186
Tabel 6.1
Rekapitulasi Hasil Pembentukan Daerah Pemilihan 3-10 Kursi
187
0ETA 0ETA .ASIONAL $AERAH 0EMILIHAN
+URSI
188
Tabel 6.1a
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Jawa Barat
189
Kabupaten Bogor
BOGOR I
BOGOR II
190
PARUNG PANJANG 109,799 0.26
191
0ETA A $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI *AWA "ARAT
192
Tabel 6.1b
Daerah Pemilihan 3-10: Provinsi Jawa Timur
193
TUBAN 1,117,539 2.62 5.46 5
JATIM XI LAMONGAN 1,179,770 2.77
GRESIK 1,177,201 2.76 5.53 5
JATIM XII BANGKALAN 907,255 2.13
SAMPANG 876,950 2.06
PAMEKASAN 795,526 1.87
SUMENEP 1,041,915 2.45 8.50 9
37,476,011 88 88 88
194
0ETA B $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI *AWA 4IMUR
195
Tabel 6.1c
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Jawa Tengah
196
CILACAP 1,641,031 3.84 7.48 8
32,480,685 76 76 76
197
0ETA C $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI *AWA 4ENGAH
198
Tabel 6.1d
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Sumatera Utara
199
0ETA D $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI 3UMATERA 5TARA
200
Tabel 6.1e
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Banten
10,644,030 25 25 25
201
0ETA E $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI "ANTEN
202
Tabel 6.1f
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi DKI Jakarta
9,588,198 23 23 23
203
0ETA F $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI $+) *AKARTA
204
Tabel 6.1g
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Sulawesi Selatan
8,032,551 19 19 19
205
0ETA G $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI 3ULAWESI 3ELATAN
206
Tabel 6.1h
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Lampung
7,596,115 18 18 18
207
0ETA H $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI ,AMPUNG
208
Tabel 6.1i
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Sumatera Selatan
7,446,401 18 18 18
209
0ETA I $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI 3UMATERA 3ELATAN
210
Tabel 6.1j
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Riau
5,543,031 13 13 13
211
0ETA J $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI 2IAU
212
Tabel 6.1k
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Sumatera Barat
4,845,998 11 11 11
213
0ETA K $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI 3UMATERA "ARAT
214
Tabel 6.1l
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Nusa Tenggara Timur
4,679,307 11 11 11
215
0ETA L $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI .USA 4ENGGARA 4IMUR
216
Tabel 6.1m
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Aceh
4,486,570 11 11 11
217
0ETA M $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI !CEH
218
Tabel 6.1n
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Nusa Tenggara Barat
4,416,855 10 10 10
219
0ETA N $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI .USA 4ENGGARA "ARAT
220
Tabel 6.1o
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Kalimantan Barat
4,393,239 10 10 10
221
0ETA O $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI +ALIMANTAN "ARAT
222
Tabel 6.1p
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Bali
3,891,365 9 9 9
223
0ETA P $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI "ALI
224
Tabel 6.1q
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Kalimantan Selatan
3,626,119 9 9 9
225
0ETA Q $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI +ALIMANTAN 3ELATAN
226
Tabel 6.1r
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Kalimantan Timur
3,550,586 8 8 8
227
0ETA R $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI +ALIMANTAN 4IMUR
228
Tabel 6.1t
Daerah Pemilihan 3-10: Provinsi DI Yogyakarta
3,452,390 8 8 8
229
0ETA T $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI $) 9OGYAKARTA
230
Tabel 6.1u
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Jambi
3,088,618 7 7 7
231
0ETA U $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI *AMBI
232
Tabel 6.1v
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Papua
233
0ETA V $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI 0APUA
234
Tabel 6.1w
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Sulawesi Tengah
2,633,420 7 7 7
235
0ETA W $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI 3ULAWESI 4ENGAH
236
Tabel 6.1x
Daerah Pemilihan 3-10: Provinsi Sulawesi Utara
2,265,937 5 5 5
237
0ETA X $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI 3ULAWESI 5TARA
238
Tabel 6.1y
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Sulawesi Tenggara
2,230,569 5 5 5
239
0ETA Y $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI 3ULAWESI 4ENGGARA
240
Tabel 6.1z
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Kalimantan Tengah
2,202,599 5 5 5
241
0ETA Z $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI +ALIMANTAN 4ENGAH
242
Tabel 6.1aa
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Bengkulu
1,713,393 4 4 4
243
0ETA AA $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI "ENGKULU
244
Tabel 6.1bb
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Kepulauan Riau
1,685,698 4 4 4
245
0ETA BB $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI +EPULAUAN 2IAU
246
Tabel 6.1cc
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Maluku
1,531,402 4 4 4
247
0ETA CC $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI -ALUKU
248
Tabel 6.1dd
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Bangka Belitung
1,223,048 3 3 3
249
0ETA DD $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI "ANGKA "ELITUNG
250
Tabel 6.1ee
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Sulawesi Barat
1,158,336 3 3 3
251
0ETA EE $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI 3ULAWESI "ARAT
252
Tabel 6.1ff
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Gorontalo
1,038,585 3 3 3
253
0ETA FF $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI 'ORONTALO
254
Tabel 6.1gg
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Maluku Utara
1,035,478 3 3 3
255
0ETA GG $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI -ALUKU 5TARA
256
Tabel 6.1hh
Daerah Pemilihan 3-10 Kursi : Provinsi Papua Barat
760,855 3 3 3
257
0ETA HH $AERAH 0EMILIHAN
+URSI 0ROVINSI 0APUA "ARAT
258
Artikel Pendukung
259
260
SISTEM PERWAKILAN POLITIK:
KESETARAAN KETERWAKILAN PENDUDUK DAN
KESETARAAN KETERWAKILAN DAERAH
261
relatif sama.1 Alokasi kursi DPR kepada provinsi dan pembentukan daerah pemilihan
secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk merupakan wujud dari kesetaraan
perwakilan (equal representation).
Prinsip kesetaraan perwakilan ini memiliki sejarah panjang. Pada masa lalu, yang
memiliki hak pilih hanyalah laki-laki yang memiliki harta benda, dan yang berpendidikan.
Sejak awal abad keduapuluh semakin banyak negara yang mengadopsi prinsip universal
suffrage dalam konstitusinya yang pada dasarnya menjamin hak pilih tidak saja laki-laki
melainkan setiap warga negara apapun jenis kelaminnya, apapun status ekonomi dan
status sosialnya, apapun ras, suku, dan agamanya. Penerapan prinsip “satu orang, satu
suara, dan satu nilai,” dewasa ini haruslah dilihat sebagai deklarasi simbolik tentang
prinsip kesetaraan kekuasaan bagi semua pemilih yang hidup dibawah suatu
pemerintahan yang sama. Pengertian kesetaraan politik lebih dari sekedar setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk memberikan suara dalam pemilihan umum. Kesetaraan
politik juga berarti suara setiap orang bernilai sama. Tidak boleh ada suara pemilih yang
bernilai lebih daripada suara pemilih lain. Dengan kata lain, masalah kesetaraan politik
bukan hanya berarti setiap orang berhak berpartisipasi melainkan berpartisipasi pada
kedudukan yang sama terlepas dari ras, warna kulit, suku bangsa, agama, jenis kelamin,
tingkat pendidikan ataupun status ekonomi.
