Anda di halaman 1dari 33

HIDROLOGI LAHAN GAMBUT DAN PERANANNYA

DALAM KELESTARIAN LAHAN GAMBUT TROPIS

BEBEN WIJAYA
14-0422
AT-43

PCOE III / 2014


AAA LI
PANGKALAN KERINCI
2014

1
BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Gambut merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik dengan

komposisi lebih dari 65% yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu

ratusan tahun dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat

proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Setiap lahan gambut

mempunyai karakteristik yang berbeda tergantung dari sifat-sifat dari badan alami

yang terdiri dari sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam sedimen di

bawahnya, yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut, menyangkut

kapasitasnya sebagai media tumbuh, habitat biota, keanekaragaman hayati, dan

hidrotopografi (Menteri Pertanian, Peraturan Nomor: 14/Permentan/PL.110/2/

2009). Di dalam bidang ilmu taksonomi tanah, gambut dikenal dengan istilah

‘Histosols’, atau yang populer dalam bahasa Inggris disebut sebagai peat. Istilah

‘gambut’ sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar, yaitu salah satu

namakecamatan di Kalimantan Selatan (Sabiham, 2006).

Lahan rawa gambut di Indonesia cukup luas, sekitar 20,6 juta ha, atau

sekitar 10,8 % dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa tersebut sebagian besar

terdapat di empat Pulau besar yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi

3% dan Papua 30% (Wibowo dan Suyatno, 1998). Wilayah Indonesia yang luas,

berpulau-pulau dan kondisinya bervariasi akan memperlambat kegiatan penelitian

2
dan kajian lapangan inventarisasi sumber daya lahan gambut. Padahal data dan

informasi tersebut sangat diperlukan untuk bahan pemantauan kebijaksanaan

dalam optimalisasi pemanfaatan dan konservasinya. Sehubungan dengan hal

tersebut, informasi data dasar (database) yang didukung oleh teknologi

Penginderaan Jauh (Inderaja) diharapkan mampu menyajikan data relatif cepat,

obyektif, dan mutakhir.

Menurut Sumarwoto (1989) dan Jansen et al. (1994), teknologi

penginderaan jauh (inderaja) sangat bermanfaat untuk identifikasi dan

inventarisasi sumberdaya alam dan penggunaan lahan. Untuk identifikasi dan

inventarisasi lahan rawa gambut, beberapa kriteria yang dapat dipakai antara lain :

jenis vegetasi, penggunaan lahan (existing landuse), topografi/relief dan kondisi

drainase/ genangan air. Teknologi inderaja cocok untuk diterapkan di negara

kepulauan seperti Indonesia, dimana banyak pulau-pulaunya yang letaknya

terpencil dan sulit dijangkau. Citra satelit mampu mempertinggi kehandalan dan

efisiensi pengumpulan data/ informasi wilayah rawa (gambut) dan lingkungannya

(Lillesand and Keifer, 1994; Tejasukmana et al., 1994). Namun demikian tetap

harus disertai adanya pengecekan atau pengamatan lapang. Dalam penggalian dan

pemanfaatan sumber daya alam serta dalam pembinaan lingkungan hidup perlu

digunakan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat sehingga mutu dan

kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat dipertahankan. Lahan

rawa termasuk lahan rawa gambut yang dalam pelestarian dan pengembangannya

memerlukan perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai, dan

pengelolaan yang tepat. Inventarisasi lahan rawa gambut yang sekarang ada dan

3
analisis perubahannya dalam suatu kurun waktu tertentu sangat penting dan

merupakan sumber informasi utama dalam usaha mendukung konservasi

lingkungan, biodiversitas, konservasi sumber daya air dan masalah salinitas,

pengendalian banjir dan lain sebagainya. Untuk konservasi dan optimasi

pemanfaatan lahan rawa gambut sesuai dengan karakteristiknya, sangat diperlukan

informasi lahan rawa gambut dengan segala tipe, karakteristik dan penyebarannya.

Sifat dan karakteristik fisik lahan gambut ditentukan oleh dekomposisi

bahan itu sendiri. Kerapatan lindak atau bobot isi (bulk density : BD) gambut

umumnya berkisar antara 0,05 sampai 0,40 gram/cm3. Nilai kerapatan lindak ini

sangat ditentukan oleh tingkat pelapukan/dekomposisi bahan organik, dan

kandungan mineralnya (Kyuma, 1987). Hasil kajian Driessen dan Rohimah

(dalam Kyuma, 1987) tentang porositas gambut yang dihitung berdasarkan

kerapatan lindak dan bobot jenis adalah berkisar antara 75-95%. Dalam

Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999), tanah gambut atau Histosols

diklasifikasi kedalam 4 (empat) sub-ordo berdasarkan tingkatan dekomposisinya

yaitu : Folists-bahan organik belum terdekomposisi di atasnya batu-batuan,

Fibrists- bahan organik fibrik dengan BD < 0,1 gram/cm3, Hemists- bahan

organik hemik dengan BD 0,1-0,2 gram/cm3 dan Saprists – bahan organik saprik

dengan BD >0,2 gram/cm3.

Lahan gambut tropis memiliki keragaman sifat fisik dan kimia yang besar,

baik secara spasial maupun vertikal. Karakteristiknya sangat ditentukan oleh

ketebalan gambut, substratum atau tanah mineral dibawah gambut, kematangan,

dan ada tidaknya pengayaan dari luapan sungai disekitarnya. Karakteristik lahan

4
seyogianya dijadikan acuan arah pemanfaatan lahan gambut untuk mencapai

produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan. Sesuai dengan Keppres No. 32/1990

gambut dengan ketebalan >3 m diperuntukkan kawasan konservasi. Hal ini

disebabkan makin tebal lapisan gambut, maka gambut tersebut semakin rapuh

(fragile). Dengan mempertahankannya sebagai kawasan konservasi, maka

fungsinya sebagai penyangga hidrologi tetap terjaga. Gambut dengan kedalaman

< 3 m dapat dimanfaatkan untuk pertanian dengan syarat lapisan mineral dibawah

gambut bukan pasir kuarsa atau liat berpirit, dan tingkat kematangan bukan fibrik.

Lebih lanjut Departemen Pertanian merekomendasikan untuk tanaman pangan dan

hortikultura diarahkan pada gambut dangkal (< 100 cm), dan untuk tanaman

tahunan pada gambut dengan ketebalan 2–3 m (Sabiham et al., 2008). Dasar

pertimbangannya adalah, gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih

tinggi dan risiko lingkungan lebih rendah dibandingkan gambut dalam.

