Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Klien Yang Mengalami Penurunan Kesadaran
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Pada Klien Yang Mengalami Penurunan Kesadaran
DAFTAR PUSTAKA
1. Carolyn M. Hudak. Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Edisi VII. Volume II. Alih
Bahasa : Monica E. D Adiyanti. Jakarta : EGC ; 1997
2. Susan Martin Tucker. Patient Care Standarts. Volume 2. Jakarta : EGC ; 1998
3. Lynda Juall Carpenito. Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta : EGC ; 2001
4. Long, B.C. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process approach. Volume 2.
Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku asli diterbitkan tahun
1989)
5. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical – surgical nursing.
8thEdition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
6. Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001
(Buku asli diterbitkan tahun 1996)
7. Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition.
Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun 1992)
8. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning
and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa, I.M. Jakarta: EGC; 1999 (Buku asli
diterbitkan tahun 1993)
9. Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Yokyakarta, Gajah Mada University Press, 1996 )
10. Padmosantjojo, Keperawatan Bedah Saraf, Jakarta, Bagian Bedah Saraf FKUI, 2000
11. Markum, Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis, Jakarta, Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2000
A. Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan
petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Guyton & Hall, 1997).
B. Insiden
Perawatan luka bakar mengalami perbaikan / kemajuan dalam dekade terakhir ini, yang
mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-pusat perawatan luka bakar
telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang menangani luka bakar terdiri dari berbagai
disiplin yang saling bekerja sama untuk melakukan perawatan pada klien dan keluarganya. Di
Amerika kurang lebih 2 juta penduduknya memerlukan pertolongan medik setiap tahunnya untuk
injuri yang disebabkan karena luka bakar. 70.000 diantaranya dirawat di rumah sakit dengan
injuri yang berat.
Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua kelompok
umur. Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada wanita, terutama pada
orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th) (Rohman Azzam, 2008).
C. Etiologi
Etiologi dari luka bakar (Guyton & Hall, 1997) :
1. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)
a. Gas
b. Cairan
c. Bahan padat (Solid)
2. Luka Bakar Bahan Kimia (hemical Burn)
3. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)
4. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)
D. Fase Luka Bakar
Fase – fase luka bakar (Guyton & Hall, 1997) yaitu :
1. Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), dan
circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat
setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi
dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada
fase akut. Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
cedera termal yang berdampak sistemik.
2. Fase sub akut.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan
jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:
1. Proses inflamasi dan infeksi.
2. Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju epitel luas
dan atau pada struktur atau organ – organ fungsional.
3. Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan fungsi
organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang
hipertropik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
E. Klasifikasi luka bakar (Hudak & Gallo, 1997)
1. Dalamnya luka bakar
Kedalaman Penyebab Penampilan Warna Perasaan
Ketebalan Jilatan api, Kering tidak ada Bertambah Nyeri
partial sinar ultraviolet gelembung, edema merah
superfisial (terbakar oleh minimal atau tidak ada,
(tingkat I) matahari) pucat bila ditekan
dengan ujung jari,
berisi kembali bila
tekanan dilepas
Lebih dalam Kontak dengan Blister besar dan Berbintik – Sangat
dari partial bahan air atau lembab yang bintik yang nyeri
(tingkat II) bahan padat. ukurannya bertambah kurang
- Superfisial Jilatan api besar. Pucat bila jelas, putih,
- Dalam kepada pakaian. ditekan dengan ujung coklat, pink,
Jilatan langsung jari, bila tekanan daerah
kimiawi, sinar dilepas berisi kembali merah
ultraviolet coklat
Ketebalan Kontak dengan Kering disertai kulit Putih, Tidak sakit,
sepenuhnya bahan cair atau yang mengelupas. kering, sedikit
padat. Nyala Pembuluh darah seperti hitam, sakit,
api, kimia, arang terlihat dibawah coklat tua, rambut
kontak dengan kulit yang mengelupas. hitam, mudah
arus listrik Gelembung jarang, merah lepas bila
dindingnya sangat tipis, dicabut
tidak membesar, tidak
pucat bila ditekan
( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
(Albumin 25% = gram x 4 cc) à 1 cc/mnt.
Anak : Diberi sesuai kebutuhan faal.
D. Monitor urine dan CVP.
E. Topikal dan tutup luka
- Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik.
- Tulle.
- Silver sulfadiazin tebal.
- Tutup kassa tebal.
- Evaluasi 5 – 7 hari, kecuali balutan kotor.
F. Obat – obatan:
o Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
o Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil kultur.
o Analgetik : kuat (morfin, petidine)
o Antasida : kalau perlu
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. PT EGC.
Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku Kedoketran
EGC.Jakarta
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik.Volume I. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta.
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan
Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Anonim. (2009). Kumpulan Artikel Keperawatan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Luka Bakar (Combustio). (Online) http://www.artanto.com.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN
DENGAN INTOKSIKASI INSEKTISIDA (IFO)
A. Pengertian
Intoksikasi (keracunan) adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang
menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Istilah peptisida pada umumnya dipakai untuk semua bahan yang dipakai manusia untuk
membasmi hama yang merugikan manusia. Termasuk peptisida ini adalah insektisida. Ada dua
macam insektisida yang paling banyak digunakan dalam pertanian adalah :
1. insektisida hidrokarbo khlorin (IHK = chlorinated hydrocarbon)
2. insektisida fosfat organic (IFO = organo phosphate insecticide).
Yang paling sering digunakan adalah IFO yang pemakaiannya terus menerus meningkat.
Sifat - sifat dari IFO adalah insektisida poten yang paling banyak digunakan dalam pertanian
dengan toksisitas yang tinggi. Salah satu derivatnya adalah Tabun dan Sarin. Bahan ini
menembus kulit yang normal (intact), juga dapat diserap di paru dan saluran makanan, namun
tidak berakumulasi dalam jaringan tubuh seperti halnya golongan IHK.
Macam – macam IFO adalah Malathion (Tolly), Paraathion, Diazinon, Basudin, Paraoxon
dan lain – lain. IFO sebenarnya dibagi 2 macam yaitu IFO murni dan golongan carbamate. Salah
satu contoh golongan carbamate adalah baygon.
B. Patogenesis
IFO bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) enzim asetilkolinesterase tubuh (KhE).
Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis Akh dengan jalan mengadakan
ikatan Akh- KhE yang bersifat inaktif. Bila konsentrasi racun lebih tinggi ikatan IFO – KhE
lebih banyak terjadi. Akibatnya akan terjadi penumpukan AKh di tempat – tempat tertentu,
sehingga timbul gejala – gejala rangsangan AKh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek
muscarinik, nikotinik dan SSP (menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP).
Pada keracunan IFO, ikatan IFO –KhE bersifat menetap (irreversible), sedangkan pada
keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible). Secara farmakologis efek AKh
dapat dibagi dalan 3 bagian, yaitu :
1. Muskarini, terutama pada saluran pencernaan, kelenjar ludah dan keringat, pupil, bronkus dan
jantung.
2. Nikotinik, terutama pada otot – otot skeletal, bola mata, lidah, kelopak mata dan otot
pernapasan.
3. SSP, menimbulkan nyeri kepala, perubahan emosi, kejang – kejang (konvulsi) sampai koma.
C. Gambaran klinik
Yang paling menonjol adalah kelainan visus, hiperaktivitas kelenjar ludah, keringat dan saluran
pencernaan, serta kesukaran bernapas.
Keracunan ringan : anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah, rasa takut, tremor lidah, kelopak mata,
pupil miosis.
Keracunan sedang : nausea, muntah – muntah, kejang atau kram perut, hipersaliva, hiperhidrosis,
fasikulasi otot dan bradikardi.
Keracunan berat : diare, pupil pi – point, reaksi cahaya negatif, sesak napas, sianosis, edema
paru, inkontinensia urine dan feses, konvulsi, koma, blokade jantung, akhirnya meninggal.
D. Pemeriksaan .
1. Laboratorik.
Pengukuran kadar KhE dalam sel darah merah dan plasma, penting untuk memastikan
diagosis keracunan IFO akut maupun kronik (menurun sekian % dari harga normal).
Keracunan akut : ringan : 40 – 70 %
sedang : 20 – 40 %
berat : < 20 %.
Keracunan kronik bila kadar KhE menurun sampai 25 - 50 %, setiap individu yang
berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan dan baru diizinkan bekerja
kembali bila kadar KhE telah meningkat > 75 % N.
E. Penatalaksanaan
1. Resusitasi
Setelah jalan napas dibebaskan dan dibersihkan, periksa pernapasan dan nadi. Infus
dextrose 5 % kecepatan 15 – 20 tts/mnt, napas buatan + oksigen, hisap lendir dalam saluran
napas, hindari obat – obat depresan saluran napas, kalau perlu respirator pada kegagalan napas
berat. Hindar pernapasan buatan dari mulut ke mulut sebab racun organofosfat akan meracuni
lewat mulut penolong. Pernapasan buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask atau
menggunakan alat bag – valve – mask.
2. Eliminasi
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau dengan
pemberian sirup ipecac 15 –30 ml. Dapat diulan setelah 20 menit bila tidak berhasil. Katarsis
(intestinal lavage), dengan pemberian laksans bila diduga racun telah sampai di usus halus dan
tebal. Kumbah lambung (KL atau gastric lavage), pada penderita yang kesadaran yang menurun,
atau pada mereka yang tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila KL dikerjakan dalam 4 jam
setelah keracunan.
