Anda di halaman 1dari 19

BAB 4

Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Pada bab ini akan dibahas mengenai hubungan antara hukum internasional dan hukum
nasional. Dalam kepustakaan hukum internasional istilah yang terakhir lebih dikenal dengan
sebutan municipal law. Dengan meningkatnya ketergantungan suatu negara terhadap negara-
negara lain pada saat ini makin meningkatkan peran dari hukum internasional itu sendiri.
Lagipula dengan semakin luasnya wilayah dari pengaturan hukum internasional itu sendiri makin
membutuhkan suatu pemikiran ulang atas posisi hukum internasional di level lokal, yang
tentunya dengan mengedepankan semangat humanisme.' Keadaaan itu dapat dilihat dari
perkembangan rezim HAM internasional yang sebelumnya sebagai persoalan tabu bagi hukum
internasional. Sementara disisi lain, adanya keengganan dari negara-negara untuk melepaskan
pengertian ortodok atas konsepsi kedaulatan makin memperumit internalisasi dari hukum itu
sendiri. Persoalan itu serta keadaan kompleks lain yang menyertainya merupakan fokus dari bab
yang satu ini. Dalam bab ini pembahasan disertai dengan keadaan-keadaan praktis yang terjadi di
negara-negara dalam perlakuannya terhadap hukum internasional.

A. Perbedaan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Terdapat perbedaaan-perbedaan yang krusial antara hukum nasional dengan hukum


internasional. Pertama, objek pengaturan dari kedua sistem hukum itu sendiri terdapat perbedaan.
Hukum internasional memiliki negara sebagai objek utama dari pengaturan. Sedangkan hukum
nasional lebih menekankan pada pengaturan hubungan antar individu dengan individu dan
negara dalam wilayah jurisdiksi dari masing-masing negara.Z Akan tetapi, pengertian ini tidak
menutup kemungkinan akan terjadinya tumpang tindih mengingat pada perkembangan
selanjutnya hukum internasional, sesuai dengan hakikatnya, supreme' dibanding hukum
nasional.3 Sebagai bukti argumen ini adalah dengan munculnya hukum HAM internasional.4
Dalam hukum HAM internasional, negara di bawah pengawasan organ-organ traktat misal the
Human Rights Committee, sebagai organ dengan fungsi quasy-judicial dari Konvensi
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, International Covenant Law Civil and Political
Rights (ICCPR).

Cara pandang kedua adalah dengan membedakan model atau bentuk hukum yang sama
sekali berbeda. Apabila digunakan pengertian mengenai 'hukum' dari sudut pandang hukum
nasional untuk menjelaskan hukum internasional, dapat berakhir pada peniadaan eksistensi
hukum internasional.6 Hukum internasional tidak memiliki badan-badan seperti legislatif,
eksekutif, dan yudikatif sebagaimana halnya dalam hukum nasional. Meskipun terdapat Majelis
Umum PBB yang seeing berlaku sebagai badan 'legislatif' tidak dapat dianalogikan sebagai
parlemen ataupun ICJ, dianalogikan sebagai lembaga yudikatif. ICJ hanya menangani kasus
yang diserahkan oleh negara melalui kesepakatan, yang tertuang dalam compromis, pernyataan
para pihak yang bersengketa untuk mengakui kompetensi dari ICJ. Oleh karena itu, jelaslah
bahwa kedua hukum tersebut memiliki perbedaan yang substansial.

Dan terakhir, perbedaan yang sangat menonjol dapat dibuktikan melalui prinsip-prinsip
hukum internasional yang sangat mendasarkan pada prinsip persamaan subjek (negara) sebagai
dasar untuk terbentuknya hukum. Seperti yang dapat dilihat dalam proses pembentukan hukum
kebiasaan atau traktat, yang menuntut supaya terdapatnya persetujuan dari negara-negara atas
dasar persamaan. Hal mana prinsip ini tidak begitu menonjol dalam hukum nasional yang serba
tersentralisir.

Oleh karena itu, Lauterpacht menegaskan hukum nasional yaitu suatu hukum yang
berdaulat atas subjek individu, sedangkan hukum bangsa-bangsa, suatu hukum yang berada di
bawah, melainkan hukum yang berdaulat antara negaranegara, dan oleh karena itu hukum ini
lebih lemah (International Law is a law of a sovereign over individual subjected to his sway, the
law of nations is a law not above, but between, sovereign States, and is therefore a weaker law).

B. Teori-teori Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Terdapatdua persoalan penting tentang kaitan antara kedudukan hukum internasional


dengan sistem hukum nasional. Pertama, apakah hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua bidang hukum yang terpisah dan berdiri sendiri, ataukah merupakan bagian dari
satu sistem hukum yang lebih besar, atau kedua hukum tersebut memiliki wilayah yang berbeda-
beda? Kedua, apakah di antara kedua hukum tersebut secara hirarkhis ada yang lebih unggul
dibanding yang lainnya?

I. Teori Monisme

Untuk menjawab persoalan tersebut, timbul tiga aliran (teori) yang kesemuanya berupaya
memberikan jawaban atas persoalan di atas. Pertama, aliran Monisme yang memandang bahwa
hukum nasional dan hukum intermasional hanyalah merupakan hukum utama bagi hukum
nasional. Kelompok monisme ini terbagi dua, yakni, kelompok yang diwakili oleh Hans Kelsen,
yang mendasarkan pada pandangan Immanuel Kant. Kelsen berasumsi bahwa hukum adalah
sebuah tatanan yang memberikan bimbingan yang bersifat memaksa bagi Perilaku para
subjeknya. Lebih jauh, Kelsen beranggapan, oleh karena negara memiliki hubungan hukum satu
sama lainnya, maka hukum internasional haruslah lebih utama demi terciptanya hubungan yang
logis antara keduanya sesuai dengan teori hirarki-nya.

Teori monisme, beranggapan bahwa hukum internasional Iebih unggul dari hukum
nasional berdasarkan pada pandangan-pandangan yang bersifat idealis -yang tentunya dengan
alasan yang bersifat etis. Wakil utama dari kelompok ini dapat kita temui pada pemikiran Sir
Hersch Lauterpacht yang sangat menyangsikan prinsip-prinsip seperti non-intervensi ataupun
kedaulatan. Kelompok ini menekankan terciptanya nilai-nilai universal kemanusiaan sebagai
landasan utama dalam norma-norma hukum internasional. Sehingga, pandangan ini dapat
dikatakan sebagai tanda bagi bangkitnya mazhab hukum alam.

Walaupun pandangan ini terkesan utopis terbukti memiliki visi yang jauh kedepan. Sebab,
sebelumnya pandangan ini sempat diragukan. Keberhasilannya diperlihatkan melalui kontribusi
nuansa hukum internasional yang lebih humanis dengan munculnya rezim HAM internasional."
The Vienna Convention on the Law of Treaties (1969) pada Pasal 27 menguatkan pendapat
kelompok ini bahwa'hukum nasional tidak boleh dijadikan sebagai dalih untuk menghindar dari
kewajiban hukum internasional'.12 Pemahaman kelompok Monis pada saat ini telah mendapat
pengakuan pada tataran praktis, sebagaimana diakui oleh Konstitusi Belanda.

