Anda di halaman 1dari 10

Viral, murid-murid SD pesta menghisap Vapor

Tribunnews-Sejumlah anak dengan seragam Sekolah Dasar (SD) terlihat


berebut menggunakan rokok elektrik. Mereka berada di celah sempit, seperti di
antara dua bangunan.
Ada sekitar tujuh anak. Mereka saling berebut untuk menggunakan
sebuah rokok elektrik berwarna coklat. Sementara seorang anak memegang
telepon pintar, dan merekam aksi mereka. Satu per satu mereka menghisap rokok
elektrik itu, dan menyemburkan asap yang tebal.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek mengakui, video siswa SD
mengisap vapor atau rokok elektrik yang viral di media sosial merupakan siswa
sekolah dasar di wilayahnya.
"Jadi benar bahwa video yang mengggunakan rokok elektrik itu adalah
murid dari SDN 2 Surodakan. Yang jelas pihak sekolah menyampaikan
permohonan maaf atas kejadian tersebut," kata Kabag Protokol dan Rumah
Tangga Pemkab Trenggalek, Triadi Atmono, Senin (23/10/2017).
Menurutnya, aksi anak-anak SD tersebut terjadi pada 15 Agustus lalu, saat
itu salah seorang siswa membawa vapor/vape milik kakaknya ke sekolah tanpa
sepengetahuan orang tua maupun pihak sekolah. Anakpun diketahui ayah dan
kakaknya juga seorng perokok yang mengunakan vapor (rokok elektrik ini).
"Namanya juga anak-anak, tingkat rasa penasarannya cukup tinggi,
sehingga dicoba dengan teman-temannya. Kemudian ketika mengisap rokok
elektrik itu salah satu temannya mengabadikan melalui video," ujarnya.
Dari kejadian tersebut akhirnya video para siswa menyebar dan menjadi
viral di sejumlah media sosial maupun jejaring lini masa lainnya.
Triadi mengaku, kejadian itu telah ditangani oleh pihak sekolah dengan
mendatangkan langsung orang tua maupun siswa yang bersangkutan. Lebih lanjut
juru bicara Pemkab Trenggalek ini meminta masyarakat untuk tidak
memperpanjang persoalan tersebut, karena dikhawatirkan justru akan
mengganggu psikologis maupun aktivitas belajar dari siswa yang terlibat di
dalamnya.
"Mohon tidak menuding anak tersebut nakal dan lain sebagainya, mereka
selama ini berperilaku baik dan saat ini seluruh siswa sudah kembali beraktifitas
dengan normal," imbuhnya.
Sebelumnya, beredar sebuah video berdurasi 1,5 menit yang berisi aksi para
murid SD yang mengisap rokok elektrik secara bergantian. Tindakan para siswa
itu diduga dilakukan di gang antar gedung di sekolahnya. Para siswa juga tampak
masih memakai seragam sekolah lengkap dengan nama almamater pendidikan.

