Hal
DAFTAR ISI 1
BAB I : PENDAHULUAN 2
A. Latar Belakang 2
B. Deskripsi 3
C. Tujuan Pembelajaran 3
A. Latar beakang
Kilang yang ada saat ini konfigurasinya sudah sangatlah komplek, bukan hanya
mengolah crude menjadi BBM, tetapi juga mengolah crude oil menjadi Pelumas, Aspalt
juga lilin. Dalam beberapa proses pengolahan crude oil yang ada di Indonesia, pengolahan
crude oil telah menggunakan bermacam-macam peralatan operasi, dan salah satunya
adalah peralatan proses extraksi. Proses extraksi di proses pengolahan crude oil sangatlah
penting karena proses ini digunakan untuk memisahkan dua atau lebih cairan dengan
menggunakan pelarut. Salah satu contoh di proses pengolahan crude oil yang
menggunakan proses extraksi adalah proses pembuatan lube oil. Dimana pada proses
pembuatan Lube Oil terdapat proses extraksi dengan menggunakan pelarut furfural untuk
mengambil senyawaan aromat.
Secara umum, proses extraksi ini digunakan untuk memisahkan suatu feed yang terdiri
dari Solute (A) dan Diluent (B) dengan menggunakan Solvent (S atau C) yang tidak larut
atau larut sangat terbatas dalam feed (umpan). Larutan hasil extraksi yang kaya akan
solvent (disebut dengan rich solven dan sedikit feed) disebut dengan Extrak, sedangkan
yang kaya akan feed (dan sedikit solvent) disebut dengan Rafinate.
Sebagai contoh yang mudah dipahami adalah larutan campuran asam cuka – air dapat
dipisahkan dengan mengextraksinya menggunakan pelarut etil asetat. Dalam hal ini, Asam
Cuka adalah Solute (A) , Air adalah Diluent (B), dan Etil Asetat adalah Solvent (S atau C).
Dalam proses extraksi larutan campuran asam cuka – air dengan mengunakan pelarut etil
asetat akan didapatkan larutan Extrak yang mengandung banyak etil asetat, asam cuka, dan
sedikit air. Sedangkan larutan Rafinate dari proses extraksi larutan campuran asam cuka –
air dengan mengunakan pelarut etil asetat akan mengandung banyak air, sedikit asam cuka,
dan etil asetat.
B. Deskripsi
Mata diklat ini menjelaskan tentang pengetahuan proses extraksi berdasarkan dasar
keilmuan Teknik Kimia yang meliputi : kesetimbangan liquid-liquid, dimana pada materi
ini akan dijelaskan dengan singkat pengaruh temperatur terhadap kelarutan solvent pada
salah satu liquid yang akan diekstrak. Materi selanjutnya adalah metode extraksi, dimana
pada materi ini akan disajikan dasar-dasar perhitungan extraksi, termasuk menentukan
kebutuhan solvent optimum dan minimum serta efisiensi proses pemisahaan antar liquid
dari kolom extraksi. Pada materi selanjutnya akan dijelaskan materi tentang proses extraksi
dengan reflux, dimana pada materi ini akan dijalaskan bagaimana penentuan kebutuhan
solvent sesuai dengan banyaknya reflux yang diperukan serta rasio reflux yang digunakan.
C. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti mata diklat ini peserta diklat diharapkan mampu menjelaskan kebutuhan
solvent yang dioperasikan, menentukan jumlah tray actual, serta menentukan efisiensi dari
proses pemisahan antar liquid.
