Oleh
Mindo Cindy Rebecca, S.Kep
141121011
ABSTRAK
ABSTRACT
Social development that occurs in the teenage group is very influential on the
development of adolescent behavior, some juvenile delinquency that can happen
one of them is drug abuse. The impact of drug abuse and dependence in terms of
social and psychological is the occurrence of psychological or psychiatric
disorders. One approach to counseling that can be used to reduce the impact of
psychological counselees drug addiction in adolescents is Cognitive Behaviour
Therapy. This therapy can overcome the psychological problems because it is a
treatment that combines aspects of scientific, philosophical and behavior into a
comprehensive approach to understanding and overcoming psychological
common problems. The application of cognitive behavioral therapy has been
practiced in a community that is in the complex kowilhan Desa Delitua
Kecamatan Namorambe. The results of the application of cognitive behavioral
therapy in the complex kowilhan desa delitua kecamatan namorambe is presence
of reduction the desire to use drugs, So we can conclude this therapy is very
effective for handling cases in adolescent drug users caused by an error in
thinking or cognitive distortions.
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena
tugas akhir ini. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam
dan pengarahan dari berbagai pihak, maka kesempatan ini dengan segala
Sumatera Utara.
pendidikan.
i
7. Kepada orang-orang terkasih yang telah merawat, menyayangi dan mendidik
11. Semua pihak yang turut mendukung penulis dalam penyusunan laporan ini
laporan ini baik dari segi materi maupun penulisan, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun dalam
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
iii
BAB IV ANALISA KASUS ...................................................................... 36
4.1 Analisa Pengkajian ............................................................ 36
4.2 Analisa Diagnosa Keperawatan......................................... 38
4.3 Analisis Intervensi dan Evaluasi Keperawatan ................. 38
4.4 Analisis Implementasi dan Evaluasi Keperawatan ........... 39
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masa remaja adalah masa yang paling krusial karena dalam masa ini
remaja dapat meluapkan emosi yang dirasakan. Menurut Muss (dalam Santrock,
2007) menyatakan bahwa pada masa remaja pasti mengalami perubahan fisik
seperti perubahan tinggi badan, berat badan serta perkembangan seksualitas. Hal
ini yang kemudian mendukung terjadinya perubahan secara psikologis dan
emosional pada remaja. Selain itu, menurut Piaget ( dalam Santrock, 2007 ) masa
remaja berada pada tahap operasional formal ( formal operation stage ) yaitu tahap
keempat dan terakhir dari perkembangan kognitif ini ditandai dengan remaja telah
mampu berfikir secara abstrak, logis dan idealis yang biasanya ditunjukkan
melalui bagaimana remaja menyelesaikan masalahnya.
Sementara itu Erikson dalam Elvi (2005) mengemukakan bahwa remaja
merupakan masa dimana terbentuknya suatu perasaan baru mengenai dirinya yang
meliputi cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal oleh orang lain,
sehingga berpengaruh pula terhadap pembentukan perilaku pada usia remaja yang
cenderung sering bertentangan dengan orang tua dan lebih memihak kepada
teman sebaya. Menurut Elvi (2005), pada masa ini berkembang pula kemampuan
untuk memahami orang lain. Pemahaman ini mendorong remaja untuk menjalin
hubungan persahabatan maupun percintaan yang lebih akrab seperti halnya
dengan membentuk sebuah kelompok. Perkembangan pergaulan yang terjadi
dalam kelompok remaja dapat memberi dampak positif maupun negatif. Oleh
karena itu teman sebaya juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan perilaku
remaja, beberapa kenakalan remaja yang dapat terjadi seperti penyalahgunaan
Napza.
Pemakaian NAPZA terus menerus dan berlebihan dapat mengakibatkan
ketergantungan fisik dan atau psikologis, serta dapat menyebabkan kerusakan
sistem saraf dan organ penting lainnya (Depkes, 2010). Menurut NAAA (National
survey of American Attitudes on substance Abuse) pada tahun 2012 sebanyak 86%
remaja SMA di amerika menggunakan napza selama jam sekolah dan 44% siswa
1
2
1.4. Manfaat
1. Mahasiswa Keperawatan
Manfaat dari kegiatan PBLK ini bagi mahasiswa yaitu diharapkan
mampu mencapai kompetensi utama perawat profesional yaitu mengelola
manajemen asuhan keperawatan pada klien secara individu dan
pengelolaan pelayanan keperawatan dengan menggunakan metode
asuhan keperawatan pada ruang rawat secara professional .
