Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Rinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membran hidung yang ditandai dengan gejala

kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala berikut : bersin, hidung tersumbat,

hidung gatal dan rinore. Mata, telinga, sinus dan tenggorokan juga dapat terlibat. Rinitis

alergi merupakan penyebab tersering dari rinitis.(6)

Rinitis alergi adalah peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi peradangan yang

diperantarai IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, sekret hidung cair, bersin-bersin, dan

gatal pada hidung dan mata. Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai

sekitar 10 – 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama dekade terakhir.

Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi

40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup,

bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi,

rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat keparahan rinitis alergi

diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup seseorang. Diagnosis

rinitis alergi melibatkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang cermat, lokal dan sistemik

khususnya saluran nafas bawah.(5)

DEFINISI

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan

pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa

hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(1)

KLASIFIKASI

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu :

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.


Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA

(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat

berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari

4 minggu

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas(1,7)

ANATOMI HIDUNG (1)

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan

pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid

dengan bagian-bagian dari atas ke bawah : pangkal hidung, (bridge), dorsum nasi, puncak

hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung.

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan

ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang

hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os maksila

dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa

pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis

lateralis superior, sepasang kartilago nasalis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala

mayor, beberapa pasang kartilago ala minor dan tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan

oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang

masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut

posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares

anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak

kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrase. Tiap kavum nasi

mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.

Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan

krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina

kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan

dan periostium pada bagian tulang,sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat

konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Yang terbesar dan letaknya

paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil

lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema ini biasanya

rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,

sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat ronga sempit yang disebut

meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak

di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral ronga hidung. Pada meatus

inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada

meatus medius terdapat pula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan

infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana

terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media

terdapat sinus etmoid terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding

inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang

memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.(1)

Pendarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang

merupakan cabang dari a. oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal dari a. karotis interna.

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris interna,

diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung

posterior konka media.Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.

fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a.

etmoid, a. labialis superior, a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiessebach (Little’s area)
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber

epitaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vestibulum dan struktur

luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena

di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya

penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. (1)

Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).

Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui

ganglion sfenopalatina.

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan

vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut

sensoris dari n.maksila (n.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan

serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di

belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus

olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di

daerah sepertiga atas hidung. (1)

Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa

pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).

 Mukosa pernafasan.
Terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak

berlapis semu (pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya

terdapat sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal

dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi epitel skuamosa.

Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh

palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar

mukosa dan sel-sel goblet.

 Mukosa penghidu.

Terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.

Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseusostratified columnar

non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel

basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. (1)

ETIOLOGI

Penyebab rinitis alergi berbeda-beda bergantung pada apakah gejalanya musiman, perenial,

ataupun sporadik/episodik. Beberapa pasien sensitif pada alergen multipel, dan mungkin

mendapat rinitis alergi perenial dengan eksaserbasi musiman. Ketika alergi makanan dapat

menyebabkan rinitis, khususnya pada anak-anak, hal tersebut ternyata jarang menyebabkan

rinitis alergi karena tidak adanya gejala kulit dan gastrointestinal. (6)

Untuk rinitis alergi musiman, pencetusnya biasanya serbuksari (pollen) dan spora jamur.

Sedangkan untuk rinitis alergi perenial pencetusnya bulu binatang, kecoa, tikus, tungau,

kasur kapuk, selimut, karpet, sofa, tumpukan baju dan buku-buku.(1,6,8)

Alergen inhalan selalu menjadi penyebab. Serbuksari dari pohon dan rumput, spora jamur,

debu rumah, debris dari serangga atau tungau rumah adalah penyebab yang sering. Alergi

makanan jarang menjadi penyebab yang penting. Predisposisi genetik memainkan bagian

penting. Kemungkinan berkembangnya alergi pada anak-anak adalah masing-masing 20%

dan 47%, jika satu atau kedua orang tua menderita alergi.(3)
PATOFISIOLOGI

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan

diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :

1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya

segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya

terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal

ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.

2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung

2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat

berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa

pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan,

eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen

yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.(1,3)


Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang

berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa

hidung. Kompleks antigen yang telah diproses dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC

melepaskan sitokin seperti IL1 yang akan mengaktifkan Th0 ubtuk berproliferasi menjadi

Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL13. IL4 dan

IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi

aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat

oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel

ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,

maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya

dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah

terbentuk terutama histamin.(1)


Rinitis Alergi melibatkan membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii, telinga tengah,

sinus dan faring. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain dipengaruhi secara individual.

