Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN PRAKTIKA SENIOR

PENERAPAN TERAPI PERILAKU KOGNITIF PADA REMAJA


PENGGUNA NAPZA DENGAN MASALAH KOPING INDIVIDU
INEFEKTIF DI KOMPLEK KOWILHAN DESA DELITUA
KECAMATAN NAMORAMBE

Disusun Dalam Rangka Menyelesaikan


Mata Ajar Praktika Senior

Oleh
Mindo Cindy Rebecca, S.Kep
141121011

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS TAHAP PROFESI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017
Judul : Penerapan Terapi Prilaku Kognitif Pada Remaja Pengguna
Napza Dengan Koping Individu Inefektif di Komplek
Kowilhan Desa Delitua Kecamatan Namorambe.
Nama : Mindo Cindy Rebecca, S.Kep
NIM : 141121011
Program Studi : Pendidikan Ners Tahap Profesi Fakultas Keperawatan USU

ABSTRAK

Perkembangan pergaulan yang terjadi dalam kelompok remaja sangat


berpengaruh terhadap perkembangan perilaku remaja, beberapa kenakalan remaja
yang dapat terjadi salah satunya adalah penyalahgunaan NAPZA. Dampak
penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA dilihat dari segi sosial dan
psikologis adalah terjadinya gangguan psikis atau kejiwaan. Salah satu
pendekatan konseling yang dapat digunakan untuk mengurangi dampak psikologis
konseli adiksi obat pada remaja adalah Terapi Perilaku Kognitif. Terapi ini dapat
mengatasi masalah psikologi karena merupakan pengobatan yang
menggabungkan aspek ilmiah, filosofis dan perilaku menjadi satu pendekatan
yang komprehensif untuk memahami dan mengatasi masalah psikologi yang
umum. Penerapan terapi perilaku kognitif telah dilakukan di wilayah komunitas
yaitu di komplek kowilhan desa delitua kecamatan namorambe. Hasil evaluasi
penerapan terapi perilaku kognitif di komplek kowilhan desa delitua kecamatan
namorambe ini adalah adanya penurunan keinginan untuk menggunakan napza.
Maka dapat disimpulkan terapi ini sangat efektif untuk menangani kasus pada
remaja pengguna napza yang disebabkan oleh kesalahan dalam berfikir atau
distorsi kognitif.

Kata kunci : Terapi perilaku kognitif, Remaja, NAPZA


Title : Application of Cognitive behavioral Therapy in
Adolescent Who Use Drugs With Ineffective Individual
Coping Problem in Komplek Kowilhan Desa Delitua
Kecamatan Namorambe
Name : Mindo Cindy Rebecca, S.Kep
NIM : 141121011
Educational Studies : Phase Ners Program University of North Sumatera

ABSTRACT

Social development that occurs in the teenage group is very influential on the
development of adolescent behavior, some juvenile delinquency that can happen
one of them is drug abuse. The impact of drug abuse and dependence in terms of
social and psychological is the occurrence of psychological or psychiatric
disorders. One approach to counseling that can be used to reduce the impact of
psychological counselees drug addiction in adolescents is Cognitive Behaviour
Therapy. This therapy can overcome the psychological problems because it is a
treatment that combines aspects of scientific, philosophical and behavior into a
comprehensive approach to understanding and overcoming psychological
common problems. The application of cognitive behavioral therapy has been
practiced in a community that is in the complex kowilhan Desa Delitua
Kecamatan Namorambe. The results of the application of cognitive behavioral
therapy in the complex kowilhan desa delitua kecamatan namorambe is presence
of reduction the desire to use drugs, So we can conclude this therapy is very
effective for handling cases in adolescent drug users caused by an error in
thinking or cognitive distortions.

Keyword :Cognitive Behavioral Therapy, Adolescent, NAPZA


PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena

berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan

tugas akhir ini. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam

menyelesaikan mata ajar Praktika Senior Profesi Ners di Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara Tahun 2017 dengan judul “ Penerapan Terapi

Perilaku kognitif Pada Remaja Pengguna Napza Dengan Masalah Koping

Individu Inefektif di Komplek Kowilhan Desa Delitua Kecamatan Namorambe”.

Dalam penyusunan laporan ini penulis telah banyak mendapat bimbingan

dan pengarahan dari berbagai pihak, maka kesempatan ini dengan segala

kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Setiawan, S.Kp, MNS, Ph.D selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

2. Ns. Sri Eka Wahyuni, M.Kep selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ns. Cholina Siregar, M.Kep selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Siti Saidah Nasution, M.Kep.,Sp.Mat selaku Pembantu Dekan III

5. Jenny Marlindawani Purba, S.Kp, MNS, Ph.D sebagai dosen pembimbing

dalam penyusunan laporan ini, yang telah meluangkan waktu untuk

memberikan pengarahan, bimbingan maupun saran serta dorongan dalam

penyusunan laporan ini.

6. Dosen beserta staf Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang

telah memberikan bekal ilmu dan bimbingan selama penulis dalam

pendidikan.

i
7. Kepada orang-orang terkasih yang telah merawat, menyayangi dan mendidik

penulis, sehingga penulis dapat menjalani pendidikan sampai ke jenjang

universitas (Alm. Letkol. M. Panjaitan dan H. Simanjuntak) serta abang dan

adik ( Daniel Martin Panjaitan dan Floretta Panjaitan).

8. Kepada suamiku Benny JH Sihombing, putriku Makayla Aurora Silaban dan

Raquel Noela Silaban.

9. Kepada Sahabatku-sahabatku Evelina Lumbantoruan, Sari Lusiawati, Junita

butarbutar, Yosafat Ndraha, Supratman, dll.

10. Kepada teman-teman mahasiswa S1 Keperawatan Ekstensi 2014 yang telah

memberikan semangat dan masukan serta berbagi pengalaman selama

menjalani pendidikan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

11. Semua pihak yang turut mendukung penulis dalam penyusunan laporan ini

yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan penulis dalam penyusunan

laporan ini baik dari segi materi maupun penulisan, untuk itu penulis

mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun dalam

menyempurnakan laporan ini. Akhir kata penulis menyampaikan terimakasih dan

harapan penulis semoga bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Februari 2017


Penulis

Mindo Cindy Rebecca

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1


1.1. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................ 3
1.3. Tujuan PBLK ....................................................................... 3
1.4. Manfaat ................................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 5


2.1 Konsep Napza ...................................................................... 5
2.1.1 Pengertian Napza ..................................................... 5
2.1.2 Jenis-Jenis Napza ..................................................... 5
2.1.3 Penyalahgunaan Napza ............................................ 8
2.2 Konsep Koping .................................................................... 10
2.2.1 Pengertian Koping ................................................... 10
2.2.2 Jenis-Jenis Koping ................................................... 11
2.2.3 Konsep Mekanisme Koping Terhadap Pemakaian
Napza ....................................................................... 12
2.3 Cognitive Behaviour Therapy (CBT) Atau Terapi
Perilaku Kognitif ................................................................. 15
2.3.1 Pengertian Dasar CBT ............................................. 15
2.3.2 Psikopatologi CBT ................................................... 16
2.3.3 Indikasi CBT ............................................................ 17
2.3.4 Prosedur CBT........................................................... 18
2.3.5 Tujuan Konseling CBT ............................................ 18
2.3.6 Fokus Konseling ...................................................... 19
2.3.7 Prinsip – Prinsip Cognitive Behaviour Therapy
(CBT) ....................................................................... 19
2.3.8 Tehnik CBT pada Skizofrenia ................................. 22
2.3.9 Terapi Perilaku Kognitif Dalam Penggunaan
NAPZA .................................................................... 27

BAB III TINJAUAN KASUS .................................................................... 29


3.1 Pengkajian Keperawatan Jiwa ............................................. 29
3.2 Analisis Masalah dan Diagnosa Keperawatan ..................... 31
3.3 Pohon Masalah..................................................................... 31
3.4 Intervensi Keperawatan ....................................................... 31
3.5 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan ............................ 32

iii
BAB IV ANALISA KASUS ...................................................................... 36
4.1 Analisa Pengkajian ............................................................ 36
4.2 Analisa Diagnosa Keperawatan......................................... 38
4.3 Analisis Intervensi dan Evaluasi Keperawatan ................. 38
4.4 Analisis Implementasi dan Evaluasi Keperawatan ........... 39

BAB V PENUTUP .................................................................................... 42


5.1 Kesimpulan ........................................................................ 42
5.2 Saran .................................................................................. 42

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masa remaja adalah masa yang paling krusial karena dalam masa ini
remaja dapat meluapkan emosi yang dirasakan. Menurut Muss (dalam Santrock,
2007) menyatakan bahwa pada masa remaja pasti mengalami perubahan fisik
seperti perubahan tinggi badan, berat badan serta perkembangan seksualitas. Hal
ini yang kemudian mendukung terjadinya perubahan secara psikologis dan
emosional pada remaja. Selain itu, menurut Piaget ( dalam Santrock, 2007 ) masa
remaja berada pada tahap operasional formal ( formal operation stage ) yaitu tahap
keempat dan terakhir dari perkembangan kognitif ini ditandai dengan remaja telah
mampu berfikir secara abstrak, logis dan idealis yang biasanya ditunjukkan
melalui bagaimana remaja menyelesaikan masalahnya.
Sementara itu Erikson dalam Elvi (2005) mengemukakan bahwa remaja
merupakan masa dimana terbentuknya suatu perasaan baru mengenai dirinya yang
meliputi cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal oleh orang lain,
sehingga berpengaruh pula terhadap pembentukan perilaku pada usia remaja yang
cenderung sering bertentangan dengan orang tua dan lebih memihak kepada
teman sebaya. Menurut Elvi (2005), pada masa ini berkembang pula kemampuan
untuk memahami orang lain. Pemahaman ini mendorong remaja untuk menjalin
hubungan persahabatan maupun percintaan yang lebih akrab seperti halnya
dengan membentuk sebuah kelompok. Perkembangan pergaulan yang terjadi
dalam kelompok remaja dapat memberi dampak positif maupun negatif. Oleh
karena itu teman sebaya juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan perilaku
remaja, beberapa kenakalan remaja yang dapat terjadi seperti penyalahgunaan
Napza.
Pemakaian NAPZA terus menerus dan berlebihan dapat mengakibatkan
ketergantungan fisik dan atau psikologis, serta dapat menyebabkan kerusakan
sistem saraf dan organ penting lainnya (Depkes, 2010). Menurut NAAA (National
survey of American Attitudes on substance Abuse) pada tahun 2012 sebanyak 86%
remaja SMA di amerika menggunakan napza selama jam sekolah dan 44% siswa

1
2

SMA mengetahui siswa yang menjual narkoba dilingkungan sekolah mereka.