C.1 Kompetensi Dasar
Setelah mengikuti mata diklat ini peserta diharapkan dapat :
1. Menenentukan kebutuhan solvent pada proses extraksi
2. Menentukan effisiensi tray dari proses extraksi
C.2 Indikator Leberhasilan
1. Mampu menentukan kebutuhan solvent operasi dengan metode grafis
2. Mampu menentukan kebutuhan solvent minimum dengan metode grafis
3. Mampu menentukan effisiensi tray kolom extraksi
BAB II
KESETIMBANGAN LIQUID-LIQUID
Diagram segitiga kelarutan untuk sistem 3 cairan yang berlangsung secara isotherm
seperti disajikan pada gambar berikut ini :
Gambar 2.1 : Sistem kesetimbangan 3 cairan dimana cairan C melarut sebagian di A dan
sebagian di B
Diagram segitiga kelarutan pada gambar 2.1 (a) diatas menggambarkan bahwa
Cairan C melarut sempurna di cairan A dan B, tetapi banyaknya cairan A yang
melarut di cairan B adalah sebagian saja begitu pula sebaliknya. Pada titik L akan
disebut dengan cairan A rich (cairan kaya A) karena pada titik ini jumlah cairan A
yang melarut lebih banyak dari pada cairan B, tetapi tidak ada cairan C yang
melarut sama sekali di cairan A maupun di cairan B. Begitu pula sebaliknya di titik
K yang disebut dengan cairan B rich (cairan kaya B), dimana pada titik K ini jumlah
cairan B yang melarut lebih banyak dari pada cairan A, tetapi tidak ada cairan C
yang melarut sama sekali di cairan A maupun di cairan B. Kurva LRPEK umumnya
disebut dengan binodal solubility curve (kurva kesetimbangan liquid/caran), yaitu
kurva yang mengindikasikan perubahan kelarutan cairan A terhadap cairan B (atau
sebaliknya) bilamana ditambahkan cairan C. Area yang berada diluar kurva
LRPEK adalah area cairan homogen satu fasa, sedangkan area yang berada di
bawah kurva (misal : pada titik M) adalah area dimana terdapat 2 cairan yang tidak
saling melarut.
Pengaruh Temperatur
Pada sistem ini temperatur sangat mempengaruhi kelarutan dari cairan A, B dan C
seperti ditunjukkan pada gambar berikut :
Gambar 2.3 : sistem 3 cairan dimana terdaat 2 pasangan cairan yang saling melarut sebagian,
yaitu cairan A – B dan cairan B - C
Pada temperatur operasi ekstraksi, titik K dan J adalah titik dimana pasangan
cairan A dan B saling melarut sebagian. Sedangkan pada titik H dan L adalah
titik dimana pasangan cairan B dan C saling melarut sebagian. Kurva KRH
disebut sebagai kurva A rich, yaitu kurva dengan komponen cairan A yang
terbanyak, sedangkan kurva JEL adalah kurva dengan komponen B yang
terbanyak. Kurva KRH dan JEL disebut dengan kurva ternary solubility curve,
sedangkan area yang berada diantara dua kurve ini (yaitu titik M) adalah
campuran cairan heterogeneous 2 fasa yang berkesetimbangan pada titik E dan
titik R, dan untuk area yang berada di luar kurve adalah cairan homogenous 1
fasa.
Pengaruh Temperatur
Meningkatnya temperatur operasi ekstraksi umumnya akan meningkatkan
kelarutan dari cairan cairan tersebut. Diagram pengaruh temperatur ini
digambarkan seperti pada gambar 2.4. Jika temperatur dinaikkan hingga
mencapai T4 (lihat gambar 2.4), maka sistem cairan ini akan memiliki karakter
kelarutan seperti pada gambar 2.1.
Gambar 2.4 : Pengaruh temperatur terhadap sistem 3 cairan yang mana 2 cairan
berpasangan saling melarut sebagian
Disamping pengaruh suhu dan tekanan, densitas solvent, viskositas solvent, pengadukan,
interfacial tension, tekanan uap, dan freezing point solvent ikut mempengaruhi pula laju
kelarutan antar cairan (Treybal, 1981).
