Anda di halaman 1dari 23

KONVENSI INTERNATIONAL

SEMESTER II
DOSEN PENGAMPU : IRWANSYAH , SH., MH

INTERNATIONAL MARITIME ORGANIZATION (IMO)


Dalam rangka meningkatkan keselamatan kerja dan keselamatan pelayaran, PBB dalam
konferensinya yang dilaksanakan pada tahun 1948 telah menyetujui untuk membentuk suatu badan
Internasional yang khusus menangani masalah-masalah kemaritiman. Badan tersebut dibentuk
pertama kali dengan nama Inter Governmental Maritime Consultative Organization (IMCO). Sepuluh
tahun kemudian, yakni pada tahun 1958 organisasi tersebut baru diakui secara Internasional, lalu
kemudian berubah nama menjadi International Maritime Organization (IMO) sejak tanggal, 22 Mei
1982.
Empat tahun sebelum IMO diberlakukan secara Internasional yakni pada tahun 1954 Marine
Pollution Convention sudah mulai diberlakukan tetapi baru pada tahun 1959 secara resmi
diadministrasikan dan disebarluaskan oleh. International Maritime Organization (IMO) yang pada saat
itu berkedudukan di London-Inggris. Sidang Paripurna IMO disebut Assembly melakukan pertemuan
tahunan satu kali dalam selang waktu dua tahun dan biasanya diadakan pada bulan September atau
Oktober. Pertemuan tahunan yang diadakan yang disebut Council, anggotanya terdiri dari 32 negara
yang dipilih oleh sidang Assembly dan bertindak sebagai badan pelaksana harian kegiatan IMO.
IMO adalah Badan Organisasi yang menangani masalah teknis dan sebagian besar kegiatannya
dilaksanakan oleh beberapa Komite yang terdiri dari:

The Marine Safety Committee (MSC)


Merupakan komite yang paling senior dan khusus menangani pekerjaan yangberhubungan dengan
masalah keselamatan dan teknik. Memiliki beberapa Sub komite sesuai tugas masing-masing.

The Marine Environment Protection Committee (MEPC)


Dibentuk oleh IMO Assembly pada tahun 1973 dengan tugas mengkoordinir kegiatan pencegahan
dan pengontrolan pencemaran laut yang asalnya dari kapal.
Sub komite dari Bulk Chemicals merupakan juga sub komite dari MEPC kalau menyangkut masalah
pencemaran.

The Technical Co-Operation Committee


Tugasnya mengkoordinir bantuan teknik dari IMO di bidang maritim terutama untuk negara
berkembang. Komite teknik ini merupakan komite pertama dalam organisasi PBB yang diakui sebagai
bagian dari konvensi. Badan ini dibentuk tahun 1975 dan merupakan agen pertama PBB yang
membentuk technical cooperation dalam bentuk struktur organisasi. Tujuannya adalah menyediakan
program bantuan untuk setiap negara terutama negara berkembang untuk meratifikasi dan kemudian
melaksanakan peraturan yang dikeluarkan oleh IMO.

IMO menyediakan tenaga bantuan konsultan di lapangan dan petunjuk dari Headquarters
kepada pemerintah yang memintanya untuk melakukan training keselamatan kerja maritim dan
pencegahan pencemaran terhadap ABK bagian deck, mesin dan personil darat.

Melalui Komite ini IMO melakukan seminar dan workshop di beberapa negara setiap tahun dan
sudah mengerjakan banyak proyek bantuan teknik di seluruhdunia. Proyek ambisius yang dilakukan
Komite ini adalah mendirikan “The World Maritime University” di Malmo Swedia pada tahun 1983,
dengan tujuan untuk mendidik dan menyediakan tenaga terampil dalam bidang keselamatan dan
lingkungan maritim, dari negara berkembang yang sudah mempunyai latar belakang pendidikan yang
mencukupi di negara masing-masing.

Sekretariat IMO
Sekretariat IMO dipimpin oleh Secretary General yang dibantu oleh ± 300 tenaga dari berbagai
negara termasuk para penterjemah ke dalam 6 bahasa yang diakui dapat digunakan berkomunikasi
dalam sidang komite, yakni bahasa Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, Arab, China dan 3 bahasa
teknis.

Tugas dan Wewenang IMO


Tugas Utama IMO adalah membuat peraturan-peraturan keselamatan kerja di laut termasuk
keselamatan pelayaran dan pencegahan serta penanggulangan pencemaran lingkungan perairan.
Tiga Konvensi IMO yang paling penting yaitu menangani peraturan keselamatan kerja di laut. ( Sudah
tercakup dalam UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran ).:

1). Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention 1974/1978, menangani aspek keselamatan
kapal termasuk konstruksi, navigasi dan komunikasi. Diratifikasi dengan Keputusan
Presiden No. 65 tahun 1980
2) Marine Pollution Prevention (MARPOL) Convention 1973/1978, menangani aspek
lingkungan perairan khusus untuk pencegahan pencemaran yang asalnya dari kapal, alat
apung lainnya dan usaha penanggulangannya. Diratifiaksi dengan Keputusan Presiden
No. 46 tahun 1986.
3) Standard of Training Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) Convention
1978 termasuk beberapa amandemen dari setiap konvensi, berisi persyaratan minimum
pendidikan atau training yang harus dipenuhi oleh ABK untuk bekerja di atas kapal sebagai
pelaut. Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden No.60 Tahun
1986).

KONVENSI INTERNASIONAL YANG TELAH DIRATIFIKASI PEMERINTAH INDONESIA SEBAGAI


BERIKUT :

I. Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nation Convention On The Law Of The Sea
1982). UNCLOS- 82.
Terdiri dari 320 pasal dan 9 Annex, adalah konvensi yang mengatur tentang segala aspek
kegiatan dilaut, seperti misalnya delimitasi, hak lintas, pencemaran terhadap lingkungan laut,
riset ilmiah kelautan, kegiatan ekonomi dan perdagangan, alih teknonlogi dan penyelesaian
sengketa tentang masalah-masalah kelautan.
Sengketa yang timbul dari hukum laut lebih melibatkan negara sehingga penyelesaiannya lebih
mengarah kepada dirumuskannya suatu bilateral atau multilateral agreement
Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut
yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction), pengaturan-pengaturan publik
(public domain). (Mis, masalah kedaulatan suatu negara akan wilayah lautnya berada dibawah
yurisdiksi nasionalnya (national yurisdiction) serta pengaturan hak lintas kapal asing.)
Diterima dalam Konferensi Hukum Laut III tanggal 30 April 1982 pada sidang ke III di New York,
ditanda tangani 10 Desember 1982 di Montego Bay Jamaica ditanda tangani 117 negara
peserta termasuk Indonesia . Konvensi mulai berlaku 16 November 1994 dan sampai bulan juli
2004 telah diratifikasi oleh 145 Negara.
Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982) tersebut mempunyai arti penting untuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia karena Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memperoleh pengaturan
resmi dari masyarakat internasional sebagai negara kepulauan yang ditetapkan dalam pasal 46
konvensi UNCLOS 1982, bahwa negara kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri
dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencangkup pulau-pulau tersebut sedemikian
eratnya sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan
suatu kesatuan geografis, politik dan ekonomi atau secara historis telah dianggap sebagai satu
kesatuan daerah.”
Selanjutnya Pemerintah RI meratifikasi UNCLOS 1982 yaitu dengan : Menerbitkan Undang-
undang Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan Uninted Nation Convention On The Law Of
The Sea. (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).

a. Wilayah perairan teritorial.


1) Sesuai dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan
perairan pendalamannya..
2) Wilayah perairan teritorial Indonesia juga ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 43
Tahun 2008 tentang wilayah Negara. Batas wilayah meliputi :
a) Di darat berbatasan dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste.
b) Di laut berbatasan dengan Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timor Leste.
c) Di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut dengan batasnya
dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional.
5) Batas wilayah negara ditetapkan dengan titik koordinat berdasarkan perjanjian
bilateral/trilateral.
6) Dalam hal wilayah negara tidak berbatasan dengan Negara lain, Indonesia
menetapkan batas wilayah secara unilateral.
7) Panjang suatu segmen garis pangkal kepulauan tidak boleh melebihi 100 mil laut,
kecuali hingga 3% dari seluruh jumlah garis pangkal yang melingkupi suatu negara
kepulauan boleh melebihi 100 mil laut, hingga panjang maksimum 125 mil laut.

b. Laut Teritorial (Territorial sea) Pasal 3 UNCLOS ,


 Lebar laut territorial mencapai batas yang tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari
garis pangkal laut territorial.
 Sebuah negara pantai memilki kedaulatan penuh, tetapi padanya berlaku hak lintas
damai bagi kapal asing. Ini berarti bahwa negara tersebut memiliki kekuasaan /hak ,
seperti hak yang berlaku pada wilayah darat., hanya saja dengan kewajiban untuk
mengijinkan kapal asing melintas di laut teritorialnya sepanjang kapal asing tersebut
tidak melanggar dan menggangu perdmaian, aturan hukun dan keamanan negara
yang dilewati.

c. Zona Tambahan ( Contiguous zone ) Pasal 33 UNCLOS,


 Zona tambahan adalah zona maritime yang berdampingan dengan laut territorial dan
merupakan zona tambahan. Zona tambahan ini tidak melebihi 24 mil laut dari garis
pangkal.
 Suatu negara memilii kekuasaan terbatas untuk penegakan hukum keimigrasian,
fiscal, dan saniter.

d. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive economic zone). ). (Undang-undang Nomor 5 Tahun


1983).
Pasal 57 UNCLOS
 ZEE adalah zona maritime yang diukur dari garis pangkal hingga jarak 200 mil laut.
 Sebuah negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya alam, kebebasan navigasi , hak penerbangan udara dan melakukan
penanaman kabel serta jalur pipa.

e. Landas Kontinen (Continental shelf) (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973).