Hak memiliki suara yang setara dalam hukum dan pemerintahan merupakan
fundamen demokrasi. Tanpa hak suara yang setara, demokrasi tidak memiliki dasar
keberadaan. Konstitusi negara demokrasi menjamin hak setiap warga negara diwakili
secara setara pada pemerintahan. Konstitusi demokratis menjamin semua warga negara
yang telah dewasa memiliki suara yang setara. Tanpa kesetaraan perwakilan, tidak akan
ada jaminan bahwa hukum yang akan dibuat akan berisi kebaikan bersama (common
good) bagi semua warga negara. Tanpa kesetaraan perwakilan, undang-undang yang
dibuat hanya akan menguntungkan kepentingan mereka yang terwakili. Tanpa kesetaraan
perwakilan, tidak ada jaminan bahwa konstitusi, yang menjamin hak warga negara, tidak
akan dilanggar. Akan tetapi jaminan akan kesetaraan perwakilan menghendaki suara itu
dilihat berdasarkan proporsi jumlah suara itu, bukan berdasarkan jumlah kekayaan
mereka, tingkat pendidikan mereka atau berdasarkan kelihaian hukum. Jaminan akan
kesetaraan suara hanyalah jaminan kesempatan bersuara, bukan jaminan hasilnya. Karena
itu untuk dapat didengar, para warga negara harus menggunakan suara itu dengan
menulis, berbicara dan terutama dengan memberikan suara pada pemilihan umum.
1
UUD 1945 secara tersurat melalui Pasal 22C ayat (1) sudah menetapkan provinsi sebagai daerah pemilihan untuk
memilih anggota DPD dan secara tersirat melalui Pasal 6A ayat (3) sudah menetapkan seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sebagai daerah pemilihan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi UUD 1945 belum
menetapkan daerah pemilihan untuk memilih anggota DPR dan DPRD, apakah provinsi ataukah seluruh wilayah NKRI. Akan
tetapi UUD 1945 sudah menetapkan DPR mewakili rakyat (orang, penduduk, warga negara) yang mempunyai kedudukan yang
setara dalam hukum dan pemerintahan.
262
akan dikonversi menjadi kursi. Dari segi struktur hukum suatu proses pemilihan umum,
yang perlu dipikirkan adalah kesesuaian setiap metode pembagian wilayah nasional
dengan prinsip kesetaraan suara setiap warga negara, satu orang, satu suara dan satu nilai.
“Satu orang, satu suara, dan satu nilai,” adalah prinsip yang menentukan seluruh warga
negara, di manapun dia tinggal dalam suatu negara, berhak mendapatkan kesetaraan
perwakilan. “Satu orang, satu suara dan satu nilai,” merupakan salah satu prinsip
demokrasi untuk pembentukan lembaga legislatif, yaitu setiap daerah
pemilihan/konstituensi memiliki jumlah penduduk yang sama atau didalam variasi
persentase tertentu. Prinsip ini memungkinkan suara setiap warga negara menyatakan
pengaruh yang sama dalam pembentukan representasi.
263
Tidak Pernah Berdasarkan Kesetaraan Warga Negara
Apakah alokasi kursi DPR kepada setiap provinsi sudah dilaksanakan sesuai
dengan prinsip kesetaraan warga negara berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945. Sejak Pemilu demokratis pertama tahun 1955, tujuh kali Pemilu otoritarian
selama Orde Baru, dan tiga kali Pemilu demokratis masa reformasi, alokasi kursi DPR
kepada semua provinsi di Indonesia tidak pernah didasarkan sepenuhnya berdasarkan
prinsip kesetaraan warga negara (tidak pernah sepenuhnya berdasarkan jumlah
penduduk).
1. Harga satu kursi DPR pada Pemilu 1955 setara dengan 300.000 penduduk tetapi
tiga provinsi (Kalimantan Timur, Maluku dan Irian Jaya) mendapat alokasi kursi
tidak hanya berdasarkan jumlah penduduk tetapi juga berdasarkan faktor daerah.
Masing-masing mendapat alokasi 3 kursi walaupun jumlah penduduknya kurang
dari 900.000.
2. Alokasi kursi DPR kepada provinsi pada Pemilu Orde Baru tidak hanya
berdasarkan jumlah penduduk tetapi juga disertai ketentuan tambahan “setiap
provinsi mendapat alokasi kursi DPR sekurang-kurangnya sama dengan jumlah
kabupaten/kota di provinsi tersebut.”
3. Harga satu kursi DPR pada Pemilu 1999 setara dengan 450.000 penduduk. Akan
tetapi hanya 11 dari 27 provinsi yang mendapat alokasi kursi DPR berdasarkan
kuota tersebut.
4. Untuk Pemilu 2004 kuota satu kursi DPR berkisar antara 325.000 penduduk
untuk provinsi yang berkepadatan rendah dan 425.000 penduduk untuk provinsi
yang berkepadatan tinggi. Akan tetapi dalam alokasi kursi yang dilakukan KPU,
hanya 9 provinsi yang kuotanya sesuai dengan ketentuan tersebut (tidak kurang
dari 325.000 dan tidak lebih 425.000), 15 provinsi yang melebihi kuota 425.000,
dan 8 provinsi yang kuotanya kurang dari batas minimal 325.000.
5. Alokasi kursi DPR kepada provinsi pada Pemilu 2009 pada dasarnya sama dengan
alokasi kursi pada Pemilu 2004 kecuali dengan adanya tambahan 10 kursi DPR
(dari 550 menjadi 560). Kesepuluh kursi ini dialokasikan masing-masing 1 (satu)
kursi untuk tiga provinsi yang memperbaiki kelemahan pada Pemilu 2004 (Sumut,
Sumsel dan Lampung), masing-masing 1 (satu) kursi untuk empat provinsi dengan
alasan yang tidak diketahui (Kaltim, Jabar, Jateng, dan Jatim), dan 3 (tiga) kursi
tambahan dialokasikan kepada Sulawesi Selatan walaupun salah satu Dapil Sulsel
dijadikan satu provinsi (Sulawesi Barat) dengan alokasi 3 (tiga) kursi. Penambahan
3 kursi bagi Sulsel yang mengalami pemekaran menjadi tidak konsisten dengan
alokasi kursi kepada provinsi lain yang juga mengalami pemekaran, seperti Papua,
Maluku, dan Sulawesi Utara, yang tidak mengalami penambahan kursi.
264
Karena alokasi kursi DPR kepada semua provinsi belum pernah dilakukan
berdasarkan prinsip kesetaraan warga negara (kesetaraan keterwakilan) berdasarkan Pasal
27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), maka warga negara Indonesia di satu provinsi memiliki
kedudukan yang lebih tinggi daripada warga negara Indonesia yang tinggal di provinsi
lain. Berdasarkan alokasi kursi DPR untuk Pemilu 2009, maka orang Indonesia yang
tinggal di Sulawesi Selatan, Papua, Aceh, Sumatra Barat, Nusa Tenggara Timur dan
Kalimantan Selatan lebih tinggi kedudukan hukum dan pemerintahan daripada warga
negara Indonesia yang tinggal di Riau, Kep. Riau, Sulawesi Tengah, dan Jawa Barat.2
2
Lihat data yang dipresentasikan oleh Sdr. Didik Supriyanto dari Kemitraan/Perludem.
265
tersebut.3 Data yang dikumpulkan BPS berdasarkan domisili faktual (de facto), bukan
berdasarkan domisili berdasarkan KTP (de jure), sedangkan data penduduk yang
dikumpulkan oleh setiap Pemda Kabupaten/Kota adalah domisili berdasarkan KTP.
