Anda di halaman 1dari 58

2.

1 Gagal Jantung Kongestif (CHF)

2.1.1 Definisi CHF

Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah dalam


jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrien.

Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi


jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume
diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan
kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan.

2.1.2 Etiologi CHF

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :

1) Kelainan otot jantung

Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi
otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau
inflamasi.

2) Aterosklerosis koroner

Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot


jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark
miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung.
Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan
kontraktilitas menurun.

3) Hipertensi sistemik atau pulmonal

Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi


serabut otot jantung.

1
4) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif

Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.

5) Penyakit jantung lain

Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang
secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup
gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidakmampuan
jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau
stenosis AV), peningkatan mendadak afterload.

6) Faktor sistemik

Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya
gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam), hipoksia dan anemia
diperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik.
Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis
respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat menurunkan kontraktilitas
jantung.

2.1.3 Patofisiologi

Patofisiologi dari gagal jantung dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :

a. Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan (failure)

1) Gagal jantung kiri (Left-Sided Heart Failure)

Bagian ventrikel kiri jantung kiri tidak dapat memompa dengan baik sehingga
keadaan tersebut dapat menurunkan aliran dari jantung sebelah kiri keseluruh tubuh.
Akibatnya, darah akan mengalir balik ke dalam vaskulator pulmonal (Berkowitz, 2013).
Pada saat terjadinya aliran balik darah kembali menuju ventrikular pulmonaris, tekanan
kapiler paru akan meningkat (>10 mmHg) melebihi tekanan kapiler osmotik (>25
mmHg). Keadaan ini akan menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke dalam
interstitium paru dan menginisiasi edema (Porth, 2007).

2
2) Gagal jantung kanan (Right-Sided Heart Failure)

Disfungsi ventrikel kanan dapat dikatakan saling berkaitan dengan disfungsi ventrikel
kiri pada gagal jantung apabila dilihat dari kerusakan yang diderita oleh kedua sisi
jantung, misalnya setelah terjadinya infark miokard atau tertundanya komplikasi yang
ditimbulkan akibat adanya progresifitas pada bagian jantung sebelah kiri. Pada gagal
jantung kanan dapat terjadi penumpukan cairan di hati dan seluruh tubuh terutama di
ekstermitas bawah (Acton, 2013).

b. Mekanisme neurohormonal

Istilah neurohormon memiliki arti yang sangat luas, dimana neurohormon pada
gagal jantung diproduksi dari banyak molekul yang diuraikan oleh neuroendokrin (Mann,

2012). Renin merupakan salah satu neurohormonal yang diproduksi atau dihasilkan
sebagai respon dari penurunan curah jantung dan peningkatan aktivasi sistem syaraf
simpatik.

c. Aktivasi sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS)

Pelepasan renin sebagai neurohormonal oleh ginjal akan mengaktivasi RAAS.


Angiotensinogen yang diproduksi oleh hati dirubah menjadi angiotensin I dan
angiotensinogen II.Angiotensin II berikatan dengan dinding pembuluh darah ventrikel
dan menstimulasi pelepasan endotelin sebagai agen vasokontriktor. Selain itu,
angiotensin II juga dapat menstimulasi kelenjar adrenal untuk mensekresi hormon
aldosteron. Hormon inilah yang dapat meningkatkan retensi garam dan air di ginjal,
akibatnya cairan didalam tubuh ikut meningkat. Hal inilah yang mendasari timbulnya
edema cairan pada gagal jantung kongestif (Mann, 2012).

d. Cardiac remodeling

Cardiac remodeling merupakan suatu perubahan yang nyata secara klinis sebagai
perubahan pada ukuran, bentuk dan fungsi jantung setelah adanya stimulasi stress
ataupun cedera yang melibatkan molekuler, seluler serta interstitial (Kehat dan
Molkentin, 2010).

3
2.1.4 Manifestasi Klinis CHF

Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien, beratnya
gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat, apakah kedua
ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan jantung.

Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan :

1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.

2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah, asites,
hepatomegali, dan edema perifer.

4
2.2 CKD (Chronic Kidney Disease)

2.2.1. Pengertian Gagal Ginjal

Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan
pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti
sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin.

2.2.2 Ginjal

Ginjal adalah suatu organ yang secara struktural kompleks dan telah berkembang
untuk melaksanakan sejumlah fungsi penting, seperti : ekskresi produk sisa metabolisme,
pengendalian air dan garam, pemeliharaan keseimbangan asam yang sesuai, dan sekresi
berbagai hormon dan autokoid.

