Anda di halaman 1dari 22

A.

KONSEP DASAR
1. Anatomi Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Darah


Sel darah merah terdiri dari sebagian besar sel-sel darah dalam sirkulasi, dan salah
satu fungsi utama mereka adalah untuk membawa oksigen dari paru ke semua sel,
jaringan, dan organ dalam tubuh. Oksigen dilakukan di dalam sel darah merah
dikombinasikan ke besi yang mengandung protein yang disebut hemoglobin. sel darah
merah tidak memiliki inti dan berbentuk seperti cakram cekung ganda atau donat
berbentuk, dan mampu meringkuk dan pemerasan melalui pembuluh darah terkecil.
Jumlah sel darah merah normal dalam darah bervariasi, dan lebih tinggi pada laki-
laki daripada perempuan. bayi baru lahir memiliki jumlah sel merah yang lebih tinggi
daripada orang dewasa. Jika ada jumlah yang lebih tinggi dari sel darah merah dalam
sirkulasi dari biasanya maka seseorang dikatakan telah erythrocytosis atau polisitemia.
Situasi sebaliknya dapat terjadi, dimana ada tingkat yang lebih rendah dari sel darah
merah daripada biasanya, dan kondisi ini disebut sebagai "anemia". jumlah sel darah
merah Dibesarkan dapat ditemukan kebetulan pada orang tanpa gejala, pada tahap awal
polisitemia.
Pada polisitemia, mungkin menjadi 8-9 juta jiwa dan kadang-kadang 11 juta
eritrosit milimeter kubik darah (kisaran normal untuk orang dewasa adalah 4-6), dan
hematokrit mungkin setinggi 70 hingga 80%. Selain itu, volume total darah kadang-
kadang meningkat menjadi sebanyak dua kali normal. Sistem vaskular keseluruhan dapat
menjadi nyata membesar dengan darah, dan sirkulasi kali untuk darah ke seluruh tubuh
dapat meningkat hingga dua kali dari nilai normal. Peningkatan jumlah eritrosit dapat
menyebabkan viskositas darah untuk meningkatkan sebanyak lima kali normal. Kapiler
dapat menjadi terpasang oleh darah yang sangat kental, dan aliran darah melalui
pembuluh cenderung sangat lamban.
2. Pengertian
Polisitemia berasal dari bahasa Yunani: poly (banyak), cyt (sel), dan hemia
(darah). Jadi, polisitemia berarti peningkatan jumlah sel darah (eritrosit, leukosit,
trombosit) di dalam darah. Polisitemia adalah suatu kondisi yang jarang terjadi di mana
tubuh terlalu banyak memproduksi sel darah merah. Polisitemia adalah peningkatan
absolute dalam massa eritrosit yang bukan akibat proses mieloproliferatif primer
(peningkatan volume sel darah merah total, pada laki-laki dengan hematokrit yang
menetap lebih dari 55% dan pada perempuan dengan hematokrit menetap lebih dari 50%,
serta penurunan volume plasma juga dapat menyebabkan peningkatan hematokrit) atau
proliferasi berlebihan sel eritroid, disertai dengan seri myeloid dan megakariosit.
Proliferasi maligna ini bersifat klonal dari sel induk hemapoetik.
Polisitemia merupakan kelainan sistem hemopoises yang dihubungkan dengan
peningkatan jumlah dan volume sel darah merah (eritrosit) secara bermakna mencapai 6-
10 juta/ml di atas ambang batas nilai normal dalam sirkulasi darah merah (eritrosit)
secara bermakna mencapai 6-10 juta/ml di atas ambang batas nilai normal sirkulasi darah,
tanpa memperdulikan jumlah leukosit dan trombosit disebut polisitemia vera bila
sebagian populasi eritrosit bereasal dari suatu klon sel induk darah yang abnormal (tidak
membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya). Berbeda dengan polisitemia
sekunder dimana eritropoetin meningkat atau fisiologis sebagai kompensasi atas
kebutuhan oksigen yang meningkat atau ertropoetin meningkat secara non fisiologis pada
sindrom paraneoplastik sebagai manifestasi neoplasma lain yang mensekresi eritropetin.