B. Peralatan Extraksi
Peralatan untuk proses extraksi tidaklah jauh berbeda dengan peralatan Distilasi
dan Absorbsi. Perbedaan antara berbagai tipe peralatan extraksi pada umumnya terletak
pada metoda kontak kedua fasa liquid.
Ada beberapa tipe peralatan untuk proses extraksi liquid-liquid antara lain :
1. Bafle plate colomn
2. Spray colomn
3. Peforated colomn
4. Bubble cap plate colomn
5. Packed colom
Sama halnya dengan Distilasi dan Absorbsi bahwa rate dari kedua macam fasa liquid di
kolom dibatasi oleh “flooding point”, yaitu suatu rate aliran dimana fasa yang terdispersi
kembali keluar kolom. Umumnya bila rate dari suaru fasa bertambah, maka rate fasa
lainnya akan berkurang.
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga flooding rate ini adalah :
a. Sifat-sifat fisis fluida
b. Tipe dan ukuran packing (untuk packed colomn)
c. Ukuran drop (untuk spry tower)
d. Ukuran dan letak lubang (untuk plate colomn)
C. Pemilihan Pelarut
Untuk menentukan suatu pelarut yang digunakan dalam operasi extraksi liquid-liquid
harus dilakukan beberapa pertimbangan, antara lain :
1. Selektiviti (β)
Separation Factor atau selektiviti solvent S adalah keefektifan solvent S untuk
memisahkan larutan A dan B menjadi komponen-komponen yang terpisah dan
diukur dengan membandingkan A/B dalam fasa yang kaya akan solvent S terhadap
A/B dalam fasa yang kaya akan B. Jadi dalam fasa Extrak (E) dan fasa Rafinate (R)
berkesetimbangan, sehingga :
⁄
𝛽= ⁄
...........(2.1)
Syarat untuk penggunaan suatu solvent dalam extraksi harga selektivitinya harus
lebih besar dari 1. Bila harganya = 1 maka pemisahan tidak mungkin terjadi dan
hal ini terjadi pada “plait point” dalam kurva kesetimbangan sistem extraksi (jika
di distilasi titik ini disebut dengan titik Azeotropic)
2. Koefisien Distribusi
Makin besar harga koefisien distribusi (yaitu harga dalam kesetimbangan) maka
makin sedikit pelarut yang dibutuhkan dalam operasi extraksi. Namun demikian
harganya tidak perlu lebih besar dari 1.
3. Ketidaklarutan Solvent
Diusahakan agar solvent hanya melarut pada salah satu komponen larutan yang
akan dipisahkan
4. Recoverybility
Solvent harus mudah diperoleh kembali setelah melakukan tugas pelarutan
sehingga bisa digunakan kembali sebagai pelarut lagi. Proses recoverybility harus
dilakukan dengan cara yang mudah
5. Density
Perbedaan density diantara dua fasa liquid jenuh sangat diperlukan. Makin besar
perbedaannya maka makin bak.
6. Interfacial Tension
Makin besar interfacial tension, maka makin mudah terjadinya penggumpalan
emulsi. Penggumpalan ini lebih dipentingkan karenanya interfacial tension harus
tinggi.
7. Reaktifitas Kimia
Pelarut harus stabil sifat kimianya dan harus bersifat inert terhadap komponen
sistem yangakan dipisahkan.
8. Viskositas, Tekanan Uap, dan Titik Beku
Semua parameter ini harus rendah agar mudah dalam transfer dan storage
9. Tidak Toxic dan Tidak Mudah Terbakar
Dua sifat diatas dimaksudkan untuk keselamatan kerja
10. Harganya Harus Murah
Paramater ini dimaksudkan agar proses extraksi berlangsung dengan ekonomis
D. Solvent Pertamina
Beberapa solvent produksi Pertamina saat ini yang ada (Pertamina, 2016) adalah sebagai
berikut :
a. Solphy – 2
b. LAWS 5
c. Paraxylene
Solphy - 2
SOLPHY – 2 adalah Solvent hidrokarbon yang merupakan salah satu bahan / produk yang
bersifat ramah lingkungan dan menjadi alternative pengganti Bahan Perusak Ozon (BPO),
sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Wina dan Protocol
Montreal terkait penghapusan penggunaan bahan – bahan perusak lapisan ozon. SOLPHY-
2 diproduksi oleh kilang PERTAMINA RU II Dumai dan dikemas dalam kaleng (pail)
ukuran 20 liter.