2.2.3 Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi
kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kirikarena
tertekan kebawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi iga keduabelas, sedangkan
kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas. Ginjal terletak di bagian belakang
abdomen atas, di belakang peritoneum, didepan dua iga terakhir, dan tiga otot besar-
transversus abdominis, kuadratus lumborum, dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan
dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Ginjal terlindung dengan baik dari
trauma langsung, disebelah posterior (atas) dilindungi oleh iga dan otot-otot yang
meliputi iga, sedangkan di anterior (bawah) dilindungi oleh bantalan usus yang tebal.
Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon, dan duodenum, sedangkan ginjal kiri
dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas, jejunum dan kolon.

Struktur Ginjal terdiri atas:

1. Struktur Makroskopik Ginjal

5
Pada orang dewasa , panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7hingga
5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya sekitar 150
gram. Secara anatomik ginjal terbagi dalam dua bagian, yaitu korteks dan medula ginjal.8

Ginjal terdiri dari bagian dalam (medula), dan bagian luar (korteks).

a. Bagian dalam (internal) medula. Substansia medularis terdiri dari piramid renalis yang
jumlahnya antara 18-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan
apeksnya mengahadap ke sinus renalis. Mengandung bagian tubulus yang lurus, ansa
henle, vasa rekta dan diktus koligens terminal.

b. Bagian luar (eksternal) korteks. Substansia kortekalis berwarna coklat merah,


konsistensi lunak dan bergranula. Substansia ini tepat dibawah tunika fibrosa,
melengkung sapanjang basis piramid yang berdekatan dengan garis sinus renalis, dan
bagian dalam diantara piramid dinamakan kolumna renalis. Mengandung glomerulus,
tubulus proksimal dan distal yang berkelok-kelok dan duktus koligens.

2. Struktur Mikroskopik Ginjal

a. Nefron

Tiap tubulus ginjal dan glomerolusnya membentuk satu kesatuan (nefron). Ukuran ginjal
terutama ditentukan oleh jumlah nefron yang membentuknya. Tiap ginjal manusia
memiliki kira-kira 1.3 juta nefron. Setiap nefron bisa membentuk urin sendiri. Karena itu
fungsi satu nefron dapat menerangkan fungsi ginjal.

b. Glomerulus18,20

Setiap nefron pada ginjal berawal dari berkas kapiler yang disebut glomerulus, yang
terletak didalam korteks, bagian terluar dari ginjal. Tekanan darah mendorong sekitar 120
ml plasma darah melalui dinding kapiler glomerular setiap menit. Plasma yang tersaring
masuk ke dalam tubulus. Sel-sel darah dan protein yang besar dalam plasma terlalu besar
untuk dapat melewati dinding dan tertinggal.

c. Tubulus kontortus proksimal20

6
Berbentuk seperti koil longgar berfungsi menerima cairan yang telah disaring oleh
glomerulus melalui kapsula bowman. Sebagian besar dari filtrat glomerulus diserap
kembali ke dalam aliran darah melalui kapiler-kapiler sekitar tubulus kotortus proksimal.
Panjang 15 mm dan diameter 55 µm.

d. Ansa henle

Berbentuk seperti penjepit rambut yang merupakan bagian dari nefron ginjal dimana,
tubulus menurun kedalam medula, bagian dalam ginjal, dan kemudian naik kembali
kebagian korteks dan membentuk ansa. Total panjang ansa henle 2-14 mm. Tubulus
kontortus distalis Merupakan tangkai yang naik dari ansa henle mengarah pada koil
longgar kedua. Penyesuaian yang sangat baik terhadap komposisi urin dibuat pada
tubulus kontortus. Hanya sekitar 15% dari filtrat glomerulus (sekitar 20 ml/menit)
mencapai tubulus distal, sisanya telah diserap kembali dalam tubulus proksimal.

f. Duktus koligen medula

Merupakan saluran yang secara metabolik tidak aktif. Pengaturan secara halus dari
ekskresi natrium urin terjadi disini. Duktus ini memiliki kemampuan mereabsorbsi dan
mensekresi kalsium

2.2.4 Fungsi Ginjal

Fungsi utama ginjal terangkum dibawah ini, yang menekankan peranannya

sebagai organ pengatur dalam tubuh.