2. Institusi Pendidikan
Untuk meningkatkan kompetensi lulusan institusi dan menghasilkan
tugas akhir dalam bentuk karya tulis ilmiah. Perawat mampu
menyelesaikan masalah secara ilmiah yang ditumbuhkan secara langsung
berhubungan dengan pasien dan dalam membantu memenuhi kebutuhan
pasien melalui tahapan proses keperawatan, memiliki sikap dan tingkah
laku profesional yang dituntut dari seorang perawat dalam melaksanakan
asuhan keperawatan dan kehidupan profesi dan mampu belajar aktif dan
mandiri pada pengalaman praktik di lapangan.
3. Lahan Praktek
Sebagai sumber pengembangan ilmiah dalam meningkatkan mutu
pelayanan dengan penerapan intervensi kasus sesuai dengan kasus
kelolaan mahasiswa dan menambah intervensi bagi perawat ruangan
dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien secara komprehensif.
Terapi perilaku kognitif diharapkan dapat menjadi rujukan sebagai terapi
untuk menangani kasus pada remaja pengguna napza yang disebabkan
oleh kesalahan dalam berfikir atau distorsi kognitif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Napza
2.1.1 Pengertian Napza
Napza adalah akronim dari Narkotik, Alkohol, Psikotropika, dan Zat
Adiktif lainnya (Kemenkes RI, 2010). Kesemua zat tersebut sebenarnya adalah
termasuk zat psikoaktif. Namun karena Indonesia memiliki undang-undang
tersendiri untuk narkotika dan psikotropika maka istilahnya juga dibuat berdiri
sendiri-sendiri. Alkohol juga dijadikan istilah tersendiri karena alkohol merupakan
minuman yang mudah dan sering dikonsumsi oleh masyarakat baik di daerah rural
maupun urban. Zat adiktif lainnya ditambahkan karena selain narkotik,
psikotropika dan alkohol masih terdapat zat-zat lain yang bersifat adiktif.
2.1.2 Jenis-Jenis Napza
Napza memiliki beberapa jenis, menurut undang-undang NAPZA dibagi
menjadi tiga golongan utama yaitu narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
Undang-undang RI nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika mendefinisikan
narkotika sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika digolongkan menjadi tiga golongan utama yaitu: Yang memiliki
potensi sangat tinggi menimbulkan ketagihan seperti heroin atau putau, kokain
dan ganja, Yang memiliki potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan seperti
morfin dan petidin, Yang berpotensi ringan mengakibatkan ketergantungan,
contohnya: kodein.
Narkotika yang sering disalahgunakan seperti opiat (morfin, putau, petidin, candu
dan lain-lain ), ganja atau cannabis, dan kokain yang biasa dalam bentuk serbuk
kokain.
Psikotropika menurut undang-undang RI nomor 5 tahun 1997 merupakan
zat atau obat, alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
5
6
khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika digolongkan menjadi empat
dengan didasarkan pada potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Golongan pertama berpotensi amat kuat, kedua berpotensi kuat, ketiga berpotensi
sedang, dan keempat berpotensi ringan. Psikotropika yang sering disalahgunakan
misalnya psikostimulan contohnya amfetamin, ekstasi dan shabu. Kemudian
sedatif hipnotik yaitu obat penenang dan obat tidur seperti mogadon, BK,
dumolid, pil koplo, lexo dan lain sebagainya. Golongan psikotropika halusinogen
yang sering disalahgunakan seperti lysergic acid diethylamide dan mushroom.
Alkohol merupakan semua jenis minuman yang menggandung etil-alkohol
atau etanol seperti wiski, vodka, bir, arak, tuak dan ciu (Joewana, 2005). Menurut
Keppres No.3 tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman
beralkohol sering menjadi bagian dari gaya hidup atau dari budaya tertentu.