3. Etiologi
Faktor pencetusnya belum diketahui secara pasti, akan tetapi banyak faktor
predisposisi seperti faktor penyakit menjadi penyebab terjadinya polisitemia. Pada
polisitemia vera, mutasi JAK-2 menjadi penyebab karena kesalahan dalam mengkode
valin menjadi fenilalanin. Berikut ini adalah daftar penyebab atau kondisi yang
mendasarinya (lihat juga mendiagnosis penyebab yang mendasari polisitemia) yang
mungkin dapat menyebabkan polisitemia meliputi:
a. Polisitemia primer
Polisitemia Primer terjadi di sekitar 2 pada setiap 100.000 orang. Penyebabnya tidak
diketahui. Namun, polisitemia ini hadir saat lahir, biasanya disebabkan oleh kelainan
genetik warisan yang abnormal menyebabkan tingkat tinggi prekursor sel darah
merah.
b. Polisitemia sekunder
Polisitemia sekunder umumnya terjadi sebagai respon terhadap faktor-faktor lain atau
kondisi yang mendasarinya atau gangguan, seperti:
1) Tumor hati,
2) Tumor ginjal atau sindroma Cushing
3) Peningkatan eritropoietin (EPO) produksi, baik dalam respon terhadap hipoksia
kronis (kadar oksigen rendah) atau dari tumor mensekresi eritropoietin
4) Perilaku, gaya hidup, seperti merokok, tinggal di tempat yang tinggi, penyakit
paru-paru parah, dan penyakit jantung.
Bila ada kekurangan oksigen, tubuh merespon dengan memproduksi lebih banyak sel
darah merah yang membawa oksigen ke sel-sel tubuh.

4. Tanda dan Gejala


Permasalahan yang ditimbulkan berkaitan dengan massa eritrosit, basofil, dan
trombosit yang bertambah, serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah fibrosis
sumsum tulang. Fibrosis sumsum tulang yang ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan
neoplastik jaringan ikat.
Tanda dan gejala yang predominan pada polisitemia vera adalah sebagai akibat
dari :
a. Hiperviskositas
Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian
akan menyebabkan :
1) Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi akan menimbulkan
eritrostasis sebagai akibat penggumpalan eritrosit.
2) Penurunan laju transpor oksigen
Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai
gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ sasaran (iskemia/infark)
seperti di otak, mata, telinga, jantung, paru, dan ekstremitas.
b. Penurunan shear rate
Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis primer yaitu
agregasi trombosit pada endotel. Hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya
perdarahan, walaupun jumlah trombosit >450 ribu/mL. Perdarahan terjadi pada 10-
30% kasus PV, manifestasinya dapat berupa epistaksis, ekimosis, dan perdarahan
gastrointerstinal.
c. Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL).
Trombositosis dapat menimbulkan trombosis. Pada PV tidak ada korelasi
trombositosis dengan trombosis. Trombosis vena atau tromboflebitis dengan emboli
terjadi pada 30-50% kasus PV.
d. Basofilia (hitung basofil >65/mL)
Lima puluh persen kasus PV datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh terutama
setelah mandi air panas, dan 10% kasus polisitemia vera datang dengan urtikaria
suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalam darah
sebagai akibat adanya basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung terjadi
karena peningktana kadar histamin.
e. Splenomegali
Splenomegali tercatat pada sekitar 75% pasien polisitemia vera. Splenomegali ini
terjadi sebagai akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular.
f. Hepatomegali
Hepatomegali dijumpai pada kira-kira 40% polisitemia vera. Sebagaimana halnya
splenomegali, hepatomegali juga merupakan akibat sekunder hiperaktivitas
hemopoesis ekstramedular.
g. Laju siklus sel yang tinggi
Sebagai konsekuensi logis hiperaktivitas hemopoesis dan splenomegali adalah
sekuestasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian produksi asam urat
darah akan meningkat. Di sisi lain laju filtrasi gromerular menurun karena penurunan
shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10% kasus polisitemia vera.
h. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat.
Laju silkus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisinesi asam folat dan
vitamin B12. Hal ini dijumpai pada + 30% kasus PV karena penggunaan/metabolisme
untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat
vitamin B12 (UB12-protein binding capacity) dijumpai meningkat pada lebih dari
75% kasus. Seperti diketahui defisiensi kedua vitamin ini memegang peranan dalam
timbulnya kelainan kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N.optikus, serta psikosis.
i. Muka kemerah-merahan (Plethora )
Gambaran pembuluh darah dikulit atau diselaput lendir, konjungtiva, hiperemis
sebagai akibat peningkatan massa eritrosit.
j. Keluhan lain yang tidak khas seperti : cepat lelah, sakit kepala, cepat lupa, vertigo,
tinitus, perasaan panas.
k. Manifestasi perdarahan (10-20%), dapat berupa epistaksis, ekimosis, perdarahan
gastrointestinal menyerupai ulkus peptikum. Perdarahan terjadi karena peningkatan
viskositas darah akan menyebabkan ruptur spontan pembuluh darah arteri. Pasien
Polisitemia Vera yang tidak diterapi beresiko terjadinya perdarahan waktu operasi
atau trauma.