Sedangkan pada tahun 2011 hanya sebanyak 36% remaja SMA di amerika yang
menggunakan napza, dengan kata lain penyalahgunaan NAPZA dari tahun ke
tahun semakin meningkat.
Hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2012 menunjukkan
prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia berdasarkan kelompok umur 16-
24 tahun sebanyak 7.584 kasus. Prevalensi penyalahguna NAPZA tertinggi adalah
anak jalanan yaitu 28,2%. Jenis NAPZA terbanyak yang disalahgunakan di
Indonesia pada tahun 2011 adalah shabu dan ganja.
Dampak penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA dilihat dari segi
sosial dan psikologis adalah terjadinya gangguan psikis atau kejiwaan antara lain
rasa tertekan, cemas, ketakutan, ingin bunuh diri, kasar, marah, agresif, pergaulan
yang terbatas karena lebih mudah bergaul dengan sesama pengguna NAPZA dan
lain-lain. Gangguan jiwa ini bisa bersifat sementara tetapi bisa juga bersifat
selamanya (Sumiati, 2009).
Menurut Aldrin, Cognitive behavioral therapy (CBT) dapat menjadi terapi
yang efektif untuk permasalahan anak dan remaja, masalah narkoba atau alkohol,
kecemasan dan lain-lain. CBT adalah pengobatan yang kuat karena
menggabungkan aspek ilmiah, filosofis dan perilaku menjadi satu pendekatan
yang komprehensif untuk memahami dan mengatasi masalah psikologi yang
umum.
Menurut hafid dalam penelitiannya yang berjudul efektifitas konseling
kognitif-perilaku (KKP) dalam mengurangi dampak psikologis konseli adiksi obat
(2010), menjelaskan bahwa salah satu pendekatan konseling yang dapat
digunakan untuk mengurangi dampak psikologis konseli adiksi obat adalah
Cognitive Behavioral Therapy (CBT).
Selain itu seperti yang dipaparkan oleh Satiadarma dikutip dari
Oemarjoedi 2003, penyimpangan perilaku individu terjadi karena adanya
penyimpangan fungsi kognitif, sedangkan untuk memperbaiki perilaku individu
yang mengalami penyimpangan tersebut terlebih dahulu harus dilakukan
perbaikan terhadap fungsi kognitif manusia. Pernyataan tersebut menunjukkan
3

pentingnya pengaruh askpek kognitif terhadap perilaku manusia serta peran


kognitif dalam mempertimbangkan keputusan untuk melakukan tindakan tertentu.
Atas dasar tersebut penulis menggunakan intervensi terapi perilaku kognitif,
dengan alasan terapi tersebut efektif bagi para remaja pemakai napza karena
membantu individu untuk mengubah cara berpikir para remaja terhadap
pemakaian napza. Adapun jumlah remaja Di komplek kowilhan sebanyak 27
orang dan tercatat sudah ada 2 orang yang terjerat kasus kepolisian akibat
narkoba. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan Penerapan Terapi
Perilaku Kognitif pada Remaja Pengguna Napza Dengan Masalah Koping
Individu Inefektif Di komplek kowilhan desa delitua kecamatan namorambe

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan dari permasalahan diatas penulis mengajukan rumusan
permasalahan ; Bagaimana Penerapan Terapi Perilaku Kognitif pada Remaja
Pengguna Napza Dengan Masalah Koping Individu Inefektif Di Komplek
kowilhan desa delitua kecamatan namorambe

1.3. Tujuan PBLK


1. Tujuan Umum
Selama mengikuti PBLK mahasiswa mampu meningkatkan
kemampuan dalam mengaplikasikan semua teori dan konsep yang telah
diperoleh selama proses pendidikan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui apakah Terapi Perilaku Kognitif Efektif pada Remaja
Pengguna Napza Dengan Masalah Koping Individu Inefektif Di
Komplek kowilhan desa delitua kecamatan namorambe.
b) Mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan, menerapkan proses
asuhan keperawatan secara komprehensif sebagai bentuk
pelayanan keperawatan profesional kepada individu dan keluarga.
4

1.4. Manfaat
1. Mahasiswa Keperawatan
Manfaat dari kegiatan PBLK ini bagi mahasiswa yaitu diharapkan
mampu mencapai kompetensi utama perawat profesional yaitu mengelola
manajemen asuhan keperawatan pada klien secara individu dan
pengelolaan pelayanan keperawatan dengan menggunakan metode
asuhan keperawatan pada ruang rawat secara professional .
2. Institusi Pendidikan
Untuk meningkatkan kompetensi lulusan institusi dan menghasilkan
tugas akhir dalam bentuk karya tulis ilmiah. Perawat mampu
menyelesaikan masalah secara ilmiah yang ditumbuhkan secara langsung
berhubungan dengan pasien dan dalam membantu memenuhi kebutuhan
pasien melalui tahapan proses keperawatan, memiliki sikap dan tingkah
laku profesional yang dituntut dari seorang perawat dalam melaksanakan
asuhan keperawatan dan kehidupan profesi dan mampu belajar aktif dan
mandiri pada pengalaman praktik di lapangan.
3. Lahan Praktek
Sebagai sumber pengembangan ilmiah dalam meningkatkan mutu
pelayanan dengan penerapan intervensi kasus sesuai dengan kasus
kelolaan mahasiswa dan menambah intervensi bagi perawat ruangan
dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien secara komprehensif.
Terapi perilaku kognitif diharapkan dapat menjadi rujukan sebagai terapi
untuk menangani kasus pada remaja pengguna napza yang disebabkan
oleh kesalahan dalam berfikir atau distorsi kognitif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Napza
2.1.1 Pengertian Napza
Napza adalah akronim dari Narkotik, Alkohol, Psikotropika, dan Zat
Adiktif lainnya (Kemenkes RI, 2010). Kesemua zat tersebut sebenarnya adalah
termasuk zat psikoaktif. Namun karena Indonesia memiliki undang-undang
tersendiri untuk narkotika dan psikotropika maka istilahnya juga dibuat berdiri
sendiri-sendiri. Alkohol juga dijadikan istilah tersendiri karena alkohol merupakan
minuman yang mudah dan sering dikonsumsi oleh masyarakat baik di daerah rural
maupun urban. Zat adiktif lainnya ditambahkan karena selain narkotik,
psikotropika dan alkohol masih terdapat zat-zat lain yang bersifat adiktif.
2.1.2 Jenis-Jenis Napza
Napza memiliki beberapa jenis, menurut undang-undang NAPZA dibagi
menjadi tiga golongan utama yaitu narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
Undang-undang RI nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika mendefinisikan
narkotika sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika digolongkan menjadi tiga golongan utama yaitu: Yang memiliki
potensi sangat tinggi menimbulkan ketagihan seperti heroin atau putau, kokain
dan ganja, Yang memiliki potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan seperti
morfin dan petidin, Yang berpotensi ringan mengakibatkan ketergantungan,
contohnya: kodein.
Narkotika yang sering disalahgunakan seperti opiat (morfin, putau, petidin, candu
dan lain-lain ), ganja atau cannabis, dan kokain yang biasa dalam bentuk serbuk
kokain.
Psikotropika menurut undang-undang RI nomor 5 tahun 1997 merupakan
zat atau obat, alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan

5
6

khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika digolongkan menjadi empat
dengan didasarkan pada potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Golongan pertama berpotensi amat kuat, kedua berpotensi kuat, ketiga berpotensi
sedang, dan keempat berpotensi ringan. Psikotropika yang sering disalahgunakan
misalnya psikostimulan contohnya amfetamin, ekstasi dan shabu. Kemudian
sedatif hipnotik yaitu obat penenang dan obat tidur seperti mogadon, BK,
dumolid, pil koplo, lexo dan lain sebagainya. Golongan psikotropika halusinogen
yang sering disalahgunakan seperti lysergic acid diethylamide dan mushroom.
Alkohol merupakan semua jenis minuman yang menggandung etil-alkohol
atau etanol seperti wiski, vodka, bir, arak, tuak dan ciu (Joewana, 2005). Menurut
Keppres No.3 tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman
beralkohol sering menjadi bagian dari gaya hidup atau dari budaya tertentu.
Alkohol jika dkonsumsi dengan narkotika atau psikotropika akan memperkuat
pengaruh obat atau zat itu dalam tubuh manusia.
Zat adiktif lainnya seperti inhalan dan solven, tembakau dan kafein
(Depkes, 2006). Inhalan dan solven mudah menguap dan banyak terdapat di
barang keperluan rumah tangga yang akhirnya banyak disalahgunakan seperti
lem, tiner, penghapus cat kuku dan bensin. Tembakau dan kafein merupakan zat
yang bila dikonsumsi dengan cara berlebih mampu menimbulkan masalah
kesehatan. Rokok dan tembakau biasanya merupakan pintu masuk
penyalahgunaan NAPZA pada remaja sehingga banyak dilakukan upaya
pencegahan penggunaan barang tersebut (Depkes, 2006). Kafein yang merupakan
zat stimulan dapat menimbulkan ketergantungan jika dikonsumsi melebihi 100
mg per hari atau dua cangkir kopi.
Napza berdasar efeknya terhadap susunan syaraf pusat digolongkan
menadi tiga yaitu depresan, stimulan dan halusinogen (Depkes, 2006). Golongan
depresan adalah jenis Napza yang berfungsi mengurangi aktivitas fungsional
tubuh. Jenis ini membuat pemakainya tenang, pendiam dan bahkan membuatnya
tertidur dan tidak sadarkan diri. Contohnya opioida (morfin, putau, kodein),
sedatif-hipnotik, tranquilizer (anti cemas), alkohol dalam dosis rendah dan lain-
lain. Golongan stimulan adalah jenis zat yang merangsang fungsi susunan saraf
7

pusat (Joewana, 2005; Sullivan, 1995). Zat ini meningkatkan fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan untuk bekerja sehingga pemakaiannya menjadi aktif,
segar dan bersemangat. Contohnya adalah kokain amfetamin (shabu dan ekstasi),
dan kafein. Ekstasi dan shabu-shabu adalah golongan stimulan yang sering
disalahgunakan di Indonesia (Joewana, 2005).
Selain efek positif yang diharapkan, pengguna dapat memperoleh efek
negatif dari penyalahgunaan jenis psikotropika ini. Pengguna met-amfetamin atau
shabu-shabu berkepanjangan dapat menimbulkan komplikasi medis
kardiovaskuler seperti takikardi, aritmia jantung, tekanan darah naik, stroke dan
lainnya. Selain itu juga dapat menimbulkan waham, halusinasi, aktivitas motor
berulang tanpa ada tujuan, tiba-tiba agresif dan gangguan efek (Neagle &
D’Avanzo, 2001).
Penggunaan met-amfetamin dalam dosis tinggi berulang kali sering
dihubungkan dengan perilaku kekerasan dan psikosis paranoid karena ini
merupakan salah satu efek penggunaan (Joewana, 2005). Masalah psikosis sendiri
juga paling sering muncul pada pengguna amfetamin, sedangkan untuk efek
negatif MDMA dapat mengganggu daya ingat, konsentrasi, belajar, tidur serta
kerja ginjal dan jantung (Joewana, 2005).
Golongan ketiga adalah halusinogen. Sesuai dengan namanya, jenis
NAPZA ini mampu membuat efek halusinasi yang mampu merubah perasaan dan
pikiran, seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda yang berakibat pada
terganggunya perasaan pemakai. Golongan ini biasanya tidak digunakan dalam
terapi medis. Contoh halusinogen adalah ganja atau cannabis, LSD, berbagai jenis
jamur dan kecubung. Ganja adalah salah satu jenis halusinogen yang sering
disalahgunakan memiliki banyak nama seperti cannabis atau mariyuana. Zat yang
biasa dikonsumsi dengan cara dihirup asapnya ini memiliki efek menimbulkan
halusinasi penglihatan berupa kilatan sinar, bentuk-bentuk amorf, warna-warni
cemerlang, bentuk-bentuk geometris, figur dan wajah orang (Jung, 2010).
Persepsi waktu dan jarak karena pemakaian ganja juga akan terganggu
misalnya semenit jadi sepuluh menit, semeter jadi sepulih meter, hal ini akan
mengkhawatirkan jika pengguna sedang berkendara. Meskipun awalnya
8