 Daerah pantai yang tanahnya menurun ke dalam laut sampai akhirnya di suatu
tempat tanah tersebut jatuh curam di kedalaman laut.
Pasal 76 UNCLOS , meliputi dasar laut dan bawah tanah kawasan bawah laut
yang membentang melampaui laut territorial di sepanjang kelanjutan alamiah
kawasan daratnya menuju tepi luar batas kontinen atau hingga pada jarak 200 mil
laut dari garis pangkal jika tapi luar batas kontinen tidak meliwati jarak tersebut ( 200
mil laut).
 Negara asing berhak melakukan penanaman kabel dan jalur pipa melebihi ZEE atau
pada landas kontinen sebuah negara pantai.
 Negara pantai yang bersangkutan hanya bisa menentukan jalur kabel atau pipa yang
akan ditanam tetapi tidak dapt melarang atau mengharuskan ketentuan penanaman
kabel dan pipa tersebut.
 Landas kontinen biasanya tidak terlalu dalam, sehingga sumber-sumber alam dari
landas kontinen dapat dimanfaatkan dengan teknologi yang ada.
 Batas landas kontinen tidak boleh melebihi 200 mil yang diukur dari garis pangkal
teritorial. Dalam UNCLOS dimungkinkan suatu negara untuk mengklaim wilayah
kontinennya melebihi 200 mil sampai dengan 350 mil dari garis pangkal untuk
mengukur wilayah teritorial atau bahkan melebihi 350 mil (landasan kontinen
ekstensi). Klaim tersebut dapat dibenarkan asal :
a) Pada titik terluar terdapat batu endapan 1% dari jarak antara titik tersebut dengan
kaki lereng kontinen.
b). Batas terluar landas kontinen ekstensi ditentukan dengan menarik garis berjarak
60 mil laut dari kaki lereng kontinen.
f. Pasal 8 UNCLOS dan Pasal 5 (1) TSC (Territorial Sea Convention):
Dikenal dengan istilah perairan nasional atau perairan interior.( peraian pedalaman)
.- Zona maritime ini merupakan perairan yang berada di sisi dalam garis pangkal yang
diukur kerah daratan.
- (Kapal-kapal yang memasuki peraian pedalaman negara lain berarti telah
menepatkan dirinya dalam jurudiksi negara pemilik perairan pedalaman. Berarti
kapal asing tersebut harus tunduk kepada hukum nasional tempat perairan
pedalaman itu berada).

g. Perairan Kepulauan (Archipelagic water ) Pasal 49 UNCLOS,


 Perairan kepulauan sebagai perairan yang dilingkupi oleh garis pangkal kepulauan
tanpa memperhatiaan kedalaman dan jaraknya dari garis pantai.
 Sebuah negara kepulauan memiliki kedaulatan penuh di dalam wilayah perairan
kepulauannya, di ruang udara diatasnya, dalam dasar laut di bawahnya, dibawah
tanah dan juga atas kekayaan yang terkandung di dalamnya.
 Pasal 52 ayat (2) UNCLOS , menyatakan bahwa hal lintas damai juga berlaku pada
perairan kepulauan, sehingga kapal asing dapat melintas dengan aman. (namun
demikian negara kepulauan dapat menghentikan pemberlakuan hak lintas damai
dalam perairan kepulauan jika ada pertimbangan keamanan.
 (Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memperoleh pengaturan resmi dari
masyarakat internasional sebagai negara kepulauan yang ditetapkan dalam pasal 46
konvensi UNCLOS 1982,
bahwa negara kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau
lebih gugusan kepulauan dan dapat mencangkup pulau-pulau tersebut sedemikian
eratnya sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut
merupakan suatu kesatuan geografis, politik dan ekonomi atau secara historis telah
dianggap sebagai satu kesatuan daerah.”
 Selanjutnya Pemerintah RI meratifikasi UNCLOS 1982 yaitu dengan Undang-undang
Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan Uninted Nations Convention On The Law
Of The Sea. (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).

Zona Maritim
Zona Maritim (Tampak samping)

Garis Pangkal

Laut Teritorial Landas Kontinen

Kontinen Melebihi 200 mil Laut

Zona Tambahan
12 24

Zona
Ekonomi Esklusif Laut Lepas
200 mil laut

200

300

400

LANDAS KONTINEN LEGAL

Zona Maritim
(Perairan Republik Indonesia)
National Jurisdiction

LANDAS KONTINEN LEGAL

Perairan
pedalaman

Perairan Kepulauan
h. Laut Lepas
Pasal 86 Konvensi PBB tentang Hukum Laut menyatakan bahwa laut lepas merupakan
semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi Eksklusif, dalam laut
teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan
suatu negara kepulauan.
Laut Lepas terbagi atas tiga bagian :
1. Prinsip Kebebasan di Laut Lepas
2. Status hukum kapal-kapal di laut lepas
3. Pengawasan-pengawasan di laut lepas

1). Prinsip Kebebasan Di Laut Lepas


Semua negara , apakah negara berpanatai atau tidak, dapat mempergunakan laut
lepas dengan syarat mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh konvensi
atau ketentuan-ketentuan hukum lainnya.
Dalam Pasl 87 Konvensi , kebebasan-kebebasan tersebut antara lain
a. Kebebasan berlayar
b. Kebebasan penerbangan
c. Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dengan mematuhi
ketentuan Bab VI konvensi.
d. Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya yang
diperbolehkan berdasarkan hukum inernasional, dengan tunduk pada Bab VI.
e. Kebebasan menangkap ikan dengan tunduk pada persyaratan yang tercantum
dalam Bab II.
f. Kebebasan riset ilmiah, dengan tunduk pada Bab VI dan XIII.

Kebebasan ini juga berarti tidak satu negara yang dapat menundukkan kegiatan
manapun di laut lepas di bawah kedaulatannya dan laut lepas hanya dapat
digunakan untuk tujuan-tujuan damai sebagaimana yang ditetapkan olej pasal-pasal
88 dan 89 Konvensi. Bila terjadi suatu sengketa mengenai penggunaan kebebasan
ini maka yang berlaku terlebih dahulu adalah ketentuan-ketentuan hukum negara
bendera.

2). Status Hukum Kapal-Kapal di Laut Lepas


Di laut lepas status ini didasarkan atas prinsip tunduknya kapal-kapal pada
wewenang eksklusif negara bendera, berarti tiap-tiap kapal harus mempunyai
kebangsaan suatu negara, yang merupakan syarat agar kapal-kapal itu dapat
memakai bendera negara tersebut.
Wewenang penuh ketentuan-ketentuan negara benderaSemua kapal kapal tunduk
sepenuhnya pada peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentun negara bendera.
Suatu kapal yang memakai bendera suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi
eksklusif negara itu di laut lepas. (pasal 92 Konvensi).

-Ketentuan ini diberlakukan, agar diatas sebuah kapal terdapat suatu kesatuan hukum
untuk menjamin ketertiban dan disiplin diatas kapal.
-Undang-undang negara bendera berlaku pada semua orang yang terdapat diatas
kapal, baik warga negara dari negara bendera maupun terhadap orang-asing.
-Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi
dikapal atau bagi semua perbuatan pidana. Misalnya :

 terjadi pembunuhan diatas sebuah kapal maka undang-undang pidana negara


benderalah yang berlaku.
 Terjadi suatu transaksi walaupun antara orang-orang asing sendiri di atas kapal
tersebut , maka undang-undang perjanjian negara bendera yang berlaku ( Locus
regit actum ).

Perbedaan antara kapal-kapal publik dan kapal-kapal swasta


Didasarakan atas bentuk penggunaan dan bukan atau kualitas pemilik kapal-kapal
tersebut.
 Kapal publik adalah kapal-kapal yang digunakan untuk dinas pemerintah dan
bukan untuk tujuan swasta. (misal: Kapal perang, ,kapal selam, kapal ranjau laut,
kapal-kapal penarik, kapal-kapal transport militer dll.
 Kapal–kapal publik non Militer :
Kapal-kapal logistik pemerintah, kapal-kapal riset ilmiah, meteorologi, kapal-kapal
pengawas pantai dll.
 Kapal organisasi Internasional : Digunakan untuk kepentingan masyarakat
internasional misalnya PBB, Badan-badan khusus PBB dapat memkai kapal-
kapal untuk keperluan dinasnya dengan mengibarkan masing-masing bendera
sesuai Pasal 93 Konvensi.
 Untuk menentukan apakah sebuah kapal itu kapal publik atau tidak, yang harus
diperhatikan untuk apa kapal itu dipergunakan . Misalnya Kapal swasta di carter
pemerintah untuk tujuan non komersil , maka status kapal tersebut selama disewa
merupakan kapal publik dan sebailiknya.
 Status kapal bukan ditentukan oleh kualitas pemiliknya tetapi oleh kegunaan kapal
tersebut. Sebuah kapal negara yang dipakai untuk tujuan komersill adalah juga
kapal swasta.
 Pentingnya pembedaan kapal-kapal publik dan kapal swata, adalah karena status
hukumnya berbeda dalam beberapa hal tergantung pada bagian laut mana kapal
itu berada, di laut lepas, di laut wilayah atau di perairan pedalaman

Wewenang Teritorial
Kapal diasimilasikan dengan wilayah negara, dengan demikian maka kapal
dianggap sebagai floating portion of the flag state yaitu bagian terapung wilayah
negara bendera. Karena suatu negara mempunyai wewenang absolut terhadap
wilayah , maka negara tersebut mempunyai wewenang pula terhadap kapal-kapalnya
yang berlayar di laut lepas, karena kapal tersebut dianggap bagian dari wilayah
negara.
(Yurisprudensi internasional, Keputusan nomor 8 Makamah Peradilan tetap
internasional dalam perkara Lotus. ) Prinsip kebebasan di laut berakibatkan bahwa
tiap-tiap kapal yang berada di laut lepas diasimilasikan dengan wilayah negara
bendera, yang berderanya dipakai oleh kapal tersebut, karenaitu, seperti di wilayah
suatu negara, negara tersebut melaksanakan kekuasaannya diatas kapal tersebut
tidak ada suatu negara lainpun tang dapat melaksanakan kekuasaan yang dimaksud

Prinsip floating portion of the flg state ini tidak berlaku di semua tempat .
Kapal swasta yang telah meninggalkan laut lepas dan masuk ke laut wilayah suatu
negara, terhadapnya tidak lagi berlaku wewenang khusus negara bendera tetapi
wewenang negara pantai.
Terhadap kapal-kapal perang dan kapal-kapal publik , secara umum dapat dikatakan
bahwa baik di laut lepas maupun di laut wilayah , wewenang khusus negara bendera
tetap berlaku, terutama sekali kapal-kapal perang yang dianggap sebagai organ
negara dan karena itu mempunyai kekebalan.

3).Pengawasan di laut lepas.


Untuk menjamin pengawasan kebebasan penggunaan laut , pengawasan di laut lepas
dilakukan oleh kapal-kapal perang.
Dibagi atas dua bagian :
a). Pengawasan biasa
* Inspeksi
* Tindakan kekerasan bertujuan untuk menjamin keamanan umum lalu lintas
laut.
- kapal publik hanya tunduk pada kapal-kapal perang negaranya.
- Kapal perang semua negara mempunyai wewenang terhadap kapal-kapal
swasta negara-negara lain.
- tiap kapal perang mempunyai wewenang untuk mengetahui kebangsaan suatu
kapal dengan meminta supaya kapal tersebut mengibarkan benderanya.
Pemeriksaan kapal
Suatu Kapal perang yang menjumpai kapal asing di laut lepas tidak dibenarkan
menaikinya, kecuali ada alasan yang cukup menduga bahwa kapal itu terlibat
dalam pembajakan, perdagangan budak, penyiaran gelap.
Bila tidak beralasan kapal tersebut akan menerima imbalan untuk setiap kerugian/
kerusakan yang dialami ( ayat 3 pasal 110 Unclos)

b). Pengawasan Khusus


1).Pemberantasan pedagang budak belian
2). Pemberantasan bajak laut (menahan dan menangkap bajak laut dan berhak
mengadili
3). Pengawasan penangkapal ikan
4).Pengawasan untuk melindungi kapal-kapal dan pipa bawah laut.
5). Pemberantasan pencemarn laut. (negara-negara menetapkan peraturan untuk
mencegah pencemaran lingkungan laut dari sumber-sumber daratan, Kegiatan-
kegiatan : dasar laut, kawasan kendaraan air, dumping. Dll.)
6). Pengawasan untuk kepentingan sendiri negara-negara.