Alkohol jika dkonsumsi dengan narkotika atau psikotropika akan memperkuat
pengaruh obat atau zat itu dalam tubuh manusia.
Zat adiktif lainnya seperti inhalan dan solven, tembakau dan kafein
(Depkes, 2006). Inhalan dan solven mudah menguap dan banyak terdapat di
barang keperluan rumah tangga yang akhirnya banyak disalahgunakan seperti
lem, tiner, penghapus cat kuku dan bensin. Tembakau dan kafein merupakan zat
yang bila dikonsumsi dengan cara berlebih mampu menimbulkan masalah
kesehatan. Rokok dan tembakau biasanya merupakan pintu masuk
penyalahgunaan NAPZA pada remaja sehingga banyak dilakukan upaya
pencegahan penggunaan barang tersebut (Depkes, 2006). Kafein yang merupakan
zat stimulan dapat menimbulkan ketergantungan jika dikonsumsi melebihi 100
mg per hari atau dua cangkir kopi.
Napza berdasar efeknya terhadap susunan syaraf pusat digolongkan
menadi tiga yaitu depresan, stimulan dan halusinogen (Depkes, 2006). Golongan
depresan adalah jenis Napza yang berfungsi mengurangi aktivitas fungsional
tubuh. Jenis ini membuat pemakainya tenang, pendiam dan bahkan membuatnya
tertidur dan tidak sadarkan diri. Contohnya opioida (morfin, putau, kodein),
sedatif-hipnotik, tranquilizer (anti cemas), alkohol dalam dosis rendah dan lain-
lain. Golongan stimulan adalah jenis zat yang merangsang fungsi susunan saraf
7
pusat (Joewana, 2005; Sullivan, 1995). Zat ini meningkatkan fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan untuk bekerja sehingga pemakaiannya menjadi aktif,
segar dan bersemangat. Contohnya adalah kokain amfetamin (shabu dan ekstasi),
dan kafein. Ekstasi dan shabu-shabu adalah golongan stimulan yang sering
disalahgunakan di Indonesia (Joewana, 2005).
Selain efek positif yang diharapkan, pengguna dapat memperoleh efek
negatif dari penyalahgunaan jenis psikotropika ini. Pengguna met-amfetamin atau
shabu-shabu berkepanjangan dapat menimbulkan komplikasi medis
kardiovaskuler seperti takikardi, aritmia jantung, tekanan darah naik, stroke dan
lainnya. Selain itu juga dapat menimbulkan waham, halusinasi, aktivitas motor
berulang tanpa ada tujuan, tiba-tiba agresif dan gangguan efek (Neagle &
D’Avanzo, 2001).
Penggunaan met-amfetamin dalam dosis tinggi berulang kali sering
dihubungkan dengan perilaku kekerasan dan psikosis paranoid karena ini
merupakan salah satu efek penggunaan (Joewana, 2005). Masalah psikosis sendiri
juga paling sering muncul pada pengguna amfetamin, sedangkan untuk efek
negatif MDMA dapat mengganggu daya ingat, konsentrasi, belajar, tidur serta
kerja ginjal dan jantung (Joewana, 2005).
Golongan ketiga adalah halusinogen. Sesuai dengan namanya, jenis
NAPZA ini mampu membuat efek halusinasi yang mampu merubah perasaan dan
pikiran, seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda yang berakibat pada
terganggunya perasaan pemakai. Golongan ini biasanya tidak digunakan dalam
terapi medis. Contoh halusinogen adalah ganja atau cannabis, LSD, berbagai jenis
jamur dan kecubung. Ganja adalah salah satu jenis halusinogen yang sering
disalahgunakan memiliki banyak nama seperti cannabis atau mariyuana. Zat yang
biasa dikonsumsi dengan cara dihirup asapnya ini memiliki efek menimbulkan
halusinasi penglihatan berupa kilatan sinar, bentuk-bentuk amorf, warna-warni
cemerlang, bentuk-bentuk geometris, figur dan wajah orang (Jung, 2010).