Karena itu, DPR dan Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD seyogyanya menetapkan hasil Sensus Penduduk yang
diselenggarakan oleh BPS sebagai sumber data resmi dan satu-satunya untuk keperluan
pemilihan umum..4
Hal kedua menyangkut jumlah anggota DPR. Jumlah anggota DPR dapat
ditentukan melalui salah satu cara berikut. Pertama, jumlah anggota DPR ditetapkan
secara tetap (fixed number) berdasarkan jumlah penduduk yang dapat ditetapkan baik
berdasarkan rumus tertentu untuk mengukur berapa jumlah anggota DPR yang dipandang
mampu mewakili sekian ratus juta penduduk dalam pelaksanaan fungsi DPR (pembuatan
legislasi, anggaran dan pengawasan), ataukah, berdasarkan kesepakatan politik semua
fraksi DPR dengan Pemerintah mengenai berapa seyogyanya jumlah anggota DPR yang
dipandang mampu mewakili sekian ratus juta penduduk untuk melaksanakan fungsi DPR
(termasuk didalamnya pertimbangan mengenai kemampuan keuangan negara). Dan
kedua, yang ditetapkan secara tetap bukan jumlah anggota DPR melainkan jumlah
penduduk yang diwakili oleh satu kursi anggota DPR. Yang menjadi pertanyaan adalah
berapa puluh ribu atau ratus ribu penduduk yang mampu diwakili oleh seorang anggota
DPR? Jawaban atas pertanyaan ini dapat dipilih dari dua kemungkinan yang disebutkan di
3
No tax without representation merupakan prinsip yang mendasari keharusan menggunakan data penduduk berdasarkan
domisili faktual. Inggris, misalnya, merupakan negara yang memberi hak memilih penjabat lokal kepada warga negata asing
yang tinggal di kota-kota besar karena mereka membayar pajak dan kewajiban lain yang ditetapkan Dewan Kota.
4
Selama ini sumber data yang digunakan adalah data dari Kementerian Dalam Negeri yang dikumpulkan dari Pemerintah
Daerah. Data ini tidak dapat diandalkan karena dikumpulkan secara pasif (dicatat dan dimutahirkan kalau ada warga yang
datang meminta surat keterangan), dilakukan oleh personel yang tidak terdidik dan terlatih dalam statistik kependudukan, dan
tidak netral secara politik (antara lain kecenderungan jumlah penduduk diperbesar untuk memperbesar jumlah anggota DPRD,
dan memperbesar jumlah penduduk untuk mendapatkan anggaran yang lebih besar).
266
atas: berdasarkan rumus tertentu, atau, berdasarkan kesepakatan politik. Kalau disepekati
menggunakan data penduduk hasil Sensus Penduduk sebagai data resmi dan satu-satunya
yang harus digunakan untuk Pemilu, maka perubahan jumlah kursi DPR bedasarkan cara
pertama ataupun cara kedua juga harus dilakukan setiap 10 tahun sekali. Sebagian negara
demokrasi menggunakan cara pertama, dan sebagian lain menggunakan cara kedua dalam
menentukan jumlah kursi DPR/Parlemen. Kenyataan menunjukkan tidak ada negara
demokrasi di dunia yang menetapkan jumlah anggota DPR/Parlemen secara tetap atau
yang menetapkan jumlah penduduk untuk setiap kursi DPR/Parlemen berdasarkan rumus
tetentu karena rumus yang ditawarkan itu tidak atau belum dipercaya kredibilitasnya.
Indonesia sendiri selama ini menggunakan cara pertama dalam menentukan jumlah kursi
DPR tidak berdasarkan rumus ilmiah tertentu melainkan berdasarkan kesepakatan politik.
Dapatlah disimpulkan semua negara demokrasi menentukan jumlah anggota
DPR/Parlemen (dengan cara pertama atau kedua) berdasarkan kesepakatan politik
dengan mempertimbangkan jumlah penduduk dan kemampuan keuangan negara.5
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan
DPRD, besaran daerah pemilihan anggota DPR ditetapkan 3-10 kursi dalam lingkup
provinsi atau bagian-bagian dari provinsi, sedangkan besaran daerah pemilihan anggota
DPRD ditetapkan 3-12 kursi dalam lingkup kabupaten/kota atau gabungan
kabupaten/kota untuk Dapil DPRD Provinsi dan dalam lingkuk kecamatan atau gabungan
kecamatan untuk Dapil DPRD Kabupaten/Kota. Dengan kata lain, besaran Dapil DPR dan
DPRD ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk dan wilayah administrasi pemerintahan.
Ambang-batas yang digunakan pada Pemilu 2009 adalah 2,5% (dua setengah persen) dari
5
Jumlah penduduk Inggris kurang dari 100 juta tetapi memiliki 625 anggota Parlemen, Amerika Serikat memiliki jumlah
penduduk lebih dari 300 juta tetapi anggota DPR hanya 435 orang dan 100 anggota Senat. Penduduk India lebih dari 1 miliar
tetapi jumlah anggota DPR India hanya 600 orang (?).
6
Sistem pemilihan umum mengandung enam unsur, yaitu Besaran Daerah Pemilihan, Peserta dan Pola Pencalonan, Model
Penyuaraan, Formula Pemilihan, Ambang-Batas Masuk Lembaga Perwakilan, dan Kalender Pelaksanaan berbagai Jenis Pemilu.
Empat unsur pertama merupakan unsur mutlak karena tanpa salah satu unsur saja suara rakyat yang diberikan pada waktu
pemungutan suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi penyelenggara negara. Keempat unsur ini juga bersifat sikuensial, yaitu
unsur pertama menentukan unsur kedua, demikian seterusnya. Dua unsur terakhir bersifat tidak mutlak karena digunakan hanya
kalau diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu yang disepekati bersama.
267
jumlah suara DPR secara nasional (dari semua Dapil DPR) dan itupun hanya berlaku
untuk DPR. Perubahan pada kedua unsur sistem pemilihan umum ini diusulkan tidak
hanya karena jumlah partai politik yang memiliki kursi di DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota masih terlalu banyak7 sehingga tidak hanya pemerintahan presidensial
dan pemerintahan daerah kurang efektif tetapi juga karena partai politik lebih berorientasi
pada mencari dan mempertahankan kekuasaan di pemerintahan, lembaga perwakilan
rakyat, dan lembaga negara lainnya (power seeking) daripada berupaya berupaya
menjadikan partai sebagai saluran partisipasi dan saluran aspirasi rakyat dan
memperjuangkan alternatif kebijakan publik sesuai dengan aspirasi dan kepentingan
rakyat yang diwakili dan ideologi partai (good policy seeking). Singkat kata, Besaran Dapil
diusulkan agar diperkecil dan Ambang-batas dinaikkan dengan tujuan mengurangi
kuantitas partai politik di DPR dan DPRD tetapi meningkatkan kualitas partai politik di
DPR dan DPRD.
Makin sedikit jumlah kursi yang diperebutkan di setiap Dapil, makin sukar bagi
partai memperoleh kursi8 sehingga “memaksa” setiap partai politik Peserta Pemilu
bersaing satu sama lain untuk mendapatkan simpati, kepercayaan dan dukungan dari para
7
Ambang batas sebesar 2,5% berhasil mengurangi jumlah partai di DPR dari 16 menjadi 9 (sembilan) partai tetapi memerlukan
empat atau lebih partai berkoalisi untuk mencapai mayoritas kursi di DPR (karena komposisi perolehan kursi relatif seimbang).
