Anda di halaman 1dari 16

A.

KONSEP DASAR
1. Anatomi Fisiologi

Saluran pencernaan di tubuh manusia dimulai dari rongga mulut, esofagus,


lambung, usus halus hingga anus. Sistem pencernaan meliputi :
a. Rongga mulut
Rongga mulut merupakan awal saluran pencernaan, proses pencernaan dimulai
dengan aktivitas mengunyah dimana makanan dipecah ke dalam partikel kecil dan
dicampur dengan enzim-enzim pencernaan. Di dalam mulut terdapat saliva yang
mengandung mukus yang fungsinya membantu melumasi makanan saat dikunyah.
Kemudian saat makanan ditelan epiglotis bergerak menutup lubang trakea untuk
mencegah terjadinya aspirasi makanan ke paru-paru sehingga mengakibatkan bolus
makanan berjalan ke dalam esofagus.
b. Esofagus
Esofagus memiliki panjang + 25 cm dan terletak di mediastinum rongga thorakal,
anterior terhadap tulang punggung dan posterior terhadap trakea dan jantung. Otot
halus di dinding esofagus berkontraksi dalam urutan irama dari esofagus ke arah
lambung untuk mendorong bolus makanan sepanjang saluran. Selama proses
peristaltik esofagus, sfingter esofagus bawah rileks dan memungkinkan bolus
makanan masuk ke lambung kemudian sfingter esofagus menutup dengan rapat untuk
mencegah refluks isi lambung ke dalam esofagus.
c. Lambung
Lambung terletak di bagian atas abdomen sebelah kiri dari garis tengah tubuh, tepat
di bawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantong yang dapat berdistensi
dengan kapasitas + 1.500 ml. Lambung terdiri dari 4 bagian yaitu kardia (jalan
masuk), fundus, korpus, dan pilorus. Lambung mensekresi cairan yang sangat asam,
cairan ini mempunyai pH serendah 1 dan memperoleh keasamannya dari asam
hidrochlorida yang disekresikan oleh kelenjar lambung. Fungsi sekresi asam untuk
memecah makanan menjadi komponen yang lebih dapat diabsorbsi dan untuk
membantu destruksi bakteri pencernaan. Lambung dapat menghasilkan sekresi kira-
kira 2,4 liter/hari.
d. Usus halus
Usus halus adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada
pilorus dan berakhir pada sekum, memiliki panjang 2/3 dari panjang total saluran
pencernaan. Bagian permukaan usus halus untuk sekresi dan absorbsi. Usus halus
dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
1) Duodenum
Duodenum adalah bagian pertama usus halus yang panjangnya 25 cm berbentuk
sepatu kuda dan kepalanya mengelilingi kepala pankreas. Saluran empedu dan
saluran pankreas masuk ke dalam duodenum pada suatu lubang yang disebut
ampula hepatopankreatika 10 cm dari pilorus.
2) Yeyunum
Yeyunum menempati 2/5 sebelah atas dari usus halus.
3) Ileum
Ileum menempati 3/5 akhir dari usus halus.
4) Dinding usus halus terdiri atas 4 lapisan yang sama dengan lambung yaitu
a) Dinding lapisan luar adalah membran serosa, yaitu peritoneum yang
membalut usus dengan erat.
b) Dinding lapisan berotot terdiri atas 2 lapisan serabut yaitu lapisan luar terdiri
atas serabut longitudinal, dan di bawahnya yaitu lapisan tebal terdiri dari atas
serabut sirkuler. Diantara kedua lapisan serabut berotot terdapat pembuluh
darah, pembuluh limfe dan plexus saraf.
c) Dinding sub mukosa, terdapat antara otot sirkuler dan lapisan yang terdalam
yang merupakan perbatasannya. Dinding sub mukosa ini terdiri dari jaringan
areolar dan berisi banyak pembuluh darah, saluran limfe, kelenjar dan plexus
saraf yang disebut plexus meissner. Di dalam duodenum terdapat kelenjar
bruner yang mengeluarkan sekret cairan kental alkali yang bekerja untuk
melindungi lapisan duodenum dari pengaruh isi lambung yang asam. Di
dalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel termasuk banyak leukosit
juga terdapat beberapa nodula jaringan limfe yang disebut kelenjar soliter. Di
dalam ileum terdapat kelompok-kelompok nodula, membentuk tumpukan
kelenjar peyer dan dapat berisi 20-30 kelenjar soliter yang panjangnya 1 cm
sampai beberapa cm. Kelenjar-kelenjar ini mempunyai fungsi melindungi dan
merupakan tempat peradangan pada demam usus atau tifoid.
Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengabsorbsi khime dari lambung isi
