Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh,
Yulia Sofiani
2
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
sebuah kerajaan mandiri setelah kerajaan Sunda ditaklukan oleh Banten pada
tahun 1579. Pusat kekuasaan Galuh pada saat itu bertempat di daerah
Galuh Batas wilayah Galuh sebelah timur adalah sungai Citanduy, Sumedang
Pada tahun 1595, Galuh dikuasai oleh kerajaan Mataram Islam yang berada di
1
Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, (Bandung:
Sundanologi, 1998), hlm. 30; Asikin Wijaya Kusumah, Tina Babad Pasundan: Riwayat
Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Padjadjaran dina Taun 1580, (Bandung: Kalawarta
Kudjang, 1961), hlm. 15.
2
Panembahan Senapati masih disibukkan dengan upaya penaklukkan daerah pantai utara
pulau Jawa dan memperkuat identitas diri sebagai penguasa Mataram. Ia membiarkan penguasa
Galuh tetap memakai gelar Prabu dan tidak menuntut laporan pemindahan pusat pemerintahan dari
Panaekan ke Gara Tengah. Pada saat yang bersamaan, pengaruh Cirebon atas Galuh relatif masih
kuat. Cirebon adalah salah satu kekuasaan yang dihormati oleh Mataram.
3
jajahannya. VOC tidak mencampuri urusan politik pribumi karena hal itu
adalah tanggung jawab para kepala pribumi (volkshoofden), yaitu bupati. VOC
mengadakan hubungan politik dan atau dagang dengan pihak lain. VOC
perdagangan yang jumlah, jenis, dan harganya telah ditentukan oleh VOC.4
3
Pengangkatan Adipati Panaekan sebagai wedana Mataram di Galuh adalah yang
pertama dilakukan di Mancanagara Kilen. Sultan Agung memberikan kekuasaan kepada Adipati
Panaekan untuk memerintah Galuh atas nama raja Mataram, kepadanya diberikan tambahan cacah
sebanyak 960 jiwa. Bupati Galuh sejak Adipati Panaekan tercatat dalam sumber-sumber VOC dan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Lihat R.A.A.A. Soeria Nata Atmadja, Regenten Positie,
(Bandung: A.C. Nix & Co, 1936), hlm. 7; T.S. Raffles, History of Java. Vol.2, (Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1982), hlm. 2.
4
D.H. Burger, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jilid II (diterjemahkan dan
disadur oleh Prajudi Atmosudirdjo), (Jakarta: Pradnja, 1970), hlm. 98.
4
B. Pokok Permasalahan
Ikatan feodal bupati dengan rakyat merupakan hal yang penting dalam
untuk menggunakan tenaga rakyat. Para pejabat VOC tidak memiliki akses
pasti situasi dan kondisi rakyatnya. Faktor itulah yang menjadi alasasan VOC
pemerintah dan ditempatkan dalam kerangka kerja yang diawasi secara ketat
dari percaturan politik kolonial tetapi selalu gagal karena terganjal oleh
kolonial.
bupati. Selain itu juga menjadi penyebab utama atas pasang surut dalam
kedudukan dan kekuasaan bupati-bupati Galuh pada tahun 1800 hingga 1916,
5
Nama kabupaten Galuh diganti menjadi Ciamis pada tahun 1916, yaitu ketika R.A.A.
Sastrawinata menjadi bupati menggantikan Kusumasubrata.
6
bupati di pulau Jawa yang diakibatkan oleh perubahan sistem kolonial. Tahun
C. Kajian Pustaka
pun ada dari segi isi dan teknik penulisannya masih bersifat sederhana. Ade
Sri Baduga Maharaja Dewata Prana atau Prabu Siliwangi yang kemudian
Kusumasubrata dengan bahasa Sunda dengan huruf Sunda kuno dan dalam
bupati Galuh, tepatnya hari Kamis, tanggal 08 Agustus 1890. Isinya adalah
dalamnya. Sementara itu, Regenten Positie (1936) yang ditulis oleh bupati
Cianjur yang bernama R.A.A.A Soeria Nata Atmadja merupakan tulisan yang
kolonial.
1944 (1998). Tulisan ini memaparkan kehidupan kaum menak Priangan yang
umumnya seragam, fokus utamanya adalah kaum menak Priangan Barat dan
Priangan. Gelar, pusaka, upacara, dan etiket para menak termasuk yang
dengan kaca mata antropologi, tulisan ini dapat membantu dalam penelitian
sejarah.
D. Tujuan Penelitian
menjadi acuan dalam penulisan dan menentukan langkah agar apa yang
kekuasaan mereka menjadi bagian dari birokrasi kolonial. Gaya hidup di sini
E. Kerangka Konseptual
dalam penelitian sejarah karena fungsinya adalah sebagai ilmu bantu. Tetapi
sebagai suatu kepemimpinan yang berakar pada struktur sosial yang tersusun
6
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu
Alternatif, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 226-227.
10
masyarakat. Jika merujuk kepada konsep ini, maka bupati-bupati Galuh adalah
secara beda, ada aturan dan tata cara khusus baik dalam bahasa (usuk basa),
tradisi. Faktor keturunan dalam pengangkatan bupati adalah hal yang penting
7
T.B. Bottomore, Elites and Society, (Middlesex: Penguin Books, 1974), hlm.7.
8
Profil Propinsi Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara,
1992), hlm. 250.
9
Undak-usuk basa adalah tingkatan-tingkatan dalam bahasa Sunda, yaitu lemes (halus),
sedeng (sedang), dan loma (kasar). Unggah-ungguh adalah tata cara memperlakukan orang lain,
terutama kepada yang berderajat tinggi atau orang tua, yaitu dengan penuh kesopanan. Jika undak-
usuk dan unggah-ungguh dilanggar akan dianggap tidak tahu diri dan menghina orang lain.
10
Marc Bloch, “Kaum Bangsawan Selaku Kelas Menurut Kenyataan” dalam Sartono
Kartodirdjo (ed.) Elite dalam Perspektif sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 226.
11
kolonial.
pribumi.
karena konsensus rakyat pribumi. Di satu sisi bupati adalah pihak yang
atasan. Di sisi lain bupati menguasai rakyat pribumi, sehingga hubungan yang
terjalin karena ikatan feodal itu adalah tuan dan hamba. Perubahan kebijakan
11
Ibid, hlm. 28
12
Otoritas adalah kekuasaan yang dilembagakan, yang akan terwujud jika suatu perintah
dipatuhi oleh sebagian individu tertentu. Otoritas tradisional didasarkan pada kepatuhan karena
hormat kepada pola tatanan lama.
12
terhadap budaya Barat tidak lantas merombak segi-segi yang telah mapan
dalam kehidupan bupati, karena dalam banyak hal bupati masih memegang
Pendidikan Barat adalah salah satu alat yang digunakan dalam rangka
Nilai baru dapat hidup dan berkembang dalam suatu lingkungan jika
yang mampu mengusung dan menganjurkan suatu nilai baru menjadi sangat
Bupati adalah inovator dan leader opinion, yaitu tokoh dalam suatu
membedakan antara satu orang dengan orang yang lain.13 Melalui gaya hidup
melakukannya, apa maknanya bagi mereka, dan juga bagi orang lain. Gaya
tatanan, prinsip, dan kriteria pada setiap pilihan yang dibuat dalam kehidupan
Memilih gaya hidup tertentu, disadari atau tidak, akan menentukan bentuk
Gaya hidup bupati dapat dihayati melalui simbol-simbol, baik berupa ide
ataupun bentuk simbol yang nyata. Bentuk simbol berupa ide contohnya
pendidikan, sedangkan bentuk simbol yang nyata antara lain simbol dan
contohnya adalah nama dan gelar, tempat tinggal, perabotan, pakaian, dan
13
David Chaney, Lifestyles. Sebuah Pengantar Komprehensif (terj.), (Yogyakarta:
Jalasutra, 1996), hlm. 40.
