BEBEN WIJAYA
14-0422
AT-43
1
BAB I
PENDAHULUAN
komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu
ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat
proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Setiap lahan gambut
mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung dari sifat-sifat dari badan alami
yang terdiri dari sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen di
2009). Di dalam bidang ilmu taksonomi tanah, gambut dikenal dengan istilah
‘Histosols’, atau yang populer dalam bahasa Inggris disebut sebagai peat. Istilah
‘gambut’ sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar, yaitu salah satu
Lahan rawa gambut di Indonesia cukup luas, sekitar 20,6 juta ha, atau
sekitar 10,8 % dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa tersebut sebagian besar
terdapat di empat Pulau besar yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi
3% dan Papua 30% (Wibowo dan Suyatno, 1998). Wilayah Indonesia yang luas,
2
dan kajian lapangan inventarisasi sumber daya lahan gambut. Padahal data dan
inventarisasi lahan rawa gambut, beberapa kriteria yang dapat dipakai antara lain :
terpencil dan sulit dijangkau. Citra satelit mampu mempertinggi kehandalan dan
(Lillesand and Keifer, 1994; Tejasukmana et al., 1994). Namun demikian tetap
harus disertai adanya pengecekan atau pengamatan lapang. Dalam penggalian dan
pemanfaatan sumber daya alam serta dalam pembinaan lingkungan hidup perlu
digunakan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat sehingga mutu dan
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat dipertahankan. Lahan
rawa termasuk lahan rawa gambut yang dalam pelestarian dan pengembangannya
pengelolaan yang tepat. Inventarisasi lahan rawa gambut yang sekarang ada dan
3
analisis perubahannya dalam suatu kurun waktu tertentu sangat penting dan
informasi lahan rawa gambut dengan segala tipe, karakteristik dan penyebarannya.
bahan itu sendiri. Kerapatan lindak atau bobot isi (bulk density : BD) gambut
umumnya berkisar antara 0,05 sampai 0,40 gram/cm3. Nilai kerapatan lindak ini
kerapatan lindak dan bobot jenis adalah berkisar antara 75-95%. Dalam
Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah gambut atau Histosols
Fibrists- bahan organik fibrik dengan BD < 0,1 gram/cm3, Hemists- bahan
organik hemik dengan BD 0,1-0,2 gram/cm3 dan Saprists – bahan organik saprik
Lahan gambut tropis memiliki keragaman sifat fisik dan kimia yang besar,
dan ada tidaknya pengayaan dari luapan sungai disekitarnya. Karakteristik lahan
4
seyogianya dijadikan acuan arah pemanfaatan lahan gambut untuk mencapai
produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan. Sesuai dengan Keppres No. 32/1990
disebabkan makin tebal lapisan gambut, maka gambut tersebut semakin rapuh
< 3 m dapat dimanfaatkan untuk pertanian dengan syarat lapisan mineral dibawah
gambut bukan pasir kuarsa atau liat berpirit, dan tingkat kematangan bukan fibrik.
hortikultura diarahkan pada gambut dangkal (< 100 cm), dan untuk tanaman
tahunan pada gambut dengan ketebalan 2–3 m (Sabiham et al., 2008). Dasar
dan penurunan suhu gambut, kedua hal ini sangat penting dalam menentukan
tingkat dekomposisi bahan organik. Proses yang terjadi adalah, pada kondisi lahan
gambut alami di atas tanah mineral, aliran air bawah tanah yang berasal dari lahan
didrainase, aliran air dari luar yang masuk ke area lahan gambut menjadi terhalang
oleh saluransaluran, sementara itu kation-kation basa tetap lebih banyak diambil
5
gambut jadi turun. Secara umum, menurut Minkkinen et al. (1999) dalam periode
waktu yang lama setelah didrainase terjadi penurunan konduktivitas thermal pada
permukaan gambut dan peningkatan naungan oleh tajuk tanaman yang tumbuh di
atas lahan gambut tersebut menyebabkan suhu permukaan gambut menjadi turun.