Kegunaan Solphy-2 adalah sebagai solvent pembersih pada kegiatan pre-cleaning, general
cleaning dan degreasing di mesin-mesin pesawat terbang. Parts yang dibersihkan meliputi
Engine/APU parts (termasuk bearings dan bolts), landing gear components, ELMO-
components, airframe metal parts dan lain-lainnya. Produk Solphy-2 dapat juga
diaplikasikan dengan baik pada kegiatan general cleaning di mesin-mesin lainnya, seperti
mesin kereta api, kapal, crane, mesin Industri dan alat berat dengan berbagai metoda
cleaning, yakni spraying, dipping, brushing dan swabbing. Selain sebagal metal cleaning,
Solphy-2 dapat menjadi substitusi produk Stoddard Solvent yang banyak diaplikasikan
pada industri cat, coating dan dry cleaning.
Tabel 2.1 : Typical solvent Solphy-2
LAWS 5
Merupakan solvent yang dihasilkan di kilang PERTAMINA RU V di Balikpapan dengan
boiling range antara 140oC — 190oC. Senyawa hidrokarbon yang membentuk solvent
LAWS merupakan campuran dari paraffins, cycloparaffins, dan aromatic hydrocarbon.
Sifat yang menonjol adalah tidak korosif dan bersifat stabil dengan warna yang jernih.
Adapun kegunaan dari solvent jenis ini adalah :
Paraxylene
Paraxylene adalah senyawa hidrokarbon aromatic yang dihasilkan dari proses aromatisasi
dari heavy naptha dalam unit platformer yang kemudian dipisahkan untuk memproduksi
benzene dengan ekstraksi dan paraxylene dengan absorbsi. Paraxylene dihasilkan oleh
Kilang Paraxylene PERTAMINA IV Cilacap. Adapun kegunaan dari Paraxylene adalah
sebagai berikut :
A. Pendahuluan
Dalam operasi extraksi terdapat 3 metode dalam pengoperasiannya, yaitu :
a. Single Stage contact
C. Diagram Fasa
Ada beberapa diagram fasa yang digunakan dalam perhitungan extraksi, yaitu :
Diagram fasa segitiga sama sisi
Diagram fasa segitiga siku-siku
Diagram fasa Janeckee (pesegi)
Diagram fasa insoluble solvent
Adalah diagram fasa yang menampilkan ploting dari ketiga komponen A, B, dan C
seperti pada gambar berikut ini :
C
A
Solven
B
Gambar 3.5 : Diagram fasa segitiga sama sisi
Pada gambar diagram fasa diatas angka-angka pada data kesetimbangan diplot semua
dengan pembacaan ploting titik M adalah sebgai berikut :
𝑥 = 0,4
𝑥 = 0,2
𝑥 = 0,4
Diagram Fasa Segitiga Siku-Siku
Pada diagram fasa segitiga siku-siku, angka-angka pada data kesetimbangan hanya di plot
untuk komponen A dan C saja dengan komponen B sebagai titik pivot nol dimana :
𝑥 = 1 − 𝑥 − 𝑥 .............(3.1)
C
Mass C/(mass A+mass B+mass C)
𝑥 ,𝑦
B A
𝑥 ,𝑦
Mass A/(Mass A+mass B+mass C)
Pada diagram fasa persegi digunakan notasi N yaitu berat fraksi B dengan basis B-free,
yaitu mass B/(mass A+mass C) vs 𝑋 , 𝑌 seperti pada gambar berikut ini :