14
A.L. Kroeber, Style and Civilization, (Barkeley and Los Angeles: University of
California Press, 1963), hlm. 3.
14
BAB II
1000 m), wilayah tengah berupa perbukitan (100-500 m), dan wilayah timur-
Penelusuran jejak nama Galuh lebih sering terbentur kepada mitos. Berbagai
mitos tentang asal-usul Galuh dapat dibaca dalam beberapa naskah kuno yang
masyarakat, maka melalui mitos dapat diidentifikasi perkembangan pola pikir dan
15
Edi S. Ekajati, Wawacan Sejarah Galuh. (Bandung: EFEO. 1977), hlm. 2.
15
perak. Nama Galuh muncul pada abad VI sebagai nama sebuah kerajaan di
berada di tepat di daerah pertemuan dua buah sungai, yaitu sungai Citanduy
dan Cimuntur.17
oleh Ciung Wanara,18 leluhur penguasa Galuh Rakean Jambri yang bergelar
Rahiang Sanjaya.19 Ia adalah putra Sanna yang dibunuh oleh saudaranya yang
16
Kata Galuh disejajarkan dengan galeuh yang berarti beli atau inti dan galih yang
berarti hati. Arti kedua kata itu bergeser menjadi inti manusia. Galuh diartikan sebagai permata
kehidupan yang letaknya ada di dalam hati (Galuh galeuhna galih). Kata-kata itu mengandung
makna bahwa permata kehidupan adalah kejujuran, dalam menjalani hidup harus jujur agar
mencampai kesempurnaan hidup dan terhindar dari kesengsaraan. Secara filosofis, Galuh
dimaknai sebagai pedoman atau tuntunan hidup untuk mencapai kebahagiaan.
17
Carita Parahyangan membedakan Galuh dengan Sunda. Keduanya adalah penguasa
Priangan dengan batas sungai Cimanuk. Dari Cimanuk ke barat merupakan wilayah Sunda,
sedangkan dari Cimanuk ke timur adalah wilayah Galuh. Nama Galuh juga dipakai untuk
mengidentifikasi beberapa wilayah, yaitu Ujung Galuh (Jawa Timur), Segaluh (Purwodadi),
Rajagaluh (Majalengka), Samigaluh (Purworejo), Begaluh atau Segaluh (Leksono), Galuh
(Purbalingga), Galuh Timur (Bumiayu), dan Sirah Galuh (Cilacap).
18
Bojong Galuh berada sekitar 20 km di sebelah timur ibu kota kabupaten Ciamis,
sekarang dikenal dengan nama Karangkamulian.
19
Nama Sanjaya diidentikan dengan nama seorang penguasa yang disebutkan dalam
Prasasti Canggal di Jawa Tengah (723). Keterangan prasasti Canggal saling melengkapi dan
menunjang dengan Carita Parahyangan. Sanjaya adalah putera Sanna yang menikah dengan
puteri penguasa kerajaan Sunda. Ia menyatukan Galuh dan Sunda dengan pusat pemerintahan di
Karangkamulian. Kelak kerajaan itu terpecah kembali menjadi Galuh dan Sunda pada masa
pemerintahan putranya yang bernama Rahiang Tamperan.
16
sehingga berhak atas tahta kerajaan itu. Ia menyatukan Sunda ke dalam Galuh
pada abad XIII sebagai nama sebuah kerajaan yang berpusat di Kawali.20
bahwa tokoh Raja Wastu sama dengan tokoh Niskala Wastu Kancana, yaitu
putra raja Galuh yang memerintah di Kawali. Ayah Niskala Wastu Kancana
20
Daerah Kawali berada sekitar 20 km di sebelah utara ibu kota kabupaten Ciamis.
21
Keenam prasasti itu ditulis dalam bahasa dan aksara Sunda kuno, memberitakan bahwa
di Kawali pernah memerintah seorang raja bernama Raja Wastu yang memperindah keraton
Surawisesa, mengelilingi kota Kawali dengan parit, memakmurkan seluruh desa di negaranya,
bertindak adil, dan mengharapkan orang-orang yang akan datang kemudian berbuat kebaikan agar
hidup lama dan bahagia di dunia.
22
Berita tentang Pasundan Bubat yang terjadi tahun 1357 diceritakan pula dalam naskah
Kidung Sundayana dari Bali.
17
barat Majapahit terdapat sebuah kerajaan yang bernama Galuh dengan rajanya
raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk kepada putri Prabu Maharaja
yang bernama Citra Kirana Diah Pitaloka. Rencana pernikahan itu gagal
menjadi taklukan kerajaan itu. Perang antara prajurit kedua kerajaan terjadi di
daerah yang bernama Bubat, menewaskan Prabu Maharaja dan seluruh prajurit
Galuh.24 Hanya mangkubumi (patih) Rahyang Bunisora dan putra bungsu raja
yang bernama Niskala Wastu Kancana yang selamat dan berhasil kembali ke
Kawali.
23
Pararaton menyebutkan bahwa Perang Bubat terjadi pada tahun 1357, sedangkan
Carita Parahyangan menyebutkan bahwa Prabu Maharaja memerintah Galuh hanya 7 tahun sejak
1350. Berdasarkan dua keterangan itu, dapat disimpulkan bahwa Prabu Maharaja yang memerintah
dari tahun 1350 hingga 1357 sezaman dengan Hayam Wuruk dari Majapahit.
24
Konon Gajah Mada mendatangi rombongan Galuh yang beristirahat di daerah Bubat
sebelum melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Prabu Maharaja menolak syarat yang diajukan oleh
Gajah Mada karena pada awal pinangan tidak ada persyaratan apapun. Prabu Maharaja
memutuskan kembali ke Kawali tetapi dicegah oleh pasukan Gajah Mada yang akhirnya menjadi
peperangan. Raja dan keluarganya, para pengiring, dan seluruh pasukan Galuh gugur dalam
pertempuran itu. Calon pengantin putri memutuskan bunuh diri dari pada harus menikah dengan
Hayam Wuruk yang dianggap sebagai penyebab kematian seluruh rombongan Galuh.
25
Keterangan mengenai Niskala Wastu Kancana terdapat dalam prasasti Kawali dan Batu
Tulis Bogor. Prasasati Kawali menyebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana adalah penguasa
Galuh yang bertahta di Kawali, sedangkan prasasti Batu Tulis menyebutkan bahwa Niskala Wastu
Kancana adalah ayah dari Dewa Niskala dan kakek Sri Baduga Maharaja Dewata Prana yang
menguasai kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran.
18
cucunya yang bernama Sri Baduga Maharaja Dewata Prana (Prabu Siliwangi).
Ia menikah dengan putri penguasa kerajaan Sunda, sehingga memiliki hak atas
Nama Galuh muncul kembali pada abad XVI sebagai nama sebuah
Larang, Galuh menjadi penerus kerajaan Sunda yang hancur oleh Banten.
Pada tahun 1595 ketika Galuh dipimpin oleh Sanghiang Cipta Permana,
26
Menurut keterangan beberapa naskah kuno, alasan pemindahan pusat kekuasaan itu
karena Kawali telah tercemar oleh ulah Dewa Niskala (ayah Prabu Siliwangi) yang menikahi istri
larangan, yaitu perempuan yang berasal dari Majapahit.
27
Panaekan adalah sebuah tempat yang berada di sisi selatan sungai Citanduy
(berseberangan dengan Karangkamulian). Tempat ini sekarang masuk ke dalam wilayah
kecamatan Cimaragas, sekitar 20 km di sebelah selatan ibu kota kabupaten Ciamis.
28
F. de Haan, Priangan: De Preanger Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur
tot 1818, (Batavia: BGKW.1941), hlm. 161.
