Anda di halaman 1dari 19

AKAD DALAM MUAMALAH

OLEH

AHMAD DARMAJI SIREGAR


NIM. 15 402 00232

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2017
KATA PENGANTAR
  

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya sehingga penulis dengan segala kelebihan dan kekurangannya dapat
menyelesaikan makalah ini, yang diberi judul “Akad Dalam Muamalah”.
Penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, walaupun sesungguhnya penulis sudah berupaya keras
dengan kemampuan sesuai disiplin ilmu yang dimiliki. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati penulis meminta para pembaca agar senantiasa dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin menghanturkan rasa terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada dosen yang bersangkutan.
Semoga segala bantuan, dorongan, dan bimbingan yang telah diberikan
kepada penulis mandapatkan balasan dari Allah SWT. Dan akhir kata, penulis
harapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amiin.

Padangsidimpuan, Agustus 2017

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 2
A. Pengertian Akad ................................................................................... 2
B. Pembentukkan Akad ............................................................................ 3
C. Syarat-syarat Akad ............................................................................... 6
D. Macam-macam Akad Transaksi ........................................................... 8
E. Hal-hal yang Membatalkan Akad Transaksi ........................................ 9
F. Akad Transaksi Implikasinya dalam Operasional Perbankan
Syari’ah ................................................................................................ 10
G. Pendapat-pendapat Ulama’ tentang Jenis Akad Transaksi .................. 12
H. Akhir Akad ........................................................................................... 14
BAB III PENUTUP .................................................................................................... 15
A. Kesimpulan .................................................................................................... 15
B. Penutup .......................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akad (al’aqd) merupakan jama’ dari al’uqud , secara bahasa berarti al-
rabth (ikatan, mengikat), yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali
dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan
menjadi seutas tali yang satu. Sedangkan secara terminologi hukum Islam, akad
berarti pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.1
Pada dasarnya akad tidak berbeda dengan transaksi (serah terima).
Semua perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh
menyimpang dan harus sejalan denagn kehendak syari’at. Tidak boleh ada
kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan
dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.

B. Rumusan Masalah
Akad atau ijab qabul merupakan salah satu dari rukun berbagai jenis
muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya. Seiring
perkembangan zaman, akad atau yang sering kita kenal dengan transaksi, tentunya
mengalami evolusi atau telah berubah mengikuti perkembangannya, khususnya
dalam sistem ekonomi syari’ah. Dari perubahan itu, muncul berbagai sistem-
sistem akad yang terkadang sulit kita pahami. Untuk itu, kami mencoba
memaparkan dan menganalisa terkait masalah akad yang biasa dipakai dalam
sitem ekonomi syari’ah kita.

1
Drs. Ghufron A. Mas’adi, M. Ag., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2002, hal 76
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad
Menurut segi etimologi, akad antara lain berarti :
ْ ‫بِأ َ ْوِم‬
.ِ‫نِجاَِنِبَيْن‬ ٍ ‫ِرِبْطاًِحسياًِّأَِ ْمِ َم ْعنَوِياًِّم ْنِجاَِن‬
َ َ‫س َوِ ٌءِأَِكا َِن‬
َ ِ‫طِبَ ْينَ ِأَِ ْط َرِفِالشَّىِء‬
ُ ‫الر ْب‬
َّ

Artinya : “ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan
secara maknawi, dari satu segi maupun dua segi”.

Bisa juga berarti ‫( العقدِة‬sambungan), ‫ العهد‬dan (janji)


Menurut terminologi ulama , akad dapat ditinjau dari dua segi yaitu
sedcara umum maupun secara khusus:
1. Pengertian Umum:
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama syafi’iyah,
malikiyah, dan hanabilah, yaitu:
Artinya : “ segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan , atau
sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginanya dua
orang seperti jua-beli, perwakilan, dan gadai.”
2. Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih,
antara lain:
Yang artinya : “perikatan yang ditetapkan ijab-qabul berdasarkan
ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.”
Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual,”Saya telah menjual
barang ini kepadamu “ atau “Saya serahkan barang ini kepadamu”contoh
qabul ,”Saya beli barangmu .” atau “Saya terima barangmu.”
Dengan demikian ijab-qabul adalah suatu perbuatanatau pernyataan
untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara du orang atau
lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan
syara’. Oleh karena itu, dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau
perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak
didasarkan pada keridaan dan syariat Islam.2