5. Komplikasi
Kelebihan sel darah merah dapat dikaitkan dengan komplikasi lain, termasuk
kemungkinan komplikasi:
a. Perdarahan dari lambung atau bagian lain pada saluran pencernaan.
b. Batu Ginjal Asam urat
c. Gagal jantung
d. Leukemia/leukositosis
e. Myelofibrosis
f. Penyakit ulkus peptikum
g. Trombosis (pembekuan darah, yang dapat menyebabkan stroke atau serangan
jantung)
6. Patofisiologi (Narasi dan Skema)
Terdapat 3 jenis polisitemia yaitu relatif (apparent), primer, dan sekunder.
a. Polisitemia relatif berhubungan dengan dehidrasi. Dikatakan relatif karena terjadi
penurunan volume plasma namun massa sel darah merah tidak mengalami perubahan.
b. Polisitemia primer disebabkan oleh proliferasi berlebihan pada sel benih
hematopoietik tanpa perlu rangsangan dari eritropoietin atau hanya dengan kadar
eritropoietin rendah. Dalam keadaan normal, proses proliferasi terjadi karena
rangsangan eritropoietin yang kuat.
c. Polisitemia sekunder, dimana proliferasi eritrosit disertai peningkatan kadar
eritropoietin. Peningkatan massa sel darah merah lama kelamaan akan mencapai
keadaan hemostasis dan kadar eritropoietin kembali normal. Contoh polisitemia ini
adalah hipoksia.
Mekanisme terjadinya polisitemia vera (PV) disebabkan oleh kelainan sifat sel tunas
(stem cells) pada sumsum tulang. Selain terdapat sel batang normal pada sumsum tulang
terdapat pula sel batang abnormal yang dapat mengganggu atau menurunkan
pertumbuhan dan pematangan sel normal. Bagaimana perubahan sel tunas normal jadi
abnormal masih belum diketahui. Progenitor sel darah penderita menunjukkan respon
yang abnormal terhadap faktor pertumbuhan. Hasil produksi eritrosit tidak dipengaruhi
oleh jumlah eritropoetin. Kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi karena adanya
perubahan DNA yang dikenal dengan mutasi.Mutasi ini terjadi di gen JAK2 (Janus
kinase-2) yang memproduksi protein penting yang berperan dalam produksi darah. Pada
keadaan normal, kelangsungan proses eritropoiesis dimulai dengan ikatan antara ligan
eritropoietin (Epo) dengan reseptornya (Epo-R). Setelah terjadi ikatan, terjadi fosforilasi
pada protein JAK. Protein JAK yang teraktivasi dan terfosforilasi, kemudian
memfosforilasi domain reseptor di sitoplasma. Akibatnya, terjadi aktivasi signal
transducers and activators of transcription (STAT). Molekul STAT masuk ke inti sel
(nucleus), lalu mengikat secara spesifik sekuens regulasi sehingga terjadi aktivasi atau
inhibisi proses trasnkripsi dari hematopoietic growth factor.Pada penderita PV, terjadi
mutasi pada JAK2 yaitu pada posisi 617 dimana terjadi pergantian valin menjadi
fenilalanin (V617F), dikenal dengan nama JAK2V617F. Hal ini menyebabkan aksi
autoinhibitor JH2 tertekan sehingga proses aktivasi JAK2 berlangsung tak terkontrol.
Oleh karena itu, proses eritropoiesis dapat berlangsung tanpa atau hanya sedikit
hematopoetic growth factor. Terjadi peningkatan produksi semua macam sel, termasuk
sel darah merah, sel darah putih, dan platelet. Volume dan viskositas darah meningkat.
Penderita cenderung mengalami thrombosis dan pendarahan dan menyebabkan gangguan
mekanisme homeostatis yang disebabkan oleh peningkatan sel darah merah dan tingginya
jumlah platelet. Thrombosis dapat terjadi di pembuluh darah yang dapat menyebabkan
stroke, pembuluh vena, arteri retinal atau sindrom Budd-Chiari. Fungsi platelet penderita