Persepsi waktu dan jarak karena pemakaian ganja juga akan terganggu
misalnya semenit jadi sepuluh menit, semeter jadi sepulih meter, hal ini akan
mengkhawatirkan jika pengguna sedang berkendara. Meskipun awalnya
8
pemakaiannya dapat membuat ansietas, rasa takut serta gelisah, namun akhirnya
mampu memberi efek menenangkan dan euforia. Pemakaian jangka panjang ganja
dapat mempengaruhi pikiran, menurunkan kemampuan baca, berbicara dan
berhitung, serta menghambat perkembangan kemampuan sosila dan mendorong
pengguna menghindari masalah bukannya menyelsesaikan masalah (Jewana,
2005).
Napza adalah jenis medikasi yang tidak dilegalkan penggunaannya secara
sembarangan. Hal ini dikarenakan efek negatif yang mampu timbul dari
pemakaiannya.secara umum, penyalahgunaan segala jenis Napza secara
berkepanjangan mampu mengubah perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, dan
kesadaran pemakainya karena zat psikoaktif ini bekerja pada otak (Joewana,
2005). Kerja obat yang berpengaruh langsung pada kerja sel otak menimbulkan
efek perubahan kinerja pada organ lain dimana jika terjadi secara terus menerus
mampu menimbulkan perubahan pada sel otak yang nantinya mengganggu kerja
organ dan berakhir pada komplikasi medis. Selain itu juga efek lain selain
komplikasi medis juga muncul atau memperberat masalah psikosis seperti waham,
halusinasi, dipersonalisasi dan masalah psikosis lainnya (Sullivan, 1995).
2.1.3 Penyalahgunaan Napza
Penyalahgunaan Napza di Indonesia berdasarkan survey yang dilakukan di
16 provinsi dengan mengambil sampel setiap masing-masing provinsi satu daerah
urban (kota) dan satu daerah rural (kabupaten), menunjukkan bahwa angka
penyalahgunaan Napza oleh pelajar dan mahasiswa lebih tinggi dikota daripada
dikabupaten. Pada daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Kalimantan Tengah angka penyalahgunaan Napza cenderung stabil dari tahun
2006, 2009 dan 2011. Namun untuk DKI Jakarta cenderung menunjukkan
peningkatan. Hal ini juga didukung data dari BNN yang menunjukkan kesatuan
Metro jaya menduduki peringkat pertama sebagai daerah yang paling rawan untuk
kasus narkoba.
Penyalahgunaan obat merupakan kebebasan, penggunaan secara terus
menerus akan perubahan pemikiran terkait penggunaan zat (biasanya untuk alasan
selain kepentingan medikasi yang legal) yang berakibat pada gangguan fisik,
9
mental, emosional, dan sosial pengguna, keluarga pengguna dan komunitas dalam
berbagai tingkatan (Carroll, 2000). Penyalahgunaan zat juga dapat diartikan
sebagai penggunaan zat yang bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung
satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi
sosial (Joewana, 2005).
Penyalahgunaan zat seperti Napza memilki karakteristik khusus seperti
intoksikasi, toleransi, toleransi silang, ketergantungan, kehilangan kontrol,
peningkatan dorongan, nagih (craving), progressive nature, dan penggunaan
mekanisme pertahanan (Sullivan, 1995). Intoksikasi adalah kondisi yang timbul
akibat menggunakan Napza sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif,
persepsi, afek atau mood, perilaku atau fungsi dan respon psikofisiologis lainnya.
Toleransi adalah kondisi dimana kebutuhan akan dosis Napza semakin meningkat
untuk dapat memperoleh efek yang sebelumnya diperoleh. Sedangkan toleransi
silang terjadi jika seseorang telah toleran dengan salah satu zat psikoaktif, dia juga
toleran dengan zat psikoaktif lain yang memiliki fungsi farmakologis sama.