Tanah gambut merupakan tanah yang memiliki ciri utama berupa kandungan
bahan organik yang tinggi yang berasal dari sisa-sisa jaringan tanaman. Menurut
Radjagukguk (1997) gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik
yang terdekomposisi secara anaerob di mana laju penambahan bahan organik lebih
cepat dari pada laju dekomposisinya. Keadaan yang demikian terjadi pada tempat-
tempat yang selalu tergenang air sehingga sirkulasi oksigen sangat lambat. Hal
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
Manfaat dari penulisan ini semoga menambah pengetahuan lebih luas lagi
6
II. ISI
Lahan gambut berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang terdapat
diatasnya terbentuk di daerah yang topografinya rendah dan bercurah hujan tinggi
atau di daerah yang suhunya rendah. Tanah gambut mempunyai kandungan bahan
organik yang tinggi (> 12% carbon) dan kedalaman gambut minimum 50 cm.
yaitu yang mengandung bahan organik lebih tinggi dari 30 %, dalam lapisan
setebal 40 cm atau lebih pada bagian 80 cm teratas profil tanah (Rina et al. 2008).
antara lain untuk budidaya tanaman pertanian maupun kehutanan dan akuakultur.
Selain itu, dapat digunakan untuk bahan bakar, media pembibitan, ameliorasi
(2003) lahan gambut tropika yang terdapat di Indonesia dicirikan oleh antara lain :
(1) biodiversitas (keragaman hayati) yang khas dengan kekayaan keragaman flora
dan fauna; (2) fungsi hidrologisnya, yakni dapat menyimpan air tawar dalam
jumlah yang sangat besar, dimana 1 juta lahan gambut tropika setebal 2 m ditaksir
dapat menyimpan 1,2 juta m3; (3) sifatnya yang rapuh (fragile) karena dengan
7
(irreversible drying) serta rentan terhadap bahaya erosi; (4) sifatnya yang praktis
(5) bentuk lahan dan sifat-sifat tanahnya yang khas, yakni lahannya berbentuk
kubah keadaannya yang jenuh atau tergenang pada kondisi alamiah serta tanahnya
mempunyai sifat-sifat fisika dan kimia yang sangat berbeda dengan tanah-tanah
mineral.
Hutan rawa gambut berfungsi sebagai pengatur tata air, dimana kubah
gambut menjaga permukaan air bawah tanah dan mencegah intrusi air laut. Selain
33 itu, juga mengatur air pada lahan-lahan pertanian serta sumber air minum
terjadi di dekat pantai merupakan ancaman serius dari intrusi air laut yang
Lahan gambut terdiri 3 jenis yaitu gambut dangkal dengan lapisan < 50
cm, gambut sedang dengan tebal lapisan 50 – 100 cm dan gambut dalam dengan
lapisan > 200 cm. Lahan gambut mempunyai sifat marginal dan rapuh, maka
8
reklamasi dan pengelolaan lahan mengakibatkan rusaknya lahan dan lingkungan
ditanami memiliki permukaan lahan yang tidak rata. Topografi lahan juga
dipengaruhi oleh besarnya penurunan muka tanah dari gambut akibat kebakaran
dan intensifikasi pengelolaan. Dradjat et al. (1986) diacu dalam Rina et al. (2008)
melaporkan laju penurunan muka tanah dalam 1 bulan mencapai 0,36 cm selama
untuk gambut saprik di Talio (Kalimantan Tengah) laju subsiden setiap bulan
mencapai 0,178 cm dan gambut hemik 0,9 cm bulan. Demikian juga pada lokasi
yang sama penurunan muka tanah di Desa Babat Raya dan Kolam Kanan
Rina et al. 2008). Terjadinya penurunan muka tanah disebabkan oleh pengeringan
upaya konservasi yang kurang memadai. Oleh karena itu untuk pemanfaatan lahan
memperpendek masa bera. Pengaturan pola tanam dan pola usaha tani merupakan
memperpendek masa bera. Lahan gambut tropis adalah komponen penting dari
siklus karbon global dan menjadi perhatian penting bagi The United Nations
9
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Lahan gambut
menyimpan sekitar 2150 sampai 2875 t C ha-1 dengan laju penyerapan sebesar
mempunyai peran penting dalam fungsi penting sebagai daerah tangkapan air,
sistem kontrol, pengatur fluktuasi air, pencegah banjir dan pencegah terjadinya
penggaraman air (saline water intrusion). Selain itu, lahan gambut air tawar di
Indonesia merupakan tempat yang baik untuk berkembangbiak dan penghasil ikan
tergantung pada beberapa faktor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat
dekomposisi; (b) komposisi tanaman penyusun gambut; (c) tanah mineral yang
berada di bawah lapisan tanah gambut. Gambut digolongkan ke dalam tiga tingkat
kesuburan yang didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O dan kadar abu
yaitu : (1) gambut eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi; (2) gambut
mesotrofik dengan tingkat kesuburan yang sedang; (3) gambut oligotrofik dengan
tingkat kesuburan yang rendah (Andriesse, 1974; Polak 1949 diacu dalam
asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat. Bahan organik yang
COOH) dan fenol (C6H4OH) yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat
bersifat sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H
dalam jumlah banyak. Diperkirakan bahwa 85 % sampai 95% muatan pada bahan
10
organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut (Andriesse,
1974; Miller dan Donahue, 1990 diacu dalam Rina et al. 1996).