29
Penguasa Galuh sejak Adipati Panaekan tercantum dalam beberapa catatan VOC dan
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adipati Panaekan adalah bupati pertama yang diangkat
sebagai wedana Mataram di wilayah Mancanagara Kilen dengan anugerah 960 cacah. Tidak
berlebihan jika Adipati Panaekan disebut sebagai De oudste der Wedana’s in de Wester
Ommelanden van Mataram. Lihat F. de Haan, ibid, hlm. 68
19
Tengah. Tahun 1625 ia dibunuh oleh saudara iparnya yang bernama Adipati
Galuh. Ia berbuat curang dengan cara mengganti nama calon bupati yang
30
Adipati Kertabumi yang bergelar Singaperbangsa I adalah penguasa kabupaten Bojong
Lopang yang dibentuk oleh Mataram tahun 1641 sebagai kelanjutan dari penanganan
pemberontakan Ukur (1630-1632). Wilayahnya meliputi Majenang, Dayeuh Luhur, Nusa
Kambangan, dan daerah pantai Selatan. Sultan Agung menugasi Adipati Kertabumi untuk menjaga
daerah yang paling dekat dengan Batavia, yaitu Karawang dengan Adipati Kertabumi sebagai
bupatinya. Salah satu keturunannya yang bernama Sastrawinta kelak pada tahun 1914 menjadi
bupati Galuh menggantikan Kusumasubrata.
31
Berdasarkan keterangan tradisi lisan Galuh, kematian Adipati Imbanagara disebabkan
oleh kemarahan Sultan Agung yang mendapat kabar bahwa Adipati Imbanagara telah menodai
wanita Galuh yang diminta oleh Sultan Agung.
20
Rabi’ul Awal tahun Je yang bertepatan dengan 6 Agustus 1636. Atas saran
luas wilayah kabupaten Galuh tidak berubah, bahkan ketika diserahkan kepada
VOC pun relatif tetap. Mataram menyerahkan Priangan Timur yang terdiri
32
Namanya adalah Yogaswara, sedangkan nama kecilnya adalah Mas Bongsar. Gelar
Raden Panji Aria dianugerahkan oleh raja Mataram karena Jayanagara dianggap satu visi dengan
raja Mataram.
33
Nama Galuh akan tetap dipakai dalam tulisan ini untuk mengidentifikasi kabupaten
Galuh.
34
Barunay berada sekitar 10 km di sebelah barat ibu kota kabupaten Ciamis. Nama
Barunay diganti menjadi Imbanagara setelah menjadi pusat pemerintahan yang baru. Pemindahan
pusat pemerintahan itu dilakukan tanggal 14 Mulud tahun He atau bertepatan dengan tanggal 12
Juni 1642 yang dijadikan sebagai hari jadi kabupaten Ciamis.
35
F. de Haan, op. cit, hlm. 73.
21
melalui perjanjian 19-20 Oktober 1677. Bupati Galuh yang berkuasa saat itu
Kawasen sebanyak 605 jiwa, sedangkan Bojong Lopang sebanyak 20 jiwa dan
adalah bupati Galuh pertama yang diakui sebagai bupati VOC. Kabupaten
Galuh resmi diserahkan kepada VOC oleh Mataram melalui perjanjian tanggal
5 Oktober 1705 sebagai imbalan atas jasa VOC membantu Pangeran Puger
36
Angganaya adalah putra kedua Jayanagara, ia diangkat menjadi bupati Galuh karena
kakaknya yang bernama R. Anggapraja (nama kecilnya adalah Mas Tumbal) menolak jabatan
bupati yang diwariskan ayahnya karena ia tidak mau bekerja sama dengan VOC. Angganaya
memiliki empat orang anak dari seorang istri, yaitu R. A. Sutadinata, R. Angganata, R. Ay. Gilang,
dan R. Kartadinata.
37
Selain bupati, ada beberapa kepala daerah di bawahnya yaitu wedana, penghulu, dan
kepala cutak. Penghasilan para pejabat pemerintahan kabupaten diatur oleh VOC melalui
pembagian tanah jabatan (bengkok) dan wajib kerja (pancen).
38
Nama kecilnya adalah Mas Pato, ia adalah bupati Galuh pertama yang menyerahkan
hasil penanaman kepada VOC. Tahun 1695, ia menyerahkan 90 pikul lada yang ditanam di daerah
Kawasen (50 pikul) dan Imbanagara (40 pikul). Selain lada, ia juga menyerahkan 80 pikul tarum
dan 55 pikul kapas.
22
Kusumadinata III. VOC tidak mengangkat salah satu adik Kusumadinata II,
yaitu Danumaya dan Danukriya karena mereka berlainan ibu, oleh karena itu
II.
39
Kusumadinata I memiliki nama kecil Mas Bani. Dari pernikahannya dengan dua orang
istri, ia memiliki 5 orang anak, yaitu R. Ay. Candranagara, R.A. Kusumadinata II, R. Danukria, R.
Danumaya, R.Ay. Sarati.
40
Kabupaten Karawang dan Cianjur tidak diawasi oleh opziener karena kedua kabupaten
itu dianggap sebagai bagian dari Batavia. Bupati kedua kabupaten itu berada dalam pengawasan
langsung para pejabat VOC. Lihat Otto van Rees, op.cit, hlm. 87.
41
Kusumadinata II memiliki nama kecil Mas Baswa, ia juga mendapatkan sebutan Dalem
Kasep yang artinya bupati tampan.
23
42
Nama Ciancang diubah menjadi Utama setelah tiga kali berturut-turut dilanda
kericuhan (nista maja utama).
43
Nama kecil Kusumadinata III adalah Mas Garuda, ia masih anak-anak ketika ditujuk
sebagai calon pengganti Kusumadinata II.
44
Berkat keberhasilan Kusumadinata III memulihkan kondisi Ciancang, VOC
menganugerahkan baju kebesaran dan lencana perak yang bertuliskan Vergeet Mij Niet.
45
Ia bersahabat dengan beberapa ulama besar dari Cirebon. Salah satu guru agamanya
adalah Kyai Bagus Satariyah yang mengajarkan tarikat satariyah.
46
Natadikusuma memiliki nama kecil Demang Gurinda, ia dikenal sebagai bupati yang
sangat dekat dengan rakyatnya dan membenci Belanda. Ia cenderung keras dalam menghadapi
para pejabat Belanda. Ayahnya sempat merasa khawatir dengan sikapnya yang sering menentang
kebijakan kolonial. Ia sangat melindungi rakyatnya dan tidak segan-segan melawan pejabat
Belanda yang dianggap bertindak keterlaluan. Tidak heran jika pemerintah kolonial mengawasinya
secara ketat karena tingkah lakunya lebih banyak memberontak dari pada patuh kepada mereka. Ia
memiliki 22 orang anak dari 8 orang istri.
47
Edi S. Ekajati, op.cit, hlm. 81.
24
Randengan, tetapi usul itu ditolak. Natanagara dipecat karena dianggap tidak
48
Sebutan bupati penyelang adalah untuk mengidentifikasi bupati yang bukan keturunan
Galuh.
49
Nama Galuh dipakai kembali sebagai nama kabupaten mengganti Galuh Imbanagara.
50
Natadikusuma dianggap tidak membayar upeti selama 4 tahun, seingga ia berhutang
kepada pemerintah kolonial sebesar 200.000 real yang harus ditanggung oleh bupati berikutnya.
51
F. de Haan, op.cit, hlm. 84.
25
52
Dayeuh Anyar berarti kota baru, kelak dinamai Ciamis setelah pusat pemerintahan
pindah ke kota itu. Nama Ciamis dianggap sebagai penghinaan Sutawijaya kepada Galuh. Dalam
bahasa Cirebon, Ciamis artinya air anyir, sedangkan dalam bahasa Sunda Ciamis artinya adalah air
manis. Kota Ciamis hingga sekarang tetap menjadi ibu kota kabupaten Ciamis.
