Anda di halaman 1dari 12

VIVA.co.

id – Usianya masih muda saat meraih gelar doktor dari Technische Universität
München, Jerman pada 2007. Rino Rakhmata Mukti meraih gelar doktor saat usianya 29
tahun.
Sebagai peneliti muda, Rino telah menemukan katalis zeolit yang bermanfaat untuk industri
petrokimia dan industri penyulingan minyak bumi, dari hilir sampai sektor riil.
Menariknya, katalis zeolit yang ditemukannya memanfaatkan bahan alam yang dianggap tak
berguna, yaitu limbah sekam padi.
Jebolan Master di Universitas Teknologi Malaysia itu mengatakan, jika Indonesia mampu
mengembangkan serius bidang katalis zeolit maka bukan tak mungkin bisa memberikan efek
domino bagi industri di Indonesia. Dampak tersebut pada akhirnya mewujudkan industri
Indonesia yang bisa mandiri, tak sepenuhnya tergantung dengan teknologi dan produk impor.
Manfaat katalis zeolit dalam bidang minyak, kata Rino, bisa membuat Pertamina menghemat
dan akhirnya memungkinkan bisa mandiri dalam energi. Muaranya, rakyat bisa merasakan
harga akhir bahan bakar minyak yang terjangkau.
Selain itu, katalis zeolit bisa menjadi bekal bangsa Indonesia untuk menghadapi problem
kelangkaan bahan bakar tak terbarukan di masa depan. Ketika di masa depan bensin dan
bahan bakar minyak kian menipis, katalis zeolit bisa dimanfaatkan untuk menemukan bahan
bakar alternatif yang terbarukan.
Atas terobosannya, Rino mendapatkan anugerah Penghargaan Achmad Bakrie tahun 2016
kategori Peneliti Muda.
Penghargaan itu menambah deret pencapaian sebelumnya, yaitu Asian Rising Stars Award at
15th Asian Chemical Congress pada 2013; Indonesian Young Material Scientist Award pada
2014; dan DAAD-Fraunhofer Technopreneur Award pada 2016.

VIVA.co.id telah berbincang santai dengan Rino di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang,
beberapa jam jelang keberangkatannya ke Jerman, 1 September 2016.
Rino mengaku, tiga bulan berada di Jerman membawa nama Institut Teknologi Bandung
(ITB). Dia dimintai tolong industri cat lokal di Jerman untuk mengembangkan fasilitas
penelitian dan pengembangan yang berkualitas tinggi.
Berikut beberapa petikan wawancara dengan peneliti muda ITB tersebut:
Anda telah meraih penghargaan peneliti muda Achmad Bakrie Award 2016. Apa makna
penghargaan ini?
Penghargaan ini, menurut saya merupakan penghargaan yang prestisius dan kehormatan bagi
saya. Bukan hanya saya ya, tapi bagi institusi saya Institut Teknologi Bandung (ITB), tim
saya, kolega dan mahasiswa saya. Penelitian itu kebanyakan kerja tim, itu kebahagiaan
semua. Ini juga motivasi untuk menjalankan penelitian lebih lanjut, sehingga bisa dipakai di
masyarakat maupun industri.
Bisa dijelaskan bidang yang Anda tekuni dan temuan yang baru-baru ini dihasilkan?
Jadi kami meneliti material maju, ada sebuah material yang berfungsi sangat baik. Kita bisa
memakai material ini untuk buat bahan dan energi baru, energi alternatif dari sumber
terbarukan. Jadi material ini contohnya material zeolit, dalam hal ini yang saya kaji adalah
katalis.

Dan katalis itu bisa dipakai dalam industri penyulingan minyak bumi. Jadi dari hilirisasi
sampai sektor riil. Contohnya, kita merasakan sendiri menggunakan bensin dalam kendaraan
bermotor kita. Itu hasil dari penggunaan material zeolit.

Zeolit fungsinya apa?


Fungsi kasarnya, ibaratnya gunting. Dia menggunting fraksi-fraksi minyak bumi. Jadi minyak
bumi yang kita ambil dari dalam bumi itu rantai karbonnya kan panjang. Nah itu rantai
panjang yang ini misalnya bensin, terus rantai panjang yang lainnya untuk diesel. Rantai
karbon yang lebih besar lagi misalnya untuk jet.

Dan gunting-gunting ini, zeolit. Zeolit membuat bensin itu. Tanpa itu (katalis zeolit) bensin
tak bisa dibuat. Bensin yang sekarang kita pakai kan dari minyak bumi, tanpa zeolit, bensin
tidak akan ada.

Zeolit pemanfaatannya untuk industri apa saja?