2. Teori Dualisme

Aliran kedua adalah aliran Dualisme yang memandang bahwa hukum internasional
memiliki status lebih rendah dibanding dengan hukum nasional. Menurut kelompok ini, hukum
internasional merupakan dua bidang hukum yang sama sekali berbeda dan berdiri sendiri satu
dengan°lainnya. Asumsi yang mendasarinya adalah keberlakuan hukum internasional murni
kewenangan dari penguasa domestik. Oleh karena itu, hukum nasional memiliki kedudukan yang
lebih tinggi dibanding dengan hukum internasional. Pendapat ini dinyatakan oleh Triepel13 dan
Strupp.

Paham dualisme ini sangat terkait dengan paham positifisme yang sangat menekankan
unsur persetujuan dari negara-negara. Secara historis pandangan dualisme ini merupakan
cerminan spirit pada jamannya, yakni sikap yang menunjukan nasionalisme radikal yang
menggebu-gebu. Paham ini secara historis dapat dikatakaitsudah tidak sesuai lagi bagi masa kini.
Sebab, paham ini dalam abad ke-1 9 lebih ditujukan sebagai justifikasi bagi para penguasa untuk
mengejar kepentingan pribadinya dengan menyepelekan hukum internasional, yang tentunya
dengan mengatasnamakan kepentingan nasional.

3. Teori Koordinasi

Kelompok ketiga, yang bisa dikatakan sebagai kelompok moderat atau teori koordinasi,
beranggapan apabila hukum internasional memiliki lapangan berbeda sebagaimana hukum
nasional, sehingga kedua sistem hukum tersebut memiliki keutamaan di lapangannya masing-
masing. Menurut mereka hukum internasional dengan hukum nasional tidak bisa dikatakan
terdapat masalah pengutamaan. Masing-masing berlaku dalam areanya sendiri. Oleh karena itu
tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah antara satu dengan lainnya. Sebenarnya
kelompok ini merupakan bagian dari kelompok dualisme atau pluralisme. Di antara_ para
pengusungnya adalah Ian Brownlie,16 Sir Gerald Fitzmaurice,17 dan Rousseau." Pemahaman
kelompok ketiga ini sebenarnya merupakan modifikasi dari paham teori dualisme.

Secara jelas dinyatakan oleh Anzilotti yang berpemahaman bahwa hukum nasional
ditujukan untuk ditaati sedangkan hukum internasional dibentuk dengan dasar persetujuan yang
dibuat antar negara ditujukan untuk dihormati. Pemahaman Anzilotti ini pada saat ini sangat
diragukan. Karena jika hukum internasional hanya didasarkan pada persetujuan, sebagaimana
tercermin dalam prinsip pacta sunt servanda, maka persoalan-persoalan yang bersama dan
mendesak seperti perlindungan terhadap lingkungan dan HAM akan menemui jalan buntu.20
Dengan demikian, perbedaan antara hukum nasional dan hukum internasional sebagaimanaYang
dikemukakan oleh kelompok Dualismetersebut diatas untuk kurun waktu sekarang ini sudah
tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena sudah terjadi perubahan dan perkembangan yang
sangat mendasar atas struktur masyarakat internasional maupun hukum internasional itu sendiri.

C. Penerapan Hukum Internasional di Tingkat Nasional

Kedudukan hukum internasional dalam peradilan nasional suatu negara terkait dengan
doktrin 'inkorporasi' dan doktrin 'transformasi'. Doktrin inkorporasi menyatakan bahwa hukum
internasional dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional. Dalam hal suatu negara
menandatangani dan meratifikasi traktat, maka perjanjian tersebut dapat secara langsung
mengikat terhadap para warga negaranya tanpa adanya sebuah legislasi terlebih dahulu. Contoh,
seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia dan negara-negara lainnya.

Sedangkan, doktrin yang terakhir menyatakan sebaliknya; tidak terdapat hukum


internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya'tranformasi' yang berupa pernyataan
terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan. Dalam kata lain, traktat tidak dapat digunakan
sebagai sumber hukum nasional di pengadilan sebelum dilakukankannya'transformasi' ke dalam
hukum nasional.

Doktrin inkorporasi beranggapan bahwa hukum internasional merupakan bagian yang


secara otomatis menyatu dengan hukum nasional. Dan doktrin ini lebih mendekati pada teori
monisme yang tidak memisahkan antara kedua sistem hukum nasional dan sistem hukum
internasional. Sedangkan doktrin transformasi menuntut adanya tindakan positif dari negara yang
bersangkutan. Sebagaimana doktrin ini juga dikembangkan oleh teori dualisme, mendapatkan
contohnya di negara-negara Asia Tenggara, termasuk juga di Indonesia.

1. Penerapan dalam Pratek

Bagaimana kaitan antara teori tersebut di atas dengan praktek beberapa negara dalam
menerapkan hukum internasional ke dalam sistem hukum nasionalnya. Hal ini sangat penting
untuk dikemukakan, mengingat tidak seluruh negara memiliki sikap yang sama terhadap
penerapan hukum internasional dalam sistem hukum nasional.

a) Inggris

Sebagai satu-satunya negara modern yang memiliki Konstitusi tidak tertulis, Inggris
menyerahkan persoalan hubungan luar negeri sepenuhnya pada kewenangan badan pemerintah
atau eksekutif. Oleh karena itu, pemerintah di Inggris bertanggung Ja~ab secara penuh terhadap
Parlemen atas persoalan hubungan luar negeri.24 Hal ini tidak terlepas dari doktrin dalam sistem
pemerintahan yang dianut Inggris yang mensupremasikan lembaga Parlemen.

Praktek di Inggris pada umumnya menunjukkan bahwa hukum kebiasaan internasional


dipandang secara otomatis sebagai bagian dari hukum nasional Inggris.26 Pendekatan yang
digunakan Inggris merupakan bentuk pengadopsian prinsip inkorporasi.27 Prinsip ini
menjadikan kedudukan hukum kebiasaan secara otomatis menjadi bagian dari hukum nasional
tanpa adanya sebuah pengumuman resmi terlebih dahulu dari lembaga judisial ataupun legislatif.

Namun demikian, tidaklah berarti bahwa Inggris menerima begitu saja hukum kebiasaan
internasional sebagai bagian dari hukum nasionalnya. Terdapat suatu syarat yang harus dipenuhi
agar hukum kebiasaan internasional dapat diterima sebagai bagian dari hukum nasional Inggris.
Syarat tersebut adalah, hukum kebiasaan internasional dapat diterima jika tidak bertentangan
dengan doktrin precedent atau ketentuan perundang-undangan.29 Sebab, bilamana hukum
kebiasaan internasional bertentangan dengan undang-undang inggris, baik undang-undang itu
lahir lebih dahulu ataupun belakangan dari pada hukum kebiasaan internasional itu, maka Inggris
akan menolak hukum kebiasaan internasional itu dan mengutamakan penerapan undang-
undangnya. Hal ini berarti bahwa Inggris lebih mendahulukan hukum nasionalnya sendiri atas
hukum kebiasaan internasional.

Pemahaman seperti itu dianut oleh Inggris pada abad ke-1 8, yang dikenal sebagai paham
Blackstonian.31 Kemudian pada abad ke-1 9 makin diperjelas oleh kasus Dolder v. Huntingfield
oleh Lord Eldon, dalam Wolff v. Oxholm oleh Lord Ellenborough, dalam Novello v. Toogood
oleh Abbott CJ, dalam De Wutz v Hendricks oleh Best CJ, dan dalam Emperor of Austria v. Day
and Kosuth oleh Stuart V-C.31 Bagaimanapun pada abad ini supermasi hukum nasional masih
dipertahamkan ketika terjadinya pertentangan.

