Anda di halaman 1dari 45

BAB II

MEKANISME PENGALIHAN HAK ATAS TANAH


DALAM SISTEM HUKUM AGRARIA

A. Tinjauan tentang Pengalihan Hak Atas Tanah

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukar-

menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah

atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain Pemerintah guna pelaksanaan

pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak

memerlukan persyaratan khusus.

Ada 2 (dua) cara dalam mendapatkan ataupun memperoleh hak milik, yakni

1. Dengan pengalihan, yang meliputi beralih dan dialihkan. Dalam hal ini berarti

ada pihak yang kehilangan yaitu pemilik semula dan pihak lain yang

mendapatkan suatu hak milik.

2. Terjadinya hak milik sesuai dengan Undang–Undang Pokok Agraria Nomor 5

Tahun 1960 pada Pasal 22, yaitu:

1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah. Dalam hal ini berarti terjadinya hak milik tesebut, diawali

dengan hak seorang warga untuk membuka hutan dalam lingkungan

wilayah masyarakat hukum adat dengan persetujuan Kepala Desa. Dengan

dibukanya tanah tesebut, belum berarti orang tersebut langsung

24

Universitas Sumatera Utara


25

memperoleh hak milik. Hak milik akan dapat tercipta jika orang tersebut

memanfaatkan tanah yang telah dibukanya, menanami dan memelihara

tanah tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama. Dari

sinilah hak milik dapat tercipta, yang sekarang diakui sebagai hak milik

menurut UUPA. Terjadinya hak milik dengan cara ini memerlukan waktu

yang cukup lama dan tentunya memerlukan penegasan yang berupa

pengakuan dari pemerintah.

2) Terjadinya hak milik karena penetapan pemerintah, yaitu yang diberikan

oleh pemerintah dengan suatu penetapan menurut cara dan syarat-syarat

yang telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. Dalam hal ini berarti

pemerintah memberikan hak milik yang baru sama sekali. Pemerintah juga

dapat memberikan hak milik berdasarkan perubahan dari suatu hak yang

sudah ada. Misalnya dengan peningkatan dari Hak Guna Usaha menjadi

Hak Milik, Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik, Hak Pakai menjadi

Hak Milik.

Pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum untuk memindahkan hak

atas tanah kapada pihak lain. Pemindahan dilakukan apabila status hukum pihak yang

akan menguasai tanah memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah yang

tersedia, dan pemegang hak atas tanah tersebut bersedia untuk memindahkan haknya.

Universitas Sumatera Utara


26

Secara khusus Herman Soesangobeng mengatakan falsafah kepemilikan atas

tanah dalam hukum adat, hakekat dasarnya adalah dari pertautan manusia dengan

tanah dan alamnya dan bukan pada hak, melainkan pada hubungan kuatnya pertautan

hubungan yang melahirkan kewenangan (hak). Oleh karena itu hak lahir melalui

proses intensitas hubungan antara manusia dengan tanah tidak dari keputusan

pejabat.20 Dalam filosofi adat, hak dipahamkan sebagai suatu yang relatif dan mudah

berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga hak

sesuatu yang tidak mutlak.

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukar-

menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah

atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain Pemerintah; Penjualan, tukar-

menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain yang disepakati dengan

Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan untuk

kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus; Penjualan, tukar-

menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain kepada Pemerintah guna

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan

khusus.

20
Herman Soesangobeng, Filosofi Adat dalam UUPA, Makalah dipresentasikan dalam
Sarasehan Nasional “Peningkatan Akses Rakyat Terhadap Sumberdaya Tanah”, Diselenggarakan oleh
Kantor Menteri Negara Agraria/BPN bekerjasama dengan ASPPAT, tanggal 12 Oktober 1998, di
Jakarta, 1998, hal. 4.

Universitas Sumatera Utara


27

Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional

membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk, yaitu:

1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer

Yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung

oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindah-

tangankan kepada orang lain atau ahliwarisnya. Dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (lebih lanjut disingkat

dengan UUPA) terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu:

a. Hak Milik atas tanah.

b. Hak Guna Usaha.

c. Hak Guna Bangunan.

d. Hak Pakai. 21

2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder

Yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Dikatakan bersifat

sementara, karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, dan hak-hak itu

dimiliki oleh orang lain. Hak atas tanah yang bersifat sementara dapat dialihkan

kapan saja si pemilik berkehendak. Terhadap beberapa hak, hak atas tanah yang

bersifat sementara memiliki jangka waktu yang terbatas, seperti Hak Gadai dan Hak

Usaha bagi hasil. Kepemilikan terhadap hak atas tanah hanya bersifat sementara saja.

21
Ibid

Universitas Sumatera Utara


28

Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-

hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu:

1) Hak Gadai.

2) Hak Usaha Bagi Hasil.

3) Hak Menumpang.

4) Hak Menyewa atas Tanah Pertanian.22

Tata cara memperoleh hak atas tanah menurut Hukum Tanah Nasional adalah

sebagai berikut:

1. Permohonan dan pemberian hak atas tanah, jika tanah yang diperlukan berstatus

Tanah Negara.

2. Pemindahan Hak, jika:

a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak ;

b. Pihak yang memerlukan tanah boleh memiliki hak yang sudah ada ;

c. Pemilik bersedia menyerahkan tanah.

3. Pelepasan hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian hak atas

tanah, jika:

a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak atau tanah hak ulayat suatu

masyarakat hukum adat ;

22
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 64. Pendapat lain
menayatakan bahwa disebut sebagai hak yang bersifat sementara karena eksistensinya pada suatu saat
nanti akan dihapuskan, karena mengandung sifat-sifat yang kurang baik bertentangan dengan jiwa
UUPA.

Universitas Sumatera Utara


29

b. Pihak yang memerlukan tanah tidak boleh memiliki hak yang sudah ada;

c. Pemilik bersedia menyerahkan tanahnya.

4. Pencabutan hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian hak atas

tanah, jika:

a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak;

b. Pemilik tanah tidak bersedia melepaskan haknya;

c. Tanah tersebut diperuntukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum

Dalam sistem KUHPerdata maupun dalam sistem UUPA kita kenal adanya

pengalihan sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak milik. Pengalihan ini

adalah salah satu kewajiban para pihak dalam suatu peristiwa hukum yang bertujuan

untuk mengalihkan hak milik atas suatu barang yang dilakukan diantara mereka.

Seperti yang telah dikemukakan bahwa di dalam KUHPerdata yaitu pada

Pasal 584 KUHPerdata dinyatakan bahwa ada lima cara untuk memperoleh hak milik

atas suatu kebendaan. Kelima cara tersebut antara lain adalah:

1. Pendakuan (toeegening)

Pendakuan ini dilakukan terhadap barang-barang yang bergerak yang belum

ada pemiliknya (res nullius). Contoh dari pendakuan ini yaitu yang terdapat di

dalam Pasal 585 KUHPerdata yaitu pendakuan dari ikan-ikan di sungai, binatang-

binatang liar di hutan dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara


30

2. Ikutan (natrekking).

Hal ini diatur dalam Pasal 588 – Pasal 605 KUHPerdata. Yaitu cara

memperoleh benda karena benda itu mengikuti benda yang yang lain. Contoh dari

natrekking ini adalah: hak-hak atas tanaman, hak itu mengikuti tanah yang sudah

menjadi milik orang lain.