Rata-rata DPRD Provinsi memiliki 11 partai politik, dan jumlah partai politik di DPRD Kabupaten/Kota di Luar Pulau Jawa adalah
antara 15 sampai 22 sedangkan di Pulau Jawa rata-rata 13 partai politik.
8
Kalau menggunakan rumus yang ditawarkan Arendyt Lijphart untuk mengukur effective electoral threshold (ambang batas
efektif di setiap Dapil), yaitu 75/(m + 1), maka suatu partai politik Peserta Pemilu harus mengumpulkan sekurang-kurangnya
18,75% (75/4) suara sah di Dapil (dari semua TPS di Dapil tersebut) tersebut untuk mendapatkan satu kursi dari setiap Dapil
yang mendapat alokasi 3 (tiga) kursi. Partai politik Peserta Pemilu harus mencapai sekurang-kurangnya 10,7% (75/7) suara sah
di Dapil tersebut untuk mendapatkan satu kursi dari setiap Dapil yang mendapat alokasi 6 (enam) kursi.
268
pemilih. Hanya partai politik yang mendapat kepercayaan dari rakyat sajalah yang akan
mendapatkan kursi. Yang hendak dicapai, karena itu, bukan saja mengurangi jumlah
partai secara alamiah berdasarkan derajad dukungan pemilih tetapi juga mendorong
setiap partai politik tidak saja menjadikan partai sebagai saluran partisipasi politik dan
aspirasi bagi warga negara tetapi juga mendorong agar partai lebih memperjuangkan
alternatif kebijakan publik sesuai dengan aspirasi rakyat yang diwakili dan sesuai dengan
ideologi (Visi, Misi dan Program) Partai. Hanya pemilihan umum yang kompetitif sajalah
yang mampu “memaksa” partai memenuhi harapan para pemilih (it is only competitive
electoral process which able to force parties to give voters what they want). karena partai
politik tersebut akan ditinggalkan kalau tidak memperhatikan kehendak para pemilih di
setiap konstituensi.
9
UUD 1945 menugaskan DPR, antara lain sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang yang tidak hanya
menyangkut seluruh jenis kewenangan (urusan) pemerintahan tetapi juga berlaku secara nasional, sedangkan DPRD sebagai
bagian dari Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan yang diberikan leh negara melalui undang-undang. Anggota DPR dipilih oleh
rakyat melalui Pemilu untuk melaksanakan kekuasaan membentuk undang-undang, sedangkan anggota DPRD dipilih oleh rakyat
melalui Pemilu untuk melaksanakan tugas dan kewenangan Pemerintahan Daerah tersebut. Karena itu penerapan ambang-batas
masuk DPR sekaligus juga sebagai ambang-batas masuk DPRD merupakan pelanggaran hak rakyat menentukan siapa yang
mewakilinya dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota.
10
Kalau Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak lolos ambang-batas masuk DPR dan karena itu juga tidak lolos ambang-batas
masuk DPRD Provinsi Jawa Timur dan seluruh DPRD Kabupaten/Kota di Jawa Timur, maka saya tidak dapat membayangkan apa
yang akan terjadi di Jawa Timur sebagai basis utama PKB.
269
5% dari jumlah suara sah yang diperolehnya). Demikian pula Partai Golkar, PDI
Perjuangan dan PKS juga memperoleh kursi lebih banyak secara proporsional daripada
jumlah suara sah yang diperolehnya tetapi 5 partai lainnya memperoleh kursi proporsional
dengan jumlah suara sah yang diperolehnya.11
11
Partai Golkar memperoleh suara sah sebanyak 14, 45% tetapi mendapat 19% kursi DPR. PDI Perjuangan memperoleh 14,03%
suara sah tetapi memperoleh 16, 60% kursi DPR, PKS memperoleh 7,88% suara sah tetapi mendapatkan 10, 54% kursi DPR.
Akan tetapi PAN memperoleh 7,5% suara sah tetapi memperoleh 5,6% kursi DPR, PPP memperoleh 6, 96% suara sah dan
memperoleh 6, 96% kursi DPR, P. Gerindra memperoleh 5, 36% suara sah memperoleh 5, 36% kursi DPR, PKB memperoleh 4,
64% suara sah dan juga memperoleh 4, 64% kursi DPR, dan akhirnya P. Hanura memperoleh 2, 68% suara sah dan juga
memperoleh 2, 68% kursi DPR.
270
kursi DPR dialokasikan kepada setiap provinsi berdasarkan jumlah penduduk, maka
jumlah anggota DPR dari 6 (enam) provinsi di Pulau Jawa akan mencapai 57% sedangkan
jumlah anggota DPR dari 27 provinsi di Luar Pulau Jawa akan mencapai 43%. Komposisi
keanggotaan DPR seperti ini mencerminkan komposisi jumlah penduduk Indonesia antara
Pulau Jawa dengan Luar Pulau Jawa. Alokasi kursi DPD kepada setiap provinsi
berdasarkan prinsip kesetaraan wilayah adalah 24 orang dari 6 (enam) provinsi di Pulau
Jawa dan 108 orang dari 27 provinsi di Luar Pulau Jawa. Yang menjadi persoalan wadah
keterwakilan daerah ini adalah belum memiliki kewenangan untuk ikut membuat
keputusan mengenai Undang-undang yang menyangkut kepentingan daerah.
271
Alokasi Kursi dan Pembentukan
Daerah Pemilihan
“Teori, Prinsip, Praktek Alokasi Kursi dan
Pembentukan Daerah Pemilihan”
Oleh: August Mellaz (Perludem)
Menjelang pembahasan dalam rangka perubahan rancangan undang-undang
pemilihan umum DPR, DPD, dan DPRD 2014 (Pemilu Legislatif), beberapa isu
mengemuka dalam perdebatan, antara lain; Ambang Batas Perwakilan (parliamentary
threshold), Alokasi Kursi dan Besaran Daerah Pemilihan (district magnitude), dan
Formula Perolehan Suara-Kursi partai politik (electoral formula). Ketiga isu tersebut,
dipahami sebagai instrumen atau perangkat teknis pemilu yang berkaitan secara langsung
dalam konversi suara partai politik menjadi kursi perwakilan.
Khusus pada isu alokasi kursi daerah pemilihan. Saat ini proposal yang
berkembang terkait alokasi kursi daerah pemilihan, adalah penurunan besaran alokasi
kursi setiap daerah pemilihan antara; 3-6, 3-8, dan 3-10 kursi. Beberapa argumen yang
mengemuka pada isu penurunan besaran magnitude daerah pemilihan, didasarkan pada
keinginan untuk menyederhanakan sistem kepartaian dan sekaligus menciptakan
stabilitas pemerintahan, memperkuat basis legitimasi wakil dan mendekatkannya dengan
pemilih. Pada sisi lain, muncul pertanyaan, apakah sistem kepartaian yang ada dianggap
sudah sangat meluas atau ekstrim. Pertanyaan berikutnya, jika alokasi kursi daerah
pemilihan diturunkan, apakah tidak membawa dampak pada perubahan peta daerah
pemilihan. Hal ini beranjak dari pembentukan daerah pemilihan di Indonesia, yang secara
tradisi berbasis wilayah administrasi pemerintahan (provinsi, kabupaten/kota, dan
kecamatan).