Pernyataan penting pengadilan Inggris dalam kaitannya dengan hukum internasional


terdapat pada kasus West Rand Gold Mining Co. Dalam kasus ini Lord Averstone menyatakan
bahwa apapun yang telah mendapat persetujuan dari semua bangsa yang beradab, Inggris akan
menyetujuinya dan berakibat kedudukan Pengadilan lokal Inggris harus menerapkannya pada
persoalan konkrit.

Lord Atkin dalam kasus Chung Chi Cheung v. R menyatakan: Hukum internasional tidak
memiliki validitas hanya apabila prinsip-prinsip diterima dan diadopsi oleh hukum nasionalnya.
Penerimaan tersebut tentu saja sangat kondisional, yakni hanya ketika pengadilan melihat
ketentuan tersebut terdapat kesesuaian dengan hukum negaranya.

The Courts acknowledge the existence of a body of rule which nations accept among
themselves. On any judicial issue they seek to ascertain what the relevant rule is, and having
found it they will treat it as incorporated into the domestic law, so far as it is not inconsistent
with rule enacted by statutes or finally declared by their tribunals .
Kemudian Shaw memperkuat doktrin tersebut, dengan mendasarkan pada doktrin yang
muncul dari praktek pengadilan yang menyatakan bahwa hukum internasional sebagai hukum
asing, tetapi dalam prakteknya harus dipandang sebagai hukum bangsanya ('is not treated as a
foreign law but in an evidential manner as part of the law of the land').34 Lebih jauh Shaw
mengemukakan bahwa Pengadilan dalam menentukan apakah suatu ketentuan telah menjadi
hukum kebiasaan internasional atau belum. Pengadilan akan berpaling pada 'traktat dan
perjanjian internasional, textbooks yang otoritatif, praktik atau pada putusan-putusan pengadilan'
asing. Dengan kata lain, Pengadilan akan Iebih memilih berpaling pada buku daripada
mendengar kesaksian para ahli.

Dalam membahas Pengadilan Inggris tidak bisa kita lepaskan dari doktrin preseden hukum
(stare decisis). Dalam kaitannya dengan ini Pengadilan lokal

Inggris sangat konsisten dalam penerapan preseden hukum dengan hukum kebiasaan
internasional. Akan tetapi, dalam kasus Trendtex, Lord Denning dan Malcolm LJ menyatakan
bahwa hukum internasional tidak mengenal apa yang disebut sebagai stare decisis. Oleh karena
itu, dalam hal hukum kebiasaan internasional mengalami perubahan, maka Peng~clilan dapat
menerapkan perubahannya tersebut tanpa menunggu keputusan yang dilakukan oleh the House
of Lord.

Dalam hal traktat, untuk memberlakukan sebuah traktat membutuhkan legislasi dari
parlemen. Sehingga, di sini kita melihat adanya sebuah perbedaan. Traktat tidak sebagaimana
halnya kebiasaan yang merupakan norma yang berkembang dari praktek-praktek negara-negara,
traktat merupakan sebuah produk yang memuat praktek-praktek kontemporer, yang pada
umumnya bersifat terbatas. Sebagai akibatnya pemberlakuan traktat doktrin inkorporasi tidak
bisa digunakan, sebab pemberlakuan traktat merupakan tindakan eksplisit yang dilakukan
eksekutif.

Pada prinsipnya, Inggris memiliki pemahaman bahwa traktat yang belum disetujui oleh
lembaga eksekutifnya tidak bisa digunakan sebagai sumber hukum. Menurut O'Brien keadaan ini
tidak bisa dilepaskan dari faktor historis dan sikap pejabatnya yang memberikan kewenangan
kepada eksekutif dalam hal traktat .38 Hal mana munculnya prinsip tersebut tidak bisa
dilepaskan dari kasus Parlement Beige yang sebagai berikut.

Dalam kasus tersebut, sebuah tug atau kapal pandu Inggris tabrakan dengan sebuah kapal
kargo yang bernama Parlement Beige yang dimiliki oleh kerajaan Belgia. Pemilik tug atau kapal
pandu mengajukan tuntutan pada -Pengadilan Tinggi Inggris. Di tengah-tengah Jaksa Agung
mengintervensi dengan menyatakan apabila pemilik tug atau kapal pandu tidak bisa mengajukan
tuntutan tersebut, dikarenakan Inggris memiliki perjanjian dengan pemerintahan Belgia untuk
memberikan kekebalan kepada semua kapal sipil sebagaimana halnya kapal perang.

Sebagai kelanjutannya, Phillimore J menyatakan bahwa kekebalan memang dikenal oleh


hukum kebiasaan, namun kekebalan tidak dapat diperluas kecuali oleh traktat yang telah
disahkan sehingga memiliki efek di lingkup lokal. Doktrin traktat yang belum mendapatkan
pengesahan (unincorporated) tidak memiliki pengaruh terhadap tatanan hukum lokal tampaknya
semakin menguat. Terutama sejak dinyatakan kembali oleh Lord Atkin dalam Attorney General
of Canada v. Attorney General of Ontario. Lord Oliver menambahkan sifat tidak dapat mengikat
(non-justiciability) dari traktat yang belum disahkan (untransformed) dan beranggapan bahwa
Pengadilan supaya tidak mempersoalkan traktat yang tidak mendapatkan pengesahan dari
Pemerintahnya terkait dengan perihal penentuan hak-hak substantif dari para pihak.

Sebelum menutup pembicaraan mengenai Inggris kita perlu memberikan perhatian akan
adanya sistem Strasbourg atau/dan hukum komunitas (Eropa) yang menuntut para negara
anggotanya menjadikan komunitas hukum sebagai lebih unggul dari hukum nasional. Komunitas
hukum memberikan pengaruh besarterhadap kedudukan hukum internasional di Inggris pada
masa mendatang.

b) Amerika Serikat

Praktek Amerika Serikat (AS) dalam hal ini menyerupai praktek di Inggris, terutama
berkenaan dengan hukum kebiasaan internasional. Situasi ini disebabkan karena sistem hukum
Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh sistem hukum Anglo Saxon yang asal mulanya berasal
dari sistem hukum common law Inggris. Tapi dalam perkembangan berikutnya terdapat
modifikasi sebagaimana tercermin dalam putusan kasus Paquete Habana: '[h]ukum Internasional
adalah merupakan bagian dari hukum, dan perlu ditegaskan dan ditetapkan oleh hukum
pengadilan dalam jurisdiksi yang pantas.

International law is part of our law and must be ascertained and administered by the courts
of justice of appropriate jurisdiction as often as questions of right depending upon it are duly
presented for their determination).

Pemahaman mengenai kedudukan hukum kebiasaah di AS saat ini adalah penentuannya


dilakukan oleh Pengadilan federal dan mengikat Pengadilan negara bagian.42 Sebagaimana
halnya Inggris, AS juga menerapkan doktrin preseden (stare decisis) yang menyebabkan adanya
keseragaman pemahaman, dan Pengadilan itu pun dituntut untuk menerapkan UU, walau
bertentangan dengan hukum kebiasaan internasional. Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila pengadilan banding (the Cout of Appeals) dalam kasus Committee of United States
Citizens Living in Nicaragua v. Reagen mengulangi pernyataan dalam Paquete Habana, yang
menyatakan bahwa, tidak ada ketentuan hukum Kongres yang diberlakukan atas dasar
bertentangan dengan hukum kebiasaan internasional ('no enactment of Congress can be
challenged on the ground that it violates customary international law'). Tindakan kontroversial
ini Bering dilakukan tidak hanya oleh cabang judikatif tapi juga eksekutif.

Dalam kaitannya dengan pelanggaran HAM, pengadilan AS menerapkan sikap yang lebih
maju, sebagaimana yang tercermin dalam kasus Filartiga v. PenaIrala. Kasus tersebut mengakui
kewenangan penyidangan atas penyiksaan (torture) yang terjadi di luar yurisdiksi
domestiknya.43 Lengkapnya kasus ini sebagai berikut.

Seseorang berkebangsaan Paraguay mengajukan tuntutan terhadap orang Paraguay lainnya


atas persoalan penyiksaan dan kematian dari anak sipenuntut. Tuntutan ini berdasar pada the
Alien Tort Claims Act 1789 yang menyatakan bahwa, 'pengadilan distrik memiliki jurisdiksi atas
suatu tuduhan seseorang dari warga asing untuk hanya kasus penganiyaan, yang dilakukan
bertentangan dengan hukum bangsa-bangsa ('the districk court shall have original jurisdic tion of
any civil action by an alien for a tort only, committed in violation of the law of nations')".
Kemudian Pengadilan menyatakan tuntutan yang dilakukan oleh penuntut tersebut dapat diterima
karena penyiksaan merupakan pelanggaran terhadap hukum kebiasaan internasional.

Sedangkan berkenaan dengan perjanjian internasional atau traktat untuk dapat berlaku
sebagai bagian dari hukum nasional Amerika Serikat dapat dilihat pada Pasal IV section 2 dari
Konstitusinya, yang menyatakan sebagai berikut: '[s]emua perjanjian yang dibuat dan akan
dibuat oleh pemerintahan AS harus menjadi hukum tertinggi di negaranya, karena itu, hakim-
hakim di setiap negara bagian terikat untuk menerapkannya' ([a]Il Treaties made or which shall
be made with the authority of the United States, shall be the supreme law of the land and the
judges in every state shall be bound thereby, anything in the Constitutions or Laws of any state to
the contrary notwithstanding).

Lebih jauh, AS mengadopsi prosedur yang cukup berbeda dengan yang dimiliki Inggris
yang sangat menekankan pada cabang eksekutif. Di Inggris, eksekutif merupakan cabang yang
melakukan negosiasi, menandatangani dan meratifikasi perjanjian dengan ketentuan yang
menyatakan bahwa parlemen merupakan cabang yang harus dimintai persetujuannya; supaya
persetujuan tersebut dapat dijadikan sebagai bagian dari hukum lokal. Di AS berdasar Pasal II
dalam Konstitusinya dinyatakan bahwa Presiden hanya dapat meratifikasi dalam hal terdapat
persetujuan terlebih dahulu dari 2/3 suara Senat.

Dalam prakteknya Amerika Serikat membedakan perjanjian internasional itu dalam dua
golongan besar. Pertama, adalah yang disebut dengan perjanjian yang tidak berlaku dengan
sendirinya (non-self-executing treaty), dan kedua adalah perjanjian atau ketentuan-ketentuan
yang berlaku dengan sendirinya (self-executing treaty)." Perjanjian yang termasuk ke dalam
kelompok kategori pertama adalah yang dapat diterapkan secara otomatis pada tingkat domestik
tanpa diperlukan pengesahan terlebih dahulu oleh sebuah legislasi yang bersifat lokal. Sedangkan
yang terakhir berlaku pengertian yang sebaliknya.

Untuk perjanjian internasional dalam kategori berlaku dengan sendirinya untuk dapat
berlaku sebagai bagian dari hukum nasional Amerika Serikat, perjanjian seperti itu harus
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari 2/3 dari Kongres AS. Apabila parlemen atau
Kongres telah menyetujuinya, sesuai dengan prosedur yang berlaku menurut konstitusi Amerika
Serikat, maka perjanjian tersebut berlaku sebagai bagian dari hukum nasional Amerika Serikat.
Untuk membedakan mana yang termasuk 'berlaku dengan sendirinya' dan 'yang tidak
berlaku dengan sendirinya' dapat merujuk pada kasus Sei Fujii v. California. Dalam kasus ini
yang menjadi penggugat adalah warga Jepang yang telah membeli sebidang tanah di California
pada tahun 1948. Persoalan muncul ketika negara bagian membuat aturan yang tidak membo-
Iehkan warga asing memiliki tanah karena ditujukan untuk tidak berpindahnya kepemilikan
kepada negara lain. Sementara itu, penggugat merasa ketentuan tersebut bertentangan dengan
Piagam PBB yang menuntut persamaan.

Persoalan selanjutnya berpaling pada 'apakah Piagam merupakan selfexecuting treaty'.


Untuk menjawab itu menurut Supreme Court of California harus melihat pada traktat itu sendiri,
dengan maksud para penandatangan dan mengkaji semua situasi yang relevan. Setelah melalui
pengujian menyeluruh, Pengadilan berkesimpulan bahwa ketentuan-ketentuan yang relevan
dalam Piagam tidak dimaksudkan untuk menjadi self-executing. Walaupun ketentuanketentuan
yang dikandung Piagam memuat prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan dari PBB, tapi 'tidak
membebankan kewajiban hukum terhadap negara-negara anggota atau memberikan hak kepada
individu'.49 Menurut Shaw, terdapat sebuah anggapan apabila Kongres tidak membuat peraturan
yang bertentangan, maka kewajiban internasional dapat dibebankan kepada suatu negara.

c) Eropa

Bagaimana Praktek yang terdapat di negara-negara Eropa? Dalam bagian ini ,dikemukakan
tentang kedudukan hukum internasional di tiga negara Eropa, yang kemudian dilakukan
perbandingan antara ketiganya.

1) Belanda

Ketentuan-ketentuan hukum internasional dalam Konstitusi Belanda yang diamandemen


pada 1987 didasarkan padadua persoalan. Pertama, Parlemen memiliki hak kontrol yang kuat
terhadap hukum internasional yang akan diahkan. Kedua, kedudukan hukum perjanjian
internasional yang telah diratifikasi secara hirarkhis sangat jelas kedudukannya dari hukum
nasional. Dalam Pasal 66 disebutkan bahwa perjanjian internasional lebih utama dari pada
hukum lokal. Akan tetapi, hanya treaty yang telah mendapatkan persetujuan dari the State-
General dan the Council-State. Persetujuan tersebut dapat tersurat (express) ataupun tersirat
(tacit).

