Disusun Oleh :
Herniana Noer Pritayanti
472014019
1.2. Manfaat
Penerapan HACCP terhadap jus tempe bermanfaat untuk menjaga kualitas
makanan agar dapat membantu penyembuhan pasien dengan memberikan makanan yang
aman dan baik bagi tubuh.
1.3. Tujuan
Tujuan dilakukannya penerapan HACCP terhadap jus tempe yaitu untuk
menganalisis bahaya yang mungkin terjadi pada setiap proses pembuatannya hingga
sampai dikonsumsi pasien serta mencegah atau memperbaiki bahaya tersebut melalui
pengendalian bahaya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HACCP adalah kepanjangan dari Hazard Analysis and Critical Control Point (Analisa
Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis), mempunyai pengertian bahwa HACCP merupakan
sistem manajemen keamanan pangan atau sebuah upaya untuk mengelola pangan dengan
jalan mengurangi resiko kontaminasi mulai dari bahan baku, proses produksi hingga
penyajian agar produk aman dikonsumsi. (6)
Sistem HACCP terdiri dari tujuh prinsip, yaitu : 1) Melaksanakan Analisa Bahaya; 2)
Menentukan Titik Kendali Kritis (CCP); 3) Menetapkan batas kritis; 4) Menetapkan sistem
untuk memantau pengendalian TKK (CCP); 5) Menetapkan tindakan perbaikan untuk
dilakukan jika hasil pemantauan menunjukkan bahwa suatu titik kendali kritis tertentu
tidak dalam kendali; 6) Menetapkan prosedur verifikasi untuk memastikan bahwa sistem
HACCP bekerja secara efektif; 7) Menetapkan dokumentasi mengenai semua prosedur dan
catatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip sistem HACCP dan penerapannya. (7)
Hazard Analysis, adalah analisis bahaya atau kemungkinan adanya risiko bahaya
yang tidak dapat diterima. Bahaya disini adalah segala macam aspek mata rantai produksi
pangan yang tidak dapat diterima karena merupakan penyebab masalah keamanan
pangan. Bahaya tersebut meliputi :(5)
- Keberadaan yang tidak dikehendaki dari pencemar biologis, kimiawi, atau fisik
pada bahan mentah.
- Pertumbuhan atau kelangsungan hidup mikroorganisme dan hasil perubahan
kimiawi yang tidak dikehendaki (misalnya nitrosamin) pada produk antara atau
jadi, atau pada lingkungan produksi.
- Kontaminasi atau kontaminasi ulang ( cross contamination) pada produk antara
atau jadi, atau pada lingkungan produksi.
Critical Control Point (CCP atau titik pengendalian kritis), adalah langkah dimana
pengendalian dapat diterapkan dan diperlukan untuk mencegah atau menghilangkan
bahaya atau menguranginya sampai titik aman. Titik pengendalian kritis (CCP) dapat
berupa bahan mentah, lokasi, praktek, prosedur atau pengolahan dimana pengendalian
dapat diterapkan untuk mencegah atau mengurangi bahaya. Ada dua titik pengendalian
kritis :(5)
- Titik Pengendalian Kritis 1 (CCP-1), adalah sebagai titik dimana bahaya dapat
dihilangkan
- Titik Pengendalian Kritis 2 (CCP-2), adalah sebagai titik dimana bahaya dikurangi.
Batas kritis adalah nilai yang memisahkan antara nilai yang dapat diterima dengan
nilai yang tidak dapat diterima pada setiap CCP. Titik pengendalian kritis (CCP) dapat
merupakan bahan mentah/baku, sebuah lokasi, suatu tahap pengolahan, praktek atau
prosedur kerja, namun harus spesifik, misalnya:
- Tidak adanya pencemar tertentu dalam bahan mentah/baku.
- Standar higienis dalam ruangan pemasakan /dapur
- Pemisahan fasilitas yang digunakan untuk produk mentah dan yang untuk produk
jadi/masak.
Kriteria yang seringkali digunakan mencakup pengukuran-pengukuran terhadap
suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, water activity (aw), keasaman, bahan pengawet,
konsentrasi garam, viskositas, adanya zat klorin, dan parameter indera (sensory) seperti
kenampakan visual dan tekstur. (5,7)
Dalam sistem HACCP, pemantauan atau monitoring didefinisikansebagai
pengecekan bahwa suatu prosedur pengolahan dan penanganan pada CCP dapat
dikendalikan atau pengujian dan pengamatan yang terjadwal terhadap efektivitas proses
untuk mengendalikan CCP dan limit kritisnya dalam menjamin keamanan produk.