53
Wiradikusuma mendapat gelar Raden Tumenggung dari pemerintah kolonial setelah
menjabat bupati Galuh. Ia memiliki 9 orang anak dari dua orang istri.
54
Kabupaten Galuh resmi menjadi bagian dari Keresidenan Cirebon berdasarkan Besluit
no. 23/ 5 Januari 1819.
55
Pada tahun 1820, Adikusuma secara resmi mendapatkan gaji dari pemeritnah kolonial
sebesar f. 500 dan bengkok seluas 100 bau.
26
distrik, yaitu Ciamis, Kepel, Kawali, dan Panjalu.56 Pada masa pemerintahan
saluran irigasi yang sangat berguna bagi pertanian rakyat, yaitu bendungan
pemerintah kolonial untuk mengalihkan jalur kereta api melewati daerah kota
Ciamis. Jalur kereta itu terpaksa dibangun di atas jembatan Cirahong agar bisa
56
Kabupaten Galuh dibagi ke dalam empat distrik, yaitu distrik Ciamis, Panjalu, Kawali,
dan Kepel (diubah menjadi distrik Rancah). Jumlah desa mencapai 91 desa, yang kelak bertambah
menjadi 238 desa pada pemerintahan Kusumadiningrat.
57
Kusumadiningrat yang lebih dikenal dengan sebutan Kangjeng Prebu sangat besar
minatnya dalam kesenian. Beberapa kesenian rakyat seperti angklung, reog, ronggeng, calung,
terbang, rudat, wayang, penca, dan berbagai macam ibing (tarian) berkembang pesat pada masa
pemerintahannya. Ia bahkan menciptakan ibing baksa, yaitu ibing nyoderan atau tarian pembuka
pada ibing tayub.
58
Salah satunya adalah pabrik minyak Olvado yang didirikan di Ciamis, sedangkan
pabrik penggilingan kopi didirikan di Kawali.
27
Meskipun dekat dengan para pejabat Belanda, namun tidak membuat mereka
memihak kepada Belanda. Tidak hanya kepada pejabat Belanda saja mereka
59
Semua putra Kusumadiningrat disekolahkan di berbagai sekolah, ada yang di Sakola
Kabupaten Galuh, Bandung, dan Sumedang, bahkan di Hoofdenschool.
60
R.A.A. Koesoemasubrata, Ti Ngongkoak doegi ka Ngoengkoeeoek, (Bandung:
Mijvorking, 1926), hlm.102.
61
Tidak ada keterangan mengenai alasan tidak diterimanya Kusumasubrata di sekolah itu.
62
Sikap Kusumadiningrat mencerminkan kesadarannya dalam menghadapi dan
menyikapi perkembangan serta perubahan zaman. Ia beranggapan bahwa kualitas para putranya
harus ditingkatkan untuk memenuhi tuntutan perubahan zaman.
63
Para magang harus mempelajari etiket dan gaya hidup menak serta menghayati metode.
Mereka tinggal dalam lingkungan keluarga menak dan mengerjakan apa saja tanpa bayaran.
28
menentang Belanda.
komunis yang dipimpin oleh Egom, Hasan, dan Dirja yang meletus di Ciamis.
BAB III
menganggap bupati sebagai rajanya. Kontras dengan itu, para pejabat Belanda
menganggap bupati tidak lebih dari sekedar pemimpin pribumi yang disebut
regent. Para bupati atau pemimpin pribumi (volkshoofden) adalah kelas penguasa
adalah pejabat-pejabat yang berada di bawah kekuasaan asing yang lebih tinggi
penguasa adalah sosok terusing ratu, menak rembesing kusumah64 yang telah
kecil, maka bupati disamakan dengan raja yang menguasai dan memiliki
atas nama penguasa di atasnya, rakyat tetap menganggap bupati sebagai raja.65
64
Setiap penguasa harus keturunan raja, bangsawan, dan leluhur yang agung. Lihat R.
Memed Sastrahadiprawira, Pangeran Kornel, (Bandung: Rahmat Cijulang), 1986, hlm. 91.
65
Suhardjo Hatmosuprobo, Bupati-Bupati di Jawa pada Abad 19, (Yogyakarta:
Javanologi, 1986), hlm. 5.
30
melengkapi.
Bupati harus memiliki sorot yang kuat dan legeg menak,66 bertabiat
luhur, pandai, rajin, setia, teguh, dan mampu memutuskan perkara berdasarkan
melindungi rakyat dari segala ancaman dan bahaya, serta menjadi andalan
rakyat kabupaten, sehingga mereka akan bangga jika bisa masuk dan menjadi
bagian di dalamnya. Rakyat akan merasa terpanggil dan suka rela untuk
ngawula kepada bupati dan keluarganya. Setiap tugas dan perintah, terutama
upacara. Berbagai pusaka, simbol, dan atribut kebesaran bupati harus selalu
66
Legeg menak adalah tindak tanduk ideal menak, yaitu gagah, cakap, sabar, arif, toleran,
tenang, rendah hati, berani, ksatria, percaya diri, sacangreud pageuh sagolek pangkek (teguh
pendirian), dan beriman.
31
ada di dekat bupati, baik saat audiensi maupun saat melakukan kunjungan ke
daerah.67
Mataram Islam pada tahun 1595. Meski dengan berat hati, bupati berikutnya
Belanda, disusul oleh Pesisir Utara, dan akhirnya pada tahun 1830 Belanda
suratan nasib,68 sehingga bupati dan rakyat tidak perlu takut terhadap
67
Contohnya senenan dan tournee. Senenan adalah perjalan dinas bupati yang dilakukan
setiap hari Senin. Agaknya kebiasaan senenan di Priangan meniru kebiasaan saptonan di Mataram,
karena Raja Mataram melakukan kebiasaan saptonan. Tournee adalah tugas meninjau secara
langsung keadaan daerah sebagai bahan laporan kepada Residen. Ketika tournee, bupati diikuti
oleh 6 hingga 10 pejabat bawahan lengkap dengan pangderek dalam jumlah besar. Semua
keperluan tournee menjadi tanggungan pejabat daerah yang dikunjungi, mulai dari wedana hingga
lurah. Tournee sering dimanfaatkan oleh bupati dan pejabat lain sebagai ajang nyanggrah, yaitu
meminta barang-barang milik rakyat, misalnya gadis dan kuda. Lihat D.H. Burger, Sedjarah
Ekonomis Sosiologis Indonesia II (diterjemahkan dan disadur oleh Prajoedi Atmosoedirdjo),
(Jakarta: Pradnja. 1967), hlm. 118.
68
Babad Galuh menyebutkan bahwa masuknya kekuasaan Belanda sudah diramalkan
oleh ajar, oleh karena itu kedatangan Belanda tidak bisa ditolak. Bangsa asing itu dianggap
sebagai Ratu Adil yang akan membalas perbuatan raja Jawa yang telah menyakiti keturunan
Galuh. Ramalan seperti itu dikenal sebagai uga, yaitu ramalan tentang perubahan penting yang
menyangkut keadaan negara, politik, dan sosial. Lihat Sunarsih Warnaen et.al. Pandangan Hidup
Orang Sunda seperti tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda, (Bandung: Direktorat
Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda, 1987), hlm. 7-12.
32
Belanda.69 Bukan suatu kesalahan jika bupati dan rakyat Galuh patuh kepada
asing itu. Keadaan kabupaten menjadi lebih baik setelah kekuasaan Mataram
69
Rakyat pribumi menyamaratakan semua orang Barat dengan sebutan Walanda, bahkan
ada yang menyebutnya Perteges (maksudnya adalah Portugis). Semua orang Barat itu lebih
dikenal dengan sebutan Kumpeni.
