Anda di halaman 1dari 14

Ikuti Wikipedia bahasa Indonesia di Facebook, Twitter, Instagram, dan

Telegram

Tuanku Imam Bonjol


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tuanku Imam Bonjol

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Padri adalah sebuah nama di daerah Padang. Yang mana di
daerah inilah awal mulanya diterapkaknnya gerakan puritanisme di
Indonesia. Gerakaan puritanisme adalah sebuah gerakan pemurnian
ajaran agama islam yang telah terpengaruh atau telah tercemari oleh
ajaran-ajaran yang datang dari luar islam. Gerakan ini pertama kali
di pelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, di Nejd. Berkat
bantuan penguasa keluarga su’ud faham ini berkembang pesat di
wilayah zajirah arabia, bahkan sempat menggoyahkan pemerintahan
kerajaan turki ustmani.
Gerakan puritanisme ini dibawa masuk ke wilayah Indonesia
oleh tiga orang kaum muda padri yang baru pulang kembali dari
tanah suci selepas melaksanakan ibadah haji, mereka itu adalah haji
miskin, haji sumanik, dan haji piobang pada tahun 1803 M. Mereka
kemudian membentuk kelompok yang terkenal dengan kelompok
Harimau Nan Salapan atau kaum muda padri mereka mengadakan
penentangan terhadap prektek kehidupan beragama masyarakat
Minang Kabau, yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur tahayul,
bid’ah, dan kurafat. Masyarakatnya sudah menyimpang jauh dari
tradisi keagamaan yang telah ada.
Perjudian, penyabungan ayam, dan lain sebagainya adalah
contoh dari sebagian kecil perbuatan mereka yang waktu itu telah
merupakan perbuatan atau suatu hal yang biasa. Oleh karena itu,
kedatangan tiga orang haji ini, yang kemudian bersekutu dengan
tuanku Nan Renceh dan tuanku Imam Bonjol, melakukan gerakan
kemurnian ajaran Islam. Karena aktivitas mereka dianggap cukup
membahayakan keberadaan kaum tua atau adat padri, maka kaum
tua meminta bantuan Belanda pada tahun 1821-1837 M terjadilah
perang padri.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu kaum Ulama
mengalami kekalahan, Ulama dalam perang paderi dalam
menghadapi Belanda, bukanlah mematahkan semangat para tokoh
pejuang pembaharu itu, tetapi gerakannya semakin hebat.Gerakan
pembaharuan itu tidak lagi bersifat politik agama, tetapi dialihkan
kedalam gerakan pembaharuan pendidikan.Perang padri dianggap
sebagai pembaharuan Islam karena tujuan dari perang padri adalah
memiliki kekuasaan yang kuat dan dengan memiliki kekuatan atas
kekuasaan kaum Ulama dapat menguatkan ajaran Islam yang telah
banyak di tinggalkan.