pemakaiannya dapat membuat ansietas, rasa takut serta gelisah, namun akhirnya
mampu memberi efek menenangkan dan euforia. Pemakaian jangka panjang ganja
dapat mempengaruhi pikiran, menurunkan kemampuan baca, berbicara dan
berhitung, serta menghambat perkembangan kemampuan sosila dan mendorong
pengguna menghindari masalah bukannya menyelsesaikan masalah (Jewana,
2005).
Napza adalah jenis medikasi yang tidak dilegalkan penggunaannya secara
sembarangan. Hal ini dikarenakan efek negatif yang mampu timbul dari
pemakaiannya.secara umum, penyalahgunaan segala jenis Napza secara
berkepanjangan mampu mengubah perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, dan
kesadaran pemakainya karena zat psikoaktif ini bekerja pada otak (Joewana,
2005). Kerja obat yang berpengaruh langsung pada kerja sel otak menimbulkan
efek perubahan kinerja pada organ lain dimana jika terjadi secara terus menerus
mampu menimbulkan perubahan pada sel otak yang nantinya mengganggu kerja
organ dan berakhir pada komplikasi medis. Selain itu juga efek lain selain
komplikasi medis juga muncul atau memperberat masalah psikosis seperti waham,
halusinasi, dipersonalisasi dan masalah psikosis lainnya (Sullivan, 1995).
2.1.3 Penyalahgunaan Napza
Penyalahgunaan Napza di Indonesia berdasarkan survey yang dilakukan di
16 provinsi dengan mengambil sampel setiap masing-masing provinsi satu daerah
urban (kota) dan satu daerah rural (kabupaten), menunjukkan bahwa angka
penyalahgunaan Napza oleh pelajar dan mahasiswa lebih tinggi dikota daripada
dikabupaten. Pada daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Kalimantan Tengah angka penyalahgunaan Napza cenderung stabil dari tahun
2006, 2009 dan 2011. Namun untuk DKI Jakarta cenderung menunjukkan
peningkatan. Hal ini juga didukung data dari BNN yang menunjukkan kesatuan
Metro jaya menduduki peringkat pertama sebagai daerah yang paling rawan untuk
kasus narkoba.
Penyalahgunaan obat merupakan kebebasan, penggunaan secara terus
menerus akan perubahan pemikiran terkait penggunaan zat (biasanya untuk alasan
selain kepentingan medikasi yang legal) yang berakibat pada gangguan fisik,
9

mental, emosional, dan sosial pengguna, keluarga pengguna dan komunitas dalam
berbagai tingkatan (Carroll, 2000). Penyalahgunaan zat juga dapat diartikan
sebagai penggunaan zat yang bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung
satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi
sosial (Joewana, 2005).
Penyalahgunaan zat seperti Napza memilki karakteristik khusus seperti
intoksikasi, toleransi, toleransi silang, ketergantungan, kehilangan kontrol,
peningkatan dorongan, nagih (craving), progressive nature, dan penggunaan
mekanisme pertahanan (Sullivan, 1995). Intoksikasi adalah kondisi yang timbul
akibat menggunakan Napza sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif,
persepsi, afek atau mood, perilaku atau fungsi dan respon psikofisiologis lainnya.
Toleransi adalah kondisi dimana kebutuhan akan dosis Napza semakin meningkat
untuk dapat memperoleh efek yang sebelumnya diperoleh. Sedangkan toleransi
silang terjadi jika seseorang telah toleran dengan salah satu zat psikoaktif, dia juga
toleran dengan zat psikoaktif lain yang memiliki fungsi farmakologis sama.
Pada penyalahgunaan zat-zat adiktif tersebut respon selanjutnya yang
timbul adalah munculnya ketergantungan yang merupakan suatu kelompok
fenomena fisiologis, perilaku dan koginitif akibat pengguna suatu Napza tertentu
yang mendapat prioritas lebih tinggi bagi individu tertentu daripada yang pernah
diunggulkan pada masa lalu (Kemenkes, 2010). Ketergantungan biasanya dibagi
menjadi ketergantungan psikis dan fisik. Kriteria lain yang muncul seperti rasa
nagih dimana klien akan memiliki perasaan yang kuat untuk terus menggunakan.
Selain itu muncul reinforcement, dimana pemakai memperlihatkan kondisi atau
performa yang lebih setelah menggunakan zat.
Penyalahguna Napza seringkali akan kehilangan kontrol dalam mengatur
pemakaian Napza yang membuatnya kehilangan kontrol juga akan kehidupannya.
Hal ini juga dikarenakan faktor proses progesif alami (progessive nature) yang
dialami yaitu dimana pemakai akan lebih mementingkan penggunaan zat daripada
aspek kehidupannya yang lain. Hal ini berakibat pemakai akan mengurangi
aktivitas dan membatasi pada aktivitas dan teman yang mendukung untuk
memakai Napza. Akhirnya pemakai akan sering menunjukkan mekanisme
10

pertahanan diri seperti penyangkalan, penolakan, rasionalisasi, dan pemikiran


yang delusional (Sullivan, 1995).
Penyalahgunaan Napza pada akhirnya memberikan efek negatif bagi
pemakai tidak hanya fisik namun juga mental, emosional dan sosial pemakai.
Efeknya pun tidak hanya bagi pemakai namun juga ke lingkungan kehidupan
sekitar pemakai seperti munculnya tindak kriminalitas atau kekerasan. Pada
akhirnya masalah yang biasa muncul pada penyalahgunaan Napza disebut dengan
gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif pada kelompok
gangguan jiwa (Joewana, 2005). Untuk mengatasi ini, terdapat terapi yang biasa
digunakan yaitu detoksifikasi dan pascadetoksifikasi.
Detoksifikasi berfokus pada terapi untuk melepaskan klien dari kelebihan dosis,
intoksikasi dan sindrom putus zat (Joewana, 2005).
Sedangkan pasca detoksifikasi atau disebut dengan rehabilitasi adalah
suatu proses pemulihan gangguan napza baik dalam jangka waktu pendek maupun
panjang yang bertujuan mengubah perilaku untuk mengembalikan fungsi individu
tersebut di masyarakat (Kemenkes, 2010). Pada fase rehabilitasi juga ditujukan
kepada penyakit komorbiditas dimana terdapat dua atau lebih penyakit yang
secara bersama-sama ada dalam satu individu.

2.2 Konsep Koping


2.2.1 Pengertian Koping
Setiap individu tidak akan terlepas dari permasalahan kehidupan yang
dapat menimbulkan stress. Stress itu yang nantinya akan membuat seseorang
tersebut berusaha untuk mengatasinya. Koping adalah suatu proses dari seseorang
yang digunakan untuk memanajemen peristiwa atau menghadapi, merasakan dan
menginterpretasikan suatu stress, (Craven & Hirnle, 2003). Menurut Lazarus dan
Folkman pada bukunya Stress, Appraisal, and Coping menyebutkan bahwa
koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk
mengatasi tuntutan internal dan eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi
sumber individu. Jadi koping bisa diartikan sebagai istilah cara yang digunakan
seseorang untuk mengatasi permasalahannya terutama yang menimbulkan stres.
11

Segala upaya yang dilakukan untuk mengatasi stress disebut dengan mekanisme
koping (Stuart & Laraia, 2005).
Mekanisme koping tersebut terdiri dari tiga tipe yaitu koping berfokus
pada masalah, koping yang berfokus pada emosi dan koping berfokus dengan
kognitif (Stuart & Laraia, 2005). Koping berfokus pada masalah menunjukkan
pada usaha langsung untuk memperbaiki sebuah keadaan dengan membuat
perubahan atau mengambil sebuah tindakan. Misalnya dengan cara negosiasi,
konfrontasi dan mencari pertimbangan koping yang berfokus pada emosi dimana
seseorang lebih berorientasi untuk mengurangi distres emosi. Contoh koping
berfokus pada emosi termasuk penggunaan mekanisme pertahanan ego seperti
penolakan, supresi atau proyeksi. Cara religius dan menerima adanya masalah
adalah cara lain yang sering muncul juga pada koping berfokus pada emosi ini.
Sedangkan seseorang dengan koping yang berfokus dengan kognitif akan
mengontrol arti masalah tersebut dan menetralisasinya. Misalnya dengan
melakukan perbandingan yang positif, penggantian dari suatu hadiah, melakukan
ketidaktahuan yang selektif dan akan objek yang diinginkan.
2.2.2 Jenis-Jenis Koping
Jenis koping yang dapat dilakukan dan muncul pada mekanisme koping
berfokus pada masalah seperti menunjukkan keaktifan diri. Seseorang mencoba
menghilangkan atau mengelabuhi penyebab stres untuk meminimalisasikan
dampak dan usaha ini menunjukkan adanya usaha langsung. Kemudian seseorang
juga mampu melakukan perencanaan yaitu memikirkan bagaimana mengatasi
stres dengan membuat strategi tindakan yang perlu dimbil. Individu juga mampu
menunjukkan kontrol diri dalam memutuskan waktu melakukan tindakan yang
tepat. Terakhir, individu yang menggunakan koping berfokus pada masalah
mampu mencari nasehat, pertolongan, informasi, dukungan moral, empati dan
pengertian. Setiap individu dalam melakukan koping tidak hanya menggunakan
satu strategi tetapi dapat melakukannya bervariasi, hal ini tergantung dari
kemampuan dan kondisi individu (Rasmun, 2004).
Mekanisme koping yang digunakan dapat bersifat konstuktif dan dapat
bersifat destruktif (Stuart & Laraia, 2005). Koping yang konstruktif jika
12

menganggap munculnya ansietas sebagai pertanda akan adanya gangguan pada


suatu sistem dan hal ini menjadi tantangan untuk diselesaikan. Hal ini
menunjukkan seseorang mampu memilih dan melakukan cara koping yang dapat
mengatasi masalahnya. Koping yang sukses digunakan untuk mengatasi masalah
ini akan menjadi pedoman bagi individu dalam mengatasi masalah selanjutnya,
dan hal ini memungkinkan seseorang untuk melakukan modifikasi akan cara
koping itu, sedangkan bersifat destruktif jika adanya ansietas diacuhkan dan tidak
dicari jalan keluarnya. Membuat masalah tetap ada, tidak terselesaikan dapat
menambah tekanan pada individu tersebut.
Mekanisme koping tersebut juga dapat digolongkan menjadi dua yaitu
mekanisme adaptif dan maladaptif (Stuart & laraia, 2005). Penggolongan ini
dijelaskan dalam bagan model adaptasi stress Stuart dalam rentang respon koping.
Jadi koping yang digunakan apakah akan meruntut pada respon yang adaptif
ataukah respon yang maladaptif. Mekanisme koping dikatakan adaptif jika
mekanisme yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai
tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah
secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Koping
yang menunjuk pada respon maladaptif jika menghambat fungsi integrasi,
menurunkan otonomi dan cenderung mengganggu dengan menguasai lingkungan.
2.2.3. Konsep Mekanisme Koping Terhadap Pemakaian Napza
Mekanisme koping adalah suatu upaya yang diarahkan untuk manajemen
stres yang berorientasi pada tugas dan pertahanan ego ( Potter & Perry, 2005).
Koping merupakan salah satu alasan awal pemakaian Napza. Penggunaan zat
psikoaktif dilingkungan daerah perkotaan biasanya dikaitkan dengan alasan ingin
memuaskan rasa ingin tahu, menjalin solidaritas, dan mengatasi stres serta rasa
tidak bahagia (Joewana, 2005). Selain itu koping juga menjadi alasan penggunaan
heroin, dimana dikonsumsi untuk mengatasi perasaan yang tidak enak seperti
ketegangan, kecemasan, dan kesedihan. Fungsi ganja untuk memperoleh
kenikmatan, benzodiazepin untuk menurunkan ketegangan, dan beberapa zat lain
untuk menginduksi tidur, dijadikan jalan keluar untuk mengatasi masalah yang
sedang dialami pemakai.
13