Mass B/(mass A+mass C)
𝑁
𝑋 ,𝑌
Mass C/(mass A+mass C)
Diagram fasa insoluble solvent ini mirip sekali dengan kurva kesetimbangan uap-cairan
pada distilasi. Pada diagram ini diplot data antara 𝑦 𝑣𝑠 𝑥′ seperti pada gambar beirkut ini
:
Gambar 3.8 : Kurva kesetimbangan untuk Insoluble Solven
Dimana :
D. Kurva Kesetimbangan
Dalam membuat kurva kesetimbangan di salah satu diagram fasa diatas diperlukan
suatu data kesetimbangan. Data kesetimbangan ini didapatkan dari hasil percobaan di
laboratorium. Berikut contoh data kesetimbangan yang diplot pada diagram fasa :
Tabel 3.1 :
Data kesetimbangan liquid-liquid sistem Acetic Acid – Water –
Isopropil Ether pada 293 K (20 oC)
PLATE POINT
Gambar 3.9 : Ploting data kesetimbangan liquid-liquid pada diagram fasa segitiga sama sisi
ditunjukkan garis lengkung warna merah
Plate point adalah titik pertemuan antara ploting extract layer dan rafinate layer,
dimana pada titik pertemuan dua layer ini memiliki sifat yang sama. Titik Plait ini
seperti halnya Azeotrop pada distilasi.
Extract Layer, 𝑦 𝑣𝑠 𝑦
C
Plait Point
Mass C/(mass A+mass B+mass C)
𝑥 ,𝑦
Rafinate Layer,
𝑥 𝑣𝑠 𝑥
B A
𝑥 ,𝑦
Mass A/(Mass A+mass B+mass C)
Gambar 3.9 : Ploting data kesetimbangan liquid-liquid pada diagram fasa segitiga siku-siku
ditunjukkan garis lengkung warna hitam
𝑁 𝑣𝑠 𝑌
Mass B/(mass A+mass C)
𝑁
𝑁 𝑣𝑠 𝑋
𝑋 ,𝑌
Mass C/(mass A+mass C)
E. Tie Line
Tie Line adalah garis yang menghubungkan dua komposisi pada layer extract dan
rafinate yang berkesetimbangan. Cara membuat tie line pada diagram fasa adalah
sebagai berikut :
1. Tie line pada diagram segi tiga siku-siku
Untuk membuat tie line dengan diagram fasa segitiga siku-siku, pertama kali
adalah susunlah diagram fasa segitiga siku-siku dan diagram kurva kesetimbangan
𝑥 𝑣𝑠 𝑦 seperti pada gambar 3.11. Kemudian buatlah garis merah dengan urutan
sperti pada gambar 3.11. Kemudian buatlah garis biru yang menghubungkan dua
garis merah tersebut. Garis biru tersebut adalah garis tie line.
Mass C/(mass A+mass B+mass C) Tie Line
𝑥 ,𝑦
𝑥 ,𝑦
Mass A/(Mass A+mass B+mass C)
Diagonal 45o
𝑦 , Lapisan Extract
𝑥 , Lapisan raffinate
Gambar 3.11 : Membuat tie line untuk diagram fasa segitiga siku-siku
2. Tie line pada diagram persegi (Janeckee)
Tie Line
Mass B/(mass A+mass C)
𝑁
𝑋 ,𝑌
Mass C/(mass A+mass C)
𝑌 , B – Rich, Extract Layer
Mass C/(mass A+mass C)
𝑦 , 𝑙𝑎𝑝𝑖𝑠𝑎𝑛 𝐸𝑥𝑡𝑟𝑎𝑐𝑡
Tie Line
𝑥 , 𝑙𝑎𝑝𝑖𝑠𝑎𝑛 𝑅𝑎𝑓𝑖𝑛𝑎𝑡𝑒
Gambar 3.13 : Membuat tie line untuk diagram fasa segitiga sama sisi
BAB IV
METODE PERHITUNGAN EXTRAKSI
Dalam perhitungan extraksi dalam menentukan jumlah stage dan minimum solvent pada
Bab ini hanya disampaikan dengan menggunakan diagram fasa segitiga siku-siku.
