Anda di halaman 1dari 39

TUGAS MATA KULIAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2017/2018

FARMAKOTERAPI HIPERTENSI PADA PEDIATRI

Kelas B
Disusun Oleh :
Kelompok 7
Gadis Fujiastuti 260112170014

Hasby Mahmassani Jamaludin 260112170080

Citra Ayu Akmarina 260112170082

Amalia Octa Permatasari 260112170084

Agi Meisarani 260112170086

Liza Fauziyah Koswandy 260112170088

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2017
KATA PENGANTAR

Puji Syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas
rahmat dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Farmakoterapi Terapan
dengan topik Hipertensi pada Pediatri.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
Farmakoterapi Terapan di Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi
Universitas Padjadjaran dan memperluas wawasan penulis maupun pembaca
mengenai kejadian obesitas dan hiperlipidemia yang terjadi di masyarakat.
Makalah ini berisikan definisi, patofisiologi, manifstasi klinik, diagnosis,
hasil terapi yang diharapkan, penanganan dan evaluasi terapi serta contoh kasus dan
solusi mengenai hipertensi.
Terima kasih kepada semua pihak yang turut berperan dalam penyusunan
makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jatinangor, September 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Identifikasi Masalah ................................................................... 2
1.3. Tujuan Penulisan ........................................................................ 2
BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................. 3
2.1. Definisi Hipertensi ...................................................................... 3
2.2. Patofisiologi Hipertensi............................................................... 3
2.3. Manifestasi Klinik Hipertensi ..................................................... 6
2.4. Diagnosis Hipertensi ..................................................................
2.4.1 Pemeriksaan Penunjang Untuk Diagnosis ...................... 10
2.4.2 Diagnosis ........................................................................ 10
2.4.3 Teknik Pengukuran Tekanan Darah ............................... 11
2.5. Hasil Terapi yang Diharapkan Pada Hipertensi .......................... 12
2.6. Terapi Hipertensi ........................................................................
2.6.1 Terapi Non Farmakologi Hipertensi ............................... 13
2.6.2 Terapi Farmakologi Hipertensi ....................................... 17
2.7. Evaluasi Hasil Terapi .................................................................. 20
BAB 3 STUDI KASUS ................................................................................... 22
3.1. Analisa Kasus & DRPs .............................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 33

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi merupakan keadaan yang ditandai dengan peningkatan tekanan
darah sistolik (TDS) maupun tekanan darah diastolik (TDD) ≥140/90 mm Hg.
Hipertensi menjadi topik pembicaraan yang hangat dan menjadi salah satu prioritas
masalah kesehatan di Indonesia maupun di seluruh dunia, karena dalam jangka panjang
peningkatan tekanan darah yang berlangsung kronik akan menyebabkan peningkatan
risiko kejadian kardiovaskuler, serebrovaskuler dan renovaskuler. Analisis Kearney
dkk, memperlihatkan bahwa peningkatan angka kejadian hipertensi sungguh luar biasa:
pada tahun 2000, lebih dari 25% populasi dunia merupakan penderita hipertensi, atau
sekitar 1 miliar orang, dan dua pertiga penderita hipertensi ada di negara berkembang.
Bila tidak dilakukan upaya yang tepat, jumlah ini akan terus meningkat, dan pada tahun
2025 yang akan datang, jumlah penderita hipertensi diprediksi akan meningkat menjadi
29%, atau sekitar 1,6 miliar orang di seluruh dunia (Tedjasukmana, 2012).
Hipertensi pada anak merupakan masalah di bidang pediatri dengan prevalens
sekitar 1-3%.1 Prevalens hipertensi pada anak, khususnya pada usia sekolah
mengalami peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan meningkatnya prevalens obesitas
pada kelompok usia tersebut. (Luma GB et al., 2006; Gulati S., 2006). Beberapa
penelitian membuktikan bahwa hipertensi pada orang dewasa sudah dimulai sejak
masa anak. Hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner
pada orang dewasa, dan hipertensi pada anak memberikan kontribusi terhadap
terjadinya penyakit jantung koroner sejak dini. (Luma GB et al., 2006). Oleh sebab itu
perhatian serta pengetahuan tentang masalah hipertensi pada anak harus ditingkatkan
agar upaya deteksi dini hingga pencegahan komplikasi hipertensi pada anak dapat
dilakukan secara tepat. Agar hipertensi dapat dideteksi sedini mungkin sehingga dapat
ditangani secara tepat, maka pemeriksaan tekanan darah yang cermat harus dilakukan
secara berkala setiap tahun setelah anak berusia tiga tahun.

1
1.2 Identifikasi Masalah
1. Apa definisi hipertensi?
2. Bagaimana patofisiologi hipertensi?
3. Apa manifestasi klinik hipertensi?
4. Bagaimana cara diagnosa hipertensi?
5. Apa hasil terapi yang diharapkan pada terapi hipertensi?
6. Bagaimana pengobatan farmakologi dan non farmakologi hipertensi?
7. Bagaimana hasil evaluasi terapi hipertensi?
8. Bagaimana penyelesaian kasus dan evaluasi DRPs pada contoh kasus
hipertensi pada pediatri?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah farmakoterapi terapan. Selain itu, tujuan dari penulisan makalah ini juga
sebagai media pembelajaran penulis dalam pemahaman dan pemecahan kasus yang
berkaitan dengan hipertensi pada pediatri, sehingga penulis dapat mengaplikasikannya
ketika terjun langsung ke lapangan.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hipertensi


Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan dimana seseorang
mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal yang mengakibatkan peningkatan
angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) (Dalimartha, 2008).
Hipertensi juga didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang
waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat/tenang (Price dan Wilson, 2006).
Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang
persisten (Dipiro et al., 2005). The Seventh Joint National Committee
mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa seperti yang tertera pada Tabel
2.1.
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa (≥18 tahun)
(JNC 7, 2003)
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal ˂ 120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 90

Tahap 1 Hipertensi 140 – 159 Atau 90 – 99


Tahap 2 Hipertensi ≥ 160 Atau ≥ 100

2.2 Patofisiologi Hipertensi


Beberapa faktor yang mengontrol tekanan darah potensial mengkontribusikan
komponen dalam perkembangan hipertensi esensial termasuk kerusakan baik humoral
(sistem renin-angiotensin-aldosteron [RAAS]) atau mekanisme vasodepressor,
mekanisme neuronal yang abnormal, cacat pada autoregulasi perifer, dan gangguan
dalam natrium, kalsium, dan hormon natriuretik. Banyak dari faktor-faktor ini secara

3
kumulatif dipengaruhi oleh RAAS multifaset yang akhirnya mengatur tekanan darah
arteri. Kemungkinannya adalah bahwa tidak satupun dari faktor-faktor ini bertanggung
jawab untuk hipertensi esensial. Namun, kebanyakan antihipertensi secara khusus
menargetkan mekanisme dan komponen dari RAAS (Dipiro et al., 2008).

Gambar 2.1. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS). Keterkaitan antara ginjal,


angiotensin II, dan pengaturan tekanan darah digambarkan. Ada tiga regulator
utama sekresi renin dari sel juxtaglomerular dalam sistem ini. Situs kerja utama
untuk agen antihipertensi utama disertakan. (1. Angiotensin-converting enzyme
inhibitors; 2. Angiotensin II receptor blockers; 3. Β-blocker; 4. Calcium channel
blockers; 5. Diuretik; 6. Aldosteron antagonis; 7. Inhibitor renin langsung; SSP,
sistem saraf pusat) (Dipiro et al., 2008).