70
Tugurtundan adalah bakti (kewajiban) menjaga keamanan Mataram dan mengangkut
barang ke Mataram yang tempatnya jauh sekali. Kewajiban lain yang dibebankan Mataram kepada
Galuh adalah pengiriman orang-orang Galuh ke ibu kota Mataram untuk bekerja pada raja
Mataram.
71
Rakyat Galuh tidak perlu lagi menyerahkan upeti kepada raja Mataram, mereka hanya
menyerahkan upeti kepada bupati Galuh.
33
memerlukan perantara yang handal dan terpercaya. Bupati adalah orang yang
paling mengetahui tradisi dan kondisi rakyatnya, maka bupati adalah sosok
melakukan hubungan politik dan atau dagang dengan pihak lain. Kesepakatan
itu menjamin bupati tetap memiliki otoritas penuh dan memerintah secara
otonom.
72
Sartono Kartodirdjo dan A. Sudewo Suhardjo Hatmosuprobo, Perkembangan
Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 19-20.
73
Suhardjo Hatmosuprobo, loc.cit.
34
yaitu ikut campur dalam pemerintahan kabupaten. VOC mengambil alih hak
bupati dalam bidang peradilan, terutama hukum pidana. VOC juga mengambil
hak bupati atas pemilikan tanah, bupati diwajibkan membayar sewa berupa
belaka.
posisi puncak dalam struktur politik dan sosial pribumi. Bupati menjalankan
74
Pajak dan penggunaan tenaga rakyat adalah ciri utama yang terkandung dalam
kekuasaan dan pemerintahan tradisional. Pajak adalah sumber utama keuangan bupati untuk
mewujudkan penyelenggaraan kehidupan yang megah dan mewah. Umumya pajak berupa hasil
bumi, uang, dan tenaga kerja.
75
Nina Herlina Lubis, Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, (Bandung:
Sundanologi, 1998), hlm. 72; R.A.A.A Soeria Nata Atmadja, Regenten Positie, (Bandung: A.C.
Nix & Co, 1936), hlm. 59.
76
Samiaty Alisjahbana, A Preliminary Study of The Class Structure among The
Sundanese in The Priangan, (New York: Cornell University Press, 1956), hlm. 3-5.
35
yang lebih rendah tetapi cakap yaitu patih. Patih adalah pemegang jabatan
kabupaten.78
mantri. Menurut Staatsblad no. 124 tahun 1870, pejabat pribumi yang
tulis, dan opas. Seluruh pejabat itu tergabung dalam birokrasi pribumi yang
77
Biasanya masih terhitung keluarga atau kerabatnya. Lihat Sartono Kartodirdjo,
Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif, (Jakarta: Gramedia,
1982), hlm. 232.
78
Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (terj.), (Jakarta: Sinar
Harapan, 1983), hlm. 37.
79
Tiap-tiap Mancanegara dipimpin wedana bupati (bupati kepala). Lihat F.A. Sutjipto,
“Beberapa Aspek Kehidupan Priyayi Jawa Masa Dahulu” dalam Bacaan Sejarah. (Yogyakarta:
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada), No.6/1982.
36
Priangan adalah salah satu wilayah yang berada di Mancanegara Kilen, terdiri
berkuasa penuh atas rakyatnya. Mereka dipimpin oleh seorang wedana bupati
oleh raja Mataram. Tahun 1641, Priangan dipecah menjadi empat kabupaten,
80
Sartono Kartodirdjo, Modern Indonesia. Tradition and Transformation: A Socio-
Historical Perspective. Second Edition, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1988), hlm. 171.
81
Wedana bupati Priangan adalah bupati Sumedang yang bernama Rangga Gempol
Kusumaadinata.
82
Kedatangan bupati dan para pejabat bawahan untuk menyerahkan upeti diartikan
sebagai tanda tunduk dan loyalitas mereka terhadap kewibawaan dan kekuasaan raja Mataram.
Lihat Soemarsaid Moertono, Negara dan Bina Usaha Negara di Jawa Masa Lampau (terj.),
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 97.
83
Garebeg dilaksanakan tiga kali dalam setiap tahunnya. Garebeg Mulud dirayakan
tanggal 12 Rabingulawal untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. Garebeg Sawal
dirayakan tanggal 1 Sawal, sedangkan Garebeg Besar dirayakan tanggal 10 Dulhijah. Lihat Darsiti
Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1839, (Yogyakarta: Yayasan Untuk
Indonesia, 2000), hlm. 141.
84
Edi S. Ekajati, Ceritera Dipati Ukur, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1982), hlm. 28.
37
dan Nusa Kambangan dimasukkan ke dalam kabupaten itu. Masih pada tahun
85
Terdiri dari Dayeuh Luhur, Banyumas (Aria Kunduran), Sumedang (Rangga Gempol
I), Parakan Muncang (Aria Tanubaya), Kawasen (Mas Nagara), Sekace, Bandung (Tmg.
Wiraangunangun), Sukapura (Tmg. Wiradadaha), Imbanagara (Ngabehi Astanagara), Karawang
(Tmg. Panatayuda), Wirabaya atau Bojonglopang, dan Ayah. Lihat Otto van Rees, Overzight van
de geschiedenis der Preanger-Regentschappen ontleed aan het rapport van het lid van den raad
van Nederlansch-Indie, belast met eene zending naar die regentshappen, (Batavia: W. Bruining,
1867), hlm. 25.
38
besar bupati dan kaum menak Priangan dapat berbahasa Jawa. 86 Mataram juga
penguasaan atas pengabdian dari penduduk, hak atas hukum, dan hak
memungut pajak dari rakyat, baik berupa uang, barang, atau tenaga.
relatif kecil, sehingga ikatan di antara mereka tidak cukup kuat. Jarak yang
86
Penguasaan bahasa Jawa menjadi simbol status baru dalam kehidupan kaum menak
Priangan. Berbeda dengan bahasa Jawa yang feodalistik, bahasa Sunda lebih bersifat egaliter. Pada
perkembangannya, bahasa Sunda mendapat pengaruh dari bahasa Jawa, sehingga memiliki undak-
usuk basa atau tingkatan seperti bahasa Jawa. Penggunaan undak-usuk basa dibedakan oleh
hubungan kekerabatan, umur, dan status sosial. Lihat Samiaty Alisjahbana, op.cit, hlm. 7.
87
VOC mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai bupati pengawas Priangan. Para
bupati Priangan mendapat Acte van Aanstellingen, sedangkan para bupati Pesisir Utara
mendapatkan Acte van Verband. Bupati Priangan bertugas menyerahkan verplichte leverantie yang
mendapat ganti dari VOC, sedangkan bupati Pesisir bertugas memungut contingenten tanpa
mendapat ganti rugi dari VOC. Hubungan VOC dengan para bupati Priangan adalah rekan,
sedangkan dengan para bupati Pesisir Utara adalah atasan dan bawahan. Lihat B.J.O. Schrieke,
Penguasa-Penguasa Pribumi (terj.), (Jakarta: Bhratara, 1974), hlm 59-62.
39
Jenis tarum yang ditanam di kabupaten Galuh adalah tarum kembang atau
tarum siki.89 Pemilihan jenis tarum tersebut didasarkan pada masa tanam yang
pendek, cepat tumbuh, berakar kuat, hasilnya banyak, dan dikenal secara luas
oleh rakyat pribumi. Tarum tidak ditanam di sawah atau lahan pertanian
besar terhadap rakyat dan mengetahui secara pasti tradisi serta kondisi
mengikat diri dengan bupati, karena di dalam ikatan itu mereka melihat
88
Tahun 1695, bupati R.A. Sutadinata dikenai kewajiban menyerahkan 80 pikul tarum (di
samping 90 pikul lada, 55 pikul kapas). Kawasen, Kawali, Imbanagara, Ciamis, Rancah, dan
Panjalu adalah daerah utama penanaman tarum di kabupaten Galuh. Khusus untuk tarum ditanam
hanya di daerah Kawasen. Tarum adalah komoditas yang terkena kebijakan penyerahan wajib.