Inti dari penggunaan Napza adalah untuk mengubah pengalaman


kewaspadaan dan kesadaran (Carroll, 2000). Pemakai biasanya ingin merasakan
nyaman, santai, jauh dari stres, tidak ada beban, dapat diterima, tidak merasa
kesepian, mengatasi masalah emosional dan nyeri fisik, dan mengeksplorasi
sesuatu yang belum diketahui. Banyak cara untuk mengubah tingkat kesadaran
seseorang, namun Napza memiliki cara yang lebih mudah dan cepat dalam
mencapai tujuan. Napza juga digunakan untuk meningkatkan kesadaran karena
tuntutan lingkungan yang keras, sehingga dengan Napza dapat mengimbangi
tuntutan itu misal meningkatkan performa kerja dengan menggunakan golongan
stimulan. Selain itu, seseorang juga ingin menghindar dari tekanan lingkungan,
sehingga menurunkan kesadarannya akan lingkungan dengan menggunakan
golongan depresan, sehingga merasa rasa sakit berkurang, merasa nyaman dan
tidak merasakan apapun.
Penggunaan Napza selain sebagai alasan menjadi koping di awal
penggunaan, dapat menjadi konsekuensi sikap yang dapat diperoleh karena
penyalahgunaan dalam jangka panjang dan akhirnya menjadi stressor tersendiri
(Carroll, 2000; Sullivan, 1995). Umumnya pada penyalahguna Napza yang lama
akan memiliki metode koping yang tidak jelas, hal ini nantinya menjadikan Napza
sebagai predominan koping yang akan digunakan jika suatu stressor muncul
terutama situasi yang membuat cemas atau sakit. Selain itu, pada penyalahgunaan
Napza akan terbentuk suatu hubungan dimana zat menjadi penentu identitas,
kognisi, dan perilaku. Hal ini juga yang menjadikan zat sebagai strategi koping
utama. Jika hubungan yang telah terbentuk itu diganggu maka akan muncul
karakteristik mekanisme pertahanan pada pemakai, dimana cara yang digunakan
adalah dengan menyangkal, merasionalisasi pembenaran tindakan, dan berfikir
delusional.
Mekanisme pertahanan tersebut merupakan strategi koping yang biasa yang
disebut dengan mekanisme pertahanan ego yang digunakan penyalahguna Napza
untuk mengatasi stress emosionalnya. Hal ini juga dijelaskan pada model adaptasi
stress Stuart terkait masalah penyalahgunaan Napza dimana mekanisme koping
14

yang digunakan seperti penolakan, proyeksi, rasionalisasi dan minimalisasi (Stuart


& Laraia, 2005).
Penolakan muncul dengan pernyataan ketidaksetujuan terhadap realita
dengan mengingkari realita tersebut. Misal dengan pernyataan “ aku minum setiap
hari namun tidak mengganggu pekerjaanku” (Sullivan, 1995; Stuart & Laraia,
2005). Penguna meminimalisasi jumlah penggunaan atau konsekuensi
penggunaan, misalh dengan pernyataan “aku hanya minum dua botol sehari”.
Kemudian klien mampu merasionalisasi dengan memberikan penjelasan yang
tambapk logis dan dapat diterima. Dan terakhir dengan proyeksi dimana
karakteristik negatif yang dimiliki digambarkan kepada orang lain misal dengan
pernyataan “jika saja istriku tidak memberi beban setiap saat”.
Napza selain sebagai penyelesai masalah bagi penggunanya juga dapat
menjadi masalah tersendiri baginya. Pada seseorang yang menggunakan cara
koping berfokus pada masalah akan menganggap bahwa penyalahgunaan Napza
ini adalah masalah baginya sehingga akan mencari solusi untuk
menyelesaikannya. Mekanisme koping seperti ini yang dapat dianggap sebagai
koping konstruktif pada pemakai Napza. Koping yang destruktif pada pemakai
ditunjukkan sebaliknya dimana penyalahgunaan Napza yang merupakan suatu
masalah dianggap bukan masalah baginya. Hal ini menunjukkan bahwa koping
tidak selalu konstruktif bagi penyalahguna sehingga respon koping yang adaptif
belum tentu dapat dicapai.
Peran koping pada Napza sangat penting karena menjadi salah satu faktor
penentu kekambuhan pemakai setelah mengikuti program rehabilitas. Jika stressor
muncul dan klien tidak memiliki mekanisme koping yang adaptif, biasanya
penggunaan Napza adalah jalan penyelesaian yang dipakai (Joewana, 2005).
Pada penelitian Kimberly Anne Hunter pada tahun 2005, dijelaskan
peningkatan pengguna strategi koping cognitif-behavioral menurunkan
penggunaan zat pada pengguna alkohol selama 6 tahun setelah terapi, pengguna
marijuana pada bulan ketiga dan keenam, dan pengguna polisubstans pada bulan
ketiga. Selain itu, pengguna koping yang adaptif mampu meningkatkan hasil akhir
15

tindakan, sedangkan koping yang maladaptif akan memberikan kecenderungan


bagi seseorang untuk menggunakan zat kembali (Gilbert, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Fullerton-Hall dan Felicia Lee pada tahun
2009 tentang gaya koping dan level stres yang diterima pada penyalahgunaan
Napza yang telah pulih dari penyalahgunaan Napza. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa level stres yang diterima adalah sedang kebawah, dengan
stres lebih terkait karena metode koping seperti menyalahkan diri sendiri, distraksi
dan perilaku yang tidak sesuai. Stres tidak muncul atau terkait pada cara koping
penerimaan dan koping yang aktif. Koping sendiri merupakan sumber faktor
protektif dari penggunaan Napza kembali setelah penyelesaian terapi, terutama
juga pada individu dewasa dengan komorbiditas yang telah mengalami level stres
kehidupan yang tinggi (Anderson, Ramo & Brown, 2006).
Koping dan Napza dapat menjadi dua aspek yang saling berkaitan satu
sama lain. Pada masalah keperawatan jiwa psikososial yaitu koping individu tidak
efektif ditunjukkan dengan salah satu tandanya adalah dengan pemakaian alkohol
dan obat-obatan terlarang, jika stres atau masalah muncul dan individu merasa
tertekan dengan kondisi tersebut (Ackley & Ladwig, 2011).

2.3 Cognitive Behaviour Therapy (CBT) Atau Terapi Perilaku Kognitif


2.3.1 Pengertian Dasar CBT
Sesuai dengan aliran kognitif dan perilaku, CBT menganggap bahwa pola
pemikiran terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang saling
berkaitan membentuk semacam jaringan dalam otak. Proses kognitif merupakan
faktor penentu bagi pikiran, perasaan dan perbuatan (perilaku). Semua kegiatan
yang dialami berlaku sebagai stimulus yang dapat dipersepsi secara positif
(rasional) maupun negatif (irrasional) (Sudiyanto, 2007).
CBT adalah bentuk psikoterapi yang menekankan pentingnya peran
pikiran dalam bagaimana kita merasa dan apa yang kita lakukan. CBT ada bukan
sebagai teknik terapeutik yang jelas. Istilah “Cognitive Behavioral Therapy”
merupakan istilah yang sangat luas untuk kelompok terapi yang sejenis. Ada
beberapa pendekatan terhadap CBT, meliputi Rational Emotive Behavioral
16

Therapy, Rational Living Therapy, Cognitive Therapy, dan Dialectic Behavior


Therapy (NACBT, 2008).
CBT bertujuan membantu pasien untuk dapat merubah sistem keyakinan
yang negatif, irasional dan mengalami penyimpangan (distorsi) menjadi positif
dan rasional sehingga secara bertahap mempunyai reaksi somatik dan perilaku
yang lebih sehat dan normal (Hepple, 2004).
Dalam CBT, terapis berperan sebagai guru dan pasien sebagai murid.
Dalam hubungan ini diharapkan terapis dapat secara efektif mengajarkan kepada
pasien mekanisme SKR baru yang lebih positif dan rasional, menggantikan
struktur kognitif lama yang negatif, irasional dan mengalami distorsi (Sudiyanto,
2007).
2.3.2 Psikopatologi CBT
CBT tidak hanya suatu set tehnik, tetapi juga mengandung teori
komprehensif perilaku manusia. CBT mengajukan penjelasan “biopsikososial”
untuk menjelaskan bagaimana manusia menjadi merasa dan bertindak
sebagaimana yang mereka lakukan merupakan kombinasi dari biologis,
psikologis, dan faktor sosial yang terlibat (Froggat, 2006).
Cara yang berguna untuk menggambarkan peran dari kognisi adalah
dengan model “A-B-C-D” atau model rasional emosi (aslinya dikembangkang
oleh Albert Ellis, model ABC ini telah diadaptasi secara umum untuk penggunaan
CBT). Pada model ini. “A” adalah activating event (kejadian yang mencetuskan
terbentuknya keyakinan atau kepercayaan yang salah), “B” adalah believe
(keyakinan atau kepercayaan seseorang berdasarkan kejadian yang mencetuskan).
Ellis menjelaskan bahwa bukan kejadian itu sendiri yang menghasilkan gangguan
perasaan, tetapi interpretasi dan keyakinan atau kepercayaan orang tersebut
tentang kejadian itu. “C” adalah consequence (konsekuensi emosional dari
kejadian tersebut). Dengan kata lain, ini adalah pengalaman perasaan orang
tersebut sebagai hasil dari interpretasi dan kepercayaan berkenaan dengan
kejadian. “D” adalah “dispute” (penggoyahan terhadap keyakinan yang tidak
rasional, tidak realistic, tidak tepat, dan tidak benar kemudian menggantinya
dengan keyakinan yang rasional, realistic tepat dan benar (Froggat, 2006).
17

2.3.3 Indikasi CBT


CBT telah berhasil digunakan untuk menolong orang dengan masalah non-
klinis sampai klinis, menggunakan berbagai macam modalitas.
Indikasi CBT meliputi :
1) Depresi
2) Gangguan cemas meliputi, gangguan obsesif kompulsif, agoraphobia, fobia
spesifik, gangguan cemas menyeluruh, gangguan stress pasca trauma, dan
lain-lain.
3) Skizofrenia
4) Gangguan makan
5) Kecanduan
6) Hipokondriasis
7) Disfungsi seksual
8) Pengendalian kemarahan
9) Gangguan pengendalian implus
10) Perilaku antisosial
11) Gangguan kepribadian
12) Terapi tambahan pada masalah kesehatan kronis, cacat fisik.
13) Penatalaksanaan nyeri
14) Penatalaksanaan stress umum (Froggatt, 2006).
CBT untuk pasien skizofrenia dikembangkan selama tahun 1990 sebagai
tambahan terhadap pengobatan. Sebelumnya, terapi psikologis untuk skizofrenia
umumnya terbatas pada terapi perilaku terhadap pasien rawat inap dan intervensi
keluarga untuk membantu mengurangi angka kekambuhan. CBT untuk
skizofrenia dikembangkan secara luas di Inggris, walaupun saat ini telah
dilakukan percobaan di Kanada, Amerika Serikat, Italia, dan Belanda. Saat ini,
total telah dilakukan secara lengkap 21 penelitian acak terkontrol tentang CBT
untuk skizofrenia atau gangguan dalam lingkup skizofrenia (sebagai contoh :
gangguan waham dan gangguan skizoafektif) (CARMHA, 2007).
18

2.3.4 Prosedur CBT


Langkah pertama yang paling penting dalam tekinik CBT adalah
menanyakan permasalahan pasien (apa, kapan, mengapa dan bagaimana).
Langkah kedua, mengeksplorasi masalah untuk dirumuskan (bersama pasien)
untuk disepakati sebagai fokus yang menjadi target terapi. Langkah ketiga untuk
memeriksa dan merumuskan konsekuensi perilaku atau reaksi somatik (mungkin
yang menjadi masalah utama pasien) sehingga pasien memerlukan bantuan atau
pengobatan (C). Langkah keempat adalah memeriksa atau mengeksplorasi
kejadian-kejadian yang mungkin sebagai pencetus atau penyebab permasalahan
pasien (A). Langkah kelima adalah mengenali status kognitif pasien yang negatif
(B) berupa sistem keyakinan irasional. Keyakinan irasional tersebut dapat
diperoleh dari pasien melalui anamnesis atau observasi, mungkin berupa keluhan
yang jelas dan nyata, tetapi ada kalanya merupakan informasi sambil lalu yang
samar-samar dan tidak jelas. Tugas terapis disini adalah untuk memperjelas sistem
keyakinan irasional tersebut (Sudiyanto, 2007).
Langkah – langkah dalam wawancara CBT :
1) Pertanyaan tentang problem utama
2) Formulasi target masalah
3) Pemeriksaan C
4) Pemeriksaan A
5) Pemeriksaan dan identifikasi problem emosional sekunder
6) Mengajari hubungan B - C
7) Pemeriksaan keyakinan rasional
8) Mendorong belajar mempraktekkan keyakinan baru
9) Evaluasi / cek pekerjaan rumah
10) Memfasilitasi berlangsungnya proses terapi
2.3.5 Tujuan Konseling CBT
Tujuan dari konseling CBT yaitu mengajak konseli untuk menentang
pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan
dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan
19

mampu menolong konseli untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam
diri konseli dan secara kuat mencoba menguranginya (Oemarjoedi, 2003).
Dalam proses konseling, beberapa ahli CBT (NACBT, 2007 dalam
Oemarjoedi, 2003) berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting
dalam konseling. Oleh sebab itu CBT dalam pelaksanaan konseling lebih
menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti
mengabaikan masa lalu. CBT tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari
hidup konseli dan mencoba membuat konseli menerima masa lalunya, untuk tetap
melakukan perubahan pada pola pikir masa kini untuk mencapai perubahan di
waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, CBT lebih banyak bekerja pada status
kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif
positif.
2.3.6 Fokus Konseling
CBT merupakan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau
pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya
baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke masa depan disbanding masa
lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah cara berpikir, kepercayaan,
sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli belajar mengenali dan
mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek behavioural dalam
CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan
kebiasaan merekreasi permasalahan, belajar mengubah perilaku, menenangkan
pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih jelas.
2.3.7 Prinsip – Prinsip Cognitive Behaviour Therapy (CBT)
Walaupun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau
permasalahan konseli, tentunya konselor harus memahami prinsip – prinsip yang
mendasari CBT. Pemahaman terhadap prinsip – prinsip ini diharapkan dapat
mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi dalam merencanakan
proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik – teknik CBT. Berikut
adalah prinsip – prinsip dasar dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan
oleh Beck (2011) :
20