RAAS mengatur natrium, kalium, dan volume darah yang pada akhirnya akan
mengatur tekanan darah di arteri (pembuluh darah yang membawa darah dari jantung).

4
Dua hormon yang terlibat dalam sistem RAAS termasuk angiotensin II dan aldosteron.
Angiotensin II menyebabkan penyempitan pembuluh darah, meningkatkan pelepasan
bahan kimia yang meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan produksi
aldosteron. Penyempitan pembuluh darah meningkatkan tekanan darah (ruang
berkurang, namun jumlah darah sama) yang juga menempatkan tekanan pada jantung.
Aldosteron menyebabkan natrium dan air tinggal dalam darah. Akibatnya, ada volume
darah yang lebih besar yang akan meningkatkan tekanan pada jantung dan
meningkatkan tekanan darah (Bell, 2015).

Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam
millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur adalah tekanan
darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama
kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi.
Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam
terbentuknya hipertensi. Faktor-faktor tersebut (Gambar 2.2) sebagai berikut:

a. Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi


diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respon terhadap stress
psikososial dan lain-lain.
b. Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor.
c. Asupan natrium (garam) berlebihan.
d. Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium.
e. Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi
angiotensin II dan aldosteron.
f. Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrit oksida (NO), dan peptida
natriuretik.
g. Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus
vaskular dan penanganan garam oleh ginjal.
h. Abnormalitas tahanan pembuluh darah termasuk gangguan pada pembuluh
darah kecil di ginjal.

5
i. Diabetes mellitus.
j. Resistensi insulin
k. Obesitas.
l. Meningkatnya aktivitas vascular growth factors.
m. Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,
karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular.
n. Berubahnya transpor ion dalam sel.

(Departemen Kesehatan RI, 2006).

Gambar 2.2. Mekanisme Patofisiologi dari Hipertensi (Dipiro et al., 2008).

2.3 Manifestasi Klinik Hipertensi


Hipertensi yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai komplikasi, bila
mengenai jantung kemungkinan dapat terjadi infark miokard, jantung koroner, gagal
jantung kongestif, bila mengenai otak terjadi stroke, ensevalopati hipertensif, dan bila
mengenai ginjal terjadi gagal ginjal kronis, sedangkan bila mengenai mata akan terjadi
retinopati hipertensif. Dari berbagai komplikasi yang mungkin timbul merupakan
penyakit yang sangat serius dan berdampak terhadap psikologis penderita karena

6
kualitas hidupnya rendah terutama pada kasus stroke, gagal ginjal, dan gagal jantung
(Nuraini, 2015).
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung,
gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Tekanan
darah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya komplikasi tersebut.
Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya
memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun (Patel, 2014). Mortalitas pada
pasien hipertensi lebih cepat apabila penyakitnya tidak terkontrol dan telah
menimbulkan komplikasi ke beberapa organ vital. Sebab kematian yang sering terjadi
adalah penyakit jantung dengan atau tanpa disertai stroke dan gagal ginjal (Hoeymans,
et al., 1999).
Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata,
ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan
sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan
pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi
stroke dimana terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma yang
dapat mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses
tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA).
Gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi yang lama dan pada proses
akut seperti pada hipertensi maligna (Susalit, dkk., 1996). Hipertensi dapat
menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut
dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena
efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II,
stress oksidatif. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan
sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target,
misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming
growth factor-β (TGF-β) (Yogiyantoro, 2007).

7
a. Otak
Stroke merupakan kerusakan target organ pada otak yang diakibatkan oleh
hipertensi. Stroke timbul karena perdarahan, tekanan intra kranial yang meninggi,
atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan
tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang
mendarahi otak mengalami hipertropi atau penebalan, sehingga aliran darah ke
daerah-daerah yang diperdarahinya akan berkurang. Arteri-arteri di otak yang
mengalami arterosklerosis melemah sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma. Ensefalopati juga dapat terjadi terutama pada hipertensi
maligna atau hipertensi dengan onset cepat. Tekanan yang tinggi pada kelainan
tersebut menyebabkan peningkatan tekanan kapiler, sehingga mendorong cairan
masuk ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Hal tersebut
menyebabkan neuron-neuron di sekitarnya kolap dan terjadi koma bahkan kematian
(Sagala, 2010).
b. Kardiovaskular
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner mengalami arterosklerosis
atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah yang melalui
pembuluh darah tersebut, sehingga miokardium tidak mendapatkan suplai oksigen
yang cukup. Kebutuhan oksigen miokardium yang tidak terpenuhi menyebabkan
terjadinya iskemia jantung, yang pada akhirnya dapat menjadi infark (Corwin,
2009).
c. Ginjal
Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan
tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus akan
mengakibatkan darah mengalir ke unitunit fungsional ginjal, sehingga nefron akan
terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal. Kerusakan membran
glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar melalui urin sehingga sering
dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik koloid plasma yang berkurang.
Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi kronik (Corwin, 2009).

8
d. Retinopati
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah
pada retina. Makin tinggi tekanan darah dan makin lama hipertensi tersebut
berlangsung, maka makin berat pula kerusakan yang dapat ditimbulkan. Kelainan
lain pada retina yang terjadi akibat tekanan darah yang tinggi adalah iskemik optik
neuropati atau kerusakan pada saraf mata akibat aliran darah yang buruk, oklusi
arteri dan vena retina akibat penyumbatan aliran darah pada arteri dan vena retina.
Penderita retinopati hipertensif pada awalnya tidak menunjukkan gejala, yang pada
akhirnya dapat menjadi kebutaan pada stadium akhir. Kerusakan yang lebih parah
pada mata terjadi pada kondisi hipertensi maligna, di mana tekanan darah meningkat
secara tiba-tiba (Klein, et al., 1993).
2.4 Diagnosis Hipertensi
2.4.1. Pemeriksaan Penunjang Untuk Diagnosis
Terdapat tiga tujuan evaluasi pasien dengan hipertensi:
1. Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular
atau penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosis
sehingga dapat memberi petunjuk dalam pengobatan
2. Mencari penyebab tekanan darah tinggi
3. Menetukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakit
kardiovaskular
Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit
dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan prosedur
diagnostik lainnya.
Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar,
pemeriksaan funduskopi, perhitungan BMI (body mass index) yaitu berat badan (kg)
dibagi dengan tinggi badan (meter kuadrat), auskultasi arteri karotis, abdominal, dan
bruit arteri femoralis; palpasi pada kelenjar tiroid; pemeriksaan lengkap jantung dan
paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra

9
abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal; palpasi ektremitas bawah untuk melihat
adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian neurologis (Dharmawan, 2016).
Anamnesis terhadap pasien dan keluarganya serta pemeriksaan fisis harus
diikuti dengan pemeriksaan urin rutin dan klinis dasar. Pemeriksaan USG abdomen
merupakan alat diagnosis yang tidak invasif tetapi sangat bermanfaat dalam
mengevaluasi ukuran ginjal, deteksi tumor adrenal dan ginjal, penyakit ginjal
kistik,batu ginjal, dilatasi sistem saluran kemih, ureterokel, dan penebalan dinding
vesika urinaria (Dharmawan, 2016).
Anak dengan riwayat infeksi saluran kemih harus dilakukan pemeriksaan
dimercapto succinic acid (DMSA). Teknik ini lebih sensitif dibanding pielografi
intravena (PIV), kurang radiatif dan merupakan baku emas untuk mendiagnosis adanya
parut ginjal. Teknik lainnya adalah sidik diethylene triamine pentacetic acid (DTPA)
dan mictio-cysto ureterography (MCU). Jika diagnosis penyebab hipertensi mengarah
ke penyakit renovaskular maka dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi
(Dharmawan, 2016).
Teknik lain adalah magnetic resonance angiography yang sifatnya kurang
invasif. Hipertrofi ventrikel kiri juga sering didapatkan pada anak yang mengalami
hipertensi dengan prevalens 41%. Ekokardiografi merupakan teknik yang non invasif,
mudah dilakukan, dan lebih sensitif dibandingkan elektrokardiografi, sehingga teknik
ini dapat dikerjakan sebagai pemeriksaan awal pada semua anak yang mengalami
hipertensi. Informasi yang didapat secara akurat melaui anamnesis dan pemeriksaan
fisis dapat menghindarkan pemeriksaan laboratorium dan radiologis yang tidak perlu
dan mahal.
2.4.2. Diagnosis
Hipertensi seringkali disebut sebagai “silent killer” karena pasien dengan
hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik yang
utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih
dalam waktu dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi (Dharmawan,
2016).

10
Batasan hipertensi pada pasien pediatrik berdasarkan “The Fourth Report on
the diagnosis, Evaluation and treatment of high blood pressure in children and
adolescent” adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari
persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tinggi badan pada pengukuran
sebanyak 3 kali atau lebih.3 Pada tabel 2 diperlihatkan klasifikasi hipertensi anak di
atas usia 1 tahun dan remaja. Anak remaja dengan
nilai tekanan darah diatas 120/80 mmHg harus dianggap suatu prehipertensi.
Klasifikasi hipertensi anak di atas usia 1 tahun dan remaja disajikan pada Tabel 2.2

Tabel 2.2. Klasifikasi hipertensi anak di atas 1 tahun dan remaja


(Sekarwana, 2011).

Seorang anak dengan nilai tekanan darah di atas persentil ke-95 pada saat
diperiksa di tempat praktek atau rumah sakit tetapi menunjukkan nilai yang normal saat
diukur di luar praktek atau rumah sakit disebut dengan white coat hypertension yang
memiliki prognosis lebih baik (Sekarwana,2011).
2.4.3. Teknik Pengukuran Tekanan Darah
Tekanan darah sebaiknya diukur dengan menggunakan sfigmomanometer air
raksa sedangkan sfigmomanometer aneroid memiliki kelemahan yaitu memerlukan
kalibrasi secara berkala. Osilometrik otomatis merupakan alat pengukur tekanan darah
yang sangat baik untuk bayi dan anak kecil, karena teknik auskultasi sulit dilakukan
pada kelompok usia ini meski dalam saat istirahat. Sayangnya alat ini mahal dan
memerlukan pemeliharaan serta kalibrasi berkala. Panjang cuff manset harus
melingkupi minimal 80% lingkar lengan atas, sedangkan lebar cuff harus lebih dari

11
40% lingkar lengan atas (jarak antara akromion dan olekranon). Ukuran cuff yang
terlalu besar akan menghasilkan nilai tekanan darah yang lebih rendah, sedangkan
ukuran cuff yang terlalu kecil akan menghasilkan nilai tekanan darah yang lebih tinggi
(Dharmawan, 2016).
Tekanan darah sebaiknya diukur setelah istirahat selama 3-5 menit dan suasana
sekitarnya dalam keadaan tenang. Anak diukur dalam posisi duduk dengan lengan
kanan diletakkan sejajar jantung, sedangkan bayi diukur dalam keadaan terlentang. Jika
tekanan darah menunjukkan angka di atas persentil ke-90 tekanan darah harus diulang
dua kali pada kunjungan yang sama untuk menguji kesahihan hasil pengukuran. Teknik
pengukuran tekanan darah dengan ambulatory blood pressure monitoring (ABPM)
menggunakan alat monitor portable yang dapat mencatat nilai tekanan darah selama
selang waktu tertentu, biasanya digunakan pada keadaan hipertensi episodik, gagal
ginjal kronik, white coat hypertension serta menentukan dugaan adanya kerusakan
organ target karena hipertensi. Satu laporan menyebutkan bahwa pengukuran dengan
ABPM dapat menunjukkan pola tekanan darah yang dapat membedakan antara
hipertensi sekunder dan primer (Dharmawan, 2016).
2.5 Hasil Terapi yang Diharapkan Pada Hipertensi
Tujuan pengobatan hipertensi secara keseluruhan adalah mengurangi
morbiditas (jumlah individual yang memiliki penyakit selama periode waktu tertentu)
dan mortalitas (ukuran jumlah kematian) dengan cara yang paling tidak mengganggu
(Dipiro, et al., 2015). Tujuan lain yang ingin dicapai adalah menurunkan tekanan darah
serendah mungkin dengan efek samping yang minimal, mengembalikan segala
ketidaknormalan yang terkait dengan hipertensi, memperpanjang masa hidup dan
memellihara mutu kehidupan penderita sehingga obat harus diketahui untuk
menentukan dan menyesuaikan aturan dosis obat terpilih (Katzung, 2013).
Pedoman JNC7 merekomendasikan tujuan tekanan darah kurang dari 140/90
mmHg untuk kebanyakan pasien, kurang dari 140/80 mmHg untuk pasien diabetes
melitus, dan kurang dari 130/80 mmHg untuk pasien dengan CKD yang memiliki
albuminuria persisten (> 30 mg urin ekskresi albumin per 24 jam) (Dipiro, et al., 2015).

12
Pada Joint National Commission (JNC) 8, rekomendasi target tekanan darah dengan
usia kurang dari 60 tahun tanpa penyakit ginjal kronik atau diabetes yang harus dicapai
adalah <140/90 mmHg , untuk usia 60 tahun atau lebih tanpa penyakit ginjal kronik
atau diabetes yang harus dicapai adalah <150/90 mmHg dan target tekanan darah untuk
pasien kurang dari 60 tahun dengan penyakit ginjal kronik dan atau diabetes adalah
<140/90 mmHg (James, et.al., 2014). American Heart Association (AHA)
merekomendasikan target tekanan darah yang harus dicapai, yaitu 140/90 mmHg,
130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit ginjal kronik, penyakit arteri kronik atau
ekuivalen penyakit arteri kronik, dan ≤ 120/80 mmHg untuk pasien dengan gagal
jantung (AHA, 2015). Sedangkan menurut National Kidney Foundation (NKF), target
tekanan darah yang harus dicapai adalah 130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit
ginjal kronik dan diabetes, dan < 125/75 mmHg untuk pasien dengan > 1 g proteinuria.
2.6. Terapi Hipertensi
2.6.1. Terapi Non Farmakologi
Pasien pre-hipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup
dengan tujuan menurunkan tekanan darah yaitu dengan cara modifikasi gaya hidup atau
menerapkan pola hidup sehat. Pola Hidup Sehat yang dianjurkan untuk mencegah dan
mengontrol hipertensi yaitu:
(i) Gizi seimbang
(ii) Mempertahankan berat badan dan lingkar pinggang ideal
(iii) Gaya hidup aktif/ olahraga teratur
(iv) Berhenti merokok
(v) Membatasi konsumsi alkohol (Kemenkes RI, 2013)