Menurut Kirk (2004) pengaruh peningkatan kondisi aerase terhadap

peningkatan tingkat dekomposisi dapat pula diikuti oleh penurunan pH gambut,

dan penurunan suhu gambut, kedua hal ini sangat penting dalam menentukan

tingkat dekomposisi bahan organik. Proses yang terjadi adalah, pada kondisi lahan

gambut alami di atas tanah mineral, aliran air bawah tanah yang berasal dari lahan

tanah mineral disekitarnya membawa kation-kation basa masuk ke lahan gambut

sehingga dapat menetralkan asam-asam organik gambut. Setelah gambut

didrainase, aliran air dari luar yang masuk ke area lahan gambut menjadi terhalang

oleh saluransaluran, sementara itu kation-kation basa tetap lebih banyak diambil

oleh tanaman untuk meningkatkan pertumbuhannya, sehingga menyebabkan pH

5
gambut jadi turun. Secara umum, menurut Minkkinen et al. (1999) dalam periode

waktu yang lama setelah didrainase terjadi penurunan konduktivitas thermal pada

permukaan gambut dan peningkatan naungan oleh tajuk tanaman yang tumbuh di

atas lahan gambut tersebut menyebabkan suhu permukaan gambut menjadi turun.

Tanah gambut merupakan tanah yang memiliki ciri utama berupa kandungan

bahan organik yang tinggi yang berasal dari sisa-sisa jaringan tanaman. Menurut

Radjagukguk (1997) gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik

yang terdekomposisi secara anaerob di mana laju penambahan bahan organik lebih

cepat dari pada laju dekomposisinya. Keadaan yang demikian terjadi pada tempat-

tempat yang selalu tergenang air sehingga sirkulasi oksigen sangat lambat. Hal

tersebut akan memperlambat laju dekomposisi bahan organik, sehingga bahan

organik menjadi terakumulasi.

1.2. Tujuan

Tujuan dari kegiatan penulisan ini adalah untuk mengestimasi kandungan

karbon lahan rawa gambut serta perubahannya.

1.3. Manfaat

Manfaat dari penulisan ini semoga menambah pengetahuan lebih luas lagi

mengenai ilmu tentang gambut.

6
II. ISI

2.1. Karakteritik Ekosistem Lahan Gambut

Lahan gambut berasal dari bentukan gambut beserta vegetasi yang terdapat

diatasnya terbentuk di daerah yang topografinya rendah dan bercurah hujan tinggi

atau di daerah yang suhunya rendah. Tanah gambut mempunyai kandungan bahan

organik yang tinggi (> 12% carbon) dan kedalaman gambut minimum 50 cm.

Tanah gambut diklasifikasikan sebagai Histosol dalam sistem klasifikasi FAO

yaitu yang mengandung bahan organik lebih tinggi dari 30 %, dalam lapisan

setebal 40 cm atau lebih pada bagian 80 cm teratas profil tanah (Rina et al. 2008).

Gambut merupakan sumberdaya alam yang banyak memiliki kegunaan

antara lain untuk budidaya tanaman pertanian maupun kehutanan dan akuakultur.

Selain itu, dapat digunakan untuk bahan bakar, media pembibitan, ameliorasi

tanah dan untuk menyerap zat pencemar lingkungan. Menurut Radjagukguk

(2003) lahan gambut tropika yang terdapat di Indonesia dicirikan oleh antara lain :

(1) biodiversitas (keragaman hayati) yang khas dengan kekayaan keragaman flora

dan fauna; (2) fungsi hidrologisnya, yakni dapat menyimpan air tawar dalam

jumlah yang sangat besar, dimana 1 juta lahan gambut tropika setebal 2 m ditaksir

dapat menyimpan 1,2 juta m3; (3) sifatnya yang rapuh (fragile) karena dengan

pembukaan lahan dan drainase (reklamasi) akan mengalami penurunan muka

tanah (subsidence), percepatan peruraian dan resiko pengerutan tak balik

7
(irreversible drying) serta rentan terhadap bahaya erosi; (4) sifatnya yang praktis

tidak terbarukan karena membutuhkan waktu 5000 - 10.000 tahun untuk

pembentukannya sampai mencapai ketebalan maksimum sekitar 20 m, sehingga

taksiran laju penurunannya adalah 1 cm dalam 5 tahun di bawah vegetasi hutan;

(5) bentuk lahan dan sifat-sifat tanahnya yang khas, yakni lahannya berbentuk

kubah keadaannya yang jenuh atau tergenang pada kondisi alamiah serta tanahnya

mempunyai sifat-sifat fisika dan kimia yang sangat berbeda dengan tanah-tanah

mineral.

Hutan rawa gambut berfungsi sebagai pengatur tata air, dimana kubah

gambut menjaga permukaan air bawah tanah dan mencegah intrusi air laut. Selain

33 itu, juga mengatur air pada lahan-lahan pertanian serta sumber air minum

penduduk dan pemukiman sekitarnya. Pembangunan saluran drainase pada

aktivitas perkebunan dapat menyebabkan gambut menjadi kering, teroksidasi dan

menyusut yang mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah. Laju subsidensi

dalam skenario paling konservatif sekitar 5 cm dalam 1 tahun. Subsidensi yang

terjadi di dekat pantai merupakan ancaman serius dari intrusi air laut yang

mengancam produktivitas pertanian, termasuk perkebunan kelapa sawit itu sendiri

(Brady, 1997; Hooijer et al. 2006; Wosten dan Ritzema, 2002).

Lahan gambut terdiri 3 jenis yaitu gambut dangkal dengan lapisan < 50

cm, gambut sedang dengan tebal lapisan 50 – 100 cm dan gambut dalam dengan

lapisan > 200 cm. Lahan gambut mempunyai sifat marginal dan rapuh, maka

dalam pengembangannya dalam skala luas perlu kehati-hatian. Kesalahan dalam

8
reklamasi dan pengelolaan lahan mengakibatkan rusaknya lahan dan lingkungan

(Widjaja et al. 1992).

Lahan gambut yang terlantar akibat kebakaran sehingga tidak bisa

ditanami memiliki permukaan lahan yang tidak rata. Topografi lahan juga

dipengaruhi oleh besarnya penurunan muka tanah dari gambut akibat kebakaran

dan intensifikasi pengelolaan. Dradjat et al. (1986) diacu dalam Rina et al. (2008)

melaporkan laju penurunan muka tanah dalam 1 bulan mencapai 0,36 cm selama

12-21 bulan setelah reklamasi di Barambai (Kalimantan Selatan). Sedangkan

untuk gambut saprik di Talio (Kalimantan Tengah) laju subsiden setiap bulan

mencapai 0,178 cm dan gambut hemik 0,9 cm bulan. Demikian juga pada lokasi

yang sama penurunan muka tanah di Desa Babat Raya dan Kolam Kanan

Kecamatan Barambai Kalimantan Selatan mencapai antara 75-100 cm dalam masa

18 tahun (April 1978 - September 1996) (Noorginayuwati et al.1996 diacu dalam

Rina et al. 2008). Terjadinya penurunan muka tanah disebabkan oleh pengeringan

yang berlebihan, kebakaran atau pembakaran, intensifikasi pemanfaatan dan

upaya konservasi yang kurang memadai. Oleh karena itu untuk pemanfaatan lahan

gambut perlu disesuaikan dengan tipe hidrologi lahan gambut.