Meski banyak pihak memahami betapa penting pengaruh daerah pemilihan dan
keterwakilan, namun studi ataupun kajian tentang daerah pemilihan sangatlah sedikit, jika
tidak boleh dikatakan diabaikan. Untuk itu, pengalaman lebih dari dua ratus tahun di
272
Amerika Serikat dan sebagian Eropa Barat dalam kurun waktu hampir satu abad, layak
untuk dijadikan salah satu rujukan.12 Pada sebagian besar Negara-negara di dunia, konsep
keterwakilan selalu dikaitkan dengan wilayah teritorial. Sedangkan factor-faktor non
teritorial yang turut diperhatikan, diantaranya; basis pemilih parpol, kelas sosial ataupun
berbasis pendapatan, kepercayaan dan etnik, maupun kelompok-kelompok asosiasi.13
Setidaknya ditemukan tiga dimensi penting yang mendasari basis penentuan daerah
pemilihan; pertama, homogenitas. Didefinisikan sebagai seberapa tinggi tingkat kesamaan
pandangan kelompok masyarakat atau konstituen. Baik pandangan politik atau ideologi,
tata cara dan praktek kehidupan sehari-hari yang berpengaruh terhadap respon bersama
atas suatu isu. Kedua, stabilitas. Tingkat kemapanan keanggotaan konstituen, dimana
pilihannya terhadap partai atau kandidat tidak sering berubah dari satu perode pemilu ke
periode pemilu yang lain. Model konstituensi di Amerika Serikat memiliki tingkat
stabilitas yang lebih permanen, sedangkan model sistem proporsional biasanya cenderung
berubah. Ketiga, voluntary. Permisif tidaknya pemilih atau basis konstituen terhadap
masuk dan keluarnya partai-partai baru. Dengan kata lain, dari sisi pemilih, apakah
pemilih memiliki keleluasaan untuk diwakili oleh partai-partai baru atau oleh partai-partai
lama. Sedangkan dari sisi partai, apakah peluang keluar masuknya partai-partai baru atau
kandidat besar atau kecil.14
Di tengah perdebatan antar partai politik yang saat ini sedang menyusun perubahan
undang-undang pemilu, catatan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang
alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan. Setidaknya pada beberapa hal, perlu
ada kerangka yang sama dalam memandang daerah pemilihan. Baik pada sisi konsep,
prinsip-prinsip utama dan praktek yang ada, baik di Indonesia maupun perbandingannya
dengan negara-negara lain yang menerapkannya.
Kerangka Konsep
Proses pembentukan peta daerah pemilihan dan alokasi kursi daerah pemilihan
- Pembentukan daerah pemilihan dan alokasi kursi daerah pemilihan di Indonesia
terjadi pada setiap periode pemilu legislative berdasarkan undang-undang pemilu
legislatif, yaitu 5 tahun sekali.
- Pada Negara lain seperti Amerika Serikat, proses tersebut berlangsung sekali dalam
10 tahun sesuai dengan periode sensus sebagaimana diatur dalam konstitusi.15
12
Andrew Rehfeld, The Concept of Constituency: “Political Representation, Democratic Legitimacy, and Institutional Design”,
Cambridge University Press, 2005, hlm. 29-31
13
Ibid, hlm. 37-38
14
Op.cit, Andrew Rehfeld, hlm. 39-44
15
Michel L. Balinsky and Peyton Young, Fair Representation: “Meeting The Ideal of One Man, One Vote”, second edition,
Brookings Institution Press, Washington DC, 2001, hlm. 5
273
daerah pemilihan.16 Namun pada beberapa Negara bagian di Amerika seperti Iowa
dan New Jersey, pembentukan peta daerah pemilihan dilakukan oleh komisi
independen.17
Setelah isu alokasi kursi DPR ke tingkat provinsi bisa disepakati, maka relevan
untuk membicarakan visibilitas penurunan jumlah alokasi kursi daerah pemilihan.
Menurut saya, kita harus menuntaskan segala potensi terjadinya
malapportionment atau pembagian secara tidak adil kursi perwakilan berdasarkan
jumlah penduduk. Hal ini tidak hanya terjadi pada alokasi kursi DPR, tetapi juga
terjadi pada alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Kemudian beberapa prinsip penting yang hendaknya dipegang
dan dipakai oleh para pembuat undang-undang dalam proposal pembentukan dan
pengurangan alokasi kursi daerah pemilihan, antara lain;19
16
Thomas L. Brunel, Redistricting and Representation: “Why Competitive Elections are Bad for America”, Routledge, 2008, hlm. 3
17
Ibid
18
Gianfranco Baldini dan Adriano Pappalardo, Elections, Electoral Systems and Volatile Voters, Palgrave Macmillan, 2009, hlm.
31
19
Op.cit Thomas Brunell, hlm. 50
274
Sebenarnya ada satu lagi prinsip, yaitu perlindungan terhadap petahana
(protecting of incumbent). Prinsip ini ditemui dalam konteks pembentukan daerah
pemilihan di Amerika Serikat yang menerapkan satu distrik satu wakil (single
member district).20 Hal ini juga terjadi di Indonesia terutama akibat perubahan
alokasi kursi dan peta daerah pemilihan pada pemilu 2009. Namun, situasi ini
masih menimbulkan pertanyaan, apakah sesuai dengan konteks Indonesia yang
menerapkan distrik berwakil banyak (multi member district).
Beberapa prinsip di atas, selain memiliki tingkat prioritas yang lebih tinggi
dibanding yang lain, juga seringkali saling bertentangan. Oleh karena itu, pilihan-
pilihan yang hendak diprioritaskan, akan memberi dampak pada tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan. Diantara prinsip-prinsip di atas, yang paling ketat adalah
daerah pemilihan hendaknya merupakan satu kesatuan yang utuh (contiguous
district).21 Jika dilihat prakteknya, maka gabungan antara Kota Bogor dan
Kabupaten Cianjur sebagai daerah pemilihan untuk DPR, menjadi contoh kongkrit
pelanggaran atas prinsip ini.
Pertentangan antara satu prinsip dengan prinsip yang lain biasanya muncul dalam
pembentukan daerah pemilihan. Misalnya, prinsip kesetaraan populasi. Jika
ketentuan ini yang hendak disasar -dalam rangka menciptakan kesetaraan populasi
antar daerah pemilihan- biasanya akan bertentangan dengan prinsip menjaga
keutuhan wilayah administrasi. Oleh karena itu, ketentuan wilayah administrasi
biasanya ditanggalkan, jika tidak maka ketidaksetaraan atau deviasi yang terjadi.
Bisa saja, karena alasan keutuhan wilayah administrasi maka deviasi -akibat
ketidaksetaraan populasi- diberikan toleransi. Namun, toleransi terhadap deviasi
karena alasan menjaga keutuhan suatu wilayah, biasanya akan mengundang
munculnya berbagai praktek gerrymandering.22 Konsekuensi-konsekuensi ini
haruslah sepenuhnya dipahami oleh pembuat undang-undang.
20
Ibid, hlm. 68-70
21
Ibid, hlm. 58-59
22
Praktik ini dikaitkan dengan pembuatan peta atau garis daerah pemilihan yang tidak seimbang dan bertujuan untuk
menguntungkan pihak-pihak tertentu, dalam hal ini partai tertentu. Lebih lanjut lihat Michael D. McDonald dan Richard L.