Lihat Muhammad Ali, Sejarah Jawa Barat: Suatu Tanggapan, (Bandung: Pemerintah Daerah
Kabupaten Bandung), 1973, hlm. 117.
89
Kabupaten Galuh adalah produsen tarum kembang atau tarum siki terbesar di
Keresidenan Cirebon.
40
Hak istimewa dan fungsi bupati dibiarkan utuh, bupati dibiarkan menjalankan
jauh lagi, VOC melindungi struktur politik dan sosial masyarakat pribumi.
keruntuhan VOC, bupati menikmati kekuasaan yang besar dan gaya hidup
yang mewah seperti bangsawan feodal. Salah satu bukti kebesarannya, bupati
memiliki pengiring dan pelayan dalam jumlah yang besar. Sistem monopoli
90
Jumlah cultuurprocenten yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada bupati
tergantung kepada jumlah penyerahan hasil panen. Penghasilan resmi bupati berasal dari penarikan
pajak, baik berupa uang (pajak jembatan, warung dan kedai, pemotongan hewan, dan
pemeliharaan ternak serta perikanan), barang (cuke atau hasil panen, pupundutan atau permintaan
bahan makanan dan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga bupati, dan pasedekah atau
pungutan saat hajatan), dan tenaga (ngawula dan kerja wajib). Lihat Heather Sutherland, op.cit,
hlm. 7.
91
Sartono Kartodirdjo, “Berkembang dan Runtuhnya Aristokrasi Tradisional Jawa”
dalam Hans Antlov dan Sven Cederroth, Kepemimpinan Jawa. Perintah Halus, Pemerintahan
Otoriter, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 33.
41
hak bupati atas pemilikan tanah, sehingga bupati harus membayar sewa
kolonial. Bupati yang menjadi salah satu mata rantai birokrasi kolonial tidak
luput dari perombakan itu. Posisi dan status bupati mengalami perubahan
serta kewajibannya ditentukan secara jelas, dan mereka digaji untuk jasa-
92
VOC menempatkan Koffieopziener (pejabat pengawas kopi) dan Gecommiteerde tot en
over de Zaken der Inlanders (pegawai untuk urusan pribumi, rakyat pribumi menyebutnya
Kumetir atau Tuan Kawasa) di setiap kabupaten. Pada prakteknya, kedua pejabat itu ikut
memerintah kabupaten, bahkan menjadikan kabupaten sebagai kantor VOC. Lihat R.A.A.A.
Soeria Nata Atmadja, op.cit, hlm. 160-161.
93
Di satu sisi Daendels berusaha mewujudkan konsep negara modern dengan cara
menciptakan birokrasi legal-rasional. Tetapi di sisi lain ia menerapkan prinsip yang bertentangan
yaitu menyatakan bahwa bupati adalah pegawai pemerintah kolonial yang dipelihara sebagai
pemimpin rakyat, adat, dan agama.
42
jasanya.94 Hak bupati atas kepemilikan tanah, jaminan kerja wajib, dan
bupati harus dibubuhi stempel negara.95 Selain itu, Daendels juga berusaha
memisahkan bupati dari desa-desanya. Hak bupati untuk memungut pajak dari
(daerah minus tanaman kopi, terdiri dari Cirebon dan Priangan Timur, yaitu
94
Sartono Kartodirdjo, 1982, loc. cit.
95
Tujuannya adalah untuk menjelaskan bahwa bupati adalah pegawai pemerintah
kolonial dan bekerja semata-mata kepada pemerintah kolonial.
96
Untuk mempermudah penggajian, bupati diberi pangkat kehormatan seperti dalam
hierarki militer sebagai Pangkat itu diberikan sebagai penghormatan untuk menjaga keselarasan
hubungan pemerintah kolonial dengan pejabat pribumi. Pangkat Mayor diberikan kepada bupati
yang bergelar Adipati, Letnan Kolonel untuk bupati yang bergelar Tumenggung, dan Kapten untuk
bupati yang bergelar Ngabehi. Selain gaji, para bupati mendapat tunjangan sebesar 30000
Rijksdaalder (1 Rijksdaalder setara dengan 2,5 gulden). Lihat Otto van Rees, op.cit, hlm 117.
97
Reorganisasi Priangan berorientasi kepada persoalan ekonomi, terutama pada tanaman
kopi sebagai komoditas ekspor utama. Kabupaten Limbangan dan Sukapura dihapuskan,
daerahnya dilebur ke dalam kabupaten Cianjur, Sumedang, Bandung, dan Parakanmuncang.
Kabupaten Galuh dipecah menjadi kabupaten Cibatu, Imbanagara (708 jiwa), Utama, Kawasen
(605 jiwa), dan Bojong Lopang (20 jiwa dan 10 desa). Lihat Asikin Wijaya Kusumah, Tina Babad
Pasundan: Riwayat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Padjadjaran dina Taun 1580,
(Bandung: Kalawarta Kudjang, 1961), hlm. 86.
43
tetap, tapi jika dibandingkan dengan luas wilayah pada abad 17, wilayah
para bupati di daerah minus tanaman kopi semakin berkurang bahkan hilang,
efisiensi, sehingga ia keluar dari tradisi VOC yang dianggapnya sebagai suatu
98
Luas wilayah kabupaten Galuh kurang lebih 1.185, 4 km persegi, atau kira-kira 16,34
% luas wilayah Keresidenan Cirebon yang dihuni oleh 350.000 jiwa. Lihat Otto van Rees, op.cit,
hlm. 110.
99
Kabupaten Utama, Imbanagara, dan Cibatu digabungkan menjadi kabupaten Galuh.
Bupati bupati Imbanagara diangkat sebagai bupati, sedangkan bupati Utama dan Cibatu
diberhentikan. Bupati Imbanagara harus menanggung utang kabupaten sebesar f. 58.750. Pejabat
Belanda yang menangani urusan reorganisasi kabupaten Galuh adalah Jowan Pitter Hemler yang
dikenal sebagai sosok bengis, kasar dan senang menghina bupati. Sikapnya itu sering menuai
protes dari para bupati Priangan, bahkan bupati Sumedang yang terkenal sangat santun dan patuh
pada pemerintah kolonial tidak segan-segan menunjukkan ketidaksenangannya terhadap Hemler.
Periksa Edi S. Ekajati, Wawacan Sejarah Galuh, (Bandung: EFEO, 1977), hlm. 241.
100
Contohnya adalah kasus pemecatan bupati Galuh R.A. Natadikusuma yang memukul
seorang pejabat Belanda rendahan bernama Van Bast karena menyuruhnya melakukan tugas yang
bukan kewajibannya, yaitu menimbang benang dan tarum. Akibatnya ia dilepas tina regen
(dipecat dari jabatan bupati) karena dianggap melawan pemerintah kolonial.
101
Raffles tetap mempertahankan penanaman wajib karena hasilnya sangat diperlukan
untuk mengisi kas negara. Lihat Sartono Kartodirdjo, “Kolonialisme dan Nasionalisme di
Indonesia pada Abad 19 dan Abad 20” dalam Lembaran Sejarah, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, 1972), hlm.5. Seperti Daendels,
Raffles tidak terlalu simpatik kepada para pemimpin dan bangsawan pribumi. Lihat Eric Oey,
Java, (Singapore: Periplus, 1997), hlm. 44
44
wajib, sebagai gantinya mereka harus membayar pajak dengan uang. Raffles
menganggap bahwa bupati tidak lebih dari pegawai pemerintah yang harus
102
Idealisme Raffles adalah menerapkan prinsip-prinsip kemanusiaan dengan cara
membebaskan rakyat dari pemerasan penguasanya. Idealisme itu kandas karena pemerintah
kolonial Belanda lebih jeli melihat kenyataan di negeri jajahan. Struktur agraris dan birokrasi
feodal yang berlaku dalam kehidupan masyarakat pribumi sudah berakar kuat dan melembaga
menjadi tradisi, sehingga tidak mudah dihapus begitu saja. Hal itulah yang menjadi rintangan
utama sekaligus mengkandaskan idealisme Raffles.