Salah satu upaya dapat dilaksanakan untuk memanfaatkan lahan gambut

dan mengurangi resiko terjadinya kebakaran di lahan gambut adalah

memperpendek masa bera. Pengaturan pola tanam dan pola usaha tani merupakan

alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan intensitas pertanaman dan

memperpendek masa bera. Lahan gambut tropis adalah komponen penting dari

siklus karbon global dan menjadi perhatian penting bagi The United Nations

9
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Lahan gambut

menyimpan sekitar 2150 sampai 2875 t C ha-1 dengan laju penyerapan sebesar

0,01-0,03 Gt C tahun-1 (Maltby dan Immirzi, 1993). Lahan gambut juga

mempunyai peran penting dalam fungsi penting sebagai daerah tangkapan air,

sistem kontrol, pengatur fluktuasi air, pencegah banjir dan pencegah terjadinya

penggaraman air (saline water intrusion). Selain itu, lahan gambut air tawar di

Indonesia merupakan tempat yang baik untuk berkembangbiak dan penghasil ikan

(MacKinnon et al. 2000). Kesuburan alamiah lahan gambut sangat beragam,

tergantung pada beberapa faktor: (a) ketebalan lapisan tanah gambut dan tingkat

dekomposisi; (b) komposisi tanaman penyusun gambut; (c) tanah mineral yang

berada di bawah lapisan tanah gambut. Gambut digolongkan ke dalam tiga tingkat

kesuburan yang didasarkan pada kandungan P2O5, CaO, K2O dan kadar abu

yaitu : (1) gambut eutrofik dengan tingkat kesuburan yang tinggi; (2) gambut

mesotrofik dengan tingkat kesuburan yang sedang; (3) gambut oligotrofik dengan

tingkat kesuburan yang rendah (Andriesse, 1974; Polak 1949 diacu dalam

Hartatik dan 35 Suriadikarta. 2003).

Tingkat kemasaman tanah gambut berhubungan erat dengan kandungan

asam-asam organiknya, yaitu asam humat dan asam fulvat. Bahan organik yang

telah mengalami dekomposisi mempunyai gugus reaktif seperti karboksil (–

COOH) dan fenol (C6H4OH) yang mendominasi kompleks pertukaran dan dapat

bersifat sebagai asam lemah sehingga dapat terdisosiasi dan menghasilkan ion H

dalam jumlah banyak. Diperkirakan bahwa 85 % sampai 95% muatan pada bahan

10
organik disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol tersebut (Andriesse,

1974; Miller dan Donahue, 1990 diacu dalam Rina et al. 1996).

Tingkat dekomposisi gambut dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme

heterotrofik, dimana pada gambut oligotrofik banyak menghasilkan asam

karboksilat. Tingkat kematangan gambut sangat mempengaruhi sensitivitas

mikroorganisme heterotrofik terutama pada tingkat kematangan gambut eutrofik

(Wright et al. 2009).

2.2. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Sumberdaya Lokal

Pengembangan pertanian di lahan gambut trofik dihadapkan pada

beberapa masalah biofisik antara lain : (1) lahan gambut sebagian besar terhampar

di atas lapisan pirit yang mempunyai potensi keasaman tinggi dan pencemaran

dari hasil oksidasi seperti Al, Fe dan asam organik lainnya; (2) lahan gambut cepat

mengalami perubahan lingkungan fisik setelah direklamasi antara lain menjadi

kering tidak balik, berubah sifat menjadi hidrofob dan terjadi subsidence

(penurunan muka tanah); (3) lahan gambut mudah dan cepat mengalami degradasi

kesuburan karena kehilangan unsur hara malalui pencucian oleh aliran 36

permukaan; (4) kawasan gambut merupakan lingkungan yang mempunyai potensi

jangkitan penyakit (virulensi) tinggi. Perkembangan organisme pengganggu

tanaman (gulma, hama dan penyakit tanaman) dan gangguan kesehatan manusia

(malaria, cacing) cukup tinggi (Noor, 2001).

11
Dalam kurun waktu sejak dibukanya atau dimanfaatkannya lahan oleh

petani menunjukkan terjadinya perubahan agrofisik lahan, terutama ketebalan

gambut dari lahan yang diusahakan (Rina et al. 1996).2

2. Evaluasi metode pengukuran bulk density (BD) lahan gambut

Nilai bulk density (BD) merupakan salah satu variabel utama untuk

mengestimasi kandungan karbon tersimpan pada lahan gambut. Untuk

mendapatkan nilai bulk density yang representatif dari hasil kajian ini, telah

dilakukan pengujian pengukuran BD dengan penggunaan berbagai macam alat

yang berbeda bentuk dan ukurannya yaitu: a) kotak sampel 1 (box sampler 1)

ukuran 50 cm x 50 cm x 10 cm tinggi ; b) kotak sampel 2 (box sampler 2) ukuran

30 cm x 30 cm x 10 cm tinggi; c) ring sampel (Ө = 7,6 cm, tinggi = 4 cm); dan d)

bor gambut khusus dari Eijkelkamp berbentuk setengah selinder dengan luas

penampang 10 cm2 dan panjang/tinggi 50 cm. Jumlah sampel yang digunakan

untuk masing-masing alat adalah 30 (n = 30). Asumsi yang menjadi dasar dari

kajian ini adalah, nilai pengkuran BD yang paling representatif adalah nilai yang

diperoleh dari penggunaan alat yang volumenya lebih besar yaitu kotak sampel 1.

Dasar dari asumsi ini adalah, pada umumnya gambut tropika terbentuk dari

biomassa hutan hujan tropis, sehingga material penyusun gambut sangat beragam

(heterogen) yang mana terdiri dari bahan kayu-kayuan berupa akar, daun, ranting

dan cabang dari pohon, dengan berbagai tingkat dekomposisi. Hal ini

menyebabkan nilai BD gambut tropika juga sangat beragam. Untuk penentuan

nilai BD, agar supaya sampel tanah yang diambil benar-benar mewakili kondisi

gambut yang sebenarnya, maka diperlukan alat untuk mengambil sampel tanah

12
yang representatif. Berdasarkan asumsi ini, nilai BD dari hasil pengukuran

menggunakan alat kotak sampel 1 (volume paling besar) dijadikan sebagai

referensi pembanding bagi alat-alat yang lainnya.