PV menjadi tidak normal sehingga dapat menyebabkan terjadinya pendarahan.
Peningkatan pergantian sel dapat menyebabkan terbentuknya hiperurisemia, peningkatan
resiko pirai dan batu ginjal. Mekanisme yang diduga untuk menyebabkan peningkatan
poliferesi sel induk hematopoietik adalah sebagai berikut:
a. Tidak terkontrolnya poliferesi sel induk hematopoietik yang bersifat neoplastik
b. Adanya faktor mieloproliferatif abnormal yang memepengaruhi poliferasi sel induk
hematopoietik normal.
c. Peningkatan sensivitas sel induk hematopoietik terhadap eritropoitin, interlaukin, 1,3
GMCSF dan sistem cell faktor.
Adapun perjalanan klinis polisitemia yaitu :
a. Fase eritrositik atau fase polisitemia.
Fase ini merupakan fase permulaan. Pada fase ini didapatkan peningkatan jumlah
eritrosit yang dapat bertanggung jawab 5-25 tahun. Pada fase ini dibutuhkan
flebotomi secara teratur untuk menggendalikan viskositas darah dalam batasan
normal.
b. Fase brun out (terbakar habis) atau spent out (terpakai habis ).
Dalam fase ini kebutuhan flebotomi menurun sangat jauh atau pasien memasuki
priode panjang yang tampaknya seperti remisi, kadang-kadang timbul anemia tetapi
trombositosis dan leokositosis biasanya menetap.
c. Fase mielofibrotik
Jika terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, manifestasi klinis dan perjalanan
klinis menjadi serupa dengan mielofibrosis dan metaplasia mieliod. Kadang- kadang
terjadi metaplasia mieloid pada limpa, hati, kelenjar getah bening dan ginjal.
d. Fase terminal
Pada kenyataannya kematian pasien dengan polisitemia vera diakibatkan oleh
komplikasi trombosis atau perdarahan. Kematian karena mielofibrosis terjadi pada
kurang dari 15%. Kelangsungan hidup rerata (median survival) pasien yang diobati
berkisar anatara 8 dan 15 tahun, sedangkan pada pasien yang tidak mendapatkan
pengobatan hanya 18 bulan. Dibandingkan dengan pengobatan flibotomi saja, resiko
terjadinya leukemia akut meningkat 5 kali jika pasien diberi pengobatan fosfor P32
dan 13 kali jika pasien mendapatkan obat sitostatik seperti klorambusil.
7. Penatalaksanaan
Terapi-terapi yang sudah ada saat ini belum dapat menyembuhkan pasien. Yang dapat
dilakukan hanya mengurangi gejala dan memperpanjang harapan hidup pasien.
Tujuan terapi yaitu:
a. Menurunkan jumlah dan memperlambat pembentukan sel darah merah (eritrosit)
b. Mencegah kejadian trombotik misalnya trombosis arteri-vena,
serebrovaskular,thrombosis vena dalam, infark miokard, oklusi arteri perifer, dan
infark pulmonal.
c. Mengurangi rasa gatal dan eritromelalgia ekstremitas distal.
Prinsip terapi
a. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan
mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi.
b. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum
terkendali.
c. Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment)
d. Menghindari obat yang mutagenik, teragenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia
muda.
e. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi
sitostatik.
Pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan:
1) Trombositosis persisten di atas 800.00/mL, terutama jika disertai gejala
thrombosis
2) Leukositosis progresif
3) Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematic
4) Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan,
penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.