103
Kemerosotan kekuasaan dan kedudukan volkshoofden adalah akibat terlalu banyaknya
campur tangan orang Barat. Lihat B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies. Vol. I,
(Bandung: The Hague, 1955), hlm, 38.
45
Gubernur Jenderal van der Capellen lebih jeli melihat kenyataan di tanah
jajahan, ia sadar bahwa bupati adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
Gubernur Jenderal Van den Bosch untuk menerapkan suatu konsep baru yang
kolonial dapat menguasai tanah dan tenaga rakyat. Untuk mencapai tujuan
politik eksploitasi kolonial, tidak ada jalan lain kecuali memobilisasi rakyat
104
Samiaty Alisjahbana, loc. cit.
105
Tanam Paksa telah memberikan keuntungan bersih yang diserahkan ke negara induk
sebesar f. 823.000.000. Sistem Tanam Paksa mewajibkan kepada rakyat pribumi untuk membayar
sewa tanah dengan tanaman ekspor yang bernilai sama dengan sewa tersebut. Rakyat pribumi
harus menyerahkan 2/5 dari hasil panen utama, jika tidak mampu diganti dengan 1/5 waktu
kerjanya dalam satu tahun. Mengenai peratruran-peraturan Sistem Tanam Paksa lihat Day Clive,
The Policy of Administration of The Dutch in Java, (Kuala Lumpur: Oxford University, 1984),
hlm. 249-250, 309.
106
Sejak Sistem Tanam Paksa di terapkan di Hindia Belanda, bupati mendapatkan banyak
pemasukan. Kekayaan mereka bertambah, sehingga dapat menyelenggarakan kehidupan mewah
dan megah. Kontras dengan kemakmuran para bupati, rakyat pribumi semakin menderita karena
harus memikul beban Tanam Paksa yang berat. Kusumadiningrat adalah salah satu bupati Priangan
yang menentang Tanam Paksa. Sikapnya yang selalu melindungi kepentingan rakyat pribumi
membuat pemerintah kolonial semakin ketat mengawasi gerak-geriknya. Tapi karena
Kusumadiningrat cakap dalam bernegosiasi dengan para pejabat Belanda, dengan sendirinya
pemerintah kolonial berhenti mencurigainya.
46
Bosch wibawa bupati naik, bahkan bupati berkuasa secara semi otonom.108
Batavia segera menanggapi hal itu dengan mengeluarkan peraturan bagi para
pejabat Belanda agar menghormati dan bersikap sopan kepada bupati. Pejabat
politik eksploitasi kolonial. Penarikan pajak oleh bupati dalam sistem ekonomi
tradisional adalah hal biasa, sehingga rakyat tidak akan keberatan jika bupati
kepada bupati, dan dengan adanya campur tangan bupati rakyat tidak akan
107
Subsidi sebesar f.300 hingga f.500 membuat bupati semakin tergantung kepada
pemerintah kolonial. Jika saja bupati menolak subsidi tersebut, sangat mungkin kelak mereka akan
menjadi menak pemilik tanah. Sebagian besar bupati menerima tawaran itu karena tanah dianggap
tidak bernilai jika tidak digarap oleh petani.
108
Day Clive, op.cit, hlm. 297.
109
B.J.O. Schrieke, op.cit, hlm. 169.
47
untuk mengurusi seluruh pembiayaan tanah jajahan, termasuk gaji bupati dan
rakyat. Jabatan bupati diwariskan kepada putra tertua bupati dari garwa padmi
yang keturunan menak, jika tidak ada maka diwariskan kepada putra bupati
diturunkan dari kakek kepada cucu, kakak kepada adik, atau mertua kepada
menantu.111
sangat sederhana. Hal terpenting adalah bahwa pejabat yang duduk dalam
yang menjamin ikatan feodal bupati dengan rakyat yang dapat dimanfaatkan
110
Ong Hok Ham, “Sejarah Birokrasi di Indonesia” dalam Kompas (233/XIX/13 Pebruari
1984).
111
Meskipun calon yang ditunjuk oleh bupati masih di bawah umur, pemerintah kolonial
berhak mengangkatnya jika dirasa perlu. Calon bupati akan didampingi seorang wali hingga
dewasa dan layak untuk menjadi bupati. Jika ayahnya meninggal, maka sang calon akan dibawa
menghadap kepada Gubernur Jendral dengan membawa tanda kebesaran ayahnya, yaitu akta
pengangkatan, songsong, keris, kandaga dan lante, cincin stempel, dan pakaian kebesaran. Jika
Gubernur Jenderal menyetujui, perlengkapan itu akan dikembalikan setelah calon dewasa dengan
disertai akta pengangatan baru. Lihat R.A.A.A Soeria Nata Atmadja, op.cit, hlm. 154.
48
mewujudkan birokrasi modern. Bupati sebagai salah satu mata rantai birokrasi
112
Sistem Tanam Paksa dihapuskan pada tahun 1870, sedangkan Sistem Priangan pada
tahun 1871 (penanaman kopi dihapuskan pada tahun 1917). Lihat B.H.M. Vlekke, Nusantara: A
History of Indonesia, (Leyden: The Hague, 1959), hlm. 306.
113
Gaji bupati dinaikkan hampir menyamai gaji Residen. Selain gaji, pemerintah kolonial
memberikan tunjangan yang relatif besar, dan tanah (sawah) kalungguhan atau bengkok yang
luasnya hingga ribuan bau. Lihat Babad Galoeh-Imbanagara, hlm.40.
114
Salah satu putera Kusumasubrata yang bernama R. Otto Gurnita Kusumasubrata aktif
di Volksraad dan menjadi ketua Pagoejoeban Pasoendan (1928).
115
Kusumadiningrat menganggap pendidikan sebagai penyeimbang kehidupan. Setiap
orang selayaknya mengenyam pendidikan, baik yang diselenggarakan di sekolah, mesjid, bahkan
di rumah tangga. Ia mendatangkan guru bahasa Belanda J.A. Uilkens dan J. Bladergroen untuk
mengajarkan membaca, menulis, dan berbahasa Belanda di Sakola Kabupaten.
49
kelas baru yaitu elite pendidikan yang disebut menak baru.117 Berbekal ijazah
mantri kesehatan, atau guru. Tidak seperti keturunan menak lama yang
menyerang menak lama (biasanya melalui surat kabar) yang akhirnya berujung
keturunan dan asal-usul calon bupati tidak lagi menjadi syarat utama, justru
menjadi patih atau wedana minimal selama dua tahun dengan prestasi yang
116
Priangan termasuk daerah yang lebih awal menerima pengaruh Barat jika
dibandingkan dengan daerah lain, sehingga Priangan lebih dulu mengembangkan pendidikan
modern. Sejak tahun 1850 sudah didirikan Sekolah Kelas I dan II, meskipun masih terbatas untuk
kaum menak dan birokrat.
117
Menak baru kebanyakan berasal dari kaum santana, bahkan cacah atau somah. Menak
lama menganggap modernisasi yang diusung oleh menak baru merongrong kedudukan dan
kekuasaan mereka. Menak baru berani membongkar garis-garis kelas yang ketat dalam masyarakat
lama, yaitu memisahkan menak lama dari pemerintah kolonial. Gaya hidup menak baru dianggap
sangat kekotaan, pandangan hidupnya lebih luas, suka kebebasan, sangat percaya diri, dan tidak
pasif seperti menak lama. Sikap-sikap itu dianggap telah melemahkan ikatan tradisional yang ada
dalam masyarakat.