𝑥 , 𝑥 ,
𝑥 , 𝑥 ,
𝑥 , 𝑥 ,
Feed Raffinate
Gambar 4.2 : (a) Proses flow diagram (b) ploting data neraca massa pada
diagram fasa
𝐿 𝑥 +𝑉 𝑦 =𝐿 𝑥 +𝑉 𝑦 = 𝑀𝑥 ....................(3)
𝑥 + 𝑥 + 𝑥 = 1..............................(4)
3. Aturan Lever Arm
( )
= .........(5)
( )
Gambar 4.3 :
Aturan lever arm pada
diagram fasa untuk
memudahkan perhitungan
Gambar 4.4 : Kolom extraksi (a) Menara perforated plate atau sieve tray (b)
Menara extraksi berpengaduk
B.1 Neraca Massa proses Continuous Multistage Countercurrent Extraction
Neraca massa untuk proses Continuous Multistage Countercurrent Extraction akan lebih
mudah dipahami dengan memperhatikan gambar berikut ini :
Solven (C)
𝒚𝑪,𝑵 𝟏
A
B
𝑥 = = ...........(7)
𝑥 = = .............(8)
𝑥 , Lapisan raffinate
B.3 Laju Solvent Minimum
Ada 4 hal yang perlu diperhatikan pada operasi tanpa reflux, yaitu :
1. Kemurnian produk
Agar recovery solute dari larutan extrak (solven recovery) tidak terlalu mahal
biayanya, maka diharapkan konsentrasi solute pada larutan produk extrak ( 𝑉 )
harus tinggi
2. Presentase recovery
Diinginkan pengambilan solute pada proses extraksi sebanyak-banyaknya, jadi
𝑉 𝑦 sebesar mungkin (atau 𝐿 𝑥 sekecil mungkin).
3. Jumlah stage yang diperlukan
Makin besar jumlah stage, makin mahal pula harga alat
4. Rasio 𝑉 𝐿
Suatu harga 𝑉 𝐿 yang cukup tinggi menyebabkan encernya produk extrak, tetapi
presentase recovery akan tinggi.
Bila dua dari variabel-variabel diatas telah ditetapkan, maka dua variabel lainnya akan
mengikutinya. Pemilihan harga optimum dari variabel-variabel ini memerlukan analisa
ekonomi yang menyangkut harga alat, materi, proses solven recovery selajutnya, dsb.
(V L)minimum
Pada prosentase recovery yang ditentukan, makin kecil harga V, maka makin
banyak stage yang diperlukan. Akhirnya harga V ini akan mencapai suatu harga dimana
untuk memperoleh prosesntase recovery yang lebih dari yang ditentukan akan diperlukan
stage yang tak berhingga jumlahnya. Harga V ini disebut dengan Vminimum, atau
(𝑉 𝐿)𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚. Jadi dalam operasi dihindari harga V yang minimum agar jumlah stage
tertentu pada prosentase recovery yang diinginkan (walaupun pada V yang minimum
terjadi y maksimum).