a. Terapi PV
1) Flebotomi
Flebotomi adalah terapi utama pada PV. Flebotomi mungkin satu-satunya bentuk
pengobatan yang diperlukan untuk banyak pasien, kadang-kadang selama
bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan. Indikasi flebotomi
terutama pada semua pasien pada permulaan penyakit,dan pada pasien yang
masih dalam usia subur.Pada flebotomi, sejumlah kecil darah diambil setiap hari
sampai nilai hematokrit mulai menuru. Jika nilai hematokrit sudah mencapai
normal, maka darah diambil setiap beberapa bulan, sesuai dengan kebutuhan.
Target hematokrit yang ingin dicapai adalah <45% pada pria kulit putih dan
<42% pada pria kulit hitam dan perempuan.
2) Kemoterapi Sitostatika/ Terapi mielosupresif (agen yang dapat mengurangi sel
darah merah atau konsentrasi platelet)
Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatik adalah sitoreduksi. Lebih baik
menghindari kemoterapi jika memungkinkan, terutama pada pasien uisa muda.
Terapi mielosupresif dapat dikombinasikan dengan flebotomi atau diberikan
sebagai pengganti flebotomi. Kemoterapi yang dianjurkan adalah Hidroksiurea
(dikenal juga sebagai hidroksikarbamid) yang merupakan salah satu sitostatik
golongan obat antimetabolik karena dianggap lebih aman, tetapi masih
diperdebatkan tentang keamanan penggunaan jangka panjang. Penggunaan
golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi
karena efek leukemogenik dan mielosupresi yang serius. Walaupun demikian,
FDA masih membenarkan klorambusil dan Busulfan digunakan pada PV. Pasien
dengan pengobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar 2 sampai 3
minggu sekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika
hematokrit: pada pria < 45% dan memberikannya lagi jika > 52%, pada wanita <
42% dan memberikannya lagi jika > 49%.
3) Fosfor Radiokatif (P32)
Isotop radioaktif (terutama fosfor 32) digunakan sebagai salah satu cara untuk
menekan sumsum tulang. P32 pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-
3mCi/m2 secara intravena, apabila diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%.
Selanjutnya jika setelah 3-4 minggu pemberian pertama P32 Mendapatkan hasil,
reevaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat diulang akan tetapi hal ini
jarang dibutuhkan. Tidak diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama.
4) Kemoterapi Biologi (Sitokin)
Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada polisitemia vera terutama untuk
mengontrol trombositemia (hitung trombosit . 800.00/mm3). Produk biologi yang
digunakan adalah Interferon (Intron-A, Roveron-) digunakan terutama pada
keadaan trombositemia yang tidak dapat dikendalikan. Kebanyakan klinisi
mengkombinasikannya dengan sitostatik Siklofosfamid (Cytoxan).