Fungsi Ekskresi

a. Mengeluarkan zat toksis/racun


b. Mengatur keseimbangan air, garam/elektrolit, asam /basa
c. Mempertahankan kadar cairan tubuh dan elektrolit (ion-ion lain)
d. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama urea,
e. asam urat dan kreatinin)
f. Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat

7
Fungsi Non Ekskresi

Mensintesis dan mengaktifkan Hormon:

a. Renin, penting dalam pengaturan tekanan darah


b. Eritropoetin, merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang
c. 1,25-dihidroksivitamin D3 : hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk yang
d. paling kuat
e. Prostaglandin : sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan
f. melindungi dari kerusakan iskemik ginjal
g. Degradasi hormon polipeptida
h. Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH dan
i. hormon gastrointestinal (gastrin, polipeptida intestinal vasoaktif).

2.2.5 Etiologi

Dua penyebab utama dari PGK ini adalah diabetes dan tekanan darah tinggi,
yang terjadi pada dua dari tiga kasus. Diabetes terjadi ketika gula darah terlalu tinggi,
menyebabkan kerusakan banyak organ dalam tubuh, termasuk ginjal dan jantung, serta
pembuluh darah, saraf dan mata. Tekanan darah tinggi, atau hipertensi, terjadi ketika
tekanan darah terhadap dinding pebuluh darah meningkat. Jika tidak terkendali, atau
tidak terkontrol, tekanan darah tinggi dapat menjadi penyebab utama serangan jantung,
stroke dan PGK. PGK juga menyebabkan tekanan darah tinggi .

Beberapa kondisi yang juga dapat menyebabkan PGK dengan prevalensi yang
lebih kecil, antara lain:

a. Glomerulonefritis (radang ginjal)

b. Pielonefritis (infeksi pada ginjal)

c. Penyakit ginjal polikistik

d. Kegagalan pembentukan ginjal normal pada bayi yang belum lahir ketika berkembang
di rahim

8
e. Lupus eritematosus sistemik (kondisi dari sistem kekebalan tubuh di mana tubuh
menyerang ginjal yang dianggap sebagai benda asing)

f. Jangka panjang penggunaan rutin obat-obatan seperti : obat litium dan NSAID,
termasuk aspirin dan ibuprofen.

g. Penyumbatan, misalnya karena batu ginjal atau penyakit prostat.

2.2.6. Klasifikasi Gagal Ginjal

Gagal Ginjal Kronis

Berdasarkan National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality


Initiative (K/000/) Guidelines Update tahun 2002, definisi Penyakit Ginjal Kronis (GGK)
adalah:17

a. Kerusakan Ginjal > 3 bulan, berupa kelainan struktur ginjal, dapat atau tanpa disertai
penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang ditandai dengan: kelainan patologi, dan
adanya pertanda kerusakan ginjal, dapat berupa kelainan laboratorium darah atau urine,
atau kelainan radiologi.

b. LFG <60 mL/menit/1,73 m2

selama >3 bulan, dapat disertai atau tanpa disertai kerusakan ginjal. Diagnosis dari gagal
ginjal kronis terdiri dari: anamnesis yang ditandai seringnya berkemih pada malam hari,
pergelangan kaki bengkak, lemah, lesu, mual, muntah, nafsu makan turun, kram otot
terutama malam hari, sulit tidur, bengkak disekitar mata terutama pada bangun tidur, dan
mata merah serta berair (uremic red eye) karena deposit garam kalsiun fosfat yang dapat
menyebabkan iritasi hebat pada selaput lendir mata. Pemeriksaan fisik, seperti anemis,
kulit gatal dan kering, edema tungkai maupun palpebra, tanda bendungan paru, mata
merah dan berair. Diagnosis juga ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium terhadap
gangguan fungsi ginjal.

Gangguan fungsi ginjal kronis dapat dikelompokkan menjadi empat stadium

menurut tingkat keparahannya, yaitu:34

9
a. Kondisi normal: Kerusakan ginjal dengan nilai GFR normal. Nilai GFR 60-89
ml/menit/1,73 m2
b. Stadium 1: Kerusakan ginjal ringan dengan penurunan nilai GFR, belum terasa
gejala yang mengganggu. Ginjal berfungsi 60-89%. Nilai GFR 60-89
ml/menit/1,73 m2
c. Stadium 2: Kerusakan sedang, masih bisa dipertahankan. Ginjal berfungsi 30-
59%. Nilai GFR 30-59 ml/menit/1,73 m2
d. Stadium 3: kerusakan beratsudah tingkat membahayakan. Ginjal berfungsi 15-
29%. Nilai GFR 15-29 ml/menit/1,73 m2
e. Stadium 4: Kerusakan parah, harus cuci ginjal. Fungsi ginjal kurang dari 15%.