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Masalah rokok pada hakikatnya sudah menjadi masalah nasional, bahkan
internasional. Mulai dari orang dewasa sampai dengan anak kecil mengkonsumsi
rokok. Perilaku merokok dilihat dari berbagai sudut pandang sangat merugikan,
baik untuk diri sendiri maupun orang disekelilingnya. Pengaruh bahan-bahan
kimia yang dikandung rokok seperti nikotin, CO (karbonmonosida) dan tar dapat
menimbulkan berbagai penyakit. Dilihat dari sisi kesehatan, pengaruh bahan-
bahan kimia akan memacu kerja dari susunan saraf pusat dan susunan saraf
simpatis sehingga mengakibatkan tekanan darah meningkat dan detak jantung
bertambah cepat, menstimulasi kanker dan berbagai penyakit lain seperti
penyempitan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, jantung, paru-paru dan
bronkritis kronis. Perilaku merokok pada anak umumnya semakin lama akan
semakin meningkat sesuai dengan tahap perkembangannya yang ditandai dengan
meningkatnya frekuensi dan intensitas merokok, dan sering mengakibatkan
mereka mengalami ketergantungan nikotin. Kegiatan merokok yang dilakukan
oleh anak-anak yang biasanya dilakukan didepan orang lain, terutama dilakukan
di depan kelompoknya. (Komalasari, 2012).
Perilaku merokok dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas subjek yang
berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur melalui intensitas
merokok, waktu merokok, dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara Leventhal & Cleary (dalam Komalasari, 2012) menyatakan bahwa
perilaku merokok terbentuk melalui empat tahap, yaitu: tahap preparation,
initiation, becoming a smoker, dan maintenance of smoking.
Dampak negatif dari perilaku merokok tidak dapat dipungkiri tetapi
perilaku merokok bagi kehidupan manusia merupakan kegiatan yang fenomenal,
artinya meskipun sudah diketahui akibat negatif merokok tetapi jumlah perokok
bukan semakin menurun tetapi semakin meningkat dan usia merokok semakin
bertambah muda. Perilaku merokok bagi anak-anak merupakan perilaku
simbolisasi. Simbol dari kematangan dan proses imitasi dari orang yang ada di
sekelilingnya. Di sisi lain, saat pertama kali mengkonsumsi rokok, gejala-gejala
mungkin terjadi adalah batuk-batuk, lidah terasa getir, dan perut mual. Namun
demikian, sebagian dari para pemula tersebut mengabaikan perasaan tersebut,
biasanya berlanjut menjadi kebiasaan, dan akhirnya menjadi ketergantungan.
Perilaku merokok saat ini tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa dan remaja
tapi juga pada anak-anak. Pada akhir-akhir ini kasus pada anak yang merokok
dengan vapor (rokok elekrik) yang dilakukan oleh anak-anak SD kelas V di
Kabupaten Trenggalek. Perilaku merokok yang dilakukan oleh siswa ini dan
teman-temannya cukup mengagetkan dengan usia yang masih muda. Orang tua
dan kakak salah satu siswa juga yang sering merokok dimana roko yang
digunakan adalah jenis vapor. Hal ini membuat SW meniru kebiasaan orang
tuanya sebagai bentuk pembelajaran terhadap sesuatu yang baru di lingkungan
keluargan Anggota keluarga di sekitar anak menjadi model bagi anak dalam
belajar. Di rumah, anak mulai mengenal sesuatu dan menemukan lingkungan
sosialisasi yang pertama. Bagaimana pun baiknya sekolah bagi anak, pendidikan
dan suasana di keluarga jauh lebih berpengaruh.
Melihat kasus yang terjadi pada siswa ini dan teman-temannya ditakutkan akan
berdampak buruk bagi anak-anak lain disekitar lingkungan sosialnya maka proses
analisa kasus tidak hanya difokuskan pada satu teori saja namun berbagai teori
akan di masukkan sebagai unit analisa kasus agar mendapatkan gambaran yang
begitu jelas dan tepat.

B. KAJIAN TEORITIS

Pada kasus ini pendekatan teori yang dipakai sebagai unit analisa adalah teori
perkembangan anak yang meliputi:
1. Teori-teori Kognitif
2. Teori-teori Perilaku dan Belajar Sosial
3. Teori-teori Ekologi
Alasan dari penggunaan ketiga teori diatas karena kasus yang terjadi sangat
komplek dan dibutuhkan beberapa macam pendekatan dalam melihat
permasalahan yang terjadi. Dengan demikian kajian teoritis yang diperlukan
sangat membantu penulis dalam memberikan gambaran yang lebih detail baik dari
sisi perkembangan psikologis, kepribadiaan serta lingkungan sosial sekitar
sebagai bentuk pembelajaran nilai-nilai yang telah diterima anak dalam
berperilaku.

1. Teori Kognitif
Dua teori kognitif yang penting adalah teori perkembangan kognitif dari
Piaget dan teori pemrosesan informasi. Piaget mengatakan bahwa anak-anak
melampaui empat tahap perkembangan kognitif, yaitu sensorimotor,
praoperasional, operasional konkrit, dan operasonal formal.
Teori pemrosesan informasi mengenai bagaimana individu memproses
informasi tentang dunianya, yang meliputi : bagaimana informasi masuk ke dalam
pikiran, bagaimana informasi disimpan dan disebarkan, dan bagaimana informasi
diambil kembali untuk memungkinkan kita berpikir dan memecahkan masalah.