b. Pengobatan Pendukung
1) Hiperurisemia diobati dengan allopurinol 100-600 mg/hari oral pada pasien
dengan penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal.
2) Pruritus dan urtikaria dapat diberikan anti histamin, jika diperlukan dapat
diberikan Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA).
3) Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2.
4) Antiagregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin.
5) Anagrelid digunakan sebagai substitusi atau tambahan ketika hidroksiurea tidak
memberikan toleransi yang baik atau dalam kasus trombositosis sekunder (jumlah
platelet tinggi). Anagrelid mengurangi tingkat pembentukan trombosit di sumsum.
Pasien yang lebih tua dan pasien dengan penyakit jantung umumnya tidak diobati
dengan anagrelid.

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas klien meliputi
:nama,umur,alamat,nomorregister,pekerjaan,pendidikan,agama
b. Keadaan dan keluhan utama
c. Apa yang menjadi keluhan utama yang dirasakan klien saat kita lakukan yaitu
pucat,cepat lelah, takikardi, palpitasi,dan takipnoe
d. Riwayat penyakit dahulu
1) Adanya penyakit kronis seperti penyakit hati, ginjal
2) Adanya perdarahan kronis/adanya episode berulangnya perdarahan kronis
3) Adanya riwayat penyakit hematology, penyakit malabsorbsi.
e. Riwayat penyakit keluarga
1) Adanya riwayat penyakit kronis dalam keluarga yang berhubungan dengan status
penyakit yang diderita klien saat ini
2) Adanya anggota keluarga yang menderita sama dengan klien
3) Adanya kecendrungan keluarga untuk terjadi anemia
f. Riwayat penyakit sekarang
Apa yang dirasakan klien saat ini yang berhubungan dengan status penyakit yang
dideritanya (anemia)
g. Data sosial
1) Psikologis dan agama
2) Keyakinan klien terhadap budaya dan agama yang mempengaruhi kebiasaan
klien dan pilihan pengobatan misal penolakan transfusi darah
3) adanya depresi
h. Data kebiasaan sehari-hari
1) Nutrisi
a) Penurunan masukan diet
b) Masukan diet rendah protein hawan
c) Kurangnya intake zat makanan tertentu:vitamin b12,asam folat
2) Aktivitas istirahat
Frekuensi dan kualitas pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur
3) Eliminasi BAK dan BAB
Frekuensi, warna, konsistensi dan bau

2. Pemeriksaan Fisik
a. Sistim Sirkulasi
Gejala :
1) Riwayat kehilangan darah kronis
2) Riwayat endokarditis infektif kronis
3) Palpitasi
Tanda:
1) Tekanan darah: Peningkatan sistolik dengan diastolic stabil dan tekanan nadi
melebar, hipotensi postural.
2) Disritmia: Abnormalitas EKG misal:depresi segmen ST dan pendataran atau
depresi gelombang T jika terjadi takikardia.
3) Denyut nadi: Takikardi dan melebar
4) Ekstremitas: Warna pucat pada kulit dan membran mukosa (konjongtiva,mulut,
faring, bibir dan dasar kuku)
5) Sklera: Biru atau putih seperti mutiara.
6) Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke perifer dan vasokonstriksi
kompensasi)
7) Kuku: Mudah patah.
8) Rambut: Kering dan mudah putus.
b. Sistim Neurosensori
Gejala:
1) Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidakmampuan berkosentrasi
2) Imsomnia, penurunan penglihatan dan adanya bayangan pada mata
3) Kelemahan, keseimbangan buruk, kaki goyah, parestesia tangan/kaki
4) Sensasi menjadi dingin
Tanda:
1) Peka rangsang, gelisah, depresi, apatis
2) Mental: Tidak mampu berespon.
3) Oftalmik: Hemoragis retina.
4) Gangguan koordinasi.
c. Sistim Pernafasan
Gejala:
Napas pendek pada istirahat dan meningkat pada aktivitas
Tanda :
Takipnea, ortopnea, dan dispnea
d. Sistim Nutrisi
Gejala:
1) Penurunana masukan diet, masukan protein hewani rendah
2) Nyeri pada mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring)
3) Mual muntah, dyspepsia, anoreksia
4) Adanya penurunan berat badan
Tanda:
1) Lidah tampak merah daging
2) Membran mukosa kering dan pucat
3) Turgor kulit : buruk, kering, hilang elastisitas
4) Stomatitis dan glositis
5) Bibir : Selitis (inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah)
e. Sistim Aktivitas/ Istirahat
Gejala:
1) Keletihan, kelemahan, malaise umum
2) Kehilangan produktivitas, penurunan semangat untuk bekerja
3) Toleransi terhadap latihan rendah
4) Kebutuhan untuk istirahat dan tidur lebih banyak
Tanda:
1) Takikardia/takipnea, dispnea pada bekerja atau istirahat.
2) Letargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya.
3) Kelemahan otot dan penurunan kekuatan.
4) Ataksia,tubuh tidak tegak
f. Sistim Seksualitas
Gejala:
1) Hilang libido(pria dan wanita)
2) Impoten
Tanda:
Serviks dan dinding vagina pucat.
g. Sistim Keamanan dan Nyeri
Gejala:
1) Riwayat pekarjaan yang terpapar terhadap bahan kimia
2) Riwayat kanker
3) Tidak toleran terhadap panas dan dingin
4) Transfusi darah sebelumnya
5) Gangguan penglihatan
6) Penyembuhan luka buruk
7) Sakit kepala dan nyeri abdomen samar
Tanda:
1) Demam rendah, menggigil, dan berkeringat malam.
2) Limfadenopati umum
3) Petekie dan ekimosis.
4) Nyeri abdomen samar dan sakit kepala.