Nilai GFR kurang dari 15 ml/menit/1,73 m2

Pada kasus gagal ginjal akut kondisi ginjal dapat dipulihkan kembali, hal ini
berbeda dengan kasus pada gagal ginjal kronik. Pada gagal ginjal kronik penderita hanya
dapat berusaha menghambat laju tingkat kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar tidak
menjadi gagal ginjal terminal, suatu kondisi dimana ginjal sudah hampir tidak dapat
berfungsi lagi. Kondisi ini berlangsung secara perlahan dan sifatnya menahun, dengan
sedikit gejala pada awalnya, bahkan lebih sering penderita tidak merasakan adanya
gejala.

Gagal Ginjal Akut

Gagal ginjal akut adalah sindroma yang ditandai oleh penurunan laju filtrasi
glomerulus secara mendadak dan cepat (hitungan jam-minggu) yang mengakibatkan
terjadinya retensi produk sisa nitrogen, seperti ureum dan kreatinin.

Terdapat tiga kondisi yang dapat menyebabkan GGA:

GGA Prarenal

GGA prarenal diakibatkan oleh hipoperfusi ginjal (dehidrasi, perdarahan,

a. penurunan curah jantung, dan hipotensi oleh sebab lain)


b. GGA Renal

10
c. GGA renal diakibatkan kerusakan akut parenkim ginjal (obat, zat
kimia/toksin,
d. iskemia ginjal, dan penyakit glomerular)
e. GGA Pascarenal
f. GGA pascarenal diakibatkan obstruksi akut traktus urinarius (batu saluran
kemih,
g. hipertrofi prostat, keganasan ginekologis), ureter terjahit.
h. Fase gagal ginjal akut adalah anuria (produksi urine <100 ml/24 jam,
oliguria
i. (produksi urine <400 ml/24 jam), poliuria (produksi urine >3500 ml/24
jam)
j. Pada kasus penderita gagal ginjal akut (GGA), ginjal akan berfungsi
normal
k. kembali bila penyebabnya dapat diatasi, sehingga pengeluaran urin
kembali normal,

2.2.7 Patofisiologi

Mayoritas penyebab terjadinya penyakit ginjal progresif biasanya terjadi karena


kerusakan parenkim ginjal yang bersifat irreversibel. Elemen kunci jalur tersebut adalah
hilangnya masa nefron, hipertensi kapiler glomerular dan proteinuria. Beberapa peneliti
meyakini bahwa kerusakan ginjal ini berhubungan dengan peningkatan tekanan atau
peregangan sisa glomerulus. Hal ini terjadi akibat vasodilatasi fungsional atau
peningkatan tekanan darah dan regangan kronis pada arteriol dan glomeruli diduga
akhirnya menyebabkan sklerosis pada pembuluh. Lesi-lesi sklerosis ini akhirnya dapat
mengakibatkan penurunan ginjal lebih lanjut yang berakhir pada ESRD (Guyton dan
Hall, 2007).

2.2.8 Manifestasi Klinik

a. Gejala dan tanda PGK stadium awal (Arici, 2014)

1) Lemah

11
2) Nafsu makan berkurang

3) Nokturia, poliuria

4) Terdapat darah pada urin, atau urin berwarna lebih gelap

5) Urin berbuih

6) Sakit pinggang

7) Edema

8) Peningkatan tekanan darah

9) Kulit pucat

b. Gejala dan tanda PGK stadium lanjut (Arici, 2014)

1) Umum (lesu, lelah, peningkatan tekanan darah, tanda-tanda kelebihan volume,


penurunan mental, cegukan)

2) Kulit ( penampilan pucat, uremic frost, pruritic exexcoriations)

3) Pulmonari (dyspnea, efusi pleura, edema pulmonari, uremic lung)

4) Gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, kehilangan berat badan, stomatitis, rasa


tidak menyenangkan di mulut)

5) Neuromuskuler (otot berkedut, sensorik perifer dan motorik neuropati, kram otot,
gangguan tidur, hiperrefleksia, kejang, ensefalopati, koma)

6) Metabolik endokrin (penurunan libido, amenore, impotensi)

7) Hematologi (anemia, pendarahan abnormal)

2.2.9 Klasifikasi .
PGK dapat diklasifikasikan berdasarkan 2 hal, yaitu menurut diagnosis

12
etiologi dan menurut derajat (stage) penyakit. Klasifikasi atas dasar derajat (stage)

penyakit dibuat berdasarkan level laju filtrasi glomerulus (LFG)

