A. DEFINISI
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa
trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007). Fraktur adalah patah
tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price dan Wilson, 2006).
Menurut Mansjoer (2005), fraktur tibia (bumper fracture / fraktur tibia plateau) adalah
fraktur yang terjadi akibat trauma langsung dari arah samping lutut dengan kaki yang masih
terfiksasi ke tanah. Fraktur tibia (fraktur colles) adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia
sebelah kanan akibat jatuh yang bertumpu pada tangan dorsifleksi terbuka. Fraktur ini sering
terjadi pada anak-anak dan wanita lanjut usia dengan tulang osteoporosis dan tulang lemah
yang tak mampu menahan energi akibat jatuh.
Fraktur ankle termasuk dalam fraktur pada maleolus lateralis dan /atau maleolus
medialis. Fraktur ini biasanya disebabkan oleh terpuntirnya tubuh ketika kaki sedang
bertumpu di tanah atau akibat salah langkah yang menyebabkan tekanan yang berlebihan
pada bagian sendi pergelangan kaki. Fraktur pergelangan kaki sering terjadi pada penderita
yang mengalami kecelakaan.
B. PENYEBAB
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang
yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan
dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-
anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut (Doenges, 2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa misalnya
benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur
2) Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
kejadian kekerasan.
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan
metabolik)
Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur
hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena
tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang - orang yang baru saja menambah
tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata atau orang-
orang yang baru mulai latihan lari.
C. POHON MASALAH
Fraktur
RESIKO SYOK
(HIPOVOLEMIK)
D. KLASIFIKASI
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur dapat dibagi menjadi :
1. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya megalami
pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2. Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi pada sebagian dari
garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar atau bila
jaringan kulit yang berada diatasnya/ sekitar patah tulang masih utuh.
4. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau terputusnya jaringan tulang
dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang berhubungan dengan dunia luar.
Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat, yaitu :
a) Derajat I
(1) Luka < 1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
(3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
(4) Kontaminasi minimal
b) Derajat II
(1) Laserasi > 1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
(3) Fraktur kominutif sedang
(4) Kontaminasi sedang
c) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas :
(1) IIIA :Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
(2) IIIB :Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan lapisan
periosteum, fraktur kontinuitif
(3) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian distal dapat
diperthankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.
E. GEJALA KLINIS
Gejala klinik dari faktur, menurut (Brunner and Suddarth, 2002)
a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi. Spasme otot
yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di rancang utuk
meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung bergerak
secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran
fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang
normal dengan ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu
samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji krepitus dapat
mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari pendarahan
yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah
cidera.
G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Prinsip penanganan fraktur meliputi rekognisi, reduksi, imobilisasi, dan pengembalian
fungsi dan kekuatan.
1) Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali
dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
2) Reduksi/manipulasi/reposisi
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan
manipulasi dan traksi manual. Reduksi terbuka dilakukan dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna (ORIF) dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
3) Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna (OREF) meliputi : pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu pin, dan tehnik gips atau fiksator ekterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna (ORIF) yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur yang dilakukan dengan pembedahan.
4) Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Latihan
isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan aliran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan
untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
2. Cara operatif/pembedahan
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya
mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi
terbuka.
Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan
diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur.
Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka.
Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal
kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat
ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan paku.
H. KOMPLIKASI
a. Komplikasi Awal
1) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu
kuat.
3) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam
darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
4) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan
lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas :
1) Pengumpulan Data
a) Anamnesa
1. Identitas Klien
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan :
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh
rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
4. Riwayat Penyakit Dahulu
5. Riwayat Penyakit Keluarga
6. Riwayat Psikososial
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.
b. Pola Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain
f. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image).
h. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu
juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga,
timbul rasa nyeri akibat fraktur
i. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
j. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
a) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti :
1. Kesadaran penderita : apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
b) Pemeriksaan head-to-toe :
1. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala
2. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan).
3. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
4. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
5. Mulut dan Gigi
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
6. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
7. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
8. Paru
a. Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
b. Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c. Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
d. Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
9. Jantung
a. Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
b. Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
c. Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
10. Abdomen
a. Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b. Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
c. Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
d. Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
11. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
12. Kulit
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
13. Ekstermitas
Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan ROM.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Radiologi
b) Pemeriksaan Laboratorium
1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
2. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas : didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3. Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
4. Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
6. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas struktur tulang,
program pembatasan gerak.
c. Resiko infeksi dibuktikan dengan prosedur invasif
d. Resiko syok hipovolemik.
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan nyeri ekstermitas.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
3. INTERVENSI
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Gaya hidup kurang gerak siklus tidur, infeksi saluran kemih, kesulitan dalam
persentil ke-75 sesuai usia Tidak terganggu untuk perpindahan ke Peningkatan Mekanika Tubuh
dan dari kursi roda Kaji komitmen pasien untuk belajar dan
Intoleran aktivitas Tidak terganggu untuk menjalankan menggunakan postur (tubuh) yang benar
Kaku sendi kursi roda dengan aman Kolaborasikan dengan fisioterapis dalam
Keenganan memulai Tidak terganggu untuk menjalankan mengembangkan peningkatan mekanika tubuh,
pergerakan kursi roda dalam jarak dekat sesuai indikasi
Kepercayaan budayab Tidak terganggu untuk menjalankan Kaji pemahaman pasien mengenai mekanika tubuh
tentang aktivitas yang tepat kursi roda dalam jarak sedang dan latihan (misalnya mendemonstrasikan kembali
Kerusakan integritas struktur Tidak terganggu untuk menjalankan teknik melakukan aktivitas/latihan yang benar)
tulang kursi roda dalam jarak jauh Informasikan pada pasien tentang struktur dan fungsi
Keterlambatan Tidak terganggu untuk menjalankan tulang belakang dan postur yang optimal untuk
perkembangan kursi roda melewati pembatas lantai bergerak dan menggunakan tubuh
Kontraktur Tidak terganggu untuk menjalankan Edukasi pasien tentang pentingnya postur (tubuh)
Kurang dukungan lingkungan kursi roda melewati pintu keluar masuk yang benar untuk mencegah kelelahan, ketegangan
(missal fisik atau social) Tidak terganggu untuk menjalankan atau injuri
Kurang pengetahuan tentang kursi roda melewati jalan yang Edukasi pasien mengenai bagaimana menggunakan
nilai aktivitas fisik landai/menurun postur (tubuh) dan mekanika tubuh untuk mencegah
Penurunan kekuatan otot Keseimbangan tidak terganggu muskuloskeletalnya dan efek yang mungkin timbul
Penurunan kekuatan Koordinasi tidak terganggu pada jaringan otot dan postur
pengendali otot Cara berjalan tidak terganggu Edukasi penggunaan matras/tempat duduk atau
Penurunan ketahanan tubuh Gerakan otot tidak terganggu bantal yang lembut, jika diindikasikan
Gerakan sendi tidak terganggu Instruksikan untuk menghindari tidur dengan posisi
Penurunan massa otot Kinerja pengaturan tubuh tidak tengkurap
Program pembatasan gerak terganggu Bantu untuk mendemonstrasikan posisi tidur yang
Kinerja transfer tidak terganggu tepat
Berlari tidak terganggu Bantu untuk menghindari duduk dalam posisi yang
Melompat tidak terganggu sama dalam jangka waktu yang lama
Merangkak tidak terganggu Instruksikan pasien untuk menggerakkan kaki
Berjalan tidak terganggu terlebih dahulu kemudian badan ketika memulai
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer Setelah diberikan asuhan Manajemen Asam Basa
keperawatan selama ...x... jam,
Batasan Karakteristik: □ mempertahankan keefektifan jalan
perfusi jaringan perifer pasien
nafas klien dengan menggunakan nasal
□ Bruit Femoral menjadi efektif dengan kriteria hasil:
kanul atau masker oksigen
□ Edema
NOC: □ memposisikan klien untuk
□ Indeks ankle-brakhial <0,90
mendapatkan ventilasi yang adekuat
□ Kelambatan penyembuhan luka Perfusi Jaringan : Perifer
dengan memberikan posisi semi fowler
perifer
□ Pengisian Kapiler jari pada pasien
□ Klaudikasi intermiten
□ Pengisian Kapiler jari kaki □ mempertahankan kestabilan akses
□ Nyeri ekstremitas
□ Suhu kulit ujung kaki dan selang intravena dengan terapi diuretik
□ Paresthesia
tanagn □ memonitor kencenderungan PH arteri
□ Pemendekan jarak bebas nyeri yang
□ Kekuatan denyut nadi karotis PaCo2 dan HCo3 dengan pemeriksaan
ditempuh dalam uji berjalan 6 menit (kanan) Analisa Gas Darah (AGD)
□ Pemendekan jarak total yang □ Kekuatan denyut nadi karotis □ mengobservasi pola pernafasan dengan
ditempuh dalam uji berjalan 6 menit (kiri) melihat retraksi dada dan abdomen
(400-700m pada orang dewasa) □ Kekuatan denyut nadi klien
□ Penurunan nadi perifer brachialis (kanan) □ berikan pasien terapi yang mengandung
□ Perubahan fungsi motorik □ Kekuatan denyut nadi HCO3 dengan dosis yang tepat
□ Perubahan karakteristik kulit (mis. brachialis (kiri) □ mengatasi demam klien dengan
Warna, elastisitas, rambut, □ Denyut femoralis (kanan) memberikan obat oral parasetamol dan
kelembapan, kuku, sensasi, suhu) □ Denyut femoralis (kiri) intravena
□ Perubahan tekanan darah di □ Kekuatan denyut pedal □ memberikan pengobatan nyeri pada
ekstremitas (kanan) klien sesuai dengan takaran yang tepat
□ Tidak ada nadi perifer □ Kekuatan denyut pedal (kiri) □ memberikan terapi oksigen pada klien
□ Waktu pengisian kapiler > 3 detik □ Tekanan darah diastolik melalui nasal kanul atau masker
□ Warna kulit pucat saat elevasi dalam batas normal oksigen dengan tepat
□ Warna tidak kembali ke tungkai 1 □ Tekanan darah sistolik dalam Monitoring Asam Basa
menit setelah tungkai diturunkan batas normal
□ mengambil spesimen AGD, Urine, dan
Faktor yang Berhubungan: □ Nilai rata-rata tekanan darah
serum untuk Pemeriksaan
□ Bruit diujung kaki dan tanagn
□ Diabetes Melitus Laboratorium keseimbangan asam basa
□ MAP dalam batas normal
□ Gaya hidup kurang gerak □ menganalisa hasil pemeriksaan
□ Nadi teraba kuat
□ Hipertensi laboratorium AGD, serum, dan urine
□ Tidak terjadi udeme pada
□ Kurang pengetahuan tentang factor pada pasien yang mengalami kondisi
perifer.
pemberat (mis. Merokok, gaya hidup dengan effect yang lambat pada nilai
monoton, trauma, obesitas, asupan □ Nyeri diujung kaki dan Ph <7,35
garam, imobilitas) tangan yang terlokalisasi □ monitor tanda dan gejala kekurangan
□ Kurang pengetahuan tentang proses □ Nekrosis HCo3 yang ditandai dengan pernafasan
penyakit (mis. Diabetes, □ Mati rasa kusmaul, kelemahan, disorientasi, sakit
hiperlipidemia) □ Tingling kepala, anoreksia, koma, PH urine <6
□ Merokok □ Muka tidak lagi pucat □ Tinggikan anggota badan yang terkena
□ Tidak terjadi keram otot 20 derajat atau lebih dari jantung
□ Kerusakan integritas kulit □ Monitor tanda dan gejala kelebihan
□ Rubor HCo3 dan alkalosis metabolik ditandai
□ parastesial dengan mati rasa, kesemutan pada
ekstremitas, hipertonus otot,brakikardi,
kekakuan, pH urine >9
□ Anjurkan latihan ROM pasif atau aktif,
terutama latihan ekstremitas bawah,
selama istirahat.
□ Monitor tanda dan gejala turunnya nilai
PaCo2 dan alkalosis respiratori yang
ditandai dengan sering mendesah,
menguap, kejang, parastesia, kedutan,
kesemutan, mati rasa, pandangan
kabur, dan pusing
□ Monitor tanda dan gejala kelebihan
PaCo2 dan asidosis respiratori ditandai
dengan tremor pada tangan, bingung,
perasaan mengantuk sampai dengan
koma, sakit kepala, respon verbal
lambat, mual muntah, ekstremitas
berkeringat dan hangat
Pelaksanaan atau implementasi merupakan realisasi dari rangkaian dan penetuan diagnosa keperawatan. Tahap pelaksanaan
dimulai setelah rencana tindakan disusun untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
5. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan pada pasien fraktur disesuaikan dengan kriteria hasil yang telah ditentukan pada intervensi
DAFTAR PUSTAKA
M.Bulecheck, Gloria, dkk. 2013.Nursing Intervention Classification (NIC) edisi ke-6. United
Kingdom : CV. Mocomedia