Menurut Soil Survey Staff (2010) tanah organik (Histosols) adalah tanah

yang:

1. Mempunyai bahan tanah organik mulai dari permukaan ke salah satu berikut:

a. Kedalaman 10 cm atau kurang dari kontak litik atau paralitik, asalkan

ketebalan bahan tanah organik lebih dari dua kali ketebalan tanah mineral di

atas kontak tersebut; atau

b. Kedalaman seberapapun apabila bahan tanah organik berada di atas bahan

fragmen (kerikil, batu, kerakal) dan celah-celahnya terisi oleh bahan tanah

organik, atau berada diatas kontak litik atau paralitik; atau

2. Mempunyai bahan organik yang memiliki batas atas di dalam kedalaman 40 cm

dari permukaan; dan

a. Mempunyai salah satu ketebalan berikut:

(1) 60 cm atau lebih, bila tiga perempat bagian atau lebih volumenya adalah serat

atau bulk density kurang dari 0,1 gr cm-3 (6,25 pon per kaki kubik); atau

(2) 40 cm atau lebih, bila:

(a) Bahan tanah organik jenuh air dalam waktu lama (lebih dari 6 bulan) atau

telah didrainase; dan

(b) Bahan organik terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau terdiri dari bahan

fibrik yang kurang dari tiga perempat bagian volumenya adalah serat dan bulk

density 0,1 gr cm-3

13
Lahan gambut terbentuk karena pada kondisi alami akumulasi bahan organik

lebih besar dari laju dekomposisisinya sehingga terjadi penumpukan bahan

organik (Roulet, 2000; Zhang et al., 2002; Chmura et al., 2003; DeBusk dan

Reddy, 2003). Menurut Keddy (2000) diantara ekosistem yang ada di bumi ini,

ekosistem lahan basah atau gambut adalah sistim yang paling produktif dalam

menyerap karbon dari atmosfer yakni mencapai 1300 gr C m atau lebih; dan b.

Mempunyai bahan tanah organik yang:

(1) Tidak memiliki lapisan mineral sampai setebal 40 cm baik pada permukaan

ataupun yang batas atasnya di dalam kedalaman 40 cm dari permukaan; dan

(2) Tidak memiliki lapisan-lapisan mineral, yang secara komulatif, sampai setebal

40 cm dari permukaan; dan

3. Tidak memiliki sifat-sifat tanah andik dalam lapisan setebal 35 cm atau lebih

di dalam kedalaman 60 cm dari permukaan.

Merupakan kaidah umum bahwa tanah diklasifikasikan sebagai suatu tanah

organik (Histosols) apabila lebih dari separuh lapisan tanah teratas 80 cm (32

inchi) merupakan bahan tanah organik, atau apabila bahan tanah organik dengan

ketebalan berapapun berada di atas bahan fragmen yang mempunyai celah-celah

terisi bahan organik.

Proses pembentukan gambut

Menurut Bernal (2008) lahan basah daerah tropika di Costa Rica

mengakumulasikan sekitar 263 gr C m-2 th-1 dan lahan basah daerah temperate di

14
Ohio mengakumulasikan sekitar 140 gr C m-2 th-1. Namun, prediksi yang lebih

rendah disampaikan oleh Chmura et al. (2003) yakni hanya sekitar 20 to 30 gr C

m-2 th-1. Laju akumulasi bahan gambut sebenarnya juga dipengaruhi oleh: lokasi

geogafis lahan gambut (selatan>utara), umur (muda>tua), jenis (rawa>fens), iklim

(kering<humid) dan posisi (dataran tinggi>depressi) (Asada dan Warner, 2005;

Chun Mei et al., 2009).

Faktor-faktor yang menyebabkan lambatnya laju dekomposisi sehingga

terjadi akumulasi bahan organik pada lahan gambut alami diantaranya adalah:

adanya bahan organik yang tidak mudah lapuk (Dai et al., 2002; White et al.,

2002), rendahnya konsenterasi oksigen karena dalam kondisi tergenang air,

temperatur rendah (khususnya pada daerah iklim temperate), tingkat kemasaman

rendah, dan terbatasnya unsur hara (Baldock dan Skjemstad, 2000; Hobbie et al.,

2000; Blodau, 2002; Dai et al., 2002; White et al., 2002; Bridgham dan

Richardson, 2003; Yavitt et al., 2004; Bertrand et al., 2007). Menurut Hobbie et

al. (2000) dan Yavitt et al. (2004) pada kodisi suhu dingin dan/atau anaerob

aktivitas mikroorganisme perombak bahan organik terhalang, sehingga proses

dekomposisi bahan organik berjalan dengan lambat, akibatnya terjadi

penumpukan bahan organik. Dua kondisi inilah yaitu suhu dingin dan kekurangan

oksigen (anerob) yang membedakan proses pembentukan gambut antara daerah

temprate dengan daerah tropika, yang mana di daerah temprate pembentukan atau

akumulasi gambut terjadi akibat suhu dingin (<80C), sedangkan di daerah tropika

akumulasi gambut terjadi karena suasana anaerob biasanya karena

jenuh/tergenang air (waterlogged). Menurut Maas (2003) di daerah tropis tanah

15
gambut terdiri dari batang tubuh-tumbuhan mati yang terhambat proses

dekomposisinya akibat air tergenang secara permanen/suasana anaerob dan kahat

hara. Bukti-bukti yang mengindikasikan lambatnya proses dekomposisi bahan

organik pada lahan gambut adalah masih dapat ditemukan bahan organik dalam

bentuk seperti aslinya seperti batang, cabang dan akar-akar besar

(Murdiyarso et al., 2004).

Berkaitan dengan proses pembentukan gambut, Sarwono (2003)

merangkum teori evolusi proses pembentukan gambut yaitu: tahapan pertama,

merupakan proses akumulasi bahan organik (menghasilkan bahan induk) yang

dikenal dengan proses geogenesis; tahapan kedua, merupakan proses pematangan

gambut yang terjadi pada awal reklamasi atau pengeringan tanah gambut dikenal

dengan proses pedogenesis yang meliputi: (a) proses pematangan fisik, yaitu

pematangan disebabkan oleh dehidratasi akibat pengeringan (drainase dan

evaporasi), (b) proses pematangan kimia, terjadi karena bahan gambut kehilangan

kelembaban dan masuknya udara ke dalam pori-porinya, (c) proses pematangan

biologi, terjadi akibat pencampuran bahan gambut oleh mikrofauna, yang

menghasilkan mull atau moder. Pembentukan mull terjadi pada tanah gambut

yang mengandung liat dan pH tinggi sampai sedang. Sedangkan pembentukkan

moder terjadi pada lapisan atas (topsoil) tanpa dan/atau dengan kadar liat yang

rendah.