Peradangan dari mukosa membran ditandai dengan interaksi kompleks mediator inflamasi

namun pada akhirnya dicetuskan oleh IgE yang diperantarai oleh respon protein ekstrinsik. (6)

Kecenderungan munculnya alergi, atau diperantarai IgE, reaksi-reaksi pada alergen ekstrinsik

(protein yang mampu menimbulkan reaksi alergi) memiliki komponen genetik. Pada individu

yang rentan, terpapar pada protein asing tertentu mengarah pada sensitisasi alergi, yang

ditandai dengan pembentukan IgE spesifik untuk melawan protein-protein tersebut. IgE

khusus ini menyelubungi permukaan sel mast, yang muncul pada mukosa hidung. Ketika

protein spesifik (misal biji serbuksari khusus) terhirup ke dalam hidung, protein dapat

berikatan dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan pelepasan segera dan lambat dari

sejumlah mediator. Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk histamin, triptase,

kimase, kinin dan heparin. Sel mast dengan cepat mensitesis mediator-mediator lain,

termasuk leukotrien dan prostaglandin D2. Mediator-mediator ini, melalui interaksi beragam,

pada akhirnya menimbulkan gejala rinore (termasuk hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal,

kemerahan, menangis, pembengkakan, tekanan telinga dan post nasal drip). Kelenjar

mukosa dirangsang, menyebabkan peningkatan sekresi. Permeabilitas vaskuler meningkat,

menimbulkan eksudasi plasma. Terjadi vasodilatasi yang menyebabkan kongesti dan

tekanan. Persarafan sensoris terangsang yang menyebabkan bersin dan gatal. Semua hal
tersebut dapat muncul dalam hitungan menit; karenanya reaksi ini dikenal dengan fase

reaksi awal atau segera.(6)

Setelah 4-8 jam, mediator-mediator ini, melalui kompetisi interaksi kompleks, menyebabkan

pengambilan sel-sel peradangan lain ke mukosa, seperti neutrofil, eosinofil, limfosit dan

makrofag. Hasil pada peradangan lanjut, disebut respon fase lambat. Gejala-gejala pada

respon fase lambat mirip dengan gejala pada respon fase awal, namun bersin dan gatal

berkurang, rasa tersumbat bertambah dan produksi mukus mulai muncul. Respon fase

lambat ini dapat bertahan selama beberapa jam sampai beberapa hari.(6)

Sebagai ringkasan, pada rinitis alergi, antigen merangsang epitel respirasi hidung yang

sensitif, dan merangsang produksi antibodi yaitu IgE. Sintesis IgE terjadi dalam jaringan

limfoid dan dihasilkan oleh sel plasma. Interaksi antibodi IgE dan antigen ini terjadi pada sel

mast dan menyebabkan pelepasan mediator farmakologi yang menimbulkan dilatasi vaskular,

sekresi kelenjar dan kontraksi otot polos.(2)

Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan lesu, dapat muncul dari respon peradangan.

Gejala-gejala ini sering menambah perburukan kualitas hidup.(6)

Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas :(1)

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu

rumah, tungau, serpihan epitel, bulu binatang.

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan misalnya susu,

telur, coklat, ikan, udang.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya

bahan kosmetik, perhiasan.

GEJALA KLINIK

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin

merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan

sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali

setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin

patologis.(1)

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan

mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).(1,3,7)

Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda

hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung

hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic

salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung

bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak

mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada

telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari

hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia

submukosa jaringan limfoid. Seorang anak dengan rinitis alergi perenial dapat

memperlihatkan semua ciri-ciri bernafas mellaui mulut yang lama yang terlihat sebagai

hiperplasia adenoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara.(1,3,7)

Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,

penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami

lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.(6,8,9,10)

DIAGNOSIS(1,7)

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :

 Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan pemeriksa.

Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.


 Pemeriksaan rinoskopi anterior

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai

adanya sekret encer yang banyak.

1. Pemeriksaan naso endoskopi

2. Pemeriksaan sitologi hidung

Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.

Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika

basofil 5 sel/lap mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN

menunjukkan adanya infeksi bakteri.

 Hitung eosinofil dalam darah tepi

Dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio

immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada

pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma

bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi

atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah

pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzym

Linked Immuno Sorbent Assay)

 Uji kulit

Untuk mencari alergen penyebab secara invivo. Jenisnya skin end-point tetration/SET (uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri), prick test (uji cukit), scratch test (uji

gores), challenge test (diet eliminasi dan provokasi) khusus untuk alergi makanan (ingestan

alergen) dan provocative neutralization test atau intracutaneus provocative food test (IPFT)

untuk alergi makanan (ingestan alergen)

PENATALAKSANAAN(1,3,7)
1. Hindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Keduanya

merupakan terapi paling ideal. Eliminasi untuk alergen ingestan (alergi makanan)

2. Simtomatis. Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik,

kortikosteroid dan sodium kromoglikat.

3. Operatif. Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang

mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi

inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

4. Imunoterapi. Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan

medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak

dapat dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga

meningkatkan titer antibodi IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi &

netralisasi. Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk blocking antibody. Keduanya

untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan

lain belum memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking antibody dan untuk

alergi inhalan.(1,3,7)

KOMPLIKASI

1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip

hidung.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal.

4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama khususnya

pada anak-anak.

5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat asma

bronkial.(1,3,7,8)

PROGNOSIS

Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya

pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang

menjadi kurang sensitif pada alergen.(9)

Anda mungkin juga menyukai