beberapa masalah biofisik antara lain : (1) lahan gambut sebagian besar terhampar
di atas lapisan pirit yang mempunyai potensi keasaman tinggi dan pencemaran
dari hasil oksidasi seperti Al, Fe dan asam organik lainnya; (2) lahan gambut cepat
kering tidak balik, berubah sifat menjadi hidrofob dan terjadi subsidence
(penurunan muka tanah); (3) lahan gambut mudah dan cepat mengalami degradasi
tanaman (gulma, hama dan penyakit tanaman) dan gangguan kesehatan manusia
11
Dalam kurun waktu sejak dibukanya atau dimanfaatkannya lahan oleh
Nilai bulk density (BD) merupakan salah satu variabel utama untuk
mendapatkan nilai bulk density yang representatif dari hasil kajian ini, telah
yang berbeda bentuk dan ukurannya yaitu: a) kotak sampel 1 (box sampler 1)
bor gambut khusus dari Eijkelkamp berbentuk setengah selinder dengan luas
untuk masing-masing alat adalah 30 (n = 30). Asumsi yang menjadi dasar dari
kajian ini adalah, nilai pengkuran BD yang paling representatif adalah nilai yang
diperoleh dari penggunaan alat yang volumenya lebih besar yaitu kotak sampel 1.
Dasar dari asumsi ini adalah, pada umumnya gambut tropika terbentuk dari
biomassa hutan hujan tropis, sehingga material penyusun gambut sangat beragam
(heterogen) yang mana terdiri dari bahan kayu-kayuan berupa akar, daun, ranting
dan cabang dari pohon, dengan berbagai tingkat dekomposisi. Hal ini
nilai BD, agar supaya sampel tanah yang diambil benar-benar mewakili kondisi
gambut yang sebenarnya, maka diperlukan alat untuk mengambil sampel tanah
12
yang representatif. Berdasarkan asumsi ini, nilai BD dari hasil pengukuran
Menurut Soil Survey Staff (2010) tanah organik (Histosols) adalah tanah
yang:
1. Mempunyai bahan tanah organik mulai dari permukaan ke salah satu berikut:
ketebalan bahan tanah organik lebih dari dua kali ketebalan tanah mineral di
fragmen (kerikil, batu, kerakal) dan celah-celahnya terisi oleh bahan tanah
(1) 60 cm atau lebih, bila tiga perempat bagian atau lebih volumenya adalah serat
atau bulk density kurang dari 0,1 gr cm-3 (6,25 pon per kaki kubik); atau
(a) Bahan tanah organik jenuh air dalam waktu lama (lebih dari 6 bulan) atau
(b) Bahan organik terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau terdiri dari bahan
fibrik yang kurang dari tiga perempat bagian volumenya adalah serat dan bulk
13
Lahan gambut terbentuk karena pada kondisi alami akumulasi bahan organik
organik (Roulet, 2000; Zhang et al., 2002; Chmura et al., 2003; DeBusk dan
Reddy, 2003). Menurut Keddy (2000) diantara ekosistem yang ada di bumi ini,
ekosistem lahan basah atau gambut adalah sistim yang paling produktif dalam
menyerap karbon dari atmosfer yakni mencapai 1300 gr C m atau lebih; dan b.