Menurut Sabiham (2006) proses pembentukan gambut di Indonesia sama

dengan gambut daerah tropis lainnya. Awal terbentuknya endapan gambut di

Indonesia diperkirakan sekitar 11.000 BP (BP= Before Period, yaitu dicatat

16
sebelum tahun 1950). Kejadian terbentuknya endapan gambut di Indonesia

berkaitan erat dengan peristiwa transgresi dan regresi air laut pada Zaman Kuarter

(Holosen) yang membentuk dataran-dataran pantai dan daerah cekungan, seperti

di pulau-pulau sekitar Dataran Sunda dan Dataran Sahul. Lebih lanjut detegaskan

oleh Sabiham (2006) bahwa dengan adanya proses sedimentasi dan progradasi

menyebabkan garis pantai cenderung bertambah ke arah laut. Daerah-daerah ini

kemudian ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi yang mampu beradaptasi dengan

kondisi lingkungan dan mengisi cekungan-cekungan tersebut. Di daerah pantai

dan dataran rendah (cekungan), mula-mula terbentuk gambut topogen karena

kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tingginya permukaan air sungai,

terjadi peningkatan penumpukan serasah tanaman, menghasilkan pembentukan

hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome).

Pengelompokan gambut

Menurut Soil Survey Staff (2010) berdasarkan tingkat kematangan atau

kandungan serat, tanah gambut dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu:

a. Fibrik, memiliki kandungan serat lebih dari ¾ volume tanah (terombak < 33%).

b. Hemik, kandungan seratnya antara fibrik dan saprik (terombak 33 – 66%), dan,

c. Saprik kandungan seratnya kurang dari 1/6 dari volume tanah (terombak

>66%).

Secara umum dapat dijelaskan bahwa gambut fibrik adalah apabila bahan

vegetasi aslinya masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami

dekomposisi, hemik apabila tingkat dekomposisinya sedang, dan saprik apabila

tingkat dekomposisinya telah lanjut. Karena bulk density (BD) meningkat dengan

17
meningkatnya tingkat dekomposisi maka parameter ini juga telah digunakan

sebagai kriteria dalam mengkarakterisasi gambut. Gambut mempunyai

keberagaman yang cukup tinggi tergantung pada lingkungan fisiknya.

Berdasarkan lingkungan fisiknya, lahan gambut dibedakan atas enam macam

bentuk (Noor, 2001), yaitu:

1. Gambut daratan rawa pantai

2. Gambut rawa lagun

3. Gambut cekungan atau lembah kecil yang menyatu dengan daratan

4. Gambut yang terisolasi pada lembah sungai

5. Gambut endapan karang (khusus kawasan salinitas)

6. Gambut rawa delta

Menurut lingkungan pembentukan dan fisiografi lahan gambut dapat

dibedakan atas empat tipe lahan gambut (Noor, 2001), yaitu:

1. Gambut cekungan (basin peat) adalah gambut yang terbentuk didaerah

cekungan, lembah sungai atau rawa burit atau rawa belakang.

2. Gambut sungai (river peat) adalah gambuit yang terbentuk di sepanjang

sungai yang masuk kedaerah lembah kurang dari 1 km.

3. Gambut daratan tinggi (highland peat) adalah gam,but yang terbentuk di

punggung-punggung bukit atau pegunungan

4. Gambut daratan pesisir atau pantai (coastal peat) adalah gambut yang

terbentuk di sepanjang garis pantai.

Berdasarkan ketebalannya, gambut dikelompokan menjadi empat tipe

(Wahyunto et al., 2003, 2004 dan 2007), yaitu:

18
1. Gambut dangkal dengan ketebalan 0,5 -1 m,

2. Gambut sedang dengan ketebalan 1 - 2 m,

3. Gambut dalam dengan ketebalan 2 - 3 m dan

4. Gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3 m

Sifat-Sifat Tanah Gambut

Sifat inheren gambut yang penting adalah sangat sensitif terhadap

perubahan lingkungan. Menurut Sarwono (2003) sifat inheren gambut tropika

yang kurang menguntungkan diantaranya adalah kering tidak balik (irreversible

drying) dan penurunan (subsidence). Apabila mengalami pengeringan yang

berlebihan koloid gambut menjadi rusak sehingga terjadi gejala kering tidak balik

dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara

dan menahan air sehingga membuatnya peka tererosi. Lebih lanjut dijelaskan oleh

Sarwono (2003) bahwa gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5 minggu

mengalami pengeringan, kondisi ini menyebabkan gambut mudah terbakar. Tanah

gambut juga memiliki sifat penurunan permukaan tanah yang besar setelah

dilakukan drainase. Hubungan antara subsidence dengan saluran drainase pada

tanah gambut dikemukakan oleh Fitzgerald et al. (2005) sebagaimana

diilustrasikan menurut persamaan berikut :

Subsidence = (-0,1202 x kedalaman saluran + 0,0162) x Ln (jarak dari saluran

drainase) + (0,8102 x kedalaman drainase – 0,4079)

Pemanfaatan Lahan Gambut di Indonesia

19
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang

berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim

dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tergantung pada

iklim dan dimana tanah tersebut ditemukan. Karena bulk density (BD) rendah,

maka tanah gambut lebih sesuai untuk tanaman sayuran (Sarwono, 2003). Di

Indonesia, tanah gambut banyak diusahakan untuk tanaman padi terutama untuk

gambut yang tidak terlalu dalam dan ada pula untuk tanaman buah-buahan (seperti

nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman perkebunan (terutama kelapa, kelapa

sawit, kopi dan karet), dan Acasia crasicarpa sebagai hutan tanaman industri

(Sabiham, 2006).

Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress

air yang berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah

irigasi pada saat yang tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan

penggunaan air yang optimum. Untuk penanaman tanaman pada lahan gambut

khususnya tanaman semusim, pengaturan irigasi harus mempertimbangkan saat

dan kebutuhan tanaman dan disesuaikan dengan ketersediaan air tanah di atas

water table.

Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut

Apabila terjadi konversi hutan gambut yang biasanya diikuti dengan

pembuatan drainase, maka akan berdampak terhadap unit-unit hidrologi dari hutan

rawa gambut tersebut. Sebagai contoh, terjadinya penurunan kadar air gambut

dibawah batas kritis, menyebabkan tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak

dapat lagi menyerap air. Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh sisa

20
tanaman (daun, dahan, ranting, batang) mengalami kondisi aerob menyebabkan

aktivitas bakteri pembusuk akan meningkat. Setelah bakteri pembusuk mulai

mendekomposisi gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon, maka karbon

yang tersimpan did alam bagian bahan tersebut akan teremisi ke udara dalam

bentuk CO2 dan memenuhi lapisan ozon sehingga akan menciptakan efek rumah

kaca (green house effect) hal ini dapat memacu terjadinya pemanasan global yang

berdampak terhadap naiknya suhu bumi dan berubahnya iklim global.