Bukan hanya industri bahan bakar, industri petrokimia sangat merasakan manfaat zeolit itu.

Jadi katalis zeolit dipakai untuk menurunkan bahan-bahan selain bahan bakar. Misalnya
oleksin, kalau diturunkan bisa menjadi plastik, dengan proses polimerisasi. Oleksin ini
dihasilkan dengan menggunakan dari proses katalitik, ada katalis, yaitu zeolit material.

Jadi fungsi zeolit meningkatkan kualitas sebuah material?

Betul. Jadi Zeolit itu bisa dalam prosesnya mengonversi minyak bumi jadi bensin sekalian
meningkatkan bilangan oktan. Dan itu yang diproduksi dari proses katalis zeolit bisa bilangan
oktan ditingkatkan. Lebih tinggi (bilangan oktan) dibanding premium misalnya.

Temuan Anda kami dengar juga dipakai Pertamina?

Ya, yang saya teliti, yang kami kaji. Sekarang dalam proses untuk dipakai di industri.
Perjalanan untuk bisa sampai dipakai industri itu panjang, sekitar tiga tahun, arahnya ke sana.

Manfaat lainnya apa?

Dengan memahami ilmu katalisis, kalau kita punya ilmu ini, di dalamnya ada ilmu kimia ya.
Kita bisa mengarahkan segala kebutuhan yang kita inginkan, problem yang kita hadapi
sekarang diselesaikan dengan ilmu ini.

Misalnya minyak bumi itu kan sekarang supply-nya menurun. Ke depan kalau tidak
ditemukan sumur minyak baru, kita akan kehabisan minyak bumi di dunia. Jadi makanya kita
harus pikirkan proses lain. Misalnya, menghasilkan bensin dari sumber gas alam. Kita punya
gas alam di Kalimantan dan Papua.

Itu dari gas alam bisa diubah jadi bensin, melalui proses katalitik yang menggunakan zeolit.
Misalnya gas alam kan mengandung metana. Kemudian metana kemudian dikonversi
menjadi metanol, kemudian dikonversi lagi bisa menjadi bensin, menggunakan katalis zeolit.

Jadi zeolitnya sama tapi bisa dipakai di mana saja. Jadi bahan bakar alternatif yang kita
perlukan, walau gas alam dan minyak bumi sumber yang tak terbarukan, tapi kalau bicara
sumber terbarukan kita bisa gunakan zeolit lagi untuk proses yang kita pakai.

Dilihat manfaatnya banyak sekali. Apakah fokus kajian untuk zeolit sudah semakin meluas di
Tanah Air?
Orang makin tertarik ke arah sana, karena ini kan juga bidang nanoteknologi. Secara ukuran
kan, sekarang material ini bisa dikecilkan skala nano. Nanoteknologi ini bisa meningkatkan
efisiensi. Dengan adanya nanomaterial, setidaknya kita bisa meluaskan ruang permukaan
material tersebut. Bayangin luas permukaan material meningkat, jadi reaksinya kan makin
banyak.

Jadi orang mulai tertarik. Seiring dengan banyak banyak instrumen yang dipakai penelitian,
semakin jelas penelitian bisa dilakukan. Makanya orang nanti makin mau meneliti, ilmu dan
instrumen makin terang dan canggih, orang akan mengejar ilmu ini. Dan juga karena
kebutuhan manusia yang makin banyak.

Kita sudah pakai gadget lebih dari satu, kebutuhannya makin banyak. Tentunya banyak
teknologi yang harus mengikuti. Sebelumnya belum ke arah sana, karena kita cenderung
untuk pakai produk luar.

Riset zeolit di luar negeri yang bisa jadi cermin bagi kita mana?

Memang Amerika dan Eropa yang mengawali riset ini ya. Terutama Inggris, Prancis, Jerman
dan Amerika. Negara itu yang mengawali penelitian zeolit, industri petrokimia, itu kan
berhubungan dengan industri petrokimia hilir.

Mereka mengawali itu, jadi mereka lebih maju. Tapi kan untuk mempelajari langkah mereka,
kita tidak harus memulainya dari nol. Bisa kompetisi dengan mereka dari tengah.

Mulai dari tengah. Modal kita apa?

Kita punya bahan dasar alam banyak. Kita bisa pakai bahan bakar alam kita untuk
menjadikan nilai ekonomi lebih tinggi.

Contohnya, selama kita makan nasi kan ada limbah padi, kan ada silika tinggi, belum dalam
bentuk zeolit. Limbah padi mau diapakan, kalau limbah ini dikonversikan ke katalis zeolit,
kan bisa sebab, bahan utamanya silika. Kalau ini bisa, maka nilai ekonominya kan bakal lebih
tinggi.