3. Lampaunya waktu(Verjaring).

Yaitu cara memperoleh hak milik atas suatu kebendaan karena lampaunya

waktu. Artinya pemilik yang lama dari benda tersebut tidak berhak lagi atas benda

tersebut karena jangka waktu kepemilikannya telah lewat waktu oleh hukum. hal

ini diatur dalam Pasal 610 KUHPerdata dan diatur lebih lanjut dalam buku

keempat KUHPerdata.

4. Pewarisan (erfopvolging)

Yaitu cara memperoleh hak milik atas suatu benda tidak bergerak karena

terluangnya atau jatuhnya warisan terhadap seseorang sehingga ia berhak atas

benda tersebut.

5. Pengalihan Dan Penyerahan (levering).

Ini adalah cara untuk memperoleh hak milik yang paling penting dan paling

sering terjadi di masyarakat. Yaitu cara memperoleh hak milik atas suatu

kebendaan dengan cara mengalihkan hak milik atas suatu kebendaan dari pemilik

yang lama kepemilik yang baru.

Universitas Sumatera Utara


31

Pasal 20 ayat 2 UUPA menyebutkan bahwa hak milik dapat beralih dan

dialihkan kepada pihak lain. Dengan kata lain, sifat milik pribadi ini walau dibatasi

oleh ketentuan Pasal 6 UUPA dapat dioperkan hanya kepada orang lain dengan hak

yang sama.

Umpamanya jika menjual, menghibah, tukar menukar, mewariskan, ataupun

memperoleh hak karena perkawinan/kesatuan harta benda, maka hak atas tanah yang

semula hak milik tetap akan menjadi hak milik. Hak milik adalah: “Hak turun

temurun, artinya hak itu dapat diwariskan berturut-turut tanpa perlu diturunkan

derajatnya ataupun hak itu menjadi tiada atau memohon haknya kembali ketika

terjadi perpindahan tangan.23

Hak milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh, namun hal ini berbeda

dengan hak eeigendom vide Pasal 571 KUHPerdata, di mana dikatakan bahwa hak

milik tersebut mutlak tidak dapat diganggu gugat. Hak milik menurut UUPA

mengandung arti bahwa hak ini merupakan hak yang terkuat, jika dibandingkan

dengan hak-hak atas tanah lainnya, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan

lain-lain.

Luasnya hak milik juga meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa yang ada

di atasnya, sebagai suatu penjelmaan dari ciri-ciri khas hukum adat yang menjadi

dasar hukum Agraria Nasional. Mengenai pertambangan diatur sendiri, yang artinya

23
Budi Harsono, Op. Cit, hal. 371

Universitas Sumatera Utara


32

bahwa untuk melakukan pertambangan di bumi memerlukan suatu izin khusus yang

dinamakan kuasa pertambangan. Dengan demikian hak milik ini masih ada

pembatasannya, meskipun dikatakan meliputi seluruh bumi dengan isinya.

Dalam pengalihan hak milik yang merupakan pelaksanaan dari perikatan yang

dimaksud, timbul persoalan apakah antara perbuatan hukum lanjutan tersebut dan

hubungan hukum yang menjadi dasarnya atau dengan kata lain apakah pengalihan itu

tergantung pada alas haknya ataukah merupakan hal yang terpisah satu sama lainnya.

Hubungan antara pengalihan dengan alas haknya ada dua ajaran yaitu ajaran

abstrak dan ajaran kausal (sebab akibat). Baik ajaran abstrak maupun ajaran kausal

sama-sama, menekankan bahwa sahnya suatu pengalihan bertujuan untuk

mengalihkan hak milik tersebut tergantung pada alas haknya harus tegas dinyatakan,

sedangkan menurut ajaran abstrak, maka penyerahan itu tidak perlu adanya titel yang

nyata, cukup ada alas hak atau titel anggapan saja.

Dari uraian di atas, terlihat hubungan jelas antara perjanjian obligatoir dari

perbuatan hukum yang bertujuan untuk mengalihkan hak milik atau benda tidak

bergerak dengan balik nama yang merupakan pengalihan hak milik itu sendiri.

Ditegaskan oleh R. Subekti, bahwa: menurut pendapat yang lazim dianut oleh para

ahli hukum dan hakim, dalam KUHPerdata berlaku apa yang dinamakan “kausal

stelsel” di mana memang sah tidaknya suatu pemindahan hak milik tergantung sah

tidaknya perjanjian obligatoir”.

Universitas Sumatera Utara


33

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sahnya atau

tidaknya suatu balik nama tergantung pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoir

yang menimbulkan hak dan kewajiban untuk menurut dan melaksanakan isi

perjanjian yang berupa pengalihan hak milik atas benda tidak bergerak tersebut. Di

atas telah disebutkan bahwa sah tidaknya suatu balik nama adalah tergantung pada

sah tidaknya perjanjian obligatoir, dengan demikian sah atau tidaknya perjanjian

obligatoir yang menyebabkan timbulnya suatu kewajiban untuk mengalihkan suatu

kepemilikan benda tidak bergerak, adalah merupakan syarat sahnya balik nama.

Selanjutnya untuk mengetahui sahnya perjanjian obligatoir, maka harus diketahui

pula tentang sah atau tidaknya perbuatan-perbuatan hukum yang menyebabkan

timbulnya kewajiban untuk mengalihkan benda tidak bergerak yang merupakan objek

dari perbuatan hukum tersebut. Jual beli, tukar menukar maupun penghibahan, adalah

merupakan suatu perbuatan hukum yang disebut perjanjian atau dengan istilah lain

“perikatan” dan oleh karena itu untuk sahnya suatu perbuatan hukum tersebut harus

memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian.

B. Cara-cara Pengalihan Hak Atas Tanah

Pengalihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar

menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak

lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika

dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Dengan demikian

Universitas Sumatera Utara


34

berarti setiap pengalihan hak milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli,

tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT. Jual beli, tukar menukar

atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang

bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum

tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan

dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut.

Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum

dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan

segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan

kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak atas tanah (hak

milik) yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan

bertindak atas bidang tanah tersebut.

Adapun yang menjadi syarat-syarat terjadinya pengalihan terhadap kebendaan

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pengalihan tersebut haruslah dilakukan oleh orang yang berhak untuk

mengalihkan kebendaan tersebut. Tidak selamanya pemilik suatu kebendaan

dapat diberikan hak untuk mengalihkan benda tersebut, hal ini dikarenakan suatu

hal misalnya saja pemilik suatu kebendaan di dalam keadaan pailit (failiet). Disini

ia merupakan pemilik suatu kebendaan tetapi dikarenakan keputusan pengadilan

yang mengatakan ia pailit maka ia tidak berhak untuk mengalihkan benda

tersebut.

Universitas Sumatera Utara


35

Adapun sebaliknya orang tersebut tidak merupakan pemilik suatu

kebendaan tetapi ia berhak untuk melakukan pengalihan. Misalnya pandamer, di

mana pihak ini menerima barang gadaian dari pemilik benda tersebut sebagai

jaminan pelunansan hutangnya. Dalam hal ini ia tidak merupakan pemilik yang

sah dari suatu kebendaan, tetapi bila pihak yang berhutang dalam hal ini pemilik

yang sah dari benda itu ingkar janji atau wanprestasi maka pihak penerima gadai

dapat mengalihkan benda tersebut.

2. Pengalihan itu dilakukan secara nyata.

Artinya pengalihan itu harus benar-benar terjadi dan dilakukan secara nyata

dari tangan ke tangan. Melihat persyaratan tersebut di atas pengalihan terhadap

benda-benda bergerak cukup hanya melakukan penyerahannya begitu saja, tetapi

terhadap benda tidak bergerak, pencatatan benda tersebut ke dalam suatu akte sangat

penting untuk menetapkan keabsahan benda tersebut. Terhadap benda tidak bergerak,

di samping dengan pengalihan nyata, maka untuk mengalihkan hak milik atas barang

tidak bergerak tersebut harus dilakukan dengan pengalihan secara yuridis.

Bahwa Pasal 1682 BW menyatakan bahwa hibah terhadap barang tidak

bergerak harus dinyatakan dengan akta otentik. Bahwa hibah yang dilakukan

Tergugat I kepada Tergugat II tidak dilekatkan dalam suatu akta otentik sebagaimana

yang disyaratkan oleh Pasal 1682 KUHPerdata. Oleh karena tanah objek gugatan

secara hukum bukanlah milik pemerintah kota Pangkalpinang sebagai pihak pemberi

Universitas Sumatera Utara


36

hibah dan pernyataan hibah tidak dinyatakan/dilekatkan dalam akta otentik, maka

perbuatan hukum hibah atas objek gugatan kepada Tergugat II adalah batal demi

hukum.

Bahwa Tergugat I telah salah dalam mengartikan hak menguasai Negara atas

tanah sebagaimana dimaksud UU Nomor. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Agraria. Hak menguasai negara atas tanah menurut UU Nomor: 5 Tahun 1960

tentang pokok-pokok Agraria, bukan merupakan domein veerklaring atau hak

memiliki pemerintah atas tanah, sebagaimana yang Penggugat sampaikan bahwa

pemerintah sebagai badan hukum publik juga merupakan subjek hukum tanah sama

halnya dengan hak-hak rakyat lainnya.

Penggugat telah mengusahakan dan menguasai fisik tanah objek gugatan

sejak Tahun 1975 atau sudah selama waktu 31 tahun tanpa ada pihak lain yang

menggugatnya. Dengan demikian maka status tanah objek gugatan tidak lagi

merupakan tanah negara bebas tetapi telah menjadi (berstatus) tanah negara tidak

bebas. Sebagai warganegara Republik Indonesia maka menurut ketentuan Pasal 4

ayat (1) UU. Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria Penggugat berhak

dan dilindungi hak-haknya untuk memperoleh hak atas tanah negara dan Tergugat I

tidak dapat lagi memberikan hak penguasaan atas fisik tanah terhadap tanah yang

berstatus tanah negara yang tidak bebas (telah dikuasai/diusahakan) oleh Penggugat.

Universitas Sumatera Utara


37

Bahwa perbuatan Tergugat I yang telah menghibahkan tanah dan memberikan

hak penguasaan atas fisik tanah objek gugatan yang telah dikuasai dan diusahakan

Penggugat sejak Tahun 1975 kepada Tergugat II dikwalifikasikan sebagai perbuatan

melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) sebagaimana diatur

Pasal 2 RO/Pasal 1365 KUHPerdata dan telah melanggar hak-hak subjektif

Penggugat.

Yang dimaksud dengan pengalihan yuridis adalah berupa pencatatan dalam

perbuatan hukum yang bertujuan untuk mengalihkan hak milik atas benda tidak

bergerak tersebut dalam suatu akte yang otentik di depan para pejabat yang

berwenang dan kemudian mendaftarkannya dalam register umum yang telah

disediakan khusus.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah,

yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

merupakan panduan yang nyata dalam pelaksanaan otonomi daerah, juga merupakan

politik hukum otonomi daerah. Dengan dasar kekuatan tersebut, pelaksanaan otonomi

daerah diwujudkan dalam kebijakan yang terukur, terarah, dan terencana oleh

pemerintah pusat. Oleh sebab itu, otonomi daerah yang dijalankan selain bersifat

nyata dan luas, tetap harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Maksudnya

otonomi daerah harus dipahami sebagai perwujudan pertanggungjawaban

konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan

Universitas Sumatera Utara


38

kewajiban yang harus dilaksanakan daerah. Tugas dan kewajiban dalam pelaksanaan

otonomi daerah adalah berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat,

pengembangan kehidupan demokrasi, penegakan keadilan dan pemerataan, serta

pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam

rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sangat

jelas mengatur mengenai pertanahan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 14

yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah untuk

kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi poin (k)

tentang pelayanan pertanahan. Kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah itu juga,

sesuai dengan yang terdapat dalam penjelasan poin (b), yang menyebutkan bahwa

prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti

daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di

luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

Hal di atas mengartikan bahwa daerah memiliki kewenangan membuat arah

kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa,

dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan

rakyat. Selanjutnya juga kebijakan nasional di bidang pertanahan saat ini, melalui

kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah

kabupaten/kota dan provinsi, secara tegas dijelaskan bahwa sebagian kewenangan

Universitas Sumatera Utara


39

pemerintah di bidang pertanahan, dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota,

meliputi:

1. Pemberian izin lokasi;

2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;

3. Penyelesaian sengketa tanah garapan;

4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan satuan tanah untuk pembangunan;

5. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah

kelebihan maksimum dan tanah absentee;

6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;

7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;

8. Pemberian izin membuka tanah;

9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.24

Dalam bidang pertanahan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

memberikan pengaturan meliputi penyelenggaran kegiatan dibidang pertanahan, dan

memberikan kewenangan pengaturannya kepada Pemerintah Daerah propinsi maupun

kabupaten/kota.

Kewenangan yang telah dimiliki oleh daerah dengan berlakunya otonomi

daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupaten/kota serta desa

merupakan lini pertama yang dapat melindungi hak masyarakat hukum adat serta

24
M. Rizal Akbar dkk, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat, LPNU Press,
Pekanbaru, 2005, Hal.9.

Universitas Sumatera Utara


40

tanah ulayatnya. Karena jajaran Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang amat

luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja

dengan benar-benar memahami dan mampu mengartikulasikan aspirasi dan

kepentingan masyarakat yang berada di daerahnya tersebut. Selain itu juga

masyarakat hukum adat tersebut juga tidak harus tinggal diam akan tetapi juga harus

turut serta mendayagunakan hak sipil dan hak politiknya dengan cara menata dan

mengorganisasikan diri mereka secara nyata dan melembaga. Dengan cara inilah

maka masyarakat hukum adat itu akan nampak dan akan lebih di dengar

keberadaannya oleh para pengambil keputusan. 25

Mengenai hak-hak penguasaan atas tanah tetap berdasarkan UUPA. Adapun

pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam

arti yuridis, juga beraspek perdata dan publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang

dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak

untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki.

Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan

untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan

fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada

pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai

secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak

25
Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika,
Jakarta, 2007, hal. 63-64

Universitas Sumatera Utara


41

penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang

bersangkutan secara fisik kepadanya.26

Hak menguasai tanah oleh negara adalah hak yang memberi wewenang

kepada negara untuk mengatur 3 hak seperti termuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA,27

Hak ulayat dari unsur/aspek hukum publik juga memberi wewenang kepada

masyarakat hukum adat untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan,

pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah ulayat. Jika kedua hal tersebut

dihubungkan satu dengan yang lain, maka hak menguasai tanah oleh negara semacam

hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang tertinggi yaitu, meliputi seluruh

wilayah Republik Indonesia.

Pengalihan hak atas tanah dapat terjadi dikarenakan:

1. Pewarisan tanpa wasiat

Menurut hukum perdata, jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal

dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya. Pengalihan tersebut

kepada ahliwaris, yaitu siapa-siapa yang termasuk ahliwaris, berapa bagian masing-

masing dan bagaimana cara pembagiannya, diatur oleh Hukum Waris almarhum

pemegang hak yang bersangkutan, bukan oleh Hukum Tanah.

26
Boedi Harsono, Op.Cit, Hal. 23
27
Menurut Pasal 2 ayat (2) UU PA Tahun 1960, maka Hak menguasai dari Negara termaksud
dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c.
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Universitas Sumatera Utara


42

Hukum tanah memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang

berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya

oleh para ahli waris. Menurut ketentuan Pasal 61 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, untuk pendaftaran pengalihan hak karena

pewarisan yang diajukan dalam waktu enam bulan sejak tanggal meninggalnya

pewaris, tidak dipungut biaya.

2. Pemindahan hak

Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat

yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pemegang hak, dalam perbuatan

hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada

pihak lain. Bentuk pemindahan haknya bisa dikarenakan:

a. Jual-Beli,

b. Hibah,

c. Pemasukan dalam perusahaan atau “inbreng” dan

d. Hibah-wasiat atau “legaat”

Perbuatan-perbuatan tersebut, dilakukan pada waktu pemegang haknya masih

hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai atau

langsung, kecuali hibah wasiat. Artinya, bahwa dengan dilakukannya perbuatan

hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain.

Universitas Sumatera Utara


43

Dalam hibah wasiat, hak atas tanah yang bersangkutan beralih kepada penerima

wasiat pada saat pemegang haknya meninggal dunia.

Jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat dan pemasukan

dalam perusahaan, demikian juga pelaksanaan hibah-wasiat, dilakukan oleh para

pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disingkat PPAT, yang bertugas

membuat aktanya. Dengan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan di

hadapan PPAT, telah dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang “gelap”,

yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).

Akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata atau “riil”

perbuatan hukum jual-beli yang dilakukan. Dengan demikian sifat jual-beli, yaitu

tunai, terang dan riil, dipenuhi. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah

dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum yang

dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut secara

implisit juga membuktikan, bahwa penerima hak sudah menjadi pemegang haknya

yang baru. Tetapi hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga baru mengikat para

pihak dan ahliwarisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.

Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya

pembuktiannya pemindahan haknya didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kota/

Kotamadya, untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat yang bersangkutan. Dengan

dicatatnya pemindahan hak tersebut pada sertifikat haknya, diperoleh surat tanda

Universitas Sumatera Utara


44

bukti yang kuat. Karena administrasi pengalihan hak atas tanah yang ada di kantor

pertanahan Kota/Kotamadya mempunyai sifat terbuka bagi umum, maka dengan

dicatatnya pemindahan hak tersebut pada buku tanah haknya, bukan hanya yang

memindahkan hak dan ahliwarisnya, tetapi pihak ketiga pun dianggap mengetahui,

bahwa penerima hak adalah pemegang haknya yang baru.28

1. Jual beli

Pengertian jual beli tanah adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang

mempunyai tanah yang disebut “penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk

menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut

“pembeli”. Sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar

harga yang telah disetujui. Yang diperjualbelikan menurut ketentuan Hukum Barat ini

adalah apa yang disebut “tanah-tanah hak barat”, yaitu tanah-tanah Hak Eigendom,

Erfpacht, Opstal.

Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata, yaitu: “jual dan beli”. Kata

“jual” menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan kata “beli” adalah

adanya perbuatan membeli. Maka dalam hal ini, terjadilah peristiwa hukum jual beli.

Menurut pengertian syariat, yang dimaksud dengan jual beli adalah pertukaran harta

atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan

28
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1. Cetakan ke-9. (Jakarta: Djambatan,
2003), hal. 329.

Universitas Sumatera Utara


45

(yaitu berupa alat tukar yang sah).29

Pada saat dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apa pun

pada hak atas tanah yang bersangkutan, biarpun misalnya pembeli sudah membayar

penuh harganya dan tanahnya pun secara fisik sudah diserahkan kepadanya. Hak atas

tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkan

secara yuridis kepadanya dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya.30

Menyerahkan secara yuridis berarti si penjual sudah memberikan hak atas

kepemilikannya terhadap suatu barang. Pengalihan hak atas tanah merupakan suatu

perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain.31

Mengenai jual beli, pengaturannya dapat dilihat dalam Buku III bab ke V

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan yang rumusannya terdapat di dalam Pasal

1457 KUH Perdata yang berbunyi: Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana

pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak

yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Kewajiban dari penjual adalah:

a. Menyerahkan barang yang menjadi obyek jual beli dalam keadaan baik.

Artinya barang yang diserahkan itu harus sesuai dengan yang dipesan oleh

pembeli dan dalam keadaan baik.

29
Gunawan Widjaja dan Kartini Widjaja, Jual Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
hal.128.
30
Ibid., hal. 27.
31
Adrian Sutedi, Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), hal. 34.

Universitas Sumatera Utara


46

b. Menanggung barang yang diserahkan.

Sebagai pengertian menyerahkan barang disebutkan: “Yang diartikan

menyerahkan barang adalah suatu pemindahan hak milik dan barang yang telah dijual

ke dalam kekuasaan dan kepunyaan pembeli”.32

Sedangkan hak dan kewajiban pihak pembeli adalah:

a. Hak pembeli: menerima barang yang dibeli sesuai dengan pesanan dalam

keadaan baik dan aman tenteram.

b. Kewajiban pembeli:

1) Membayar harga barang dengan sejumlah uang sesuai dengan janji yang telah

dibuat. Harga yang dimaksud merupakan harga yang wajar.

2) Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli itu, misalnya ongkos antar,

biaya surat menyurat, biaya akta dan sebagainya, kecuali jika diperjanjikan

sebaliknya.