Pada penyalahgunaan zat-zat adiktif tersebut respon selanjutnya yang
timbul adalah munculnya ketergantungan yang merupakan suatu kelompok
fenomena fisiologis, perilaku dan koginitif akibat pengguna suatu Napza tertentu
yang mendapat prioritas lebih tinggi bagi individu tertentu daripada yang pernah
diunggulkan pada masa lalu (Kemenkes, 2010). Ketergantungan biasanya dibagi
menjadi ketergantungan psikis dan fisik. Kriteria lain yang muncul seperti rasa
nagih dimana klien akan memiliki perasaan yang kuat untuk terus menggunakan.
Selain itu muncul reinforcement, dimana pemakai memperlihatkan kondisi atau
performa yang lebih setelah menggunakan zat.
Penyalahguna Napza seringkali akan kehilangan kontrol dalam mengatur
pemakaian Napza yang membuatnya kehilangan kontrol juga akan kehidupannya.
Hal ini juga dikarenakan faktor proses progesif alami (progessive nature) yang
dialami yaitu dimana pemakai akan lebih mementingkan penggunaan zat daripada
aspek kehidupannya yang lain. Hal ini berakibat pemakai akan mengurangi
aktivitas dan membatasi pada aktivitas dan teman yang mendukung untuk
memakai Napza. Akhirnya pemakai akan sering menunjukkan mekanisme
10
Segala upaya yang dilakukan untuk mengatasi stress disebut dengan mekanisme
koping (Stuart & Laraia, 2005).
Mekanisme koping tersebut terdiri dari tiga tipe yaitu koping berfokus
pada masalah, koping yang berfokus pada emosi dan koping berfokus dengan
kognitif (Stuart & Laraia, 2005). Koping berfokus pada masalah menunjukkan
pada usaha langsung untuk memperbaiki sebuah keadaan dengan membuat
perubahan atau mengambil sebuah tindakan. Misalnya dengan cara negosiasi,
konfrontasi dan mencari pertimbangan koping yang berfokus pada emosi dimana
seseorang lebih berorientasi untuk mengurangi distres emosi. Contoh koping
berfokus pada emosi termasuk penggunaan mekanisme pertahanan ego seperti
penolakan, supresi atau proyeksi. Cara religius dan menerima adanya masalah
adalah cara lain yang sering muncul juga pada koping berfokus pada emosi ini.
Sedangkan seseorang dengan koping yang berfokus dengan kognitif akan
mengontrol arti masalah tersebut dan menetralisasinya. Misalnya dengan
melakukan perbandingan yang positif, penggantian dari suatu hadiah, melakukan
ketidaktahuan yang selektif dan akan objek yang diinginkan.
2.2.2 Jenis-Jenis Koping
Jenis koping yang dapat dilakukan dan muncul pada mekanisme koping
berfokus pada masalah seperti menunjukkan keaktifan diri. Seseorang mencoba
menghilangkan atau mengelabuhi penyebab stres untuk meminimalisasikan
dampak dan usaha ini menunjukkan adanya usaha langsung. Kemudian seseorang
juga mampu melakukan perencanaan yaitu memikirkan bagaimana mengatasi
stres dengan membuat strategi tindakan yang perlu dimbil. Individu juga mampu
menunjukkan kontrol diri dalam memutuskan waktu melakukan tindakan yang
tepat. Terakhir, individu yang menggunakan koping berfokus pada masalah
mampu mencari nasehat, pertolongan, informasi, dukungan moral, empati dan
pengertian. Setiap individu dalam melakukan koping tidak hanya menggunakan
satu strategi tetapi dapat melakukannya bervariasi, hal ini tergantung dari
kemampuan dan kondisi individu (Rasmun, 2004).
Mekanisme koping yang digunakan dapat bersifat konstuktif dan dapat
bersifat destruktif (Stuart & Laraia, 2005). Koping yang konstruktif jika
12
mampu menolong konseli untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam
diri konseli dan secara kuat mencoba menguranginya (Oemarjoedi, 2003).
Dalam proses konseling, beberapa ahli CBT (NACBT, 2007 dalam
Oemarjoedi, 2003) berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting
dalam konseling. Oleh sebab itu CBT dalam pelaksanaan konseling lebih
menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti
mengabaikan masa lalu. CBT tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari
hidup konseli dan mencoba membuat konseli menerima masa lalunya, untuk tetap
melakukan perubahan pada pola pikir masa kini untuk mencapai perubahan di
waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, CBT lebih banyak bekerja pada status
kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif
positif.