Perkilogram zeolit kalau di luar itu harganya US$100-200. Itu keuntungan yang kita punya.
Produksi zeolit dengan mudah, dari bahan alam.

Apakah karena itu penelitian Anda pakai limbah padi?

Iya. Kita pakai (sekam padi), apakah itu bisa diubah ke zeolit. Buktinya bisa.

Selain limbah padi, bahan yang banyak di Tanah Air untuk dimanfaatkan sebagai katalis, apa
saja?

Bisa misalnya dari limbah power plant, pembangkit listrik. Abu terbang (fly ash), ini kan
dikeluarkan pembangkit listrik. Ini mengandung silika, ini bisa digunakan untuk mengubah
menjadi zeolit.

Tapi itu kan bukan bahan yang natural ya?


Kan selama kita menggunakan sumber daya tak terbarukan untuk hasilkan listrik, energi,
pasti itu (abu terbang) akan ada terus. Semua yang punya basis silika bisa dipakai untuk
mengubah menjadi zeolit.

Contoh lain, itu bahan alam, tanah diatom (diatomaceous earth) yang ada pada limbah
tumbuhan di pesisir. Itu sebagai limbah, mikroalga, tanah itu mengandung silika tinggi yang
sering ada di pesisir. Itu salah satunya.

Hubungan katalis zeolit dengan nanoteknologi apa?

Jadi katalis zeolit bisa berukuran nanometer, nanopartikel. Di dalam nantopartikel, ada pori,
ada porositas yang lebih kecil lagi, bisa subnano. Nah ini dibuat, dengan adanya nanopartikel,
dengan nanopori .

Secara teknologi apakah katalis makin kecil makin potensial?

Iya, makin kecil makin baik. Sehingga alat yang kita pakai harus canggih, misalnya
mikroskop elektron. Kita punya dua, baru beli, satunya harganya Rp20 miliar. Itu dipakai
untuk fisik secara atomik, atau skala molekuler

Kataliz zeolit sama nanoteknologi, itu sangat mendasar dalam riset ini?

Banyak kebutuhan ya, yang saya lihat sendiri di Merak ada pabrik yang menggunakan katalis
zeolit untuk mengubah benzen menjadi etil benzen

Nah etil benzen menjadi stiren atau plastik kresek. Selama ini Semua ini zeolit di kilang
Pertamina itu yang notabenenya impor. Kita bukan gantikan barang impor jadi barang lokal,
tapi meningkatkan performa pabrik.

Potensinya pemanfaatan katalis zeolit di Industri kita sejauh mana?

Sangat besar. Kita bahan alam punya dengan zeolit, besar, market-nya ada, beberapa kilang
memang pakai zeolit. penelitinya juga ada.

Pertamina sudah gandeng hasil tim Anda, sejauh mana Pertamina membuka ruang
kemandirian katalis?

Atas dasar kesuksesan katalis nasional. Sebelum ini (hasil tim Rino), ada pemanfaatan katalis
nasional, melalui proses hibrida, itu dilakukan senior saya di ITB, Dr Subagyo dari teknik
kimia ITB.

Dia sudah bantu Pertamina dan mereka sukses dengan katalis nasional tapi bukan berbasis
zeolit. Atas kesuksesan itu, kita lebih percaya diri untuk berkontribusi lebih lanjut dengan
kilang petrokimia.

Karena market zeolit itu bisa dibilang katalis terbesar di dunia ya, penggunaan dan
penjualannya, itu harus main ke sana.
Pertamina sudah memberikan tim ITB, harapannya kita bisa berkontribusi. Bisa
mengomersialkan zeolit kita, terus kemudian itu akan jadi efek domino ke industri lain. Zeolit
lokal dipakai industri lain.

Apa efek pemanfaatan katalis zeolit bagi Pertamina?

Kalau pakai zeolit lokal, harga bisa ditekan. Harga pembelian zeolit, harga pembelian katalis
ditekan. Bagaimana pun katalis zeolit tiap hari diperbaharui, tiap hari disesuaikan kan itu
katalis baru, itu kan butuh biaya (untuk penyesuaian tiap hari). Kalau itu impor harganya
lebih mahal dari lokal.

Harapannya kita meningkatkan efisiensi dari pabrik dalam menghasilkan bensin, sehingga
jumlah hasilnya lebih banyak. Misalnya, nanti harapannya lebih banyak Pertamax dibanding
Premium.

Bisa enggak pemanfaatan katalis zeolit bikin harga akhir bahan bakar makin murah?

Tentunya. Kalau operasional lebih murah, harusnya harga produksi lebih ditekan lebih
murah.

Dengan kontribusi pemakaian zeolit, apakah bisa untuk menekan impor?