Pada kondisi lahan gambut di drainase, serasah dan bahan gambut

mengalami pelapukan yang lebih cepat. karena proses dekomposisi pada kondisi

aerobik jauh lebih cepat dibandingkan pada kondisi anaerobik. Menurut Kirk

(2004) pengaruh peningkatan kondisi aerase terhadap peningkatan tingkat

dekomposisi dapat pula diikuti oleh penurunan pH gambut, dan penurunan suhu

gambut, kedua hal ini sangat penting dalam menentukan tingkat dekomposisi

bahan organik. Proses yang terjadi adalah, pada kondisi lahan gambut alami di

atas tanah mineral, aliran air bawah tanah yang berasal dari lahan tanah mineral

disekitarnya membawa kation-kation basa masuk ke lahan gambut sehingga dapat

menetralkan asam-asam organik gambut. Setelah gambut didrainase, aliran air

dari luar yang masuk ke area lahan gambut menjadi terhalang oleh saluransaluran,

sementara itu kation-kation basa tetap lebih banyak diambil oleh tanaman untuk

meningkatkan pertumbuhannya, sehingga menyebabkan pH gambut jadi turun.

Secara umum, menurut Minkkinen et al. (1999) dalam periode waktu yang

lama setelah didrainase terjadi penurunan konduktivitas thermal pada permukaan

21
gambut dan peningkatan naungan oleh tajuk tanaman yang tumbuh di atas lahan

gambut tersebut menyebabkan suhu permukaan gambut menjadi turun.

Pengaruh Pola dan Dimensi Saluran Drainase

Lahan gambut pada kondisi alami adalah jenuh air sepanjang tahun.

Konversi lahan gambut untuk usaha tanaman tahunan memerlukan sistim

pengelolaan air untuk menurunkan permukaan air dan membuang air hujan yang

berlebih.Untuk menghindari subsidence yang berlebihan dan mengatasi

kekurangan air dimusim kering, dalam muka air tanah perlu dikontrol melalui

pembuatan saluran drainase. Oleh karena karakteristik gambut sangat unik, supaya

air hujan tidak mengalir sebagai aliran permukaan (run off) tetapi sebagai aliran

bawah tanah, maka desain dari saluran drainase seharusnya berdasarkan kepada

karakteristik hidraulik tanah gambut tersebut yaitu kecepatan infiltrasi, kapasitas

penyimpanan air dan permeabilitas. Menurut Wosten dan Ritzema (2001) untuk

drainase lahan gambut tropika pendekatan menurut “persamaan Hooghudt” dapat

digunakan untuk menentukan jarak antar saluran drainase, yang mana jarak

saluran drainase dapat berdasarkan kepada keperluan drainase selama kondisi

muka air tanah normal, sedangkan dimensi saluran berdasarkan kepada kondisi

muka air tanah tinggi.

Ada beberapa pola dari drainase yang umum digunakan diantaranya

adalah: a) pola herringbone, yaitu pola drainase dengan satu atau dua saluran

vertikal yang mempunyai saluran cabang berbentuk diagonal masuk ke saluran

utama tersebut, semua saluran cabang membentuk kemiringan dengan saluran

utama, pola ini baik karena memungkinkan saluran menangkap air untuk masuk

22
ke saluran dari semua permukaan lahan, b) pola gridiron, terdiri dari saluran

lateral yang paralel masuk ke saluran utama, pola ini kurang ekonomis, c) pola

random, digunakan pada daerah basah/tergenang tersebar di hamparan yang agak

terisolasi antara satu dengan lainnya lain, dan d) pola interseptor, digunakan untuk

mencegat air rembesan dari lereng bukit yang disebabkan oleh air rembesan

bergerak secara horizontal melalui lapisan permeabel yang berada di atas lapisan

kedap air (Anonim, 2010b).

23
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Evaluasi Metode Pengukuran Karbon Tersimpan Pada Lahan Gambut

1. Evaluasi metode pengukuran bulk density (BD) lahan gambut

Nilai bulk density (BD) merupakan salah satu variabel utama untuk

mengestimasi kandungan karbon tersimpan pada lahan gambut. Untuk

mendapatkan nilai bulk density yang representatif dari hasil kajian ini, telah

dilakukan pengujian pengukuran BD dengan penggunaan berbagai macam alat

yang berbeda bentuk dan ukurannya yaitu: a) kotak sampel 1 (box sampler 1)

ukuran 50 cm x 50 cm x 10 cm tinggi ; b) kotak sampel 2 (box sampler 2) ukuran

30 cm x 30 cm x 10 cm tinggi; c) ring sampel (Ө = 7,6 cm, tinggi = 4 cm); dan d)

bor gambut khusus dari Eijkelkamp berbentuk setengah selinder dengan luas

penampang 10 cm2 dan panjang/tinggi 50 cm. Jumlah sampel yang digunakan

untuk masing-masing alat adalah 30 (n = 30). Asumsi yang menjadi dasar dari

kajian ini adalah, nilai pengkuran BD yang paling representatif adalah nilai yang

diperoleh dari penggunaan alat yang volumenya lebih besar yaitu kotak sampel 1.

Dasar dari asumsi ini adalah, pada umumnya gambut tropika terbentuk dari

biomassa hutan hujan tropis, sehingga material penyusun gambut sangat beragam

(heterogen) yang mana terdiri dari bahan kayu-kayuan berupa akar, daun, ranting

24
dan cabang dari pohon, dengan berbagai tingkat dekomposisi. Hal ini

menyebabkan nilai BD gambut tropika juga sangat beragam. Untuk penentuan

nilai BD, agar supaya sampel tanah yang diambil benar-benar mewakili kondisi

gambut yang sebenarnya, maka diperlukan alat untuk mengambil sampel tanah

yang representatif.

Menurut Susanne dan Jonathan (1999) meningkatnya BD lahan gambut

berkaitan erat dengan proses pengeringan akibat drainase, yang mana isapan

matrik tanah menjadi lebih besar karena penurunan kadar air sehingga

menyebabkan terjadinya penyusutan (shrinkage) pada material gambut, kondisi

ini berdampak terhadap penurunan volume pori. Berkaitan dengan teori tersebut,

indikasi telah terjadi pemadatan pada permukaan lahan pada semua lokasi kajian

ini ditandai oleh nilai BD pada permukaan gambut lebih tinggi dibandingkan

lapisan di bawahnya. Pada sisi lain, indikasi telah terjadi kehilangan gambut

akibat proses dekomposisi dapat diketahui dari kadar abu pada lapisan permukaan

gambut lebih tinggi dibandingkan kadar abu lapisan di bawahnya.

Menurut Gronlund et al. (2008) peningkatan kadar abu pada permukaan

lahan gambut disebabkan oleh hilangnya bahan organik dari lapisan gambut

tersebut karena proses mineralisasi menyisakan bahan mineral (abu) yang

terkonsentrasi pada lapisan atas lahan. Secara umum, dari kajian ini terlihat ada

kecendrungan kenaikan BD diikuti pula oleh kenaikan kadar abu. Hal ini

mengindikasikan bahwa ada keterkaitan antara BD dengan kadar abu. Untuk

melihat keterkaitan antara BD dengan kadar abu, telah dilakukan analisa regresi

linear sederhana.

25
Menurut Lasco (2002) cadangan karbon tersimpan dalam vegetasi di hutan

tropika Asia berkisar antara 40-250 ton C ha-1. Data kajian ini mendukung apa

yang dikemukakan Lasco (2002) terebut, yang mana terlihat bahwa cadangan

karbon tersimpan pada vegetasi hutan gambut tropika di Aceh berkisar antara

152,51 – 263,38 ton C ha-1 yang diwakili oleh data dari hutan di desa Cot Gajah

Mati dan di desa Simpang Informasi mengenai kerapatan karbon (carbon density)

pada lahan gambut juga berguna untuk menduga cadangan karbon pada material

gambut tersebut. Yang dimaksud dengan kerapatan karbon pada lahan gambut

pada kajian ini adalah total karbon yang terkandung dalam setiap meter kubik (m3

Umumnya kerapatan karbon pada lahan gambut meningkat setelah lahan gambut

tersebut didrainase dan/atau dikonversi menjadi penggunaan lainnya.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai kerapatan karbon pada

berbagai lokasi lahan gambut yang didrainase bervariasi dari 28,30 - 57,17 kg C

m gambut pada kondisi alaminya di lapangan. Nilai rata-rata kerapan karbon

gambut

Page et al. (2002) menyarankan bahwa nilai 60 kg C m-3 adalah representatif

untuk kerapatan karbon (carbon density) gambut di Asia Tenggara, sedangkan

hasil penelitian Wahyunto et al. (2010) melaporkan bahwa kerapatan karbon lahan

gambut Indonesia pada penggunaan lahan hutan sekunder, semak belukar,

tanaman semusim (sawah dan lahan kering), kebun kelapa sawit secara berurutan

adalah 27,06 - 94,37 kg m-3, 25,54 – 121,39 kg m-3, 29,13 – 86,23 kg m-3, dan

38,57 – 126,61 kg m-3. Secara umum dari data Tabel 8 terlihat bahwa kerapatan

26
kabon paling rendah ditemukan pada lokasi desa Simpang dan Cot Gajah mati

pada jenis penggunaan lahan hutan, kemudian diikuti lokasi di desa Simpang pada

jenis penggunaan lahan karet.umur >15 tahun dan tertinggi di lokasi Suak

Puntong pada penggunaan lahan kelapa sawit umur >10 tahun. Hal ini

mengindikasikan bahwa kerapatan karbon pada lahan gambut yang didrainase

berkaitan dengan penggunaan lahan. Menurut Laiho dan Finér (1996) bahwa

pemadatan gambut juga terjadi karena peningkatan berat dari vegetasi yang

tumbuh di atasnya. Dari hasil kajian ini mengindikasikan bahwa konversi hutan

gambut menjadi penggunaan lain, khususnya kelapa sawit dan karet nyata

meningkatkan kerapatan karbon, sedangkan pada penggunaan lahan semak

belukar belum terjadi perubahan peningkatan kerapatan karbon gambut yang

signifikan dibandingkan kondisi hutan

Secara umum fenomena yang terlihat adalah, semakin jauh lokasi dari

saluran drainase kehilangan karbon semakin kecil. Fenomena ini sejalan dengan

hasil pengamatan terhadap dalam muka air tanah maksimum dan subsidence, yang

mana semakin jauh dari saluran drainase dalam muka air tanah maksimum

semangkin dangkal dan subsidence semakin kecil. Hasil ini mengindikasikan

bahwa ada keterkaitan antara dalam muka air tanah, kehilangan karbon dan

subsidence. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa kehilangan karbon berkorelasi

positif sangat nyata dengan subsidence dan dalam muka air tanah maksimum.

Dari data yang ada yaitu pola transek dalam muka air tanah, pola transek kejadian

subsidence dan kehilangan karbon, keterkaitan tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut: Berdasarkan hasil kajian, semakin jauh dari saluran drainase dalam muka

27
air tanah semakin dangkal, kondisi ini menyebabkan pada lokasi dekat saluran

drainase volume gambut dalam kondisi aerob lebih banyak dibandingkan yang

jauh dari saluran, sehingga aktivitas dekomposisi gambut juga lebih banyak pada

lokasi yang dekat saluran dibandingkan yang jauh dari saluran.

Berkaitan dengan hasil kajian ini, menurut Couwenberg (2009) drainase

menyebabkan gambut teroksidasi. sehingga mengakibatkan banyak gambut yang

hilang sehingga terjadi subsidence. Hooijer et al. (2006) telah membuat satu

bentuk hubungan linear antara ke dalaman drainase dengan emisi tahunan CO2

yang mana untuk setiap 10 cm ke dalaman drainase akan mengemisikan sekitar

9,1 ton CO2 ha-1 th-1. Wösten dan Ritzema (2001) mengemukakan bahwa

dengan metode pengamatan subsidence memperkirakan bahwa untuk setiap 10 cm

ke dalaman drainase terjadi emisi CO2 sebanyak 13 ton ha-1 th-1 Drainase pada

lahan gambut bertujuan untuk menurunkan permukaan air tanah. Menurut

Chimner dan Cooper (2003) pada keadaan muka air tanah yang dangkal akan

menyebabkan lingkungan tanah pada kondisi anaerobik, sehingga mengurangi

terjadinya proses dekomposisi, sebaliknya jika permukaan air tanah dalam (jauh)

akan meningkatkan kondisi aerobik sejalan dengan itu juga meningkatkan proses

dekomposisi bahan gambut. Dari hasil kajian ini ditemukan bahwa kedalaman

muka air tanah berkaitan erat dengan kehilangan karbon. Sehingga diperkirakan

untuk tahun-tahun selanjutnya pada lahan gambut yang didrainase kehilangan

karbon dan penurunan permukaan tanah akan terus berlanjut. itu. pengelolaan

tinggi muka air tanah pada lahan gambut yang didrainase sangat penting

28
diperhatikan dalam kaitannya dengan emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan

gambut.

Apabila kejadian subsidence ini dikaitkan dengan sejarah penggunaan

lahan pada masing-masing lokasi kajian (seperti yang dijelaskan dalam metode

penelitian) ditemukan bahwa subsidence dipengaruhi oleh umur saluran drainase.

Terlihat bahwa subsidence lebih besar pada lokasi yang baru dibuat saluran

drainasenya dibandingkan dengan lokasi yang saluran drainasenya sudah lama,

sedangkan. contoh adanya pengaruh perbedaan umur saluran drainase terhadap

besar kecilnya subsidence, dapat dilihat dengan membandingkan subsidence pada

penggunaan lahan.

29
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

1. Luas tanah gambut di Sumatera pada kondisi tahun 1990 adalah 6.559.657 ha.

Pada kondisi tahun 2002 terlihat adanya perubahan sebagai akibat pembukaan

lahan untuk pertanian, sehingga lahan gambut yang tanahnya tergolong tanah

gambut (ketebalan > 50 cm) adalah 6.110.852 ha. Tanah gambut terluas

terdapat di Provinsi Riau, kemudian diikuti Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera

Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Lampung dan Bengkulu.

2. Kandungan karbon tanah gambut berdasarkan hasil perhitungan terhadap bobot

isi, kandungan karbon organic pada luasan dan ketebalan yang tercantum pada

peta skala 1:250.000 adalah pada kondisi tahun 1990 yakni sekitar 22.283,2

juta ton karbon, dan pada kondisi 2002 sekitar 18.813,4 juta ton karbon,

sehingga terjadi penyusutan sebesar 3.469,8 juta ton karbon selama 12 tahun.

3. Penyusutan gambut tertinggi terjadi pada tanah gambut dengan kedalaman

sedang yang pada tahun 1990-an telah dibuka untuk pemukiman/pertanian

tanaman semusim, kemudian menyusul tanah gambut dengan kedalaman

30
sangat dalam yang akhir-akhir ini dibuka untuk perkebunan kelapa sawit dan

areal hutan tanaman industri.

3.2. Saran

Diharapkan pembaca memberikan masukan yang bermanffat dari penulisan

makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., K. Hairiah dan A. Mulyani. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon Tanah
Gambut. Petunjuk Praktis. World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA
Regional Office dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Bogor, Indonesia. 58 p.

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Cetakan Ketiga. Bogor: IPB Press.

Anonim. 2008. Pendahuluan [http://tep.fateta.ipb.ac.id/elearning/media/energy


%20 dan%20Listrik%20Pertanian/MATERI%20ELP/Bab%20II
%20BIOMASSA/ pendahuluan.html]

Atiek W, Andree E, Ronny S. alih Guna Lahan di Kabupaten Numukan:


Pendugaan Cadangan Karbon berdasarkan Tipe Tutupan Lahan dan
Kerapatan Vegetasi pada Skala Landskap. 2003. [
www.worldagroforestry.org/sea/publications /files/book/BK0089-05-
2.PDF-].

Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A


Primer. FAO. USA. FAO Forestry Paper No.134.

Chapman SB. 1976. Method in Plant Ecology. 2 nd ed. Osford : Blackwell


Scientific Publisher. 145 - 120 p.

Daniel, T.W., J.A. Helms and F.S. Baker. 1979. Principles of Silviculture 2nd
edition. McGraw & Hill, New York.

Departemen Kehutanan. 2006. Statistik Kehutanan Indonesia 2005. Jakarta:


Dephut 2006.

Hairiah K, Rahayu S. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran Karbon Tersimpan di


Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre-
ICRAF, Sea Regional Office. University of Brawijaya Unibraw, Indonesia.

31
Harimurti. 1999. Interpretasi Visual Foto Udara Digital pada Layar Monitor.
Skripsi
S1. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kazaz, Charles. 2001. Contaminated Lands - Presentation of Bill 72 Establishing


New Rules for the Protection and Rehabilitation of Contaminated Lands.
85256B360077D436/$File/ENVIROBULLETIN_FLASH_ANG.PDF?
OpenElement [29 Desember 2003].

Kementrian Lingkungan Hidup. 2003. Studi Strategi Nasional mengenai


Pelaksanaan CDMdi Indonesia di Sektor Kehutanan. Jakarta: s.n, 2003.

Lillesand, T.M., dan R.W. Kiefer. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Cetakan ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Manuri, S., C.A.S. Putra dan A.D. Saputra. 2011. Tehnik Pendugaan Cadangan
Karbon Hutan. Merang REDD Pilot Project, German International
Cooperation – GIZ. Palembang

Onrizal. 2004. Model Penduga Biomassa dan Karbon Tegakan Hutan Kerangas di
Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. [tesis] Bogor.
Program Pascasarjana, Institute Pertanian Bogor.

Peace. 2007. Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya.
[www.peace.co.id].

Rahayu S, Betha L, Meine van Noordwijk. 2004. Pendugaan Cadangan Karbon di


Atas Permukaan Tanah Pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di
Kabupaten Numukan, Kalimantan Timur [www.worldagroforestry.org/sea/
Publications/ files/book/BK0089-05-2.PDF-]

Rahmawaty, 2004. Hutan : Fungsi dan Peranannya bagi Masyarakat. Program


Ilmu Kehutanan. Universitas Sumatera Utara.
Reksohadiprodjo, s., Brodjonegoro. 2000. Ekonomi Lingkungan. BPFE
Yogyakarta. Edisi Kedua. Yogyakarta.

Salim. 2005. Profil Kandungan Karbon Pada Tegakan Puspa (Schima wallichii
Korth) [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Saragih, J.G. 2010. Implementasi REDD dan Persoalan Kebun Sawit Di


Indonesia. Sawit Watch Official Web Site; http://www.sawitwatch.or.id
Generated: 4 February, 2010.

Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for
Making and Interpreting Soil Surveys. Second Edition. Agr. Handb. 436,
Natural Resources Conservation Service-USDA.

32
Subagyo, H. 1997. Potensi pengembangan dan tata ruang lahan rawa untuk
pertanian. h. 17-55. Dalam A.S. Karama et al. (penyunting). Prosiding
Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Makalah Utama. Jakarta,
25-27 Juni 1996.

Tomich, T.P., H. de Foresta, K. Dennis, D. Murdiyarso, Q.M. Katterings, F. Stolle,


Suyanto, and M. van Noordwijk, M. 2001. Carbon sequestration for
conservation and development in Indonesia. Submitted to American
Journal of Alternative Agriculture.

Ward, D.E, and R.J. Yokelson. 1996. Progress in smoke Charaterization and
Modelling. AFM Coference on Transboundary Pollution. Kuala Lumpur.

Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A.S. Karama. 1992.
Sumberdaya lahan rawa: Potensi, keterbatasan, dan pemanfaatan. h. 19-38.
Dalam Sutjipto P. dan M. Syam (penyunting). Risalah Pertemuan Nasional
Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua,
3-4 Maret 1992.

Zain, AS. 1997. Aspek Pembinaan kawasan Hutan dan stratifikasi Hutan Rakyat.
Penerbit Rineka cipta. Jakarta.

33

Anda mungkin juga menyukai