Gizi seimbang dan pembatasan gula, garam atau dikenal dengan nama DASH
(Dietary Approaches to Stop Hypertension), cukup buah dan sayuran, kacang-
kacangan, biji-bijian, makanan rendah lemak jenuh dan mengganti dengan unggas dan
ikan yang berminyak. Dianjurkan untuk makan buah dan sayur 5 porsi per-hari, karena
cukup mengandung kalium yang dapat menurunkan tekanan darah. KCl 60 – 100

13
mmol/hari akan menurunkan tekanan darah sistolik (TDS) 4,4 mmHg dan tekanan
darah diastolic (TDD) 2,5 mmHg (Kemenkes RI, 2013). Lebih banyak makan buah,
sayur-sayuran, dan produk susu rendah lemak dengan kandungan lemak jenuh dan total
lebih sedikit, kaya kalium dan kalsium (Muhadi, 2016). Pembatasan asupan natrium
dibatasi < 100 mmol (2g)/hari setara dengan 5g (satu sendok teh kecil) garam dapur
dapat menurunkan TDS 3,7 mmHg dan TDD 2 mmHg. Bagi pasien hipertensi, asupan
natrium dibatasi lebih rendah lagi, menjadi 1,5 g/hari atau 3,5 – 4 g garam/hari
(Kemenkes RI, 2013). Pembatasan garam harian dapat menurunkan tekanan darah
sistolik 2 – 8 mmHg. Konsumsi NaCl < 6 g/hari (100 mmol natrium/hari). Tabel
dibawah merupakan tabel pedoman gizi seimbang.

Tabel 2.3. Pedoman Gizi Seimbang (Kemenkes RI, 2013)


Garam (natrium klorida) Makanan berlemak
- Batasi garam < 5 gram (1 sendok teh) - Batasi daging berlemak, lemak susu
per hari dan minyak goring (1,5-3 sendok
- Kurangi garam saat memasak makan perhari)
- Membatasi makanan olahan dan cepat - Ganti sawit/minyak kelapa dengan
saji zaitun, kedelai, jagung, lobak atau
minyak sunflower
- Ganti daging lainnya dengan ayam
Buah-buahan dan sayuran (tanpa kulit)
- 5 porsi (400 – 500 gram) buah-buahan
dan sayuran per hari Ikan
- Makan ikan sedikitnya tiga kali per
(1 porsi setara dengan 1 buah jeruk, apel, minggu
manga, pisang atau 3 sendok makan sayur - Utamakan ikan berminyak seperti tuna,
yang sudah dimasak) makarel, salmon

Rekomendasi makanan rendah garam sebagai bagian pola makan sehat. Adopsi
pola DASH pun dapat menurunkan tekanan darah sistolik 8 – 14 mmHg (Muhadi,
2016).

14
Tabel 2.4. Modifikasi DASH (Kemenkes RI, 2013).
Bahan makanan Porsi harian Ukuran rumah tangga

Biji-bijan/serealia 7 – 8 penukar 1 iris lembar roti


utuh (whole grains) ½ gelas sereal kering
½ gelas nasi, pasta, atau sereal & serat

Sayuran 4 – 5 penukar 1 gelas sayuran berdaun (mentah)


½ gelas sayuran matang
¾ gelas jus sayuran

Buah dan jus 4 – 5 penukar 1 ptg sdg buah segar


¼ gelas buah kering
½ mangkuk buah segar/buah frozen/buah
kaleng
¾ gelas jus buah

Susu tanpa/rendah 2 – 3 penukar 1 gelas susu, 1 gls yogurt, atau 1 potong keju (±
lemak dan produk 45 g)
olahannya

Daging tanpa lemak, ≤ 2 penukar 2 potong daging matang, ungags, atau ikan
ungags, dan ikan
1 butir putih telur

Kacang-kacangan, ½ – 1 penukar ½ gelas kacang-kacangan


seeds (biji-bijian)
dan polong- ½ gelas sdm atau 2 sdm seeds
polongan 2 sendok makan selai kacang
½ gelas kedelai atau kacang polong matang

Lemak dan minyak 2 – 3 penukar 1 sendk teh margarin


1 sendok teh minyak sayur
1 sendok makan mayonnaise rendah
lemak/salad dressing

Sweets dan gula 5 penukar/minggu 1 sendok makan gula pasir


1 sendok makan jelly atau selai
½ gelas sorbet, gelatin

15
1 gelas lemonade

Garam 1 penukar 1 sendok teh kecil

*Oleh karena telur mengandung tinggi kolesterol, batasi asupan kuning telur tidak lebih dari 4 butir
per minggu
Daftar asupan makanan di atas berdasarkan 2000 kkal/hari

Mempertahankan berat badan dan lingkar pinggang ideal untuk pasien dengan
penderita hipertensi, karena hipertensi berhubungan erat dengan obesitas dan telah
banyak kasus yang dilaporkan, sehingga diupayakan untuk menurunkan berat badan
sehingga mencapai IMT normal 18,5 – 22,9 kg/m2 (Kemenkes RI, 2013). Penurunan
berat badan dapat mengurangi tekanan darah sistolik 5 – 20 mmHg/ penurunan 10 kg.
Rekomendasi ukuran pinggang untuk pria < 94 cm sedangkan untuk wanita < 80 cm,
indeks massa tubuh < 25 kg/m2. Rekomendasi penurunan berat badan meliputi untuk
mengurangi asupan kalori dan juga meningkatkan aktivitas fisik (Muhadi, 2016).
Gaya hidup aktif/ olahraga teratur seperti senam aerobik atau jalan cepat selama
30 – 45 menit (sejauh 3 kilometer) lima kali per-minggu, dapat menurunkan TDS 4
mmHg dan TDD 2,5 mmHg. Lalu, berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau
hypnosis dapat mengontrol sistem saraf sehingga menurunkan tekanan darah
(Kemenkes RI, 2013). Aktivitas fisik dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4 – 9
mmHg. Aktivitas fisik intensitasnya dilakukan sedang hingga sering, atau setiap hari
pada 1 minggu (totalan harian dapat diakumulasikan, misalnya 3 sesi setiap 10 menit)
(Muhadi, 2016).
Berhenti merokok (Kemenkes RI, 2013). Berhenti merokok untuk mengurangi
dan menjauhi risiko kardiovaskuler secara keseluruhan (Muhadi, 2016).
Membatasi konsumsi alkohol (bagi yang minum) (Kemenkes RI, 2013).
Pembatasan konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan darah sistolik 2 -4 mmHg.
Maksimum 2 minuman standar/ hari yaitu 1 oz sama dengan 30 ml ethanol, misalnya

16
bir 24 oz (720 ml), atau 3 oz 80-proof whiskey untuk pria, dan 1 minuman standar/hari
untuk wanita (Muhadi, 2016).
Pasien dan keluarga pasien hipertensi sebaiknya mengikuti anjuran sebagai
berikut yaitu tidak menambahkan garam di meja makan serta menghindari makanan
asin, makanan cepat saji, makanan kaleng dan bumbu penyedap makan atau MSG
(vetsin), mengukur kadar gula darah, tekanan darah dan periksa urin secara teratur,
meminum obat secara teratur sesuai instruksi Dokter, dan tekanan darah yang diperiksa
harus dicatat (Kemenkes RI, 2013).
2.6.2. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi pada hipertensi secara umum dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6
bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.
Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga
kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu :
 Apabila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
 Memberikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
 Memberikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 tahun) seperti pada usia
55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
 Tidak mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i) dengan
angiotensin II receptor blockers (ARBs)
 Memberikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi
 Melakukan pemantauan efek samping obat secara teratur (Soenarta,et.al., 2015)