Dalam analisa dengan diagram segitiga, harga (𝑉 𝐿)𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 dapat ditetapkan dengan
memilih (trial and error) sebuah harga yang merupakan perpanjangan dari tie line-tie line,
dan akan memberikan harga 𝑉 𝐿 terbesar diantara ( 𝑉 𝐿)𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚 . Perhatikan pada
gambar 4.7 berikut, cukup banyak titik yang dibuat dari perpanjangan tie line, tetapi hanya
sebuah yang terdekat dengan puncak segitiga (titik 𝑦 ) yaitu yang memberikan harga
𝑉 𝑉
𝐿 terbesar . Biasanya dalam operasi harga 𝐿 ditetapkan beberapa kali dari harga
minimumnya. Sangat sulit untuk memperkirakan dengan tepat tie line yang mana yang
memberikan harga (𝑉 𝐿)𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑢𝑚
C
𝑦
Mass C/(mass A+mass B+mass C)
Tie line
𝑥 ,𝑦
𝑦 𝑦
Titik M baru
𝑥
𝑥 𝑥 𝑥 𝑥
B A
𝑥 ,𝑦
Mass A/(Mass A+mass B+mass C)
Enriching Stripping
Section Section
VC V1
VN+1
C 1 n F-1 F m N
Lo
LC
LN
D F
Pada gambar 4.8 diatas, bagian D adalah solven yang kaya (solven rich) merupakan produk
extract, sedangkan sisanya ( 𝐿 ) adalah extract reflux. Dengan susunan operasi reflux
seperti pada gambar 4.8 diatas, konsentrasi dari solute di fasa ( V ) meningkat sedemikian
rupa sehingga berkesetimbangan dengan feed (umpan) di stage F-1 sampai satge 1. Oleh
sebab itu, hasil akhir produk extract memiliki konsentrasi solute yang tinggi bila
dibandingkan dengan proses extraksi tanpa reflux.
Rafinate reflux pada proses extraksi seperti pada gambar 4.9 tidaklah begitu berguna,
karena peralatan yang didesain untuk bagian relux rafinate hanyalah semata-mata
mencampur fresh solvent dengan rafinate yang direflux. Sehingga proses pencampuran
antara rafinate yang direflux dengan fresh solvent ini mirip dengan proses extraksi di stage
ke-N.
Pada oerhitungan operasi extraksi multi stage countercurrent dengan reflux berlaku
persamaan neraca massa berdasarkan Gambar 4.8 sebagai berikut :
Dan
𝐿 = 𝐿 + 𝐷 ........................(13)
Maka :
𝑉 = 𝑉 + 𝐿 + 𝐷 ................(14)
Atau
𝐿 − 𝑉 = −(𝐷 + 𝑉 )..........(15)
Sehingga :
∆ = −(𝐷 + 𝑉 ) ...................(16)
Dan
∆ = ∆ + 𝐹...........................(17)
Dalam perhitungannya, proses extraksi dapat dilakukan dengan menggunakan koordinat
segitiga siku-siku atau persegi (solven free) berikut ini :
𝑥∆
𝑦
Gambar 4.10 : Perhitungan extraksi dengan
diagram segitiga siku-siku
𝑦 𝑥∆
Mass C/(mass A+mass B+mass C)
𝑦
𝑥 , 𝑦 (solven)
𝑥
𝑥 , 𝑦 (solute)
𝑧 Mass A/(Mass A+mass B+mass C)
𝑥 ,𝑥 ,𝑥
Rasio jumlah aliran 𝐿 (extrak reflux) terhadap aliran D (extrak produk) disebut dengan
𝐿
“reflux rasio”. Nilai minimum rasio atau 𝐷 akan memberikan jumlah stage
yang tak terbatas. Untuk nilai maksimum rasio, yaitu D = 0 disebut dengan “Total Reflux”
akan memberikan jumlah stage yang minimum. Nilai reflux rasio sebenarnya digunakan
untuk batasan ekonomis operasi.
𝑋 ,𝑌 = ........(20)
𝑋 ,𝑌 = ..........(21)
Dan :
∆
= .........(22)
= ............(23)
Kurva
Extrak Fase
Kurva
Rafinate Fase
Gambar 4.11 : Penyelesaian perhitungan extraksi dengan reflux menggunakan diagram persegi
GLOSSARY
Brown, George. Granger, “Unit Operation”, 1978, John Willey & Sons, New Yok,
USA