Engstrom “Detecting Gerrymandering”, dalam Political Gerrymandering and The Court, Bernard Grofman (ed), Agathon Press,
New York, 1990, hlm. 178. Sedangkan istilahnya diambil dari nama Elbrigde Gerry, Gubernur Negara Bagian Massachusetts
1810-1812. Lebih lanjut lihat Gary W. Cox dan Jonathan N. Katz dalam Elbridge Gerry Salamander “The Electoral Consequences
of the Reapportionment Revolution”, Cambridge University Press, 2004, hlm. 3-4. Istilah ini juga muncul di Irlandia era perdana
Menteri James Tully (Fine Gael), maka disebut sebagai Tullymandering. Hanya saja berbeda dengan Elbridge Gerry yang
diuntungkan, justru James Tully malah dirugikan, meski maunya diuntungkan. Lihat Op.cit, Gianfranco Baldini dan Adriano
Pappalardo, hlm. 184-185
275
Jika memang niat menurunkan district magnitude, katakanlah antara 3-6 atau 3-8,
dan sekaligus keutuhan wilayah hendak dijaga. Maka perlu diketahui terlebih
dahulu secara pasti jatah kursi tiap-tiap kabupaten/kota di dalam suatu provinsi.
Dari perhitungan terhadap 499 kabupaten/kota sesuai data sensus BPS 2010,
setidaknya ada dua Kabupaten yaitu, Kabupaten Bogor berhak menerima alokasi
kursi untuk DPR sebanyak 11 kursi. Sedangkan untuk Kabupaten Bandung berhak
setidaknya 7 kursi. Pada sisi lain, gabungan daerah pemilihan untuk Malang Raya
di Jawa Timur (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) berhak menerima
8 kursi.
Beranjak dari informasi dan konsekuensi yang akan muncul, sekarang tinggal
pembuat undang-undang saja, apakah konsekuensi tersebut bisa ditempuh
(memecah wilayah administrasi). Atau masihkah ada alternative lain? Misalnya,
menggabungkan beberapa wilayah ditingkat kecamatan misalnya untuk kasus
kabupaten Bogor yang berbatasan terdekat dengan kota Bogor dapat digabungkan.
Hal ini beranjak dari pertimbangan, pada sebagian kecamatan-kecamatan di
kabupaten Bogor yang berdekatan atau berbatasan secara langsung dengan kota
Bogor diasumsikan memiliki kedekatan budaya (kultur urban dsb) atau dengan
kata lain memiliki ciri dan kepentingan yang sama meski secara administrative
berbeda. Hal ini juga berlaku untuk daerah pemilihan Malang Raya.
276
Blok Sensus atau Alternatif Lain sebagai Basis
Pembentukan Daerah Pemilihan
Blok sensus memang bukan sebuah konsep yang paripurna dan paling tepat.
Namun, model blok sensus menyediakan gambaran alternative yang perlu
disesuaikan jika turut dilibatkan dalam isu pembentukan daerah pemilihan. Di
Indonesia sendiri, blok sensus di Indonesia merupakan wilayah kerja petugas
pencacah guna mendapatkan informasi utuh atau 100%. Blok sensus di Indonesia
sendiri populasinya bisa antara 100 orang atau 200 rumah yang berada dalam
wilayah administrasi setingkat desa. Sehingga dalam suatu wilayah administrasi
misalnya setingkat kabupaten/kota, blok sensus tentu saja bisa terdiri dari ribuan.
Tetapi yang paling penting prinsipnya, yaitu equal population.
Sejauh literature yang tersedia, seperti di Amerika Serikat misalnya, isu alokasi
kursi untuk legislative beranjak dari data sensus yang dilakukan tiap sepuluh tahun
sekali. Dimana setahun setelah sensus, maka alokasi kursi dan sekaligus
pembentukan daerah pemilihan dilakukan. Hal ini akan berlangsung dalam dua
periode pemilu. Meskipun penentuan alokasi kursi ditetapkan oleh lembaga
legislative (kongres atau senat bisa mengajukan proposalnya) dan pembentukan
peta daerah pemilihan oleh semacam komisi boundaries (districting). Namun
memperlihatkan gejala kuat peran dari badan sensus dan termasuk konsep-
konsepnya menjadi pegangan dan informasi yang penting, dalam penentuan peta
daerah pemilihan.
Isu alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan di Indonesia masih relative
isu baru. Oleh karena itu, justru hal ini memberikan peluang bagi masuknya para
ahli; statistik, matematik, informasi teknologi, ilmuwan politik, para ahli pemetaan
dan sebagainya untuk dilibatkan dalam membahas isu ini. Dengan keterlibatan
para ahli tersebut, maka berbagai prinsip pembentukan daerah pemilihan dapat
diterjemahkan, dan diimplementasikan dengan lebih terukur. Keinginan ini
berangkat dari harapan yang sederhana, dengan membuka informasi semacam ini,
diharapkan ada kesadaran bahwa persoalan pemilu bukan melulu ranah para
individu yang studi tentang ilmu politik ataupun para politisi. Demikian juga,
diharapkan para ilmuwan politik juga mulai mengenal aspek-aspek teknis
semacam ini.
277
Problematika Alokasi Kursi dan Pembentukan Daerah
Pemilihan di Indonesia
Selama ini banyak pihak yang menganggap bahwa persoalan alokasi kursi dan
pembentukan daerah pemilihan hanyalah masalah politik. Oleh karena itu,
penentuannya semata-mata menjadi otoritas lembaga-lembaga politik, dalam hal
ini DPR dan pemerintah sebagai pembuat undang-undang. Meskipun khusus
untuk pemilu 2004, pembentukan daerah pemilihan diserahkan ke KPU,
sedangkan pada pemilu 2009 menjadi lampiran undang-undang. Jika
diperhatikan, secara relative apa yang dihasilkan KPU 2004 terkait dengan
pembentukan daerah pemilihan lebih baik, meski bukan tanpa masalah.
Pada sisi alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan, masalah yang paling
banyak muncul antara lain;
- Masalah lain adalah apa yang disebut dengan tidak terjaganya kekompakan dan
keutuhan daerah pemilihan (misalnya gabungan antara Kota Bogor dan
Kabupaten Cianjur yang harus melewati Kabupaten Bogor).
23
Berasal dari istilah apportionment atau pembagian atau alokasi kursi perwakilan (DPR) berdasarkan jumlah populasi secara
adil. Oleh karena itu malapportionment diartikan kesalahan alokasi atau pembagian yang tidak menghormati jumlah pupulasi
(penduduk) yang seharusnya. Bisa diukur dari ratio jumlah penduduk dibanding dengan jumlah kursi perwakilan yang diterima
apakah seimbang atau tidak. Lebih lanjut Op. cit lihat Michel Balinsky dan Peyton Young, hlm. 1-4
278
Persoalan ketimpangan harga kursi antara 2004 dengan 2009. Saya melihat bahwa
ketentuan harga kursi DPR pada pemilu 2004 antara 325 ribu dan 425 ribu yang
diputuskan undang-undang menjadi problem utama. Hal ini saya kira sudah tuntas
dikupas oleh Pipit R. Kartawidjaja dan Sidik Pramono dalam buku “Akal-Akalan
Daerah Pemilihan”. Dalam buku tersebut diperlihatkan bahwa betapa KPU masa
itu kesulitan untuk mengimplementasikan ketentuan harga kursi DPR. Begitu
masuk pemilu 2009, masalah yang muncul pada pemilu 2004 tidak pernah
dilakukan evaluasi dalam rangka perbaikan. Bahkan, sejauh yang saya tahu data
kependudukan apa yang jadi dasar untuk alokasi kursi juga tidak muncul pada saat
itu. Selain itu, apa metode alokasi kursi yang dipakai tidak juga jelas. Misalnya,
bagaimana mungkin penduduk Riau yang lebih banyak daripada Sumatera Barat,
tetapi alokasi kursi DPR untuk Sumatera Barat lebih besar dibanding Riau.