Penanganan terapi hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka kesakitan,


komplikasi dan kematian akibat hipertensi. Berbagai penelitian klinik membuktikan
bahwa obat anti-hipertensi yang diberikan tepat waktu dapat menurunkan kejadian
stroke 35 – 40%, infark miokard 20 - 25% dan gagal jantung lebih dari 50%. Pengobatan
hipertensi dimulai dengan obat tunggal yang mempunyai masa kerja panjang sehingga

17
dapat diberikan sekali sehari dan dosisnya dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat
ditambahkan selama beberapa bulan pertama perjalanan terapi (Kemenkes RI, 2013).

Pemilihan obat untuk hipertensi yaitu berdasarkan derajat tingginya tekanan


darah dan respon penderita terhadap obat. Untuk pemilihan obat hipertensi pada lini
pertama yaitu golongan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors, angiotensin
II receptor blockers (ARBs), calcium channel blockers (CCBs), dan thiazide diuretics.
β-blockers digunakan untuk mengobati mengobati indikasi tertentu atau sebagai
kombinasi terapi anti-hipertensi lini pertama dengan pasien tanpa adanya keluhan.
Beberapa pasien hipertensi stage-1 pun harus diberikan obat anti-hipertensi lini pertama
atau dua kombinasi obat. Terapi kombinasi sangat disarankan untuk pasien yang berada
pada stage-2 terutama obat lini kedua. Obat anti-hipertensi lain yaitu α1-blockers, direct
renin inhibitors, central α2-agonist, peripheral adrenergic antagonist dan direct arterial
vasodilators (Dipiro,et.al., 2015).

Algoritma tatalaksana hipertensi berdasarkan dari A Statement by the American


Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013.

18
Gambar 2.3. Algoritme tatalaksana hipertensi (Soenarta,et.al., 2015).

a. Diuretik
Diuretik golongan tiazid, akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular
(Soenarta,et.al., 2015).
b. β-blocker
β-blocker merupakan obat pilihan pertama dalam tatalaksana hipertensi pada
pasien dengan penyakit jantung koroner terutama yang menyebabkan timbulnya gejala
angina. Obat ini akan bekerja mengurangi iskemia dan angina, karena efek utamanya
sebagai inotropik dan kronotropik negatif. Dengan menurunnya frekuensi denyut
jantung maka waktu pengisian diastolik untuk perfusi koroner akan memanjang. β-
blocker juga menghambat pelepasan renin di ginjal yang akan menghambat terjadinya

19
gagal jantung. β-blocker cardioselective lebih banyak di rekomendasikan karena tidak
memiliki aktifitas simpatomimetik intrinsik (Soenarta,et.al., 2015).
c. ACE inhibitor (ACEi)
Pemberian ACEi direkomendasikan untuk pasien hipertensi usia lanjut (>65
tahun). Studi menyatakan bahwa pada pasien hipertensi pria berusia lanjut, ACEi
memperbaiki hasil akhir kardiovaskular lebih baik bila dibandingkan dengan
pemberian diuretik, walaupun kedua obat memiliki penurunan tekanan darah yang
sama (Soenarta,et.al., 2015).
d. Angiotensin Receptor Blockers (ARBs)
Indikasi pemberian ARBs adalah pada pasien yang intoleran terhadap ACEi.
Beberapa penelitian besar, menyatakan valsartan dan captopril memiliki efektifitas
yang sama pada pasien paska infark miokard dengan risiko kejadian kardiovaskular
yang tinggi (Soenarta,et.al., 2015).
e. Calcium Channel Blocker (CCBs)
CCB akan digunakan sebagai obat tambahan setelah optimalisasi dosis
betabloker, bila terjadi TD yang tetap tinggi, Angina yang persisten, Atau adanya
kontraindikasi absolute pemberian dari β-blocker. CCB bekerja mengurangi
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan resistensi vaskular perifer dan
menurunkan tekanan darah. Selain itu, CCB juga akan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan efek vasodilatasi k oroner (Soenarta,et.al., 2015
2.7. Evaluasi Hasil Terapi
- Mengevaluasi respon tekanan darah 2-4 minggu setelah memulai atau
melakukan perubahan terapi. Setelah nilai tekanan darah tercapai, monitor
tekanan darah setiap 3 sampai 6 bulan, dengan asumsi tidak ada tanda atau
gejala penyakit akut – organ target. Evaluasi lebih sering pada pasien
dengan riwayat kontrol yang buruk, ketidakpatuhan, kerusakan organ
target yang progresif, atau gejala efek obat yang merugikan.

20
- Pengukuran diri untuk tekanan darah atau pengawasan tekanan darah
ambulatori otomatis dapat berguna untuk menetapkan kontrol 24 jam yang
efektif. Teknik ini saat ini hanya direkomendasikan untuk situasi tertentu
seperti dugaan white coat hypertension.
- Memantau pasien untuk tanda dan gejala penyakit target-organ progresif.
Lihat dengan hati –hati riwayat nyeri dada (atau tekanan), palpitasi, pusing,
dyspnea, ortopnea, sakit kepala, perubahan penglihatan yang tiba-tiba,
kelemahan sepihak, ucapan yang tidak jelas, dan kehilangan keseimbangan
untuk menilai adanya komplikasi.
- Memantau perubahan funduskopi pada pemeriksaan mata, hipertrofi LV
pada EKG, proteinuria, dan perubahan fungsi ginjal secara berkala.
- Memantau efek obat yang merugikan 2 sampai 4 minggu setelah memulai
agen baru atau kenaikan dosis, setiap 6 sampai 12 bulan pada pasien yang
stabil. Bagi pasien yang memakai aldosteron antagonis, menilai
konsentrasi potassium dan fungsi ginjal dalam 3 hari dan sekali lagi pada
1 minggu setelah inisiasi untuk mendeteksi potensi hiperkalemia.
- Mengkaji kepatuhan pasien dengan rejimen secara teratur. Tanyakan
kepada pasien tentang perubahan dalam persepsi kesehatan umum mereka,
tingkat energi, fungsi fisik, dan kepuasan keseluruhan dengan pengobatan.
(Dipiro, et.al., 2015)

21
BAB 3
STUDI KASUS

3.1. Analisa Kasus & DRPs


Seorang anak remaja perempuan usia 13 tahun memiliki keluhan tiga kali
pendarahan nasal spontan (epistaksis) dalam 3 tahun terakhir. Dia mengalami sakit
kepala terus-menerus tanpa mual atau muntah, dan hipertensi yang tidak terkontrol.
Dia tidak memiliki riwayat nyeri dada, sesak napas, demam, batuk yang
berkepanjangan, pusing ringan, ruam kulit, penurunan berat badan, klaudikasi atau
perubahan warna ketika terpapar dingin. Tekanan darah pada lengan kanan 120/80
mmHg dan lengan kiri 170/120mmHg. Terapi pengobatan yang didapatkan pasien
adalah amlodipin 10 mg, atenolol 100 mg, prazosin 6 mg, hidroklortiazid 50 mg,
amiloride 5mg, metotreksat 5mg, dan asam folat tereduksi (folinic acid).