3. Pengkajian primer
a. Airway
Menilai apakah jalan nafas pasien bebas. Adakah sumbatan jalan nafas berupa secret,
lidah jatuh atau benda asing
b. Breathing
Kaji pernafasan klien, berupa pola nafas, ritme, kedalaman, dan nilai berapa frekuensi
pernafasan klien per menitnya.
c. Circulation
Nilai sirkulasi dan peredaran darah, kaji pengisian kapiler, kaji keseimbangan cairan
dan elektrolit klien, lebih lanjut kaji output dan intake klien.
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat dan akurat. Hanya respon terhadap nyeri atau sama
sekali tidak sadar. Tidak di anjurkan menggunakan GCS, adapun cara yang cukup
jelas dan cepat adalah :
A: Awakening
V: Respon Bicara
P: Respon Nyeri
U: Tidak Ada Nyeri

e. Exposure
Lepaskan pakaian yang dikenakan dan penutup tubuh agar dapat diketahui kelaianan
yang muncul, pada abdomen akan tampak distensi sebagai akibat perubahan sirkulasi,
penumpukan cairan dan udara yang tertahan dilumen.

4. Diagnosa Keperawatan Utama


a. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang
diperlukan untuk pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel tubuh.
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang menurun
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara supplai oksigen
dan kebutuhan/kelelahan

5. Intervensi dan Rasional


NO.DX TUJUAN/KRITERIA INTERVENSI RASIONAL
HASIL
1 1 Setelah dilakukan Mandiri
tindakan keperawatan 1. Awasi tanda vital, 1. Memberikan
1x24 jam Px kaji pengisian informasi tentang
menunjukkan perfusi kapiler dan warna derajat/ keadikuatan
ade kuat : tanda vital kulit atau perfusi jaringan dan
stabil, membrane membrane membantu
merah muda, mukosa. menentukan
pengisian kapiler baik kebutuhan
intervensi
2. Tinggikan kepala 2. Meningkatkan
tempat tidur ekspansi paru dan
sesuai toleransi memaksimalkan
oksigennasi untuk
kebutuhan seluler
kecuali bila ada
hipotensi
3. Kaji pernafasan, 3. Dispnea, gemericik
auskultasi bunyi menunjukkan
napas adanya peningkatan
kompensasi jantung
untuk pengisian
kapiler
4. Catat keluhan rasa 4. Vasokonstriksi ke
dingin, organ vital
pertahankan suhu menurunkan
lingkungan dan sirkulasi perifer.
tubuh hangat
sesuai indikasi
Kolaborasi
5. Awasi 5. Kenyamanan pasien
pemeriksaan akan kebutuhan rasa
Laboratorium : hangat harus
Hb,Ht, Jumlah seimbang untuk
SDM, GDA mengindari panas
berlebihan pencetus
vasodilatasi
(penurunan perfusi
organ)
6. Berikan transfusi 6. Mengidentifikasi
darah (SDM defisiensi dan
darah lengkap/ kebutuhan
packed, produk pengobatan ataupun
darah sesuai respon terhadap
dengan indikasi). terapi
7. Awasi ketat untuk 7. Meningkatkan
komplikasi jumlah sel
tranfusi pembawa oksigen,
memperbaiki
defisiensi untuk
menurunkan resiko
perdarahan
2 2 Setelah dilakukan Mandiri
tindakan keperawatan 1. Kaji riwayat 1. Mengidentifikasi
selama 1x24 jam nutrisi defisiensi, menduga
maka akan kemungkinan
menunjukkan: intervensi
peningkatan berat 2. Observasi intake 2. Mengawasi
badan atau berat nutrisi pasien, masukan kalori atau
badan stabil dengan timbang berat kualitas kekurangan
nilai laboratorium badan setiap hari. nutrisi, mengawasi
normal, tidak penurunan BB atau
mengalami tanda efektivitas
malnutrisi, intervensi nutrisi.
menunjukkan 3. Berikan intake 3. Intake yang sedikit
perilaku atau nutrisi sedikit tapi tapi sering
perubahan pola hidup sering menurunkan
untuk menigkatkan kelemahan dan
atau mempertahankan meningkatkan
berat badan yang pemasukan serta
sesuai. mencegah distensi
gaster.
4. Observasi adanya 4. Gejala
mual muntah dan gastrointestinal
gejala lain yang dapat menunjukkan
berhubungan efek hipoksia pada
organ.
5. Jaga hygiene 5. Meningkatkan
mulut nafsu makan dan
intake oral,
menurunkan
pertumbuhan
bakteri,
meminimalkan
infeksi
6. Berikan diet 6. Bila ada lesi oral,
halus, rendah nyeri dapat
serat, membatasi intake
menghindari makanan yang
makanan panas, dapat ditoleransi
pedas atau terlalu pasien,
asam sesuai meningkatkan
indiksi bila perlu masukan protein
berikan suplemen dan kalori.
nutrisi
Kolaborasi
7. Kolaborasi 7. Membantu dalam
dengan ahli gizi. membuat rencana
diet untuk
memenuhi
kebutuhan
individual.
8. Pantau 8. Meningkatkan
pemeriksaan Lab : efektivitas program
Hb, Ht, BUN, pengobatan
Albumin, Protein, termasuk sumber
Transferin, diet nutrisi yang
Besiserum, B12, diperlukan.
Asam folat.
9. Berikan 9. Kebutuhan
pengobatan sesuai penggantian
dengan indikasi tergantung tipe pada
misalnya : masukan oral yang
- Vitamin dan buruk dan difesiensi
suplemen mineral yang diidentifikasi
: Vitamin B12,
Asam folat dan
Asam askorbat
(vitamin C)

3 3 Setelah dilakukan Mandiri :


tindakan keperawatan 1. Kaji kemampuan 1. Mempengaruhi
selama 1x24 jam klien untuk pilihan intervensi
diharapkan ada aktivitas, catat atau bantuan
peningkatan toleransi adanya kelemahan
aktivitas, menujukkan 2. Awasi dan kaji 2. Manifestasi
penurunan tanda TTV selama dan kardiopolmunal dari
fisiologis intoleransi sesudah aktivitas, upaya jantung dan
misalnya: nadi, catat respon paru untuk
pernafasan dan terhapad tingkat membawa jumlah
pertahanan darah aktivitas seperti oksigen ade kuat ke
dalam rentang normal denyut jantung, jaringan.
pusing, dispnea,
takipnea.
3. Berikan bantuan 3. Meningkatkan
dalam aktivitas harga diri pasien.
dan libatkan
keluarga
4. Rencanakan 4. Meningkatkan
kemajuan secara bertahap
aktivitas dengan tingkat aktivitas
pasien, tingkatkan sampai normal dan
aktivitas sesuai memperbaiki tonus
toleransi dengan otot, dengan
tehnik membatasi adanya
penghematan kelemahan, serta
energi serta menghindari
menghentikan terjadinya
aktivitas jika regangan/ stress
palpitasi, nyeri kardiopolmonal
dada, napas yang dapat
pendek, atau menimbulkan
terjadi pusing. dekompensasi/
kegagalan.

C. DAFTAR PUSTAKA
Doenges Marilynn E, dkk. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi II. Jakarta Buku Kedokteran.
EGD.
Soeparman, Sarwono waspadil. (2017). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta Gaya Baru.
Brunner and Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 3. Jakarta: EGC. 2015

Anda mungkin juga menyukai