1) Cognitive-Behaviour Therapy didasarkan pada formulasi yang terus


berkembang dari permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif
konseli.
Formulasi konseling terus diperbaiki seiring dengan perkembangan evaluasi
dari setiap sesi konseling. Pada momen yang strategis, konselor
mengkoordinasikan penemuan – penemuan konseptualisasi kognitif konseli
yang menyimpang dan meluruskannya sehingga dapat membantu konseli
dalam penyesuaian antara berfikir, merasa dan bertindak.
2) Cognitive-Behaviour Therapy didasarkan pada pemahaman yang
sama antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi
konseli.
Melalui situasi konseling yang penuh dengan kehangatan, empati, peduli
dan orisinilitas respon terhadap permasalahan konseli akan membuat
pemahaman yang sama terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Kondisi
tersebut akan menunjukkan sebuah keberhasilan dari konseling.
3) Cognitive-Behaviour Therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi
aktif.
Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling maka keputusan
konseling merupakan keputusan yang disepakati dengan konseli. Konseli akan
lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling, karena konseli mengetahui
apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling.
4) Cognitive-Behaviour Therapy berorientasi pada tujuan dan berfokus
pada permasalahan.
Setiap sesi konseling selalu dilakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat
pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini diharapkan adanya respon konseli
terhadap pikiran – pikiran yang mengganggu tujuannya, dengan kata lain
tetap berfokus pada permasalahan konseli.
5) Cognitive-Behaviour Therapy berfokus pada kejadian saat ini.
Konseling dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada saat ini
dan di sini (here and now). Perhatian konseling beralih pada dua keadaan.
Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber kekuatan dalam melakukan
21

kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada proses berfikir yang


menyimpang dan keyakinan konseli di masa lalunya yang berpotensi merubah
kepercayaan dan tingkah laku kea rah yang lebih baik.
6) Cognitive-Behaviour Therapy merupakan edukasi, bertujuan
mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan
menekankan pada pencegahan.
Sesi pertama CBT mengarahkan konseli untuk mempelajari sifat dan
permasalahan yang dihadapinya termasuk proses konseling cognitive-
behaviour serta model kognitifnya karena CBT meyakini bahwa pikiran
mempengaruhi emosi dan perilaku. Konselor membantu menetapkan tujuan
konseli, mengidentifikasi dan mengevaluasi proses berfikir serta keyakinan
konseli. Kemudian merencanakan rancangan pelatihan untuk perubahan
tingkah lakunya.
7) Cognitive-Behaviour Therapy berlangsung pada waktu yang terbatas.
Pada kasus – kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan antara 6
sampai 14 sesi. Agar proses konseling tidak membutuhkan waktu yang
panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat membantu dan melatih
konseli untuk melakukan self-help.
8) Cognitive-Behaviour Therapy yang terstruktur.
Struktur ini terdiri dari tiga bagian konseling. Bagian awal, menganalisis
perasaan dan emosi konseli, menganalisis kejadian yang terjadi dalam satu
minggu kebelakang, kemudian menetapkan agenda untuk setiap sesi
konseling. Bagian tengah, meninjau pelaksanaan tugas rumah (homework
asigment), membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang telah
berlangsung, serta merancang pekerjaan rumah baru yang akan dilakukan.
Bagian akhir, melakukan umpan balik terhadap perkembangan dari setiap sesi
konseling. Sesi konseling yang terstruktur ini membuat proses konseling lebih
dipahami oleh konseli dan meningkatkan kemungkinan mereka mampu
melakukan self-help di akhir sesi konseling.
22

9) Cognitive-Behaviour Therapy mengajarkan konseli untuk


mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran
disfungsional dan keyakinan mereka. Setiap hari konseli memiliki
kesempatan dalam pikiran – pikiran otomatisnya yang akan mempengaruhi
suasana hati, emosi dan tingkah laku mereka. Konselor membantu konseli
dalam mengidentifikasi pikirannya serta menyesuaikan dengan kondisi realita
serta perspektif adaptif yang mengarahkan konseli untuk merasa lebih baik
secara emosional, tingkah laku dan mengarungi kondisi psikologis negatif.
Konselor juga menciptakan pengalaman baru yang disebut dengan
eksperimen perilaku. Konseli dilatih untuk menciptakan pengalaman barunya
dengan cara menguji pemikiran mereka (misalnya : jika saya melihat gambar
laba-laba, maka akan saya merasa sangat cemas, namun saya pasti bisa
menghilangkan perasaan cemas tersebut dan dapat melaluinya dengan baik).
Dengan cara ini, konselor terlibat dalam eksperimen kolaboratif. Konselor
dan konseli bersama-sama menguji pemikiran konseli untuk mengembangkan
respon yang lebih bermanfaat dan akurat.
10) Cognitive-Behaviour Therapy menggunakan berbagai teknik untuk
merubah pemikiran, perasaan dan tingkah laku. Pertanyaan – pertanyaan
yang berbentuk sokratik memudahkan konselor dalam melakukan konseling
cognitive-behaviour. Pertanyaan dalam bentuk sokratik merupakan inti atau
kunci dari proses evaluasi konseling. Dalam proses konseling, CBT tidak
mempermasalahkan konselor menggunakan teknik – teknik dalam konseling
lain seperti teknik Gestalt, Psikodinamik, Psikoanalisis, selama teknik tersebut
membantu proses konseling yang lebih singkat dan memudahkan konselor
dalam membantu konseli. Jenis teknik yang dipilih akan dipengaruhi oleh
konseptualisasi konselor terhadap konseli, masalah yang sedang ditangani, dan
tujuan konselor dalam sesi konseling tersebut.
2.3.8 Tehnik CBT pada Skizofrenia
Terapi kognitif-perilaku untuk gangguan psikotik memerlukan derajat
tilikan terhadap penyakit yang paling tinggi dibandingkan dengan intervensi
rehabilitasi lain. Pada CBT, terapis melabel ulang peristiwa – peristiwa atau
23

fenomena yang merupakan patologi. Jadi, walaupun intervensi kognitif-perilaku


terutama berdasar pada tehnik pengajaran untuk memahami dan menemukan
proses pikir yang spesifik, beberapa faktor yang tidak spesifik tampaknya
berpengaruh terhadap keberhasilan terapi, khususnya perkembangan aliansi
teraupetik pasien harus mampu memperoleh tilikan dalam kerangka hubungan
suportif dan empati dengan ahli professional yang berpengetahuan dan peduli.
Karena itu, CBT harus mengikuti urutan hierarki yang spesifik, yang terdiri dari :
pertama ; menarik hati pasien agar mau terlibat dan menyetujui terapi, kedua ;
memberikan pemahaman tentang proses kognitif dengan disertai suatu proses
sosialisasi (yaitu pasien menerima bahwa kepercayaan atau perilaku yang
sekarang tidak “bekerja”), dan akhirnya menunjukkan dan melatih tehnik
intervensi tertentu. Perkembangan tehnik yang demikian melibatkan tiga fase
“kontrol diri” seperti yang dijelaskan oleh Breier dan Strauss :
1) Pasien jadi menyadari adanya gejala – gejala psikotik dan pre-psikotik
melalui pengawasan diri dan identifikasi perilaku
2) Pasien mengenal maksud dari perilaku tersebut dan mengembangkan
kapasitas untuk evaluasi diri. Pada waktunya, mereka juga dapat
mempercayai orang lain untuk membantu evaluasi
3) Mekanisme kontrol diri seperti instruksi diri dan aktifitas – aktifitas
tertentu dipilih (relaksasi atau sebaliknya, “menjadi sibuk” sebagai suatu
pengalihan) (Heydebrand, 2002).
Teknik CBT yang digunakan untuk pendekatan pasien skizofrenia
dikelompokkan sebagai berikut :
1) CBT untuk Waham
Model ini berfokus pada penyusunan ulang psikosis sebagai pikiran yang
terganggu, yang menunjukkan (salah) interpretasi pada pengalaman
(misalnya halusinasi, waham). Beberapa faktor diperlukan untuk
keberhasilan outcome.
Faktor – faktor keberhasilan CBT untuk waham :
a) Kekuatan kepercayaan, yang dapat berhubungan dengan berapa lama
kepercayaan tersebut telah ada (dan keseluruhan sistem waham)
24

b) Konsekuensi melepaskan kepercayaan. Penerimaan sosial yang


meningkat dapat menjadi alas an untuk melepaskan kepercayaan,
tetapi pertahanan terhadap citra diri seseorang dapat mendorong
timbulnya resistensi. Akan tetapi, banyak pasien menyadari pada
beberapa tingkat “kerugian” dari mengakui waham.
c) Bersama – sama menemukan penjelasan lain. Faktor ini tergantung
keterampilan terapis dalam memahami kepercayaan tersebut dan yang
mendahului, dan kemampuan terapis dalam mengembangkan strategi
hubungan untuk menantang mereka melalui rangkaian yang sesuai,
dan juga ketekunan dalam menindaklanjuti pasien.
d) Bagaimana penjelasan diberikan. Terapis yang melakukan pendekatan
sistem waham dengan sikap modifikasi dan bukan konfrontasi
cenderung lebih berhasil.
e) Hubungan terapis-pasien. Pasien yang menyukai dan menghormati
terapisnya akan lebih mungkin untuk menerima penjelasan dan sabar
menghadapi tantangan dari terapisnya (Heydebrand, 2002).
Dalam mengembangkan dan melaksanakan suatu rencana terapi CBT
untuk mengubah kepercayaan, terapis harus mengikuti pedoman yang
menyusun serangkaian “target”. Kepercayaan yang kurang dipegang kuat
harus menjadi target yang pertama, karena ekplorasi kepercayaan-
kepercayaan ini kurang cenderung menimbulkan ansietas dan resistensi
yang tinggi (seperti pada desensitasi sistemik). Konfrontasi langsung
sebaiknya dicegah. Sebaliknya, pasien sebaiknya diminta untuk
mempertimbangkna fakta – fakta dan mempunyai kepercayaan lain.
Diskusi harus berfokus bukan pada kepercayaan tetapi bukti dari
kepercayaan itu. Akhirnya, pasien harus didorong untuk mengembangkan
dan menyuarakan pendapat yang melawan kepercayaan dan bukan
mendengarkan secara pasif saat terapis menjelaskan ketidaklogisan waham
tersebut.
Seperti tipe CBT lainnya, tantangan dilakukan selama periode minggu
atau bulan, dan gejala – gejala target dapat muncul kembali saat episode
25