2. Berdasarkan Hibah

Menurut R. Subekti perkataan ‘penghibahan’ (pemberian) dalam Pasal 1666

KUHPerdata selanjutnya dipakai dalam arti yang sempit, karena hanya perbuatan-

perbuatan yang memenuhi syarat-syarat yang disebut dengan penghibahan, misalnya

dengan syarat dengan cuma-cuma yaitu, tidak memakai pembayaran, disini orang

32
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 60

Universitas Sumatera Utara


47

lazim mengatakan adanya suatu ’formele schenking’ yaitu suatu penghibahan

formil”,33

Apabila ditelusuri secara lebih mendalam, istilah hibah itu berkonsentrasi

memberikan hak milik oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan

imbalan dan jasa. Menghibahkan tidak sama artinya dengan menjual atau

menyewakan. Oleh sebab itu, istilah balas jasa dan ganti rugi tidak berlaku dalam

transaksi hibah. Pasal 1667 KUHPerdata menyebutkan penghibahan hanya boleh

dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi.

Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal

sekedar mengenai barang-barang yang belum ada.

Berdasarkan keterangan di atas, tampak bahwa objek dari hibah haruslah

benda yang sudah ada dan merupakan milik si penghibah. Pasal 499 KUHPerdata

menyebutkan sebagai berikut: ”Menurut paham undang-undang yang dinamakan

kebendaaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak

milik”. Dengan demikian menurut Pasal 499 KUHPerdata tersebut, di samping hak

maka barang pun yang dapat dikuasai oleh hak milik adalah merupakan kebendaaan,

menurut paham undang-undang.

Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan bahwa “Pada umumnya yang

diartikan dengan benda (benda berwujud, bagian kekayaan) ialah sesuatu yang dapat

dikuasai oleh manusia dan dapat dijadikan objek hukum (Pasal 449 KUHPerdata).

33
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1995. hal. 56

Universitas Sumatera Utara


48

Pengertian ini adalah abstrak, yang dinamakan dengan istilah subjek hukum
34
(pendukung hak dan kewajiban)” Di samping hal tersebut di atas, maka kata dapat

yang terdapat dalam Pasal 449 KUHPerdata tersebut membuka berbagai

kemungkinan, hukum), dalam arti di mana dipakai sebagai lawan dari pada orang

sebagai subjek hukum”.

Ad. a. Benda bertubuh dan benda tidak bertubuh

Bila diperhatikan KUHPerdata, maka kata zaak tidak hanya dipakai barang

yang berwujud atau yang bertubuh saja, misalnya Pasal 508 KUHPerdata yang

menentukan beberapa hak, Pasal 511 KUHPerdata juga beberapa hak. Zaak dalam

pasal tersebut dipakai dalam arti “bagian dari harta kekayaan, dan inilah yang

merupakan benda atau barang tidak bertubuh. Dengan demikian sistem hukum

perdata barat sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, benda dapat dibedakan sebagai

berikut:”Barang-barang yang berwujud (lichamelijk) dan barang-barang yang tidak

berwujud (onlichamelijk)”. 35

Sebagaimana seseorang dapat menjual dan menggadaikan benda bertubuh, ia

juga dapat menjual atau menggadaikan hak-hak benda yang tidak bertubuh. Misalnya:

hak erfpacht atau hak usaha yaitu usaha hak kebendaan untuk dinikmati sepenuhnya

akan kegunaan suatu barang tidak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan

membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya

baik berupa uang, hasil atau pendapatan (Pasal 7201 KUHPerdata).


34
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, BPHN, Penerbit:
PT. Alumni Bandung, 1983. hal.35.
35
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Op.Cit. hal. 43

Universitas Sumatera Utara


49

Ad. b. Benda bergerak dan benda tidak bergerak

Tahapan benda bergerak (roerende zaak), Undang-undang

membedakannya atas benda bergerak karena sifatnya dan berdasarkan ketentuan

undang-undang. Pembedaan berdasarkan sifatnya seperti yang ditentukan Pasal

509 KUHPerdata memberi arti bahwa yang dimaksud dengan benda bergerak

menurut sifatnya adalah benda yang dapat dipindahkan (verplaats baar), misalnya

meja, kursi, lemari, dan lain-lain.

Sedang yang dimaksud dengan benda bergerak berdasarkan Pasal 511

KUHPerdata:

a. Hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan bergerak.

b. Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan baik bunga-bunga yang abadi

maupun bunga cagak hidup.

c. Perkaitan-perkaitan dan tuntutan-tuntutan, mengenai jumlah uang yang dapat

ditagih atau yang mengenai benda-benda bergerak.

d. Sero-sero atau andil-andil dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan

dagang atau persekutuan perusahan, sekalipun benda-benda persekutuan yang

bersangkutan dan perusahaan itu adalah kebendaaan tidak bergerak. Sero-

sero atau andil-andil itu dianggap merupakan kebendaan tidak bergerak akan

tetapi hanya terdapat para pesertanya selama persekutuan berjalan.

Apabila terhadap benda dibedakan atas dua jenis, maka terhadap benda

tidak bergerak (ontoerende zaaken) pembedaaannya ada tiga jenis yaitu:

Universitas Sumatera Utara


50

1. Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 KUHPerdata).

2. Benda tidak bergerak karena tujuannya (Pasal 507 KUHPerdata).

3. Benda tidak bergerak dikarenakan ketentuan-ketentuan undang-undang

(Pasal 508 KUHPerdata).

Ad.c Benda yang dapat dipakai habis dan yang tidak dapat dipakai habis

Benda yang dapat dipakai habis (verbruikbaar zaken), misalnya: beras, gula,

susu dan lainnya, sedangkan benda yang tidak dapat dipakai habis (onverbruikbaar

zaken) ialah suatu benda meskipun dipakai terus menerus atau berkali-kali tidak akan

habis karena pemakaiannya tersebut. Misalnya rumah, mobil dan lainnya.

C. Mekanisme Pengalihan Hak Atas Tanah

Pengalihan hak atas tanah, dan khususnya hak milik atas tanah tersebut dapat

terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat pengalihan hak

atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah (hak milik) tersebut,

dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan

mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan

obyek hak atas tanah yang dipindahkan PPAT harus memeriksa kebenaran dari

dokumen-dokumen:

a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah

susun, sertifikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal serifikat tidak

Universitas Sumatera Utara


51

diserahkan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar

yang ada di Kantor Pertanahan; atau

b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar:

1) Surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum

dikonversi atau surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan yang menyatakan

bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad

baik, dan tidak pernah ada permasalahan yang timbul sehubungan dengan

penguasaan tanahnya tersebut; dan

2) Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan

belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak

di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak

yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan; dan

dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib menolak

membuat akta pemindahan hak atas tanah tersebut termasuk hak milik atas

tanah yang akan dialihkan tersebut.

Apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan tanahnya

baik berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya, maka

pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan kepemilikan akan tetapi

berdasarkan bukti penguasaan fisik tanah, dengan syarat:

1. Telah dikuasai selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon

pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya.

Universitas Sumatera Utara


52

2. Penguasaan dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka.

3. Diperkuat dengan kesaksian orang yang dapat dipercaya.

4. Penguasaan tidak dipermasalahkan atau tidak dalam keadaan sengketa.36

Ketentuan ini tentunya selain mempertimbangkan bahwa hukum adat di

Indonesia pada dasarnya kebanyakan tidak tertulis termasuk dalam hak pembuktian

penguasaan bidang tanah, tetapi sudah cukup dengan pengakuan oleh masyarakat atau

diwakili oleh tokoh-tokoh adat setempat, juga hal ini sebagai pemberian perhatian

terhadap perbedaan dalam perkembangan kondisi dan kehidupan sosial masyarakat.37

Pengalihan hak milik tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan:

1. Pengalihan hak milik terjadi karena jual beli, hibah, warisan, tukar menukar

dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.