Hak Pengejaran Seketika (Hot Pursuit )


Suatu negara (kapal Perang/Kapal Penjaga pantai ) di laut lepas dapat mengejar
menangkap dan membawa ke pelabuhannya suatu kapal swasta asing yang telah
melakukan suatu perbuatan melanggar hukum dilaut wilayah atau di perairan
pedalamannya.
Pengejaran dilakukan dengan syarat terus menerus tidak boleh berhenti. Pengejaran
dihentikan segera setelah kapal yang dikejar memeasuki laut wilayahnya /laut wilayah
negara lain (Pasal 111)

Hak Bela diri :


Kekebasan yang dibatasi di laut lepas melalui pendelegasian kewenangan dari
kerjasama regional kepada negara pantai untuk memberikan izin bagi penangkapan
ikan di laut lepas.
Untuk pengawasannya maka negara yang tergabung di dalam suatu organisasi
regional yang dibentuk untuk keperluan ini diberi wewenang untuk melakukan
pengawasan on board inspection terhadap kapal-kapal negara anggota dan non
anggota yang dicurigai melakukan penangkapan ikan secara tidak bertanggung jawab .

(pemanfaatan potensi sumber daya perikanan di laut lepas tanpa harus


mengorbankan kesinambungan jenis ikan itu sendiri ).

II. Konvensi ILO 185 mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 1958 (ILO
Convention 185 Concerningrevising The Seafarers’ Identity Documents Convention,
1958).
a. Indonesia sebagai negara pengirim tenaga kerja pelaut dengan jumlah yang besar perlu
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja pelaut Indonesia.
Untuk melindungi tenaga kerja pelaut Indonesia, yang bekerja di kapal-kapal berbendera
asing maupun Indonesia dalam memberikan kemudahan untuk dapat izin turun ke darat
(landing shore pass) diperlukan suatu bentuk kartu atau dokumen identitas pelaut sesuai
dengan standar Internasional, untuk itu Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor
185 mengenai Konvensi Perubahan Dokumen Identitas Pelaut, 1958 (ILO Convention
Nomor 185 concerning Revising The Seafarers’ Identity Documents Convention, 1958)
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2008 pada tanggal 4 Januari 2008.
b. Dasar pertimbangan Pemerintah Indonesia meratifikasi Dokumen Identitas Pelaut sebagai
berikut.
1) Salah satu standar tersebut adalah mengenai The Seafarers Identity Documents (SID)
yang diadopsi oleh ILO pada tanggal 13 Mei 1958 dan mulai berlaku secara
internasional pada tanggal 19 Februari 1961. SID ini berbentuk buku sehingga kemudian
disebut seaman book yang kelemahan utamanya adalah tidak dilengkapi dengan
standar biometrik.
2) Dokumen identitas pelaut di atas sulit diverifikasi karena teknologi biometrik belum
berkembang sehingga Organisasi Konsultatif Maritim Internasional (IMCO sekarang
IMO) menerbitkan Konvensi “the Facilitation of International Maritime Traffic, 1965, as
amended” yang isinya menetapkan bahwa kru kapal harus diperbolehkan turun ke darat
oleh pejabat yang berwenang manakala kapalnya berada di pelabuhan dan persyaratan
masuk ke pelabuhan sudah dipenuhi oleh pihak kapal. Pejabat yang berwenang tidak
memiliki alasan untuk menolak permintaan izin turun ke darat untuk keperluan
kesehatan, keselamatan atau keamanan.
3) Selain itu, pada paragraf 11 dari preambul International Ship and Port Facility Security
(ISPS) Code and SOLAS Amendment 2002 dinyatakan bahwa pemerintah dari suatu
negara ketika mensahkan bagan keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan, harus
memperhatikan kenyataan bahwa pelaut hidup dan bekerja di kapal, dan butuh turun ke
darat serta akses ke fasilitas penunjang kesejahteraan pelaut termasuk perawatan
kesehatan.
4) Namun setelah terjadi tragedi pada tanggal 11 September 2001 di New York, Amerika
Serikat, meskipun PBB telah menerbitkan General Assembly Resolution A/RES/57/219
tentang “perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam
memerangi terorisme”, beberapa negara untuk keperluan perlindungan keamanan
nasionalnya telah menetapkan kebijakan penerbitan visa kerja yang sangat ketat, dan
larangan turun ke darat bagi pelaut asing yang memasuki pelabuhannya, serta
pengawasan 24 (dua puluh empat) jam terhadap pelaut yang dilakukan oleh tenaga
keamanan setempat. Sejak saat itu, pelaut Indonesia mengalami tantangan yang lebih
berat dalam menjalani profesinya.
5) Untuk menghadapi tantangan tersebut, pelaut perlu dilindungi dengan dokumen identitas
pelaut yang dilengkapi dengan data biometrik sehingga dapat membuktikan bahwa dia
memang pelaut yang bukan teroris dan tidak terlibat aksi terorisme.
6) Dokumen identitas pelaut yang menerapkan standar peralatan sistem teknologi informasi
yang berbasis pada ILO SID 0002 biometric fingerprint standard dengan template PDF
417 barcode, diatur dalam Konvensi ILO Nomor 185 tentang Konvensi Perubahan
Dokumen Identitas Pelaut, 1958 yang telah diadopsi ILO pada tanggal 19 Juni 2003 dan
mulai berlaku secara internasional sejak tanggal 9 Februari 2005. Indonesia sebagai
negara anggota ILO, telah meratifikasi beberapa konvensi ILO dalam rangka penerapan
standar-standar internasional dan perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia.
7) Konvensi tersebut merupakan salah satu instrumen yang memberikan perlindungan dan
kemudahan bagi tenaga kerja pelaut dalam menjalankan profesinya dengan
menggunakan identitas diri pelaut yang berstandar internasional.
Selain itu, sesuai dengan Pasal 77 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang
menyatakan bahwa “setiap calon tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja Indonesia
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan” dan mengingat tenaga kerja pelaut merupakan bagian dari Tenaga Kerja
Indonesia, maka para tenaga kerja pelaut ini wajib dilindungi yang dalam hal ini
dokumen identitas pelaut merupakan bentuk lain dari Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri
(KTKLN) khusus untuk pelaut yang dikeluarkan oleh Pemerintah sesuai dengan Pasal
62 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004.
8) Guna meningkatkan keamanan transportasi laut di samping melindungi hak pelaut dan
menghindari diskriminasi, Governing Body ILO dalam Sidang Internasonal Perburuhan
ke 93, tanggal 19 Juni 2003 mengadopsi Convention 185 “the Seafarers’ Identity
Documents Convention (Revised), 2003” yang selanjutnya disebut sebagai Konvensi ILO
Nomor 185.
c. Selain ini alasan Indonesia mengesahkan konvensi adalah sebagai berikut.
1) Indonesia merupakan salah satu negara penyedia tenaga kerja pelaut dan sebagai
negara pengirim pelaut yang besar di dunia ke pasar kerja internasional.
2) Pelaut Indonesia merupakan tenaga kerja yang mampu dan potensial menjadi pemasok
devisa negara yang besar.
3) Dengan meningkatnya jumlah pelaut Indonesia yang melakukan pekerjaan di pasar kerja
internasional perlu mendapatkan perlindungan, karena dalam melaksanakan tugasnya
tenaga kerja pelaut dihadapkan pada resiko persaingan dengan pelaut asing, mobilitas
dan ancaman keamanan terhadap keselamatan pelaut.
4) Daya saing tenaga kerja pelaut Indonesia dapat merosot karena ada organisasi
internasional yang menempatkan perairan Indonesia sebagai kawasan yang rawan
(marine hot spot) dan ada negara asing yang menempatkan pelaut Indonesia sebagai
kru berisiko tinggi (highrisk crew member). Kondisi tersebut juga dapat menyebabkan
perusahaan pelayaran harus mengeluarkan biaya keamanan tambahan yang mahal
untuk mempekerjakan tenaga kerja pelaut Indonesia. Guna mempertahankan daya saing
dan melindungi hak-hak warga negara yang berprofesi sebagai pelaut di negara lain,
Indonesia perlu meratifikasi Konvensi ILO Nomor 185 mengenai Konvensi Perubahan
Dokumen Identitas Pelaut, 1958.

d. Pokok-pokok isi Konvensi Dokumen Identitas Pelaut


1) Lingkup pemberlakuan Konvensi ILO Nomor 185 mengenai Konvensi Perubahan
Dokumen Identitas Pelaut, 1958 adalah kepada “pelaut” yakni setiap orang yang
dipekerjakan atau terlibat atau bekerja pada jabatan apapun di atas kapal selain kapal
perang. Namun pemerintah dari suatu negara dapat menerapkan konvensi ini kepada
pelaut-pelaut kapal ikan komersial setelah berkonsultasi dengan perwakilan organisasi
pemilik kapal ikan dan orang-orang yang bekerja pada kapal ikan.
2) Penerbitan Dokumen Identitas Pelaut dilakukan oleh negara yang memberlakukan
konvensi kepada pelaut warga negaranya dan kepada pelaut yang memiliki alamat
tempat tinggal permanen di teritorialnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di negara itu, namun konvensi ini tidak berkaitan dengan kewajiban negara
anggota sesuai perjanjian internasional yang mengatur pengungsi dan orang-orang yang
tidak memiliki kewarganegaraan. Penerbitan dokumen tidak boleh ditunda-tunda, dan
pelaut secara administratif memiliki hak untuk menggugat bila permohonan memperoleh
dokumen identitas pelaut ditolak.
3) Isi dan format dari dokumen identitas pelaut, material yang digunakan, spesifikasi umum
yang memperhitungkan perkembangan teknologi harus sesuai dengan lampiran a dari
konvensi. Dokumen Identitas Pelaut terbuat dari material yang sesuai dengan kondisi
kerja di laut dan dapat dibaca oleh mesin (machine-readable), bebas dari pemalsuan,
mudah dideteksi dan ukurannya tidak lebih besar dari ukuran paspor, namun merupakan
dokumen yang berdiri sendiri (stand-alone document) dan bukan pengganti paspor.
4) Basis-data Elektronik Nasional merupakan rekaman data elektronik tentang tiap
dokumen identitas pelaut yang diterbitkan, dibekukan atau dicabut yang harus aman dari
interfensi atau akses oleh pihak yang tak berwenang. Informasi yang ditampilkan harus
dibatasi pada hal-hal yang esensial untuk keperluan verifikasi dokumen identitas pelaut
atau status pelaut yang konsisten dengan perlindungan hak pelaut atas privasi dan
persyaratan proteksi data. Pemerintah harus menerbitkan prosedur yang
memperbolehkan pelaut untuk memeriksa validitas dokumen identitasnya atau
mengoreksi data tanpa dikenai biaya. Pemerintah juga harus menunjuk permanent focal
point untuk merespon permintaan dari pihak Imigrasi atau negara anggota ILO lainnya
mengenai keaslian dan keabsahan dari dokumen identitas pelaut yang diterbitkan.
5) Pengendalian mutu dan evaluasi harus ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk
prosedur tertulis guna menjamin keamanan proses yang diawali dari produksi dan
pengiriman material, proses aplikasi, pencetakan sampai dengan penyerahan dokumen
kepada pelaut. Prosedur lain yang juga harus disediakan adalah pengoperasian dan
pemeliharaan database serta prosedur pengendalian mutu dan evaluasi berkala.
Pemerintah dari suatu negara juga diharuskan untuk melakukan evaluasi independen
terhadap sistem administrasi penerbitan dokumen identitas pelaut sekurang-kurangnya
sekali dalam 5 (lima) tahun, kemudian melaporkan kepada Direktur Jenderal ILO.
6) Fasilitasi izin ke darat, transit dan pemindahan pelaut bagi pemilik dokumen identitas
pelaut dilakukan setelah melalui proses verifikasi singkat kecuali latar belakang pelaut
diragukan. Pejabat yang berwenang tidak memiliki alasan untuk menolak izin turun ke
darat seperti ke rumah sakit, kantor pos, atau kepolisian setempat. Sedangkan untuk
memasuki wilayah suatu negara dalam rangka penempatan di kapal, atau pindah kapal
di negara itu atau di negara lain atau untuk kepulangan ke tanah air, pemerintah
setempat harus memberi izin berdasarkan dokumen identitas pelaut dan paspor yang
valid.
7) Kepemilikan dan pencabutan dokumen didokumentasikan dalam prosedur yang dibuat
secara tripartit. Dokumen identitas pelaut harus disimpan oleh yang bersangkutan
kecuali pelaut secara tertulis mengizinkan kapten kapal untuk menyimpannya. Dokumen
identitas pelaut harus dicabut manakala pelaut tidak lagi memenuhi kondisi yang
ditetapkan dalam konvensi.

