B. KAJIAN TEORITIS
Pada kasus ini pendekatan teori yang dipakai sebagai unit analisa adalah teori
perkembangan anak yang meliputi:
1. Teori-teori Kognitif
2. Teori-teori Perilaku dan Belajar Sosial
3. Teori-teori Ekologi
Alasan dari penggunaan ketiga teori diatas karena kasus yang terjadi sangat
komplek dan dibutuhkan beberapa macam pendekatan dalam melihat
permasalahan yang terjadi. Dengan demikian kajian teoritis yang diperlukan
sangat membantu penulis dalam memberikan gambaran yang lebih detail baik dari
sisi perkembangan psikologis, kepribadiaan serta lingkungan sosial sekitar
sebagai bentuk pembelajaran nilai-nilai yang telah diterima anak dalam
berperilaku.
1. Teori Kognitif
Dua teori kognitif yang penting adalah teori perkembangan kognitif dari
Piaget dan teori pemrosesan informasi. Piaget mengatakan bahwa anak-anak
melampaui empat tahap perkembangan kognitif, yaitu sensorimotor,
praoperasional, operasional konkrit, dan operasonal formal.
Teori pemrosesan informasi mengenai bagaimana individu memproses
informasi tentang dunianya, yang meliputi : bagaimana informasi masuk ke dalam
pikiran, bagaimana informasi disimpan dan disebarkan, dan bagaimana informasi
diambil kembali untuk memungkinkan kita berpikir dan memecahkan masalah.
3. Teori Ekologi
Dalam teori ekologi Brofenbrenner, ada lima sistem lingkungan yang
penting : mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem dan kronosistem.
PEMBAHASAN
Merokok pada usia sekolah dasar cukup mengejutkan saat ini. Merokok yang
sering dilakukan oleh orang dewasa mulai bergeser pada anak-anak. Pergeseran
tersebut tidak dilepaskan dari pengaruh yang kuat di lingkungan kecil seperti
keluarga sebagai pembentuk perilaku dan kepribadian seorang anak. Hal ini
terjadi pada siswa yang ingin mencoba merokok akibat dari kebiasaan orang
tuanya yang menjadi perokok berat. Perilaku merokok merupakan perilaku yang
dipelajari dan terbentuk karena adanya sebuah interaksi sosial. Ada banyak alasan
yang melatar belakangi perilaku merokok pada SW. Secara umum, menurut Kurt
Lewin dalam Efri (2007, h. 87), bahwa perilaku merokok merupakan fungsi dari
lingkungan dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan faktor-
faktor dari dalam diri juga disebabkan faktor lingkungan. Selain itu, menurut
Mu’tadin (2002, h. 7) faktor penyebab perilaku merokok pada anak adalah
pengaruh orang tua, teman sebaya, faktor kepribadian, dan iklan. Dalam proses
perkembangan anak pada masa usia 2 tahun, seorangan anak melihat dan
mempelajari sesuatu dari lingkungan kecil seperti keluarga. Melalui proses
interaksi anak dengan orang tua yang terjadi didalam keluarga maka nilai dan
norma akan ditanamkan pada anak dan bahkan kebiasaan orang tua pun akan
diikuti. Interaksi yang cukup intens dengan orang tua memunculkan perilaku yang
tersendiri bagi anak sebagai bentuk imitasi yang didapat dari orang tua salah
satunya perilaku merokok tersebut..
Transmisi perilaku merokok yang terjadi SW juga dapat dijelaskan dengan teori
social cognitif learning dari Bandura dalam Sigelman dan Rider (2003. h. 58).
Teori ini menyatakan bahwa pengaruh individu dipengaruhi oleh lingkungan,
kognitif, dan individu. Orang dapat belajar mengobservasi perilaku orang lain dan
mempraktekkan perilaku tersebut. Peran kognitif sangat penting dalam belajar
yang menekankan pada observasional learning sebagai mekanisme yang sangat
penting pada perubahana perilaku masnusia. Observatinal learning adalah perilaku
yang dihasilkan dari mengobservasi perilaku orang lain (disebut model) dengan
belajar. Observasional learning tidak akan terjadi jika proses kognitif tidak
bekerja. Perilaku merokok tidak semata-mata merupakan proses imitasi dan
penguatan positif dari keluarga maupun lingkungan teman sebaya tetapi juga
adanya pertimbangan-pertimbangan atas konsekuensi perilaku merokok. Dalam
kaitan ini, jika orang tua atau saudaranya merokok merupakan agen imitasi yang
baik. Jika keluarga mereka tidak ada yang merokok, maka sikap permisif orang
tua merupakan pengukuh positif atas perilaku merokok.