B. Pembentukkan Akad
1. Rukun Akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah Ijab dan
Qabul. Adapun yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang
terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.
Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun,
yaitu :
a. Orang yang akad (aqid), contoh penjual dan pembeli.
b. Sesuatu yang diakadkan (maqud alaih), contoh:harga atau yang dihargakan.
c. Shigat,yaitu ijab dan qabul.
Defenisi ijab menurut ulama hanafiyah adalah penetapan perbuatan
tertentu yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik
yang menyerahkan maupun yag menerima, sedangkan qabul adalah orang yag
berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yag menunjukkan keridaan
atasan ucapan orang pertama.
Berbeda dengan pendapat di atas, ulama selain Hanafiyah berpendapat
bahwa ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda,
baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan qabul adalah
pernyataan dari orang yang menerima barang. Pendapat ini merupakan
pengertian umum dpahami orang bahwa ijab adalah ucapan dari orang yang
menyerahkan barang (penjual dalam jual beli), sedangkan qabul adalah
pernyataan dari penerima barang.3
2. Unsur-Unsur Akad
Unsur-unsur akad adalah sesuatu yag merupakan pembentukka adanya
akad, yaitu berikut ini.

2
Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, Fiqih Muamalah,Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal
43
3
Ibid, hal 43
a. Shigat Akad
Shigat adalah sesuatu yang disadarkan dari dua pihak yang berakad
yang menunjukkan atas apa yag ada di hati keduanya tentag terjadinya
akad. Hal itu dapat diketahui denga ucapan perbuatan, isyarat, da tulisan.
Shigat tersebut biasa disebut ijab dan qabul.4
1) Metode (uslub) Shigat Ijab dan Qabul
Uslub-uslub shigat dalam akad dapat diungkapkan dengan
beberapa cara berikut ini.
a) Akad dengan Lafazh (ucapan)
Shigat dengan ucapan adalah shigat akad yag paling banyak
digunakan orang sebab paling mudah digunakan dan cepat
dipahami. Tentu saja, kedua pihak harus mengerti ucapan
masing-masing serta menunjukka keridaannya.
i. Isi Lafazh
Shigat akad denga ucapan tidak diisyaratkan untuk
menyebutkan barang yang dijadikan objek-objek akad, baik
dalam jual-beli, hibah, sewa-menyewa, dan lain-lain. Hal itu
disepakati jumhur ulama, kecuali dalam akad pernikahan.
Diantara para ulama terdapat perbedaan dalam shigat akad
pernikahan sebab pernikahan diaggap sangat suci dan penting.
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa
shigat akad dalam pernikahan dibolehkan dengan shigat apa
saja, seperti menikahkan, menjadikan, mengibahkan, dan lain-
lain dengan syarat setiap mengucapkan kalimat tersebut
diikutidalam hati bahwa maksudnya adalah pernikahan.
Golongan ini mendasarka pendapat mereka pada firman Allah
SWT. Surat Al-Ahzab ayat 50 yag didalamnya terdapat kata
wahabat (mengibahkan):
َ‫صةً لَك‬
َ ‫ي أ َ ْن يَ ْست َ ْن ِك َها حا َ ِل‬ ْ َ‫َو ا ْم َر أ َ ة ً ُمؤْ ِمنَةً اِ ْن َو َهب‬
َّ ‫ت نَ ْف َسها َ ِللنَّ ِب ْى اِ ْن ا َ را َ دَ النَّ ِب‬
. َ‫ِم ْن د ُْو ِن ْالمؤْ ِم ِنيْن‬

4 Ibid, hal 43
Artinya : “…… dan perempuan mukmin yag menyerahkan
dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya sebagai pengkhususan bagimu
buka untuk semua orang mukmin…”
ii. Lafazh Shighat dan kata kerja dalam shighat
Para ulama sepakat bahwa fi’il madi (kata kerja yang
menunjukka waktu lewat) boleh digunakan dalam akad karena
merupakan kata kerja yang paling mendekati maksud akad.
Mereka pun sepakat membolehkan menggunakkan fi’il
mudahri (kata kerja yang menunjukkan menunjukkan waktu
sedang atau aka datang). Tentu saja, dalam hati harus diringi
niat bahwa akad tersebut dilakukan ketika itu. Oleh karena itu,
akad diaggap tidak sah jika menggunakkan fi’il mudhari yag
ditujuka untuk masa yang akan datang
Selain itu, mereka juga membolehkan penggunaan
jumlah ismiyah (kalimat yag di dalamnya terdiri atasisim atau
kata benda, seperti mub’tada dan khabar) dalam shighat akad.
b) Akad dengan perbuatan
Dalam akad, terkadang tidak digunaka ucapan, tetapi
cukup dengan perbuatan yang menunjukkan saling meridhai,
misalnya penjual memberikan barang dan pembeli
memberikan uang.
Dalam menanggapi persoalan ini, diatara para ulama
berbeda pendapat, yaitu:
i. Ulama Hanafiyah Dan Hanabilah membolehka akad
dengan terhadap barang-barang yag sudah sangat
diketahui secara umum oleh manusia. Jika belum
diketahui secara umum, akad sepert itu diaggap halal.
ii. Mazhab Imam Maliki da pendapat awal Imam Ahmad
membolehkan akad dengan perbuatan jika jelas
menunjukkan kerelaan, baik barang tersebut diketahui
secara umum atau tidak, kecuali dalam pernikahan.
iii. Ulama Syafi’iyah, Syi’ah, dan Zhahiriyyah berpendapat
bahwa akad dengan perbuatan tidak dibenarka karena
tidak ada petunjuk yang kuat terhadap akad tersebut.
Selain itu, keridaan adalah sesuatu yang samar, yang
tidak dapat diketahui, kecuali dengan ucapan. Hanya
saja, golongan ini membolehkan ucapan, baik secara
sharih dan kinayah. Jika terpaksa boleh saja dengan
isyarat dan tulisan.
c) Akad dengan Isyarat
Bagi orang yang mampu berbicara, tidak dibenarka
denga isyarat, melainkan harus mengunakkan tulisan atau
lisan. Adapun bagi mereka yang tidak dapat berbicara, boleh
mengunakkan isyarat, tetapi jika tulisannya bagus diajurkan
menggunakka tulisan. Hal itu dibolehkan apabila ia sudah
cacat sejak lahir. Jika tidak sejak lahir, ia harus berusaha untuk
tidak mengunakkan isyarat.
d) Akad dengan Tulisan
Dibolehka akad dengan tulisan, baik bagi orang yag
mampu berbicara ataupun tidak, dengan syarat tulisa tersebut
harus jelas, tampak, dan dapat dipahami oleh keduanya.
Namun demikian akad nikah tidak boleh
menggunakkan tulisa jika kedua orang yang akad itu hadir. Hal
ini Karen akadharus dihadirioleh saksi, yag harus mendengar
ucapan orang yag akad, kecuali bagi orang yag tidak dapat
berbicara.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
akad dengan tulisan adalah sah jika dua orang yang tidak hadir.
Akan tetapi, jika yag akad itu hadir, tidak dibolehka memakai
tulisan sebab tulisan tidak dibutuhkan.

C. Syarat-syarat Akad
Ada berberapa macam syarat akad yaitu syarat terjadinya
akad, syarat sah,, syarat memberikan, dan syarat keharusan
(luzum).
1. Syarat Terjadinya Akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk
terjadinya akad secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad
menjadi batal.syarat ini terbagi menjadi dua bagian:
Umum, yakni syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad.
Khusus, yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebagian akad, dan tidak
disyaratkan pada bagian lainnya.
2. Syarat Sah Akad
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara’
untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad
tersebut rusak.
Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Ulama
Hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam kecacatan
dalam jual-beli, yaitu syarat-syarat jual-beli rusak (fasid).
3. Syarat Pelaksanaan Akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat, yaitu kepemilikan dan
kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang
sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai
dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang
dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketepatan syara’, bak secara asli,yakni
dilakukan oleh dirinya, maupun sebagai penggantian (menjadi wakil
seseorang ).
Dalam hal ini, disyaratkan antara lain:
a. Barang yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, jika
dijadikan, maka sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli.
b. Barang yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang
lain.5
4. Syarat Kepastian Hukum (luzum)

5
Ibid, hal 43.
Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-
beli adalah terhiindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar syarat,
khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum tampak, maka akad batal atau
dikembalikan
Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat luzum dalam jual-
beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar jual-beli, seperti khiyar
syarat,khiyar aib, dikembalikan.