e. Bentuk dan Isi Dokumen Identitas Pelaut sebagai berikut :


1) Dokumen identitas pelaut dirancang secara sederhana, terbuat dari bahan yang tahan
lama, dengan secara khusus memperhatikan kondisi-kondisi di laut dan dapat dibaca
oleh komputer. Bahan-bahan yang digunakan :
a) sedapat mungkin mampu mencegah terjadinya manipulasi atau pemalsuan dokumen,
dan memungkinkan dilakukannya deteksi dengan mudah terhadap perubahan-
perubahan yang terjadi; dan
b) secara umum dapat diakses oleh pemerintah negara terkait dengan biaya serendah-
rendahnya.
2) Anggota harus memperhatikan setiap pedoman yang tersedia yang telah disusun oleh
Organisasi Perburuhan Internasional mengenai standar-standar teknologi yang akan
digunakan, yang akan memudahkan standar umum internasional.
3) Ukuran dokumen identitas pelaut tidak boleh melebihi paspor biasa.
4) Dokumen identitas pelaut wajib mencantumkan nama pihak berwenang yang
menerbitkannya, petunjuk-petunjuk yang memungkinkan dilakukannya upaya untuk
secepatnya menghubungi pihak berwenang tersebut, tanggal dan tempat diterbitkannya
dokumen tersebut, dan pernyataan-pernyataan berikutnya :
a) Dokumen ini adalah dokumen identitas pelaut; dan
b) Dokumen ini adalah dokumen yang berdiri sendiri dan bukan paspor.
5) Batas maksimum masa berlaku dokumen identitas pelaut ditentukan menurut peraturan
perundang-undangan negara yang menerbitkannya dan dalam hal apapun, tidak boleh
melebihi sepuluh tahun, dengan syarat harus diperbarui setelah lima tahun pertama
(penerbitannya).
6) Data diri resmi pemegang (dokumen) yang dimasukkan dalam dokumen identitas pelaut
harus dibatasi pada keterangan-keterangan berikut :
a) nama lengkap (nama depan dan nama akhir, apabila ada);
b) jenis kelamin;
c) tempat dan tanggal lahir;
d) kewarganegaraan;
e) ciri-ciri fisik tertentu yang dapat memudahkan identifikasi;
f) foto digital atau foto asli; dan
g) tanda tangan.
7) Meskipun data resmi dokumen sudah ditetapkan, pola panutan atau representasi
(perwujudan) lain dari hasil pengukuhan biometri pemegang (dokumen) yang memenuhi
spesifikasi yang ditetapkan juga harus diminta untuk dimasukkan dalam dokumen
identitas pelaut, asalkan dipenuhi persyaratan sebagai berikut.
a) pemeriksaan biologis untuk kepentingan pengukuran biometri tersebut dapat
dilakukan tanpa melanggar privasi, menyebabkan ketidaknyamanan, beresiko bagi
kesehatan atau merendahkan harkat dan martabat bagi yang bersangkutan;
b) hasil pengukuran biometri itu sendiri harus terlihat pada dokumen dan tidak boleh
terbuka kemungkinan untuk menyusunnya kembali dari pola panutan atau
representasi lainnya;
c) perlengkapan yang dilakukan untuk melakukan pengukuran dan verifikasi biometri
harus mudah digunakan dan secara umum mudah didapatkan oleh para pemerintah
dengan biaya rendah;
d) perlengkapan untuk verifikasi biometri harus dapat dioperasikan dengan mudah
sesuai dengan kebutuhan dan memberikan hasil yang dapat diandalkan di
pelabuhan-pelabuhan dan di tempat lainnya, termasuk di kapal, dimana verifikasi
identitas (pengecekan identitas seseorang) lazimnya dilakukan oleh pihak berwenang
yang mempunya kompetensi untuk itu; dan
e) sistem biometri yang akan digunakan (termasuk perlengkapan, teknologi dan
prosedur penggunaan) harus memberikan hasil yang seragam dan terpercaya guna
menguji keaslian identitas.
8) Semua data pelaut yang tercatat pada dokuemn harus dapat diakses. Pelaut harus
dengan mudah dapat mengakses mesin-mesin yang memungkinkan mereka memeriksa
data diri mereka sendiri yang tidak dapat dibaca dengan mata telanjuang. Akses
semacam itu harus disediakan oleh atau atas nama pihak berwenang yang menerbitkan
dokumen.
9) Isi dan bentuk dokumen identitas pelaut harus mengikuti standar internasional yang
sudah ditentukan.

f. Sebagai tindak lanjut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, maka
ditetapkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 30 Tahun 2008 tentang Dokumen
Identitas Pelaut yang mengatur hal-hal sebagai berikut :
1) Dokumen Identitas Pelaut merupakan dokumen bagi Pelaut, yang terdiri atas:
a) Buku Pelaut;
b) Kartu Identitas Pelaut.
2) Setiap pelaut bekerja sebagai awak kapal pada kapal niaga berukuran GT 35 (tiga puluh
lima gross tonnage) atau lebih untuk kapal motor dan ukuran GT 105 (sertus lima gross
tonnage) atau lebih untuk kapal tradisional dengan kontruksi sederhana atau kapal
perikanan berukuran panjang 12 (dua belas) meter atau lebih, wajib memiliki Buku
Pelaut.
3) Buku Pelaut diberikan kepada pelaut yang memiliki sertifikat keahlian pelaut dan/atau
sertifikat keterampilan pelaut serta taruna yang akan melaksanakan praktek berlayar di
kapal.
4) Untuk mendapatkan Buku Pelaut yang meliputi Buku Pelaut baru, penggantian Buku
Pelaut yang habis masa berlakunya, atau penggantian Buku Pelaut yang hilang, harus
memenuhi persyaratan.
5) Persyaratan untuk mendapatkan Buku Pelaut baru, pemohon mengisi formulir dengan
melampirkan sebagai berikut.
a) Surat pernyataan belum memiliki Buku Pelaut.
b) Fotokopi sertifikat keahlian pelaut dan/atau sertifikat keterampilan pelaut serta taruna
yang akan melaksanakan praktek berlayar di kapal.
c) Surat Keterangan Masa Berlayar yang diketahui Syahbandar atau Pejabat Kedutaan
Besar atau Konsulat Jenderal Republik Indonesia setempat bagi pelaut yang pernah
berlayar.
d) Surat keterangan sehat yang masih berlaku dari dokter yang meliputi :
(1) sehat jasmani dan rohani;
(2) sehat mata dan telinga;
(3) sehat jantung dan paru-paru;
(4) surat keterangan Catatan Kepolisian;
(5) fotokopi surat kenal lahir atau Akte Kelahiran atau Kartu Tanda Penduduk;
(6) pas foto berwarna terbaru ukuran 5 x 5 cm dan 3 x 4 cm masing-masing sebanyak
2 lembar dengan baju warna putih berlatar belakang warna biru untuk pelaut
bagian dek atau berlatar belakang warna merah untuk pelaut bagian mesin.
6) Persyaratan untuk Penggantian Buku Pelaut yang habis masa berlakunya, Pemohon
mengisi formulir dengan melampirkan :
a) Buku Pelaut lama;
b) Surat keterangan sehat yang masih berlaku dari dokter yang meliputi:
(1) Sehat jasmani dan rohani;
(2) sehat mata dan telinga;
(3) sehat jantung dan paru-paru;
c) fotokopi surat kenal lahir atau Akte Kelahiran atau Kartu Tanda Penduduk;
d) pas foto berwarna terbaru ukuran 5 x 5 cm dan 3 x 4 cm masing-masing sebanyak 2
lembar dengan baju warna putih berlatar belakang warna biru untuk pelaut bagian
dek atau berlatar belakang warna merah untuk pelaut bagian mesin.
7) Persyaratan untuk penggantian Buku Pelaut yang hilang, Pemohon mengisi formulir
dengan melampirkan:
a) fotokopi Buku Pelaut apabila ada;
b) surat kehilangan Buku Pelaut dari polisi atau fotokopi laporan kecelakaan kapal;
c) surat keterangan sehat yang masih berlaku dari dokter yang meliputi;
(1) Sehat jasmani dan rohani;
(2) sehat mata dan telinga;
(3) sehat jantung dan paru-paru;
d) fotokopi surat kenal lahir atau Akte Kelahiran atau Kartu Tanda Penduduk;
e) pas foto berwarna terbaru ukuran 5 x 5 cm dan 3 x 4 cm masing-masing sebanyak 2
lembar dengan baju warna putih berlatar belakang warna biru untuk pelaut bagian
dek atau berlatar belakang warna merah untuk pelaut bagian mesin.
8) Buku Pelaut diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut.
9) Penerbitan Buku Pelaut dapat dilimpahkan kepada:
a) Direktur yang membina awak kapal;
b) Syahbandar;
c) Pejabat Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal Republik Indonesia.
10) Pelimpahan kewenangan penerbitan Buku Pelaut ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Perhubungan Laut.
11) Blanko Buku Pelaut dibuat oleh Direkturat Jenderal Perhubungan Laut paling sedikit
memuat daftar mengenai masa berlaku, catatan kesehatan, catatan kecelakaan,
sertifikat yang dimiliki, penyijilan (mustering) serta keterangan lengkap tentang
pengalaman berlayar dan kondite selama bekerja di kapal.
12) Blanko Buku Pelaut dibuat dengan tingkat pengamanan yang memadai sebagai
dokumen sekuriti.
13) Selama pelaut bekerja sebagai awak kapal, Buku Pelaut disimpan oleh Nakhoda Kapal.
14) Jika pelaut turun dari kapal untuk dipindahkan ke kapal lain atau karena hubungan kerja
telah berakhir dan telah dicoret dari Buku Sijil, maka Nakhoda menyerahkan Buku Pelaut
kepada yang bersangkutan.
15) Jika pelaut meninggalkan kapal untuk tidak bekerja kembali tanpa suatu pemberitahuan
maka Nakhoda menyerahkan Buku Pelaut yang bersangkutan kepada Syahbandar
setempat atau Pejabat Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri untuk selanjutnya
disampaikan kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut.
Buku Pelaut yang digunakan pada saat berlayar harus diberikan catatan tanggal, tempat
naik ke kapal (sign on), dan turun ke kapal (sign off) oleh Direktur yang membina awak
kapal, Syahbandar atau Pejabat Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal Republik
Indonesia.
16) Berdasarkan Buku Pelaut tersebut, Syahbandar menerbitkan Surat Keterangan Masa
Berlayar. Surat Keterangan Masa Berlayar digunakan sebagai bukti bagi pelaut yang
akan mengikuti pendidikan, pindah kerja, atau berhenti kerja. Surat Keterangan Masa
Berlayar ditembuskan kepada Direktur Jenederal Perhubungan Laut. Buku Pelaut
berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak tanggal penerbitan dan dapat
diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing selama 2 (dua) tahun dengan memenuhi
persyaratan. Buku Pelaut dinyatakan tidak berlaku apabila;
a) mengganti atau memalsukan keterangan yang ada di dalam Buku Pelaut.
b) diperoleh secara tidak sah.
17) Setiap pelaut yang bekerja di kapal yang akan berlayar di luar negeri dan taruna yang
akan melaksanakan praktek berlayar di kapal wajib memiliki Kartu Identitas Pelaut
apabila negara tujuan mensyaratkan penggunaan Kartu Identitas Pelaut untuk
mendapatkan izin turun ke darat. Untuk mendapatkan Kartu Identitas Pelaut, pelaut yang
bekerja di kapal yang akan berlayar ke luar negeri dan taruna yang akan melaksanakan
praktek berlayar di kapal mengajukan permohonan secara langsung atau melalui media
elektronik kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut atau Syahbandar Pelabuhan
Tanjung Perak.
18) Permohonan harus dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut:
a) Fotokopi Sertifikat Keahlian Pelaut atau Sertifikat Keterampilan Pelaut (Basic Safety
Training) bagi pelaut hotel atau staf katering dan Anak Buah Kapal pada kapal
perikanan yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
b) Surat Keterangan Catatan Kepolisian.
c) Paspor yang masih berlaku.
Persyaratan tersebut harus disampaikan harus disampaikan secara langsung kepada
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut atau Syahbandar Pelabuhan Tanjung Perak.
Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan ditolak pada hari yang sama saat
permohonan diajukan disertai dengan alasan penolakannya.
19) Kartu Identitas Pelaut dibuat sesuai dengan standar ILO SID 0002 PDF 417 Barcode
yang dapat dibaca oleh mesin (machine-readable), bebas dari pemalsuan, mudah
dideteksi, dengan ukuran tertentu, serta merupakan dokumen yang berdiri sendiri (stand-
alone document) dan bukan pengganti paspor. Pembuatan dan penerbitan Kartu
Identitas Pelaut dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Perhubungan Laut atau
Syahbandar Pelabuhan Tanjung Perak. Verifikasi Kartu Identitas Pelaut dilakukan oleh
Syahbandar pada Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Batam, Pelabuhan Balikpapan,
Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Emas, Pelabuhan Tanjung Perak,
Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Bitung, dan Pelabuhan Sorong. Pembuatan Kartu
Identitas Pelaut berdasarkan standar prosedur operasional yang ditetapkan lebih lanjut
oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut.
20) Untuk mendapatkan Kartu Identitas Pelaut dikenakan biaya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Jumlah pemohon yang dapat dilayani perhari kerja
disesuaikan dengan kapasitas kerja sistem pembuatan Kartu Identitas Pelaut. Kapasitas
kerja tersebut diumumkan secara terbuka pada loket-loket pelayanan. Bagi pemohon
yang tidak dapat dilayani pada hari yang sama saat pengajuan, permohonan diajukan
pada hari kerja berikutnya. Kartu Identitas Pelaut diterbitkan pada hari yang sama saat
pengajuan diterima, apabila jumlah pemohon sesuai dengan kapasitas kerja.