Prokop dalam Agriawan (2001, h. 76) juga menyatakan hal yang senada. Ia
menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga perokok dimana kedua
orang tua dan saudara yang lebih tua merokok akan cenderung menjadi perokok 4
kali lebih besar dibanding anak yang berasal dari keluarga yang bukan perokok.
Orang tua yang menganggap merokok pada usia anak adalah suatu hal yang tidak
bagus dilakukan oleh SW dan kebanyakan orang tua akan melarang anaknya
untuk merokok. Namun biasanya dengan kesibukan orang tua dan didukung oleh
sikap orang tua yang permisif banyak anak yang melakukan aktifitas merokok
tanpa sepengetahuan orang tuanya. Hal itu dilakukan untuk menghindari konflik
antara SW dengan orang tua dan teman sebayanya, karena kesibukan dari orang
tuannya yang sering bekerja serta perhatian dari orang tuannya yang sangat
kurang.
Teman sebaya mempunyai peran yang sangat berati bagi anak, karena masa
tersebut anak mulai mulai mencari hal baru pada kelompok sebaya. Kebutuhan
untuk diterima sering kali membuat anak berbuat apa saja agar dapat diterima
kelompoknya. Namun teman sebaya yang menjadi kelompok SW memiliki
perbedaan umur yang cukup jauh dan kebanyakan perokok. Kelompok teman
sebaya sebagai lingkungan sosial bagi anak mempunyai peranan penting bagi
perkembangan kepribadiannya. Ketika anak berada di dalam kelompok teman
sebaya, anak merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya.
Pengaruh teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku
lebih besar dari pada pengaruh orang tua. Misalnya bila anggota kelompok
mencoba merokok atau berbicara kotor maka anak cenderung mengikutinya tanpa
memperdulikan perasaan mereka sendiri dan akibat yang ditimbulkannya
(Hurlock, 1999). Hal ini dapat dijelaskan dengan konsep konformitas yang terjadi
pada anak-anak. Lebih lanjut lagi Santrock (1998, h. 67) mengatakan bahwa
konformitas terjadi ketika anak mengadopsi sikap atau perilaku teman
disekitarnya karena adanya tekanan baik secara langsung atau tidak. Anak
menyerah pada tekanan kelompok secara langsung kerena permintaan secara
langsung untuk mengikuti apa yang telah dibuat oleh kelompok tersebut. Anak
mengikuti apa yang dibuat oleh kelompok walaupun bukan dasar keinginan
dirinya unutk mempertahankan kedudukannya didalam kelompok dan juga agar
sama seperti sikap dan perilaku teman-temannya dan agar dirinya tidak dianggap
aneh oleh teman-tamannya. Santrock juga menambahkan bahwa konformitas
kepada norma kelompok terjadi apabila norma tesebut jelas dinyatakan dan
individu berada dibawah pengawasan kelompok.
Konformitas juga dijelaskan oleh Syamsu dalam Efri (2007, h. 97) sebagai motif
untuk menjaadi sama, sesuai, seragam, dengan nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran
(hobi), atau budaya teman sebayanya. SW yang berada didalam kelompok teman
sebaya cenderung untuk menyamakan kebiasaan dan budaya temannya. Hal ini
dapat dikaitkan dengan perilaku merokok, dimana SW akan merokok jika teman
sebaya mereka juga merokok. Hal ini sejalan dengan penelitian Nicher dalam
Kimberly dalam Amelia (2009) yang menyebutkan bahwa anak yang merokok
dipengaruhi oleh teman yang berada di kelompoknya yang juga merokok. Ditinjau
dari tahap-tahap perilaku merokok, teman sebaya dan keluarga merupakan pihak-
pihak yang pertama kali mengenalkan rokok, kemudian berlanjut dan berkembang
menjadi tobaco dependency atau ketergantungan pada rokok. Dalam tahapan ini
maka merokok bagi anak bukan hanya sebagai pemuas psikologi dan kebutuhan
untuk mewujudkan simbolisasi kejantanan dan kedewasaan namun sudah menjadi
sebuah penyakit.
Levethal & Clearly dalam Cahyani dan dikutip kembali oleh Helmi dan
Komalasari (2000, h. 123-127) berpendapat bahwasanya terdapat empat tahap
dalam perilaku merokok sehingga menjadi perokok, yaitu: tahap preparatory,
tahap initiation, tahap becoming smoker dan tahap maintenance for smoke: