Anda di halaman 1dari 12

2.1.

Timbulnya Cita-Cita Kearah Pembentukan Koperasi

Penindasan yang terus menerus terhadap rakyat Indonesia


berlangsung cukup lama menjadikan kondisi umum rakyat parah. Namun
demikian masih beruntung semangat bergotong royong masih tetap tumbuh
dan bahkan berkembang makin pesat. Di samping itu kesadaran beragama
juga semakin tinggi. Pada saat itulah mulai tumbuh keinginan untuk
melepaskan dari keadaan yang selama ini mengungkung mereka.
Pemerintah Hindia Belanda tak segan- segan menyiksa mereka baik fisik
maupun mental. Sementara itu para pengijon dan lintah darat memanfatkan
kesempatan dan keadaan mereka sehingga makin banyak yang terjepit
hutang yang mencekik leher. Dari keadaan itulah timbul keinginan untuk
membebaskan kesengsaraan rakyat dengan membentuk koperasi.
Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria
Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun
1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan
membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan
rentenir. Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan
akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan SDI. Adanya Politik
Etis Belanda membuktikan adanya beberapa orang
Belanda yang turut memikirkan nasib
penderitaan/kesengsaraan rakyat Indonesia seperti
Gambar 1. R. Aria Wiraatmaja
halnya berkaitan dengan koperasi tanah air kita yaitu E.
Sieburgh dan De Wolf van Westerrede. Kedua nama tersebut banyak kaitannya dengan
perintisan koperasi yang pertama-tama di tanah air kita, yaitu di Purwokerto.

2.2. Perjuangan Pembentukan Koperasi Pada Zaman Penjajahan

Zaman Penjajahan Belanda


Koperasi pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Raden Aria
Wiraatmaja, seorang Patih di Purwokerto dengan mendirikan bank yang
dikhususkan untuk menolong para pegawai agar tidak terjerat oleh para
rentenir. Badan usaha yang dibentuk adalah Bank Penolong dan Tabungan
(Hulp en Spaarbank). Koperasi yang pada awalnya hanya diperuntukkan bagi
pegawai rendahan kemudian berkembang kearah koperasi untuk sektor
pertanian (Hulp-Spaar en Landbouwcredit Bank).

Gambar 2. Bank Penolong dan Tabungan (Hulp en Spaarbank)


Namun
karena kondisi masyarakat yang hidup di zaman penjajahan tidak
diperbolehkan berkembang lebih jauh, upaya terakhir ini ditentang oleh
pemerintah Kolonial Belanda. Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah
Kolonial Belanda untuk merintangi perkembangan bank yang dirintis oleh
R.Aria Wiriaatmaja adalah dengan mendirikan Algemene Volks-crediet Bank.
Para pelopor pergerakan nasional kemudian semakin menggiatkan
usahanya untuk menggunakan Koperasi sebagai sarana perjuangan. Raden
sutomo berusaha mengembangkan Koperasi rumah tangga melalui Budi
Utomo (1908). Tapi karena kesadaran masyarakat akan manfaat Koperasi
masih sangat rendah, usaha ini kurang berhasil. Sekitar tahun 1913, Serikat
Dagang Islam yang kemudia berubah nama menjadi Serikat Islam
mempelopori berdirinya beberapa jenis Koperasi industry kecil dan kerajinan.
Namun koperasi-koperasi ini tidak bertahan lama karena rendahnya tingkat
pendidikan masyarakat dan kurangnya penyuluhan.
Hambatan formal dari pemerintahan kolonial Belanda Nampak jelas
dengan diterapkannya peraturan koperasi No.431 tahun 1915. Syarat
administrative yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang ingin mendirikan
Koperasi dibuat sangat berat di dalam Undang-undang tersebut, baik
menyangkat masalah perizinan, pembiayaan dan masalah-masalah teknis
saat pendirian dan selama koperasi menjalankan usahanya. Kemudian pada
tahun 1920 dibentuk panitia koperasi yang diketuai oleh Dr. J.H. Boeke dan
segera meninjau kembali peraturan No.431 tahun 1915 tersebut. Hasil dari
peninjauan tersebut adalah disusunnya peraturan Koperasi No. 91/1927,
yang isinya lebih ringan dari UU no.431/1915, sehingga lebih mendorong
masyarakat untuk mendirikan koperasi.

Zaman Penjajahan Jepang


Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia. Pada masa pendudukan
Jepang antara tahun 1942-1945 usaha-usaha Koperasi di Indonesia
disesuaikan dengan asas-asas kemiliteran. Sesuai dengan Peraturan
Pemerintahan Militer Jepang No.23 pasal 2, yang menyatakan bahwa
pendirian perkumpulan (termasuk koperasi), dan persidangan harus
mendapat persetujuan dari pemerintah setempat. Dengan berlakunya
peraturan tersebut maka peraturan Koperasi yang lama tidak berlaku lagi
dan akibatnya, perkumpulan Koperasi yang berdiri berdasarkan peraturan
pemerintan kolonial Belanda harus mendapatkan persetujuan ulang dari
Suchokan.
Jepang lalu mendirikan ”Kumiai”, yaitu koperasi model Jepang. Tugas
Kumiai mula-mula menyalurkan barang-barang kebutuhan rakyat yang pada
waktu itu sudah mulai sulit kehidupannya. Politik tersebut sangat menarik
perhatian rakyat sehingga dengan serentak di Indonesia dapat didirikan
Kumiai sampai ke desa-desa. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun
fungsinya berubah drastis dan menjadi alat jepang untuk mengeruk
keuntungan, dan menyengsarakan rakyat. Jelaslah bahwa Kumiai sangat
merugikan perekonomian rakyat, sehingga kepercayaan rakyat terhadap
koperasi hilang. Hal ini merupakan kerugian moral untuk pertumbuhan
koperasi selanjutnya.

2.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Koperasi pada Kurun Waktu


Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1949)

Setelah memperoleh kemerdekaan, bangsa Indonesia memiliki


kebebasan untuk menentukan pilihan kebijakan ekonominya. Suatu hal yang
sangat jelas pada periode ini adalah menonjolnya tekad para pemimpin
bangsa Indonesia untuk mengubah tatanan perekonomian Indonesia yang
liberal-kapitalistik menjadi tatanan perekonomian yang sesuai dengan
semangat pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Sebagaimana diketahui, dalam pasal 33 UUD 1945, semangat Koperasi


ditempatkan sebagai semangat dasar perekonomian bangsa Indonesia.
Melalui pasal itu, bangsa Indonesia bermaksud untuk menyusun suatu sistem
perekonomian bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Sebagaimana
dikemukakan oleh Bung Hatta, yang dimaksud dengan usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan dalam pasal 33 ayat 1 UUD 1945 itu, tidak
lain dari Koperasi sebagaimana dikemukakan di dalam penjelasan pasal
tersebut. Karena itulah, di dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945, Koperasi
dinyatakan sebagai bangun usaha yang sesuai dengan sistem perekonomian
yang hendak dikembangkan di Indonesia.
Agar pengembangan Koperasi benar-benar sejalan dengan semangat
pasal 33 UUD 1945, maka pemerintah Indonesia melakukan reorganisasi
terhadap Jawatan Koperasi dan Perdagangan Dalam Negeri menjadi dua
jawatan yang terpisah. Urusan pembinaan Koperasi dilimpahkan sepenuhnya
kepada Jawatan Koperasi. Jawatan inilah yang bertugas menyusun program-
program pengembangan Koperasi.

Berkat hasil kerja jawatan Koperasi, perkembangan Koperasi pada


masa ini mendapat dukunagn penuh dari masyarakat. Secara keseluruhan,
setidak-tidaknya sampai dengan tahun 1949, perkembangan Koperasi di
Indonesia dikatakan cukup pesat. Namun, perkembangan yang
menggembirakan hanya berlangsung sementara. Sebagai akibat dari
diterapkannya sistem demokrasi liberal, perkembangan Koperasi kembali
terombang-ambing. Partai-partai politik yang ada cenderung memanfaatkan
Koperasi sebagai wadah untuk memperluas pengaruhnya. Dengan kata lain,
Koperasi pada masa ini cenderung hanya dijadikan sebagai alat politik. Hal
ini telah menyebabkan rusaknya citra Koperasi, dan hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan mereka.