2. Teori Perilaku dan Belajar Sosial


Behaviorisme menekankan bahwa kognisi tidak penting dalam memahami
perilaku. Menurut B.F. Skinner, seorang pakar behavioris terkenal, perkembangan
adalah perilaku yang diamati, yang ditentukan oleh hadiah dan hukuman di dalam
lingkungan.
Teori belajar sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura dan kawan-
kawan, menyatakan bahwa lingkungan adalah faktor penting yang mempengaruhi
perilaku, tetapi proses-proses kognitif tidak kalah pentingnya. Menurut pandangan
belajar sosial, manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilakunya
sendiri.

3. Teori Ekologi
Dalam teori ekologi Brofenbrenner, ada lima sistem lingkungan yang
penting : mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem dan kronosistem.

PEMBAHASAN
Merokok pada usia sekolah dasar cukup mengejutkan saat ini. Merokok yang
sering dilakukan oleh orang dewasa mulai bergeser pada anak-anak. Pergeseran
tersebut tidak dilepaskan dari pengaruh yang kuat di lingkungan kecil seperti
keluarga sebagai pembentuk perilaku dan kepribadian seorang anak. Hal ini
terjadi pada siswa yang ingin mencoba merokok akibat dari kebiasaan orang
tuanya yang menjadi perokok berat. Perilaku merokok merupakan perilaku yang
dipelajari dan terbentuk karena adanya sebuah interaksi sosial. Ada banyak alasan
yang melatar belakangi perilaku merokok pada SW. Secara umum, menurut Kurt
Lewin dalam Efri (2007, h. 87), bahwa perilaku merokok merupakan fungsi dari
lingkungan dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan faktor-
faktor dari dalam diri juga disebabkan faktor lingkungan. Selain itu, menurut
Mu’tadin (2002, h. 7) faktor penyebab perilaku merokok pada anak adalah
pengaruh orang tua, teman sebaya, faktor kepribadian, dan iklan. Dalam proses
perkembangan anak pada masa usia 2 tahun, seorangan anak melihat dan
mempelajari sesuatu dari lingkungan kecil seperti keluarga. Melalui proses
interaksi anak dengan orang tua yang terjadi didalam keluarga maka nilai dan
norma akan ditanamkan pada anak dan bahkan kebiasaan orang tua pun akan
diikuti. Interaksi yang cukup intens dengan orang tua memunculkan perilaku yang
tersendiri bagi anak sebagai bentuk imitasi yang didapat dari orang tua salah
satunya perilaku merokok tersebut..

Transmisi perilaku merokok yang terjadi SW juga dapat dijelaskan dengan teori
social cognitif learning dari Bandura dalam Sigelman dan Rider (2003. h. 58).
Teori ini menyatakan bahwa pengaruh individu dipengaruhi oleh lingkungan,
kognitif, dan individu. Orang dapat belajar mengobservasi perilaku orang lain dan
mempraktekkan perilaku tersebut. Peran kognitif sangat penting dalam belajar
yang menekankan pada observasional learning sebagai mekanisme yang sangat
penting pada perubahana perilaku masnusia. Observatinal learning adalah perilaku
yang dihasilkan dari mengobservasi perilaku orang lain (disebut model) dengan
belajar. Observasional learning tidak akan terjadi jika proses kognitif tidak
bekerja. Perilaku merokok tidak semata-mata merupakan proses imitasi dan
penguatan positif dari keluarga maupun lingkungan teman sebaya tetapi juga
adanya pertimbangan-pertimbangan atas konsekuensi perilaku merokok. Dalam
kaitan ini, jika orang tua atau saudaranya merokok merupakan agen imitasi yang
baik. Jika keluarga mereka tidak ada yang merokok, maka sikap permisif orang
tua merupakan pengukuh positif atas perilaku merokok.

Prokop dalam Agriawan (2001, h. 76) juga menyatakan hal yang senada. Ia
menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga perokok dimana kedua
orang tua dan saudara yang lebih tua merokok akan cenderung menjadi perokok 4
kali lebih besar dibanding anak yang berasal dari keluarga yang bukan perokok.
Orang tua yang menganggap merokok pada usia anak adalah suatu hal yang tidak
bagus dilakukan oleh SW dan kebanyakan orang tua akan melarang anaknya
untuk merokok. Namun biasanya dengan kesibukan orang tua dan didukung oleh
sikap orang tua yang permisif banyak anak yang melakukan aktifitas merokok
tanpa sepengetahuan orang tuanya. Hal itu dilakukan untuk menghindari konflik
antara SW dengan orang tua dan teman sebayanya, karena kesibukan dari orang
tuannya yang sering bekerja serta perhatian dari orang tuannya yang sangat
kurang.

Sedangkan dalam proses perkembangan psikososial SW, Erickson (2006, h. 210)


menempatkan bentuk perkembangan SW pada tahap 3 yaitu: tahap Prakarsa vs
Rasa bersalah. Sekitar usia tiga tahun dan terus usia enam, anak-anak menegaskan
dirinya lebih sering melakukan aktivitas untuk mencari tahu tentang hal-hal yang
baru. Aktivitas tersebut dilakukan untuk mencari pengetahuan yang tidak
diperoleh dalam lingkungan temannya. Mereka mulai merencanakan kegiatan
permainan, dan melakukan kegiatan dengan orang lain. Jika diberi kesempatan
ini, anak-anak mengembangkan rasa inisiatif, dan merasa aman dalam
kemampuan mereka untuk memimpin orang lain dan membuat keputusan.
Sebaliknya, jika kecenderungan ini squelched, baik melalui kritik atau kontrol,
anak-anak mengembangkan rasa bersalah. Mereka mungkin merasa seperti
gangguan kepada orang lain dan karenanya akan tetap pengikut, kurang inisiatif
diri. SW mulai merokok berkaitan dengan adanya krisis psikososial yang dialami
pada masa perkembangannya yaitu masa ketika mereka sedang mencari jati
dirinya dari aktivitas yang dia lakukan bersama orang tua dan lingkungannya yang
sering merokok. Dalam usia ini, sering dilakukan sebagai masa badai dan topan
karena tidak kesesuain antara perkembangan psikis dan sosial. Upaya untuk
menemukan jati dirinya agar sesuai dengan orang tuannya yang sering merokok
tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Namun demikian, SW
yang pada awalnya mengabaikan larangan tetangga dan orang tau terutama ibu
untuk tidak merokok, biasanya berlanjut menjadi kebiasaan, dan akhirnya menjadi
ketergantungan dan ketergantungan ini di persepsikan sebagai kenikmatan
memberikan kepuasaan psikologis dan sering kali dipengaruhi orang tua yang
merasakan kesamaan sehingga rokok menjadi kebutuhan anak sehingga menjadi
trend.

Teman sebaya mempunyai peran yang sangat berati bagi anak, karena masa
tersebut anak mulai mulai mencari hal baru pada kelompok sebaya. Kebutuhan
untuk diterima sering kali membuat anak berbuat apa saja agar dapat diterima
kelompoknya. Namun teman sebaya yang menjadi kelompok SW memiliki
perbedaan umur yang cukup jauh dan kebanyakan perokok. Kelompok teman
sebaya sebagai lingkungan sosial bagi anak mempunyai peranan penting bagi
perkembangan kepribadiannya. Ketika anak berada di dalam kelompok teman
sebaya, anak merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya.

Pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku
lebih besar dari pada pengaruh orang tua. Misalnya bila anggota kelompok
mencoba merokok atau berbicara kotor maka anak cenderung mengikutinya tanpa
memperdulikan perasaan mereka sendiri dan akibat yang ditimbulkannya
(Hurlock, 1999). Hal ini dapat dijelaskan dengan konsep konformitas yang terjadi
pada anak-anak. Lebih lanjut lagi Santrock (1998, h. 67) mengatakan bahwa
konformitas terjadi ketika anak mengadopsi sikap atau perilaku teman
disekitarnya karena adanya tekanan baik secara langsung atau tidak. Anak
menyerah pada tekanan kelompok secara langsung kerena permintaan secara
langsung untuk mengikuti apa yang telah dibuat oleh kelompok tersebut. Anak
mengikuti apa yang dibuat oleh kelompok walaupun bukan dasar keinginan
dirinya unutk mempertahankan kedudukannya didalam kelompok dan juga agar
sama seperti sikap dan perilaku teman-temannya dan agar dirinya tidak dianggap
aneh oleh teman-tamannya. Santrock juga menambahkan bahwa konformitas
kepada norma kelompok terjadi apabila norma tesebut jelas dinyatakan dan
individu berada dibawah pengawasan kelompok.
Konformitas juga dijelaskan oleh Syamsu dalam Efri (2007, h. 97) sebagai motif
untuk menjaadi sama, sesuai, seragam, dengan nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran
(hobi), atau budaya teman sebayanya. SW yang berada didalam kelompok teman
sebaya cenderung untuk menyamakan kebiasaan dan budaya temannya. Hal ini
dapat dikaitkan dengan perilaku merokok, dimana SW akan merokok jika teman
sebaya mereka juga merokok. Hal ini sejalan dengan penelitian Nicher dalam
Kimberly dalam Amelia (2009) yang menyebutkan bahwa anak yang merokok
dipengaruhi oleh teman yang berada di kelompoknya yang juga merokok. Ditinjau
dari tahap-tahap perilaku merokok, teman sebaya dan keluarga merupakan pihak-
pihak yang pertama kali mengenalkan rokok, kemudian berlanjut dan berkembang
menjadi tobaco dependency atau ketergantungan pada rokok. Dalam tahapan ini
maka merokok bagi anak bukan hanya sebagai pemuas psikologi dan kebutuhan
untuk mewujudkan simbolisasi kejantanan dan kedewasaan namun sudah menjadi
sebuah penyakit.

Levethal & Clearly dalam Cahyani dan dikutip kembali oleh Helmi dan
Komalasari (2000, h. 123-127) berpendapat bahwasanya terdapat empat tahap
dalam perilaku merokok sehingga menjadi perokok, yaitu: tahap preparatory,
tahap initiation, tahap becoming smoker dan tahap maintenance for smoke:

Tahap preparatory merupakan tahap dimana seseorang sering mendapatkan model


yang menyenangkan dari lingkungan dan media. anak yang mendapatkan
gambaran yang menyenangkan mengenai merokok dengan cara mendengar,
melihat, atau dari hasil bacaan menimbulkan minat untuk merokok. Yang
biasanya menjadi life-model paling utama bagi SW adalah teman sebaya hal ini
terbukti dengan berbagai fakta yang mengungkapkan bahwa semakin banyak anak
merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga
dan demikian sebaliknya, biasanya anak-anak menularkan perilaku merokok
dengan cara menawari teman-teman lainnya dengan menjanjikan kenikmatan
merokok, atau dalih solidaritas kelompok. Dari teman sebaya ini kemudian anak
yang belum merokok menginterpretasi bahwasanya dengan merokok dia akan
mendapatkan kenyamanan, dan atau dapat diterima kelompok, dari hasil
interpretasi tersebut kemungkinan membentuk dan memperkokoh anticipatory
beliefs yaitu belief yang mendasari bahwa remaja membutuhkan pengakuan teman
sebaya. Life-model lainnya yang mungkin berpengaruh pada perilaku merokok
pada SW adalah orang tua. Orang tua yang merokok kemungkinan berdampak
besar pada pembentukkan perilaku merokok pada SW. Hal tersebut membuat
permission belief anak. Interpretasi SW yang mungkin terbentuk adalah
bahwasanya merokok tidak berbahaya, tidak melanggar peraturan dan norma.
Hasil dari interpretasi tersebut memungkinkan terbentuknya permission belief
system. Model lainnya yang mungkin berpengaruh pada pembentukkan perilaku
merokok adalah media masa.
Pemahaman tentang fungsi pengaturan sebuah perilaku mungkin penting untuk
pengembangan teknik pengurangan dan penghentian merokok yang mampu
bertahan lama. Faktor-faktor yang berperan dalam menetapnya perilaku merokok
telah diselidiki, baik melalui pendekatan psikologis maupun biologis. Analisa
biologis seringkali mengikuti bentuk analisa psikologis. Paling tidak, analisa
psikologis dapat mempertajam pandangan tentang proses-proses yang mendasari
sebuah respon dan membantu menjelaskan individu serta pada keadaan apa dia
merokok mungkin mencerminkan suatu proses tertentu yang dapat menjelaskan
suatu mekanisme biologis (Leventhal & Cleary, 1980). Dengan diketahuinya
tahap-tahap terbentuknya perilaku merokok ini maka diharapkan dapat
dikembangkan strategi untuk mengendalikan perilaku merokok pada SW.

Anda mungkin juga menyukai