena itu diperlukan panduan lebih lanjut dalam operasionalnya baik dalam aspek manajemen program maupun aspek tatalaksana klinis. . Dasar Hukum Buku manajemen pelaksanaan kolaborasi TB-HIV di Indonesia berlandaskan pada 1.Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS. 2.UU Republik Indonesia No 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. 3.Kepmenkes No 832/Menkes/SK/X/2006 tentang Penetapan RS Rujukan ODHA dan standar pelayanan rumah sakit rujukan ODHA dan satelitnya. 4.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 364/Menkes/SK/V/2009 tentang + Pedoman —_—Penanggulangan Tuberkulosis. Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV 5. UU Republik Indonesia No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 6.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1278/Menkes/SK/XII/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV. 7.Peraturan Menteri Kesehatan No. 1144/Menkes/PER/VII/2010 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan RI 8.Kepmenkes No 782/Menkes/SK/IV/2011 tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV AIDS (ODHA). 9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 565/Menkes/Per/lll/2011 tentang Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis Tahun 2011 — 2014. 10. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 75 tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 11.Peraturan Menteri Kesehatan No. 21 tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS 12. Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 129 Tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) 13. Permenkes RI No.74 tahun 2014 tentang Pedoman pelaksanaan Konseling dan Tes HIV 14, Permenkes RI No. 87 tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan Anti Retroviral . ujuan Buku panduan ini ditujukan sebagai panduan pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia sesuai dengan standar dan kebijakan nasional kolaborasi TB-HIV. . Sasaran Sasaran pengguna buku panduan ini terutama ditujukan kepada mereka yang bertanggung jawab dalam perencanaan, pelaksanaan dan penilaian kegiatan kolaborasi TB-HIV pada tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dan fasilitas pelayanan kesehatan (Faskes), antara lain: 1. Manajer Program 2. Pengelola Program 3. Petugas di Faskes 4, Institusi terkait seperti Lapas/Rutan, Komisi Penanggulangan AIDS NasionalKomisi Penanggulangan AIDS —_Provinsi/Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota (KPAN/KPAP/KPAK), Komite Ahli Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Komli Gerdunas-TB), mitra, donor, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan komunitas yang bergerak di bidang TB dan HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS). Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV E. Ruang Lingkup Buku panduan ini membahas kebijakan operasional kolaborasi TB-HIV. Ruang lingkup pembahasan meliputi prinsip kolaborasi, perencanaan kolaborasi, pengorganisasian pelayanan, penyiapan sumber daya program (SDM, sarana, prasarana dan biaya), mobilisasi sosial, surveilans program, penelitian, monitoring dan evaluasi program. Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI KOLABORASI TB-HIV DI INDONESIA A. Kebijakan Kolaborasi TB-HIV Koinfeksi TB sering terjadi pada (ODHA), orang dengan HIV mempunyai kemungkinan sekitar 30 kali berisiko untuk sakit TB dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Lebih dari 25% kematian pada ODHA disebabkan oleh TB. Sekitar 320.000 orang meninggal karena HIV terkait dengan TB (Global TB Report, 2013). Sebagai upaya menghadapi perkembangan global menuju 3 zeroes (zero new infection, zero Death related AIDS, zero stigma dan discrimination). Kemenkes RI melalui Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang penanggulangan HIV-AIDS menyusun strategi penanggulangan HIV-AIDS secara menyeluruh dan terpadu. Pasal 24 pada Permenkes tersebut menyebutkan bahwa setiap orang dewasa, remaja dan anak-anak yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan tanda, gejala atau kondisi medis yang mengindikasikan atau patut diduga telah terjadi infeksi HIV terutama pasien dengan riwayat penyakit tuberkulosis dan IMS ditawarkan untuk pemeriksaan HIV melalui KTS/KTIP. Manajemen koinfeksi TB-HIV tidak dapat dipisahkan karena sangat berkaitan baik dari manjemen penyakit maupun operasional, oleh karena itu kegiatan kolaborasi TB-HIV perlu diperkuat di semua tingkatan manajemen dan layanan kesehatan B. Tujuan Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV Tujuan umum dari pelaksanaan kolaborasi TB-HIV adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dan HIV di masyarakat. Tujuan khusus dari pelaksanaan kolaborasi TB-HIV adalah: 1. Untuk memperkuat kolaborasi TB-HIV di semua tingkatan 2. Untuk menurunkan beban TB pada ODHA 3. Untuk menurunkan beban HIV pada pasien TB 4. Untuk melibatkan komunitas dan LSM dalam kegiatan kolaborasi TB- HIV Pelaksanaan Kolaborasi Kolaborasi TB-HIV terdiri dari serangkaian kegiatan yang perlu dilaksanakan di semua tingkat manajemen maupun pelayanan kesehatan. Pelaksanaan Kolaborasi TB-HIV di Indonesia sesuai kebijakan nasional adalah sebagai berikut: Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV A. Membentuk mekanisme kolaborasi antara program TB dan HIV-AIDS A. 1. Penguatan koordinasi bersama program TB dan HIV di semua tingkatan A. 2. Melaksanakan surveilans TB-HIV A.3. Melakukan perencanaan bersama TB-HIV untuk integrasi layanan TB-HIV A. 4. Monitoring and evaluasi kegiatan TB-HIV A.5. Mendorong peran serta komunitas dan LSM dalam kegiatan TB-HIV B. Menurunkan beban TB pada ODHA dan inisiasi pemberian ART dini B.1 _Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA termasuk pada populasi kunci HIV dan memastikan pengobatan TB yang berkualitas B.2 Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) pada ODHA B.3. Penguatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB di Fasilitas Kesehatan yang memberikan layanan HIV, termasuk tempat orang berkumpul (Lapas/Rutan, Panti Rehabilitasi untuk Pengguna NAPZA) C. Menurunkan Beban HIV pada pasien TB C. 1. Menyediakan tes dan konseling HIV pada pasien TB C.2. Meningkatkan Pencegahan HIV untuk pasien TB C.3. Menyediakan Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksasol (PPK) untuk pasien TB-HIV C.4. Memastikan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan serta pencegahan HIV pada pasien koinfeksi TB-HIV C.5. Menyediakan ART bagi pasien koinfeksi TB-HIV C. Kebijakan Kolaborasi TB-HIV (Untuk menjelaskan hal-hal terkait Pe 1 ermenkes TB dan HIV secara operasional) Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana Pengendalian TB dan Pengendalian HIV yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring dan rujukan di antara fasilitas pelayanan kesehatan. 2. Mekanisme kolaborasi TB-HIV dibentuk di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan Faskes sebagai upaya untuk mengkoordinasikan kegiatan kolaborasi TB-HIV. Mekanisme kolaborasi dapat berbentuk tim atau kelompok kerja TB-HIV atau forum komunikasi TB-HIV, 1 1 12. 2 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV dengan melibatkan unsur-unsur organisasi terkait dalam kegiatan kolaborasi TB-HIV. Perencanaan bersama antara program TB dan HIV dibutuhkan untuk menentukan arah, tujuan dan strategi pelaksanaan kolaborasi TB-HIV, perencanaan penguatan dan perluasan layanan dan kegiatan TB-HIV, penetapan peran dan tanggung jawab masing-masing program dan organisasi, serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi kegiatan kolaborasi TB-HIV. Surveilans TB-HIV di Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan data rutin yang dikumpulkan dari layanan yang sudah melaksanakan kegiatan kolaborasi TB-HIV baik dari layanan TB dan HIV dengan menggunakan SITT untuk program TB dan SIHA untuk program HIV. Survei periodik dan survei sentinel dapat dilakukan bila diperlukan dan sumber daya tersedia Kegiatan supervisi, monitoring dan evaluasi memerlukan kerjasama erat dari kedua program dan mitra terkait. Dalam pelaksanaannya dapat diintegrasikan dengan sistem monitoring dan evaluasi yang sudah ada. Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA harus dilakukan secara rutin dengan melakukan pengkajian status TB pada tiap kunjungan ODHA ke layanan HIV. Penetapan diagnosis TB dan TB Resistan Obat (TB-RO) pada ODHA serta penatalaksanaannya harus mengacu kepada kebijakan nasional pengendalian TB dengan tetap memperhatikan kondisi klinis ODHA serta memperhatikan kaidah pencegahan dan pengendalian infeksi TB yang baku Mengacu kepada Permenkes No. 21 tahun 2013, semua pasien TB dengan atau tanpa faktor risiko HIV harus ditawarkan untuk pemeriksaan KT HIV. Penawaran KT HIV mengacu kepada pedoman nasional pengendalian AIDS Pemberian ARV kepada pasien TB-HIV dilakukan sesegera mungkin tanpa memandang nilai CD4_pasien, dengan mengoptimalkan akses rujukan ke layanan PDP. Selain ARV, semua pasien TB-HIV juga diberikan pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK). Sebagai salah satu upaya pencegahan TB aktif pada ODHA, pemberian pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) dapat diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB aktif dan tidak ada kontraindikasi terhadap INH. Dalam penetapan tatalaksana pasien dengan koinfeksi TB-HIV perlu kerjasama para ahli dari unit DOTS dan unit HIV. 13. 14, Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV KIE tentang TB dan HIV merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program dan dalam pelaksanaannya dapat diintegrasikan ke dalam program TB dan HIV-AIDS, dengan tujuan untuk mengurangi stigma di masyarakat, menemukan kasus secara dini dan pengobatan segera, serta upaya pencegahan kedua penyakit di masyarakat. Dukungan kepada pasien TB-HIV perlu diperkuat dengan melibatkan unsur kelompok masyarakat dan komunitas TB dan HIV dan mitra lainnya. Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV BAB Ill PENGORGANISASIAN DAN JEJARING KOLABORASI TB-HIV A. Organisasi Pelaksana Kolaborasi (Unit TB dan HIV) Organisasi pelaksana Kolaborasi TB-HIV melibatkan semua komponen terkait TB-HIV dimana ditandai dengan pembentukan Kelompok Kerja TB- HIV. Pengorganisasian pelaksana kegiatan Kolaborasi_ TB-HIV dilaksanakan dengan cara pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) TB-HIV di bawah Kementerian Kesehatan dan di bawah Dinas Kesehatan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota Kelompok kerja dibentuk pada tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota prioritas yang beranggotakan unsur-unsur penentu kebijakan dan unit teknis yaitu: a. Program TB, . Program AIDS, Bina Upaya Kesehatan (BUK) . Pakar/Ahli TB dan HIV dari Organisasi Profesi, .. KPAN/KPAP/KPAK, Gerdunas TB, WHO, Perwakilan LSM dan donor, Instansi_ Pemerintahan terkait_ (Kemensos, Kemenkumham, Kemenakertrans) sarepaog Tugas dan peran Pokja di tingkat Pusat adalah: a. Mengembangkan strategi TB-HIV berdasarkan kebijakan nasional, menyusun Rencana Strategis Nasional dan rencana kerja, b. Menyusun panduan, bahan AKMS dan bahan pelatihan, Memobilisasi sumber daya dan dana serta peningkatan kapasitas, d. Memonitor dan mengevaluasi kegiatan sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan ° Tugas dan peran Pokja di tingkat Daerah adalah: a. Menyusun rencana kerja, b. Menentukan penanggungjawab setiap kegiatan, Menetapkan mitra kerjanya, . Menetapkan target untuk provinsi atau kabupaten/kota tersebut, .. Meningkatkan jumlah dan kemampuan SDM sesuai kebutuhan, Memonitor dan mengevaluasi kegiatan meao Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV Melengkapi Pokja/Forum Komunikasi di atas bila diperlukan dapat dibentuk tim terdi Secé a rset opaog Tug: a, b. ° a yang padu di tingkat fasilitas pelayanan kesehatan (Faskes) yang iri atas Tim (DOTS), Tim HIV dan unsur manajemen. ara rinci tim tersebut terdiri dari: Wadir Pelayanan/Komite Medik (RS), Kepala Puskesmas Dokter Perawat Petugas laboratorium Petugas farmasi Konselor Manajer kasus Kelompok dukungan Petugas pencatatan & pelaporan jas Pokja di tingkat Faskes : Melakukan koordinasi pelayanan TB dan pelayanan HIV. Menyelenggarakan pelayanan PDP yang komprehensif bagi pasien TB-HIV termasuk pelayanan konseling tes HIV, PPK untuk infeksi oportunistik, dll . Membangun dan memperkuat sistem rujukan internal dan ekstemal di antara pelayanan TB dan HIV serta unit terkait lainnya Melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai sténdar. e. Melakukan monitoring dan evaluasi untuk meningkatkan kegiatan kolaborasi. . Melakukan promosi komunikasi perubahan perilaku dan membangun dukungan masyarakat bagi kolaborasi TB-HIV. Koordinator kolaborasi TB-HIV Kool Kabi Tug: a. rdinator kolaborasi TB-HIV pada tingkat Nasional, Provinsi dan upaten/Kota adalah pejabat yang membawahi program TB dan HIV. jas Koordinator: Mengkoordinasikan Pokja, memfasilitasi pertemuan regular dan mengatur jadual termasuk membuat laporan rapat. Mengkoordinasikan rencana pengembangan sumber daya untuk TB- HIV. Mendukung pelaksanaan kolaborasi TB-HIV