Sejalan dengan perkembangan situasi politik dalam negeri yang tidak


bergitu menggembirakan, antara lain ditandai dengan dikeluarkannya dekrit
presiden pada tanggal 5 Juli 1959, maka keberadaan Koperasi terpaksa
disesuaikan dengan perkembangan kebijakan politik pemerintah pada masa
itu. Undang-Undang Koperasi No.79/1958 misalnya, yang disahkan
berdasarkan ketentuan UUDS 1950, menjadi tidak sesuai lagi dengan
kebijakan politik dan ekonomi pemerintah. Pemerintah kemudian
memberlakukan Peraturan Pemerintah No.60/1959, sebgai pengganti UU
No.79/1958.

Dalam PP No.60/1959, antara lain dinyatakan bahwa fungsi Koperasi


dalam sistem perekonomian Indonesia adalah sebagai alat untuk
melaksanakan praktik ekonomi terpimpin. Pada mulanya setelah
diberlakukan PP No.60/1959, perkembangan Koperasi terlihat semakin pesat.
Hal itu antara lain disebabkan oleh banyaknya bantuan Pemerintah kepada
Koperasi, serta dipermudahnya persyaratan pembentukan Koperasi.

Namun situasi yang cukup menggembirakan tersebut segera berakhir


dengan diterbitkannya UU Koperasi No.14/1965 sebagai pengganti PP
No.60/1959 dan memberlakukan. Penggantian undang-undang ini
menyebabkan perkembangan Koperasi menjadi memburuk. Hal yang sangat
menonjol pada masa ini adalah sulitnya bagi seseorang untuk menjadi
seorang anggota Koperasi, tanpa menggabungkan diri sebagai anggota
kelompok politik tertentu. Hal ini jelas menghancurkan citra Koperasi, dan
menguatkan pendapat masyarakat bahwa Koperasi hanyalah sekadar alat
bagi kepentingan kelompok tertentu.

2.4 Pertumbuhan dan perkembangan koperasi pada kurun waktu

(1950-1965).

Untuk mengatasi situasi yang tidak menggembirakan tersebut, serta


menyusul jatuhnya pemerintahan Soekarno pada tahun 1966, Perintah Orde
Baru kemudian memberlakukan UU No.12/1967 sebagai pengganti UU
No.14/1965. Pemberlakuan UU No.12/1967 ini disusul dengan dilakukannya
rehabilitasi Koperasi. Akibatnya, jumlah Koperasi yang ada pada tahun 1966
berjumlah sebanyak 73.406 buah, dengan anggota sebanyak 11.775.930
orang, pada tahun 1967 merosot secara drastis. Koperasi-koperasi yang
tidak dapat menyesuaikan diri dengan UU No.12/1967, terpaksa dibubarkan
atau membubarkan diri. Jumlah Koperasi pada akhir tahun 1969 hanya
tinggal sekitar 13.949 buah, dengan jumlah anggota sebanyak 2.723.056
orang.

Tapi kemudian, menyusul diberlakukannya UU No.12/1967, Koperasi


mulai berkembang kembali. Salah satu program pengembangan Koperasi
yang cukup menonjol pada masa ini adalah pembentukan Koperasi Unit Desa
(KUD). Pembentukan KUD ini merupakan penyatuan (amalgamasi) dari
beberapa Koperasi pertanian yang kecil dan banyak jumlahnya di pedesaan.
Di samping itu, dalam periode ini pengembangan Koperasi juga
diintegrasikan dengan pembangunan di bidang-bidang lain.

Hasil yang dicapai dari kebijakan Pengembangan Koperasi itu antara


lain tampak pada peningkatan jumlah Koperasi. Sebagaimana tampak pada
tabel 3.1, bila pada akhir Pelita I jumlah Koperasi tinggal sekitar 13.523
buah, maka pada akhir Pelita III jumlah Koperasi telah meningkat kembali
sekitar 24.791 buah. Sedangkan pada akhir Pelita V yang lalu, jumlah
Koperasi secara keseluruhan telah mencapai sekitar 37.560 buah, atau
meningkat sekitar 3 kali lipat dari keadaan akhir Pelita I.

Sejalan dengan peningkatan jumlah Koperasi tersebut, jumlah anggota,


modal, volume usaha, dan sisa hasil usaha Koperasi juga turut meningkat.
Jumlah anggota Koperasi misalnya, meningkat dari sekitar 2,5 juta orang
pada akhir Pelita I, menjadi sekitar 19 juta orang pada akhir Pelita V.
Sedangkan volume usaha Koperasi, untuk periode yang sama, meningkat
dari sekitar 88,5 miliar menjadi sekitar Rp 4,9 triliun.