Keramas rambut dan mandikan seluruh tubuh dengan sabun.
Emesis, katarsis dan KL sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang daari 4 – 6
jam. Pada koma derajat sedang hingga berat tindakan KL sebaiknya dikerjakan dengan bantuan
pemasangan pipa endotrakeal berbalon, untuk mencegah aspirasi pneumonia.
3. Antidotum
Atropin sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi AKh pada tempat penumpukan.
a. Mula –mula diberikan bolus iv 1 – 2,5 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 – 10 – 15 menit sampai timbul gejala – gejala
atropinisasi (muka merah, mulut kering, takikardi, midriasis, febris, dan psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 – 60 menit, selanjutnya setiap 2 – 4 – 6 – 8 dan
12 jam
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 X 24 jam. Penghentian yang mendadak dapat
menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan kegagalan pernapasan akut yang sering
fatal.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian difokuskan pada masalah yang mendesak seperti jalan napas dan sirkulasi yang
mengancam jiwa, adaya gangguan asam basa, keadaan status jantung, status kesadaran. Riwayat
kesehatan : riwayat keracunan, bahan racun yang digunakan, berapa lama diketahui setelah
keracunan, ada masalah lain sebagai pencetus keracunan dan sindroma toksis yang ditimbulkan
dan kapan terjadinya.
B. Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang bisa timbul adalah tidak efektifnya pola napas, resiko tinggi
kekurangan cairan tubuh, gangguan kesadaran, tidak efektifnya koping indicidu.
C. Intervensi
Pertolongan pertama yang dilakukan meliputi tindakan umum yang bertujuan untuk keselamatan
hidup, mencegah penyerapan dan penawar racun (antidotum) yang meliputi resusitasi : air way,
breathing dan circulation, eliminasi untuk menghambat absorbsi melalui pencernaan dengan cara
kumbah lambung, emesis atau katartasis dan keramas rambut.
Berikan antidotum sesuai pesanan dokter minimal 2 X 24 jam yaitu Atropin sulfat (SA).
Perawatan suportif meliputi pertahankan agar pasien tidak sampai demam atau mengigil, monitor
perubahan – perubahan fisik seperti perubahan nadi yang cepat, distress pernapasan, sianosis,
diaphoresis, dan tanda – tanda lain kolaps pembuluh darah dan kemungkinan fatal atau kematian.
Monitor tanda vital setiap 15 menit untuk beberapa jam dan laporkam perrubahannya segera
kepada dokter. Catat tanda – tanda seperti muntah, mual dan nyeri abdomen serta monitor semua
muntah akan adanya darah. Observasi feses dan urine serta pertahankan cairan intravenous
sesuai pesanan.
Jika pernapasan depresi, berikan oksigen dan lakukan suction. Ventilator mungkin bias
diperlukan. Jika keracunan sebagai suatu usaha untuk membunuh diri maka lakukan safety
precautions. Konsultasi psikiatri atau perawat psikiatris klinis. Pertimbangkan juga masalah
kelainan kepribadian, reaksi depresi, psikosis, neurosis, mental retardasi dan lain – lain.
SUMBER :
1. Lab./UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo, (1994), “Pedoman Diagnosis dan
Terapi”,Surabaya
2. Phipps, etc. (1991), ”Medical Surgical Nursing ; Cencept and Clinical Practice”, 4th, Mosby
Year Book, Toronto.
3. Departemen Kesehatan RI, (2000), “Resusistasi Jantung – Paru – Otak ; Bantuan Hidup Lanjut
(Advanced Life Support)”, Jakarta.
4. Emerton, D.M., (1989), “Principles and Practice of Nursing”, University of Queensland Press,
Australia
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Data umum:
1. Identitas :
Umur : Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa muda
2. Riwayat Masuk
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai
dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-tiba
pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik mungkin
menyertai klien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui
pada klien
Pemeriksaan fisik
1. Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak keringat ,
suhu kulit meningkat, kemerahan
2. Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif), sputum
banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju
pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii pada lapang paru.
3. Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit kepala
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas darah menurun,
Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
4. Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
5. Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris
pernafasan
6. Sistem genitourinaria
Subyektif :
Obyektif : produksi urine menurun/normal.
7. Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
Pemeriksaan Laboratorium :
1. Hb : menurun/normal
2. Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar karbon darah
meningkat/normal.
3. Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal.
B. PRIORITAS MASALAH
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit, kelemahan dan
kelelahan.
2. Gangguan pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau pengesetan ventilator tidak
tepat.
3. Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal.
4. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d intubasi, ventilasi, proses penyakit, kelemahan dan
kelelahan
Tujuan : Jalan nafas dapat dipertahankan kebersihannya
Kriteria : Suara nafas bersih, ronchii tidak terdengar pada seluruh lapang paru
Rencana Tindakan
a. Auskultasi bunyi nafas tiap 2-4 jam
b. Lakukan hisap lendir bila ronchii terdengar
c. Monitor humidivier dan suhu ventilator
d. Monitor status hidrasi klien
e. Monitor ventilator tekanan dinamis
f. Beri Lavase cairan garam faali sesuai indikasi
g. Beri fisioterapi dada sesuai indikasi
h. Beri bronkodilator
i. Ubah posisi, lakukan postural drainage
Rasional
a. Monitor produksi secret
b. Tekanan penghisapan tidak lebih 100-200 mmHg. Hiperoksigenasi dengan 4-5 kali pernafasn
dengan O2 100 % dan hiperinflasi dengan 1 ½ kali VT menggunakan resusitasi manual atau
ventilator. Auskultasi bunyi nafas setelah penghisapan
c. Oksigen lembab merangasang pengenceran sekret. Suhu ideal 35-37,8OC
d. Mencegah sekresi kental
e. Peningkatan tekanan tiba-tiba mungkin menunjukkan adanya perlengketan jalan nafas
f. Fasilitasi pembuangan sekret.
g. Fasilitasi pengenceran dan penge-luaran sekret menuju bronkus utama.
h. Fasilitasi pengeluaran sekret menuju bronkus utama.
2. Gangguan pertukaran Gas b.d sekresi tertahan, proses penyakit, atau pengesetan ventilator tidak
tepat
Tujuan : Pertukaran gas jaringan paru optimal
Kriteria : Gas Darah Arteri dalam keadaan normal
Rencana Tindakan
a. Periksa AGD 10-30 menit setelah pengesetan ventilator atau setelah adanya perubahan
ventilator
b. Monitor AGD atau oksimetri selama periode penyapihan
c. Kaji apakah posisi tertentu menimbulkan ketidaknyamanan pernafasan
d. Monitor tanda hipoksia dan hiperkapnea
Rasional
a. AGD diperiksa sebagai evaluasi status pertukaran gas; menunjukkan konsentrasi O2 & CO2
darah.
b. Periode penyapihan rawan terhadap perubahan status oksigenasi.
c. Dalam berbagai kondisi, ketidak-nyamanan dapat mempengaruhi klinis penderita.
d. Hipoksia dan hiperkapnea ditandai adanya gelisah dan penurunan kesadaran, asidosis,
hiperventilasi, diaporesis dan keluhan sesak meningkat.
3. Gangguan komunikasi verbal b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan : Klien dan petugas kesehatan dapat berkomunikasi secara efektif selama pemasangan
selang endotrakeal
Kriteria : Klin dan perawat menentukan dan menggunakan metodayang tepat untuk
berkomunikasi, tidak terjadi hambatan komunikasi berarti, menggunakan metode yang tepat
Rencana Tindakan:
a. Jelaskan lingkungan, semua prosedur, tujuan dan alat yang berhubungan dengan klien
b. Berikan bel atau papan catatan serta alat tulis untuk momunikasi
c. Ajukan pertanyaan tertutup
d. Yakinkan pasien bahwa suara akan kembali bila endotrakela dilepas.
Rasional
a. Mengurangi kebingungan klien dan meminimalisasi adanya komunikasi yang sulit antara klien
dan perawat
b. Sebagai media komunikasi antara klien dan perawat
c. Menghindari komunikasi tidak efektif
d. Mengurangi kecemasan yang mungkin timbul akibat kehilangan suara
4. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan selang endotrakeal
Tujuan : Klien tidak mengalami infeksi nosokomial
Kriteria : tidak terdapat tanda-tanda infeksi nosokomial
Rencana Tindakan
a. Evaluasi warna, jumlah, konsistensi dan bau sputum tiap kali penghisapan
b. Tampung spesimen untuk kultur dan sensitivitas sesuai indikasi
c. Pertahankan teknis steril selama penghisapan lender
d. Ganti selang ventilator tiap 24 – 72 jam
Rasional
a. Infeksi traktus respiratorius dapat mengakibatkan sputum bertambah banyak, bau lebih
menyengat, warna berubah lebih gelap
b. Memastikan adanya kuman dalam sputum/jalan nafas
c. Mengurangi resiko infeksi nosokomial
d. Mengurangai resiko infeksi nosokomial
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta
Corwin, Elizabeth J, (2001), Buku saku Patofisiologi, Edisi bahasa Indonesia, EGC, Jakarta
Doengoes, E. Marilyn (1989), Nursing Care Plans, Second Edition, FA Davis, Philadelphia
Mansjoer Arif:1999: Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid I: Medi Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
Suprihatin, Titin (2000), Bahan Kuliah Keperawatan Gawat Darurat PSIK Angkatan I,
Universitas Airlangga, Surabaya