Case Analysis
a. Profil Paisen
a. Nama : Nn. X
b. Usia : 13 tahun
c. Berat Badan :-
d. Tinggi badan :-
e. Riwayat penyakit : Hipertensi yang tidak terkontrol
f. Riwayat pengobatan :-

b. Subjektif
a. Epistaksis (mimisan) dalam 3 tahun terakhir
b. Sakit kepala terus menerus tanpa mual dan muntah
c. Hipertensi tidak terkontrol
d. Denyut nadi femoral lemah
e. Tidak terdapat denyut nadi perifer pada anggota tubuh bagian bawah

22
f. Tekanan darah pada lengan kanan berbeda dengan lengan kiri (TD lengan
kanan 120/80 mmHg, sedangkan TD lengan kiri 170/120 mmHg
g. Bruit (suara yang terjadi di dalam pembuluh darah akibat turbulensi,
mungkin karena penumpukan plak atau kerusakan pada pembuluh darah)
pada beberapa area di dada dan leher

c. Objektif
Data Klinik Nilai
Nilai Normal Indikasi
dan Lab Pemeriksaan
Nadi 80x/menit 80x/menit Normal
Suhu Badan 36-37oC - -
TD pada lengan
<120/<80 mmHg 120/80 mmHg Pre-hipertensi
kanan
TD pada lengan
170/120 mmHg Hipertensi stage 2
kiri
Hb 11,4-15,1 g/dl 11,2 g/dl Anemia
Blood Glucose 130 mg/dl Tidak DM
Serum Tidak ada kelainan
0,5-1,2 mg/dl
Creatinine Normal pada ginjal
Tidak ada kelainan
Urine Analisis 10-50 mg/dl
pada ginjal
Pemeriksaan
Hipertrofi ventrikel kiri
EKG
X-ray dada Cardiomegaly (pembengkakan jantung)

d. Assesment
Pediatrics definition

Normal <90th percentile <120/80


Prehypertensive 90th to <95th percentile, or if BP exceeds 120-139/80-89
v
120/80
even if <90th percentile up <95th percentilea
Stage 1 95th to 99th percentile + 5 mmHg 140-159/90-99
hypertension
Stage 2 >99th percentile + 5 mmHg ≥160/100
hypertension
a
This occurs typically typically at 12 years old
v for systolic blood pressure (SBP) and at 16
years old for diastolic blood pressure (DBF).

23
Berdasarkan data klinis, pasien diindikasikan dalam kondisi prehipertensi
(TD pada lengan kiri 120/80 mmHg) dan hipertensi stage 2 (TD pada lengan
kanan 170/120 mmHg), hal ini berdasarkan McNiece KL, 2007. Tekanan darah
pada lengan kiri dan lengan kanan memiliki perbedaan hingga 50 mmHg, dimana
hal ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan persentase stenosis antara
brachiocephalic artery (arteri yang mensuplai darah ke lengan kanan dan kepala
dan leher) dan left subclavian artery (arteri yang mensuplai darah ke lengan kiri).
Berdasarkan hasil pemeriksaan EKG terdapat hipertrofi pada ventrikel kiri
jantung, hal ini terjadi dapat dikarenakan dari beban tekanan darah yang tinggi
sehingga terjadi perbesaran otot ventrikel kiri (jaringan otot di dinding jantung
menebal dan ukurannya pun bertambah besar).
Pasien ini memenuhi empat dari enam besar kriteria ACR (American
College of Rheumatology) untuk penyakit Takayasu Arteritis, diantaranya yaitu
onset penyakit usia 13 tahun (< 40 tahun), perbedaan tekanan darah sistolik antar
lengan adalah 50 mmHg (perbedaan >10 mmHg), bruit subklavia atau pada aorta
abdominal, serta adanya penyempitan pada cabang utama aorta. Takayasu
Arteritis (TA) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang mengenai
pembuluh besar aorta dan cabang utamanya, mengarah kepada stenosis,
trombosis dan formasi aneurisma (Johnston, 2012). Penyebab pasti penyakit ini
belum diketahui, tetapi banyak peneliti percaya bahwa TA merupakan suatu
penyakit autoimun (Febrina, 2015).

e. Plan
1. Terapi Farmakologi
Berikut merupakan penjelasan informasi obat yang digunakan menurut
Kemenkes, 2017:
a. Amlodipine 10 mg (antihipertensi golongan CCB)
 Indikasi : pengobatan hipertensi
 Dosis : 5-10 mg/hari

24
 Mekanisme Kerja : CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos
dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan
(voltage sensitive), sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler
ke dalam sel. Relaksasi otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan
berhubungan dengan reduksi tekanan darah.
 Efek Samping Obat: takikardi, bradikardi, pusing, sakit kepala

b. Atenolol 100 mg (antihipertensi golongan β-blocker)


 Indikasi: pengobatan hipertensi (dapat digunakan tunggal ataupun
dikombinasikna dengan antihipertensi lainnya)
 Dosis: 50-100 mg/hari
 Mekanisme Kerja: menghambat reseptor beta, terutama yang
mempengaruhi jantung (memperlambat laju), menurunkan tekanan darah.
 Efek Samping Obat: insomnia, mual, muntah

c. Prazosin 6 mg (antihipertensi golongan α-1-blocker-selektif)


 Indikasi : pengobatan hipertensi (dapat digunakan tunggal ataupun
dikombinasikan dengan antihipertensi lainnya)
 Dosis : 1 mg 2-3x sehari. Maintenance dose : 6-20 mg/hari dalam dosis
terbagi (maksimal : 40 mg/hari).
 Mekanisme Kerja : memblok secera selektif reseptor alfa-1-adrenergik
yang ada pada otot polos dan menyebabkan pelebaran arteriol dan vena.
 Efek Samping Obat : takikardi, hipotensi, dispnea.

d. Hidroklortiazid/HCT 50 mg (diuretik golongan Tiazid)


 Indikasi : terapi tambahan untuk edema pada CHF, sirosis hati, disfungsi
ginjal, dan terapi estrogen serta pengobatan hipertensi.
 Dosis : 25-50 mg/hari dalam dosis tunggal atau 2 dosis terbagi

25
 Mekanisme Kerja : Meningkatkan ekskresi natrium, klorida, dan air
dengan cara mempengaruhi transportasi ion natrium di epitel tubular
ginjal.
 Efek Samping Obat : mual, muntah, hipotensi.

e. Amiloride 5 mg (diuretik golongan hemat kalium)


 Indikasi : pengobatan CHF dan hipertensi (kombinasi dengan golongan
tiazid atua loop diuretic).
 Dosis : 5-10 mg/hari
 Mekanisme Kerja : mempengaruhi reabsorpsi natrium di tubulus distal
yang mengakibatkan peningkatan eksresi air dan natrium dan penurunan
eksresi kalium.
 Efek Samping Obat : mual, muntah, anoreksia.

f. Methrotexate 5 mg seminggu (antineoplastik/antimetabolit, antiartritik)