(1) Tidak memiliki lapisan mineral sampai setebal 40 cm baik pada permukaan
(2) Tidak memiliki lapisan-lapisan mineral, yang secara komulatif, sampai setebal
3. Tidak memiliki sifat-sifat tanah andik dalam lapisan setebal 35 cm atau lebih
organik (Histosols) apabila lebih dari separuh lapisan tanah teratas 80 cm (32
inchi) merupakan bahan tanah organik, atau apabila bahan tanah organik dengan
mengakumulasikan sekitar 263 gr C m-2 th-1 dan lahan basah daerah temperate di
14
Ohio mengakumulasikan sekitar 140 gr C m-2 th-1. Namun, prediksi yang lebih
m-2 th-1. Laju akumulasi bahan gambut sebenarnya juga dipengaruhi oleh: lokasi
terjadi akumulasi bahan organik pada lahan gambut alami diantaranya adalah:
adanya bahan organik yang tidak mudah lapuk (Dai et al., 2002; White et al.,
rendah, dan terbatasnya unsur hara (Baldock dan Skjemstad, 2000; Hobbie et al.,
2000; Blodau, 2002; Dai et al., 2002; White et al., 2002; Bridgham dan
Richardson, 2003; Yavitt et al., 2004; Bertrand et al., 2007). Menurut Hobbie et
al. (2000) dan Yavitt et al. (2004) pada kodisi suhu dingin dan/atau anaerob
penumpukan bahan organik. Dua kondisi inilah yaitu suhu dingin dan kekurangan
temprate dengan daerah tropika, yang mana di daerah temprate pembentukan atau
akumulasi gambut terjadi akibat suhu dingin (<80C), sedangkan di daerah tropika
15
gambut terdiri dari batang tubuh-tumbuhan mati yang terhambat proses
organik pada lahan gambut adalah masih dapat ditemukan bahan organik dalam
gambut yang terjadi pada awal reklamasi atau pengeringan tanah gambut dikenal
dengan proses pedogenesis yang meliputi: (a) proses pematangan fisik, yaitu
evaporasi), (b) proses pematangan kimia, terjadi karena bahan gambut kehilangan
menghasilkan mull atau moder. Pembentukan mull terjadi pada tanah gambut
moder terjadi pada lapisan atas (topsoil) tanpa dan/atau dengan kadar liat yang
rendah.
16
sebelum tahun 1950). Kejadian terbentuknya endapan gambut di Indonesia
berkaitan erat dengan peristiwa transgresi dan regresi air laut pada Zaman Kuarter
di pulau-pulau sekitar Dataran Sunda dan Dataran Sahul. Lebih lanjut detegaskan
oleh Sabiham (2006) bahwa dengan adanya proses sedimentasi dan progradasi
kemudian ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi yang mampu beradaptasi dengan
Pengelompokan gambut
a. Fibrik, memiliki kandungan serat lebih dari ¾ volume tanah (terombak < 33%).
b. Hemik, kandungan seratnya antara fibrik dan saprik (terombak 33 – 66%), dan,
c. Saprik kandungan seratnya kurang dari 1/6 dari volume tanah (terombak
>66%).
Secara umum dapat dijelaskan bahwa gambut fibrik adalah apabila bahan
tingkat dekomposisinya telah lanjut. Karena bulk density (BD) meningkat dengan
17
meningkatnya tingkat dekomposisi maka parameter ini juga telah digunakan
4. Gambut daratan pesisir atau pantai (coastal peat) adalah gambut yang
18
1. Gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 -1 m,
berlebihan koloid gambut menjadi rusak sehingga terjadi gejala kering tidak balik
dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara
dan menahan air sehingga membuatnya peka tererosi. Lebih lanjut dijelaskan oleh
Sarwono (2003) bahwa gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu
gambut juga memiliki sifat penurunan permukaan tanah yang besar setelah
19
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang
dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tergantung pada
iklim dan dimana tanah tersebut ditemukan. Karena bulk density (BD) rendah,
maka tanah gambut lebih sesuai untuk tanaman sayuran (Sarwono, 2003). Di
Indonesia, tanah gambut banyak diusahakan untuk tanaman padi terutama untuk
gambut yang tidak terlalu dalam dan ada pula untuk tanaman buah-buahan (seperti
nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman perkebunan (terutama kelapa, kelapa
sawit, kopi dan karet), dan Acasia crasicarpa sebagai hutan tanaman industri
(Sabiham, 2006).