BAB II
PEMBAHASAN
Padri adalah sebuah nama di daerah Padang. Yang mana di daerah
inilah awal mulanya diterapkaknnya gerakan puritanisme di
Indonesia. Gerakaan puritanisme adalah sebuah gerakan pemurnian
ajaran agama islam yang telah terpengaruh atau telah tercemari oleh
ajaran-ajaran yang datang dari luar islam. Gerakan ini pertama kali
di pelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, di Nejd. Berkat
bantuan penguasa keluarga su’ud faham ini berkembang pesat di
wilayah zajirah arabia, bahkan sempat menggoyahkan pemerintahan
kerajaan turki ustmani.
Gerakan puritanisme ini dibawa masuk ke wilayah Indonesia oleh
tiga orang kaum muda padri yang baru pulang kembali dari tanah
suci selepas melaksanakan ibadah haji, mereka itu adalah haji
miskin, haji sumanik, dan haji piobang pada tahun 1803 M. Mereka
kemudian membentuk kelompok yang terkenal dengan kelompok
Harimau Nan Salapan atau kaum muda padri mereka mengadakan
penentangan terhadap prektek kehidupan beragama masyarakat
Minang Kabau, yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur tahayul,
bid’ah, dan kurafat. Masyarakatnya sudah menyimpang jauh dari
tradisi keagamaan yang telah ada.
Perjudian, penyabungan ayam, dan lain sebagainya adalah contoh
dari sebagian kecil perbuatan mereka yang waktu itu telah
merupakan perbuatan atau suatu hal yang biasa. Oleh karena itu,
kedatangan tiga orang haji ini, yang kemudian bersekutu dengan
tuanku Nan Renceh dan tuanku Imam Bonjol, melakukan gerakan
kemurnian ajaran Islam. Karena aktivitas mereka dianggap cukup
membahayakan keberadaan kaum tua atau adat padri, maka kaum
tua meminta bantuan Belanda pada tahun 1821-1837 M terjadilah
perang padri.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu kaum Ulama
mengalami kekalahan, Ulama dalam perang paderi dalam
menghadapi Belanda, bukanlah mematahkan semangat para tokoh
pejuang pembaharu itu, tetapi gerakannya semakin hebat.Gerakan
pembaharuan itu tidak lagi bersifat politik agama, tetapi dialihkan
kedalam gerakan pembaharuan pendidikan.Perang padri dianggap
sebagai pembaharuan Islam karena tujuan dari perang padri adalah
memiliki kekuasaan yang kuat dan dengan memiliki kekuatan atas
kekuasaan kaum Ulama dapat menguatkan ajaran Islam yang telah
banyak di tinggalkan.[1]
Kondisi pada saat itu daerah Minangkabau jauh dari apa yang Islam
ajarkan dan syariat oleh Agama Islam. para Ulama giat mengadakan
ceramah-ceramah, pengajian, mendirikan Madrasah dan pondok
pesantren yang diberi nama Sumatera Thawalib. Pengaruh gerakan
ini lalu meluas keseluruh tanah air yang diikuti dengan
bermunculannya berbagaiorganisasi Islam pada zaman pergerakan
nasional di Indonesia pada Abad ke-20 Masehi.
A. Gerakan Padri.
Gerakan padri, merupakan pergerakan keagamaan yang
terinspirasi oleh gerakan wahabi. Gerakan ini pada awalnya
merupakan gerakan pembaharuan (modernis) diawal abad 18, yang
dilakukan Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya di Surau kuto Tuo,
Agam.
Kemunculan gerakan ini merupakan reaksi balik atas
pengamalam agama yang dilakukan kaum Adat yang banyak
menyimpang dari ajaran Islam.Gerakan ini kemudian mendapat
sambutan dari ulama “tiga serangkai” Minangkabau, sekembalinya
mereka dari Mekkah pada tahun 1803.Dalam melaksanakan
dakwahnya yang berupaya mengikis khurafat dan bid’ah dalam
praktek beragama umat Minangkabau, gerakan ini mengambil
pendekatan keras dan radikal.
Dengan membawa semangat pembaharuan gerakan wahabi,
mereka berusaha untuk mengikis habis praktik-praktik adat dari
unsur khurafat dan bid’ah. Upaya ini dilakukan baik melalui
pelaksanaan pendidikan salaf disurau-surau, maupun langsung
berdebat secara frontal dengan kaum adat.Upaya dakwah yang
demikian kurang disenangi, bahkan mendapat tantangan keras dari
kaum adat yang berfikiran ortodok.
Pelaksanaan pemurnian yang dibawa para ulama
Minangkabau tidak berjalan mulus.Bahkan dalam melaksanakan
dakwahnya para ulama Minangkabau selalu harus berhadapan
dengan kaum Adat.Hal yang serupa umpamanya juga dialami oleh
H. Miskin. Melalui suraunya, ia mencoba melakukan serangkaian
pembaharuan di Batu Tebal dan Pantai Sikat harus lari ke lintau.
Akan tetapi usahanya tersebut mengalami hambatan.Padahal,
bernagai pendekatan persuasif telah dilakukannya. Di antaranya, ia
telah melakukan pendekatan dengan Penghulu Desa. Akan tetapi, ide
pembaharuannya tetap ditolak oleh masyarakat setempat. Ketidak
senangan kaum Adat terhadap kaum modernis dilampiaskan dengan
cara menyerang dan membakar desa-desa di mana kaum
modernis menyebarkan ide pembaharuannya. Akibatnya banyak di
anatara kaum modrnis yang terpaksa menyelamatkan diri dari satu
desa ke desa yang lain, hingga ke Bukit Kemang. Di daerah ini,
kaum modernis mendapat perlindungan dari Tuanku Nan Renceh,
seorang murid kesayangan Tuanku Nan Tuo, bahkan mendukung