 Indikasi: antineoplastik kemoterapi untuk pengobatan koriokarsinoma
gestasional, mola hidatidosa, pengobatan kanker payudara, kanker
epirdemoid kepala dan leher, mengontrol rheumatoid arthritis parah.
 Dosis: Dosis rendah (0,15-0.3 mg/kgBB weekly, dosis maksimal 25 mg
seminggu) (Febrina, 2015)
 Mekanisme Kerja: Metotreksat merupakan analog asam folat dan
penghambat dihidrofolat reduktase dengan cara mengganggu sintesis
DNA melalui pengurangan suplai purin dan pirimidin pada sel yang
membelah dengan cepat. Efek anti-proliferatif ini dicapai dengan regimen
dosis tinggi dan digunakan untuk pengobatan tumor. Dalam terapi
DMARD (disease-modifying antirheumatic drugs), dosis rendah
metotreksat juga memiliki efek imunomodulator dan anti-inflamasi.
Meskipun mekanisme yang tepat dari efek ini tidak diketahui, namun
metotreksat diperkirakan berperan mempengaruhi produksi sel dari

26
berbagai sitokin dan dengan demikian bertindak untuk menghambat
kekebalan yang dimediasi oleh sel. Pada pasien dengan Takayasu
Arteritis, metotreksat bekerja menekan sistem kekebalan tubuh, dan
efektif mengurangi peradangan pembuluh darah (Johnston, 2002).
 Efek Samping Obat: hemiparesis, malaise, pusing.

g. Folinic Acid
 Indikasi: Mengurangi efek samping metotreksat pada pasien rheumatoid
arthritis, termasuk pengurangan mual, sakit perut, tes darah hati
abnormal, dan luka mulut (Shea,et al., 2013).
 Dosis: 0,4 mg/hari
 Mekanisme Kerja:
Metotreksat memberikan efek kemoterapi dengan cara melawan dan
bersaing dengan asam folat dalam sel kanker sehingga menyebabkan
defisiensi asam folat dalam selnya dan menyebabkan kematian sel
tersebut. Tindakan ini juga mempengaruhi sel normal yang dapat
menyebabkan efek samping yang signifikan pada tubuh, seperti: jumlah
sel darah putih, merah dan platelet rendah, rambut rontok, luka mulut,
kesulitan menelan, diare, hati, paru-paru, saraf dan kerusakan ginjal.
Komplikasi dan efek samping metotreksat ini dapat dicegah atau
dikurangi dengan menggunakan leucovorin (folinic acid), yang
menyediakan sumber asam folat untuk sel tubuh.

2. Terapi Non-Farmakologi
Menurut Dipiro, et al., (2015), modifikasi gaya hidup untuk manajemen
hipertensi dapat dilakukan dengan cara berikut:
 Penurunan berat badan, jika kelebihan berat badan.

27
Menjaga berat badan normal (BMI = 18,5 – 24,9 kh/m2). Dengan cara ini
dapat menurunkan angka tekanan darah 5-20 mmHg setiap penurunan 10 kg
berat badan.
 Mengadopsi perencanaan makan (diet) DASH (Dietary Approach to Stop
Hypertension)
Mengkonsumsi banyak buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk-produk
rendah lemak dengan mengurangi makanan-makanan yang mengandung
lmeak. Dengan cara ini dapat menurunkan angka tekanan darah 8-14 mmHg.
 Membatasi asupan garam
Konsumsi garam yang ideal adalah adalah hingga 1,5 g/hari (3,8 g/hari
NaCl). Dengan cara ini dapat menurunkan angka tekanan darah 2-8 mmHg.
 Melakukan aktifitas fisik aerobik reguler
Olahraga 30 menit/hari. Lakukan 4-5 kali setiap minggunya. Dengan cara ini
dapat menurunkan angka tekanan darah 4-9 mmHg.
 Mengurangi konsumsi alcohol
Batasi konsumsi alkohol minimal 2 gelas/hari untuk laki-laki dan maksimal
1 gelas/hari untuk wanita atau lebih sedikit. Dengan cara ini dapat
menurunkan angka tekanan darah 2-4 mmHg.
 Berhenti merokok
3. Analisis DRPs
1. Indikasi Tidak Diobati
Tidak ada indikasi yang tidak diobati
2. Kesalahan menyeleksi obat
Bagan pemilihan obat hipertensi dengan adanya kombinasi penyakit:
(Dipiro, 2008 halaman 149).
Berdasarkan bagan, pasien yang memiliki gangguan hipertrofi ventrikel
kiri dianjurkan untuk meminum obat diuretik dengan obat golongan ACE-I
dan golongan β-blocker. Namun, pada kasus ini, pasien diberikan berbagai

28
macam obat anti-hipertensi yang tidak sesuai dengan indikasi. Pada kasus
ini, penggunaan obat diuretik yang diresepkan sudah tepat (diuretik
golongan tiazide : Hidrochlortiazide 50 mg) + β-blocker (Atenolol 100 mg),
namun penggunaan ACE-inhibitor pada kasus ini tidak ada. Solusinya
adalah ditambahkannya pengobatan antihipertensi golongan ACE-inhibitor
yaitu Captopril dengan dosis 25-150 mg/hari dalam 2-3 kali minum.
Kemudian, pada pasien hipertensi dengan komplikasi gangguan ventrikel
kiri, target tekanan darah yang harus dicapai adalah <120/80 mmHg. Jika
dengan lini terapi di atas target tekanan darah yang diinginkan tidak tercapai,
dapat ditambahkan obat anti-hipertensi golongan ARB salah satunya
Losartan 50-100 mg/hari dalam 1-2x.

3. Obat tanpa indikasi


a. Amlodipine : antihipertensi golongan CCB. Pada kasus ini, penggunaan
amlodipine kurang tepat. Penggunaan amlodipine dapat diberikan pada

29
pasien dengan penyakit hipertensi disertasi dengan coronary disease
atau hipertensi yang disertai dengan diabetes.
b. Prazosin : antihipertensi golongan α-1-blocker selektif.
4. Adanya reaksi ESO (Efek Samping Obat)
a. Timbulnya diuretik : pasien dapat dianjurkan untuk terapi tambahan
dengan infus cairan dextrose 5% (D5%) untuk menambah nutrisi pasien.
b. Sebagian besar efek samping obat yang diberikan dapat menimbulkan
mual dan muntah. Oleh sebab itu, untuk mengatasi mual muntah
tersebut, dapat diatasi dengan pemberian folinic acid
5. Adanya interaksi obat
Terdapat beberapa interaksi obat yang dapat terjadi, hal ini dapat dilihat di
website (Drugs.com)
a. prazosin + atenolol (selalu dipantau)  dapat meningkatkan
antihipertensi, dengan pemblokiran kanal. Disarankan modifikasi terapi
atau selalu dipantau.
b. atenolol + amlodipine (Selalu dipantau) dapat meningkatkan
antihipertensi, dengan pemblokiran kanal. Disarankan modifikasi terapi
atau selalu dipantau.
c. atenolol + amiloride (selalu dipantau)  meningkatkan kadar kalium.
Disarankan modifikasi terapi atau selalu dipantau.
d. amiloride + hydrochlorothiazide  amiloride dan HCT bersifat
antagonis, amiloride dapat meningktakan kadar kalium sedangkan HCT
dapat menurunkan kadar kalium. Disarankan modifikasi terapi atau
selalu dipantau.
e. prazosin + amlodipine  dapat meningkatkan antihipertensi, dengan
pemblokiran kanal. Diperlukan perhatian dan pemantauan intensif.
f. atenolol + hydrochlorothiazide  amiloride dan HCT bersifat antagonis,
amiloride dapat meningkatkan kadar kalium sedangkan HCT dapat
menurunkan kadar kalium. Diperlukan perhatian atau pemantauan.