Jadi gini, memang kurang tahu yang diimpor (Pertamina) detailnya apa saja (dalam industri
bahan bakar). Tapi sejauh ini, kita impornya juga masih bahan dasar, bukan dalam bentuk
bensin. Tapi dalam bentuk minyak bumi yang sudah diproses itu kita terus impor, itu diproses
di kilang-kilang. Makanya kita masih punya kilang di petrokimia.

Tapi yang jelas kalau punya teknologi ini, jangankan untuk domestik, kita bisa ekspor dan
berkontribusi ke negara lain yang membutuhkan teknologi ini.

Secara ekosistem, apa yang dibutuhkan untuk mengembangkan katalis zeolit?

Pertama, dana. Kalau lihat ini peluang besar, tentunya pemerintah harus kontribusi menyuntik
dan dan mengawal penelitiannya.

Penelitian berbeda dengan kehidupan kita sehari-hari ya. Harganya (biaya penelitian)
memang lebih tinggi. Kalau di kimia pegang Rp5 miliar itu setahun itu kecil. Itu hal yang
biasa. Biaya operasional di laboratorium itu memang miliaran. Enggak mahal lho kalau untuk
dibandingkan industri petrokimia yang sehari penghasilan bisa Rp5 miliar.

Kita harus investasi dan fokus, misalnya pemerintah punya fokus (industri tertentu), bukan
bagi rata. Kalau begini dapatnya kecil-kecil.

Nah saya melihat fokusnya enggak ada. Prinsipnya high investment high return, low
investment ya low return.

Jadi kita perlu ada itu untuk membeli alat penelitian, alatnya kan mahal-mahal, kisaran
ratusan juta sampai miliaran. Operasional juga mahal, perlu dana itu. Memang kita
pertanggungjawabkan, sehingga kita bisa melatih skill kita. Kalau cuma baca textbook
enggak bisa praktekkan ya sama saja.
Selanjutnya selain dana, ya kerja sama dengan industri harus mau memakai produk kita.
Jangan sampai kita sudah jauh tapi industri lebih milih produk luar dengan segala politiknya
gitu.

Ke depan harapannya bagaimana, ingin katalis zeolit dipakai industri kita?

Kita harap bisa berkontribusi ke industri dan meningkat skala besar untuk selanjutnya dipakai
kemaslahatan, untuk bangsa kita. Supaya lebih menuju yang lebih tinggi. Selain itu, kita perlu
mengembangkan sesuatu yang sama ke depan.

Untuk 2045, kita ingin menyambut hari kemerdekaan yang ke-100. Itu kita harus bisa
menebak melihat 2045 sebenarnya, pada tahun itu apa kebutuhan orang-orang. Siapa tahu
bukan seperti sekarang.

Contoh saat ini kita pakai bensin sebagai bahan bakar, 2045 mungkin enggak, bensin tapi
berbasis hidrogen. Artinya harus siapkan hidrogen datang dari mana cara produksinya,
bagaimana dan bagaimana kehidupannya. Sehingga kita tidak terus menjadi bangsa pengikut
saja, tapi negara yang memimpin di dunia.

Peneliti di dunia bisa menemukan sesuatu pada usia muda, kisaran 25-30 tahun. Tapi peneliti
kita cenderung menemukan sesuatu saat usia sudah lanjut. Tanggapan Anda?

Tapi tak apa-apa, karena kita memang baru seperti ini. Tapi ke depannya kita perlu siapkan.
Ilmuwan harus bergelar doktor umur 25-26, itu idealnya. Saya dulu raih doktor umur 29.
Menurut itu saya biasa saja.

Kalau kita lihat, penemu DNA itu sudah ambil post doctoral pada usia 25 tahun. BJ Habibie
gelar doktor di bawah umur 30 tahun. Ini harus kita kejar ke sana.

Makanya saya terus membujuk ke mahasiswa agar mereka studinya cepat, berkualitas, terus
kejar pendidikan tinggi master dan doktor. Tahun depan ini mahasiswa bimbingan saya, bisa
lulus doktor umur 23 tahun.

Jadi ini artinya kita mempersiapkan. Muda tapi berkualitas. Harapannya seorang peneliti pasti
senang, bangga kalau anak didiknya lebih berhasil. Kita harus persiapkan itu.

Anda melihat jaringan dan interaksi peneliti di Tanah Air sudah mendukung untuk
pencapaian misi 2045 yang Anda sebutkan tadi?

Saya melihat ada peningkatan ada, banyak pertemuan seminar yang diselenggarakan di
Indonesia. Orang asing pembicara terkenal datang ke Indonesia, terus dijalankan.