Dalam hal terdapatnya suatu treaty yang bertentangan dengan Konstitusi diperlukan
persetujuan dari dua pertiga suara dari the State-General. Sedangkan Pasal 93 menyatakan bahwa
treaties dan Resolusi organisasi internasional hanya mengikat setelah dideklarasikan oleh state
general. Namun, pemerintah Belanda merasa wajib untuk ikut serta dalam pembentukan hukum
internasional. Sebab, menurut Pasal 90 menuntut pemerintah untuk turut serta dalam
pengembangan tatanan hukum internasional (the international rule of law). Bagaimanapun
Belanda lebih condong pada rnonisme dengan menyatakan traktat yang ditandatangani memiliki
kekuatan di atas hukum lokal, tanpa mempersoalkan apakah hukum lokal tersebut d isyahkan
setelah atau sebelum traktat ditandatangani. Hal ini sama halnya dengan perihal hukum
kebiasaan internasional yang dinyatakan dapat diterapkan di negaranya.

2) Perancis

Konstitusi Perancis 1958 menyatakan apabila traktat yang telah diratifikasi dan
dipublikasikan dapat berlaku sebagaimana halnya hukum lokal. Tapi, Konstitusi pun
memberikan batasan-batasan yakni dalam hal menyangkut persoalan-persoalan penting seperti
halnya menyangkut status individu ratifikasi haruslah melalui legislasi.S2 Sebagai contoh dapat
kita lihat pernyataan dari Pasal 53 Konstitusi Prancis yang menyatakan:

Traktat, perdamaian, perdagangan, perjanjian-perjanjian umum atau persetujuan-


persetujuan mengenai organisasi internasional, yang dapat membebani keuangan negara, yang
dapat memodifikasi ketentuan legislasi, mengenai status personal, yang mempengaruhi
perubahan wilayah tidak bisa disetujui kecuali didasarkan pada tuntutan dari hukum itu sendiri
(by virtue of a law).

Pada Pasal 54 dinyatakan apabila Dewan Konsitusi (Consel Constituionnel) menyatakan


terdapatnya pertentangan antara ketentuan yang terdapat dalam traktat dan konstitusi, maka
otorisasi untuk melakukan ratifikasi hanya dapat diberikan dalam hal setelah terhadap konstitusi
dilakukan penyesuaian (amandemen) sesuai dengan tuntutan traktat. Hal ini dicerminkan dalam
upaya ratifikasi traktat Maastricht dan peratifikasian Statuta Mahkamah Pidana Internasional
(ICC). Di Prancis Menteri Luar Negeri dapat mengeluarkan penafsiran atas ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam traktat. Kemudian penafsiran tersebut dapat dijadikan pegangan bagi
Pengadilan lokal.

3) Jerman

Negara Jerman melalui Konstitusinya (The Federal Republic of Germany) dalam Pasal 25-
nya menyatakan bahwa'aturan umum dalam hukum internasional (general rule of international
law) merupakan bagian integral dari hukum federal. Oleh karena itu bersifat supreme dan
dapat ,menciptakan secara langsung hak-hak dan kewajiban bagi para warganya'. Karena itu, ]
erman dapat dikatakan sebagai penganut monisme. Penggunaan istilah general rule of
internastional law menjadikan persoalan tersendiri mengingat apakah meliputi traktat, hukum
kebiasaan, ataukah hanya prinsip-prinsip umum. Namun, dalam kaitannya dengan traktat, jerman
menempatkan hukum internasional pada posisi yang unggul.

Peran Parlemen di jerman cukup signifikan dalam pembentukan traktat, mengingat


parlemen di jerman dapat terlibat secara langsung dalam negosiasinegosiasi dan diskusi
mengenai isu-isu di dalam Komite Hubungan Luar Negeri yang terdapat dalam Bundestag
ataupun Bundesrat. Di samping itu, di Jerman peran yang dimiliki Pengadilan Konstitusi Federal
pun cukup sentral mengingat putusan-putusan yang dihasilkannya mengikat semua organ-organ
negara. Pengadilan Konstitusi Federal ini oleh Denza disebut sebagai pemilik (the] ultimate
control atas pemberlakuan traktat.

Dari ketiga negara yang kita bahas di atas terdapat adanya kecenderungan untuk mengikuti
paham monisme, dalam artian menempatkan hukum internasional Iebih unggul dibanding
ketentuan hukum lokal. Namun, tidak dapat dipungkiri akan terdapatnya variasi-variasi yang
mencerminkan keunikan masing-masing sistem. Keragaman tersebut merupakan hal yang lumrah
mengingat natur dari sistem pemerintahan demokratis yang dianut oleh ketiga negara tersebut,
yakni menuntut akan keterlibatan semaksimal mungkin dari rakyat. Yang perlu menjadi perhatian
di sini adalah ketiga sistem tersebut tidak mengabaikan norma-norma internasional tanpa
mengesampingkan proses demokrasi.

d) Indonesia

Setelah membahas kedudukan hukum internasional di beberapa negara seperti AS, Inggris,
dan negara-negara demokratis lainnya menjadi sangat perlu untuk membahas situasi hukum
internasional di negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Hal ini sangat penting,
sebab negara-negara di Asia Tenggara memiliki akar historis yang berbeda-beda. Latar belakang
penjajahan sangat berpengaruh terhadap situasi hukum nasional dan internasional dewasa ini.
Akan tetapi, pada saat ini pemerintah Indonesia secara terang-terangan mengakui akan
pentingnya hukum internasional.M Sehingga, tidak perlulah kiranya untuk membahas mengenai
alasan mengapa hukum internasional dapat mengikat negara-negara baru, yang pada umumnya
merupakan akibat dari proses dekolonisasi.

1) Hukum Kebiasaan Internasional

Berkenaan dengan hukum kebiasaan, praktek Indonesia belum begitu menampakkan


adanya sikap yang tegas. Namun, untuk beberapa hal, Indonesia menerima hukum kebiasaan
internasional sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia. Misalnya, hukum kebiasaan yang
berlaku di laut, seperti tentang hak lintas damai bagi kapal-kapal asing di laut teritorial Indonesia
diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta dihormati pula oleh kapal-kapal asing, terutama sekali
setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan.

Selain itu, Indonesia pernah juga mengsampingkan kaedah hukum kebiasaan Internasional,
dalam penerapan lebar taut teritorial. Menurut hokum kebiasaan internasional lama, lebar laut
teritoial negara-negara adalah sejauh 3 (tiga) mil, diukur dari garis pangkal normal. Hukum
kebiasaan internasional ini juga diterima sebagai bagian dari hukum nasional Indonesia yaitu
dalam undang-undang peninggalan jaman Belanda yang terkenal dengan sebutan Teritoriale Zee
en Maritieme Kringen Ordonantie (Stb. 1939 Nomor 442).

Stb. ini masih berlaku dalam alam kemerdekaan Indonesia melalui Pasal II Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Stb. tersebut ditetapkan lebar laut teritorial
Hindia Belanda sejauh 3 mil taut diukur dari garis pangkal normal. Sampai di sini dapat
dikemukakan bahwa terdapat kesesuaian antara kaedah hukum kebiasaan internasional mengenai
lebar laut teritorial dengan hukum atau undang-undang Indonesia mengenai hal yang sama.

Akan tetapi, pada tanggal 13 Desember 1957 Indonesia secara sepihak mengklaim lebar
laut teritorial 12 mil laut berdasarkan sistem penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung.
Konsekuensinya, Stb. Tahun 1939 nomor 442 tersebut sepanjang menyangkut lebar laut teritorial
dan sistem penarikan garis pangkal normal dinyatakan tidak berlaku. Tindakan ini menunjukkan
bahwa Indonesia Iebih mengutamakan undang-undang atau hukum nasionalnya walaupun
undang-undang nasionalnya itu lahir belakangan dibandingkan dengan hukum kebiasaan
internasional tersebut .