2.3.6 Fokus Konseling
CBT merupakan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau
pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya
baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke masa depan disbanding masa
lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah cara berpikir, kepercayaan,
sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli belajar mengenali dan
mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek behavioural dalam
CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan
kebiasaan merekreasi permasalahan, belajar mengubah perilaku, menenangkan
pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih jelas.
2.3.7 Prinsip – Prinsip Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
Walaupun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau
permasalahan konseli, tentunya konselor harus memahami prinsip – prinsip yang
mendasari CBT. Pemahaman terhadap prinsip – prinsip ini diharapkan dapat
mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi dalam merencanakan
proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik – teknik CBT. Berikut
adalah prinsip – prinsip dasar dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan
oleh Beck (2011) :
20
stress. Oleh karena itu pernyataan klinis yang menyatakan bahwa sia – sia
untuk berdebat dengan pasien waham mungkin dapat dianggap benar pada
situasi tertentu, tetapi penelitian – penelitian menunjukkan bahwa CBT
dapat secara bertahap melemahkan kepercayaan terhadap waham, yang
kemudian akan mengurangi kecenderungan untuk berlaku seperti
kepercayaan tersebut (Heydebrand, 2002).
2) CBT untuk Halusinasi
Untuk intervensi langsung (yaitu mengajari pasien untuk mengatasi
suara – suara) terdapat dua cara yang benar – benar bertentangan :
pengalihan dan pemusatan. Akan tetapi, keduanya berdasarkan dalil bahwa
pengalaman halusinasi menyebabkan ansietas yang berhubungan dengan
fungsi dan dengan demikian membuat gejala ini terus menetap.
Pada metode pengalihan, pasien diajari untuk mendengarkan music
(misalnya menggunakan handphone), membaca, melakukan metode lain
untuk menjauhkan pusat perhatian mereka dari rangsang internal. Jadi,
halusinasi sebaiknya dihilangkan melalui penurunan ansietas dan
reaktifitas.
Pada metode pemusatan, pasien mengikuti suatu pendekatan
desensitisasi untuk membiasakan mereka dengan gagasan bahwa suara –
suara yang mereka alami adalah gejala psikologis yang dapat mereka
control. Pertama, mereka dilatih untuk mengidentifikasi dan menjelaskan
gambaran fisik dari halusinasi (jumlah, kekerasan, jenis kelamin, aksen,
lokasi). Melacak gejala dan membicarakan pengalamannya bertujuan agar
tidak membingungkan proses.
Selanjutnya, isi dari halusinasi, serta pikiran dan emosi yang terkait,
dicatat. Dalam mengulas pola halusinasi seseorang, pasien dapat mulai
menyadari bahwa hal tersebut ditimbulkan oleh stressor tertentu, dan
bahwa hal itu juga menyebabkan ansietas, kemarahan, atau putus asa.
Kemudian, menmyadari bahwa gagasan tersebut tidak datang dari Tuhan
atau setan tetapi akibat dari gejolak dopamine dalam sistem limbik.
Akhirnya, pasien diminta untuk menggambarkan apa arti dari suara – suara
26
masalah yang sedang dialami yang dapat mempengaruhi diri pasien (Priharjo,
1993).
Bagian-bagian tersebut antara lain, situasi masalah, kejadian atau situasi
yang sulit dapat diikuti oleh pikiran, emosi, perasaan, tindakan dan tingkah laku.
Masing-masing bagian itu dapat mempengaruhi satu sama lain. Bagaimana cara
pasien mengendalikan respon atau keinginan dalam pemakaian napza yang
dialami dapat mempengaruhi, bagaimana juga pasien merasakannya secara fisik
dan secara emosional (Tamsuri, 2007), Sebagai contoh, ketika pasien dengan
kasus pemakaian napza mulai akrab merasakan sensasi terhadap pemakaian napza
tersebut, pasien mungkin mempunyai indra untuk mengetahui bagaimana perasaan
itu akan berkembang (Priharjo, 1993).