2.2.10 Komplikasi

PGK juga disertai dengan penyakit lain sebagai penyulit atau komplikasi

yang sering lebih berbahaya. Komplikasi yang sering ditemukan menurut Alam &

Hadibroto (2008) antara lain :

a. Anemia

Dikatakan anemia bila kadar sel darah merah rendah, karena terjadi gangguan
pada produksi hormon eritropoietin yang bertugas mematangkan sel darah, agar tubuh
dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari.
Akibat dari gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi karena sel darah merah yang
bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi. Gejala
dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih
lambat sembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki dan tangan.

b. Osteodistrofi ginjal

Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme


mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah tinggi, akan terjadi pengendapan
garam dan kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak (klasifikasi metastatic) berupa nyeri
persendian (artritis), batu ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan
pembuluh darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan.

c. Gagal jantung

Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang memadai


ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan memompa atau daya
tampungnya berkurang. Gagal jantung pada penderita PGK dimulai dari anemia yang

13
mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik
jantung kiri (left ventricular hypertrophy/LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan
melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya (sindrom
kardiorenal).

d. Disfungsi ereksi

Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi


yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Selain akibat
gangguan sistem endokrin (yang memproduksi hormon testosteron untuk merangsang
hasrat seksual (libido)), secara emosional penderita gagal ginjal kronis menderita
perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Penyebab utama gangguan
kemampuan pria penderita gagal ginjal kronis adalah suplai darah yang tidak cukup ke
penis yang berhubungan langsung dengan ginjal.

2.2.11 Diagnosis

Setiap sistem organ utama akan dipengaruhi oleh penyakit gagal ginjal kronik, hal
itu terutama terjadi jika perkembangannya telah mencapai end-stage renal disease
(ESRD). Tanda dan gejala dihubungkan dengan uremia dan komplikasi sekunder PGK.
Secara subyektif dan obyektif, tanda dan gejala yang nampak bergantung dengan stadium
PGK yang diderita (Dipiro et al., 2005). Pendekatan diagnosis PGK mempunyai sasaran
berikut (Sukandar, 2006):

a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal

b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

c. Mengidentifikasi semua faktor yang dapat memperburuk fungsi ginjal (reversible


factors)

d. Menentukan strategi terapi rasional

e. Meramalkan prognosis

14
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis
dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006).

2.2.12 Penatalaksanaan

Evaluasi dan penanganan pasien dengan CKD memerlukan pengertiankonsep


terpisah namun saling berhubungan mengenai diagnosis, kondisi komorbid, derajat
keparahan penyakit, komplikasi penyakit dan risiko hilangnya fungsi ginjal serta peyakit
kardiovaskular.

Pasien dengan CKD harus dievaluasi untuk menentukan:

Diagnosis (jenis penyakit ginjal)

Kondisi komorbid (mis. hiperlipidemia)

Derajat keparahan, dinilai menggunakan fungsi gunjal

Komplikasi, berhubungan dengan derajat kerusakan ginjal

Risiko hilangnya fungsi ginjal

Risiko penyakit kardiovaskular

Penanganan CKD sebaiknya meliputi:

Terapi spesifik, sesuai dengan diagnosis

Evaluasi dan penanganan kondisi komorbid

Memperlambat hilangnya fungsi ginjal

Pencegahan dan penatalaksanaan penyakit kardiovaskular

Pencegahan dan penatalaksanaan komplikasi akibat berkurangnya fungsiginjal (mis.


hipertensi, anemia, asidosis, gagal tumbuh)

15
Persiapan untuk terapi gagal ginjal

Penggantian fungsi ginjal melalui dialisis dan transplantasi, jika terdapattanda dan
gejala uremia.

Rencana tindakan klinis harus dibuat untuk tiap pasien berdasarkan klasifikasi
stadium penyakit yang dibuat K/DOQI. Evaluasi ulang pengobatan sebaiknya dilakukan
pada setiap kunjungan terhadap penyesuaian dosisberdasarkan tingkat fungsi ginjal,
deteksi efek samping potensial terhadap fungsi ginjal atau komplikasi CKD, deteksi
interaksi obat, pengawasan obat terapetik.