gerakan kaum modernis dalam menyebarkan gerakan Wahabi.
Disinilah awal terbentuknya Gerakan Paderi, dalam melaksanakan
ide pembaharuannya.
Karena sering mendapat tantangan dari kaum Adat dan
masyarakat setempat, kaum modernis tidak segan-segan melakukan
penyerangan dan bahkan dengan membakar.
Pendekatan ini akhirnya membuat Tuanku Nan Tuo tidak
simpatik dan tidak mau menggunakan pengaruhnya untuk membantu
perjuangan kaum Padri.Untuk itu, kaum Padri kemudian melakukan
dukungan dengan para ulama lainnya yang memiliki pengaruh dalam
komunitas masyarakat Minangkabau, di antaranya Tuanku
Mansianang.
B. Upaya Yang Dilakukan Kaum Padri.
Upaya yang dilakukan kaum Padri dalam memurnikan ajaran
Islam dari khurafat dan bid’ah, tetap berlangsung, meskipun dengan
berbagai tantangan dan hambatan dari kaum Adat.Pada tahun 1870
pemerintah kolonial Belanda menerapkan undang-undang yang
mengatur hidup rakyat banyak, termasuk kehidupan keagamaan
mereka.Karena kebijakan dan perilaku-perilaku yang diterapkan oleh
pemerintah kolonial dan kepentingan minoritas Kristen yang kontra
produktif dengan kenyataan masyarakat pribumi yang beragama
Islam, muncullah beberapa usaha perlawanan dalam bentuk
perang.Salah satunya yang disebut perang padri (1821-1838) di
Minangkabau.Agresi pembaharu ini disebut kaum paderi.
Dalam proses ini, sesungguhnya eksistensi kaum Padri dapat dilihat
dari dua pendekatan:
Pertama, secara eksternal, gerakan ini gerakan ini telah berhasil
membangkitkan semangat nasionalisme umat Islam, terutama
intervensi kolonial Belanda.Bahkan keberadaan gerakan ini telah
merepotkan dan telah menyebabkan kolonial Belanda menelan
kerugian yang cukup besar, baik materi maupun non materi.sikap
konsistensi ini telah membuktikan bagaimana sesungguhnya surau
telah ikut andil dalam membentuk sikap istiqamah umat Islam.
Kedua secara internal, sesungguhnya gerakan ini gagal dalam
membumikan pemikiran pembaharuannya.Hal ini dapat terlihat dari
suburnya praktik adat yang bersifat sinkretis dalam praktik
kehidupan beragama umat Islam Minangkabau.
Di sisi lain, karena islam yang masuk di Minangkabau lebih
didominasi melalui pendekatan tarekat. Pendekatan penyiaran Islam
dilakukan secara lunak.Akibatnya beberapa praktik adat yang
sinkretis masih tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan sosial umat Islam Minangkabau.
Pada era sesudahnya meskipun gerakan Padri gagal dalam upaya
meluruskan praktik ibadat umat Islam dari unsur khurafat dan
bid’ah, namun gerakan pembaharuan tetap berlangsung.Sebagian
besar dari tokoh gerakan ini merupakan ulama Minangkabau yang
pernah belajar di Mekkah, dibawah bimbingan syekh Ahmad Khatib
al Minangkabawi yang bermazhab Syafi’i. kemerdekaan berfikir dan
berijtihad yang ditanamkan Ahmad Khatib meresap pada murid-
muridnya. Akan tetapi tidak semua hal mereka sepakat dengan
pandangan gurunya itu.
Sementara itu, sejak awal 1900-an gelombang besar kedua
pembaharuan Islam kembali melanda Minangkabau. Kali ini di bawa
murid-murid Syekh Ahmad khatib.Mereka yang biasa disebut Kaum
Muda ini dengan sengit menyerang Kaum Tua, yang pada umumnya
adalah para pemimpin dan pengajar di surau-surau.Kaum Muda
menuduh surau dengan praktek tarekatnya, penuh dengan bid’ah dan
khurafat, dan karena itu perlu diberantas.
Karena itulah, Kaum Muda mendirikan Madrasah modern sebagai
alternatif pendidikan surau.Dan mereka sukses besar dengan upaya
ini, sehingga bahkan banyak surau yang ditransformasikan menjadi
Madrasah.Akibatnya murid surau merosot hebat.Tahun 1933 surau
dilaporkan memiliki murid hanya sekitar 9.285 orang, sementara
Madrasah mempunyai 25.292 pelajar.
1. Pengertian Perang Padri.
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di daerah
Minangkabau (Sumatra Barat) dan sekitarnya terutama di kerajaan
Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.
Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat
pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi
peperangan melawan penjajahan.
Istilah Padri berasal dari kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama
yang selalu berpakaian putih. Para pengikut gerakan padri biasanya
memakai jubah putih. Sedangkan kaum adat memakai pakaian
hitam.
Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa disebut gerakan Padri
karena para pemimpin gerakan ini adalah orang Padari, yaitu orang-
orang yang berasal dari Pedir yang telah naik haji ke Mekah melalui
pelabuhan Aceh yaitu Pedir.
Adapun tujuan dari gerakan Padri adalah memperbaiki masyarakat
Minangkabau dan mengembalikan mereka agar sesuai dengan ajaran
Islam yang murni yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan
ini mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat
pertentangan dari kaum adat. (Mawarti, Djoened PNN, 1984:169).2
Sebab Awal Terjadinya Perang Padri. [2]
2. Penyebab Perang Padri

