Anda di halaman 1dari 4

Keberadaan Desa secara yuridis formal diakui dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa. Berdasarkan ketentuan ini Desa diberi pengertian sebagai kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati
dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemahaman Desa di atas menempatkan Desa sebagai suatu organisasi pemerintahan yang
secara politis memiliki kewenangan tertentu untuk mengurus dan mengatur warga atau
komunitasnya. Dengan posisi tersebut desa memiliki peran yang sangat penting dalam
menunjang kesuksesan Pemerintahan Nasional secara luas. Desa menjadi garda terdepan dalam
menggapai keberhasilan dari segala urusan dan program dari Pemerintah. Hal ini juga sejalan
apabila dikaitkan dengan komposisi penduduk Indonesia menurut sensus terakhir pada tahun
2000 bahwa sekitar 60 % atau sebagian besar penduduk Indonesia saat ini masih bertempat
tinggal di kawasan permukiman pedesaan. Maka menjadi sangat logis apabila pembangunan desa
menjadi prioritas utama bagi kesuksesan pembangunan nasional.
Sebagai konsekuensi logis adanya kewenangan dan tuntutan daripelaksanaan otonomi
desa adalah tersedianya dana yang cukup. Sadu Wasistiono ( 2006;107 ) menyatakan bahwa
pembiayaan atau keuangan merupakan faktor essensial dalam mendukung penyelenggaraan
otonomi desa, sebagaimana juga pada penyelenggaraan otonomi daerah. Sejalan dengan
pendapat yang mengatakan bahwa “ autonomy “ indentik dengan “ auto money “, maka untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri desa membutuhkan dana atau biaya yang
memadai sebagai dukungan pelaksanaan kewenangan yang dimilikinya.

meningkatkan pembangunan dan partisipasi. Gagasan itu dilandasi oleh beberapaalasan.


Pertama: Masyarakat desa akan lebih leluasa berekspresi mencapai kemajuan. Kedua:
Pelaksanaan pembangunan di desa menjadi maksimal karena realistis, dikerjakan sendiri dan
mendapat dukungan swadaya. Ketiga: Kontrol langsung secara intensif dari masyarakat dan
dapat menekan penyimpangan. Keempat: Semakin berfungsi lembaga Pemerintahan Desa dan
Kemasyarakatan di Desa. Selain dapat menjamin partisipasi, kebijakan ADD juga dapat
diandaikan sebagai sebuah kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan desa yang mendesak.
Perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan positif. Selama kurun waktu tahun
2005-2013, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tumbuh rata-rata 5,8 persen per tahun. Seiring
pertumbuhan tersebut, terjadi peningkatan pendapatan per kapita dari Rp11,0 juta pada tahun
2005 menjadi Rp36,5 juta pada tahun 2013 (Republik Indonesia, 2014). Indonesia merupakan
negara dengan populasi penduduk terbesar ke-4 dunia dengan jumlah 248,9 juta jiwa (BPS,
2014). Data Kementerian Dalam Negeri tahun 2012 menunjukkan bahwa penduduk tersebar di
72.944 desa (Kemendagri, 2013). Pada tahun 2010, persentase penduduk yang bertempat tinggal
di perdesaan sebesar 50,2 persen dan diperkirakan semakin berkurang menjadi 46,7 persen di
tahun 2015 (BPS, 2014). Jumlah penduduk miskin pada September 2013 sebanyak 28,55 juta
orang atau 11,47 persen dari jumlah penduduk. Adapun jumlah penduduk miskin terbanyak di
daerah perdesaan dengan jumlah 17,92 juta orang atau 62,76 persen dari seluruh penduduk
miskin (BPS, 2014).
Berdasarkan Pasal 23 ayat 1 UUD Tahun 1945, pendanaan pembangunan dan alokasi
APBN senantiasa ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Guna mendukung
pemerataan pembangunan, APBN tahun 2014 telah mengalokasikan Dana Transfer Daerah
sebesar Rp592,6 triliun atau 32,2 persen terhadap belanja negara. Jumlah tersebut meningkat
10,7 persen jika dibandingkan dengan pagu dalam APBNP 2013 sebesar Rp529,4 triliun
(Republik Indonesia, 2014).

Pelaksanaan keuangan daerah masih menghadapi permasalahan rendahnya kualitas


belanja daerah. Selain itu, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih
menemui beberapa kendala, antara lain: masih banyaknya daerah yang terlambat menetapkan
APBD, struktur APBD yang kurang ideal, penyerapan belanja yang relatif lambat, masih
tingginya dana idle yang tidak tergunakan dalam pengeluaran publik, dan kendala administratif
pengelolaan keuangan yang tercermin dari masih banyaknya daerah yang mendapat opini kurang
baik dari Badan Pemeriksa Keuangan/BPK (Kementerian Keuangan, 2014).
Masyarakat di daerah, khususnya di wilayah perdesaan, masih menghadapi kemiskinan,
keterbelakangan dan kesulitan dalam mengakses pelayanan publik. Kondisi ini mendorong
kesadaran perlunya pemerataan pembangunan dan dukungan keuangan publik (APBN) bagi
masyarakat desa. Alokasi APBN bagi desa diharapkan dapat menarik keterlibatan masyarakat
dalam pembangunan.
Dalam rangka menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pembangunan desa,
pemerintah dan DPR RI telah menerbitkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU tersebut
mengakui kewenangan bagi desa dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri,
dan demokratis. Pemerintah desa diharapkan dapat mengelola wilayahnya secara mandiri
termasuk di dalamnya pengelolaan aset, keuangan, dan pendapatan Desa sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup di desa dan kesejahteraan masyarakat (Firmanzah, 2014).

Desa sebagai pemerintahan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat menjadi fokus
utama dalam pembangunan pemerintah, hal ini dikarenakan sebagian besar wilayah Indonesia
ada di perdesaan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyatakan bahwa unsur penting dalam kedua
undang-undang ini adalah penguasa daerah dalam hal ini gubernur, bupati, atau walikota harus
lebih bertanggungjawab kepada rakyat di daerah. Pemerintah Daerah diberikan otonomi yang
lebih luas dalam membiayai dan pengelolaan pembangunan daerah berdasarkan prioritas
anggaran mereka sendiri. Berdasarkan hal tersebut diharapkan akan lebih terbuka ruang bagi
aparat di daerah untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan pembangunan berdasarkan
kebutuhan mereka sendiri.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa pasal 68 ayat 1 poin c,
menyebutkan bahwa bagian dari dana perimbangan pusat dan daerah yang diterima oleh
kabupaten/kota untuk desa, paling sedikit 10% secara proposional pembagiannya untuk setiap
desa, Dana ini dalam bentuk Alokasi dana Desa atau sering disebut sebagai ADD. Alokasi Dana
Desa (ADD) adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk desa, yang bersumber
dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten.
Alokasi Dana Desa adalah dana yang cukup signifikan bagi Desa untuk menunjang program-
program Desa. Pengelolaan keuangan baik dari anggaran sampai realisasi harus melibatkan tokoh-
tokoh masyarakat dan aparat Pemerintah Daerah. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Pemerintah
Daerah baik Pemerintah desa dan Pemerintah Kecamatan adalah kurangnya pengendalian terhadap
pengelolaan Dana yang berasal dari Alokasi dana Desa, Hal ini disebabkan karena minimnya sumber
daya yang ada dan kontrol dari Pemerintah dan Masyarakat. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana
efektifitas pengelolaan keuangan Alokasi Dana Desa dan sejauh mana peran dari Alokasi Dana Desa
dalam program Desa sehingga tujuan Pemerintah mengalokasikan Dana Pemerintah Pusat dan
Daerah bisa membantu program Desa dan tujuan Pemerintah terwujud.

Anda mungkin juga menyukai