2. Pengalihan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

3. Setiap pengalihan hak milik atas tanah atau perbuatan yang dimaksudkan

untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik pada orang asing

atau orang yang berkewarganegaraan Indonesia rangkap dengan orang asing

36
Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar
Maju, Bandung, 2010. hal. 144
37
Ibid. dalam kasus putusan No. Pengadilan Negeri Pangkalpinang Nomor:
18/PDT.G/2006/PN.PKP tanggal 13 Maret 2007 dinyatakan bahwa Bahwa diantara 21 (dua puluh
satu) orang masyarakat pemohon hak penguasa fisik tanah atas tanah negara tersebut, beberapa orang
warga surat keterangan penguasaan fisik tanah telah dikeluarkan oleh lurah Rejosari, sedangkan
beberapa warga masyarakat pemohon lainnya termasuk Penggugat belum keluar/diberikan surat
keterangan penguasaan fisik tanah tanpa alasanyang jelas

Universitas Sumatera Utara


53

yang boleh mempunyai hak milik adalah batal dengan sendirinya dan tanah

jatuh pada negara.

D. Penguasaan Fisik dari Tanah

Untuk kelompok-kelompok masyarakat yang belum tersentuh administrasi

dan hukum pertanahan yang lebih modern dan hanya mengenal ketentuan hukum adat

mereka, alat bukti yang dapat digunakan meliputi pernyataan tentang penguasaan

secara fisik atas tanah oleh yang bersangkutan dengan syarat bahwa penguasaan itu

sudah berlangsung secara turun-temurun dan atas dasar itikad baik selama 20 tahun

atau lebih, diperkuat dengan kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya.

Berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang ada, surat di bawah tangan tidak

memiliki kekuatan hukum.38 Namun demikian, surat di bawah tangan tetap dapat

dijadikan sebagai alat bukti, dan hal ini tentu saja terkait dengan masalah tanda

tangan dan kesaksian dalam surat tersebut. Dalam kenyataan yang ada, tidak jarang

alas hak berupa surat di bawah tangan ini menimbulkan masalah di kemudian hari.

Salah satunya adalah munculnya dua pihak yang mengaku sebagai pemilik atas tanah

yang telah didaftarkan tersebut.

38
Secara umum, di Indonesia terdapat beberapa yurisprudensi yang menegaskan bahwa
transaksi yang tidak dilakukan di depan pejabat yang berwenang merupakan transaksi yang tidak sah
menurut hukum sehingga para pihak tidak perlu mendapat perlindungan hukum. Yurisprudensi yang
dimaksud antara lain:
-Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 598 K/Sip/1971 tertanggal 18 Desember
1971,
-Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 601.K/Sip/1972 tertanggal 14 Maret 1973,
-Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 393 K/Sip/1973 tertanggal 11 Juli 1973.

Universitas Sumatera Utara


54

Terwujudnya kepastian hukum dalam pendaftaran tanah tidak lepas dari faktor

kekurangan dalam substansi aturan pertanahan, dissinkronisasi peraturan yang ada.

Secara normatif, kepastian hukum memerlukan tersedianya perangkat aturan

perundang-undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya.

Secara empiris, keberadan peraturan-peraturan itu dilaksanakan secara konsisten dan

konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.

Surat pernyataan penguasaan secara fisik yang dibuatkan oleh pemohon

pendaftaran tanah antara lain berisi:

1. Bahwa fisik tanahnya secara nyata dikuasai dan digunakan sendiri oleh pihak

yang mengaku atau secara nyata tidak dikuasai tetapi digunakan pihak lain

secara sewa atau bagi hasil atau dengan bentuk hubungan perdata lainnya.

Bahwa tanahnya sedang/tidak dalam keadaan sengketa.

2. Bahwa apabila penandatanganan memalsukan isi surat pernyataan, bersedia

dituntut di muka hakim secara pidana maupun perdata karena memberikan

keterangan palsu.

3. Jadi, jika seluruh syarat bagi sebuah surat di bawah tangan telah dipenuhi

untuk dapat dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat hak milik berdasarkan

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah maka surat di bawah tangan

tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertifikat dan memiliki

kekuatan pembuktian. Dalam kenyataan yang banyak terjadi, meskipun

Universitas Sumatera Utara


55

persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun

1997 telah dipenuhi, akan tetapi banyak persoalan yang tetap timbul

sehubungan dengan penggunaan surat di bawah tangan sebagai dasar

penerbitan Sertifikat Hak Milik.

Beberapa persoalan mengenai pertanahan yang sering terjadi ini adalah

sebagai berikut:

1. Dalam proses pendaftaran tanah secara massal, pihak Kantor Lurah atau

kantor Desa biasanya membantu mengkoordinir pelaksanaan di lapangan

termasuk dalam hal pembuatan surat-surat tanah bagi masyarakat yang belum

memiliki surat tanah. Oleh karena waktu yang singkat dengan jumlah

pemohon yang banyak maka pihak Kantor Kelurahan hanya sekedar

menandatangani tanpa mempelajari kebenaran surat tanah yang diajukan,

bahkan untuk seluruh masyarakat, surat tanah mereka ditandatangi saksi yang

sama yaitu 2 (dua) orang dari aparat desa atau kelurahan. Kebenaran surat

tanah ini menjadi sulit untuk dijamin karena proses yang cepat dan tidak teliti.

2. Keberadaan surat di bawah tangan sebagai dasar dalam penerbitan Sertifikat

Hak Milik tetap diakui dalam peraturan-Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, meskipun surat di bawah tangan tidak memiliki

kekuatan hukum. Untuk dapat dijadikan sebagai alas hak dalam penerbitan

Sertifikat Hak Milik dan dapat memiliki kekuatan pembuktian maka surat di

Universitas Sumatera Utara


56

bawah tangan tersebut harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang

ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 yang menetapkan

bahwa dalam hal tidak ada lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian

yang berdasarkan pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan kenyataan

penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih

secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dari pendahulu-pendahulunya

dengan syarat:

1) Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh

yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh

Kesaksian oleh orang yang dapat dipercaya. Penguasaan tersebut baik

sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh

masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak

lainnya.

2) Keterangan dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang

kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai orang tertua adat

setempat dan atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di

desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyai

hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik

dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal.

Universitas Sumatera Utara


57

E. Hak Penguasaan Atas Tanah

Konsepsi atau falsafah yang mendasari Hukum Adat mengenai tanah adalah

konsepsi komunalistik religius. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup masyarakat

Indonesia asli dalam memandang hubungan antara manusia pribadi dengan

masyarakat yang selalu mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat.