Pada awalnya perang Padri disebabkan pertentangan antara


golongan Adat dengan golongan Padri. Masing-masing berusaha
untuk merebut pengaruh di masyarakat.

Kaum adat adalah orang-orang yang masih teguh dalam


mempertahankan adat didaerahnya sehingga mereka tidak berkenan
dengan pembaharuan yang dibawa oleh kaum Padri. Agama Islam
yang dijalankan kaum adat sudah tidak murni, tetapi telah
terkontaminasi atau telah terkontaminasi dengan budaya setempat.
Kaum Padri adalah golongan yang berusaha menjalankan Agama
Islam secara murni sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.
Setealah kaum Adat mengalami kekalahan, mereka meminta bantuan
kepada Belanda yang akhirya konflik ini berkembang menjadi
konflik antara kaum Padri dengan Belanda.
3. Periodesasi Gerakan Padri.
Secara umum perang Padri dibagi dalam dua periode yaitu :
A. Periode 1803 – 1821 (Perang antara Kaum Padri Melawan kaum
Adat).
1. Sebab terjadinya Perang.
Pada tahun 1803, Minangkabau kedatangan tiga orang yang telah
menunaikan ibadah haji di Mekah, yaitu: H. Miskin dari pantai
Sikat, H. Sumanik dari Delapan Kota, dan H. Piabang dari Tanah
Datar. Di Saudi Arabia mereka memperoleh pengaruh gerakan
Wahabi, yaitu gerakan yang bermaksud memurnikan agama Islam
dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Mereka yang hendak
menyebarkan aliran Wahabi di Minangkabau menamakan dirinya
golongan Paderi (Kaum Pidari).
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok
ulama yang dijuluki kaum Padri terhadap kaum Adat karena
kebiasaan-kebiasaan buruk yang marak dilakukan oleh kalangan
masyarakatdi kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya.
Kebiasaan buruk yang dimaksud sepertiperjudian, penyabungan
ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga
aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya
pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. kebiasaan ini
semakin meluas danmempengaruhi kaum mudanya.
Ternyata aliran wahabi ini ditentang oleh Kaum Adat (ajaran Islam
yang bercampur dengan adat setempat) yang terdiri dari pemimpin-
pemimpin adat dan golongan bangsawan.

Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-mula akan


diselesaikan secara damai, tetapi tidak terdapat persesuaian
pendapat. Akhirnya Tuanku Nan Renceh menganjurkan
penyelesaian secara kekerasan sehingga terjadilah perang saudara
yang bercorak keagamaan dengan nama Perang Padri (1803 – 1821).
2. Jalanya Perang.
Perang saudara ini mula-mula berlangsung di Kotalawas.
Selanjutnya menjalar ke daerah-daerah lain. Pada mulanya kaum
Paderi dipimpin Datuk Bandaro melawan kaum Adat di bawah
pimpinan Datuk Sati. Karena Datuk Bandaro meninggal karean
terkena racun, selanjutnya perjuangan kaum Padri dilanjutkan oleh
Muhammad Syahab atau Pelo (Pendito) Syarif yang kemudian
dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol karena berkedudukan di
Bonjol. Tuanku Imam merupakan anak dari Tuanku Rajanuddin dari
Kampung Padang
Bubus,Tanjung Bungo,daerah Lembah Alahan Pajang.Dalam perang
itu, kaum Padri mendapat kemenangan di mana-mana.
Sejak tahun 18815 kedudukan kaum Adat makin terdesakkarena
keluarga kerajaan Minangkabau terbunuh di Tanah Datar, sehingga
kaum Adat (penghulu) dan keluarga kerajaan yang masih hidup
meminta bantuan kepada Inggris (di bawah Raffles yang saat itu
masih berkuasa di Sumatera Barat).
Karena Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat kepada
Belanda, maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda,
dengan janji kaum Adat akan menyerahkan kedaulatan seluruh
Minangkabau (10 Februari 1821). Permintaan itu sangat
menggembirakan Belanda yang memang sudah lama mencari
kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut.
3. Pemimipin yang terlibat.
Kaum Pidari dipimpin oleh Datuk Bandaro, Datuk Malim
Basa,Tuanku Imam Bonjol Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Renceh,
dan Tuanku Nan Cerdik.
Kaum Adat dipimpin oleh Datuk Sati.
B. Periode 1821 – 1838 (Perang antara Kaum Padri Melawan
Belanda).
Sejak disetujuinya perjanjian antar kaum adat dengan Belanda
mengenai penyerahan kerajaan Minangkabau kepada Belanda pada
tanggal 10 Februari 1821, hal ini menjadi tanda
dimulainya keikutsertaan Belanda dalam melawankaum Padri.
Dalam perang antara kaum Padri melawan Belanda, jalanya perang
dibagi menjadi tiga periode:
1. Periode I (Tahun 1821 – 1825).
Periode pertama ini ditandai dengan meletusnya perlawanan di
seluruh daerah Minangkabau. Di bawah pimpinan Tuanku Pasaman,
kaum Paderi menggempur pos-pos Belanda yang ada di Semawang,
Sulit Air, Sipinan, dan tempat-tempat lain. Pertempuran
menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Tuanku
Pasaman, kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau, sebaliknya
Belanda yang telah berhasil menguasai lembah Tanah Datar,
mendirikan benteng pertahanan di Batusangkar ( Fort Van den
Capellen) dan Benteng Fort de Kockdi Bukittinggi.
Ternyata Belanda hanya dapat bertahan di benteng-benteng itu saja.
Daerah luar benteng masih tetap dikuasai oleh kaum Pidari. Belanda
mengalami kekalahan di mana-mana, bahkan pernah mengalami
kekalahan total di Muara Palam dan di Sulit Air.
Untuk itu, Belanda mulai mendekati kaum Padri ntuk melakukan
perdamaian dan pada tanggal 22 Januari 1824 Belanda berhasil
mengadakan perdamaian dengan kaum Padri di Masang dan di
daerah VI Kota, isinya: kedua belah pihak akan mentaati batasnya
masing-masing. Adanyaperundingan ini sebenaranya hanya
menguntungkan pihak Belanda untk
menunda waktu guna memperkuatdiri.Setelah berhasil memperkuat
pertahannanya,Belanda tidak mau mentaati perjanjian dan dua bulan
kemudian Belanda meluaskan daerahnya.
2. Periode II (Tahun 1825 – 1850).

Pada periode ini ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum


Padri perlu menyusun kekuatan, sedangkan pihak Belanda dalam
keadaan sulit, sebab baru memusatkan perhatiannya dan pengeriman
pasukan untuk menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa Tengah.

Belanda mencari akal agar dapat berdamai dengan kaum Padri.