III. Konvensi Pengukuran Kapal 1969 (International Convention on Tonnage Measurement of


Ships 1969).

Konvensi ini disetujui dan disahkan pada tanggal 23 Juni 1969 di London Inggris.
Pemerintah Indonesia baru meratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun
1987. Konvensi ini bertujuan untuk menyeragamkan sistem pengukuran kapal sehingga
bersifat universal, karena sebelumnya digunakan berbagi cara untuk menghitung tonase
kapal niaga.

Konvensi ini menetapkan perhitungan gross dan net tonase, yang masing-masing
dihitung terpisah. Ketentuan konvensi ini mulai berlaku bagi semua kapal yang dibangun
pada atau setelah tanggal 18 Juli 1982 yaitu tanggal diberlakukannya konvensi tersebut.
Kapal yang dibangun sebelum tanggal tersebut masih diberi tenggang waktu untuk
menggunakan metode perhitungan model lama, selama 12 (dua belas) tahun yaitu 18 Juli
1994. Istilah yang sebelumnya gross register tons (GRT) dan net register tons menjadi
gross ton (GT) dan net ton (NT).

Gross tonnage digunakan sebagai basis perhitungan untuk regulasi pengawakan, aturan
keselamatan dan biaya pendaftaran kapal.Baik gross tonnage maupun net tonnage
digunakan untuk menghitung biaya kepelabuhanan (port dues).
Gross tonnage adalah perhitungan fungsi volume ceruk dari semua ruang tertutup yang
ada di kapal, sedangkan net tonnage dihasilkan berdasarkan perhitungan fungsi volume
ceruk dari semua ruang kargo yang ada di kapal.Perhitungan net tonnage tidak boleh
kurang dari 30% dari gross tonnage.

IV. Konvensi tentang Keselamatan Jiwa di Laut 1974 (The International Convention for the
Safety of Life at Sea/Solas).

Konvensi ini disetujui dan ditandatangani oleh beberapa negara pertama kali tahun 1914
yang dilatarbelakangi kecelakaan kapal Titanic pada tanggal 14 April 1916. Konvensi ini
mengalami beberapa kali perubahan yaitu Tahun 1929, 1948, 1960 dan terakhir pada
1974. Konvensi tersebut diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan
Presiden Nomor 65 Tahun 1980.
Konvensi ini merupakan ketentuan internasional yang sangat penting terkait dengan
keselamatan kapal niaga sebagai alat angkut dan kegiatan perdagangan dunia.Konvensi
tersebut berisi standar minimum keselamatan, konstruksi, peralatan dan pengoperasian
kapal sebagai alat angkut yang digunakan di laut.
Negara berbendera (flag states) memiliki tanggung jawab terhadap penerapan aturan
keselamatan bagi seluruh kapal yang berlayar menggunakan benderanya dan dibuktikan
dengan sertifikat keselamatan kapal. Pengawasan pelaksanaan kapal dilakukan oleh
negara pelabuhan (port states). Negara-negara pelabuhan dapat melakukan inspeksi
terhadap kapal-kapal anggota konvensi lainnya yang disebut Port State Control (PSC).
Sejak ditetapkannya Konvensi ini telah dilakukan 35 (tiga puluh lima) kali perubahan
baik melalui protocol maupun amandemen. Amandemen terakhir dilakukan pada bulan
Mei 2006 yang mengubah ketentuan mengenai :
a. Chapter II : fire protection
b. Chapter III : live saving appliance
c. Chapter IV : radio communication
d. Chapter V : safety navigation
e. Code for fire safety system (FSS code)
f. Code fire life saving appliance (LSA code); dan
g. Guidelines for the authorization of organization acting on behalf of the
administration.

Konvensi SOLAS 1974


Lampiran (Annex), terdiri dari:
Bab I : Ketentuan Umum
Bab II : 1. Konstruksi – sub divisi dan stabilitas, instalasi-instalasi permesinan dan listrik,
2 Konstruksi – perlindungan kebakaran, deteksi kebakaran dan pemadaman
kebakaran
Bab III : Alat-alat Penolong (Life Saving Appliances)
Bab IV : Radio telegraphy dan radio telephony
Bab V : Keselamatan Navigasi
Bab VI : Pengangkutan muatan padi-padian/gandum (Carriage of Grain)
Bab VII : Pengangkutan barang-barang/muatan berbahaya (Carriage of Dangerous
Goods),
Bab VIII : Kapal-kapal Nuklir.
Bab IX : Manajemen Keselamatan untuk pengoperasian Kapal-kapal,
Bab X : Tindakan-tindakan keselamatan untuk kapal-kapal kecepatan tinggi (High Speed
Craft)
Bab XI : Tindakan-tindakan khusus untuk mempertinggi keselamatan maritim,
Bab XII : Tambahan tindakan-tindakan untuk Bulk Carrier

V. Konvensi Keselamatan Peti Kemas 1972 (International Convention for Safe


Containers/CSC 1972).

Konvensi ini merupakan aturan terkait dengan keselamatan pengangkutan peti kemas,
mengingat pada dekade tahun 1960 telah berkembang angkutan laut menggunakan peti kemas
dalam rangka efisiensi dan keamanan muatan/barang yang diangkat melalui angkutan laut. IMO
bekerjasama dengan Economic Commission on for Europe (ECE) telah menghasilkan sebuah
rancangan konvensi dan disetujui dan disahkan di London, Inggris pada tanggal 2 Desember
1972 dalam suatu konferensi yang diselenggarakan bersama antara PBB dan IMO. Konvensi ini
merupakan antisipasi terhadap Konvensi Solas 1960 karena peti kemas merupakan bagian dari
kapal ketika diangkut dengan angkutan laut.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dengan Keputusan Presiden Nomor 33
Tahun 1989.
Konvensi tersebut mempunyai tujuan :
a. Menjaga keselamatan jiwa manusia dalam pelaksanaan transportasi dan ketika melakukan
bongkar muat peti kemas dengan menetapkan prosedur dan persyaratan kekuatan peti
kemas standar.
b. Menetapkan standar aturan keseragaman ukuran, kekuatan, dan keselamatan peti kemas
yang digunakan untuk semua moda transportasi.
Ketentuan konvensi tersebut hanya berlaku bagi angkutan peti kemas secara internasional,
kecuali yang dirancang secara khusus untuk angkutan udara dan bahan untuk semua jenis peti
kemas atau boks pembungkus yang dapat digunakan kembali (reusable packing boxes).
Konvensi yang hanya berlaku terhadap peti kemas dengan ukuran minimum tertentu yang
dilengkapi dengan alat pengait pojok (corner fitting) yang berfungsi untuk mempermudah
penanganan (handeling), pengamanan (securing) atau penumpukan (stacking).

Konvensi ini sendiri atas 2 (dua) anek yaitu :


a. Annex I yang mengatur mengenai pengujian (testing), pemeriksaan (inspection), persetujuan
(approval), dan perawatan (maintenance) petikemas.
b. Annex II yang mengatur persyaratan keselamatan struktur (structural safety requirement) dan
prosedur rinci dari pengujian (detail of test procedures).

VI Konvensi Pencemaran Minyak yang diakibatkan oleh Kapal (International for the
Prevention of Pollution from Ships/1973) yang disempurnakan pada Tahun 1978/Marpol
73/78 dan amandemennya.

Marpol 1978 diawali dengan diselenggarakannya konferensi Internasional for the Provention of
Pollution of the Sea by Oil (OIL POL) 1954 di Inggris. Hasil konferensi tersebut menyerahkan
(mendepositkan) ke IMO dan dengan telah berlakunya Konvensi IMO Tahun 1958 Maka OIL
POL 1958 diberlakukan pada tanggal 26 Juli 1958. Dengan diberlakukannya konvensi tersebut
maka diharapkan dapat mengatasi pencemaran lingkungan laut oleh minyak, termasuk minyak
mentah (crude oil), minyak bakar (fuel oil), minyak diesel (haavy oil) dan minyak pelumas
(lubricating oil) dengan cara sebagai berikut :
a. menentukan wilayah terbatas (prohibited zone) hingga jarak paling sedikit 50 mil dari pantai
yang melarang pembuangan minyak atau limbah bercampur minyak melebihi 100 ppm;
b. negara-negara peserta konvensi diminta untuk mengambil langkah-langkah pembangunan
tempat penampungan limbah (reception facilities) untuk air dan residu bercampur minyak;
Kovensi tersebut diamandemen pada Tahun 1968 dengan mengatur penerapan bagi hal-hal
tonase lebih kecil dan memperlebar zona terbatas. Pada Tahun 1969 dilakukan amandemen
kembali dengan membatasi pembuangan minyak karena pengoperasian kapal minyak termasuk
limbah minyak yang berasal dari ruang mesin semua jenis kapal.
Pada tanggal 18 Maret 1967, terjadi kecelakaan kapal Torrey Canyon yang dicharter oleh British
Petroleum sehingga kandas di Polland’s Rock di gosong Seven Stones di kawasan kanal Inggis
yang menumpahkan 120.000 ton minyak mentah ke laut.
Atas dasar tersebut dalam sidang Assembly IMO memutuskan untuk melakukan beberapa
langkah untuk menyelenggarakan konvensi dan pada tahun 1973 dilaksanakan dan disahkan
konvensi Marpol 1973.
Konvensi Marpol 1973 diselenggarakan dan disahkan di London pada tanggal 2 November
1973. Sementara Konvensi Marpol 1973 belum diberlakukan terjadi peningkatan kecelakaan
kapal tanker selama periode 1976-1977, sehingga IMO menyelenggarakan konvensi dan
mengesahkan Protokol of 1978 Realating to Tahun 1973 International Convention for the
Prevention of Pollution from Ships 1978 (Marpol Protokol) pada tanggal 17 Februari 1978 yang
untuk selanjutnya disebut Marpol 73/78.
Marpol 73/78 tersebut mulai diberlakukan pada tanggal 2 Oktober 1983 (untuk annex I dan
annex II), Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Marpol 73/78 dengan Keputusan
Presiden Nomor 46 Tahun 1986. Terhadap annex III sampai dengan annex VI diratifikasi dengan
Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2012 tanggal 20 Maret 2012.

a. Annex I : Pengaturan pencemaran, pencegahan dari minyak (regulation for


the prevention of pollution by oil)
b. Annex II : Pengaturan mengontrol pencemaran dari bahan curah (regulation of
the control of pollution by naxions liquid substance in bulk)
c. Annex III : Pencegahan pencemaran dari bahan berbahaya yang diangkut dari
laut (prevention of pollution by harmful substances carried by sea in
packaged from)
d. Annex IV : Pencegahan pencemaran dari limbah kapal (prevention of pollution
by sawage from ship)
e. Annex V : Pencegahan pencemaran dari sampah kapal (prevention of
pollution by garbage from ship)
f. Annex VI : Pencegahan pencemaran udara dari kapal (prevention of air
pollution from ship)

Secara garis besar isi dari masing – masing Annex sebagai berikut :
a. Annex I : Regulation for the Prevention of Pollution by Oil
Pada prinsipnya berisi ketentuan bahwa pembuangan minyak dari pengoperasian kapal
tanker yang diperbolehkan adalah apabila persyaratan berikut telah dipenuhi :
1) Jumlah kuantitas minyak yang boleh dibuang dari tanker ketika melakukan ‘ballast
voyage”, tidak boleh melebihi 1/15,000 dari keseluruhan kapasitas muatan yang
diangkut oleh kapal.
2) Jumlah minyak yang dibuang tidak boleh lebih dari 60 liter per mil perjalanan kapal ; dan
3) Tidak boleh ada minyak dalam jenis apapun yang dibuang dari ruang muatan tanker
dalam jarak kurang dari 50 mil dari pulau terdekat.
Setiap kapal tanker harus memiliki “oil record book” yang berisi rekaman perpindahan muatan
minyak dan residunya sejak pemuatan hingga pembongkaran dari tanki ke tanki (tank-to-tank
basis).
Hal baru yang diatur dalam Konvensi MARPOL 1973 adalah konsep “special areas” yang
dikategorikan sebagai sebuah kawasan yang sangat rawan terhadap pencemaran oleh
minyak sehingga pembuangannya sangat dilarang. Berdasarkan ketentuan tersebut,
ditetapkan kawasan Laut Tengah (Mediteranean Sea), Laut Hitam (Black Sea), Laut Baltik
(Baltik Sea), Laut Merah (Red Sea) dan Kawasan Teluk (Gulfs area) sebagai “special areas”.
Semua kapal yang mengangkut minyak diwajibkan untuk mengoperasikan metode
penyimpanan limbah berminyak di kapal melalui sistem “load on top” untuk dibuang ke
“reception facilities” di pelabuhan.
Protocol of 1978 menetapkan banyak perubahan pada Annex I yakni dengan
mempersyaratkan “Segregated ballast tanks (SBT)” bagi semua tanker baru berukuran
20,000 dwt atau lebih yang sebelumnya 70,000 dwt atau lebih dan harus dibuat sedemikian
rupa sehingga dapat melindungi tanki-tanki penyimpanan muatan minyak ketika terjadi
tubrukan atau kandas.
Pada amandemen tahun 1992 terhadap Annex I dipersyaratkan agar semua kapal tanker
baru wajib mempunyai lunas ganda (doable hulls) dan selanjutnya menetapkan untuk
melakukan “phase-In” bagi kapal-kapal tanker yang masih ada untuk digantikan dengan
kapal-kapal tanker yang “double hulls”.

b. Annex II : Control of Pollution by Naxions Liquid Substance


Anneks II memuat kriteria rinci dari pembuangan dan langkah-langkah pengawasan terhadap
pencemaran oleh bahan cair beracun (Pollution by Naxions Liquid Subtances) yang diangkut
secara curah dengan menggunakan kapal.
Sebanyak 250 bahan telah dievaluasi dan dimasukkan ke dalam daftar sebagai lampiran dari
Konvensi. Pembuangan terhadap residu bahan ini hanya boleh dilakukan di “reception
facilities” dengan syarat telah mencapai konsentrasi dan kondisi tertentu berdasarkan variasi
kategori dari masing-masing bahan.

c. Annex III : Prevention of Pollution by Harmful Substances in packaged form


Anneks III memuat persyaratan umum untuk penerbitan standar-standar mengenai “packing,
marking, labelling’, pembuatan dokumentasi, pemuatan (stowage), pembatasan kuantitas,
pengecualian dan pemberitahuan dalam rangka pencegahan pencemaran oleh bahan
berbahaya (harmfull substance). Untuk itu IMO telah menyusun “International Maritime
Dangeraous Goods (IMDG) Code” sejak tahun 1991 dengan memasukkan “marine pollutans”.

d. Annex IV : Prevention of Pollution by Sewage From Ship


Anneks IV memuat persyaratan untuk melakukan pengawasan pencemaran laut oleh limbah
(sewage) dari kapal.
e. Annex V : Prevention of Pollution by Garbage From Ship
Anneks V memuat aturan dan rincian mengenai pembuangan berbagai jenis sampah
(garbage) yang berbeda dan menentukan jarak pembuangan dari pantai serta tata cara
pembuangannya. Hal penting yang diatur dalam anneks ini adalah larangan (the complete
ban) pembuangan dari jenis segala plastik ke laut.

f. Annex VI : Prevention of Air Pollution From Ship


Anneks VI memuat pengaturan mengenai pembatasan emisi “sulphur oxide (Sox)” dan
“nitrogen oxide (NOx)” dari cerobong asap kapal dan larangan pembuangan emisi bahan
perusak lapisan ozone.
Konvensi Marpol 1973/1978 tersebut berkali-kali dilakukan amandemen terakhir amandemen
2003.
Selanjutnya Indonesia mengesahkan atau meratifikasi Annex III, Annex IV, Annex V dan
Annex VI Marpol 1973/1978 dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2012 yang di
tanda tangani tanggal 20 Maret 2012. Ratifikasi keempat Annex tersebut sebagai tindak lanjut
resolusi Marine Environment Protection Comitte (MEPC) ke 58 di London, Inggris 10 Oktober
2008 sebagai bentuk komitmen dalam rangka mencegah lingkungan laut dari pengoperasian
kapal, baik bendera Indonesia maupun bendera asing.

VII. Konvensi Standar Pelatihan, Serifikasi dan Dinas Jaga Pelaut (International Convention
on Standard of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers/STCW 1978).

(Disahkan di London pada tanggal 7 Juli 1978. Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan
keputusan Presiden No.60 Tahun 1986)

STCW 1978 merupakan awal dari penetapan persyaratan untuk pelatihan (Training), sertifikasi
(Sertification) dan dinas jaga (Watchkeeping) untuk para pelaut tingkat international. Sebelum
ditetapkannya Konvensi ini, standar pelatihan, sertifikasi dan dinas jaga untuk “officers” dan
“rating” dietapkan oleh masing-masing negara yang biasanya tidak mengacu pada paktek di
negara-negara lain. akibatnya standard an prosedur pelatihan menjadi berbeda-beda, meskipun
angkutan laut merupakan sector industri yang bersifat lntas negara.

Konvensi menetapkan standard minimum yang berkaitan pelatihan, sertifikasi dan dinas jaga
untuk pelaut yang wajib dicapai dan dimiliki. Selain itu Konvensi juga memuat persyaratan
mengenai prosedur sertifikasi dan pemeriksaan pemenuhannya (compliance) dalam rangka
pelaksanaan “Port State Control”.

Hal penting yang muncul dari konvensi ini adalah bahwa konvensi berlaku bagi kapal-kapal dari
negara yang bukan Peserta (non – party States) nemun memasuki wilayah negara pelabuhan
yang merupakan peserta dari konvensi . Article X mensyaratkan agar negara-negara peserta
wajib melakukan pengawasan terhadap kapal dari semua Negara tanpa ada perbedaan
perlakuan ( no more favourable treatment).

Aturan teknis dari konvensi STCW 1978 termasuk dalam Anneks yang terbagi dalam enam
Chapter, sebagai berikut :

Chapter I : General provisions


Memuat rangkaian defnisi dari istilah yang dipakai dalam Anneks. Regulations1/2 memuat aturan
tentang formulir sertifikat dan endorsement, dimana semua sertfikat wajib menyertakan
terjemahan dalam bahasa inggris, apabila negara penerbit sertifikasi tidak menggunakan Bahasa
inggris sebagai bahsa resmi.

Chapter II : Master deck department


Memuat aturan mengenai berbagai prinsip dasar yang harus dilaksanakan pada saat tugas jaga
navigasi, yang mencakup kelengkapan tugas jaga, kebugaran (fitness) dalam bertugas,
kenavigasian, peralatan navigasi, tugas dan tanggung jawab dalam bernavigasi, tugas jaga
(look-out), bernavigasi dengan pandu di kapal dan perlindungan lingkungan laut. Selain itu
dimuat juga prinsip prinsip dasar untuk tugas jaga di pelabuhan yang berkaitan dengan navigasi
dan persyaratan minimum wajib untuk pengawasan kapal di pelabuhan yang mengangkut
muatan barang berbahaya.
Chapter III : Engine department
Memuat aturan mengenai berbagai prinsip dasar yang harus dilaksanakan pada saat tugas jaga
permesinan , persyaratan minimum wajib untuk sertifikasi “ chief engineer officer” dan “ second
engineer officer “ persyaatan wajib untuk sertifikasi “ engineer officer” yang bertugas mengawasi
ruang mesin dijaga (manned engine room) atau petugas jaga yang ditunjuk mengawasi”
periodically unmanned engine room”, ketentuan mengnai kesinambungan profesiensi dan
peningkatan pengetahuan bagi “ engineer officer” , persyaratan minimum wajib bagi “ rating”
yang ikut bertugas menjaga kamar mesin.

Chapter IV : Radio department


Chaper ini memuat persyaratan minimum wajib untuk pelaksana sertifikasi “ Radio officer”
ketentuan mengenai kesimbungan profesiensi dan peningkatan pengetahuan bagi “radio
officers” dan persyaratn minimum untuk melaksanakan sertifikasi bagi “ radiotelepone operator”
sebagai catatan bahwa ketentuan wajib yang berkaitan dengan tugas jaga radio doiatur
berdasarkan “ITU Radio Regulations”.

Chapter V : Special requirements for tankers


Chapter ini memuat ketentuan pelatihan bagi “ officer dan rating” yang mempunyai tugas khusus
terkait dengan muatan dan peralatan bongkar/ muat di kapal tanker yang wajib menyelesaikan
kursus pemadaman kebakaran di darat dan telah bekerja di kapal tanker untuk jangka waktu
tertentu atau telah menyelesaikan kursus familiarisasi yang diakui. Persyaratan yang lebih ketat
diterapkan untuk nakhoda dan “senior officer. Chapter ini memuat aturan bagi awak kapal tanker
masing-masing pengangkut minyak, bahan kimia dan gas cair.

Chapter VI : Proficiency in survival craft


Chapter ini menetapkam persyaratan yang mengatur penerbitan sertifkasi keahlian untuk
“survival craft “ Dalam Appendiks dimuat daftar minimum pengeyahuan yang harus dikuasai
dalam penerbit-an Certificates of Proficiency”.

Konvensi STCW 1978 juga dilengkapi dengan beberapa resolusi untuk mendukung pelaksanaan
beberapa ketentuan yang ada dalam konvensi sebagai berikut :

Resolution 1 - Basic principles to be observed in keeping a navigational watch..


Resolution 2. -Operational guidance for engineer officers in charge of an engineering
watch.
Resolution 3 -Principles and operational guidance for deck officers in charge of watch in
port.
Resolution 4 - Principles and operational guidance for engineer ofiicers in charge of an
engineering watch in port.
Resolution 5 - Basic Guidelines and operational guidance rekating to safety radio
watchkeeping and maintenance for radio officers.
Resolution 6 - Basic Guidelines and operational guidance rekating to safety radio
watchkeeping and maintenance for radio telephone operators.
Resolution 7 - Radio Operators.
Resolution 8 - Additional training for ratings forming part of a navigational watch.
Resolution 9 - Minimum requirements for a rating nominated as the assistanf to the
engineer officer in chaege of the watch.
Resolution 10 - Training and qualifications of officers and ratings of oil tankers.
Resolution 11 - Training and qualifications of officers and ratings of chemical tankers.
Resolution 12 - Training and qualification of masters, officer and rating of liquefied gas
tankers.
Resolution 13 - Training and quaificaions of officers and rating of ships carrying
dangerous and hazardous cargo other than in bulk.
Resolution 14 - Training for radio officers
Resolution 15 - Training for radiotelephone operators
Resolution16 - Technical assistance for the training and qualifications of masters and
athers responsible personnel of oil, chemical and liquefied gas tankers.
Resolution 17 - Additional training for masters and chief mates of large ships and of ships
with unusual manoeuvring characteristics.
Resolution 18 - Radar simulator training
Resolution 19 - Training of seafarers in personal survival techniques.
Resolution 20 - Training in the use of collision avoidance aids.
Resolution 21 - Internayional sertificate of competency.
Resloution 22 - Human relationships
Resolution 23 - Promotion of technical co-operation.

(Seperti halnya konvensi IMO lainnya, dalam upaya mengikuti perkembangan teknologi
pelayaran, konvensi STCW 1978 juga mengalami perubahan dengan beberapakali dilakukan
amandemen.)

VIII. Konvensi Ketenagakerjaan di Bidang Maritim, 2006 (Maritime Labour Convention, 2006) /
MLC 2006.
(Konvensi ini belum diratifikasi pemerintah indonesia)

Konvensi MLC 2006 merupakan hasil kesepakatan dalam sidang ketenagakerjaan/buruh


internasional ke 94 Badan Pekerja Organisasi perburuhan internasional tanggal 7 Pebruari 2006
di Jenewa. Konvensi ini memberikan babak baru bagi perlindungan tenaga kerja maritim sesuai
standar internasional karena :
a. untuk meningkatkan kesejahteraan pelaut dan melindungi hak-hak tenaga kerja sektor
maritim dengan memperhatikan hak-hak pekerja di industri kelautan lainnya;
b. untuk mewujudkan persaingan yang adil bagi para pemilik kapal/perusahaan angkutan laut
secara internasional;
c. memberikan arahan kewajiban bagi pengusaha angkutan laut untuk membuat perjanjian kerja
bersama dengan pelaut.
Tenaga kerja maritim memiliki karakteristik dan sifat pekerjaan tersendiri berbeda dengan sektor
industri lainnya sehingga IMO memberi kewenangan kepada International Labor Organization
(ILO) mengatur materi ketenagakerjaan bidang maritim. MLC 2006 merupakan pilar ke empat
setelah tiga pilar yang dihasilkan oleh IMO yaitu SOLAS 1974, MARPOL 1973/78 dan STCW,
1978 yang ketiganya sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Ke empat konvensi tersebut
pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan
hak-hak tenaga kerja yang bekerja di atas kapal dan menciptakan tata hubungan industrial yang
kondusif di bidang pelayaran. MLC 2006 mengharmonisasikan dan mengintegrasikan 38 (tiga
puluh delapan) konvensi ILO di bidang maritim. Konvensi ini sekaligus membuat instrumen
tunggal yang memuat standar terbaru mengenai tenaga kerja bidang maritim internasional yang
mengambil prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam 8 (delapan) konvensi internasional yang
sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia yaitu, Konvensi tentang Kerja Paksa, 1930 (Nomor
29), Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, 1948
(Nomor 87), Konvensi tentang Hak untuk Berorganisasi dan Perundingan Bersama, 1949
(Nomor 98), Konvensi tentang Kesetaraan Upah, 1951 (Nomor 100), Konvensi tentang
Penghapusan Kerja Paksa, 1957 (Nomor 105), Konvensi tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan
Jabatan), 1958 (Nomor 111), Konvensi tentang Usia Minimum, 1973 (Nomor 138), dan Konvensi
tentang Perlakuan Buruk terhadap Pekerja Anak-anak, 1999 (Nomor 182).
Berdasarkan Pasal 8 (Artikel VIII) MLC 2006 akan berlaku efektif diseluruh negara anggota ILO
setelah 1 (satu) tahun diratifikasi oleh 30 (tiga puluh) negara dengan total tonase kapal dunia
(word gross tonage of ship) telah mencapai 33%. Persyaratan tersebut telah dipenuhi karena
pada tanggal 20 Agustus 2013. Philipina merupakan negara ke 30 (tiga puluh) yang meratifikasi
MLC 2006, sehingga total tonase sesuai catatan IMO telah mencapai 58 – 65 %.
Dengan demikian MLC 2006 berlaku efektif pada tanggal 20 Agustus 2014. Sampai Januari
2014, negara ILO yang meratifikasi MLC 2006 sudah berjumlah 53 (lima puluh tiga) negara
dengan tonase kapal mencapai 80%.