Kemudian faktor-faktor politis lebih mengemuka ketika alokasi kursi dilakukan,
misalnya untuk Sulawesi Selatan yang dimekarkan dengan Sulawesi Barat. Dimana
sebagian penduduk Sulawesi Selatan ikut ke provinsi baru, namun tidak demikian
dengan alokasi kursinya.
Pada beberapa Negara yang menggunakan prinsip one person, one vote, one value
memang ada ada toleransi atas adanya deviasi. Misalnya 10% jarak antara yang
tertinggi dan terendah di Inggris, dan 15% untuk daerah pemilihan di Jerman.
Sedangkan di Amerika, deviasi bisa diterima, namun dasarnya haruslah sangat
kuat. Misalnya deviasi bisa diterima alasan menjaga kepentingan komunitas agar
tetap utuh menjadi prinsip.24 Tetapi toleransi semacam ini melibatkan putusan
pengadilan (kasus di amerika serikat) atau melibatkan putusan otoritas pembentuk
daerah pemilihan (election boundary commission di Inggris). Meski kasus-kasus
ini muncul banyak di Negara-negara yang menerapkan prinsip equal population,
bukan berarti prinsip tersebut tidak dapat diterapkan di Indonesia. Equal
population untuk di Indonesia, mungkin tidak dimaksudkan untuk menilai dari sisi
keadilan murni - oleh karena bisa jadi konsensus semacam menjaga keutuhan
wilayah administrasi juga prinsip yang juga ingin dijaga.25 Jika dua faktor ini (batas
toleransi dan batas administrative) bisa dijaga, tentu akan lebih bagus. Tetapi yang
lebih penting untuk saat ini adalah, perlunya suatu evaluasi dan perbaikan terkait
dengan beberapa persoalan yang muncul dalam alokasi kursi dan pembentukan
daerah pemilihan. Misalnya malapportionment.
24
Deviasi di Amerika Serikat semakin jarang terjadi, bahkan tahun 2002 peta daerah pemilihan Pennsylvania dibatalkan dan
harus dilakukan alokasi baru, karena muncul deviasi meski hanya 19 orang atau kurang dari ,003 persen. Op.cit Andrew Rehfeld,
hlm. 54-55
25
Konsensus ini dapat berupa alokasi kursi minimal dari Negara bagian/propvinsi untuk perwakilan di DPR. Misalnya Amerika
Serikat menjamin satu kursi untuk Negara bagian. Kanada menjamin jumlah kursi perwakilan minimal untuk provinsi sebanyak
jumlah senator. Prancis, memberikan jaminan dua kursi perwakilan tingkat nasional untuk setiap departemen. Sedangkan untuk
Indonesia, diberikan jaminan minimal tiga kursi perwakilan di DPR untuk provinsi yang jumlah penduduknya kurang atau
provinsi baru. Lebih lanjut lihat, op.cit Michel Balinsky dan Peyton Young, hlm. 87-93
279
Kaitan Aspek Daerah Pemilihan dengan Perangkat
Teknis Pemilu Lainnya
Perubahan pada salah satu atau ketiganya akan memberikan dampak pada tujuan-
tujuan pemilu; misalnya proporsional hasil dan sekaligus derajat keterwakilan
lebih tinggi dari sebuah pemilu; pembentukan sistem kepartaian dan sekaligus
tendensi pemerintahan yang lebih efektif. Persoalan district magnitude antara 3-6,
3-8, dan 3-10 juga memiliki berbagai konsekuensi. Masalahnya, apakah kita semua
dapat memahami bahwa konsekuensi itu ada dan dapat menerimanya. Apakah
prinsip-prinsip yang ada dapat dijaga dan dapat menjadi konsensus bersama
diantara pembuat undang-undang.
Isu alokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan merupakan isu yang relative
baru di Indonesia dan masih terbatas sebagai konsumsi para politisi. Oleh karena
banyak dimensi yang penting dalam pembahasannya, maka perlu dibuka ruang
bagi keterlibatan para ahli dan kalangan professional dalam membicarakan isu ini.
280
PROFIL PERLUDEM
LATAR BELAKANG
Demokrasi memang bukan satu tatanan yang sempurna untuk mengatur peri kehidupun
manusia. Namun sejarah di manapun telah membuktikan, bahwa demokrasi sebagai model kehidupan
bernegara memiliki peluang paling kecil dalam menistakan kemanusiaan. Oleh karena itu, meskipun
dalam berbagai dokumentasi negara ini tidak banyak ditemukan kata demokrasi, para pendiri negara
sejak zaman pergerakan berusaha keras menerapkan prinsip-prinsip negara demokrasi bagi Indonesia.
Tiada negara demokrasi tanpa pemilihan umum (pemilu), sebab pemilu merupakan instrumen pokok
dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Sesungguhnya, pemilu tidak saja sebagai arena untuk
mengekspresikan kebebasan rakyat dalam memilih pemimpinnya, tetapi juga arena untuk menilai dan
menghukum para pemimpin yang tampil di hadapan rakyat. Namun, pengalaman di berbagai tempat dan
negara menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilu seringkali hanya berupa kegiatan prosedural politik
belaka, sehingga proses dan hasilnya menyimpang dari tujuan pemilu sekaligus mencederai nilai-nilai
demokrasi.
Kenyataan tersebut mengharuskan dilakukannya usaha yang tak henti untuk membangun dan
memperbaiki sistem pemilu yang fair, yakni pemilu yang mampu menampung kebebasan rakyat dan
menjaga kedaulatan rakyat. Para penyelenggara pemilu dituntut memahami filosofi pemilu, memiliki
pengetahuan dan ketrampilan teknis penyelenggaraan pemilu, serta konsisten menjalankan peraturan
pemilu, agar proses pemilu berjalan sesuai dengan tujuannya. Selanjutnya, hasil pemilu, yakni para
pemimpin yang terpilih, perlu didorong dan diberdayakan terus-menerus agar dapat menjalankan
fungsinya secara maksimal; mereka juga perlu dikontrol agar tidak meyalahgunakan kedaulatan rakyat
yang diberikan kepadanya.
281
Menyadari bahwa kondisi-kondisi tersebut membutuhkan partisipasi setiap warga negara, maka
dibentuklah wadah yang bernama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, disingkat
Perludem agar anggotanya dapat secara efektif terlibat dalam proses membangun negara demokrasi
dan ikut mewujudkan pemilu yang fair.
VISI
Terwujudnya negara demokrasi dan terselenggarakannya pemilu yang mampu menampung kebebasan
rakyat dan menjaga kedaulatan rakyat.
MISI
1. Membangun sistem pemilu legislatif, pemilu presiden dan pemilu kepala daerah (pemilukada) yang
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
2. Meningkatkan kapasitas penyelenggara pemilu agar memahami filosofi tujuan pemilu, serta memiliki
pengetahuan dan ketrampilan teknis penyelenggaraan pemilu.
3. Memantau pelaksanaan pemilu agar tetap sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
4. Meningkatkan kapasitas anggota legislatif yang terpilih agar bisa memaksimalkan perannya sebagai
wakil rakyat.
KEGIATAN
1. Pengkajian: mengkaji peraturan, mekanisme dan prosedur pemilu; mengkaji pelaksanaan pemilu;
memetakan kekuatan dan kelemahan peraturan pemilu; menggambarkan kelebihan dan kekurangan
pelaksanaan pmilu; mengajukan rekomendasi perbaikan sistem dan peraturan pemilu; dll.