Dengan perantaraan seorang bangsa Arab yang bernama Said Salima
‘Ijafrid, Belanda berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum
Padri tanggal 15 November 1825 di Padang, yang isinya:
Kedua belah pihak tidak akan saling serang menyerang.
Kedua belah pihak saling melindungi orang-orang yang sedang
pulang kembali dari pengungsian.
Kedua belah pihak akan saling orang-orang yang sedang dalam
perjalanan dan berdagang.
Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku-Tuanku di Lintau,
Limapuluhkota, Telawas dan Agam.
3. Periode III (Tahun 1830-1838).
Periode ketiga ini ditandai dengan perlawanan di kedua belah pihak
makin menghebat. Perang Diponegoro di Jawa Tengah telah dapat
diselesaikan Belanda dengan tipu muslihatnya. Perhatiannya lalu
dipusatkan lagi ke Minangkabau. Maka berkobarlah Perang Padri
periode ketiga.
Belanda telah mengingkari Perjanjian Padang. Pertempuran mulai
berkobar di Naras daerah Pariaman. Naras yang dipertahankan oleh
Tuanku Nan Cerdik diserang oleh Belanda sampai dua kali tetapi
tidak berhasil. Setelah Belanda menggunakan senjata yang lebih
lengkap di bawah pimpinan Letnan Kolonel Elout yang dibantu
Mayor Michiels, Naras dapat direbut oleh Belanda.
Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol, selanjutnya daerah-
daerah kaum Pidari dapat direbut oleh Belanda satu demi satu,
sehingga pada tahun 1832 Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan Belanda.
Akan tetapi ketenteraman itu tidak dapat berlangsung lama, karena
rakyat diharuskan:
• Membayar cukai pasar dan cukai mengadu ayam.
• Kerja rodi untuk kepentingan Belanda.
Dengan hal-hal tersebut di atas, sadarlah kaum Adat dan kaum Pidari
bahwa sebenarnya mereka itu hanya diperalat oleh Belanda.
Perasaan nasionalisme mulai timbul dan menjiwai mereka masing-
masing. Selanjutnya terjadilah perang nasional melawan Belanda.
Pada tahun 1833 seluruh rakyat Sumatera Barat serentak menghalau
Belanda. Bonjol dapat direbut kembali dan semua pasukan Belanda
di dalamnya dibinasakan. Karena itu Belanda mulai mempergunakan
siasat adu domba (devide et empera).
Dikirimkanlah Sentot beserta pasukan-pasukannya yang menyerah
kepada Belanda waktu Perang Diponegoro ke Sumatera Barat untuk
berperang melawan orang-orang sebangsanya sendiri. Tetapi setelah
Belanda mengetahui bahwa Sentot mengadakan hubungan dengan
kaum Pidari secara rahasia, Belanda menjadi curiga.

Pasukan Sentot ditarik kembali ke Batavia dan Sentot diasingkan ke


Bangkahulu.

Untuk mengakhiri Perang Padri itu, Belanda berusaha menarik hati


para raja di Minangkabau dengan cara mengeluarkan Plakat Panjang
(1833) yang isinya:
Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak berat dan pekerjaan
rodi.
Perdagangan hanya dilakukan dengan Belanda saja.
Kepala daerah boleh mengatur pemerintahan sendiri, tetapi harus
menyediakan sejumlah orang untuk menahan musuh dari dalam atau
dari luar negeri.
Para pekerja diharuskan menandatangani peraturan itu. Mereka yang
melanggar peraturan dapat dikenakan sanksi.
4 Akhir Perang Padri.
Di tahun 1835 kaum Padri di Bonjol mulai mengalami kemunduran,
hal tersebut disebabkan ditutupnya jalan-jalan penghubung dengan
daerah lain oleh paskan Belanda. Pada tanggal 11-16 Juni 1835
sayap kanan pasukan Belanda berhasil menutup jalan yang
menghubungkan benteng Bonjol dengan daerah barat dan
menembaki benteng Bonjol.
Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda,.
Membaca situasi yang gawat ini, pada tanggal 10 Agustus 1837,
Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda
mengharapkan bahwa perdamaian ini disertai dengan penyerahan.
Tetapi Belanda menduga bahwa ini merupakan siasat dari Tuanku
Imam Bonjol guna mengulur waktu, agar dapat mengatur pertahanan
lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan
dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui
kekuatan musuh di luar benteng.

Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali


pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837. Belanda memerlukan
waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol, yang
didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng
Bonjol tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak
dekat. Perkelahian satu lawan satu tidak dapat dihindarkan lagi.
Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Pasukan Padri terdesak
dan benteng Bonjol dapat dimasuki oleh pasukan Belanda.

Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol beserta sisa


pasukannya menyerah kepada Belanda. Tuanku Imamm Bonjol
kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 19 Januari
1839 dibuang ke Ambon, lalu pada tahun 1841 dipindahkan ke
Manado hingga meninggal dunia pada tanggal 6 November 1864.

Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak berarti


perlawanan kaum Padri telah dapat dipadamkan. Perlawanan masih
terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi, namun Tuanku
Tambusi berhasil dikalahkan oleh Belanda pada tanggal 28 Oktober
1838.

Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat


dipatahkan pada akhir tahun 1838. Maka kekuasaan Belanda mulai
sejak itu ternanam di Sumatra Barat.[3]

BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan.
Padri adalah peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau
(Sumatra Barat) dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan
Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini berawal dari
konflik internal antara kaum adat dengan kaum Padri (orang-orang
yang ingin meluruskan ajaran Islam).
Perang ini terjadi dalam dua periode, yaitu:
Periode I 1803-1821 (Perlawanan kaum Padri dengan kaum Adat)
Periode II 1821-1838 (Perlawanan kaum Padri dengan Belanda).
Dalam perang melawan Belanda, dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
Tahap I 1821-1825 (meningkatnya perlawanan rakyat).
Tahap II 1825-1830 (perlawanan menurun, Belanda fokus pada
perang Diponegoro di Jawa Tengah).
Tahap III 1830-1838 (Kaum Padri mengalami kekalahan).
Akhir dari perang padri ditandai dengan semakin banyaknya wilayah
kekuasaan kaum padri yang jatuh ketangan Belanda, selain itu juga
menyerahnya Tuanku Imam Bonjol beserta sisa
pasukannya menyerah kepada Belanda Pada tanggal25 Oktober1837.
Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat
dipatahkan pada akhir tahun 1838. Maka kekuasaan Belanda mulai
sejak itu ternanam di Sumatra Barat.
Gambar Tuanku Imam Bonjol oleh Hubert de Stuers (sekitar 1820)
Pemimpin Perang Padri
Masa jabatan
k.1821 – k.1837
Penguasa monarki Pagaruyung
Informasi pribadi
1 Januari 1772
Lahir
Bonjol, Luhak Agam
6 November 1864 (umur 92)
Meninggal Lotak, Pineleng, Minahasa, Hindia
Belanda
Kebangsaan Minangkabau
Agama Islam

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1 Januari 1772 -
wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864),
adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam
peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1838.[1] Tuanku Imam
Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor
087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.[2]

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada 1
Januari 1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin Shahab (ayah) dan Hamatun (ibu).
Ayahnya, Khatib Bayanuddin Shahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai
Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.[3] Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat,
Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku
Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau
nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia
akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Salah satu Naskah aslinya ada di
Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat Jalan Diponegoro No.4 Padang
Sumatera Barat. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari di Dinas Kearsipan dan
Perpustakàan Provinsi Sumatera Barat.

Perang Padri
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Padri

Tak dapat dipungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam
memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang
adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah
Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam
Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung
beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam
(bid'ah).

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum
ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak,
dan sampai akhirnya Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung
pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin
Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman
Minangkabau).[4] Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di
bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air
oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James
du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh
kaum Adat.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes
van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini
dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan
lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar
sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri. [5] Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat
basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan
Kitabullah (Al-Qur'an)).

Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang,
Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah
malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah
terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).[5]

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan
selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)[6] yang dipimpin oleh jenderal dan para
perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri
dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira
pasukan Belanda, terdapat Mayor Jenderal Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten
MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi
juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche
Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan
Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi,
Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan
terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam
penyerangan pertahanan Padri.

Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, di mana pada tanggal 20 Juli
1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika,
1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu
Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga
disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.

Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan,
dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia
masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda
mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan
benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16
Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di
tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke
Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal
dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat
pengasingannya tersebut

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,[7] sebagai penghargaan dari pemerintah
Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.

Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan,
nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6
November 2001.[8]

Anda mungkin juga menyukai