Soepomo menandaskan bahwa di dalam Hukum Adat manusia bukan individu yang

terasing yang bebas dari segala ikatan dan semata-semata mengingat keuntungan

sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat. Di dalam Hukum Adat, yang primer

bukanlah individu, melainkan masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan Hukum

Adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat

mengabdi kepada masyarakat. Dalam pada itu, maka hak-hak yang diberikan kepada

individu adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi

tersebut, maka tanah ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat

hukum adat dipandang sebagai tanah-bersama.

Tanah bersama itu merupakan ‘pemberian/anugrah’ dari suatu kekuatan gaib,

bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena

kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak ulayat yang menjadi

lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang sebagai tanah

bersama, maka semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut.

Berdasarkan pemahaman atas konsepsi di atas, maka differensias Hak

Penguasaan Atas Tanah (HPAT) menurut Hukum Adat terdiri atas: Hak Ulayat (hak

Universitas Sumatera Utara


58

komunal) dan hak-hak individual atas tanah. Hak ulayat merupakan HPAT yang

tertinggi dalam Hukum Adat. Dari Hak Ulayat, karena proses individualisasi dapat

lahir hak-hak perorangan (hak individual).

Hak Ulayat (van Vollen Hoven menyebutnya beschikkingsrecht, Soepomo

menyebutnya Hak Pertuan, ter Haar mengistilahkannya Hak Pertuanan; sedangkan

kosa kata ulayat oleh masyarakat Minang). Subyek Hak Ulayat adalah Masyarakat

Hukum Adat, yang di dalamnya ada Anggota Masyarakat Hukum Adat (AMHA) dan

ada pula Ketua dan para Tetua Adat. Para AMHA secara bersama-sama memiliki hak

yang bersifat keperdataan atas wilayah adat tersebut. Ter Haar mengatakan bahwa

AMHA dapat mempergunakan hak pertuanannya dalam arti memungut keuntungan

dari tanah itu, tentu seizin Ketua Adat. Hak mempergunakan ini jika berlangsung

lama dan terus menerus menjadi cara yang menjadikan bagian dari Hak Ulayat

sebagai Hak individual. Hal itu yang disebut sebagai proses individualisasi Hak

Ulayat. Kewenangan untuk mempergunakan oleh para AMHA itulah yang disebut

dalam Hak Ulayat sebagai ‘berlaku ke dalam’. Selanjutnya, Hak Ulayat juga ‘berlaku

keluar’, dalam arti, orang asing/orang luar hanya boleh memungut hasil dari tanah

ulayat setelah memperoleh izin dan membayar uang pengakuan di depan serta uang

penggantian di belakang. Kewenangan untuk memungut hasil hutan bersifat terbatas.

Selanjutnya, agar Hak Ulayat dapat terus/lestari sebagai penopang hidup para

AMHA, maka Ketua Adat dan para Tetua Adat diberi kewenangan untuk mengatur

Universitas Sumatera Utara


59

penguasaan dan penggunaan wilayah adat tersebut. Kewenangan untuk mengatur

itulah yang kemudian disebut sebagai aspek publik dari Hak Ulayat.

Herman Soesangobeng mengatakan bahwa kewenangan persekutuan sebagai

organisasi dalam menata hubungan antara warga masyarakat dengan semua unsur

agrarianya, dirangkum secara umum pada aturan tentang penguasaan dan penggunaan

tanah. Ketentuan itu dalam kepustakaan Hukum adat dikelompokkan dalam bagian

yang disebut ‘Hukum Tanah’.

Pemikiran dasar dalam hukum ini adalah bahwa tanah, termasuk ruang-

angkasa dan kekayaan alam yang ada di dalamnya adalah kepunyaan bersama dari

segenap warga persekutuan atau masyarakat. Kepunyaan bersama itu berbeda dengan

‘milik bersama’ atau ‘pemilikan kolektif’. Karena kepunyaan bersama hanya

memberikan kewenangan kepada kelompok untuk menguasai secara bersama, namun

pemakaian dan hasilnya dinikmati secara individual baik berupa perorangan maupun

keluarga batih (nuclear family). Dengan demikian, kepunyaan bersama itu lebih

mencerminkan sifat kebersamaan atau kolektiviteit daripada komunal (communal).39

Kepunyaan bersama itu juga dilarang untuk dialihkan kepada kelompok lain

tanpa persetujuan dari seluruh anggota. Perwujudan dari kepunyaan bersama itu

dinyatakan dalam bentuk kekuasaan untuk menguasai tanah secara penuh. Kekuasaan

itu, dalam penuturan maupun tulisan sering disebut ‘hak’.

39
Herman Soesangobeng, Op. Cit. hal. 4.

Universitas Sumatera Utara


60

Selanjutnya dikatakan bahwa kewenangan dalam kekuasaan oleh persekutuan

itu adalah untuk mengatur dalam arti menyediakan, menetapkan penggunaan, serta

meletakkan larangan bagi warga maupun orang asing.

Kewenangan itu dalam kosa kata masyarakat Minangkabau disebut ‘ulayat’,

masyarakat Ambon disebut ‘patuanan’, masyarakat Jawa disebut wewengkon, dan

masyarakat Bali disebut ‘prabumian’. Akan tetapi, kewenangan mengatur itu

bukanlah suatu hak, sebab masyarakat atau persekutuan tidak berwenang untuk

mengalihkan secara mutlak tanah ulayat kepada pihak lain. Bahkan Van Vollen

Hoven ketika pada tahun 1909 menggunakan istilah teknis beschikkingsrecht untuk

menggambarkan konsep ‘ulayat’ pun telah dengan tegas menyatakan dalam salah satu

sifat dari kewenangan ulayat, yaitu bahwa ‘hak’ ulayat tidak dapat dialihkan. Karena

itu, beschikkingen dalam kosa kata bahasa hukum Belanda, ketika digunakan untuk

menggambarkan konsep ulayat, tidak dapat diartikan sama dengan penguasaan secara

mutlak sehingga dapat mengalihkan hak atas tanah kepada pihak lain. Oleh karena

itu, Herman Soesangobeng menandaskan bahwa ulayat sebenarnya hanya

menggambarkan hubungan kewenangan menguasai pada tingkat tertinggi dari

masyarakat atas tanah dalam wilayah hukum (yurisdiksi) persekutuan. Dengan

perkataan lain, ulayat hanyalah wadah bagi lahirnya hak atas tanah.

Menurut Herman Soesangobeng, bila disederhanakan akan tampak

sebagaimana pada tabel berikut in:

Universitas Sumatera Utara


61

Tabel 1
Proses Lahirnya Hak Atas Tanah

TAHAPAN JENIS HAK


NO.

1. Pencarian dan pemilihan lahan Hak Wenang Pilih

2. Pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan Hak Terdahulu


pemberian tanda larangan atas tanah

3. Membuka dan Mengolah Tanah Hak Menikmati

4. Pengolahan tetap secara terus menerus Hak Pakai

5. Mewariskan Tanah Hak Milik

Sumber: Herman Soesangobeng, Filosofi Adat dalam UUPA, Makalah dipresentasikan dalam
Sarasehan Nasional “Peningkatan Akses Rakyat Terhadap Sumberdaya Tanah”,
Diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/BPN bekerjasama dengan
ASPPAT, tanggal 12 Oktober 1998, di Jakarta, 1998

Atas dasar hubungan ulayat maka dimungkinkan timbulnya hak-hak atas

tanah. Hak-hak itu dilahirkan berdasarkan proses perhubungan penguasaan nyata,

utamanya oleh perorangan dan keluarga sebagai pemegang hak. Pertumbuhan hak

atas tanah itu diawali dari pemilihan lahan berdasarkan Hak Wenang Pilih. Hukum

adat mengenal hak wenang pilih bagi perseorangan warga persekutuan yang

membuka tanah atau menempatkan tanda-tanda pelarangan seperti pagar pada

tanahnya. 40

40
S. Hendratiningsih, A. Budiartha dan Andi Hernandi. “Masyarakat dan Tanah Adat di Bali”
Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008. Hal. 8.