Terapi perilaku kognitif seseorang dapat latihan berfikir yang lebih
spesifik guna meningkatkan kemampuan koping dan kontrol perasaan. Terapi
dapat mendorong seseorang untuk merubah cara dan respon terhadap gejala yang
timbul (Keefe.F.J, 1996). Terapi perilaku kognitif lebih efektif kerjanya bila
dilakukan bersamaan dengan adanya konsultan untuk mencapai tujuannya. Terapi
perilaku kognitif dapat membantu pasien dengan penyalahgunaan napza dengan
merubah cara berfikir terhadap akibat yang bisa ditimbulkan dari pemakaian
napza.
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian Keperawatan Jiwa
3.1.1 Identitas
Nama : Sdr. IL
Alamat : Jl. Subrasta VI No. 9 Komplek Kowilhan
Umur : 18 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Belum bekerja
Suku : Batak
Pendidikan : SMA
Status pernikahan : Belum Menikah
3.1.2 Keadaan umum
Sdr. IL mulai menggunakan narkotika jenis sabu sejak 3 tahun lalu. Berawal
dari ajakan kakak kelasnya untuk mencoba narkoba jenis sabu. Mulanya sabu
tersebut diberikan secara gratis setelah itu klien menjadi kecanduan dan akhirnya
sabu tersebut tidak diberikan secara gratis namun harus dibeli. Hingga saat ini
klien menjadi kecanduan sabu. Klien menyatakan bahwa dia belum pernah
menjalani pengobatan medis karena dia merasa tidak sakit. Klien mengkonsumsi
sabu ketika berkumpul dengan temannya yang sama-sama mengkonsumsi sabu.
Klien menyatakan dia tidak bisa lepas dari sabu karena jika tidak memakai sabu
tersebut badannya terasa tidak enak, lemas, dan tidak bergairah melakukan
aktivitas, klien pun merasa tidak percaya diri. Keluarga merasa resah dengan
keadaan klien yang selalu membuat masalah dilingkungan tempat tinggal seperti
mencuri, bertengkar dengan teman, dan lainnya. Dari hasil pengamatan pada
klien, mata terlihat cekung, pandangan tidak fokus pada saat wawancara, bicara
kadang tidak sesuai dengan topik.
3.1.3 Faktor Predisposisi
Klien tidak pernah mengalami gangguan jiwa dan tidak ada anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Sebelumnya tidak pernah mengalami
trauma seperti aniaya fisik, aniaya seksual, penolakan, kekerasan dalam keluarga.
29
30
Pelaksanaan CBT :
15 Pebruari 2017 : Sesi 1 – Sesi 2
17 Pebruari 2017 : Sesi 3 – Sesi 4
18 Pebruari 2017 : Sesi 5 – Sesi 6
20-21 Pebruari 2017 : Sesi 7 – Sesi 8
23 Pebruari 2017 : Sesi 9 – Sesi 10
Evaluasi pada pertemuan ketiga dimana penulis melakukan SP 1 adalah,
pada data subjektif klien mengatakan akan berusaha mengontrol keinginan klien
menggunakan napza, serta klien mengatakan akan berusaha menjalankan hidup
sehat demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pada data objektif, klien
sangat kooperatif dan klien tampak sangat antusias dalam mengikuti kegiatan.
Asesmen yang penulis dapatkan ada, masalah koping individu inefektif teratasi
35
36
37
5.2 Saran
Kegiatan PBLK ini sangat baik untuk menambah ilmu mahasiswa dalam
menerapkan tindakan keperawatan yang sudah dipelajari. Akan tetapi perlu
adanya sosialisasi terhadap mahasiswa mengenai proses PBLK ini, dimulai dari
jadwal PBLK, waktu yang konsisten pada saat mahasiswa menjalankan praktek
dilahan praktek dan pada saat mahasiswa menyelesaikan laporan PBLK dan
pengaturan format penulisan laporan PBLK karena kami mahasiswa ekstensi 2014
tidak mendapatkan sosialisasi megenai PBLK.
42
43
Purba, dkk (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial
dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press.
Stuart & Laraia. (2001). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. USA :
Mosby Company
44
45