16
2.3 Nefropati Diabetik

Nefropati Diabetika adalah penyakit ginjal akibat penyakit DM yang merupakan


penyebab utama gagal ginjal . Ada 5 fase Nefropati Diabetika. Fase I, adalah hiperfiltrasi
dengan peningkatan GFR, AER (albumin ekretion rate) dan hipertropi ginjal. Fase II
ekresi albumin relative normal (<30mg/24j) pada beberapa penderita mungkin masih
terdapat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam berkembang menjadi
Nefropati Diabetik. Fase III, terdapat mikro albuminuria (30-300mg/24j). Fase IV,
Difstick positif proteinuria, ekresi albumin >300mg/24j, pada fase ini terjadi penurunan
GFR dan hipertensi biasanya terdapat. Fase V merupakan End Stage Renal Disease
(ESRD), dialisa biasanya dimulai ketika GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt.

2.3.1 Etiologi

Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit
DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati
Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk
mencapai fase Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika).(9)

2.3.2. Faktor Resiko

Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati Diabetika. Dari
studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor resiko antara lain:

1. Hipertensi dan prediposisi genetika

2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika

a. Antigen HLA (human leukosit antigen)

Beberapa penelitian menemukan hubungan Faktor genetika tipe antigen HLA


dengan kejadian Nefropati Diabetik. Kelompok penderita diabetes dengan nefropati lebih
sering mempunyai Ag tipe HLA-B9

b. Glukose trasporter (GLUT)

17
Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai potensi untuk mendapat
Nefropati Diabetik.

3. Hiperglikemia

4. Konsumsi protein hewani(10)

2.3.3 Patofisiologi

Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah pembesaran
ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus dan
sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan
endogen pada NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan
volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen, lebih
sensitive terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen,dan mungkin inilah
yang dapat menerangkan mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan
intraglomeruler naik dan ada hiperfiltrasi glomerus.

2.3.4 Gambaran Klinik

Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM) dapat dibedakan
dalam 5 tahap:

1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)

Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai:

- Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerules mencapai 20-50% diatas niali


normal menurut usia.
- Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x.
- Glukosuria disertai poliuria.

- Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min. 5

2. Stadium II (Silent Stage)

Ditandai dengan:

18
- Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min)
- Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus ke normal. Awal
kerusakan struktur ginjal

3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)

Stadium ini ditandai dengan:

- Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai menurun


- Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara dengan eksresi protein 30-
300mg/24j.
- Awal Hipertensi.

4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage)

Stadium ini ditandai dengan:

- Proteinuria menetap(>0,5gr/24j).
- Hipertensi
- Penurunan laju filtrasi glomerulus.

5. Stadium V (End Stage Renal Failure)

Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus ke normal. Awal


kerusakan struktur ginjal .

Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan dijumpai fibrosis
ginjal.Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk sampai pada stadium IV dan 5-7
tahun kemudian akan sampai stadiumV.

Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi Nefropati Diabetika antara


diabetes mellitus tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM). Mikroalbuminuria seringkali
dijumpai pada NIDDM saat diagnosis ditegakkan dan keadaan ini serigkali reversibel
dengan perbaikan status metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe II
merupakan prognosis yang buruk.

19
2.3.5Diagnosis

Atas dasar penelitian kasus-kasus di Surabaya, maka berdasarkan visibilitas,


diagnosis, manifestasi klinik, dan prognosis, telah dibuat kriteria diagnosis klasifikasi
Nefropati Diabetika tahun 1983 yang praktis dan sederhana. Diagnosis Nefropati
Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti di bawah ini:

1. DM

2. Retinopati Diabetika

3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa


penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus kadar
kreatinin serum >2,5mg/dl.(8)

Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:

1. Anamnesis

Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas dari
gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polipagi,
penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar
sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotens.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Mata

Pada Nefropati Diabetika didapatkan kelainan pada retina yang merupakan tanda
retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan

Funduskopi, berupa :

1). Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam


kapiler retina.

2). Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler


vena.

20
3). Eksudat berupa :

a). Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma yang lama.

b). Cotton wool patches.

Berwarna putih, tak berbatas tegas, dihubungkan dengan iskhemia retina.

4). Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi
kapiler.

5). Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas


mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.

6). Neovaskularisasi

Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end stage,
didapatkan perubahan pada :

− Cor cardiomegali

− Pulmo oedem pulmo(3)

3. Pemeriksaan Laboratorium

Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2 minggu


tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria satu kali
pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.