30
g. hydrochlorothiazide + methotrexate  terjadi interaksi minor, HCT
dapat meningkatkan toksisitas methotrexate dengan menurunkan
eliminasinya. Serta meningkatkan myelosuppressio
h. Amlodipine + atenolol  bisa meningkatkan efek yang tidak diinginkan
dari jantung sebagai hasil depresi miokardial
i. Amlodipine + Hidrochlortiazide (interaksi minor): hanya penurunan
efikasinya saja, sehingga dosis dari obat dapat dinaikkan jika diperlukan.
j. Prazosin + Hidrochlortiazide (interaksi moderate)  pasien harus
memberitahu kepada dokter jika pasien mengkonsumsi kedua obat
tersebut untuk keamanan pasien. Karena tekanan darah pasien dapat
menurun sampai di bawah batas normal. Prazosin seharusnya
dikonsumsi pada saat istirahat dan pasien harus memberitahu dokter jika
mengalami pusing.
6. Kesalahan dosis
Tidak ada
7. Ketidakpatuhan pasien
Tidak ada

31
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (AHA). American Heart Association : High Blood


Pressure . 2014. Availabe online on
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HighBloodPressure/PreventionTr
eatmentofHighBloodPressure/Shaking-the-Salt-
Habit_UCM_303241_Article.jsp?gclid=CjwKEAiAxZKmBRD_5cCvs8SbxXsS
JADZBCmdvipGMRDT5vJ3SDOCDszw6mmiFEXrRZjhQGaq_t10JxoCGD7w
_wcB [Accessed 1 September 2017].

Anonym. 2017. Drug Interaction Checker. Available online at :


https://www.drugs.com/drug_interactions.html [Accessed at 2 September 2017]

Bell, K. 2015. Hypertension: The Silent Killer: Updated JNC-8 Guideline


Recommendations. Alabama Pharmacy Association. Tersedia Online di
http://c.ymcdn.com/sites/www.aparx.org/resource/resmgr/CEs/CE_Hypertension
_The_Silent_K.pdf [Diakses pada tanggal 30 Agustus 2017].

Chowdury, Abdul Wadud., ATM Hasibul Hasan., SME Jahan Kabir., KM Nurus
Sabah., 2012. A Teenager with Uncontrolled Hypertension: Case Report. BMC
Research Notes. Volume 6:659.

Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi 3th Edition. Jakarta: EGC.

Dharmawan, Bobby S. 2016. Tatalaksana Hipertensi pada Anak. Tersedia di :


http://jurnal.fatmawatihospital.com/pdf/TatalaksanaHipertensipadaAnak.pdf
[Diakses pada tanggal 31 Agustus 2017]

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi.


Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

32
Dipiro, Joseph., Talbert Robert L, Yee Gary C, Matzke Gary R, Wells Barbara G,
Posey L Michael. 2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach.
Seventh Edition. New York: The McGraw-Hill Companies

Dipiro, Joseph., Talbert Robert L, Yee Gary C, Matzke Gary R, Wells Barbara G,
Posey L Michael. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach.
Seventh Edition. New York: The McGraw-Hill Companies.
Dipiro, J.T., Barbara, G.W., Terry, L.S., and Cecily, V.D. 2015. Pharmacotherapy
Handbook 9th. New York: Mc Graw Hill Companies, Inc.

Febrina, A. 2015. Takayasu’s Arteritis. CDK-233. 42(10).

Hoeymans N, Smit HA, Verkleij H, Kromhout D. 1999. Cardiovascular Risk Factors


in Netherlands. Eur Heart. p:520.

Ikatan Apoteker Indonesia. 2010. ISO Indonesia Volume 46. Jakarta: ISFI Penerbitan.

James PA, Oparil S, Carter BL, Cushman WC, Dennison-Himmelfarb C, Handler K,


Lackland DT, LeFevre M, MacKenzie TD, Ogedegbe O, Smith SC, Svetkey LP,
Taler SJ, Townsend RR, Wright J, Narva AS, Ortiz E. 2014. 2014 evidence based
guideline for the management of high blood pressure in adults: report from the
panel members appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8).
Available online on http://jama.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=1791497
[Accessed 1 Septermber 2017]

Johnston, S., RJ Lock, MM Gompels. 2002. British Medical Journal: Takayasu


Arteritis a review. J Clin Pathol. 55(7):481-6.

Katzung, B.G., Susan, B.M., dan Antony, J.V. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik.
Jakarta : EGC.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana


Hipertensi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

33
Kementrian Kesehatan Nasional. 2017. Pelayaan Informasi Obat. Tersedia online di :
http://pio.binfar.depkes.go.id/ [Diakses pada tanggal 1 September 2017]

Klein, R., BEK Klein, SE Moss, Q. Wang. 1993. Blood Pressure, Hypertension and
Retinopathy in a Population. Trans Am Ophthalmol Soc. 91: 207–226.

Lacy, Charles F., Lora L.A., Morton PG., Leonard L.L., 2007. Drug Information
Handbook, 17th Edition. Amerika: American Pharmacist Association

Mc Niece KL, Portman RJ, 2007. Hypertension: Epidemiology and evaluation. In:
Kher KK, Schnaper HW, Makker SP, eds. Clinical Pediatric Nephrology.
London: Informa Healthcare; 461-80

Muhadi. 2016. JNC 8: Evidence-based Guidline Penanganan Pasien Hipertensi


Dewasa. CDK-236. 43(1): 54-59.

Nuraini, B. 2015. Risk Factor of Hypertension. J Majority. 4(5): 11-19.

Patel, J. 2014. High Blood Pressure. Available online at:


http://www.healthcommunities.com/high-blood-pressure/overview-of
hypertension.shtml [Diakses pada 1 September 2017].

Price, A.S., dan Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit. Volume 2. Jakarta: EGC.

Sagala, LMBR. 2010. Perawatan Penderita Hipertensi di Rumah oleh Keluarga Suku
Batak dan Suku Jawa di Kelurahan Lau Cimba Kabanjahe. [Skripsi]. Medan:
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D, penyunting. 2011. Konsensus tatalaksana


hipertensi pada anak. Edisi ke-1. Jakarta : Unit Kerja Nefrologi IDAI.

Shea, Beverley; Swinden, Michael V; Tanjong Ghogomu, Elizabeth; Ortiz, Zulma;


Katchamart, Wanruchada; Rader, Tamara; Bombardier, Claire; Wells, George A;
Tugwell, Peter (2013). "Folic acid and folinic acid for reducing side effects in

34
patients receiving methotrexate for rheumatoid arthritis". Cochrane Database of
Systematic Reviews.

Soenarta, A.A., Erwinato., Mumpuni, A.S.S., Barack, R.,et.al. 2015. Pedoman


Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia: Jakarta.

Susalit E., Kapojos EJ., Lubis HR. 1996. Hipertensi Primer. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi III, Jilid II, Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal.453-470.

Tatro, David S., 2003. A to Z Drug Facts. San Fransisco.

Yogiantoro, M. 2007. Hipertensi Essensial. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : EGC. pp. 599-60

35
36

Anda mungkin juga menyukai