irigasi pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan
penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman tanaman pada lahan gambut
dan kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan ketersediaan air tanah di atas
water table.
pembuatan drainase, maka akan berdampak terhadap unit-unit hidrologi dari hutan
rawa gambut tersebut. Sebagai contoh, terjadinya penurunan kadar air gambut
dibawah batas kritis, menyebabkan tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak
dapat lagi menyerap air. Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh sisa
20
tanaman (daun, dahan, ranting, batang) mengalami kondisi aerob menyebabkan
mendekomposisi gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon, maka karbon
yang tersimpan did alam bagian bahan tersebut akan teremisi ke udara dalam
bentuk CO2 dan memenuhi lapisan ozon sehingga akan menciptakan efek rumah
kaca (green house effect) hal ini dapat memacu terjadinya pemanasan global yang
mengalami pelapukan yang lebih cepat. karena proses dekomposisi pada kondisi
aerobik jauh lebih cepat dibandingkan pada kondisi anaerobik. Menurut Kirk
dekomposisi dapat pula diikuti oleh penurunan pH gambut, dan penurunan suhu
gambut, kedua hal ini sangat penting dalam menentukan tingkat dekomposisi
bahan organik. Proses yang terjadi adalah, pada kondisi lahan gambut alami di
atas tanah mineral, aliran air bawah tanah yang berasal dari lahan tanah mineral
dari luar yang masuk ke area lahan gambut menjadi terhalang oleh saluransaluran,
sementara itu kation-kation basa tetap lebih banyak diambil oleh tanaman untuk
Secara umum, menurut Minkkinen et al. (1999) dalam periode waktu yang
21
gambut dan peningkatan naungan oleh tajuk tanaman yang tumbuh di atas lahan
Lahan gambut pada kondisi alami adalah jenuh air sepanjang tahun.
pengelolaan air untuk menurunkan permukaan air dan membuang air hujan yang
kekurangan air dimusim kering, dalam muka air tanah perlu dikontrol melalui
pembuatan saluran drainase. Oleh karena karakteristik gambut sangat unik, supaya
air hujan tidak mengalir sebagai aliran permukaan (run off) tetapi sebagai aliran
bawah tanah, maka desain dari saluran drainase seharusnya berdasarkan kepada
penyimpanan air dan permeabilitas. Menurut Wosten dan Ritzema (2001) untuk
digunakan untuk menentukan jarak antar saluran drainase, yang mana jarak
muka air tanah normal, sedangkan dimensi saluran berdasarkan kepada kondisi
adalah: a) pola herringbone, yaitu pola drainase dengan satu atau dua saluran
utama, pola ini baik karena memungkinkan saluran menangkap air untuk masuk
22
ke saluran dari semua permukaan lahan, b) pola gridiron, terdiri dari saluran
lateral yang paralel masuk ke saluran utama, pola ini kurang ekonomis, c) pola
terisolasi antara satu dengan lainnya lain, dan d) pola interseptor, digunakan untuk
mencegat air rembesan dari lereng bukit yang disebabkan oleh air rembesan
bergerak secara horizontal melalui lapisan permeabel yang berada di atas lapisan
23
BAB III
Nilai bulk density (BD) merupakan salah satu variabel utama untuk
mendapatkan nilai bulk density yang representatif dari hasil kajian ini, telah
yang berbeda bentuk dan ukurannya yaitu: a) kotak sampel 1 (box sampler 1)
bor gambut khusus dari Eijkelkamp berbentuk setengah selinder dengan luas
untuk masing-masing alat adalah 30 (n = 30). Asumsi yang menjadi dasar dari
kajian ini adalah, nilai pengkuran BD yang paling representatif adalah nilai yang
diperoleh dari penggunaan alat yang volumenya lebih besar yaitu kotak sampel 1.