2) Hukum Perjanjian Internasional

Berbeda halnya dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap perjanjian internasional.


Dalam prakteknya, sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dipengaruhi oleh beberapa
sebab. Pertama, perubahan sistem pemerintahan yang pernah berlaku dalam sejarah
perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia praktek
Indonesia belumlah begitu jelas. Karena pada masa itu (antara tahun 1945-1950) Indonesia
masih dalam taraf mempertahankan diri dan eksistensinya, terhadap ancaman dan serangan dari
pihak Iuar maupun rongrongan dari dalam negeri. Dalam kondisi demikian, Indonesia tidak
mudah untuk menata kehidupan ketatanegaraan dan kostitusinya secara baik dan normal.

Kedua, perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus
1950) dan pada masa berlakunya UUDS RI tahun 19501959 praktek Indonesia menunjukkan
kecenderungan yang ketat terhadap masuknya perjanjian internasional menjadi hukum nasional
Indonesia. Adapun pada masa sudah berlakunya kembali UUD 1945, sebagai landasan yuridis
bagi berlakunya suatu perjanjian internasional di dalam hukum nasional Indonesia. Pasal 11
Undang-Undang 1945 setelah amandemen, yang berbunyi sebagai berikut, 'Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain'. Dominasi kekuasaan eksekutif dalam hubungan luar negeri, tampaknya jauh
Iebih terjamin dalam ketentuan Pasal 11, 12 UUD 1945 sebelum di-amandemen.

Dalam hubungan ini yang paling penting untuk diketahui adalah yang berkenaan dengan
pembuatan perjanjian dengan negara lain. Pembuatan perjanjian tersebut menyangkut Indonesia
dan negara lain yang nantinya perjanjian itu akan mengikat bagi kedua pihak dan akan menjadi
bagian dari hukum nasional Indonesia. Akan tetapi, hanya dengan membaca Pasal 11 itu raja,
masalah yang menjadi pokok bahasan ini belumlah begitu jelas. Bahkan, Pasal 11 itu sendiri
masih menimbulkan pelbagai masalah yang membutuhkan jawaban yang tegas.

Pasal 11 UUD 45 perubahan keempat menyatakan:

(i) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,


membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain;
(ii) Presiden dalam membuat perjanjian internasional Iainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dart mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
(iii) Ketentuan lebih lanjuttentang perjanjian internasional diaturoleh UndangUndang.

Sebelum dilakukan perubahan atau amandemen Pasal 11 hanya memuat satu paragraf yang
di atas adalah paragraf (i). Dengan adanya paragraf (ii)

a. terdapat kejelasan yakni hanya perjanjian-perjanjian yang bersifat'penting' yang


rnemerlukan persetujuan dari parlemen. Sebab, pada masa sebelumnya membuat
perjanjian, hal ini merupakan diskresi penuh dari pihak eksekutif untuk menentukan
objek perjanjian yang tergolong penting. Perkembangan ini tidak terlepas
b. dari struktur politik Indonesia yang berubah menjadi Iebih demokrasi. Sehingga
diperlukan pembahasan UU tentang Perjanjian Internasional yang disyahkan pada tanggal
30 Agustus 2000.58 Karena itu, perlu diperhatikan apabila UU No. 24 adalah UU
pelaksana dari ketentuan yang terdapat pada Pasal 13 dan 14 UU No. 37 tahun 1999
tentang hubungan luar negeri.

Sistematika pokok materi yang diatur dalam UU Perjanjian Internasional tidak mengalami
perubahan dari sistematika rancangannya. Sistematika tersebut adalah bab I mengenai Ketentuan
Umum; Bab II mengenai pembuatan perjanjian internasional; Bab III mengenai pengesahan
perjanjian internasional; Bab IV mengenai pemberlakuan perjanjian internasional; Bab V
penyimpanan perjanjian internasional; Bab VI mengenai pengakhiran perjanjian internasional;
Bab VII mengenai ketentuan peralihan; dan Bab VIII mengenai ketentuan penutup.

Menurut UU 24 perjanjian internasional adalah'setiap perjanjian dibidang hukum publik,


yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi
internasional, atau subjek hukum internasional'. Walaupun Indonesia bukanlah negara peserta
terhadap Konvensi Wina mengenai Perjanjian Internasional atau VCLT tapi proses pembentukan
UU 24 dilakukan dalam bimbingan Konvensi tersebut. Perihal pejabat yang berwenang untuk
mengadakan perjanjian adalah pihak eksekutif atau presiden sudah cukup jelas.

Akan tetapi, dalam prakteknya presiden untuk menjalankan tugas seharihari dijalankan
oleh para pembantunya atau para menteri. Dan dalam kaitannya dengan persoalan ini adalah
Menteri Luar Negeri. Dasar pelimpahan wewenang tersebut adalah Pasal 6 dan 7 Keppres No.
102/2001 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja
departemen. Dalam pasal tersebut kewenangan untuk melaksanakan politik luar negeri
diserahkan kepada Menteri Luar Negeri.

Di samping itu, Keppres itu pun menyatakan akan DEPLU sebagai bagian dari pemerintah
negara yang dipimpin oleh seorang menteri dan bertanggungjawab Iangsung kepada Presiden.
Sedangkan kewenangan pembentukan perjanjian pada tingkat pelaksanaan diserahkan kepada
Deplu c.q. Dit. Perjanjian Polkamwil dan Dit. Perjanjian Ekososbud yang tidak hanya bertugas
menyiapkan naskah tapi juga meliputi pelaksanaan perundingan dengan pihak Iainnya.

Pembuatan perjanjian internasional di Indonesia pada umumnya dilaksanakan melalui


beberapa tahap. Tahap pertama yang disebut sebagai tahap penjajakan di mana tiap-tiap pihak
yang ingin membuat perjanjian mejajaki keumngkinan-kemungkinan untuk dibuatnya sebuah
perjanjian internasional. Penjajakan pada umumnya dapat dilakukan melalui inisiatif dari
Indonesia atau dari negara lain.

Pada tahap dua yang merupakan tahap perundingan adalah suatu upaya untuk mencapai
kesepz(katan atas materi-materi yang belum disetujui pada tahap pertama. Pada tahap tiga yang
disebut sebagai perumusan naskah adalah tahap dimana dilakukannya pemarafan terhadap
naskah perjanjian yang telah disetujui. Pada tahap ini pun terdapat Agreed minutes, Minutes of
Meeting, Record of Discussion atau Summary Records yang pada umumnya berisi hal-hal yang
belum dan telah disepakati dan mengenai rencana bagi perundingan berikutnya.

Dalam tahap keempat atau penerimaan terdapat perbedaan antara perjanjian bilateral dan
multilateral. dalam perjanjian bilateral kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan
dapatdisebut sebagai'penerimaan' yang dicirikan dengan adanya pemaparan oleh masing-masing
ketua delegasi. Sedangkan bagi perjanjian multilateral tahap penerimaan biasanya merupakan
tindakan pengesahan dari negara peserta terhadap perubahan perjanjian internasional.