118
Kusumasubrata menjadi bupati Galuh dalam waktu kurang dari tiga tahun. Ia adalah
lulusan Hoofdenschool, mengawali karir sebagai mantri kabupaten (1883), kemudian menjadi
asisten wedana Rajagaluh (1884), dan menjadi bupati pada tanggal 26 Desember 1886 tanpa
sempat menjadi wedana atau patih. Sementara, Sastrawinta (putera bupati Karawang) harus
menempuh waktu 23 tahun untuk menjadi bupati Ciamis. Lihat Conduitestaat van R.A.A
Koesoemasoebrata Regent van Tjiamis over hets Jaar 1886-1915 dan Conduitestaat van R.A.A
Regent van Tjiamis over het Jaar 1915-1928.
50
lama keberatan dengan persyaratan baru itu karena membuka kesempatan bagi
memberikan prioritas pertama kepada putra dan kerabat bupati untuk diangkat
menjadi bupati.
119
Kusumadiningrat dan Kusumasubrata menguasai bahasa Belanda dan Perancis,
keduanya berlangganan koran berbahasa Perancis dan melakukan korespondensi dalam bahasa itu
dengan sahabat yang berasal dari Perancis.
120
Residen Lembang, G.L. Gonggrijp memiliki keberatan yang sama dengan kaum
menak lama, ia berpendapat bahwa pewarisan jabatan layak dipertahankan karena dianggap
sebagai balasan atas kesetiaan dan kepatuhan bupati.
51
BAB V
KESIMPULAN
dan perannya secara legal-rasional. Peran ganda itu sangat dilematis bagi bupati,
celaan rakyat jika bersekutu dengan pemerintah kolonial, tetapi ia akan kesulitan
sepenuhnya di sisi rakyat. Kenyataannya, bupati dapat bertahan dalam situasi itu,
pribumi.
Status bupati sebagai raja berubah menjadi penguasa otonom ketika dikuasai
kolonial ketika pemerintah kolonial menjadi atasannya. Tidak ada pilihan lain
bagi bupati kecuali menerima kenyataan. Bupati harus puas dengan statusnya
kharisma dan ligitimasi bupati sebagai penguasa daerah dan pemimpin tradisional.
membentuk pola gaya hidup bupati yang dijadikan model oleh seluruh penghuni
kabupaten, baik kaum menak ataupun rakyat kebanyakan. Gaya hidup bupati
berbagai larangan bagi rakyat biasa untuk meniru gaya hidup bupati. Larangan-
larangan itu adalah alat pembeda yang berfungsi untuk menonjolkan sifat ekslusif
dan distingtif gaya hidup bupati. Melalui gaya hidupnya, bupati menunjukkan
dilihat dalam nama dan gelar, tempat tinggal dan perabotannya, pakaian dan
dengan tradisi yang ada sebelum diserap ke dalam kehidupannya. Budaya Barat
benih-benih progresif dalam kehidupan yang cenderung tradisional. Dalam hal itu
menolak, tetapi ada kalanya bupati dan penghuni kabupaten lainnya tidak mampu
dianggap janggal itu. Kontras dengan sikap adaptif inovatif, bupati adalah
terutama dalam pola pernikahan dan struktur dalem yang menjadi pusat budaya
budaya Barat. Ada beberapa bagian kehidupan bupati yang tetap tradisional dan
pengemban tradisi, sehingga dalam beberapa hal masih tetap bersikap tradisional.
pengaruh Barat yang dikelola dalam kehidupannya telah melahirkan suatu gaya
54
hidup ideal di mata rakyat. Perpaduan budaya asli dan Barat yang saling kontras
dalam kehidupan bupati justru memberikan keuntungan tersendiri bagi bupati dan
keluarganya. Di satu sisi, sikap hidup keluarga bupati menjadi lebih rasional dan
modern, tetapi di sisi lain mereka tetap menyadari sepenuhnya bahwa jati dirinya
DAFTAR PUSTAKA
Antlov, Hans dan Sven Cederroth (ed.), Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus,
Pemerintahan Otoriter. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1999.
Arsip Nasional Republik Indonesia, Memori Serah Jabatan Jawa Barat 1921-
1930. 1976.
Ayatrohaedi (ed.), Kepribadian Budaya Bangsa. Pustaka Esai dan Kritik. Jakarta:
Pustaka Jaya. 1986.
Clive, Day, The Policy of Administration of The Dutch in Java. Kuala Lumpur:
Oxford University. 1984.
Conduitestaat van R.A.A. Koesoemasoebrata regent van Tjiamis over het aar
1887-1914. Jakarta: ANRI.
Conduitestaat van R.A.A. Sastrawinata regent van Tjiamis over het jaar 1915-
1928. Jakarta: ANRI.
Cote’ Joost dan Lose Westerbeek (ed.), Recalling The Indies. Kebudayaan
Kolonial dan Indentitas Kolonial (terj.). Yogyakarta: Syarikat Indonesia.
2004.
Djoko Suryo et al, Gaya Hidup Masyarakat Jawa di Pedesaan: Pola Kehidupan
Sosial, Ekonomi, dan Budaya. Yogyakarta: Javanologi. 1983.
Edi S. Ekajati dan Aam Masduki, Wawacan Carios Munada. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1986.
Fernando, M.R., Peasant and Plantation Economy. The Social Impact of The
European Plantation Economy in Cirebon Residency from The Cultivation
System to the End of First Decade of Twentieth Century, Melbourne:
Monash University, 1982.
Graaf, H.J. de, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung
(terj.). Jakarta: Grafiti. 2002.
Kroeber, A.L., Style and Civilization. Barkeley and Los Angeles: University of
California Press. 1963.
Leur, J.C. van, Indonesian Trade and Society. Essay in Asian Social and
Economic History. Bandung: The Hague 1974.
Lombard, Denys, Nusa Jawa: Silang Budaya. Vol. II (terj.). Jakarta: Gramedia.
1998.
Niel, Robert van, Munculnya Elite Modern di Indonesia (terj.). Jakarta: Pustaka
Jaya. 1984.
Nina Herlina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah. Sultan, Ulama, dan
Jawara. Jakarta: LP3ES. 2004.
Ong Hok Ham, “Sejarah Birokrasi di Indonesia” dalam Kompas No. 233/XIX/13
Pebruari 1984.
Ong Hok Ham, Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong. Refleksi Historis
Nusantara. Jakarta: Kompas Media Nusantara. 2002.
Raffles, T. S., History of Java. Vol. II. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
1982.
59
Rosihan Anwar, Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2004.
Saleh Danabrata, Onom jeung Rawa Lakbok. Jakarta: Pustaka Jaya. 1979.
Soemarsaid Moertono, Negara dan Bina Usaha Negara di Jawa Masa Lampau
(terj.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1985.
Soeria Nata Atmadja, R.A.A.A., Regenten positie. Bandoeng: A.C. Nix & Co.
1936.
Sunarsih Warnaen et al, Pandangan Hidup Orang Sunda seperti tercermin dalam
Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Direktorat Jenderal Kebudayaan-
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda. 1987.
Sutjipto, F.A., “Beberapa Aspek Kehidupan Priyayi Jawa Masa Dahulu” dalam
Bacaan Sejarah. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan
Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. 1982.
Tim Peneliti Sejarah Galuh Ciamis, Galuh Ciamis dalam Tinjauan Sejarah.
Ciamis. 1973.
Umar Kayam, Para Priyayi: Sebuah Novel. Cetakan IX. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti. 2003.