duodenum yaitu alkali.
e. Empedu
Empedu diperlukan untuk pencernaan lemak yang diemulsikan untuk membantu kerja
lipase. Sifatnya alkali dan membantu membuat makanan yang keluar dari lambung
yang asam menjadi netral. Garam Empedu mengurangi tegangan permukaan isi usus
dan membantu membentuk emulsi dari lemak yang dimakan.
f. Pankreas
Getah pankreas berisi tiga jenis enzim pencernaan yang memecah atas 3 jenis
makanan. Amilase, mencerna hidrat karbon, mengubah zat tepung menjadi
disakharida. Lipase, ialah enzim yang memecah lemak menjadi gliserin dan asam
lemak. Tripsin, merupakan enzim pembeku susu mengubah protein menjadi pepton.
g. Usus Besar
Usus besar atau kolon memiliki panjang kira-kira 1,5 meter. Refleks gastrokolik
terjadi ketika makanan masuk lambung dan menimbulkan peristaltik di dalam usus
besar. Refleks ini menyebabkan defekasi atau pembuangan air besar. Dalam 4 jam
setelah makan, materi sisa residu melewati ileum terminalis dan dengan perlahan
melewati bagian proksimal kolon melalui katup ileosekal. Katup ini secara normal
tertutup, membantu mencegah isi colon mengalir kembali ke usus halus. Populasi
bakteri adalah komponen utama dari isi usus besar. Bakteri membantu menyelesaikan
pemecahan materi sisa dan garam empedu. Dua jenis sekresi kolon ditambah pada
materi sisa mukus dan larutan elektrolit. Larutan elektrolit adalah larutan bikarbonat
yang bekerja untuk menetralisasi. Prosedur akhir yang terbentuk melalui kerja bakteri
kolonik. Mukus ini melindungi mukosa colon dari isi interluminal dan juga
memberikan perlekatan untuk massa fekal. Aktifitas peristaltik yang lemah
menggerakkan isi kolonik dengan perlahan sepanjang saluran. Gelombang peristaltik
kuat intermiten mendorong isi untuk jarak tertentu. Hal ini terjadi secara umum
setelah makanan lain dimakan, bila hormon perangsang usus dilepaskan. Materi sisa
dari makanan akhirnya mencapai dan mengembangkan anus, biasanya dalam 12 jam.
sebanyak seperempat dari materi sisa dari makanan mungkin tetap berada di rektum
selama 3 hari setelah makanan dicerna.
h. Rektum : Defekasi, Faeces dan Flatus
Rektum terletak 10 cm di bawah dari usus besar dimulai pada kolon sigmoideus dan
berakhir pada saluran anal. Saluran ini berakhir ke dalam anus yang dijaga oleh otot
internal dan eksternal. Rektum serupa dengan kolon tetapi dindingnya yang berotot
lebih tebal dan membran mukosanya memuat lipatan-lipatan membujur yang disebut
kolumna morgagni. Semua ini menyambung ke dalam saluran anus. Di dalam saluran
anus ini serabut otot sirkuler menebal membentuk otot sfingter anus internal. Sel-sel
yang melapisi saluran anus berubah sifatnya epitelium bergaris menggantikan sel-sel
silinder. Sfingter eksterna menjaga saluran anus dan orifisium supaya tertutup.
Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi.
2. Pengertian
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum, lapisan membrane serosa rongga
abdomen dan meliputi visera yang merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronik/kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan
dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular dan tanda-tanda umum inflamasi. (Santosa,
Budi. 2005)
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya
akan vaskularisasi dan aliran limpa. (Soeparman, dkk)
Peritonitis adalah suatu peradangan dari peritoneum, pada membran serosa, pada
bagian rongga perut (Andra).
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput
rongga perut (peritoneum) lapisan membrane serosa rongga abdomen dan dinding perut
bagian dalam.
3. Etiologi
a. Infeksi bakteri
1) Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aureus, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.
2) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
3) Appendiksitis yang meradang dan perforasi
4) Tukak peptik (lambung / dudenum)
5) Tukak thypoid
6) Tukak pada tumor
b. Secara langsung dari luar.
1) Operasi yang tidak steril
2) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang
disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda
asing, disebut juga peritonitis granulomatosa
3) Trauma pada kecelakaan peritonitis lokal seperti rupturs limpa, ruptur hati
4) Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis.
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pnemokokus.
4. Tanda dan Gejala
Gejala peritonitis tergantung pada jenis dan penyebaran infeksinya. Biasanya
penderita muntah, demam tinggi dan merasakan nyeri tumpul di perutnya. Bisa terbentuk
satu atau beberapa abses. Infeksi dapat meninggalkan jaringan parut dalam bentuk pita
jaringan (perlengketan, adhesi) yang akhirnya bisa menyumbat usus. Bila peritonitis tidak
diobati dengan seksama, komplikasi bisa berkembang dengan cepat. Gerakan peristaltik
usus akan menghilang dan cairan tertahan di usus halus dan usus besar. Cairan juga akan
merembes dari peredaran darah ke dalam rongga peritoneum. Terjadi dehidrasi berat dan
darah kehilangan elektrolit. Selanjutnya bisa terjadi komplikasi utama, seperti kegagalan
paru-paru, ginjal atau hati dan bekuan darah yang menyebar.
Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau
pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi
hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat
tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme
antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan
atau tegang karena iritasi peritoneum. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi
positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat,
penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan
kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
5. Komplikasi
a. Penumpukan cairan mengakibatkan penurunan tekanan vena sentral yang
menyebabkan gangguan elektrolit bahkan hipovolemik, syok dan gagal ginjal.
b. Abses peritoneal
c. Cairan dapat mendorong diafragma sehingga menyebabkan kesulitan bernafas.
d. Sepsis
6. Patofisiologi (Narasi dan Skema)
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Bila bahan-bahan infeksi tersebar luas pada pemukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi, dan oliguri. Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik
intraabdomen (meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestrasi
fibrin dengan adanya pembentukan jejaring pengikat. Produksi eksudat fibrin merupakan
mekanisme terpenting dari sistem pertahanan tubuh, dengan cara ini akan terikat bakteri
dalam jumlah yang sangat banyak di antara matriks fibrin.
Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh
yang melibatkan substansi pembentuk abses dan kuman-kuman itu sendiri untuk
menciptakan kondisi abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah kuman yang sangat
banyak, tubuh sudah tidak mampu mengeliminasi kuman dan berusaha mengendalikan
penyebaran kuman dengan membentuk kompartemen - kompartemen yang kita kenal
sebagai abses. Masuknya bakteri dalam jumlah besar ini bisa berasal dari berbagai
sumber. Yang paling sering ialah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit viseral atau
intervensi bedah yang merusak keadaan abdomen. Selain jumlah bakteri transien yang
terlalu banyak di dalam rongga abdomen, peritonitis terjadi juga memang karena
virulensi kuman yang tinggi hingga mengganggu proses fagositosis dan pembunuhan
bakteri dengan neutrofil.
Keadaan makin buruk jika infeksinya dibarengi dengan pertumbuhan bakteri lain
atau jamur, misalnya pada peritonitis akibat koinfeksi Bacteroides fragilis dan
bakterigram negatif, terutama E. coli. Isolasi peritoneum pada pasien peritonitis
menunjukkan jumlah Candida albicans yang relatif tinggi, sehingga dengan
menggunakan skor APACHE II (acute physiology and cronic health evaluation)
diperoleh mortalitas tinggi, 52%, akibat kandidosis tersebut. Saat ini peritonitis juga
diteliti lebih lanjut karena melibatkan mediasi respon imun tubuh hingga mengaktifkan
systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan multiple organ failure (MOF).
Pathway Keperawatan
Infeksi Bakteri, virus, Trauma Appendiksitis Konsumsi diit rendah serat
cacing/ parasit abdomen

Obstruksi lumen peritonium Fekalit dalam lumen


Ruptur
peritonium Perforasi
Mukosa Terbendung Konstipasi

Sekresi mukus terus menerus Tekanan intra sekal

Tekanan intra luminal Respon inflamasi Sumbatan fungsional


dan pertumbuhan kuman kolon

Aliran limfe terhambat


Oedema, ulserasi mukosa

Peritonitis

Pre Operasi

Peradangan Peritonium Peningkatan Peristaltik Proses infeksi


Konsumsi diit
mendadak rendah serat

Proses penyakit Anoreksia, mual, Kemungkinan distensi abdomen muntah


ruptur
Nyeri Ketidakseimbangan nutrisi Resiko Konstipasi
kurang dari kebutuhan infeksi
Hipetermi tubuh

Post Operasi

Pembedahan/Laparatomy Pembatasan, paska operasi (puasa) Kelemahan fisik

Resiko Intoleransi
Nyeri kekurangan aktivitas
volume cairan
Resiko
infeksi
7. Penatalaksanaan
a. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan
kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena untuk
mengganti elektrolit dan kehilangan protein. Biasanya selang usus dimasukkan
melalui hidung ke dalam usus untuk mengurangi tekanan dalam usus.
b. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan perbaikan
dapat diupayakan.
c. Pembedahan mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis, seperti apendiktomi.
Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan drainase
terhadap abses.
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata
Nama, umur, alamat, agama, pendidikan, dll.
b. Riwayat kesehatan
c. Kaji keluhan utama
Keluhan waktu di data : Terdapat pasien muntah-muntah, demam, sakit kepala, nyeri
ulu hati, makan-minum kurang, turgor kulit jelek, keadaan umum lemah.
Riwayat kesehatan yang lalu : Pernah menderita moviting atau tidak
Riwayat kesehatan keluarga : Apakah anggota keluarga pernah menderita penyakit
seperti pasien
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital : kenaikan TD, nadi, suhu dan respirasi
b. Inspeksi
1) Kepala : Keadaan rambut, mata, muka, hidung, mulut, telinga dan leher
2) Abdomen: biasanya terjadi pembesaran limfa
3) Genetalia : Tidak ada perubahan
c. Palpasi abdomen : Teraba pembesaran limfa , perut kembung, nyeri
d. Auskultasi : peristaltic usus menurun
Perkusi abdomen : hipersonor

3. Pengkajian primer
a. Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Adakah sumbatan jalan nafas berupa secret,
lidah jatuh atau benda asing
b. Breathing
Kaji pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan nilai berapa frekuensi
pernafasan klien per menitnya.
c. Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji keseimbangan cairan
dan elektrolit klien, lebih lanjut kaji output dan intake klien.
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon terhadap nyeri atau sama
sekali tidak sadar. Tidak di anjurkan menggunakan GCS, adapun cara yang cukup
jelas dan cepat adalah :
A: Awakening
V: Respon Bicara
P: Respon Nyeri
U: Tidak Ada Nyeri

e. Exposure

Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar dapat diketahui kelaianan
yang muncul, pada abdomen akan tampak distensi sebagai akibat perubahan sirkulasi,
penumpukan cairan dan udara yang tertahan dilumen.

4. Diagnosa Keperawatan Utama


a. Pre Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual,muntah, anoreksia.
3) Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.
4) Konstipasi berhubungan dengan distensi abdomen.
5) Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.
b. Post Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
2) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak
adekuat.
3) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
5. Intervensi dan Rasional
Pre Operasi
a. Dx I. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang
atau hilang.
NOC : Level nyeri, kriteria hasil:
1) Nyeri berkurang
2) Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah
3) Kegelisahan atau ketegangan otot
4) Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.
5) Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
NIC : Penatalaksanaan nyeri
1) Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan, factor
presipitasinya
2) Observasi ketidaknyamanan non verbal
3) Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi,
berikan perawatan yang tidak terburu-buru
4) Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan
5) Anjurkan pasien untuk istirahat
6) Libatkan keluarga dalam pengendalian nyeri pada anak.
7) Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.
b. Dx II. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual,muntah, anoreksia.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi pasien adekuat.
NOC : Status Gizi, kriteria hasil:
1) Mempertahankan berat badan.
2) Toleransi terhadap diet yang dianjurkan.
3) Menunjukan tingkat keadekuatan tingkat energi.
4) Turgor kulit baik.
NIC : Pengelolaan Nutrisi
1) Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
2) Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
3) Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana
memenuhinya.
4) Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan muntah.
5) Pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.
c. Dx III. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh kembali
normal 370 C
NOC : Thermoregulation,kriteria hasil:
1) Suhu kulit dalam rentang yang diharapkan
2) Suhu tubuh dalam batas normal
3) Nadi dan pernapasan dalam rentang yang diharapkan
4) Perubahan warna kulit tidak ada
NIC : Fever Treatment
1) Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai dengan kebutuhan
2) Pantau warna kulit dan suhu
3) Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan hanya selembar
pakaian.
4) Berikan cairan intravena
d. Dx IV. Konstipasi berhubungan dengan pola makan yang buruk.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan konstipasi teratasi.
NOC : Eliminasi defekasi, kriteria hasil:
1) Pola eliminasi dalam rentang yang diharapkan
2) Mengeluarkan feses tanpa bantuan.
3) Mengingesti cairan dan serat dengan adekuat.
NIC : Penatalaksanaan defekasi
1) Pantau pergerakan defekasi meliputi frekuensi, konsistensi,bentuk, volume, dan
warna yang tepat.
2) Perhatikan masalah defekasi yang telah ada sebelumnya, rutinitas defekasi dan
penggunaan laksatif.
3) Instruksikan pada pasien dan keluarga tentang diet, asupan cairan,aktivitas dan
latihan.
4) Awali konferensi keperawatan dengan melibatkan pasien dan keluarga untuk
mendorong perilaku positif yaitu perubahan diet.
5) Beri umpan balik positif untuk pasien saat terjadi perubahan tingkah laku.
e. Dx V. Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien bebas dari gejala
peritonitis.
NOC : Pengendalian Resiko, kriteria hasil:
1) Terbebas dari tanda dan gejala peritonitis.
2) Mengindikasikan status gastrointestinal, pernafasan,genitourinaria, dan imun
dalam batas normal.
3) Menunjukan gejala dan tanda infeksi dan mengikuti prosedur dan pemantauan.
NIC : Pengendalian Infeksi
1) Pantau TTV dengan ketat, khususnya adanya peningkatan frekuensi jantung dan
suhu serta pernafasan yang cepat dan dangkal untuk mendeteksi rupturnya
apendiks.
2) Observasi adanya tanda-tanda lain peritonitis ( misal hilangnya nyeri secara tiba-
tiba pada saat terjadi perforasi diikuti dengan peningkatan nyeri yang menyebar
dan kaku abdomen, distensi abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi
udara, pucat, menggigil, peka rangsang untuk menentukan tindakan yang tepat.
3) Hindari pemberian laksatif,karena dapat merangsang motilitas usus dan
meningkatkan resiko perforasi.
4) Pantau jumlah SDP sebagai indikator infeksi.
5) Lindungi pasien dari kontaminasi silang.
Post Operasi