Sedangkan pada tahap terakhir, yang disebut sebagai tahap penandatanganan adalah tahap
yang dapat melegalisasi kesepakatan yang telah dinyatakan dalam naskah. Setelah melalui proses
ini maka naskah akan disimpan oleh Menlu c.q. Dir. Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya
sebagai pelaksana tugas Menlu yang berfungsi sebagai pemelihara naskah asli perjanjian.

Sedangkan dalam Bab III terdiri dari enam pasal dibahas mengenai pengesahan. Pasal 9 (1)
menyatakan 'pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah Republik Indonesia dilakukan
sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut'. Dan dalam hal dituntutnya
dilakukan pengesahan, maka menurut paragraf (2) haruslah 'dilakukan dengan UndangUndang
atau Keputusan Presiden'. Kemudian oleh Pasal 10 dinyatakan dalam hal meliputi: masalah
politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; Perubahan wilayah atau penetapan batas
wilayah negara Republik Indonesia; kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia dan
lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru; dan pinjaman dan hibah luar negeri, maka
haruslah melalui Undang-Undang. Lebih jauh Pasal 10 menyiratkan bahwa pembedaan tidak
didasarkan pada nomenclature tapi lebih pada substansi yang dikandung oleh suatu perjanjian.

Kemudian Pasal 11 dinyatakan dalam hal selain mengatur masalah di atas i maka cukup
dilakukan melalui Keppres. Sebab, yang dimaksud oleh Pasal 11, menurut Mauna adalah '[yang]
memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa
mempengaruhi peraturan Perundang-undangan nasional, di ahtaranya, adalah perjanjian induk
yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan teknik,
perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, kerjasama penghindaran pajak berganda dan
kerjasama perlindungan penanaman modal, serta perjanjianperjanjian yang bersifat teknis
lainnya.

Dalam pengesahan pun terdapat perbedaan, ada pengesahan yang dilakukan melalui
Keppres dilakukan:

(i) lembaga/instansi pemrakarsa akan menyiapkan:


a. buah salinan otentik yang telah dilegalisir (certified true copy);
b. 30 salinan perjanjian;
c. terjemahan dalam bahasa Indonesia baik resmi atau tidak;
d. rancangan Keppres; dan
e. latar belakang yang memuat arti penting diratifikasinya suatu perjanjian
internasional;

(ii) mengirimkan kelengkapan pada butir (i) kepada Menlu c.q. Dir. Perjanjian Ekonomi
dan Sosial Budaya untuk diproses Iebih lanjut;

(iii) Deplu selanjutnya akan meneruskan permintaan pengesahan perjanjian kepada


Sekretaris Negara c.q. Biro Hukum.

Sedangkan dalam hal pengesahan terhadap perjanjian yang menuntut dilakukannya melalui
undang-undang. Adapun langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut:

(i) lembaga/instansi pemrakarsa akan menyiapkan:


a. izin prakarsa kepada Presiden;
b. naskah akademis rancangan undang-undang;
c. rapat interdepartemen;
d. salinan perjanjian untuk pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat
e. rancangan Undang-Undang; dan
f.dokumen penunjang lainnya yang dibutuhkan.

(ii) mengirimkan kelengkapan pada butir (i) kepada Menlu c.q. Direktorat Perjanjian
Ekososbud untuk diproses lebih lanjut;

(iii) Deplu selanjutnya akan meneruskan permintaan pengesahan perjanjian

kepada Sekretaris Negara c.q. Biro Hukum;

(iv) Pemerintah selanjutnya akan meminta DPR untuk melakukan pembahasan guna
mengesahkan perjanjian internasional tersebut. dalam suratnya presiden menunjuk mentri terkait
sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan di DPR;

(v) Instansi/lembaga pemrakarsa mengadakan koordinasi dengan sekretariat komisi terkait


di DPR tentang jadwal pembahasan RUU pengesahan perjanjian internasional tersebut.
Kedua model pengesahan yang berbeda tersebut ditentukan oleh obyek dan cakupan yang
bobotnya tidak sama pula.

D. Hukum Nasional di Depan Mahkamah Internasional

Apakah hukum nasional tersebut dapat meningkat derajatnya menjadi hukum internasional
ataukah posisinya hanya tetap sebagai hukum nasional? Dalam situasi hukum nasional dapat
menjadi hukum internasional, apakah Mahkamah Internasional akan menjadikannya sebagai
dasar pijakan yuridis bagi penyelesaian sengketa antar negara? Untuk jawaban pertanyaan ini
tentu dapat sebagai contoh adalah putusan yang dikenal sebagai Paquete Habana dari Pengadilan
Amerika Serikat. Berikut adalah tiga cara yang dapat ditempuh oleh hukum nasional untuk
berkembang menjadi hukum internasional.

1. Hukum Kebiasaan Internasional

Hukum nasional suatu negara dapat berkembang menjadi hukum internasional dalam
masalah tertentu. Hal ini terjadi karena negara-negara mengikuti langkah negara lain dengan
mengatur masalah yang sama di dalam hukum atau undangundang nasionalnya. Semakin banyak
negara-negara yang mengatur masalah, dengan isi dan jiwa yang sama, maka perulangan
perilaku atau sikap dari semua atau sebagian besar negara-negara menumbuhkan peluang yang
besar pula untuk diterima menjadi hukum internasional. Oleh karena masalah tersebut diatur
dalam undang-undang nasionalnya, itu berarti bahwa negara-negara yang sudah menerima dan
menghormatinya sebagai norma hukum, memiliki Perasaan hukum atau keadilan yang sama
antara mereka.

Cara penerimaan hukum nasional menjadi hukum internasional sangat terkait dengan
kebiasaan sebagai salah satu sumber hukum internasional. Sebagaimana telah diketahui bahwa
praktek-praktek negara-negara yang tidak hanya diikuti berdasarkan hal-hal yang tidak jelas, tapi
dilakukan karena negara-negara merasakan apabila perbuatan tersebut memiliki unsur hukum,
yakni opinio juris.

2. Jurisprudensi

Hukum nasional suatu negara dapat berkembang menjadi hukum internasional melalui
jurisprudensi. Pada tahap awalnya dimulai dengan proses hukum kebiasaan internasional. Suatu
negara yang mengatur suatu masalah di dalam undang-undang nasionalnya, tetapi menimbulkan
implikasi terhadap-negara lain, sehingga negara itu menentangnya. Konsekuensinya, timbul
persengketaan antara kedua pihak. Menurut pihak atau negara yang merasa dirugikan, tindakan
negara tersebut sebagaimana dirumuskan di dalam peraturan perundangundangan nasionalnya,
bertentangan dengan norma hukum internasional.

Oleh karena para pihak ternyata tidak berhasil menyelesaikan sengketanya secara damai,
maka Badan peradilan Internasional inilah yang akan memeriksa dan mengadili sengketa, dan
selanjutnya akan mengambil keputusan yang mengikat bagi para pihak. Putusan Badan peradilan
Internasional atau yang dikenal dengan nama jurisprudensi, mengikat sebagai hukum
internasional terhadap para pihak. Bilamana keputusan Badan peradilan Internasional
membenarkan tindakan negara sebagaimana dituangkan dalam undang-undang nasional, maka
berarti bahwa undang-undang nasional negara telah meningkat statusnya menjadi hukum
internasional melalui jurisprudensi tersebut mekipun pihak lawannya menentang.

3. Perjanjian atau Konvensi Internasional

Hukum nasional suatu negara dapat berkembang menjadi hukum internasional melalui
perjanjian internasional, balk dalam bentuk perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral.
Akan tetapi, suatu negara yang didalam undang-undang nasionalnya mengatur tentang hal
tertentu dan mengandung aspek internasional acapkali dihadapkan pada beberapa persoalan.
Misalnya, perjanjian bilateral yang tidak mendapatkan pengakuan dari negara lain. Hal ini tidak
saja harus diimplementasikan di dalam negeri tetapi juga harus kokoh di level internasional,
maka sangat dibutuhkan pengakuan atau penerimaan dari negara

negara lain. Untuk mendapatkan pengakuan atau penerimaan dari negaranegara lain,
diharuskan untuk mengadakan pendekatan kepada negara-negara lain, misalnya negara-negara
tetangganya, supaya bisa menerima bahkan bisa mendukung aturan-aturan yang telah tertuang
dalam Undang-undang nasionalnya. Untuk itu negara yang memiliki kepentingan perlu
mengadakan perjanjian-perjanjian balk bilateral maupun multilateral.

E. Kedudukan Hukum Internasional dan Nasional dalam

Sudut Pandang Peradilan Internasional

Kedudukan hukum nasional dalam sudut pandang Peradilan Internasional $ecara konsisten
ditempatkan secara inferior dibanding hukum internasional dalam hal telah terjadinya konflik
antara kedua sistem hukum.65 Hal ini eerlihat dengan jelas dalam kaitannya dengan Pengadilan
Pidana Internasional bagi eks-Yugoslavia dan Rwanda. Pernyataan ini termuat dalam Pasal 9 dan
8 paragraf 2 Statuta dari masing-masing Pengadilan. Penempatan Pengadilan

l IOidana bagi eks-Yugoslavia ditempatkan diatas pengadilan lokal yang bersifat praktis
yakni terdapatnya konflik yang berkepanjangan dinegara tersebut. gagaimanapun prinsip
supremasi pengadilan internasional hanya dimungkinkan

Oapat diselenggarakan dalam kasus-kasus yang bersifat luar biasa.66 ~ r}

Pemahaman tersebut diperkuat oleh draft Deklarasi tentang Hak-Hak dan Kewajiban-
Kewajiban Negara-Negara yang dipersiapkan oleh the International Law Commission, yang pada
Pasal 13 dinyatakan:

l ~r
Every State has the duty to carry out in good faith its obligations arising from treaties and
other sources of international law, and it may not

~, invoke provisions in its constitutions or its law as an excuse for failure to perform this
duty.67

Pasal tersebut mengandung dua kewajiban. Pertama, setiap negara wajib tuk melaksanakan
dengan itikad baik dari kewajiban-kewajiban yang timbul ri perjanjian dari sumber hukum
internasional lainnya. Kedua, kelalaian tuk melaksanakan kewajiban internasional akibat tidak
tercantumnya dalam nstitusi tidak dapat menjadi alasan pemaafan.

Kemudian tuntutan yang sama diperkuat oleh Pasal 27 dari Konvensi Wina tentang
Perjanjian internasional (VCLT) yang menyatakan sebagai berikut:

Internal Law and Observance of Treaties

A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to
perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46.

Suatu negara pihak yang tidak mencantumkan perjanjian internasional dalam sistem
hukum domestiknya tidak dapat dijadikan pembenaran atas ketidakmampuan melaksanakan
perjanjian.

Dari dua pasal tersebut dengan mudah dapat disimpulkan bahwa hukum internasional
unggul atas hukum nasional disebabkan tidak diperbolehkannya ketentuan dalam hukum
nasional yang bertentangan dijadikan alasan ketidakmampuan memenuhi kewajiban
internasional. Adapun Pasal 46 VCLT hanya memberikan kewenangan dalam hal terkait dengan
persoalan fundamental.

The Permanent Court of International justice dalam kasus the Exchange of Greek and
Turkish Populations menyatakan apabila suatu negara telah menerima kewajiban internasional
maka sudah seharusnya negara tersebut memodifikasi perundang-undanganya sehingga dapat
memenuhi segala kewajiban internasionalnya.7° Dalam persoalan HAM kewajiban ini lebih jelas
sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah advisory opinion dari the Inter-American Court of
Human Rights:

Pursuant to international law, all obligations imposed by it must be fulfilled in good faith;
domestic law may not be invoked to justify non fulfilment. These rules may be deemed to be
general principles of law and have been applied by the permanent Court of International justice
and the International Court of justice even in cases involving constitutional provisions.

Dengan kata lain, seluruh kewajiban yang dibebankan oleh hukum internasional hendaknya
dipatuhi dengan itikad balk. Sebab, hukum nasional yang tidak mencantumkannya tidak dapat
menerima pembenaran atas ketidakmampuannya. Keadaan seperti itu, tidak lain karena lebih
disandarkan pada prinsip-prinsip fundamental hukum internasional dan penerapannya oleh
peradilan internasional. Dan perlu juga dipertimbangkan akan konsep jus cogen yang pada saat
ini telah menempati titik sentral dalam diskursus normative relativity hukum internasional.

f. Dapat Diadill (Justiciability) dan Tindakan Suatu Negara (Act of State) dan Konsep
Opposability.

Apa yang dimaksud dengan istilah justiciability adalah keadaan dimana suatu masalah
dapat dipermasalahkan oleh suatu badan peradilan. Suatu masalah dikatakan dapat diadili
bilamana masalah tersebut dapat dijadikan objek bagi analisis hukum atau adjudikasi. Sedangkan
yang dimaksud dengan tindakan negara muncul dari judgment yang diberikan oleh the House of
Lords dalam [the] Duke of Brunswick v. King of Hanover yang mana dalam putusan tersebut
dinyatakan,'if it is a sovereign act, then, wether it be according to law or not according to law we
cannot enquire into it"." Jadi, tindakan negara adalah alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar
penolakan atas penanganan suatu perkara dengan mendasarkan bahwa perbuatan tersebut
disandarkan pada kedaulatan negara .73 Konsep yang mendasari tindakan negara hampir mirip
dengan konsep jure imperil yang mana di dalamnya terkait dengan kekebalan yang dimiliki oleh
suatu negara sebagai konsekuensi kedaulatan yang dimiliki negara.

Sedangkan yang terakhir yakni konsep opposability, Shearer mengartikannya dengan


menggunakan ilustrasi sebagai berikut. Dalam sebuah sengketa antara negara A dengan negara B
dihadapan Pengadilan internasional, yang mendasarkan argumennya pada beberapa klaim.
Sedangkan negara B mencoba menentang argumen negara A dengan menggunakan dasar hukum
lokal negara B. Dalam hat ketentuan yang terdapat dalam hukum domestik itu dianggap non-
opposable, hukum internasional, menyatakan tidak dapat membatalkan Putusan atas hukum
domestik.T Konsep terakhir ini Iebih kurang tercermin pada Pasal 27 Konvensi Wina mengenai
Perjanjian Internasional (VCLT) yang menyatakan 'sebuah negara peserta tidak boleh
menggunakan ketentuan yang terdapat dalam hukum internalnya sebagai justifikasi atas
kegagalannya untuk menunaikan kewajiban internasionalnya.

Anda mungkin juga menyukai