4. Penatalaksanaan

A. Nefropati Diabetik Pemula (Incipatien diabetic nephropathy)

1. Pengendalian hiperglikemia

Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk


mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan mikroangiopati.

a. Diet

21
Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit Endokrinologi &
Metabolisme, misalnya reducing diet khusus untuk pasien dengan obesitas.
Variasi diet dengan pembatasan protein hewani bersifat individual tergantung dari
penyakit penyerta :

− Hiperkolesterolemia

− Urolitiasis (misal batu kalsium)

− Hiperurikemia dan artritis Gout

− Hipertensi esensial

. Pengendalian hiperglikemia

1). Insulin

Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting .

a). Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah penimbunan toksin seluler (polyol)
dan metabolitnya (myoinocitol)

b). Isnulin dapat mencegah kerusakan glomerulus

c). Mencegah dan mengurangi glikolisis protein glomerulus yang dapat menyebabkan
penebalan membran basal dan hilangnya kemampuan untuk seleksi protein dan
kerusakan glomerulus (permselectivity).

d)Mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone (GH) atau insulin-like


growth factors (IGF-I) sebagai pencetus nefromegali.

e). Mengurangi capillary glomerular pressure (Poc)

(2) Obat antidiabetik oral (OADO)

22
Alternatif pemberian OADO terutama untuk pasien-pasien dengan tingkat edukasi rendah
sebagai upaya memelihara kepatuhan (complience). Pemilihan macam/tipe OADO harus
diperhatikan efek farmakologi dan farmakokinetik antara lain :

a). Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.

b). Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.

c). Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth muscle cell (ASMC)

d). Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.

2. Pengendalian hipertensi

Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan berhubungan


dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat antihipertensi sering mengalami
perubahan, (b) kenaikan risiko efek samping, (c) hiperglikemia sulit dikendalikan, (d)
kenaikan lipid serum.

Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka morbiditas dan


mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan mencegah nefropati diabetik. Pemilihan
obat antihipertensi lebih terbatas dibandingkan dengan pasien angiotensin-corverting
(EAC)

a. Golongan penghambat enzim angiotensin-coverting (EAC) Hasil studi invitro


pada manusia penghambat EAC dapat mempengaruhi efek Ang-II (sirkulasi
dan jaringan).

b. Golongan antagonis kalsium

Mekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek samping):

1) Efek inotrofik negatif


2) Efek pro-aritmia
3) Efek pro-hemoragik
Peneliti lain masih mengajurkan nifedipine GITSs atau non dihydropiridine.

23
c. Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus memperhatikan
kondisi setiap pasien :
 Blokade β-kardioselektif dengan aktivitaas intrinsik simpatetik
minimal misal atenolol.
 Antagonis reseptor α-II misal prozoasin dan doxazosin. Vasodilator
murni seperti apresolin, minosidil kontra indikati untnuk pasien yang
sudah diketahui mengidap infark miokard.

24
2.4 Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik adalah salah satu komplikasi mikrovaskular pada diabetes


mellitus (DM) tipe 1 dan 2 yang terjadi akibat proses hiperglikemia dalam jangka
waktu yang lama. Retinopati diabetik diklasifikasikan atas non proliferative diabetic
retinopathy (NPDR) dan proliferative diabetic retinopathy (PDR). Non proliferative
diabetic retinopathy merupakan tahap awal dari retinopati diabetik yang terdiri dari
mild, moderate, severe dan very severe NPDR. Proliferative diabetic retinopathy
yang merupakan tahap lanjut dari retinopati diabetik terdiri atas early, high risk dan
advanced PDR (American Academy of Ophthalmology and Staff, 2011-2012a; Chew
dan Ferris III, 2006).

2.4.1 Epidemiologi

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering di jumpai,


terutama di negara barat.1 Kira-kira 1 dari 900 orang berusia 25 tahun mengidap diabetes
dan kira-kira 1 dari 25 orang berusia 60 tahun adalah penyandang diabetes. Prevalensi
retinopati diabetik proliferatif pada diabetes tipe 1 dengan lama penyakit 15 tahun adalah
50%.1 Retinopati diabetik jarang ditemukan pada anak-anak dibawah umur 10 tahun
tanpa memperhatikan lamanya diabetes. Resiko berkembangnya retinopati meningkat
setelah pubertas.

2.4.2 Etiologi

Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa


lamanya terpapar pada hiperglikemia ( kronis ) menyebabkan perubahan fisiologi dan
biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.4 Hal ini
didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan
diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa telah
diperoleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan lama penyakit lebih sulit
ditentukan secara tepat. Perubahan abnormalitas sebagian besar hematologi dan biokimia
telah dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain :

• Adhesif platelet yang meningkat.