sesuai dengan rencana kerja. Mengkoordinasikan supervisi TB-HIV. Memonitor kegiatan TB-HIV, memastikan tersedianya data TB-HIV, analisis dan memberikan umpan balik secara berjenjang 10 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV Di tingkat Faskes, pimpinan Faskes harus menunjuk seorang Koordinator TB-HIV yang mempunyai akses ke unit DOTS maupun ke Unit Konseling dan Tes HIV (KT HIV) dan atau PDP. Khusus Puskesmas, pimpinan Puskesmas dapat sebagai koordinator pelaksanaan kegiatan kolaborasi TBHIV. Tugas Koordinator sebagai berikut: a. Memfasilitasi koordinasi pelayanan TB dan HIV, temasuk membangun dan memperkuat sistem rujukan internal dan ekstemal di antara pelayanan TB dan HIV serta unit terkait lainnya. b. Mengkoordinasi pencatatan dan pelaporan termasuk umpan_ balik rujukan antar unit c. Melakukan monitoring dan evaluasi untuk meningkatkan kegiatan kolaborasi. d. Memastikan terlaksananya kegiatan promosi, komunikasi perubahan perilaku dan membangun dukungan masyarakat bagi kolaborasi TB- HIV di masing-masing unit terutama di unit DOTS. . Model Kolaborasi Untuk menjamin pelayanan TB-HIV yang berkualitas baik dari segi kemudahan akses maupun pelayanan yang cepat dan tepat maka terdapat beberapa model layanan TB-HIV yang dapat diterapkan, yaitu: 1. Model layanan terintegrasi Pelayanan TB-HIV yang diharapkan adalah layanan TB dan HIV terintegrasi pada satu Faskes (one stop service) di lokasi dan waktu yang sama, yaitu pasien TB-HIV mendapatkan akses layanan untuk TB dan HIV sekaligus dalam satu unit dalam satu Faskes. 2. Model layanan pararel: a. Layanan TB-HIV dua unit dalam satu Faskes b. Layanan TB-HIV berdiri sendiri-sendiri di Faskes yang berbeda Pemilihan model layanan disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Namun model yang dianjurkan adalah model layanan terintegrasi_ untuk mencegah hilangnya kesempatan penemuan dan pengobatan pasien TB-HIV. Kegiatan Kolaborasi TB-HIV Di Faskes Pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV di Faskes dan masyarakat dapat dilihat pada tabel di halaman berikut ini 1 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV Tabel 1. Kegiatan kolaborasi TB-HIV di Faskes dan masyarakat Tempat layanan Kegiatan TB-HIV Layanan di masyarakat, Pemberian KIE untuk TB, HIV, IMS untuk keluarga/kelompok masyarakat, populasi kunci, dan pasien masyarakat yang terkena | _koinfeksi TB-HIV dampak TB dan atau HIV | + Promosi kondom sebagai bagian dari (layanan yang dapat pencegahan dan penularan HIV dilakukan oleh organisasi Penyuluhan gizi dan dukungan pangan masyarakat, LSM, Dukungan pendampingan bagi pasien, organisasi keagamaan, misalnya pengawasan menelan obat TB dan kegiatan kesehatan di ARV oleh keluarga atau KDS masyarakat) + Dukungan sosio ekonomi, misalnya pembekalan keterampilan bagi pasien TBHIV Perawatan paliatif dan fase terminal di komunitas/ rumah Puskesmas, klinik Penemuan kasus TB yang lebih intensif dan Pemerintah maupun pengobatannya melalui skrining gejala dan Swasta, dan Dokter tanda TB bagi ODHA yang berkunjung ke Praktek Swasta yang layanan sudah terlatih TB-HIV Pemberian pengobatan TB sesuai panduan nasional di layanan Pemberian anjuran tes dan konseling HIV oleh petugas kepada semua pasien TB di layanan Penyuluhan tentang pencegahan dan penularan TB dan HIV Menjamin akses perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi pasien koinfeksi TB-HIV Pelacakan kasus TB di masyarakat Menjamin akses layanan tes dan konseling HIV Memberikan pelayanan IMS dengan pendekatan sindrom dan/atau laboratorium sederhana Memberikan tatalaksana infeksi oportunistik terkait HIV dengan pendekatan sindrom dan perawatan paliatif Memberikan layanan pengurangan dampak buruk Napza 12 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV Tempat layanan Kegiatan TB-HIV Memberikan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anaknya (PPIA) Memberikan pengobatan pencegahan kotrimoksasol untuk mengurangi kesakitan dan kematian ODHA dengan atau tanpa TB Pengendalian infeksi TB dan HIV Pencatatan dan pelaporan TB dan HIV Pertemuan TB-HIV koordinasi internal Faskes (diskusi klinis, perencanaan, monev) TB-HIV Rumah sakit tipe C yang petugasnya telah dilatih ‘Semua yang di atas Diagnosis dan terapi penyakit terkait HIV Perawatan paliatif pasien rawat inap Terapi ARV lini | Penatalaksanaan kasus TB rujukan Akses pemeriksaan tes cepat TB dan foto toraks pada terduga TB Menjamin keamanan darah transfusi Rumah sakit Tipe A dan B yang petugasnya sudah dilatih TB-HIV Semua di atas Terapi ARV lini | dan II Penatalaksanaan kasus TB rujukan resistan obat Tabel 2. Tenaga yang dibutuhkan dalam Pelaksanaan Kegiatan Kolaborasi TB-HIV di Faskes Model Kolaborasi Paralel Terintegrasi Faskes Layanan : DoTs Konseling dan eS er) Tes HIVIPDP ~ Dokter ~ Dokter ~ Dokter Dasar ~ Perawat - Konselor - Konselor (Puskesmas | - Petugas Lab | - Perawat ~ Perawat Klinik -Petugas Lab | - Petugas Lab Pratama/ —_| *Perawat Dokter merangkap _| *Perawat *Perawat merangkap Praktek tugas merangkap tugas pencatatan Mandiri) pencatatan tugas pelaporan pelaporan pencatatan 13 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV pelaporan = Dokter Umum |= Dokter Umum |= Dokter Umum! Lanjutan! | - Dokter - Dokter Spesialis | - Dokter Spesialis (RS TipeD | Spesialis (Spesialis (Spesialis Penyakit dan Tipe C) | (Spesialis Penyakit Dalam dan Anak) Penyakit Dalam) - Konselor Dalam dan _| - Konselor - Perawat Spesialis - Perawat - Petugas Lab Anak) - Petugas Lab | - Farmasi - Perawat - Farmasi ~ Petugas pencatatan - Petugas Lab | - Petugas dan pelaporan - Farmasi pencatatan dan - Petugas pelaporan pencatatan dan pelaporan = Dokter Umum |= Dokter Umum |= Dokter Umum! Lanjutan Il | - Dokter ~ Dokter Spesialis | - Dokter Spesialis (RS TipeB | Spesialis (Spesialis (Spesialis Penyakit dan Tipe A) | (Spesialis Penyakit Dalam, Paru, Anak, Penyakit Dalam,Paru, Obsgin, Bedah, Kulit Dalam,Paru, | Patklin/Mikrobio | dan Kelamin) Patklin/ logi, Anak) - Konselor Mikrobiologi, | - Konselor - Perawat Anak) - Perawat - Petugas Lab - Perawat - Petugas Lab - Manajer Kasus - Petugas Lab | - Manajer Kasus_| - Farmasi - Farmasi ~ Farmasi ~ Petugas pencatatan - Petugas - Petugas dan pelaporan pencatatan pencatatan dan dan pelaporan pelaporan 14 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV C. Perencanaan Pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV memerlukan perencanaan yang disusun bersama antara program TB dan HIV agar kolaborasi dapat berjalan secara sistematis dan terpadu. Perencanaan disusun secara berjenjang mulai dari Kabupaten/Kota berdasarkan kebutuhan dengan mempertimbangkan beban TB dan HIV, kemampuan sumber daya dan kondisi spesifik wilayah Perencanaan ini menjelaskan tujuan, target, kegiatan, pembiayaan, monitoring dan evaluasi serta tugas dan tanggung jawab masing-masing unsur yang diimplementasikan secara terpadu. Dalam menyusun perencanaan kolaborasi TB-HIV mempertimbangkan hal- hal berikut ini : 1. Penyusunan rencana kolaborasi TB-HIV meliputi a. Melakukan pengkajian mengenai situasi dan kondisi epidemi TB dan HIV termasuk pencapaian program lima tahun terakhir (Lampiran 1) termasuk juga data-data TB-HIV yang meliputi jumlah kasus TB-HIV, jenis kelamin, usia, asal wilayah, pekerjaan, dil. b. Identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan kegiatan kolaborasi TB-HIV. Aspek yang perlu diidentifikasi pada kedua program meliputi - Sumber daya manusia (jenis, kompetensi, jumlah, kategori, dll) — Sistem pelayanan TB dan HIV — Sistem informasi manajemen kesehatan yang sudah ada — Finansial (biaya/anggaran masing-masing program) — Panduan dan rencana masing-masing program - Sarana dan prasarana (fasilitas, alat, obat, reagen, bahan logistik lain), termasuk jumlah, jenis dan kemampuan Faskes. — Promosi dan mobilisasi (komitmen pemerintah dan mitra, jejaring kerjasama, keterlibatan sektor terkait, LSM, donor, dan mitra lain) Menentukan isu-isu strategis kolaborasi TB-HIV baik di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota Menentukan tujuan dan sasaran kolaborasi TB-HIV. Menentukan kegiatan kolaborasi TB-HIV. Menentukan anggaran kegiatan kolaborasi TB-HIV. Menentukan indikator dan target kegiatan kolaborasi TB-HIV. Mekanisme pencatatan dan pelaporan kegiatan kolaborasi TB-HIV Melakukan monitoring dan evaluasi kolaborasi TB-HIV. nN PNMAAR 15 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV D. Jejaring Penatalaksanaan Pasien Koinfeksi TB-HIV (Alur Layanan dan Sistem Rujukan) Rujukan pada kolaborasi TB-HIV di tingkat layanan meliputi rujukan internal antar unit di satu Faskes (misalnya dari unit TB ke unit HIV) dan tujukan antar Faskes (misalnya dari Puskesmas ke RS) secara timbal balik hingga ke tingkat komunitas. 1. Pasien TB dengan HIV Positif Pasien TB dapat dilayani di Puskesmas atau unit DOTS di RS. Apabila pasien TB didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk pasien ke RS rujukan ARV untuk mempersiapkan dimulainya pengobatan ARV. Sebelum merujuk pasien ke layanan PDP, Puskesmas/unit DOTS RS dapat membantu dalam melakukan persiapan agar pasien patuh selama mendapat pengobatan ARV. Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya sudah tidak lagi dijumpai reaksi atau efek samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat dirujuk kembali ke Puskesmas/unit RS DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan untuk ARV tetap diberikan oleh tim PDP 2. ODHA dengan TB Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV di Indonesia dikembangkan di RS rujukan ARV yang merupakan layanan kesehatan sekunder atau tersier. Semua ODHA diskrining gejala dan tanda TB. Skrining dapat dilakukan oleh Konselor, Perawat atau Dokter di layanan HIV. Jika dijumpai ODHA terduga TB, segera dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis TB. Jika di layanan HIV tidak ada sarana diagnostik TB, segera rujuk ODHA ke unit DOTS. ODHA yang terdiagnosis TB harus segera diobati dengan OAT dapat dilakukan di unit DOTS Puskesmas atau RS maupun di layanan PDP. Unit HIV dapat memantau kemajuan pengobatan TB dengan bantuan unit DOTS. 16 E. Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV Tugas, Pokok dan Fungsi Petugas Pelaksana Kegiatan Kolaborasi TB-HIV Tugas pokok dan fungsi ini menjadi dasar pengembangan kompetensi sumber daya petugas terkait pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV. Secara umum tugas dan fungsi ini menjabarkan tugas pokok dan fungsi yang telah berjalan di masing-masing program pada setiap tingkatan. Tabel 3. Tugas pokok dan fungsi petugas TB dan petugas HIV di Faskes LAYANAN TB LAYANAN HIV-AIDS. Dokter Tugas: Menjaring terduga TB Mendiagnosis TB (menentukan Klasifikasi dan tipe pasien) Memberikan pelayanan kegawatdaruratan bagi pasien TB Memberikan pengobatan TB (menentukan jenis paduan) Memberikan penyuluhan Menentukan PMO Mengisi kartu pengobatan pasien TB Melakukan Tes HIV atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP) yaitu inisiasi tes HIV, merujuk pasien TB ke fasilitas laboratorium untuk pemeriksaan HIV, membuka hasil tes HIV Merujuk pasien TB ke layanan KT HIV jika menemukan kendala dalam proses KTIP Merujuk pasien TB dengan HIV positif ke layanan PDP untuk tujuan pengobatan HIV Merujuk pasien TB jika terdapat komplikasi dan permasalahan lainnya Memonitor dan mengevaluasi hasil pengobatan TB, termasuk Dokter Tugas: Melakukan kaji status TB pada ODHA Merujuk ODHA ke fasilitas laboratorium untuk pemeriksaan TB (dahak mikroskopis, tes cepat: Xpert MTBIRif) Merujuk ODHA ke fasilitas radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya jika diperlukan Memastikan pasien TB mendapatkan pengobatan sesuai panduan nasional Menentukan diagnosis dan stadium klinis HIV / AIDS serta infeksi oportunistik lainnya Memberikan pelayanan kegawatdaruratan bagi ODHA Memberikan penatalaksanaan awal bagi ODHA, termasuk penangangan efek samping obat Menginisiasi ARV pada pasien TB-HIV jika pengobatan TB sudah ditolerasi pasien (2-8 minggu) dan 10 berat lainnya sudah stabil 17 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV mengatasi efek samping obat Memberikan umpan balik hasil diagnosis TB pada ODHA yang dirujuk dari layanan KT HIV dan atau PDP + Memberikan pengobatan pencegahan dengan isoniazid (PP INH) pada ODHA yang tidak TB dan pasien TB-HIV yang sudah menyelesaikan pengobatan TB + Memberikan pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK) + Mengisi ikhtisar perawatan HIV dan ART + Memastikan kepatuhan minum obat pada ODHA dan merujuk ke konselor jika diperlukan + Merujuk ODHA ke spesialis yang terkait jika diperlukan. + Memberikan umpan balik rujukan terkait hasil tes HIV dan atau informasi perawatan HIV dari unit DOTS untuk tujuan pengobatan pasien TB tersebut. Dokter Spes Tugas: Menerima rujukan dari dokter di layanan TB atau PDP Mendiagnosis TB Memberikan pelayanan kegawatdaruratan bagi TB Memberikan penatalaksanaan menyeluruh bagi pasien TB, termasuk penangangan efek samping obat Merujuk pasien TB ke spesialis lain bila diperlukan Mengisi kartu pengobatan pasien TB Melakukan Tes HIV atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP) yaitu inisiasi tes HIV, merujuk pasien TB ke fasilitas laboratorium untuk pemeriksaan HIV, membuka hasil Dokter Spesialis Tugas: + Menerima rujukan dari dokter di layanan TB atau PDP + Menentukan diagnosis dan stadium klinis HIV-AIDS «+ Mendiagnosis Infeksi Oportunistik + Memberikan pelayanan kegawatdaruratan bagi ODHA + Memberikan penatalaksanaan menyeluruh bagi ODHA termasuk penangangan efek samping obat + Mengisi ikhtisar perawatan HIV dan ART + Menginisiasi ARV pada pasien TB-HIV jika pengobatan TB sudah ditolerasi pasien (2-8 minggu) dan 10 berat lainnya 18 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV tes HIV Merujuk pasien TB ke layanan KT HIV jika menemukan kendala dalam proses TIPK Merujuk pasien TB dengan HIV positif ke layanan PDP untuk tujuan pengobatan HIV Memberikan umpan balik hasil diagnosis TB pada ODHA yang dirujuk dari KT HIV PDP sudah stabil + Memberikan pengobatan pencegahan dengan isoniazid (PP INH) pada ODHA yang tidak TB dan pasien TB-HIV yang sudah menyelesaikan pengobatan TB + Memberikan pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK) + Mengisi ikhtisar perawatan HIV dan ART + Memastikan kepatuhan minum obat pada ODHA dan merujuk ke konselor jika diperlukan + Merujuk ODHA ke spesialis lain bila diperlukan. + Memberikan umpan balik hasil tes HIV pasien TB yang dirujuk dari unit DOTS untuk tujuan pengobatan pasien TB tersebut. Konselor Tugas: + Memberikan informasi HIV- AIDS yang benar dan akurat termasuk kaitan TB dan HIV. «+ Menerima rujukan dari unit DOTS yang menemukan kendala dalam melaksanakan KTIP. + Membantu penegakan status HIV pada pasien TB + Memberikan konseling pada pasien TB dan HIV dan atau pasangannya + Melakukan pencatatan dan pelaporan hasil konseling + Melakukan koordinasi dengan layanan pencegahan, dukungan dan perawatan di 19 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV masyarakat dan unit pelayanan terkait + Memberikan umpan balik hasil tes HIV pasien TB yang dirujuk dari unit DOTS untuk tujuan pengobatan pasien TB tersebut Perawat Tuga: + Melakukan asuhan keperawatan + Melakukan Tes HIV atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP) yaitu inisiasi tes HIV, merujuk pasien TB ke fasilitas laboratorium untuk pemeriksaan HIV, membuka hasil tes HIV Mengenali keadaan gawat darurat dan memberikan pelayanan dasar kegawatdaruratan bagi TB Membantu dokter untuk mengisi kartu pengobatan pasien TB Melakukan pencatatan dan pelaporan (Register pasien) Memberikan penyuluhan Membuat permintaan pemeriksaan dahak Menentukan PMO atau menjadi PMO Memonitor hasil pengobatan Melakukan pelacakan kasus mangkir Memberikan umpan balik hasil diagnosis TB pada ODHA yang dirujuk dari KT HIV/PDP Perawat Tugas: + Melakukan asuhan keperawatan bagi ODHA baik di RS maupun perawatan di rumah Melakukan kaji status TB pada ODHA dan melapor ke dokter jika ditemukan terduga TB Membantu Dokter untuk mengisi ikhtisar perawatan HIV dan ART Mengenali keadaan gawatdarurat dan memberikan pelayanan dasar kegawat- daruratan bagi ODHA Memberikan terapi dengan benar sesuai instruksi dokter Memonitor perkembangan keadaan umum ODHA Petugas Laboratorium Tugas: + Melakukan pengumpulan dahak + Melakukan pemeriksaan mikroskopis dahak + Melakukan pemeriksaan rapid tes dahak (Xpert MTB/RIF atau tes Hain) Petugas Laboratorium Tugas: + Mengambil sampel darah dan melakukan pemeriksaan HIV sesuai SOP + Mencatat hasil pemeriksaan laboratorium + Melakukan rujukan spesimen ke 20 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV + Mencatat hasil pemeriksaan laboratorium rujukan sesuai laboratorium instruksi dokter. + Mengembalikan hasil pemeriksaan | « Mengembalikan hasil laboratorium kepada unit yang pemeriksaan laboratorium meminta kepada unit yang meminta + Melakukan pemantapan mutu + Melakukan pemantapan mutu internal dan eksternal intemal dan eksternal Petugas Pencatatan dan Pelaporan Tugas: + Melakukan pencatatan sesuai dengan format baku yang ditetapkan secara nasional + Melakukan pelaporan sesuai dengan alur pelaporan yang ditetapkan « Tugas ini dapat dirangkap oleh petugas yang lain Apoteker/petugas farmasi Tugas: + Memberikan informasi aturan minum obat + Melakukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat + Menghitung perencanaan dan permintaan obat 24 