a. Dx. I. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang


atau hilang.

NOC : Level nyeri, kriteria hasil:


1) Nyeri berkurang

2) Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah

3) Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.

4) Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan.

NIC: Penatalaksanaan nyeri

1) Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan.

2) Observasi ketidaknyamanan non verbal

3) Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi,
berikan perawatan yang tidak terburu-buru

4) Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap


ketidaknyamanan

5) Anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan tenkik relaksai saat nyeri.

6) Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.

b. Dx II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang
tidak adekuat.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan


pasien normal dan dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat.

NOC : Fluid balance, kriteria hasil:

1) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT
normal

2) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal

3) Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas, turgor kulit, membran mukosa


lembab,

4) Tidak ada rasa haus yang berlebihan

NIC : Fluid Management


1) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat

2) Monitor vital sign dan status hidrasi

3) Monitor status nutrisi

4) Awasi nilai laboratorium, seperti Hb/Ht, Na+ albumin dan waktu pembekuan.

5) Kolaborasikan pemberian cairan intravena sesuai terapi.

6) Atur kemungkinan transfusi darah.

c. Dx. III. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.

Tujuan: Setelah dilakuakan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi infeksi


pada luka bedah.

NOC : Pengendalian Resiko, kriteria hasil:

1) Bebas dari tanda dan gejala infeksi.

2) Higiene pribadi yang adekuat.

3) Mengikuti prosedur dan pemantauan.

NIC: Pengendalian Infeksi

1) Pantau tanda dan gejala infeksi( suhu, denyut jantung, penampilan luka).

2) Amati penampilan praktek higiene pribadi untuk perlindungan terhadap infeksi.

3) Instruksikan untuk menjaga higiene pribadi untuk melindungi tubuh terhadap


infeksi.

4) Lindungi pasien terhadap kontaminasi silang dengan pemakaian set ganti balut
yang steril.

5) Bersihkan lingkungan dengan benar setelah.

d. Dx. IV. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan diharapkan pasien dapat beraktivitas tanpa


mengalami kelemahan.

NOC : Konservasi energi, kriteria hasil:


1) Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi,
dan RR

2) Mampu melakukan aktivitas secara mandiri.

NIC : Management Energi

1) Tirah baring pada pasien dan bantu segala aktivitas sehari-hari, atur periode
istirahat dan aktivitas

2) Monitor terhadap tingkat kemampuan aktivitas, hindari aktivitas yang berlebihan

3) Tingkatkan aktivitas sesuai dengan toleransi

4) Monitor kadar enzim serum untuk mengkaji kemampuan aktivitas

5) Monitor tanda-tanda vital dan atur perubahan posisi.

6) Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat.

6. Evaluasi
C. DAFTAR PUSTAKA
Andra. 2016. Peritonitis Pedih dan Sulit Diobati. www.majalah-farmacia.com.
Brunner dan Suddarth. 2011. Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E. et all. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Santosa, Budi. 2010. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda. Jakarta: Prima Medika.

Anda mungkin juga menyukai