2. Pelatihan: meningkatkan pemahaman para pemangku kepentingan pemilu tentang filosofi pemilu;
meningkatkan pemahaman tokoh masyarakat tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam
pemilu; meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas-petugas pemilu; meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan para pemantau pemilu; dll.
3. Pemantauan: memonitor pelaksanaan pemilu; mengontrol dan mengingatkan penyelenggara
pemilu agar bekerja sesuai dengan peraturan yang ada; mencatat dan mendokumentasikan kasus-
kasus pelanggaran dan sengketa pemilu; menyampaikan pelaku-pelaku kecurangan dan pelanggaran
pemilu kepada pihak yang berkompeten; dll.
SEKRETARIAT
282
Profil Kemitraan
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia (“Partnership”) adalah sebuah organisasi
multi-pihak yang bekerja dengan badan-badan pemerintah dan organisasi masyarakat sipil (CSO) untuk
memajukan reformasi di tingkat nasional dan local. Kemitraan membangun hubungan penting antara
semua tingkat pemerintahan dan masyarakat sipil untuk meningkatkan tata pemerintahan yang baik di
Indonesia secara berkelanjutan.
Terbentuknya Kemitraan dapat ditelusur balik pada krisis ekonomi dan politik yang melumpuhkan
Indonesia pada akhir dasawarsa 1990-an. Tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan masyarakat sipil,
pemerintah, dunia usaha, dan komunitas donor berkumpul dengan semangat pembaruan dan hasrat
yang kuat untuk memajukan demokrasi di Indonesia. Tuntutan akan ’Reformasi’ merupakan hal yang
menjadi ciri khas dari periode ini. Masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia dilihat dari isu tata
pemerintahan dan, oleh karena itu, sasaran utama Reformasi adalah menghindari kesalahan masa lalu
dan membangun sebuah negara baru yang lebih bertanggung gugat.
Kemitraan didirikan pada bulan Maret tahun 2000 sebagai sebuah proyek Program Pembangunan PBB
(United Nations Development Program/UNDP) yang dirancang untuk membantu Indonesia mewujudkan
tata pemerintahan yang baik di semua tingkat pemerintahan. Kemitraan mulai beroperasi pada bulan
Mei tahun 2001 dengan Direktorat Aparatur Negara Bappenas sebagai Lembaga Pengampu (Executing
Agency), Kemitraan sebagai Lembaga Pelaksana (Implementing Agency) dan UNDP sebagai Manajer
Dana Perwalian (Trust Fund Manager).
Kemitraan menjadi sebuah badan hukum mandiri pada tahun 2003 dan terdaftar sebagai sebuah
perkumpulan perdata nirlaba. Selama sembilan tahun terakhir, Kemitraan telah berkembang dari
awalnya sebagai proyek UNDP menjadi organisasi yang dikelola bangsa Indonesia yang terpercaya,
mandiri, dan terkemuka. Karena kepemilikan nasional ini, Kemitraan memiliki posisi yang unik untuk
memprakarsai program-program yang memerlukan dukungan dari pemerintah.
283
284
PROFIL PENULIS
Didik Supriyanto , lahir 6 Juli 1966 di Tuban, Jawa
Timur. Lulusan S-1 Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik , Universitas Gadjah Mada, 1995, dan
Program S-2 Ilmu Politik Universitas Indoensia, 2010. Aktif di
pers mahasiswa dan melanjutkan profesi wartawan: Tabloid
DeTIK (1993 – 1994), Redaktur Tabloid TARGeT (1996 –
1997), Kepala Biro Jakarta Tabloid ADIL (1997 – 1998) dan
Redaktur PelaksanaTabloid ADIL (1998 – 2000). Sejak 2000 hingga sekarang, menjadi
Wakil Pemimpin Redaksi detikcom. Sempat menjadi Anggota Panwas Pemilu 2004,
lalu menjadi pendiri dan Ketua Perludem. Sejak itu, Didik menekuni dunia pemilu
hingga menghasilkan beberapa buku tentang pemilu, antara lain: Mengawasi Pemilu,
Menjaga Demokrasi, (bersama Topo Santoso)Murai Press, 2004; Efektivitas Panwas:
Evaluasi Pengawasan Pemilu 2004, Perludem 2005;Menjaga Independensi Penyeleng-
gara Pemilu, Perludem, 2007; Perekayasaan Sistem Pemilu untuk Pembangunan
Tata Politik Demokratis, (bersama Ramlan Surbakti dan Topo Santoso), Kemitraan,
2008; Keterpilihan Perempuan di DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota
Hasil Pemilu 2009 dan Rekoemndasi Kebijakan, (bersama Ani Soetjipto, Sri Budi
Eko Wardhani), Pusat Kajian Politik, FISIP UI, 2010; Meningkatkan Keterwakilan
Perempuan: Penguatan Kebijakan Afirmasi, Kemitraan, 2011; Menyetarakan Nilai
Suara: Jumlah dan Alokasi DPR ke Provinsi, (bersama August Mellaz), Kemitraan,
Jakarta 2011; Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional
dan Pemilu Daerah, Kemitraan, 2011.
285
ALOKASI KURSI DPR 560 KE PROVINSI DAN PEMBENTUKAN DAERAH PEMILIHAN 3-6 KURSI, 3-8 KURSI, DAN 3-10 KURSI
in Indonesia). Sejak 2003, aktif menekuni kajian pemilu, khususnya saling hubungan
antar variabel Pemilu atau perangkat teknis sistem pemilu. Saat ini menjadi Associate
Senior Researcher pemilu pada Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi)
dan konsultan pemilu pada Kemitraan bagi Tata Pembaharuan Pemerintahan.
Beberapa buku dan paper yang pernah dihasilkan, antara lain; Menyetarakan
Nilai Suara: Jumlah dan Alokasi Kursi DPR ke Provinsi (bersama Didik Supriyanto),
Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan, September 2011;Indonesia: Areas
of Electoral Law Under Discussion (bersama Prof. Andrew Reynolds), Perludem-IFES,
Agustus 2011;Memperkuat Kemandirian Penyelenggara Pemilu: Rekomendasi Revisi
Undang-undang Penyelenggara Pemilu (bersama Yulianto dan Veri Junaidi), KRHN-
IFES, November 2011;Besaran Distrik, Proporsionalitas, dan Fragmentasi Sistem
Kepartaian (bersama Pipit R. Kartawidjaja), Jurnal Hukum Jentera-PSHK Edisi Khusus
Membaca Daniel S. Lev, Februari 2008;Keserentakan Pemilu dan Penyederhanaan
Sistem Kepartaian, Media Expose, Oktober 2007;Merangkai Perdamaian: Refleksi
Atas Program Pemilu 2004, SFCGI-UNDP, Desember 2004; dan,Pendidikan Pemilih
Berbasis Pencegahan Konflik Dalam Pemilu, SFCGI-UNDP, Februari 2004.
Prof. Ramlan Surbakti lahir di Tanah Karo, 20 Juni 1953. Guru Besar FISIP UNAIR selaigus Senior Advisor
Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia. Menamatkan Sarjana (S-1) dari Fakultas
Sospol (Ilmu Pemerintahan) UGM, Master (S-2) Ilmu Politik dari Ohio University AS, dan Doktor (S-3) dari
Northern Illnois University AS, dengan disertasi berjudul Interrelation Between Religious and Political
Power Under New Order Government of Indonesia
286