Universitas Sumatera Utara


62

Kemudian setelah pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan pemasangan

tanda-tanda larangan maka lahirlah Hak Terdahulu. Hak terdahulu dimilikioleh pihak

yang membuka lahan pertanahan pertama kali. Selanjutnya, setelah membuka hutan

dan lahannya diolah serta digarap maka lahir Hak Menikmati.Baru setelah Hak

Menikmati berlangsung cukup lama dan penggarapan lahan dilakukan secara terus

menerus maka ia berubah menjadi Hak Pakai. Akhirnya, setelah penguasaan dan

pemakaian itu berlangsung sangat lama sehingga terjadi pewarisan kepada generasi

berikutnya, maka Hak Pakai pun berubah menjadi Hak Milik. Proses lahirnya hak

atas tanah ini

Dalam perkembangannya, para sarjana kemudian menyederhanakan jenis hak-

hak perorangan atas tanah dalam Hukum Adat menjadi Hak Milik dan Hak Pakai.

Dalam pada itu, jika dilakukan penyederhanaan, maka differensiasi Hak Penguasaan

Atas Tanah menurut Hukum Adat terdiri atas:

1. Hak Ulayat yang dipegang oleh seluruh Masyarakat Hukum Adat, yang

kewenangannya memiliki aspek privat (kewenangan menguasai secara perdata

dari para anggota masyarakat hukum adat AMHA atas bagian dari tanah ulayat

dan aspek publik yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat;

2. Hak Tetua Adat yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat, yang

berisi kewenangan publik untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah

adat untuk kelangsungan masyarakat hukum adat itu sendiri;

Universitas Sumatera Utara


63

3. Hak Perorangan atas Tanah Adat (sebagai proses individualisasi Hak Ulayat),

yang terdiri atas:

1. Hak Milik (hak AMHA yang diperoleh secara turun-temurun);

2. Hak Pakai (hak AMHA yang diperoleh dengan mengolah bagian dari

wilayah adat).

Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga

dalam arti yuridis. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan

umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik

tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang, biarpun memberi

kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya

penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain. Misalnya tanah yang dimiliki

disewakan kepada pihak lain dan penyewa menguasai secara fisik. Atau tanah

tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak, maka dalam hal ini pemilik

tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya berhak menuntut diserahkannya

kembali tanah tersebut secara fisik kepadanya.

Dalam hukum tanah dikenal juga penguasaan yuridis, yang tidak memberikan

kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik Misal kreditor

pemegang hak jaminan atas tanah, mempunyai hak menguasai secara yuridis atas

tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaan secara fisik tetap ada pada yang

empunya tanah. Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang,

kewajiban dan larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah

Universitas Sumatera Utara


64

yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat itulah yang

merupakan tolak pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur

dalam hukum tanah Negara yang bersangkutan.

Dalam Hukum Tanah Nasional terdapat bermacam-macam penguasaan hak

atas tanah, dapat disusun jenjang atau hierarki yaitu:

Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA)

1. Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2 UUPA)

2. Hak ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut

kenyataannya masih ada (Pasal 3 UUPA)

3. Hak-hak Individu:

a. Hak-hak atas tanah (Pasal 4 UUPA) ;

1) Primer: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan

oleh Negara, dan Hak Pakai, yang diberikan oleh Negara.

2) Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh

pemilik tanah, hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak

Sewa dan lain-lainnya.

b. Wakaf (Pasal 49 UUPA)

c. Hak Jaminan atas Tanah: Hak Tanggungan (Pasal 23,33,39, 51 dan Undang-

undang Nomor 4/1996.41

41
“Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional”. http://id.shvoong.com/law-and-
politics/1954099-hukum-agraria-indonesia/#ixzz1PDV7qzeE, diakses tanggal 20 Juli 2011.

Universitas Sumatera Utara


65

F. Dasar Hukum Pendaftaran Pengalihan Hak Atas Tanah

Untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum, dalam pendaftaran

pengalihan hak atas tanah dengan status hak milik karena hibah, diterbitkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku masa pembangunan jangka panjang. Adapun

Dasar Hukum dari Kegiatan Pendaftaran Pengalihan Hak Atas Tanah dengan Status

Hak Milik Karena hibah, adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, menyebutkan bahwa: “Bumi air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

2. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Agraria.

a. Pasal 19 ayat 1 “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan

pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-

ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

b. Pasal 23 ayat 1 dan 2

1) Hak milik demikian pula setiap pengalihan, hapusnya dan pembebanannya dengan

hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud

dalam Pasal 19 UUPA.

Universitas Sumatera Utara


66

2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat

mengenai hapusnya hak milik serta sahnya pengalihan dan pembebanan hak

tertentu.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

a. Pasal 1 ayat 1

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah

secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,

pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis,

dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan

rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah

yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu

yang membebaninya.”

b. Pasal 37 ayat 1 dan 2

(1) Pengalihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual

beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum

pemindahan hak lainnya,kecuali pemindahan hak lainnya melalui lelang, hanya

dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang

berwenang menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

(2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala

Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik,

Universitas Sumatera Utara


67

yang dilakukan diantara perorangan Warga Negara Indonesia yang dibuktikan

dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor

Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar

pemindahan hak yang bersangkutan.

c. Pasal 40 ayat 1 dan 2

(1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta

yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut

dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk

didaftar.

(2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah

disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kepada para pihak

yang bersangkutan.

d. Pasal 46 ayat 1, 2 dan 3

(1) Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran pengalihan atau

pembebanan hak, jika salah satu syarat di bawah ini tidak dipenuhi:

a. Sertifikat atau surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak sesuai

lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan;

b. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat 1 tidak

dibuktikan dengan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana

Universitas Sumatera Utara


68

dimaksud dalam Pasal 41, kecuali dalam keadaan tertentu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 37 ayat 2;

c. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran pengalihan atau pembebanan

hak yang bersangkutan tidak lengkap;

d. Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan;

e. Tanah yang bersangkutan merupakan objek sengketa di pengadilan;

f. Perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau dibatalkan

oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau

g. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dibatalkan

oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan.

(2) Penolakan Kepala Kantor Pertanahan dilakukan secara tertulis, dengan menyebut

alasan-alasan penolakan itu.

(3) Surat penolakan disampaikan kepada yang berkepentingan, disertai pengembalian

berkas permohonannya, dengan salinan kepada PPAT atau Kepala Kantor lelang

yang bersangkutan.

4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun

1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 (Pendaftaran Tanah).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai