Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Resusitasi jantung paru (RJP) adalah metode untuk mengembalikan fungsi
pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti napas dan henti jantung
yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Metode ini merupakan kombinasi
pernapasan buatan dan bantuan sirkulasi yang bertujuan mencukupi kebutuhan
oksigen otak dan substrat lain sementara jantung dan paru tidak berfungsi.
Keberhasilan RJP dimungkinkan oleh adanya interval waktu antara mati klinis
dan mati biologis, yaitu sekitar 4 – 6 menit. Dalam waktu tersebut mulai terjadi
kerusakan sel-sel otak rang kemudian diikuti organ-organ tubuh lain. Dengan
demikian pemeliharaan perfusi serebral merupakan tujuan utama pada RJP.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Agar rekan-rekan dapat mengetahui tentang Resusitasi Jantung Paru.
2. Tujuan khusus
Agar rekan-rekan dapat mengetahui tentang :
a. Dapat mengetahui tentang RJP
b. Dapat mengetahui tentang Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi)
c. Dapat mengetahui mengenai tentang Resusitasi Jantung Paru Pada Bayi, Anak
dan Dewasa
BAB II
PMBAHASAN

A. Pengertian Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat kegagalan
sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna mencegah
kematian biologis.
Resusitasi jantung paru (RJP),j atau juga dikenal dengan cardio pulmonier
resusitation (CPR), merupakan gabungan antara pijat jantung dan pernafasan buatan.
Teknik ini diberikan pada korban yang mengalami henti jantung dan nafas, tetapi
masih hidup.
Komplikasi dari teknik ini adalah pendarahan hebat. Jika korban mengalami
pendarahan hebat, maka pelaksanaan RJP akan memperbanyak darah yang keluar
sehingga kemungkinan korban meninggal dunia lebih besar. Namun, jika korban tidak
segera diberi RJP, korban juga akan meninggal dunia.
RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit setelah ditemukan telah terjadi
henti nafas dan henti jantung untuk mencegah kerusakan sel-sel otak dan lain-lain.
Jika penderita ditemukan bernafas namun tidak sadar maka posisikan dalm keadaan
mantap agar jalan nafas tetap bebas dan sekret dapat keluar dengan sendirinya.
Mati Klinik RJP Mati Biologik
( Reversibel ) 4-6 menit ( Ireversibel )
Keterangan:
a. Mati Klinis
Tidak ditemukan adanya pernapasan dan denyut nadi, bersifat reversibel,
penderita punya kesempatan waktu 4-6 menit untuk dilakukan resusitasi tanpa
kerusakan otak.
b. Mati Biologis
Biasanya terjadi dalam waktu 8-10 menit dari henti jantung, dimulai dengan
kematian sel otak, bersifat irreversibel. (kecuali berada di suhu yang ekstrim
dingin, pernah dilaporkan melakukan resusitasi selama 1 jam/ lebih dan berhasil).
Catatan:
Pada korban yang sudah tidak ada refleks mata dan terjadi kerusakan batang otak
tidak perlu dilakukan RJP.
B. Indikasi Melakukan RJP
1. Henti Napas (Apneu)
Dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi
pernapasan baik di sentral maupun perifer. Berkurangnya oksigen di dalam tubuh
akan memberikan suatu keadaan yang disebut hipoksia. Frekuensi napas akan
lebih cepat dari pada keadaan normal. Bila perlangsungannya lama akan
memberikan kelelahan pada otot-otot pernapasan. Kelelahan otot-otot napas akan
mengakibatkan terjadinya penumpukan sisa-sisa pembakaran berupa gas CO2,
kemudian mempengaruhi SSP dengan menekan pusat napas. Keadaan inilah yang
dikenal sebagai henti nafas.
2. Henti Jantung (Cardiac Arrest)
Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi agar darah
dapat dipompa keluar dari jantung ke seluruh tubuh. Dengan berhentinya napas,
maka oksigen akan tidak ada sama sekali di dalam tubuh sehingga jantung tidak
dapat berkontraksi dan akibatnya henti jantung (cardiac arrest).

C. Langkah Sebelum Memulai Resusitasi Jantung Paru (RJP)


a. Penentuan Tingkat Kesadaran ( Respon Korban )
Dilakukan dengan menggoyangkan korban. Bila korban menjawab, maka ABC
dalam keadaan baik. Dan bila tidak ada respon, maka perlu ditindaki segera.
b. Memanggil bantuan (call for help)
Bila petugas hanya seorang diri, jangan memulai RJP sebelum memanggil
bantuan.
c. Posisikan Korban
Korban harus dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras (lantai, long
board). Bila dalam keadaan telungkup, korban dibalikkan. Bila dalam keadaan
trauma, pembalikan dilakukan dengan ”Log Roll”
d. Posisi Penolong
Korban di lantai, penolong berlutut di sisi kanan korban .
e. Pemeriksaan Pernafasan
Yang pertama harus selalu dipastikan adalah airway dalam keadaan baik.
1. Tidak terlihat gerakan otot napas
2. Tidak ada aliran udara via hidung
Dapat dilakukan dengan menggunakan teknik lihat, dengan dan rasa, bila korban
bernapas, korban tidak memerlukan RJP.
f. Pemeriksaan Sirkulasi
a. Pada orang dewasa tidak ada denyut nadi carotis
b. Pada bayi dan anak kecil tidak ada denyut nadi brachialis
c. Tidak ada tanda-tanda sirkulasi
d. Bila ada pulsasi dan korban pernapas, napas buatan dapat dihentikan. Tetapi
bila ada pulsasi dan korban tidak bernapas, napas buatan diteruskan. Dan bila
tidak ada pulsasi, dilakukan RJP.

D. Henti Napas
Pernapasan buatan diberikan dengan cara :
a. Mouth to Mouth Ventilation
Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya infeksi (terutama
hepatitis, HIV) karena itu harus memakai ”barrier device” (alat perantara).
Dengan cara ini akan dicapai konsentrasi oksigen hanya 18 %.
a. Tangan kiri penolong menutup hidung korban dengan cara memijitnya dengan
jari telunjuk dan ibu jari, tangan kanan penolong menarik dagu korban ke atas.
b. Penolong menarik napas dalam-dalam, kemudian letakkan mulut penolong ke
atas mulut korban sampai menutupi seluruh mulut korban secara pelan-pelan
sambil memperhatikan adanya gerakan dada korban sebagai akibat dari tiupan
napas penolong. Gerakan ini menunjukkan bahwa udara yang ditiupkan oleh
penolong itu masuk ke dalam paru-paru korban.
c. Setelah itu angkat mulut penolong dan lepaskan jari penolong dari hidung
korban. Hal ini memberikan kesempatan pada dada korban kembali ke posisi
semula.
b. Mouth to Stoma
Dapat dilakukan dengan membuat Krikotiroidektomi yang kemudian
dihembuskan udara melalui jalan yang telah dibuat melalui prosedur
Krikotiroidektomi tadi.
c. Mouth to Mask ventilation
Pada cara ini, udara ditiupkan ke dalam mulut penderita dengan bantuan
face mask.
d. Bag Valve Mask Ventilation ( Ambu Bag)
Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada katup. Untuk
mendapatkan penutupan masker yang baik, maka sebaiknya masker dipegang satu
petugas sedangkan petugas yang lain memompa.
e. Flow restricted Oxygen Powered Ventilation (FROP)
Pada ambulans dikenal sebagai “ OXY – Viva “. Alat ini secara otomatis
akan memberikan oksigen sesuai ukuran aliran (flow) yang diinginkan.
Bantuan jalan napas dilakukan dengan sebelumnya mengevaluasi jalan
napas korban apakah terdapat sumbatan atau tidak. Jika terdapat sumbatan maka
hendaknya dibebaskan terlebih dahulu.

E. Henti Jantung
RJP dapat dilakukan oleh satu orang penolong atau dua orang penolong.
Lokasi titik tumpu kompresi.
1. 1/3 distal sternum atau 2 jari proksimal Proc. Xiphoideus
2. Jari tengah tangan kanan diletakkan di Proc. Xiphoideus, sedangkan jari telunjuk
mengikuti
3. Tempatkan tumit tangan di atas jari telunjuk tersebut
4. Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada tepat di titik
pijat jantung
5. Jari-jari tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada korban

F. Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi)


a. Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum
b. Tekan ke bawah sedalam 4-5 cm
a. Tekanan tidak terlalu kuat
b. Tidak menyentak
c. Tidak bergeser / berubah tempat
c. Kompresi ritmik 100 kali / menit ( 2 pijatan / detik )
d. Fase pijitan dan relaksasi sama ( 1 : 1)
e. Rasio pijat dan napas 30 : 2 (15 kali kompresi : 2 kali hembusan napas)
f. Setelah empat siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
untuk menyelamatkan nyawa sampai korban dapat dibawa atau tunjangan
hidup Ian jutan sudah tersedia. Di sini termasuk langkah -langkah ABC dari
RKP :
A (Airway) : Jalan nafas terbuka.
B (Breathing) : Pernapasan, pernapasan buatan RKP.
C (Circulation) : Sirkulasi, sirkulasi buatan.
Indikasi tunjangan hidup dasar terjadi karena :
1. Henti napas.
2. Henti jantung, yang dapat terjadi karena :
a. Kolaps kardiovaskular
b. Fibrilasi ventrikel atau
c. Asistole ventrikel.
Pernapasan buatan
Membuka jalan napas dan pemulihan pernapasan adalah dasar pemapasan buatan.
Cara mengetahui adanya sumbatan jalan napas dan apne.

G. Resusitasi Jantung Paru Pada Bayi, Anak dan Dewasa


a. Resusitasi Jantung Pada Bayi dan Anak
Hal yang harus diperhatikan jika RJP pada bayi dan anak:
a. Saluran Pernapasan (Airway =A)
Hati-hatilah dalam memengang bayi sehingga Anda tidak
mendongakkan kepala bayi dengan berlebihan. Leher bayi masih terlalu lunak
sehingga dongakan yang kuat justru bisa menutup saluran pernapasan.
b. Pernapasan (Breathing = B)
Pada bayi yang tidak bernapas, jangan meneoba menjepit hidungnya.
Tutupi mulut dan hidungnya dengan mulut Anda lalu hembuskan dengan
perlahan (1 hingga 1,5 detik/napas) dengan menggunakan volume yang eukup
untuk membuat dadanya mengembang. Pada anak kecil, jepit hidungnya,
tutupi mulutnya, dan berikan hembusan seperti pada bayi.
c. Peredaran Darah (Circulation = C)
Pemeriksaan Denyut: Pada bayi, untuk menentukan ada atau tidaknya
denyut nadi adalah dengan meraba bagian dalam dari lengan atas pad a bagian
tengah antara siku dan bahu. Pemeriksaan denyut pada anak keeiL sarna
dengan orang dewasa.
b. Resusitasi jantung paru pada bayi ( < 1 tahun)
a. 2 – 3 jari atau kedua ibu jari
b. Titik kompresi pada garis yang menghubungkan kedua papilla mammae
c. Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit
d. Rasio pijat : napas 15 : 2
e. Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
c. Resusitasi Jantung paru pada anak-anak ( 1-8 tahun)
a. Satu telapak tangan
b. Titik kompresi pada satu jari di atas Proc. Xiphoideus
c. Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit
d. Rasio pijat : napas 30 : 2
e. Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi

H. Bantuan Hidup Dasar


a. Airway (jalan nafas)
Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan nafas.
Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi
terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis
akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan
dalam posisi ini.
Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan.
Caranya ialah,
a. Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,
b. Mendorong kepala ke belakang dan kemudian,
c. Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau hidung.
d. Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada
bagian puncak kepala korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan,
penolong harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan pernafasan
buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung.
b. Breathing (Pernafasan)
Dalam melakukan pernafasa mulut ke mulut penolong menggunakan satu
tangan di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke
belakang, tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibu jari dan telunjuk)
sambil turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup nafas dalam
kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban
adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini
diulang satu kali tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat.
Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu
perhatikan :
a. gerakan dada waktu membesar dan mengecil
b. merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
c. dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
d. Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban
mengecil sampai batas habis.
c. Circulation (Sirkulasi buatan)
Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti jantung
(cardiac arrest) ialah hentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada
seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling
gawat.
Sebab-sebab henti jantung :
a. Afiksi dan hipoksi
b. Serangan jantung
c. Syok listrik
d. Obat-obatan
e. Reaksi sensitifitas
f. Kateterasi jantung
g. Anestesi.
Untuk mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus diberikan
dalam 3 atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak
terduga, maka langkah-langkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera
dilakukan, termasuk pernafasan dan sirkulasi buatan.
Henti jantung diketahui dari :
a. Hilangnya denyut nadi pada arteri besar
b. Korban tidak sadar
c. Korban tampak seperti mati
d. Hilangnya gerakan bernafas atau megap-megap.
Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka
jalan nafas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernafas, segera
tiup paru korban 3-5 kali lalu raba denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih
dianjurkan karena :
a. Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan pernafasan
buatan
b. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban
c. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah
perifer lainnya tidak teraba lagi.
Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang
atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan
kompresi jantung luar. Kompresi jantung luar harus disertai dengan pernafasan
buatan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC RJP tersebut adalah,
a. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
b. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila ia
sudah stabil
c. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat
berakibat robeknya hati
d. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada
sternum, jari-jari jangan menekan iga korban
e. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak
terputus
f. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP.
ABC RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung dapat
memberi kemungkinan beberapa hasil,
a. Korban menjadi sadar kembali
b. Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP yang
terlambat diberikan atau pertolongan tak terlambat tetapi tidak betul
pelaksanaannya.
c. Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam
hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut yaitu bantuan hidup lanjut (BHL).
I. Bantuan Hidup Lanjut
1. Drugs
Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup dasar, dapat diteruskan
dengan bantuan hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum timbul
denyut jantung spontan), maka bantuan hidup lanjut dapat diberikan berupa obat-
obatan. Obat-obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan yaitu,
a. Penting, yaitu :
1) Adrenalin
2) Natrium bikarbonat
3) Sulfat Atropin
4) Lidokain
b. Berguna, yaitu :
1) Isoproterenol
2) Propanolol
3) Kortikosteroid.
4) Natrium bikarbonat
Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal
: 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10
menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif
tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis,
takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka
ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama.
2. Adrenalin
Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan
0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan
dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel.
3. Lidokain
Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan
cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada
dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard,
tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif
menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah
defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang
mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv
sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan
infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa
lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).
4. Sulfat Artopin
Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan
mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna
dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark
miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv.
Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi >
60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler
derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
5. Isoproterenol
Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena
complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20
mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur
untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna
untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.
6. Propranolol
Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna
untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel
berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis
umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan
yang ketat.
7. Kortikosteroid
Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl
prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk
pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada
kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon
sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru
seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap
6 jam.
8. EKG
Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel
dan monitoring.
9. Fibrillation Treatment
Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda
dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.
10. Keputusan untuk mengakhiri resusitasi
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah
medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan
kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat
adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan
refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap
dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha
resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan
terjadi bila tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut
selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Resusitasi mengandung arti harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya
dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti
jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru terdiri atas 2
komponen utama yakni : bantuan hidup dasar / BHD dan Bantuan hidup lanjut / BHL
Usaha Bantuan Hidup Dasar bertujuan dengan cepat mempertahankan pasok oksigen
ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan.
Bantuan hidup lanjut dengan pemberian obat-obatan untuk memperpanjang hidup
Resusitasi dilakukan pada : infark jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian
listrik”, serangan Adams-Stokes, Hipoksia akut, keracunan dan kelebihan dosis obat-
obatan, sengatan listrik, refleks vagal, serta kecelakaan lain yang masih memberikan
peluang untuk hidup. Resusitasi tidak dilakukan pada : kematian normal stadium
terminal suatu yang tak dapat disembuhkan.
Penanganan dan tindakan cepat pada resusitasi jantung paru khususnya pada
kegawatan kardiovaskuler amat penting untuk menyelematkan hidup, untuk itu perlu
pengetahuan RJP yang tepat dan benar dalam pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Alkatri J, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Editor
Soeparman, Jilid I, ed. Ke-2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 281, 1987.
Emergency Medicine Illustrated, Editor Tsuyoshi Sugimoto, Takeda Chemical Industries,
1985.
Mustafa I, dkk, Bantuan Hidup Dasar, RS Jantung Harapan Kita, Jakarta, 1996.
Otto C.W., Cardiopulmonary Resuscitation, in Critical Care Practice, The American Society
of Critical Care Anesthesiologists, 1994.
Safar P, Resusitasi Jantung Paru Otak, diterbitkan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, hal : 4, 1984.
Siahaan O, Resusitasi Jantung Paru Otak, Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus, No. 80,
hal : 137-129, 1992.
Sjamsuhidajat R, Jong Wd, Resusitasi, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC,
Jakarta, hal : 124-119, 1997.
Soerianata S, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kardiologi, Editor
Lyli Ismudiat R, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 106, 1998.
Sunatrio DR, Resusitasi Jantung Paru, Editor Muchtaruddin Mansyur, IDI, Jakarta, hal : 193.
Sunatrio S, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Anesteiologi, Editor Muhardi Muhiman, dkk,
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, 1989.

Anda mungkin juga menyukai