Dasar dari asumsi ini adalah, pada umumnya gambut tropika terbentuk dari
biomassa hutan hujan tropis, sehingga material penyusun gambut sangat beragam
(heterogen) yang mana terdiri dari bahan kayu-kayuan berupa akar, daun, ranting
24
dan cabang dari pohon, dengan berbagai tingkat dekomposisi. Hal ini
nilai BD, agar supaya sampel tanah yang diambil benar-benar mewakili kondisi
gambut yang sebenarnya, maka diperlukan alat untuk mengambil sampel tanah
yang representatif.
berkaitan erat dengan proses pengeringan akibat drainase, yang mana isapan
matrik tanah menjadi lebih besar karena penurunan kadar air sehingga
ini berdampak terhadap penurunan volume pori. Berkaitan dengan teori tersebut,
indikasi telah terjadi pemadatan pada permukaan lahan pada semua lokasi kajian
ini ditandai oleh nilai BD pada permukaan gambut lebih tinggi dibandingkan
lapisan di bawahnya. Pada sisi lain, indikasi telah terjadi kehilangan gambut
akibat proses dekomposisi dapat diketahui dari kadar abu pada lapisan permukaan
lahan gambut disebabkan oleh hilangnya bahan organik dari lapisan gambut
terkonsentrasi pada lapisan atas lahan. Secara umum, dari kajian ini terlihat ada
kecendrungan kenaikan BD diikuti pula oleh kenaikan kadar abu. Hal ini
melihat keterkaitan antara BD dengan kadar abu, telah dilakukan analisa regresi
linear sederhana.
25
Menurut Lasco (2002) cadangan karbon tersimpan dalam vegetasi di hutan
tropika Asia berkisar antara 40-250 ton C ha-1. Data kajian ini mendukung apa
yang dikemukakan Lasco (2002) terebut, yang mana terlihat bahwa cadangan
karbon tersimpan pada vegetasi hutan gambut tropika di Aceh berkisar antara
152,51 – 263,38 ton C ha-1 yang diwakili oleh data dari hutan di desa Cot Gajah
Mati dan di desa Simpang Informasi mengenai kerapatan karbon (carbon density)
pada lahan gambut juga berguna untuk menduga cadangan karbon pada material
gambut tersebut. Yang dimaksud dengan kerapatan karbon pada lahan gambut
pada kajian ini adalah total karbon yang terkandung dalam setiap meter kubik (m3
Umumnya kerapatan karbon pada lahan gambut meningkat setelah lahan gambut
berbagai lokasi lahan gambut yang didrainase bervariasi dari 28,30 - 57,17 kg C
gambut
hasil penelitian Wahyunto et al. (2010) melaporkan bahwa kerapatan karbon lahan
tanaman semusim (sawah dan lahan kering), kebun kelapa sawit secara berurutan
adalah 27,06 - 94,37 kg m-3, 25,54 – 121,39 kg m-3, 29,13 – 86,23 kg m-3, dan
38,57 – 126,61 kg m-3. Secara umum dari data Tabel 8 terlihat bahwa kerapatan
26
kabon paling rendah ditemukan pada lokasi desa Simpang dan Cot Gajah mati
pada jenis penggunaan lahan hutan, kemudian diikuti lokasi di desa Simpang pada
jenis penggunaan lahan karet.umur >15 tahun dan tertinggi di lokasi Suak
Puntong pada penggunaan lahan kelapa sawit umur >10 tahun. Hal ini
berkaitan dengan penggunaan lahan. Menurut Laiho dan Finér (1996) bahwa
pemadatan gambut juga terjadi karena peningkatan berat dari vegetasi yang
tumbuh di atasnya. Dari hasil kajian ini mengindikasikan bahwa konversi hutan
gambut menjadi penggunaan lain, khususnya kelapa sawit dan karet nyata
Secara umum fenomena yang terlihat adalah, semakin jauh lokasi dari
saluran drainase kehilangan karbon semakin kecil. Fenomena ini sejalan dengan
hasil pengamatan terhadap dalam muka air tanah maksimum dan subsidence, yang
mana semakin jauh dari saluran drainase dalam muka air tanah maksimum
bahwa ada keterkaitan antara dalam muka air tanah, kehilangan karbon dan
positif sangat nyata dengan subsidence dan dalam muka air tanah maksimum.