stress. Oleh karena itu pernyataan klinis yang menyatakan bahwa sia – sia
untuk berdebat dengan pasien waham mungkin dapat dianggap benar pada
situasi tertentu, tetapi penelitian – penelitian menunjukkan bahwa CBT
dapat secara bertahap melemahkan kepercayaan terhadap waham, yang
kemudian akan mengurangi kecenderungan untuk berlaku seperti
kepercayaan tersebut (Heydebrand, 2002).
2) CBT untuk Halusinasi
Untuk intervensi langsung (yaitu mengajari pasien untuk mengatasi
suara – suara) terdapat dua cara yang benar – benar bertentangan :
pengalihan dan pemusatan. Akan tetapi, keduanya berdasarkan dalil bahwa
pengalaman halusinasi menyebabkan ansietas yang berhubungan dengan
fungsi dan dengan demikian membuat gejala ini terus menetap.
Pada metode pengalihan, pasien diajari untuk mendengarkan music
(misalnya menggunakan handphone), membaca, melakukan metode lain
untuk menjauhkan pusat perhatian mereka dari rangsang internal. Jadi,
halusinasi sebaiknya dihilangkan melalui penurunan ansietas dan
reaktifitas.
Pada metode pemusatan, pasien mengikuti suatu pendekatan
desensitisasi untuk membiasakan mereka dengan gagasan bahwa suara –
suara yang mereka alami adalah gejala psikologis yang dapat mereka
control. Pertama, mereka dilatih untuk mengidentifikasi dan menjelaskan
gambaran fisik dari halusinasi (jumlah, kekerasan, jenis kelamin, aksen,
lokasi). Melacak gejala dan membicarakan pengalamannya bertujuan agar
tidak membingungkan proses.
Selanjutnya, isi dari halusinasi, serta pikiran dan emosi yang terkait,
dicatat. Dalam mengulas pola halusinasi seseorang, pasien dapat mulai
menyadari bahwa hal tersebut ditimbulkan oleh stressor tertentu, dan
bahwa hal itu juga menyebabkan ansietas, kemarahan, atau putus asa.
Kemudian, menmyadari bahwa gagasan tersebut tidak datang dari Tuhan
atau setan tetapi akibat dari gejolak dopamine dalam sistem limbik.
Akhirnya, pasien diminta untuk menggambarkan apa arti dari suara – suara
26

tersebut bagi mereka (sistem kepercayaan-suara apakah itu, dari mana


suara itu berasal?). Dengan menceritakan persepsi dan artinya mereka
telah menyampaikan gejala, mereka jadi lebih terbuka untuk memberikan
penjelasan lain, dan kemudian dapat mulai menggunakan pembicaraan diri
untuk mengatasi halusinasi.
Kedua pendekatan ini tampak berhasil pada beberapa tingkat,
tetapi perbedaan individual (karakteristik pasien) mungkin menentukan
afektifitas. Karakteristik tersebut meliputi intensitas dan kwlitas halusinasi
dan latar belakang budaya pasien, pendidikan, kemampuan abstraksi, dan
pertahanan secara keseluruhan.
3) CBT untuk Gejala Negatif
Skizofrenia dengan gejala – gejala negatif yang menonjol (afek
datar, kemiskinan pembicaraan, penurunan inisiatif, anhedonia, penarikan
diri dari sosial, perhatian yang terbatas) cenderung memiliki outcome yang
buruk, sebagian akibar dari manfaat pengobatan yang terbatas dan
mungkin perubahan struktur otak. Intervensi kognitif – perilaku untuk
sindrom ini sama dengan yang digunakan untuk memperbaiki letargi yang
berhubungan dengan depresi, dan dapat meliputi penjadwalan aktifitas,
pelatihan keterampilan.
a) Penjadwalan Aktifitas. Awalnya, pasien dengan gejala – gejala
negatif yang mencolok membutuhkan seorang dokter untuk menyusun
jadwal sehari–harinya. Mereka akhirnya mampu berpartisipasi atau
bertanggung jawab untuk menyusun rutinitas harian mereka sendiri.
tingkat dan jenis aktifitas sebaiknya ditingkatkan secara bertahap,
untuk mencegah kegiatan yang terlalu berlebihan dimana pasien tidak
biasa dengan hari yang sangat “bersemangat”. Secara signifikan, jenis
jadwal ini sangat mirip dengan jadwal yang dibentuk untuk pasien –
pasien cedera otak dengan defisit lobus frontal. Tingkat detail dalam
bagan aktifitas pasien tentu saja ditentukan dengan seberapa banyak
struktur yang dibutuhkan, dan dapat bervariasi dari panduan umum
sampai rangkaian yang sangat spesifik. Untuk pasien dengan gangguan
27

berat dalam suatu tempat tinggal, seorang pembantu dapat bekerja


dengan mereka untuk memberikan dorongan yang positif dan pujian
saat pasien menyelesaikan masing – masing langkah, sampai sebuah
rutinitas dikembangkan.
Elemen penting pada penjadwalan aktifitas yaitu adanya tugas
dalam suatu hierarki bertingkat, yang dimulai dengan target awal yang
sesuai dan dapat dicapai. Keuntungan menggunakan pendekatan
penjadwalan aktifitas termasuk menunjukkan pada pasien bahwa
perubahan dapat terjadi, dan membantunya mencapai tujuan yang pada
awalnya mungkin terlihat sulit. Ketrampilan terapis berdasar pada
sejauh mana membantu pasien mengidentifikasi dan membicarakan
tujuan yang diinginkan dan membentuk rangkaian langkah – langkah
untuk mencapai tujuan tersebut ke dalam unit – unit pengaturan yang
lebih kecil. Struktur dan panduan yang diberikan oleh terapis berfungsi
untuk melawan rasa putus asa dan tidak memiliki motivasi yang
dialami oleh banyak pasien skizofrenia.
b) Pelatihan Ketrampilan.
Untuk pasien – pasien dengan gejala negatif yang menyolok, pelatihan
ketrampilan harus berfokus pada interaksi sosial tetapi juga melibatkan
perkembangan ketrampilan fungsional seperti memasak atau aktifitas yang
berhubungan dengan pekerjaan. Kuncinya adalah mengidentifikasi dan
memahami sifat defisit (misalnya “kurang motivasi”), dan memecah target
ketrampilan menjadi langkah – langkah kecil yang dapat diajarkan dalam
rangkaian pembentukan. Tantangan dari intervensi ini adalah
mengembangkan target yang diminati pasien untuk dicapai (yaitu yang
memiliki makna dan relevansi (Heydebrand, 2002).
2.3.9 Terapi Perilaku Kognitif Dalam Penggunaan NAPZA
Terapi perilaku kognitif memiliki mekanisme yang bertujuan untuk
membantu pasien agar dapat mengendalikan dirinya terhadap pemakaian napza
yang dialaminya. Hal ini membuat pasien lebih mudah untuk bisa keluar dari
28

masalah yang sedang dialami yang dapat mempengaruhi diri pasien (Priharjo,
1993).
Bagian-bagian tersebut antara lain, situasi masalah, kejadian atau situasi
yang sulit dapat diikuti oleh pikiran, emosi, perasaan, tindakan dan tingkah laku.
Masing-masing bagian itu dapat mempengaruhi satu sama lain. Bagaimana cara
pasien mengendalikan respon atau keinginan dalam pemakaian napza yang
dialami dapat mempengaruhi, bagaimana juga pasien merasakannya secara fisik
dan secara emosional (Tamsuri, 2007), Sebagai contoh, ketika pasien dengan
kasus pemakaian napza mulai akrab merasakan sensasi terhadap pemakaian napza
tersebut, pasien mungkin mempunyai indra untuk mengetahui bagaimana perasaan
itu akan berkembang (Priharjo, 1993).
Terapi perilaku kognitif seseorang dapat latihan berfikir yang lebih
spesifik guna meningkatkan kemampuan koping dan kontrol perasaan. Terapi
dapat mendorong seseorang untuk merubah cara dan respon terhadap gejala yang
timbul (Keefe.F.J, 1996). Terapi perilaku kognitif lebih efektif kerjanya bila
dilakukan bersamaan dengan adanya konsultan untuk mencapai tujuannya. Terapi
perilaku kognitif dapat membantu pasien dengan penyalahgunaan napza dengan
merubah cara berfikir terhadap akibat yang bisa ditimbulkan dari pemakaian
napza.
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian Keperawatan Jiwa
3.1.1 Identitas
Nama : Sdr. IL
Alamat : Jl. Subrasta VI No. 9 Komplek Kowilhan
Umur : 18 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Belum bekerja
Suku : Batak
Pendidikan : SMA
Status pernikahan : Belum Menikah
3.1.2 Keadaan umum
Sdr. IL mulai menggunakan narkotika jenis sabu sejak 3 tahun lalu. Berawal
dari ajakan kakak kelasnya untuk mencoba narkoba jenis sabu. Mulanya sabu
tersebut diberikan secara gratis setelah itu klien menjadi kecanduan dan akhirnya
sabu tersebut tidak diberikan secara gratis namun harus dibeli. Hingga saat ini
klien menjadi kecanduan sabu. Klien menyatakan bahwa dia belum pernah
menjalani pengobatan medis karena dia merasa tidak sakit. Klien mengkonsumsi
sabu ketika berkumpul dengan temannya yang sama-sama mengkonsumsi sabu.
Klien menyatakan dia tidak bisa lepas dari sabu karena jika tidak memakai sabu
tersebut badannya terasa tidak enak, lemas, dan tidak bergairah melakukan
aktivitas, klien pun merasa tidak percaya diri. Keluarga merasa resah dengan
keadaan klien yang selalu membuat masalah dilingkungan tempat tinggal seperti
mencuri, bertengkar dengan teman, dan lainnya. Dari hasil pengamatan pada
klien, mata terlihat cekung, pandangan tidak fokus pada saat wawancara, bicara
kadang tidak sesuai dengan topik.
3.1.3 Faktor Predisposisi
Klien tidak pernah mengalami gangguan jiwa dan tidak ada anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Sebelumnya tidak pernah mengalami
trauma seperti aniaya fisik, aniaya seksual, penolakan, kekerasan dalam keluarga.

29
30

klien pernah mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan yaitu klien


terlibat perkelahian antar pelajar pada usia 17 tahun yang membuat klien
dikeluarkan dari sekolah asalnya dan pindah ke sekolah swasta.
3.1.4 Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil tekanan darah 110/70 mmHg, HR
70 x/menit, RR 20 x/menit, dan suhu 37,20C, TB : 170 cm, BB : 70 Kg.
Kesadaran compos mentis. Klien tidak mengalami gangguan fisik.
3.1.5 Psikososial
Klien anak ke 5 dari 5 bersaudara, klien tinggal bersama orangtua. Klien
mempunyai riwayat pendidikan SMA dan belum bekerja. Pada saat klien kelas 2
SMA klien pernah dikeluarkan dari sekolah negeri dan pindah sekolah ke sekolah
swasta karena terlibat perkelahian antar pelajar. Saat ini klien mengakui
menggunakan narkotika jenis sabu bersama teman-temannya, klien tidak dapat
berhenti menggunakan sabu karena apabila berhenti klien merasa lemas, tidak
percaya diri, dan tidak bersemangat, klien juga merasa tidak diterima oleh teman-
temannya.
3.1.6 Hubungan sosial
Klien menyatakan orang yang berarti saat ini adalah keluarganya. Klien
tidak memiliki peran dalam kelompok atau masyarakat karena klien hanya bergaul
dengan teman-teman sesama pengguna napza.
3.1.7 Spiritual
Klien beragama islam, dan tidak pernah melakukan shalat 5 waktu. Kadang-
kadang mengikuti shalat jum’at di masjid dekat rumah klien.
3.1.8 Status Mental
Pada saat dilakukan pengkajian klien berpenampilan kurang rapi,
penggunaan pakaian sesuai. Cara bicara pelan dan kurang fokus pada topik
pembicaraan. Aktifitas motorik klien agak lesu, afek klien berespon sesuai
stimulus, klien kooperatif selama wawancara namun kontak mata kurang. Klien
tidak ada masalah pada persepsi, proses pikir, isi piker dan waham.
3.1.8 Mekanisme Koping
Klien tidak dapat menghindari keinginan klien untuk mengkonsumsi sabu.
31

3.1.9 Masalah Psikososial dan Lingkungan


Klien tidak mengikuti kegiatan kelompok diliingkungan rumahnya, klien
hanya berteman dengan sesama pengguna napza, klien susah mendapatkan
pekerjaan.