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV BAB IV PENATALAKSANAAN PASIEN KOINFEKSI TB-HIV A. Diagnosis HIV pada Pasien TB Dewasa 1. Pengenalan Gejala dan Tanda Klinis dari Infeksi HIV pada Pasien TB Sebagian besar orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tidak menjadi sakit TB karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik Infeksi tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi HIV akan berkembang menjadi TB aktif selama hidupnya. Namun pada orang-orang dengan sistem imunitas menurun, misalnya pada ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi TB aktif (sekitar 60%). Dengan demikian epidemi HIV akan meningkatkan jumlah kasus TB di masyarakat. Pasien TB dengan HIV atau ODHA dengan TB disebut sebagai pasien koinfeksi TB-HIV. Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang sering dijumpai pada ODHA selain Kandidiasis, PCP, Toksoplasmosis, Kriptosporidiosis. Seseorang dengan koinfeksi TB-HIV memilki masalah kesehatan yang serius dan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, penatalaksanaan yang tepat dan cepat sangat diperlukan. 2. Model Layanan Tes dan Konseling HIV Merujuk pada Permenkes No. 21 tahun 2013 semua pasien TB yang masuk ke Faskes dilakukan penawaran tes HIV dalam rangka deteksi dini untuk keberhasilan pengobatan TB dan pengendalian HIV di Indonesia. Penawaran tes HIV dilakukan pada semua pasien TB oleh petugas kesehatan (dokter, perawat, bidan dan konselor bila tersedia). Dalam penegakan diagnosis HIV, ada 2 pendekatan yang dapat dilakukan : a) Konseling dan Tes atas Inisiasi Pemberi Layanan (KTIP) KTIP merupakan layanan yang terintegrasi di layanan DOTS. Inisiasi tes HIV didasarkan atas kepentingan kesehatan dan pengobatan pasien, untuk itu perlu memberikan informasi yang cukup sehingga pasien mengerti dan bersedia dilakukan tes HIV. Tujuan utama KTIP adalah untuk melakukan diagnosis HIV secara lebih dini dan memfasilitasi pasien untuk mendapatkan pengobatan HIV serta untuk memfasilitasi pengambilan keputusan klinik atau medis terkait ARV, yang dibutuhkan dimana hal tersebut tidak mungkin diambil tanpa mengetahui status HIV. KTIP juga bertujuan untuk mengindentifikasi infeksi HIV pada stadium awal yang tidak menunjukkan gejala penyakit yang jelas karena penurunan kekebalan. Jika pasien sudah mengetahui statusnya HIV positiinya, pasien akan mendapatkan layanan 22 Panduan Pelaksanaan Program Kolaborasi TB-HIV pencegahan dan terapi yang diperlukan lebih dini. Prinsip 5C (Consent, Confidentiality, Counseling, Correct testing and Connection to care, treatment and prevention services) tetap harus diterapkan dalam pelaksanaannya Langkah dalam melaksanakan KTIP di layanan TB adalah: 1. Pemberian informasi tentang HIV dan AIDS serta kaitan TB dengan HIV. 2. Petugas kesehatan kemudian menawarkan pemeriksaan HIV, guna memudahkan pengambilan keputusan terapi lebih tepat ketika diagnosis dapat ditegakkan. 3. Penawaran tes dikuatkan dengan informed consent secara verbal ketika pasien menyetujui pemeriksaan. 4. Jika pasien menolak pemeriksaan, pasien diminta menandatangani surat penolakan, tenaga kesehatan tetap memberikan layanan TB 5. Pengambilan darah untuk tes. 6. Penyampaian informasi hasil tes HIV kepada pasien TB dan tindak lanjutnya. 7. Bila hasil pemeriksaan HIV positif, dilakukan rujukan pasien TB ke layanan HIV (PDP) dengan menggunakan formulir rujukan 8. Pasien dapat mendapatkan dukungan psikologis dari konselor sesuai situasi kondisi pasien. 9. Pengisian format pencatatan (rekam medis, register, dll) pada setiap akhir layanan. Dalam layanan TB seseorang yang ditawarkan pemeriksaan HIV perlu dilakukan rujukan ke konselor dengan pertimbangan: 1. Penawaran tes sudah dilakukan berulang kali tapi pasien menolak. 2. Hasil pemeriksaan negatif namun mempunyai risiko 3. _Hasil pemeriksaan positif untuk konseling lanjutan. b) Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS) Pendekatan konseling dan tes HIV atas inisiasi Klien atau yang disebut konseling dan tes HIV sukarela (KTS) adalah suatu prosedur diskusi antara konselor dan klien untuk memahami HIV-AIDS beserta risiko dan konsekuensi terhadap diri, pasangan dan keluarga serta orang di sekitamya, Tujuan utamanya adalah perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman. Prinsip dan pelaksanaan 5C juga berlaku untuk layanan KTS. 23

Anda mungkin juga menyukai