D. Macam-macam Akad Transaksi


Menurut ulama’ fiqh, akad dapat dibagi dari beberapa segi. Namun dalam
hal hal ini kami membagi akad dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’.
Sehingga akad dibedakan menjadi dua, yaitu akad shahih dan akad yang tidak
shahih.
2. Akad Shahih
Akad shahih merupakan akad yang telah memenuhi syarat dan rukun.
Ulama’ Madhab Hanafi dan Madhab Maliki membagi akad shahih ini dalam
dua macam ;
a) Akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi
rukun dan syarat dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b) Akad Mauquf, merupakan akad yang dilakukan seseorang yang mampu
bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan
untuk melangsungkan dan melaksanakan. Seperti akadnya anak yang
masih mumayyiz tapi belum baligh sehingga dia harus mendapat izin dari
wali anak itu. Menurut Madhab Syafi’i dan Hanbali, jual beli yang
mauquf itu tidak sah.
Ulama’ fiqh juga membagi jual beli yang shahih dari segi mengikat
atau tidak.
a) Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu
pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain. Seperti
jual beli dan sewa menyewa.
b) Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Seperti
pinjam meminjam.
3. Akad yang tidak Shahih
Akad yang tidak shahih merupakan akad yang terdapat kekurangan
pada rukun atau syaratnya. Sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua
belah pihak yang melakukan akad itu. Madhab Hanafi membagi akad yang
tidak shahih ini ke dalam dua macam.6
a) Akad batil, apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan
larangan langsung dari syara’. Seperti jual beli yang dilakukan anak
kecil.
b) Akad fasid, akad ini pada dasarnya dibenarkan tetapi sifat yang
diakadkan tidak jelas seperti menjula mobil tidak disebitkan merknya,
tahunnya, dan sebagainya.

Di atas merupakan macam-macam akad transaksi secara umum. Adapun


akad yang biasa dipakai dalam sistem ekonomi syari’ah atau lebih khusus lagi
dalam perbankan syari’ah, akan dibahas pada sub bab akad transaksi implikasinya
dalam operasional perbankan syari’ah.

E. Hal-hal yang Membatalkan Akad Transaksi


Ulama’ fiqh menyatakan bahwa suatu akad itu dapat menjadi batal atau
bisa dikatakan berakhir manakala terjadi hal-hal sebagi berikut ;
1. Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu.
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.
3. Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir bila :
a. Akad itu fasid
b. Berlaku khiyar syarat dan khiyar aib
c. Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad.
d. Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna.
4. Wafat salah satu pihak yang berakad

6
Ibid, hal 111
Namun, menurut M. Ali Hasan dalam buku yang berjudul Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam, akad itu bisa diteruskan oleh ahli warisnya bila pewaris
itu meninggal.7

F. Akad Transaksi Implikasinya dalam Operasional Perbankan Syari’ah


Dalam bank syari’ah, akad yang dilalukan memiliki konsekuensi duniawi
dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Seringkali
nasabah berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dilakukan bila
hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak demikian bila
perjanjinan tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah.
Seperti akad dalam perbankan syari’ah, baik dalam hal barang, pelaku
transaksi, maupun ketentuan lainnya harus memenuhi ketentuan akad, seperti :
1. Rukun, seperti ;
a. Penjual
b. Pembeli
c. Barang
d. Harga
e. Akad/ijab qabul
2. Syarat, seperti ;
a. Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang
haram menjadi batal demi jukum syari’ah.
b. Harga barang dan jasa harus jelas.
c. Tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada biaya
transportasi.
d. Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilika. Tidak
boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang
terjadi pada transaksi short sale pada pasar modal.8
Secara umum, dalam sistem ekonomi syariah akad dibedakan menjadi dua
kelompok.

7
M. Ali Hasan, op., cit., hal 112
8
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakrta : Gema Insani,
2001, hal 30
1. Akad tabarru’ (kontrak transaksi untuk kebajikan)
Akad tabarru’ merupakan perjanjian atau kontrak yang tidak mencari
keuntungan materiil. Akad ini bertujuan untuk tolong menolong dan pada
hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil
(tabarru’=bir dalam bahasa arab berarti kebaikan). Akan tetapi dalam
transaksi ini diperbolehkan untuk memungut biaya transaksi yang akan habis
digunakan dalam transaksi tabarru’ tersebut.9 Maksudnya, pihak yang berbuat
kebaikan terebut boleh meminta kepada counter partnya untuk sekedar
menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’
tersebut.10 Contoh dari akad/transaksi tabarru’ adalah sebagai berikut :11
a. Qard yaitu pemberian harta jepada orang lain yang dapat ditagih kembali
atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan
b. Rahn yaitu menahan salah satu harta milik si penminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya.
c. Hawalah merupakan suatu pengalihan utang dari orang yang berhutang
kepada orang lain yang wajib mennggungnya. Dan masih banyak lagi
akas-akad yang tergolong dalam jenis tabarru’ ini.
Lalu dalam praktek perbankan syari’ah, transaksi tabarru’ ini dapat
kita lihat dalam transaksi meminjamkan sesuatu. Yang mana objek
pinjamannya dapat berupa uang (lending) atau jasa (lending yourself).
Sehingga ada 3 macam akad transaksi dalam tabarru’ ini
1) Meminjamkan uang
Dalam hal meminjamkan uang ini, ada tiga bentuk akad yang
telah dijelaskan di atas, yaitu qard, rahn, dan hiwalah.
2) Meminjamkan jasa
Dalam hal meminjamkan jasa, ada kalanya melakukan sesuatu
atas nama orang lain, yang disebut dengan wakalah. Lalu, bila wakalah
itu dirinci tugasnya yaitu kita menawarkan jasa kita menjadi wakil
seseorang dengan tugas menyediakan jasa (penitipan, pemeliharaan)

9
http://punyahari.blogspot.com/2009/12/transaksi-dan-akad-dalam-ekonomi.html
10
Ir. Adiwarman Karim, S.E, M.B.A., M.A.E.P., Bank Islam Analisis Fiqh dan
Keuangan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal 58
11
http://punyahari.blogspot.com,. op., cit.
maka ini desebut wadi’ah yang. Kemudian ada juga istilah wakalah
bersyarat yang disebut dengan kafalah.
3) Memberikan sesuatu
Akad yang termasuk dalam golongan ini adalah akad-akad seperti
: hibah, waqf, shadaqah, hadiah, dan lain-lain.12
2. Akad tijarah (kontrak untuk transaksi yang berorientasi laba)
Telah dijelaskan pada awal tadi, berbeda dengan akad tabarru’, akad
tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit sharing
yang mana akad-akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan.
Contohnya akad investasi, jual beli, sewa menyewa, dan lain sebaginya.
Sedangkan dalam sistem operasional perbankan syari’ah yang menjadi
karakteristik dasar adalah profit sharing atau yang lebih kita kenal dengan
sistem bagi hasil. Salah satunya adalah mudharabah, di mana bank sebagai
mudhorib (pengelola) sedangkan penabung bertindak sebagai shahibul mal
(penyandang dana). Itulah salah satu transaksi perbankan syari’ah dalam hal
penghimpunan dana.
Yang kedua, transaksi dalam hal pembiayaan, merupakan pemberian
fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
merupakan defisit unit.13 Pembiayaan dalam bank konvensional lebih kita
kenal dengan kredit. Namun berbeda dengan bank syari’ah, pembiayaan tidak
menggunakan konsep prosentasi dan berpedoman pada profit sharing saja
tetapi lose profit sharing karena dalam sistem bagi hasil, belum tentu kita
akan mendapatkan keuntungan, bisa jadi sewaktu-waktu kita mengalami
kerugian.
Jadi, pada dasarnya sistem operasional perbankan syari’ah menggunakan
konsep akad transaksi yang telah diajarkan oleh Islam. Implikasinya, produk-
produk yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah merupakan produk yang jauh
dari unsur riba. Karena perbankan syari’ah berperan sebagai solusi yang
menjawab kekhawatiran masyarakat terkait bunga bank.

12
Ir. Adiwarman Karim, S.E, M.B.A., M.A.E.P., op. cit., hal 61
13
Muhammad Syafi’I Antonio, op., cit., hal 160
G. Pendapat-pendapat Ulama’ tentang Jenis Akad Transaksi
Akad transaksi pada era masa kini tentunya mengalami perubahan
karena harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat sekarang.
Konsekuensinya, tak jarang beberapa jenis transaksi hukumnya dipertanyakan
lagi, apakah jenis transaksi ini sesuai dengan syari’at atau tidak. Karena pada
dasarnya, akad memiliki rukun dan syarat yang harus terpenuhi. Rukun itu antara
lain : pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah al-aqd), pihak-pihak yang
berakad, dan obyek akad.14 Namun menurut Ulama’ Madhab Hanafi, rukun akad
itu cukup satu yaitu sighah al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan
obyek akad masuk pada syarat akad.
Contoh akad transaksi pada era sekarang yang keabsahan hukumnya
masih perlu ditelaah lebih lanjut. Seperti akad yang terjadi di pasar
swalayan,seseorang mengambil barang kemudian membayar kepada kasir sesuai
dengan harga barang ynag tercatum pada barang tersebut. Di dalam fiqh, jual beli
seperti ini di sebut bai’ al-mu’atoh (jual beli dengan saling memberi).
Ulama’ Madhab Syafi’i dalam qaul qadim tidak membenarkan akad
seperti ini, karena kedua belah pihak harus menyatakan secara jelas mengenai ijab
dan qabul itu. Demikian juga madhab Az-Zahiri dan Syiah pun tidak
membenarkannya. Tetapi Jumhur Ulama’ Fiqh termasuk Madhab Syafi'i generasi
belakangan seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli seperti ini, karena telah
menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat sebagian besar umat Islam. Dengan
demikian, aat kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang membawa
maslahat dapat dibenarkan sebagai landasan dalam menetapkan suatu hukum.
Menurut Mustafa Az-Zarqa’ suatu akad dipandang sempurna apabila
telah memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas. Namun ada akad-akad yang
baru dipandang sempurna apabila telah dilakukan timbangan terima dan tidak
memadai hanya dengan ijab dan qabul saja, yang disebut dengan al-uqud al-
ainiyyah. Akad semacam ini ada lima macam, yaitu hubah, pinjam meminjam,
barang titipan, perseriaktan dalam modal, dan jaminan. Menurut ulama’ fiqh,

14
M. Ali Hasan, op., cit., hal 103
kelima macam akad (transaksi) tersebut harus diserahkan kepada yangberhak dan
dikuasai sepenuhnya, dan tidak boleh terlepas dari tanggung jawab.15
Dalam perbankan dikenal dengan mudharabah yaitu akad kerja sama
usaha antar pihak di mana pihak pertama (shohibul mal) menyediakan seluruh
modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, dan keuntungan usaha dibagi
sesuai dengan kesepakatan. Menurut Imam Zailai, ia menyatakan bahwa para
sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara
mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits yan
dikutip Abu Ubaid.16

H. Akhir Akad
Akad dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam
akad mauqud (ditangguhkan)17
Akad Habis dengan Pembatalan
Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya, seperti pada
masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan
dalam sewa-menyewa dan pinjam-meminjam yang telah disepakati selama 5
bulan, tetapi sebelum sampai lima bulan, telah dibatalkan.
Pada akad ghair lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad,
pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang, perwakilan dan lain-
lain, atau yang ghair lazim padasatu pihak dan lazim pada pihak lainnya, sedperti
gadai. Orang yang menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa
sepengetahuan orang yang menggadaikan barang.
Adapun pembatalan pada akad lazim, twrdapat dalam beberapa hal
berikut:
a. ketika akad rusak,
b. adanya khiyar,
c. pembatalan akad,
d. tidak mungkin melaksanakan akad,
e. masa akad berakhir.

15
Ibid., hal 105
16
Muhammad Syafi’I Antonio, op., cit., hal 96
17
Prof.Dr. H. Syafei Rahmat, M.A, op., cit.,, hal 43
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan :
1. Akad merupakan pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’
yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.
2. Secara garis besar, akad itu ada kalanya shahih dan ada kalanya tidak shahih.
3. Perbankan Syari’ah pada prinsipnya menggunakan akad-akad yang telah
diajarkan oleh Islam, seperti mudharabah, murabahah, Pembiayaan, dll.
4. Para ulama’ membenarkan akad-akad yang sesuai dengan sayari’at agama dan
mengandung kemaslahatan bukan kemadlaratan.

B. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan. Saya yakin dalam
penulisan makalah ini masih banyak kessalahan-kesalahan. Untuk itu, kritik dan
saran yang bersifat konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah
yang selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat pada kita
semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio Muhammad Syafi’I, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakrta : Gema
Insani, 2001

Hasan M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), Jakrta
: PT Raja Grafindo Persada, 2003

Karim Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2004

Mas’adi Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada, 2002

Syafei Rahmat, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Anda mungkin juga menyukai