Tabel 3.1
Perkembangan Koperasi dan KUD

PELITA I - PELITA V

PELITA
No Uraian Satuan I II III IV V
1 Kop & KUD Unit 13,523 17,625 24,791 35,512 37,560
2 Anggota Orang 2478960 7615000 8507321 15823450 19167776
3 Modal Rp jt. 38,817 102,197 480,147 583,511 727,943
Volume
4 Usaha Rp jt. 88,401 421,981 1,490,112 4,260,190 4,918,474
5 SHU Rp jt. 2,656 9,859 22,000 86,443 120,376
Sumber : Departemen Koperasi, 1992

Terlepas dari pengembangan yang sepintas lalu tampak cukup


menggembirakan tersebut, betapa pun harus diakui bahwa perkembangan
Koperasi selama Orde Baru lebih menonjol segi kuantitatifnya. Sedangkan
dari segi kualitatifnya masih terdapat banyak kelemahan. Salah satu
kelemahan yang sangat menonjol adalah mencoloknya tingkat
ketergantungan Koperasi terhadap fasilitas dan campur tangan pemerintah.
Bahkan, Koperasi kadang-kadang terkesan sekedar sebagai kepanjangan
tangan pemerintah dalam menjalankan program-programnya.

Salah satu langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintah Orde


Baru untuk meningkatkan kemandirian Koperasi adalah dengan mengganti
UU Koperasi No.12/1967 dengan UU Koperasi No.25/1992. Melalui UU
No.25/1992 ini terjadi beberapa perubahan yang cukup mendasar, baik dari
segi pengertian Koperasi maupun pada berbagai aspek teknis
pengelolaannya.

2.5 Perkembangan Koperasi Pada Masa Pemerintahan Orde Baru dan


Reformasi

a. Perkembangan Koperasi Pada Masa Pemerintahan Orde Baru


Pemberontakan G30 S-PKI serta keberhasilan TNI melumpuhkan

gerakan tersebut adalah bentuk awal dari keruntuhan Orde Lama

dibawah komando Soekarno. Pemerintahan orde lama di-cap sebagai

sistem yang telah tidak berjalan sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945.Keadaan koperasi Indonesia pada masa tersebut bisa dibilang

cukup parah. Apalagi PKI bisa memasukkan idealisme mereka dalam

koperasi melalui embel - embel kekeluargaan pada masa itu. Pada

masa itu, koperasi sebagai salah satu roda perekonomian bangsa. Dari

hasil penelusuran, pejabat menteri koperasi pada masa itu Achadi dan

beberapa stafnya diamankan.

Berikutnya terbentuk tatanan pemerintahan di bawah Soeharto.


Seluruh aspek kehidupan dikembalikan pada jalur idealisme pancasila
dan UUD 1945. Koperasi ditujukan agar kembali berperan utuh dalam
mendukung pencapaian yang sesuai dengan UUD 1945 pasal 33.
Kemudian kembali ditekankan penerapan sebuah koperasi harus
berdasarkan asas yang berlaku yaitu :
1. Menumbukan dan menjaga dasar-dasar demokrasi Pancasila;
2. Menumbuhkan dan menjaga kembali pemahaman bahwasanya

koperasi harus mempunyai dasar swadaya untuk menngapai

tujuan yang mulia. Pembinaan pemerintah dalam hal ini

diperlukan namun hanya terbatas pada hal yang dianggap

penting saja
3. Penyusunan kebijaksanaan aturan tentang koperasi yang

bermanfaat dalam memberikan dorongan untuk berdaya

manfaat.
4. Mempersiapkan pengantian UU Koperasi no 14 tahun 1965

karena dianggap tidak begitu relevan lagi dengan UUD 1945

pasal 33 ayat (1).

Sebagai jalan keluar untuk melaksanakan asas yang akan


diterapkan di atas pada sistem perkoperasian Indonesia, maka di bulan
Juli tahun 1966, berdasarkan Keputusan MPRS noXXIII/MPRS/1966,
sepakat diadakan mufakat nasional untuk kembali menata dasar
koperasi serta rehabilitasi sistem koperasi, mengingat sebelumnya
dianggap telah disusupi idealisme PKI. Akhirnya terbentuk undang -
undang tentang koperasi yang baru yaitu UU no 12 tahun 1967
mengenai pokok perkoperasian. Inilah yang menjadi landasan pokok
dalam perkoperasian pada masa orde baru dan dianggap telah sesuai
dengan pasal 33 UUD 1945.

Lebih lanjut dalam sistemnya, dalam kabinet Ampera koperasi


bernaung dibawah Departemen dalam negeri di bawah pembinaan
Direktorat Jenderal Koperasi. Dalam beberapa kabinet koperasi pernah
pindah naungan ke Departemen Transmigrasi dan Koperasi. Namun
semenjak kabinet Pembangunan IV koperasi berdiri sendiri dibawah
Kementerian koperasi dengan menteri pertamanya Bustanil Arifin SH.

Bahkan, gencarnya kembali menggiatkan koperasi pada masa


Orde Baru, pernah ada pendidikan koperasi dengan nama Sekolah
Koperasi Menengah Atas. Juga dikenal Akademi Koperasi (AKOP). Pada
akhirnya pada tanggal 12 Juli 1984 Soeharto meresmikan Institut
Koperasi Indonesia di Jatinangor, Bandung.

Demikianlah perkembangan koperasi pada masa Orde baru.


Terlihat bagaimana peralihan dan proses rehabilitasi di masa ini.
Perkoperasian di masa ini tergolong berkembang pesat. Dibuktikan
dengan pendirian institut khusus untuk koperasi.

b. Perkembangan Koperasi Pada Masa Pemerintahan Reformasi


Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang dan digantikan oleh

reformasi, perkembangan koperasi mengalami peningkatan. Dalam era

reformasi pemberdayaan ekonomi rakyat kembali diupayakan melalui

pemberian kesempatan yang lebih besar bagi usaha kecil dan koperasi.

Untuk tujuan tersebut seperti sudah ditetapkan melalui GBHN Tahun

1999. Pesan yang tersirat didalam GBHN Tahun 1999 tersebut bahwa

tugas dan misi Koperasi dalam era Reformasi sekarang ini, yakni
Koperasi harus mampu berfungsi sebagai sarana pendukung

pengembangan usaha kecil, sarana pengembangan partisipasi

masyarakat dalam pembangunan, serta sebagai sarana untuk

pemecahan ketidak selarasan di dalam masyarakat sebagai akibat dari

ketidak merataannya pembagian pendapatan yang mungkin terjadi.

Pada masa reformasi, jika dihitung secara kuantitatif jumlah


koperasi di Indonesia cukup banyak. Berdasarkan data Departemen
Koperasi & UKM pada tahun 2004 tercatat 130.730 koperasi, tetapi
yang aktif hanya mencapai 28,55 persen, sedangkan yang
menjalankan rapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42 persen saja
(www.depkop.go.id). Dengan demikian, dari segi kualitas, keberadaan
koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan
mengikuti tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan
dan kesejahteraan para anggotanya.

Di era Reformasi, kebijakan pengembangan Koperasi menjadi

tanggung jawab Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

Mengacu pada Peraturan Presiden RI Nomor 09/M/2005 Tanggal 31

Januari 2005, bahwa kedudukan Kementrian Koperasi dan UKM adalah

unsur pelaksana Pemerintah dengan tugas membantu Presiden untuk

mengkoordinasikan perumusan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan

kebijakan pemberdayaan Koperasi dan UMKM di Indonesia.

Tugas Kemnentrian Koperasi dan UKM adalah merumuskan

kebijakan dan mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan,

pemantauan serta pengendalian pemberdayaan Koperasi dfan UMKM

di Indonesia.
Daftar Pustaka

Baswir, Revrisond. 2015. Koperasi Indonesia, Edisi kedua. Yogyakarta: BPFE.

Revrisond Baswir. 2000. Koperasi Indonesia. Yogyakarta : BPFE

http://ruangbelajarekonomi.blogspot.co.id/2016/11/perkembangan-koperasi-pada-masa-

orde.html
http://repository.ut.ac.id/3973/1/ESPA4323-M1.pdf
https://kopontrennurulihsan.wordpress.com/blog/perkembangan-koperasi-dalam-masa-reformasi/

Anda mungkin juga menyukai