Biasanya perlu juga dicantumkan frekuensi pemantauan yang ditentukan berdasarkan
pertimbangan praktis. Lima macam pemantauan yang penting dilaksanakan antara lain:
pengamatan, evaluasi, sensorik, pengukuran sifat fisik, pengujian kimia, pengujian
mikrobiologi. (5) Sebagian prosedur pemantauan untuk TKK perlu dilaksanakan secara
cepat, karena berhubungan dengan proses yang berjalan dan tidak tersedia waktu lama
untuk melaksanakan pengujian analitis. Pengukuran fisik dan kimia seringkali lebih
disukai daripada pengujian mikrobiologi, karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan
sering menunjukkan pengendalian mikrobiologi dari produk. Semua catatan dan dokumen
yang terkait dengan kegiatan pemantauan TKK harus ditandatangani oleh orang yang
melakukan pengamatan dan oleh petugas yang bertanggungjawab melakukan peninjauan
kembali dalam perusahaan tersebut. (7)
Tindakan perbaikan adalah kegiatan yang dilakukan bila berdasarkan hasil
pengamatan menunjukkan telah terjadi penyimpangan dalam CCP pada batas kritis
tertentu atau nilai target tertentu atau ketika hasil pemantauan menunjukkan
kecenderungan kurangnya pengendalian. (5) Tindakan-tindakan harus memastikan bahwa
CCP telah berada di bawah kendali. Tindakan-tindakan harus mencakuo disposisi yang
tepat dari produk yang terpengaruh. Penyimpangan dan prosedur disposisi produk harus
didokumentasikan dalam catatan HACCP. (7)
Sistem verifikasi mencakup berbagai aktifitas seperti inspeksi, penggunaan metode
klasik mikrobiologis dan kimiawi dalam menguji pencemaran pada produk akhir untuk
memastikan hasil pemantauan dan menelaah keluhan konsumen. (5) Contoh kegiatan
verifikasi mencakup : 1) Peninjauan kembali sistem HACCP dan catatannya; 2) Peninjauan
kembali penyimpangan dan disposisi produk; 3) Mengkonfirmasi apakah TKK dalam
kendali. (7)
Penyimpanan data merupakan bagian penting pada HACCP. Penyimpanan data
dapat meyakinkan bahwa informasi yang dikumpulkan selama instalasi, modikasi, dan
operasi sitem akan dapat diperoleh oleh siapapaun yang terlibat proses, juga dari pihak
luar (auditor). Penyimpanan data membantu meyakinkan bahwa sistem tetap
berkesinambungan dalam jangka panjang. Data harus meliputi penjelasan bagaimana CCP
didefinisikan, pemberian prosedur pengendalian dan modifikasi sistem, pemantauan, dan
verifikasi data serta catatan penyimpangan dari prosedur normal. (5)
BAB III
METODE
Pengamatan HACCP terhadap jus tempe dilaksanakan pada hari Selasa, 17 Oktober
2017 pukul 16.00 WIB di Instalasi Gizi RSUD Ungaran. Metode pengambilan data dilakukan
dengan cara observasi, mengikuti dan mengamati setiap proses pembuatan jus tempe.
Hasil pengamatan dianalisis menggunakan tujuh prinsip HACCP.
BAB IV
MUTU DAN KEAMANAN MAKANAN
PENYIMPANAN
PERSIAPAN
PENGHALUSAN
PENYARINGAN
PEREBUSAN
PEMORSIAN
DISTRIBUSI
3. Identifikasi Mutu dan Keamanan Makanan
a) Identifikasi Bahaya dan Analisis Resiko Bahaya Dari Setiap Bahan
Bahaya
No. Bahan Jenis Bahaya Cara Pencegahan
B(M)/K/F
1. Tempe B Jamur Teliti saat
penerimaan tempe,
sesuai dengan
spesifikasi yang
telah ditentukan
Serangga Disimpan pada rak
dengan jarak
minimal 15 cm dari
lantai
K Perubahan pH Tempat penyimpanan
dalam keadaan bersih
dan tidak lembab
F Benda asing (kulit Pemeriksaan saat
kacang kedelai, penerimaan
kerikil)
2. Gula Pasir B Semut Disimpan dalam wadah
yang kering dan bersih
Kapang dalam suhu ruang
Khamir
K Terdapat campuran Uji laboratorium
gula berupa:
siklamat dan
sakarin
Jus tempe merupakan makanan tambahan yang ditujukan untuk pasien diare kelas
I, II dan III. Jus tempe diberikan bersamaan dengan makan pagi dan sore. Proses
pengolahan jus tempe hanya terdiri dari tiga tahap, yaitu penghalusan bahan, penyaringan
dan perebusan. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, tahapan proses
pengadaan jus tempe dari awal hingga sampai ke tangan pasien serta analisis HACCP
adalah sebagai berikut :
1. Penerimaan
Penerimaan bahan baku tempe dan gula pasir dilakukan di ruang penerimaan,
selanjutnya masuk ke dalam ruang penyimpanan bahan basah dan kering. Penerimaan
tempe biasanya dilakukan pukul 07.00 WIB, sementara penerimaan bahan kering
dilakukan pukul 11.00 WIB. Resiko bahaya yang ada pada proses ini yaitu debu dan
kotoran yang berasal dari lingkungan luar. Untuk mencegah bahaya tersebut, hal yang
harus diperhatikan pada saat penerimaan bahan makanan yaitu dengan memastikan
bahan tertutup kemasan dan tidak rusak. Proses penerimaan termasuk dalam kategori
bukan CCP, karena proses ini tidak ditujukan secara khusus untuk menghilangkan
ataupun mengurangi bahaya.
2. Penyimpanan
Tempe disimpan pada ruangan di dekat ruang persiapan, diletakkan di bawah meja
penimbangan dengan dialaskan kain. Bahan makanan kering disimpan pada ruang
penyimpanan dengan pengaturan suhu berkisar antara 20 – 22oC. Penyimpanan gula
pasir diletakkan di atas rak penyimpanan dan dikelompokkan berdasarkan jenis dan
golongannya. Resiko bahaya yang dapat terjadi pada proses penyimpanan adalah
bahaya biologi dan fisik yaitu bahaya dari gangguan serangga dan perubahan suhu.
Bahaya tersebut dapat dicegah dengan memperhatikan tempat penyimpanan agar
tidak langsung menyentuh lantai, serta memastikan tempat penyimpanan dalam
keadaan bersih dan tidak lembab. Proses penyimpanan termasuk dalam kategori
bukan CCP, karena pada tahap ini masih mungkin terjadi kontaminasi bahaya.
3. Persiapan
Proses persiapan tempe yaitu tempe dipotong sesuai kebutuhan untuk
memudahkan proses penghalusan. Proses ini dilakukan di ruang persiapan,
menggunakan alat pisau dan telenan yang sesuai dengan fungsinya. Bahaya yang
mungkin terjadi pada proses ini yaitu kontaminasi silang dari alat yang digunakan.
Untuk menghilangkan atau menguranginya, alat harus dicuci dengan bersih baik
sebelum maupun setelah digunakan. Proses persiapan termasuk dalam kategori bukan
CCP, karena proses ini tidak ditujukan secara khusus untuk mengurangi bahaya, serta
masih dapat terjadi kontaminasi bahaya
4. Penghalusan
Proses penghalusan bahan-bahan yaitu tempe, gula pasir dan air dilakukan
menggunakan blender, hingga semua bahan tercampur rata. Bahaya yang mungkin
terjadi pada proses ini adalah bahaya fisik, yaitu kontaminasi residu dari bahan
sebelumnya yang dihaluskan menggunakan alat yang sama. Untuk mencegahnya, dapat
dilakukan pencucian terhadap alat sampai bersih setelah digunakan. Proses ini
termasuk dalam kategori bukan CCP, karena setelah proses ini masih terdapat proses
lainnya yaitu pemasakan menggunakan api.
5. Penyaringan
Setelah melalui proses penghalusan, jus tempe kemudian disaring untuk
memisahkan antara cairan dengan ampasnya. Bahaya yang mungkin terjadi pada
proses ini yaitu kontaminasi residu dari bahan sebelumnya yang menempel pada alat
saring. Bahaya tersebut dapat dicegah dengan melakukan pencucian terhadap alat
hingga bersih setelah digunakan. Proses penyaringan termasuk dalam kategori bukan
CCP, karena pada proses ini masih terdapat bahaya yang mungkin terjadi, kemudian
dapat dihilangkan atau dikurangi pada proses selanjutnya.
6. Perebusan
Jus tempe yang telah disaring kemudian direbus hingga mendidih. Pada saat
perebusan, panci yang digunakan untuk merebus tidak ditutup sehingga dapat
memungkinkan adanya kotoran dari lingkungan yang masuk ke dalam jus tempe.
Proses perebusan termasuk dalam kategori CCP, karena pada tahap ini masih terjadi
kemungkinan adanya bahaya meskipun dalam proses ini bahaya dari proses
sebelumnya dapat dihilangkan. Batas kritis dalam proses perebusan ini terletak pada
suhu perebusan, yaitu 100oC. Pemantauan kepatuhan prosedur kerja terhadap petugas
dilakukan untuk tindakan koreksi yaitu pengecekan cemaran dan suhu, apabila
terdapat ketidaksesuaian maka langsung diterapkan kembali standar yang berlaku.
Pencatatan suhu perebusan dilakukan sebagai dokumentasi pelaksanaan prosedur.
7. Pemorsian
Setelah melalui proses perebusan, jus tempe kemudian dimasukkan ke dalam
kemasan, yaitu gelas plastik bening, lalu ditutup. Pada tahap ini bahaya masih mungkin
dapat terjadi dari penjamah makanan ketika jus tempe dituang ke dalam gelas. Untuk
mencegahnya, petugas harus memakai APD lengkap ketika melakukan pemorsian.
Waktu tunggu jus tempe setelah pemorsian menuju proses distribusi sebaiknya kurang
dari 15 menit untuk menjaga suhu jus tempe agar tetap pada suhu 60oC. Evaluasi
dilakukan terhadap pramusaji dengan memantau kepatuhan penggunaan APD dan
ketepatan waktu.
8. Pendistribusian
Proses pendistribusian jus tempe bersamaan dengan distribusi makanan utama,
menggunakan kereta makanan yang didistribusikan terpusat dari instalasi gizi. Proses
distribusi jus tempe hingga sampai ke pasien membutuhkan waktu sekitar 15 menit.
Selama proses distribusi, suhu jus tempe dapat menurun di dalam kereta. Penurunan
suhu dapat menjadi bahaya karena bakteri dapat tumbuh pada suhu optimal yaitu
sekitar 37oC. Oleh karena itu, pemantauan suhu dan ketepatan waktu distribusi harus
dilakukan terhadap pramusaji, serta pemberitahuan kepada pasien agar jus tempe
segera dikonsumsi untuk menghindari kerusakan.
Semua bahan tidak termasuk dalam CCP karena seluruhnya telah melalui proses
pemasakan, sehingga bahaya yang ada dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali
asalkan dalam prosesnya dilakukan prosedur yang sesuai. Meskipun demikian, tetap perlu
adanya tindakan pencegahan terhadap bahan, terutama bahan utama yaitu tempe.
Apabila dalam proses penerimaan bahaya dapat dikendalikan, maka bahaya yang
ada pada proses selanjutnya dapat dikurangi salah satunya melalui proses pemasakan.
Selain itu, pemakaian APD lengkap juga sangat penting untuk mencegah kontaminasi fisik.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Jus tempe merupakan salah satu menu makanan tambahan untuk pasien dengan
gangguan pencernaan (diare). Bahan – bahan yang digunakan dalam pembuatan jus tempe
adalah tempe, gula pasir dan air. Sedangkan proses pembuatan jus tempe dimulai dari
tahap persiapan hingga pemorsian. Berdasarkan penerapan HACCP yang dilakukan pada
jus tempe, tahapan proses yang menjadi CCP yaitu pada proses perebusan, pemorsian dan
pendistribusian.
Beberapa saran untuk tenaga pengolah jus tempe di antaranya :
1. Tempat menyimpan tempe sebaiknya diletakkan dengan jarak minimal 15 cm dari
lantai
2. Sebelum mengolah sebaiknya penjamah harus selalu mencuci tangan terlebih
dahulu serta menggunakan APD yang bersih dan lengkap
3. Alat yang digunakan selalu dalam keadaan bersih baik sebelum maupun sesudah
pemakaian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS): Dirjen
Binkesmas; 2005.
2. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS): Kementerian
Kesehatan RI; 2013.
3. Krisnamurni, S. Keamanan Pangan pada Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit.
Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Nasional Asosiasi Dietisien Indonesia ke III,
Semarang, Indonesia; 19–21 Juli 2007.
4. Anwar, F. Keamanan Pangan. Dalam : Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar
Swadaya; 2004.
5. Sudarmadji. Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical
Control Point). Jurnal Kesehatan Lingkungan 2005;1(2).
6. Marlyana, Novi., Fatmawati, W., Amalina N. Usulan Perbaikan Proses Produksi
Berdasarkan Pendekatan SIstem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) (Studi
Kasus Pembuatan Kue Kroket di Toko Roti dan Kue “RAPI” Semarang). Prosiding SNST
ke-3 Tahun 2012.
7. Badan Standarisasi Nasional (BSN). Standar Nasional Indonesia SNI 01-4852-1998: Sistem
Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point-
HACCP) serta Pedoman Penerapannya, Jakarta: BSN; 1998.
8. Badan Standardisasi Nasional. Tempe : Persembahan Indonesia Untuk Indonesia.
Badan Stand Nas. 2012;1–10.
LAMPIRAN