Kemudian kita memunculkan ilmuwan kita di kancah internasional. Harus muncul di


internasional sebagai pembicara keynote. Untuk bisa sebagai keynote internasional tidak
mudah, kita harus diakui kepakaran kita.

Kita harus menulis publikasi yang betul-betul mempunyai dampak tinggi terhadap sains.
Peneliti kita banyak memilih berkarier di luar negeri dibanding di Tanah Air karena
ekosistem di dalam negeri tak mendukung. Tanggapan Anda?

Ya betul. Menurut saya, mereka (peneliti Indonesia di luar negeri) tidak mau membuang
kesempatan, kita harus pahami itu. Terutama karena investasi terhadap penelitian terutama
alat-alat laboratorium kita kurang.

Kita masih menganggap satu miliar itu, uang yang sangat besar hanya untuk beberapa orang
untuk mengerjakan penelitian.

Selama kita masih berpikir seperti itu ya kita tidak akan membelanjakan untuk pembelian alat
penelitian. Sehingga orang yang berpotensi malah mencari 'mainan' itu, jangan jauh-jauh, di
Singapura pun ada. Ada yang mau spending pada hal yang berdampak tinggi terhadap
kehidupan sehari-hari, dibanding industri itu (spending) tak apa-apanya.

Negara yang ideal untuk riset itu 2 persen dari total GDP. Kita baru 0,02 persen, sedangkan
Malaysia sudah 0,1 persen, Singapura bisa 1 persen. Kita masih jauh.

Saya bisa menerima kalau ilmuwan itu di luar negeri agar tidak membuang kesempatan,
hidup kan tidak lama kan selama hidup mereka ingin berprestasi.

Anda sudah dikontrak di Jepang untuk meneliti, tapi memilih pulang ke Indonesia?

Betul. Tapi ya karena ada kesempatan. Jadi ilmuwan di luar keinginannya itu pulang, tapi
masalahnya kesempatan belum datang.

Saya waktu itu umur 33 tahun ada tawaran jadi dosen, jadi saya putuskan pulang, saya lihat
peluang yang baik, terlepas semua masalah. Jadi saya mau pulang, mau berjuang.

Masalah lainnya, saat peneliti kita mau pulang. Begitu pulang malah dibebani hal-hal yang
administratif, bukan menekuni keilmuannya lebih mendalam. Tanggapan Anda?

Betul. Makanya kita harus belajar, termasuk di kampus dengan teman-teman, saya selalu
mendiskusikan hal itu. Kita ingin yang muda lebih ke arah selain administratif, arah ke
keilmuan itu. Itu memang masih masalah.

Di Indonesia ada budaya harus nurut senior. Kalau senior yang bukan keilmuan kita ya
bagaimana. Kalau senior sesuai ilmu kita, ya mau. Kita harus nurut di luar keilmuan kita,
sehingga kita nurut pada hal-hal yang berbau administratif.

Jadi hierakri itu masih lebih lebar, ya bagus tapi harusnya yang arahnya ke keilmuan. Jadinya
enggak fokus, habis di administrasi. Kita harus ngomong secara baik-baik ke kampus kita,
mohon diberikan kesempatan melakukan bidang ini.

Tri Dharma perguruan tinggi itu kan meneliti, mengajar dan mengabdi. Perguruan tinggi
harusnya bisa memilah, mana yang fokus ke penelitian, mengajar atau mengabdi. Itu yang
saya kritisi.

Anda kan pernah di Jepang. Di sana sangat menghargai ilmuwan. Bisa diceritakan?
Iya, kita di sana diberi 'mainan'. Ilmuwan 'mainannya' ya laboratorium. Tidak boleh duduk di
meja, harus di laboratorium kasih fasilitas. Itu adalah penghargaan pertama.

Karena di laboratorium, tentunya penghasilannya harus cukup, kasih makan yang cukup.
Kalau enggak, ya nanti ilmuwan pastinya ngamen.
Jangan sampai dia jadi mengajar di universitas lain, dosen terbang itu ganggu konsentrasinya.
Jadi laboratorium diberikan, itu penghargaan tertinggi, kalau sudah lengkap, mereka bisa
berkarya.
Jepang saat lihat satu peneliti sudah lulus doktor, wah kelihatan ini ahli. Di-hire
(dipekerjakan) lembaga riset atau universitas, di laboratorium dikasih startup funding. Ini
uang untuk mulai kegiatan Anda. Di AS, di Jerman sudah ada (skema tersebut).
Kalau di Indonesia kan beda.
Penghargaan di Jerman sama. Investasi di penelitian dan ada hubungan dengan industri. Jadi
merasa ada fasilitas ada tanggung jawab dan dihubungkan dengan pihak terkait. Kami punya
laboratorium ini, kita bisa bekerja sama dengan industri. Jadi otak saja enggak cukup, butuh
infrastruktur
Penemuan Energi Baru Shale Gas dan Oil AS Dinilai
Dapat Guncangkan Harga Minyak Dunia

Jakarta,eMaritim.Com,-Tanggal 1 maret 2015 pemerintah menaikkan harga BBM, akibat


dari naiknya harga minyak dunia. Tetapi tak berselang lama harga minyak dunia kembali
turun. Lalu apa yang membuat harga minyak dunia menjadi turun?

Ada beberapa berita yang menyebutkan akibat dari negara Amerika Serikat yang sekarang
mulai mengurangi penggunaan energi dari minyak bumi dan batubara. Karena Amerika
Serikat tengah mengembangkan bahan bakar terbarukan yaitu Shale Gas. Inilah yang
membuat negara-negara penghasil minyak mulai takut dengan perkembangan Shale gas di
Amerika Serikat.
Sedikit dijelaskan di sini tentang bahan bakar terbarukan yaitu shale gas. Shale gas adalah gas
alam yang terdapat di dalam batuan shale, yaitu sejenis batu lunak (serpih) yang kaya akan
minyak ataupun gas.

Gas ini pertama kali diekstraksi di Fredonia, pada tahun 1821. Namun produksi gas shale
untuk industri baru dimulai pada tahun 1970-an. Ketika itu Amerika Serikat mulai mengalami
penurunan cadangan gas konvensional, yang memaksa negara itu untuk melakukan riset dan
pengembangan baru. Tetapi dari serangkaian uji coba, pengeboran shale gas pada era 1980
tersebut masih kurang ekonomis. Baru pada tahun 1988, Mitchell Energy menemukan
teknologi slick-water fracturing yang ekonomis.

Terdapat dua macam teknik pengeboran untuk shale gas, yakni melalui pengeboran horisontal
atau hydraulic fracturing. Teknik ini juga yang membedakan shale gas dengan gas alam
konvensional.

Karena letak sumber cadangan gasnya yang berbeda, maka lain pula teknik pengeboran yang
digunakan. Konon, shale gas ini lebih ramah lingkungan, karena mampu mengurangi efek
rumah kaca akibat emisi karbon yang dihasilkannya lebih sedikit dibandingkan gas alam
konvensional. Hanya saja, biaya ekstraksi shale gas ini cukup mahal. Namun dengan
kemajuan teknologi ke depan, diharapkan biaya ekstraksi dapat dikurangi.

Ketersediaan Shale Gas Sangat Melimpah

Dengan ketersediaan Shale Gas yang sangat melimpah membuat Amerika mengembangkan
bahan bakar tipe ini. Diperkirakan di Amerika Utara terdapat sekitar 1.000 triliun kaki kubik
shale gas yang cukup untuk memasok gas alam untuk USA selama 50 tahun atau lebih.
Analisa terakhir juga menunjukkan bahwa shale gas bisa menyediakan hingga setengah
pasokan gas USA pada tahun 2020.

Amerika sebagai negara yang selalu haus akan energi dan penciptaan lapangan kerja baru
mendorong Amerika untuk melakukan revolusi terhadap shale gas secara serius.

Majalah The Economist edisi Juli 2012 memprediksi bahwa shale gas saat ini telah
menyumbang sepertiga pasokan gas Amerika Serikat, dan pada tahun 2035 bisa mencapai
50%. Selain itu, diperkirkanan revolusi shale gas ini bisa menciptakan tiga juta lapangan
pekerjaan baru di Amerika Serikat pada 2020.
Dampak Dari Menambang Shale Gas Bagi Lingkungan

Disisi lingkungan. Meski dianggap lebih bersi dibandingkan Batubara, shale gas memiliki
emisi karbon yang sangat segnifikan bila dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya.
Karena proses fracking untuk memperoleh shale gas masih dianggap oleh sebagian pihak
membahayakan lingkungan khususnya karena memerlukan air yang jumlahnya besar serta
penggunaan bahan kimia yang berpotensi mencemari lingkungan.

Shale Gas Bisa Membantu dan Mengancam

Shale gas bagaikan koin yang mempunyai dua sisi, di satu sisi shale gas dapat menurunkan
biaya energi, membuat produksi shale gas kemungkinan akan menyebabkan penurunan harga
gas alam secara signifikan. Produksi shale gas yang besar juga akan membantu meningkatkan
keamanan energi, dan membantu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang
mahal.

dan di lain sisi membuat negara-negara pengekspor minyak dan batubara ketar-ketir melihat
perkembangan Shale Gas karena mengancam pasar dari Minyak Bumi dan Batubara,
munculnya shale gas juga telah menyebabkan jatuhnya harga komoditas energi lain, terutama
batubara. Harga batubara telah turun sangat drastis dari rekor tertinggi US$ 192 per metrik
ton pada Juni 2008 menjadi US$ 96 per metrik ton pada September 2012.

Dan, rasanya bukan sebuah kebetulan jika harga saham BUMI Plc kemudian anjlok dari GBP
14 pada April 2011 menjadi hanya 147 pound pada akhir September 2012. Begitu juga
dengan harga saham Adaro yang menurun terseret penurunan harga komoditas.

Lalu bagaimana dengan Indonesia, Apakah Indonesia bisa mengembangkan Shale Gas

Indonesia perlu bersyukur karena di berikan alam yang mempunyai sumberdaya alam yang
sangat melimpah dan mungkin kedepannya indonesia akan beralih ke Shale Gas. Karena
Indonesia juga mempunyai cadangan shale gas. Potensi Shale gas di Indonesia pun cukup
besar yaitu sekitar 574 TCF dari total cadangan dunia sebesar 6622 TCF. Cadangan Shale gas
lebih besar dibandingkan CBM sekitar 453,3 TCF dan gas bumi 334,5 TCF. Berdasarkan
hasil identifikasi yang dilakukan pemerintah, hingga saat ini terdapat 7 cekungan di Indonesia
yang mengandung Shale gas dan 1 berbentuk klasafet formation. Cekungan terbanyak berada
di Sumatera yaitu berjumlah 3 cekungan, seperti Baong Shale, Telisa Shale dan Gumai Shale.
Sedangkan di Pulau Jawa dan Kalimantan, Shale gas masing-masing berada di 2 cekungan.
Di Papua, berbentuk klasafet formation.

Cadangan CBM Indonesia tersebar dalam 11 cekungan. Dengan cadangan 453,3 TCF,
Indonesia termasuk nomor 6 di dunia, berdasarkan evaluasi dilakukan Advanced Resources
International, Inc (ARI) tahun 2003. Rusia menempati posisi teratas dengan cadangan sekitar
450-2.000 TCF. Selengkapnya hasil evaluasi ARI mengenai cadangan CBM di dunia, sebagai
berikut:
1. Rusia: 450-2.000 TCF
2. China: 700-1.270 TCF
3. Amerika Serikat: 500-1.500 TCF
4. Australia/New Zealand: 500-1.000 TCF
5. Kanada: 360-460 TCF
6. Indonesia: 400-453 TCF
7. Afrika bagian Selatan: 90-220 TCF
8. Eropa bagian Barat: 200 TCF
9. Ukraina: 170 TCF
10. Turki: 50-110 TCF
11. India: 70-90 TCF
12. Kazakhstan: 40-60 TCF
13. Amerika bagian Selatan/Meksiko: 50 TCF
14. Polandia: 20-50 TCF.
Cadangan CBM Indonesia terutama berlokasi di Sumatera Selatan sebesar 183 TCF, Barito
101,6 TCF, Kutai 80,4 TCF dan Sumatera Tengah 52,5 TCF.

Jadi salah satu faktor yang membuat harga minyak bumi terus turun akibat dari Perang OPEC
vs AS atau Negara penghasil minyak bumi dan shale gas. Dimana Negara anggota OPEC
terus memacu produksi minyak agar pangsa pasar tidak hilang diambil oleh Shale Gas. Kita
liat saja perkembangan selanjutnya antara OPEC vs AS dan Indonesia sebagai negara
pengimpor minyak di untungkan dari perang ini, karena harga minyak dunia yang jatuh.

Shale Gas Guncangkan Harga Minyak Dunia

Penemuan energi baru yakni shale gas dan shale oil oleh Amerika Serikat dinilai dapat
menggoncangkan harga minyak dunia. Amerika Serikat yang semula hanya menjadi
konsumen minyak mentah kini menjadi produsen. Hal ini diprediksikan akan menjadi
ancaman bagi sejumlah negara produsen minyak mentah.
Oil shale merupakan batuan sedimen yang mengandung material organik. Dengan teknologi
baru, serpihan-serpihan minyak dan gas alam diekstrak setelah air, pasir, dan zat-zat kimia
dipompa ke bawah tanah pada tekanan tinggi agar batu-batu terpecah. Proses ini umumnya
disebut sebagai teknologi Hydraulic Fracturing atau lebih dikenal dengan “fracking.”

umumnya disebut sebagai teknologi Hydraulic Fracturing atau lebih dikenal dengan
“fracking.”

Diperkiraan di Amerika Utara saja terdapat sekitar 1.000 triliun kaki kubik shale gas yang
cukup untuk memasok gas alam untuk USA selama 50 tahun atau lebih. Analisa terakhir juga
menunjukkan bahwa shale gas bisa menyediakan hingga setengah pasokan gas USA pada
tahun 2020.

Badan Energi Internasional (IEA) memperingatkan booming produksi shale oil telah memicu
supply shock dengan menciptakan jenis pasokan energi baru. Hal itu dinilai bisa menciptakan
kembali industri minyak global mengingat kualitas shale oil diklaim lebih baik dibandingkan
hasil minyak mentah pada umumnya selama ini.

Berdasarkan laporan Pricewaterhouse Coopers (PwC), produksi oil shale mampu


meningkatkan perekonomian dunia hingga $ 2,7 triliun di tahun 2035.

“Pasokan tambahan bisa mencapai 12 persen dari produksi minyak global, atau sekitar 14 juta
barel per harinya. Hal ini mampu mendorong harga minyak global turun hingga 40 persen,”
demikian laporan PwC.
Bilamana supply shock terjadi, akan berpengaruh pada pembentukan reshaping industri
minyak dan gas (migas) di dunia, terutama AS dan sekitarnya.
Faktanya, selama booming produksi di AS, harga minyak mentah dunia tidak turun tajam
alias tetap stabil. Meskipun produksi minyak dari lapangan-lapangan baru AS booming,
terjadi penurunan yang konsisten pada produksi dari lapangan-lapangan tua di seluruh dunia,
dan para anggota OPEC tidak meningkatkan produksi. Sementara itu, meskipun permintaan
minyak di AS jatuh, permintaan tetap kuat di seluruh dunia.
Dalam sebuah posting oleh Lou Gagliardi berjudul ‘2013 Crude Oil Outlook’, ia
menjelaskan permintaan minyak dari negara-negara di luar AS, terutama Asia seperti ‘tidak
pernah terpuaskan’. Permintaan terbesar datang dari China, disusul negara-negara Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Setelah itu permintaan datang dari negara-negara sub-Sahara
Afrika.
Jadi kesimpulannya adalah booming minyak AS tidak memengaruhi harga karena total
produksi minyak dunia tidak sejalan dengan booming di negara itu.

Potensi Shale Gas di Indonesia


Besarnya kebutuhan gas dalam negeri dan menipisnya potensi gas Indonesia menggerakkan
pemerintah untuk melakukan berbagai usaha guna menambah supply gas dalam negeri.
Pada awal Mei 2013, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan akan
menggandeng Amerika serikat (AS) untuk bekerja sama dalam pengembangan gas metana
batu bara (CBM) dan shale gas di Indonesia.

Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo mengatakan kerja sama tersebut dilakukan karena
AS cukup berpengalaman dalam pengembangan CBM dan shale gas.

Selain berpengalaman di bidang teknis, AS juga yang terbilang sudah cukup lama
memproduksi shale gas sehingga berpengalaman pada regulasi, keselamatan, dan segi
operasional.

Menurut dia, pengembangan gas yang berasal dari batu bara tersebut sangat baik untuk
ketahanan energi Indonesia serta bisa membantu negara lain yang belum bisa menikmati
energi.Adapun pada pertengahan Mei, Pertamina telah menjadi perusahaan pertama yang
menandatangani kontrak kerja sama wilayah kerja shale gas atau gas nonkonvensional.
Pertamina menandatangani kontrak PSC Migas Nonkonvensional Sumbagut, yang
merupakan PSC MNK pertama di Indonesia. Pertamina berkomitmen berinvestasi $ 7,8
Miliar atau sekitar Rp 74 triliun.

“Kami berharap penandatanganan PSC MNK ini menjadi momentum yang baik untuk masa
depan pengembangan energi alternatif, terutama Shale Gas di Indonesia yang memiliki
sumberdaya yang besar. Kelak, Shale Gas bisa mendukung pemerintah untuk melakukan
diversifikasi energi di Indonesia sehingga ketergantungan terhadap minyak dapat dikurangi.
MNK Sumbagut akan diprioritaskan untuk pasokan domestik, terutama Sumatera Utara,”
tutur Karen Agustiawan, Dirut Pertamina.

MNK Sumbagut diperkirakan mengandung potensi shale gas sebesar 18,56 triliun kaki kubik.
Pertamina menargetkan produksi perdana dapat diperoleh pada tahun ke-7 setelah enam
tahun tahap eksplorasi perdana dengan tingkat produksi sebesar 40 MMscfd hingga 100
MMscfd.

(www.rizkyatullah.blogdetik.com/rizkylendes/www.thepresidentpostindonesia.com/kabarner
gi.com/pulo lasman simanjuntak)

Anda mungkin juga menyukai