Dari data yang ada yaitu pola transek dalam muka air tanah, pola transek kejadian
berikut: Berdasarkan hasil kajian, semakin jauh dari saluran drainase dalam muka
27
air tanah semakin dangkal, kondisi ini menyebabkan pada lokasi dekat saluran
drainase volume gambut dalam kondisi aerob lebih banyak dibandingkan yang
jauh dari saluran, sehingga aktivitas dekomposisi gambut juga lebih banyak pada
hilang sehingga terjadi subsidence. Hooijer et al. (2006) telah membuat satu
bentuk hubungan linear antara ke dalaman drainase dengan emisi tahunan CO2
9,1 ton CO2 ha-1 th-1. Wösten dan Ritzema (2001) mengemukakan bahwa
ke dalaman drainase terjadi emisi CO2 sebanyak 13 ton ha-1 th-1 Drainase pada
Chimner dan Cooper (2003) pada keadaan muka air tanah yang dangkal akan
terjadinya proses dekomposisi, sebaliknya jika permukaan air tanah dalam (jauh)
akan meningkatkan kondisi aerobik sejalan dengan itu juga meningkatkan proses
dekomposisi bahan gambut. Dari hasil kajian ini ditemukan bahwa kedalaman
muka air tanah berkaitan erat dengan kehilangan karbon. Sehingga diperkirakan
karbon dan penurunan permukaan tanah akan terus berlanjut. itu. pengelolaan
tinggi muka air tanah pada lahan gambut yang didrainase sangat penting
28
diperhatikan dalam kaitannya dengan emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan
gambut.
lahan pada masing-masing lokasi kajian (seperti yang dijelaskan dalam metode
Terlihat bahwa subsidence lebih besar pada lokasi yang baru dibuat saluran
penggunaan lahan.
29
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
1. Luas tanah gambut di Sumatera pada kondisi tahun 1990 adalah 6.559.657 ha.
Pada kondisi tahun 2002 terlihat adanya perubahan sebagai akibat pembukaan
lahan untuk pertanian, sehingga lahan gambut yang tanahnya tergolong tanah
gambut (ketebalan > 50 cm) adalah 6.110.852 ha. Tanah gambut terluas
isi, kandungan karbon organic pada luasan dan ketebalan yang tercantum pada
peta skala 1:250.000 adalah pada kondisi tahun 1990 yakni sekitar 22.283,2
juta ton karbon, dan pada kondisi 2002 sekitar 18.813,4 juta ton karbon,
sehingga terjadi penyusutan sebesar 3.469,8 juta ton karbon selama 12 tahun.
30
sangat dalam yang akhir-akhir ini dibuka untuk perkebunan kelapa sawit dan
3.2. Saran
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., K. Hairiah dan A. Mulyani. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon Tanah
Gambut. Petunjuk Praktis. World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA
Regional Office dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Bogor, Indonesia. 58 p.
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Cetakan Ketiga. Bogor: IPB Press.
Daniel, T.W., J.A. Helms and F.S. Baker. 1979. Principles of Silviculture 2nd
edition. McGraw & Hill, New York.
31
Harimurti. 1999. Interpretasi Visual Foto Udara Digital pada Layar Monitor.
Skripsi
S1. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Lillesand, T.M., dan R.W. Kiefer. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Cetakan ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Manuri, S., C.A.S. Putra dan A.D. Saputra. 2011. Tehnik Pendugaan Cadangan
Karbon Hutan. Merang REDD Pilot Project, German International
Cooperation – GIZ. Palembang
Onrizal. 2004. Model Penduga Biomassa dan Karbon Tegakan Hutan Kerangas di
Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. [tesis] Bogor.
Program Pascasarjana, Institute Pertanian Bogor.
Peace. 2007. Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya.
[www.peace.co.id].
Salim. 2005. Profil Kandungan Karbon Pada Tegakan Puspa (Schima wallichii
Korth) [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for
Making and Interpreting Soil Surveys. Second Edition. Agr. Handb. 436,
Natural Resources Conservation Service-USDA.
32
Subagyo, H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk
pertanian. h. 17-55. Dalam A.S. Karama et al. (penyunting). Prosiding
Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Makalah Utama. Jakarta,
25-27 Juni 1996.
Ward, D.E, and R.J. Yokelson. 1996. Progress in smoke Charaterization and
Modelling. AFM Coference on Transboundary Pollution. Kuala Lumpur.
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992.
Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 19-38.
Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan Nasional
Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua,
3-4 Maret 1992.
Zain, AS. 1997. Aspek Pembinaan kawasan Hutan dan stratifikasi Hutan Rakyat.
Penerbit Rineka cipta. Jakarta.
33