3.2 Analisis Masalah dan Diagnosa Keperawatan


Koping individu inefektif merupakan diagnosa keperawatan yang
ditegakkan, didukung oleh data subjektif yaitu klien mengatakan belum mampu
mengatasi keinginan menggunakan sabu sedangkan data objektifyang mendukung
adalah klien.

3.3 Pohon Masalah


Menggunakan NAPZA

Belum mampu mengatasi keinginan menggunakan zat

Koping individu tidak efektif

3.4 Intervensi Keperawatan


Dari diagnosa keperawatan yang telah ditetapkan yaitu koping individu
tidak efektif maka rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan adalah
strategi pertemuan pada klien dengan dua strategi pertemuan. Strategi pertemuan
pertama yaitu:
Setelah dilakukan interaksi dengan klien, penulis dapat membina hubungan saling
hubungan saling percaya, mampu menjelaskan pada klien dampak napza bagi
kesehatan, mampu membantu klien untuk meningkatkan motivasi untuk berhenti
menggunakan napza dalam hal ini klien memiliki keinginan untuk dapat bekerja
dan memiliki penghasilan sendiri sehingga klien dapat hidup mandiri dimana hal
itu dapat menjadi motivasi bagi klien untuk dapat berhenti menggunakan napza
32

kemudian membantu klien untuk menggunakan motivasi tersebut dalam


mengontrol keinginan menggunakan napza. Selanjutnya penulis mampu
membantu klien melatih cara meningkatkan motivasi pilihan klien yaitu dengan
cara bercocok tanam di kebun milik orangtua klien dan melatih mengontrol
keinginan menggunakan napza dengan cara melakukan kegiatan bercocok tanam
secara rutin kemudian memasukan kegiatan bercocok tanam kedalam jadwal
latihan (SP 1);
Mampu membantu klien untuk mendapatkan cara menyelesaikan masalah,
klien memilih untuk melakukan sharing dengan penulis bila klien mendapatkan
masalah. Selanjutnya penulis membantu klien untuk hidup sehat yaitu
menganjurkan klien untuk sedikit demi sedikit mengurangi kebiasaan klien
merokok dan menggunankan sabu. Selanjutnya penulis membantu klien dalam
melatih cara menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat (SP 2). Masing –
masing intervensi akan dilakukan pada minggu pertama setelah penulis
melakukan pengkajian pada klien dan tetap dilakukan fokus intervensi yaitu
mengaplikasikan CBT pada klien sampai minggu kedua.

3.5 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


Fokus intervensi yang dilakukan yaitu mengontrol keinginan klien dalam
menggunakan napza dengan cara menerapkan CBT (Cognitive Behaviour
Therapy).
33

TERAPI KOGNITIF DAN PERILAKU PADA


KLIEN DENGAN KOPING INDIVIDU INEFEKTIF
Nama : Sdr. IL
Usia : 19 tahun
Sesi 1 Problem utama dan target Tidak dapat berhenti menggunakan
masalah napza jenis sabu. Apabila berhenti
menggunakan sabu, badan terasa tidak
enak, merasa lemas, tidak bersemangat
melakukan aktifitas dan tidak percaya
diri
Target masalah : Koping individu
inefektif
Sesi 2 Pemeriksaan C (consequence) Mata terlihat cekung, pandangan tidak
fokus pada saat wawancara, bicara
kadang tidak sesuai dengan topik.
Pemeriksaan A (activating Teman-teman klien pengguna napza
event) juga
Sesi 3 Pemeriksaan dan identifikasi Tidak percaya diri bila tidak
problem emosional sekunder menggunakan sabu

Mengajari hubungan B-C Koping individu inefektif : tidak dapat


lepas menggunakan sabu
Sesi 4 Pemeriksaan B (believe) Tidak percaya diri dan merasa dijauhi
oleh teman-temannya bila tidak
menggunakan sabu.
Sesi 5 Menghubungkan B-C Bila tidak menggunakan sabu klien
merasa tidak bersemangat,
Sesi 6 Menggoyahkan B Teman-teman adek adalah pengguna
napza yang tidak ingin berubah, yang
tidak memiliki motivasi seperti adek.
Apabila adek tetap bergaul bersama
mereka, motivasi yang kamu miliki
tidak akan tercapai, sampai kapan adek
bergantung pada orang tua?, karena
orang tua adek sudah semakin tua, tidak
mungkin dapat menjaga dan memenuhi
semua kebutuhan adek. Teman-teman
adek tidak ingin kamu berubah, mereka
ingin kamu rusak bersama mereka.
Masih banyak teman-teman adek di
komplek ini yang lebih baik, yang
memiliki motivasi yang sama, yang
dapat membantu adek untuk mencapai
motivasi adek.
34

Sesi 7 Mempersiapkan keyakinan Keluarga adek lebih senang bila adek


baru bekerja yang baik, hidup sehat dan
tidak menggunakan napza lagi. Orang
tua adek akan merasa bangga bila adek
hidup sehat dan normal. Adek akan
memiliki pekerjaan yang baik, memiliki
penghasilan sendiri dan tidak
menyusahkan orang lain.
Sesi 8 Mendorong belajar Bila adek melakukan aktifitas seperti
mempraktekkan keyakinan bercocok tanam, adek dapat
baru dengan pekerjaan rumah melewatkan keinginan adek untuk
menggunakan sabu. Bila keinginan
untuk menggunakan sabu itu terus
datang, maka adek harus ingat kembali
motivasi adek. Motivasi adek itu tidak
akan terjadi bila adek masih terus
menggunakan sabu.
Sesi 9 Evaluasi, cek pekerjaan rumah Klien terlihat bercocok tanam menanam
jagung di kebun rumahnya. Klien juga
menanam bunga di pot-pot bunga
dihalaman rumahnya.
Motivasi klien untuk terus beraktifitas
Sesi Memfasilitasi proses terapi Memberikan pujian bila klien terlihat
10 aktif. Memberikan pupuk untuk dapat
digunakan di tanaman yang ditanam
klien.

Pelaksanaan CBT :
15 Pebruari 2017 : Sesi 1 – Sesi 2
17 Pebruari 2017 : Sesi 3 – Sesi 4
18 Pebruari 2017 : Sesi 5 – Sesi 6
20-21 Pebruari 2017 : Sesi 7 – Sesi 8
23 Pebruari 2017 : Sesi 9 – Sesi 10
Evaluasi pada pertemuan ketiga dimana penulis melakukan SP 1 adalah,
pada data subjektif klien mengatakan akan berusaha mengontrol keinginan klien
menggunakan napza, serta klien mengatakan akan berusaha menjalankan hidup
sehat demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pada data objektif, klien
sangat kooperatif dan klien tampak sangat antusias dalam mengikuti kegiatan.
Asesmen yang penulis dapatkan ada, masalah koping individu inefektif teratasi
35

sebagian, planning atau rencana tindakan pada SP 1 ini adalah lanjutkan


intervensi SP 2. Penulis menganjurkan kepada klien untuk melakukan latihan cara
meningkatkan motivasi dan cara mengontrol keinginan untuk menggunakan zat
kedalam jadwal kegiatan harian dan menetapkan kembali kontrak pertemuan
berikutnya.
Pertemuan keempat 18 februari 2017 penulis melakukan Sp 2. Penulis
membantu mengevaluasi kegiatan sebelumnya dan melatih kembali cara
meningkatkan motivasi dan mengontrol keinginan. Pada kegiatan ini klien masih
cukup mampu melakukan cara meningkatkan motivasi dan mengontrol keinginan
dengan baik. Pada pertemuan ini penulis dan klien juga mendiskusikan cara
menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat. Klien terlihat kooperatif saat
berdiskusi. Kemudian penulis dan klien melakukan latihan cara menyelesaikan
masalah dan cara hidup sehat. Klien menyatakan sudah mengerti cara
menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat. Penulis menganjurkan kepada
pasien dan keluarga untuk melakukan pengobatan medis. Penulis menganjurkan
klien memasukkan kegiatan dalam jadwal kegiatan harian dan menetapkan
kembali kontrak pertemuan berikutnya.
Pertemuan kelima dan keenam pada tanggal 20-21 februari 2017 penulis
melakukan sesi 7 dan 8, klien sangat kooperatif, evaluasi keseluruhan kegiatan.
Klien tampak kooperatif melakukan kegiatan. Penulis kembali menganjurkan
klien mengulang latihan dalam jadwal kegiatan harian.
BAB IV
ANALISA KASUS
4.1 Analisa Pengkajian
Menurut Stuart dan Sundeen pengkajian merupakan tahap awal dan dasar
utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data
dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi
identitas klien, identitas penanggung jawab, pemeriksaan fisik, tanda vital,
psikososial, spiritual dan kegiatan sehari-hari (Keliat, 2010).
Saat dilakukan pengkajian pada Sdr. IL, diperoleh data subjektif, klien
menyatakan dia tidak bisa lepas dari sabu karena jika tidak memakai sabu tersebut
badannya terasa tidak enak, lemas, dan tidak bergairah melakukan aktivitas. Data
subjektif dari keluarga, keluarga merasa resah dengan keadaan klien yang selalu
membuat masalah dilingkungan tempat tinggal seperti mencuri, bertengkar
dengan teman, dan lainnya. Data objektif yang didapat saat pengkajian oleh
penulis adalah pada klien, mata terlihat cekung, pandangan tidak fokus pada saat
wawancara, dan hiperaktif. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil tekanan
darah 110/70 mmHg, HR 70 x/menit, RR 20 x/menit, dan suhu 37,20C, kesadaran
compos mentis. Hal ini menunjukkan masalah keperawatan pada Tn Y adalah
koping individu inefektif: belum mampu mengatasi keinginan menggunakan zat
tersebut.
Martono (2006) dalam purba,dkk (2013) menjelaskan bahwa
penyalahgunaan napza mempunyai dampak yang sangat luas bagi pemakainya
(diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta masyarakat, bangsa dan
negara. Bagi diri sendiri penyalahgunaan napza dapat mengakibatkan
tergantungnya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi
(keracunan), overdosis (OD), yang didapat menyebabkan kematian karena
terhentinya pernapasan dan perdarahan otak, kekambuhan, gangguan perilaku
(mental sosial), gangguan kesehatan, menurutnya nilai-nilai, dan masalah
ekonomi dan hukum. Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan
pada pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga golongan/jenis) yaitu
upper merupakan jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti

36
37

sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin. Downer yang merupakan golongan narkoba


yang dapat membuat orang yang memakai jenis narkoba itu jadi tenang dengan
sifatnya yang menenangkan/sedatif seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa
cemas, dan halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat
racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis.
Bagi keluarga, penyalahgunaan napza dalam keluarga dapat
mengakibatkan suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana
orang tua akan merasa malu karena memiliki anak pecandu, karena bersalah, dan
berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa
putus asa karena pengeluaran meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun
melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni
dirumah tahanan maupun lembaga permasyarakatan.
Bagi pendidikan atau sekolah, Napza akan merusak disiplin dan motivasi
yang sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan napza berhubungan
dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang mengganggu suasana tertib dan
aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian.
Bagi masyarakat, bangsa, dan negara, penyalahgunaan napza
mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya
sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan napza yang sangat sulit diputuskan
mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan
kesinambungan pembangunan terancam. Akibatnya negara mengalami kerugian
karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan meningkat serta sarana dan
prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.
Pengkajian yang dilakukan pada klien dengan ketergantungan NAPZA
pada kasus ini meliputi:
1. Kaji situasi kondisi penggunan zat (Kapan zat digunakan, kapan zat menjadi
lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah, kapan zat dikurangi/
dihentikan, sekalipun hanya sementara).
2. Kaji resiko yang berkaitan dengan penggunaan zat ( Berbagi peralatan
suntik, perilaku seks yang tidak nyaman, menyetir sambil mabuk, riwayat
over dosis, riwayat serangan (kejang) selama putus zat)
38

3. Kaji pola penggunaan (Waktu penggunaan dalam sehari, penggunaan


selama seminggu, tipe situasi, lokasi, kehadiran atau bertemu dengan orang-
orang tertentu, adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan), adanya
faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat tidur atau stres
yang berkepanjangan).
4. Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi bila
tidak menggunakan.

4.2 Analisa Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis terhadap respon aktual atau
potensial dari individu, keluarga atau masyarakat terhadap masalah kesehatan atau
proses kehidupan (Keliat, 2010).
Dari yang diperoleh penulis, sesuai dengan teori yang ada diatas
disimpulkan bahwa masalah utama klien adalah koping individu inefektif yang
didukung dengan data subjektif dan objektif dari klien.
Penyebab dari masalah keperawatan penggunaan napza adalah koping
individu inefektif. Sebagai tindak lanjut tersebut, penulis melakukan implementasi
keperawatan yang disesuaikan dengan standart asuhan keperawatan (SAK).
Rencana tindakan tersebut telah dilaksanakan dan dievaluasi kemudian
dibandingkan dengan teori dan penelitian yang ada.

4.3. Analisis Intervensi dan Evaluasi Keperawatan


Penanganan pasien pada kasus ini adalah menggunakan terapi non
farmakologi. Terapi non-farmakologi lebih aman digunakan karena tidak
menimbulkan efek samping seperti obat-obatan karena terapi non farmakologi
menggunakan proses psiologis.
Strategi pertemuan yang dilakukan oleh penulis adalah dengan melakukan
strategi pertemuan yang dilakukan sebanyak dua kali pada klien. Diharapkan
kegiatan strategi pertemuan pertama mendapatkan kriteria hasil klien mampu:
1. Membina hubungan saling percaya
2. Mengetahui dampak napza
39

3. Mengetahui cara meningkatkan motivasi


4. Mengetahui cara mengontrol keinginan
5. Latihan cara meningkatkan motivasi
6. Latihan cara mengontrol keinginan
7. Membuat jadwal aktivitas
Setelah kegiatan strategi pertemuan pertama dilakukan pada klien, dilanjutkan
dengan strategi pertemuan kedua yang diharapkan mendapatkan kriteria hasil:
1. Mengetahui cara menyelesaikan masalah
2. Menjalankan cara hidup sehat
3. Latihan cara menyelesaikan masalah
Setelah dilakukan strategi pertemuan pertama dan kedua, dilakukan
evaluasi. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah strategi pertemuan yang
dilakukan telah mencapai tujuan atau kriteria hasil yang diharapkan. Hal yang
dievaluasi dari klien adalah sebagai berikut:
1. Klien mengetahui dampak napza
2. Klien mampu melakukan cara meningkatkan motivasi untuk berhenti
menggunakan napza
3. Klien mampu mengontrol kemampuan keinginan menggunakan napza
kembali dengan melakukan aktifitas bercocok tanam.
4. Klien dapat menyelesaikan masalahnya dengan koping yang adaptif
5. Klien dapat menerapkan cara hidup sehat
6. Klien mematuhi program pengobatan

4.4. Analisis Implementasi dan Evaluasi keperawatan


Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, yaitu
kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan mengikuti
komponen perenanaan dari proses keperawatan (Potter & Perry, 2005).
Pertemuan pertama 15 februari 2017 penulis membina hubungan saling
percaya dengan klien kemudian melakukan kontrak untuk dikaji pada pertemuan
berikutnya. Pertemuan kedua 16 februari 2017 penulis membina kembali
40

hubungan saling percaya kemudian melakukan anamnesa dan pengkajian


keperwatan jiwa. Saat diwawancara klien kooperatif dan kontak mata baik
Pertemuan ketiga 17 februari 2017 penulis melakukan strategi pertemuan pertama
(SP 1) pada klien dengan terlebih dahulu mendiskusikan dampak napza,
mendiskusikan cara meningkatkan motivasi, pada sesi ini penulis menanyakan
rencana kehidupan klien akan datang, apakah klien hanya ingin hidup seperti
sekarang. Klien menjawab bahwa klien ingin sekali bekerja dan memiliki
penghasilan sendiri, setelah itu klien ingin menikah dan hidup bahagia. Atas dasar
keinginan klien tersebut penulis memeberikan motivasi agar klien selalu
mengingat rencana klien tersebut setiap klien merasa ada keinginan untuk
menggunakan napza, dengan harapan klien dapat segera mengurungkan niatnya
untuk menggunakan napza. Setelah itu penulis mendiskusikan cara mengontrol
keinginan menggunakan napza. Pada sesi mendiskusikan cara mengontrol
keinginan menggunakan napza, penulis terlebih dahulu menjelaskan efek apabila
klien baru pertama kali mencoba untuk berhenti menggunakan napza, penulis
menjelaskan bahwa hal itu normal muncul pada saat klien akan berhenti, cara
mengatasinya adalah dengan mengingat kembali motivasi yang sudah klien
rencanakan, bahwa rencana tersebut tidak akan terealisasi apabila klien masih
menggunakan napza. Setelah itu untuk mengotrol keinginan menggunaka napza
klien harus melakukan sesuatu yang dapat membuat klien rileks, dalam hal ini
klien mengatakan akan merasa rileks bila mendengarkan lagu-lagu rohani. Sesi
selanjutnya adalah melakukan latihan cara meningkatkan motivasi, melakukan
latihan cara mengontrol keinginan dan membuat jadwal aktivitas. Pada sesi ini
penulis mengajak klien untuk bercocok tanam agar perhatian klien terpusat pada
aktifitasnya dan tidak mengingat keinginan klien untuk menggunakan napza.
Evaluasi pada pertemuan ketiga dimana penulis melakukan SP 1 adalah,
pada data subjektif klien mengatakan akan berusaha mengontrol keinginan klien
menggunakan napza, serta klien mengatakan akan berusaha menjalankan hidup
sehat demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pada data objektif, klien
sangat kooperatif dan klien tampak sangat antusias dalam mengikuti kegiatan.
Asesmen yang penulis dapatkan ada, masalah koping individu inefektif teratasi
41

sebagian, planning atau rencana tindakan pada SP 1 ini adalah lanjutkan


intervensi SP 2. Penulis menganjurkan kepada klien untuk melakukan latihan cara
meningkatkan motivasi dan cara mengontrol keinginan untuk menggunakan zat
kedalam jadwal kegiatan harian
Pertemuan keempat 19 februari 2017, penulis melakukan strategi
pertemuan kedua (SP 2). Penulis membantu mengevaluasi kegiatan sebelumnya
dan melatih kembali cara meningkatkan motivasi dan mengontrol keinginan. Pada
kegiatan ini klien masih cukup mampu melakukan cara meningkatkan motivasi
dan mengontrol keinginan dengan baik. Pada pertemuan ini penulis dan klien juga
mendiskusikan cara menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat. Klien terlihat
kooperatif saat berdiskusi. Kemudian penulis dan klien melakukan latihan cara
menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat. Klien menyatakan sudah mengerti
cara menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat.
Pertemuan kelima 21 Februari 2017, penulis melakukan evaluasi
keseluruhan kegiatan. Pada data Subjek klien mengatakan sudah hampir dua hari
klien tidak menggunakan napza sedangkan pada data objek klien sangat
kooperatif melakukan kegiatan, klien terlihat bercocok tanam di kebun rumahnya.
Asesmen yang penulis dapatkan adalah masalah koping individu inefektif teratasi,
rencan tindakan selanjutnya adalah penulis kembali menganjurkan klien
mengulang latihan dalam jadwal kegiatan harian dan tetap meningkatkan motivasi
klien.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengkajian dan observasi yang dilakukan oleh penulis di
Komplek kowilhan desa delitua kecamatan namorambe dapat disimpulkan bahwa
diagnosa pada remaja adalah koping individu inefektif. Koping adalah suatu
upaya yang diarahkan untuk manajemen stres yang berorientasi pada tugas dan
pertahanan ego. Untuk mengatasi masalah koping individu inefektif ini penulis
melakukan asuhan keperawatan pada klien melalui strategi pertemuan yaitu : SP 1
dan SP 2, yaitu membina hubungan saling percaya, mendiskusikan dampak
penggunaan napza, mendiskusikan bagaimana cara meningkatkan motivasi, dan
mendiskusikan bagaimana cara mengontrol keinginan. Pada pertemuan ke 5
penulis mengevaluasi kegiatan sebelumnya, pada kegiatan ini klien masih cukup
mampu melakukan cara meningkatkan motivasi dan mengontrol keinginan dengan
baik. Pada pertemuan ini penulis dan klien juga mendiskusikan cara
menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat.
Setelah melakukan kegiatan SP 1 dan SP 2, pada pertemuan selanjutnya
klien mengulang kembali latihan yang sudah di buat dalam jadwal kegiatan harian
dan menetapkan kembali kontrak, dan setelah dievaluasi didapatkan bahwa klien
dapat mengontrol keinginan menggunakan napza serta klien dapat menjalanan
hidup sehat dengan mengontrol keinginan melalui terapi perilaku kognitif.

5.2 Saran
Kegiatan PBLK ini sangat baik untuk menambah ilmu mahasiswa dalam
menerapkan tindakan keperawatan yang sudah dipelajari. Akan tetapi perlu
adanya sosialisasi terhadap mahasiswa mengenai proses PBLK ini, dimulai dari
jadwal PBLK, waktu yang konsisten pada saat mahasiswa menjalankan praktek
dilahan praktek dan pada saat mahasiswa menyelesaikan laporan PBLK dan
pengaturan format penulisan laporan PBLK karena kami mahasiswa ekstensi 2014
tidak mendapatkan sosialisasi megenai PBLK.

42
43

Bagi Mahasiswa, agar dapat meneliti lebih mendalam tentang terapi


perilaku kognitif pada remaja pengguna napza.
Terapi perilaku kognitif diharapkan dapat menjadi rujukan sebagai terapi
untuk menangani kasus pada remaja pengguna napza yang disebabkan oleh
kesalahan dalam berfikir atau distorsi kognitif.
DAFTAR PUSTAKA

Aldrin. (2017). Apakah Cognitive Behaviour Therapy atau Terapi Perilaku


Kognitif. http://viavitae.co.id/ diakses pada tanggal 20 Februari 2017

Carpernito, L. J. (2000). Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, ed. 2


Jakarta: EGC

Hafid.(2010). Efektifitas Konselinig Kognitif Perilaku (KKP) dalam mengurangi


dampak psikologis konseli adiksi obat.
http://repository.upi.edu/8548/2/d_bk_0602141)chapter1(1).pdf/ diakses
pada tanggal 19 februari 2017

Hawari, D.(2001). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta:


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Joewana,S. (2005). Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat


Psikoaktif. Jakarta: ECG.

Keliat., B.A.(2005). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC

Keliat, BA & Akemat. (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.


Jakarta : EGC

Purba, dkk (2013). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial
dan Gangguan Jiwa. Medan : USU Press.

Potter, P.A.&Perry,A.G.(2005). Keperawatan Dasar: Konsep, Proses dan


Praktik. (terjemahan). Edisi 4. Jakarta: EGC

Rasmun. (2001).Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan


Keluarga, Edisi I. Jakarta : CV Sagung Seto

Stuart & Laraia. (2001). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. USA :
Mosby Company

Sumati. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien penyalahgunaan dan


Ketergantungan NAPZA. Jakarta: CV. Trans Info Media

44
45

Anda mungkin juga menyukai