Untuk itu Pemerintah Indonesia sedang berupaya melakukan proses ratifikasi untuk memberikan
komitmen yang kuat dalam memberikan perlindungan hak dengan meningkatkan kesejahteraan
kepada pelaut Indonesia yang bekerja di atas kapal bendera asing dan/atau kapal berbendera
Indonesia yang berlayar di perairan internasional, karena sesuai dengan data ILO, pelaut
Indonesia menyumbangkan lebih kurang 10% dari jumlah keberadaan pelaut dunia.
Penulis berpendapat, agar ratifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dilaksanakan
adalah dengan Undang-undang karena berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, terdapat 2 (dua) alasan penting yaitu materi konvensi tersebut
menyangkut hak azasi manusia (HAM) dan terjadi pembentukan kaidah hukum baru. Perjanjian
Kerja Laut (PKL) saat ini berlaku KUHD (Pasal 345 sampai dengan Pasal 452), sehingga jika
Pemerintah Indonesia meratifikasi dengan Undang-undang maka KUHD mengenai PKL akan
tidak berlaku lagi.
Konsesi MLC 2006 terdiri dari 16 (enam belas) pasal (Artikel) yang berisi sebagai berikut:
a. Pasal 1 (Artikel I) mengatur kewajiban umum yang menjelaskan pemberlakuan secara penuh
ketetapan-ketetapan yang diatur di dalam konvensi (regulasi dan kode/ regulation and code)
dalam rangka menjamin hak semua pelaut atas pekerjaan yang layak.
b. Pasal 2 (Artikel II) mengatur definisi dan ruang lingkup penerapan, yang menjelaskan definisi-
definisi/istilah dari kegiatan yang berlangsung di atas kapal, pihak yang bertanggung jawab di
atas kapal, gross tonage, sertifikat pekerja maritim, pelaut, perjanjian kerja laut, perekrutan
dan penempatan pelaut, kapal, pemilik kapal dan sebagainya.
c. Pasal 3 (Artikel III) mengenai hak prinsip-prinsip dasar pekerja, yang menjelaskan mengenai
hak dasar atas kebebasan berserikat dan pengakuan efektif atas hak untuk melaksanakan
perundingan bersama, penghilangan semua bentuk kerja paksa atau wajib kerja,
penghapusan efektif pekerja anak, dan penghilangan diskriminasi dengan kaitannya
pekerjaan dan jabatan.
d. Pasal 4 (Artikel IV) mengenai hak pekerjaan dan sosial pelaut, yang menjelaskan mengenai
hak atas pelaut seperti tempat kerja yang aman, pekerjaan yang adil, kondisi pekerjaan dan
kehidupan yang layak di atas kapal, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta
jaminan sosial.
e. Pasal 5 (Artikel V) mengenai pertanggung jawaban penerapan dan penegakan, yang
menjelaskan mengenai pengawasan yang efektif terhadap kepatuhan dalam penerapan
konvensi antara lain seperti pemeriksaan rutin, pelaporan, dan monitoring.
f. Pasal 6 (Artikel VI) mengenai regulasi dan kode bagian A dan B, yang menjelaskan mengenai
aturan di dalam konvensi yang wajib dan tidak wajib yaitu regulasi dan kode A adalah wajib
sedangkan regulasi dan kode B tidak wajib.
g. Pasal 7 (Artikel VII) mengenai konsultasi dengan organisasi pemilik kapal dan pelaut, yang
menjelaskan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan konvensi dan tenaga kerja
maritim harus dikonsultasikan dengan organisasi pemilik kapal dan pelaut.
h. Pasal 8 (Artikel VIII) mengenai pemberlakuan, yang menjelaskan mengenai persyaratan
pemberlakuan kapal, yaitu setelah diratifikasi oleh 30 negara anggota ILO dan berat kotor
tonase kapal di dunia telah mencapai 30%.
i. Pasal 9 (Artikel IX) mengenai pengaduan, yang menjelaskan mengenai proses pengaduan
terhadap isi konvensi setelah 10 tahun berlaku.
j. Pasal 10 (Artikel X) mengenai pengaruh pemberlakuan, yang menjelaskan mengenai isi
konvensi yang merupakan revisi dari 38 konvensi yang berkaitan dengan kemaritiman
k. Pasal 11 dan 12 (Artikel XI dan XII) mengenai fungsi-fungsi penyimpanan
l. Pasal 13 (Artikel XIII) mengenai komite tripartit khusus.
m. Pasal 14 (Artikel XIV) mengenai amandemen terhada konvensi ini.
n. Pasal 15 (Artikel XV) mengenai amandemen terhadap kode.
o. Pasal 16 (Artikel XVI) mengenai bahasa resmi.

Konvensi tersebut memuat aturan teknis mengenai :


a. Persyaratan minimum untuk orang yang bekerja di kapal.
Meliputi standar usia minimum untuk bekerja, memiliki sertifikasi kesehatan, kompetensi dan
kualifikasi, rekrutmen dan penempatan
b. Kondisi kerja.
Meliputi perjanjian kerja, upah, waktu kerja dan waktu istirahat, cuti repatriasi, kompensasi
bagi awak kapal untuk kapal yang hilang dan tenggelam, tingkat pengawakan, peningkatan
karir, kemampuan dan kesempatan bagi awak kapal.
c. Akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan dan katering.
Meliputi fasilitas akomodasi, rekreasi, makanan dan katering
d. Perlindungan kesehatan, perawatan medis, kesejahteraaan dan jaminan sosial.
Meliputi pelayanan kesehatan di atas kapal dan di darat, tanggung jawab pemilik kapal,
perlindungan keselamatan dan kesehatan, serta pencegahan kecelakaan, akses untuk
fasilitas kesejahteraan di darat, dan jaminan sosial.
e. Pemenuhan dan penegakan.
Meliputi tanggung jawab negara bendera (flag state) terkait dengan persyaratan umum,
kewenangan pihak ketiga yang ditunjuk (recognized organization), sertifikasi ketenagakerjaan
maritim (marine labour certificate) dan deklarasi pemenuhan ketenagakerjaan maritim
(declaration of maritime labour compliance), inspeksi dan penegakan, prosedur penanganan
keluhan, penanganan terhadap kecelakaan maritim tanggung jawab negara pelabuhan (port
state), tanggung jawab penyalur tenaga kerja. Perlakuan konvensi tidak boleh membedakan
antara kapal berbendera Indonesia maupun kapal asing yang mempekerjakan awak kapal
Indonesia. Perlakuan berbeda dapat dilakukan pemeriksaan secara terinci (mendetail) yang
meliputi 14 hal yang harus dipenuhi kapal dan awak kapalnya sesuai ketentuan MLC, 2006,
yaitu : usia minimum, sertifikasi kesehatan, kualifikasi pelaut, perjanjian kerja pelaut,
penggunaan jasa perekrutan dan penempatan swasta berlisensi (berijin) dan bersertifikat,
waktu kerja atau istirahat, tingkat mannning untuk kapal, akomodasi, fasilitas rekreasi di atas
kapal, makanan katering, kesehatan, keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan,
Perawatan medis di atas kapal, Prosedur penyelesaian keluhan di atas kapal, Pembayaran
gaji / upah.

IX. Konvensi Internasional Mengenai Pengendalian Sistem-sistem Anti Teritip Berbahaya


pada Kapal-kapal, 2001 (The International Convention On The Control Of Harmful Anti-
Fouling Systems On Ships, 2001).
(Konvensi ini belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia)

Konvensi tersebut disahkan/ditandatangani di London, Inggris pada tanggal 5 Oktober 2001.


Konvensi tersebut terdiri dari 21 pasal, 4 lampiran, dan contoh model sertifikat sistem anti teritip
dan model pernyataan sistem anti teritip sebagai tambahan dari lampiran IV. Secara garis besar
konvensi tersebut berisi sebagai berikut.
a. Kewajiban umum dari setiap Pihak dari Konvensi ini adalah untuk memberikan efek yang
penuh dan lengkap terkait dengan ketentuan-ketentuan untuk mengurangi atau
menghilangkan pengaruh kuat terhadap lingkungan laut dan kesehatan manusia yang
disebabkan oleh sistem anti teritip.
b. Definisi yang terkait dengan sistem anti teritip adalah suatu lapisan cat, perawatan
permukaan, permukaan atau peralatan yang digunakan pada suatu kapal untuk
mengendalikan atau mencegah pelekatan organisme-organisme yang tidak diinginkan.
c. Penerapan.
Konvensi ini wajib diterapkan pada:
1) kapal berbendera suatu pihak;
2) kapal yang tidak berbendera suatu pihak tapi dioperasikan oleh otoritas dari suatu pihak;
dan
3) kapal-kapal yang memasuki suatu pelabuhan, galangan, atau terminal lepas pantai dari
suatu pihak.
d. Pengendalian pada sistem anti teritip dilakukan terhadap penerapan, penerapan kembali,
pemasangan atau penggunaan sistem anti teritip yang berbahaya pada kapal, pada saat
berada di dalam pelabuhan, galangan, atau anjungan lepas pantai pada suatu pihak.
e. Proses untuk mengusulkan perubahan untuk mengendalikan sistem anti teritip.
f. Survei dan sertifikasi kapal.
g. Pemeriksaan dan deteksi pelanggaran.

Saat ini sampai dengan buku ini ditulis Pemerintah Indonesia sedang menyelesaikan proses
ratifikasinya dengan Parturan Presiden. Dengan meratifikasi konvensi ini akan diperoleh
keuntungan antara lain sebagai berikut :
a. Indonesia mempunyai aturan yang lebih ketat terhadap kapal-kapal asing yang akan masuk
ke Indonesia karena pemerintah Indonesia dapat melakukan survei atau pemeriksaan bagi
kapal–kapal asing tersebut terkait kepatuhan kapal-kapal tersebut dalam memenuhi
ketentuan-ketentuan dalam konvensi;
b. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi para pemilik kapal terhadap kelancaran
operasional kapalnya, karena kapal tersebut telah mendapat pengakuan internasional melalui
penerbitan sertifikat sistem anti teritip yang diterbitkan sesuai konvensi;
c. memberikan kepastian hukum dan dasar hukum guna melindungi kelestarian lingkungan
maritim dari upaya pencegahan pencemaran dari pengoperasian kapal;
d. meningkatnya daya saing armada kapal nasional di pangsa transportasi internasional, yang
80% total volume perdagangan dunia diangkut dengan menggunakan kapal (seaborne trade);
e. melindungi perusahaan pelayaran karena dengan penerapan penggunaan cat sistem anti
teritip pada kapal-kapalnya maka senyawa tributiltin (TBT) pada cat yang merupakan jenis
bahan berbahaya untuk digunakan sehingga pabrik cat pada saat ini telah mengeluarkan cat
yang tidak mengandung senyawa tributiltin (TBT).
Indonesia perlu meratifikasi konvensi ini karena anti-fouling adalah bahan/zat pada cat yang
digunakan untuk melapisi lambung kapal bagian luar dibawah garis air untuk memperlambat
pertumbuhan organisme laut yang dapat merusak lambung kapal dan yang dapat menambah
hambatan pada gerak kapal sehingga mengurangi kecepatan kapal serta untuk menghambat
laju korosi pada logam lambung kapal.
Organisme-organisme tersebut diantaranya adalah siput laut, teritip, kepah, remis, dan lain-lain
yang melekat pada lambung kapal. Bahan yang digunakan sebelumnya adalah mengandung
kapur dan arsenik, tetapi pada saat ini bahan yang digunakan juga mengandung logam seperti
tembaga dan timah (tributyltin/TBT) untuk membunuh organisme yang menempel pada lambung
kapal sehingga menghambat dan bahkan mencegah pertumbuhannya.
Sebagai konsekuensi, apabila organisme yang telah memakan bahan ini yang kemudian
dimakan ikan dan selanjutnya dikonsumsi manusia, akan terjadi penumpukan kandungan bahan
berbahaya ini juga di tubuh manusia sehingga bisa membahayakan kesehatan dan jiwa manusia
selain daripada itu dapat menyebabkan ekonomi masyarakat pesisir turun karena disebabkan
oleh rusaknya biota laut.
Oleh karena itu, diperlukan ketentuan untuk pengendalian penggunaan bahan berbahaya pada
cat untuk melapisi lambung kapal dengan penggunaan cat-cat yang telah disertifikasi dan
dengan cara pelapisan sesuai ketentuan yang disebut dengan sistem anti teritip. Agar nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dapat
teraksana khususnya untuk melestarikan lingkungan hidup, maka Pemerintah Indonesia perlu
segera meratifikasi konvensi ini sebagai bentuk tanggung jawab dalam upaya melakukan
perlindungan lingkungan maritim.
Dengan diratifikasi konvensi ini maka pemerintah bisa menerapkan aturan aturan yang berkaitan
dengan pencegahan pencemaran yang disebabkan oleh bahan yang mengandung logam pada
cat kapal .

Anda mungkin juga menyukai