• Agregasi eritrosit yang meningkat.

25
• Abnormalitas lipid serum.

• Fibrinolisis yang tidak sempurna.

• Abnormalitas dari sekresi growth hormon

• Abnormalitas serum dan viskositas darah.

2.4.5Klasifikasi

Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, maka retinopati diabetik dibagi


menjadi :

1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif, atau dikenal juga dengan retinopati diabetik dasar
( Background Diabetic Retinopathy ).

2. Retinopati Diabetik Proliferatif

2.4.6 Patofisiologi

1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif

Merupakan bentuk yang paling umum dijumpai. Merupakan cerminan klinis dari
hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh yang terkena. Disebabkan oleh
penyumbatan dan kebocoran kapiler , mekanisme perubahannya tidak diketahui tapi telah
diteliti adanya perubahan endotel vaskuler ( penebalan membran basalis dan hilangnya
pericyte ) dan gangguan hemodinamik ( pada sel darah merah dan agregasi platelet )
Disini perubahan mikrovaskular pada retina terbatas pada lapisan retina ( intraretinal ),
terikat ke kutub posterior dan tidak melebihi membran internal.

Karakteristik pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multiple yang


dibentuk oleh kapiler-kapiler yang membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti
titik-titik, vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, bercak perdarahan
intraretinal. Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyala api
karena lokasinya didalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Sedangkan

26
perdarahan bentuk titik-titik atau bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam
tempat sel-sel akson berorientasi vertikal.

Retinopati Diabetik Preproliferatif dan Edema Makula

Merupakan stadium yang paling berat dari Retinopati Diabetik Non Proliferatif.
Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler mikrovaskuler dan kebocoran plasma
yang berlanjut, disertai iskemik pada dinding retina ( cotton wool spot, infark pada
lapisan serabut saraf ). Hal ini menimbulkan area non perfusi yang luas dan kebocoran
darah atau plasma melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari stadium ini adalah cotton
wool spot, blot haemorrage, intraretinal Microvasculer Abnormal ( IRMA ), dan
rangkaian vena yang seperti manik-manik.1,3 Bila satu dari keempatnya dijumpai ada
kecendrungan untuk menjadi progresif ( Retinopati Diabetik Proliferatif ), dan bila
keempatnya dijumpai maka beresiko untuk menjadi Proliferatif dalam satu tahun.

Edema makula pada retinopati diabetik non proliferatif merupakan penyebab


tersering timbulnya gangguan penglihatan.2 Edema ini terutama disebabkan oleh
rusaknya sawar retina-darah bagian dalam pada endotel kapiler retina sehingga terjadi
kebocoran cairan dan konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya. Edema ini dapat
bersifat fokal dan difus. Edema ini tampak sebagai retina yang menebal dan keruh
disertai mikroaneurisma dan eksudat intraretina sehingga terbentuk zona eksudat kuning
kaya lemak bentuk bundar disekitar mikroaneurisma dan paling sering berpusat dibagian
temporal makula. Retinopati Diabetik Non Proliferatif dapat mempengaruhi fungsi
penglihatan melalui 2 mekanisme yaitu:

• Perubahan sedikit demi sedikit dari pada penutupan kapiler intraretinal yang
menyebabkan iskemik makular.

• Peningkatan permeabilitas pembuluh retina yang menyebabkan edema makular.

2. Retinopati Diabetik Proliferatif

Merupakan penyulit mata yang paling parah pada Diabetes Melitus. Pada jenis
ini iskemia retina yang progresif akhirnya merangsang p

27
GEJALA KLINIS

Gejala subjektif yang dapat ditemui dapat berupa :

• Kesulitan membaca

• Penglihatan kabur

• Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata

• Melihat lingkaran-lingkaran cahaya

• Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip

Gejala Objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa :7

• Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan


bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus
posterior.

• Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat
mikroaneurisma dipolus posterior.

• Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan berkelok-kelok.

• Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu
iregular, kekuning-kuningan Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung.
Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.

• Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada
pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan
berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan
dengan iskemia retina.

• Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi ) pada retina biasanya terletak dipermukaan


jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok , dalam, berkelompok, dan
ireguler. Mula–mula terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah

28
preretinal, ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat
menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid ( preretinal ) maupun perdarahan
badan kaca.

• Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula
sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan.

29
2.4.7 Pemeriksaan Penunjang

Untuk dapat membantu mendeteksi secara awal adanya edema makular pada
retinopati diabetik non proliferatif dapat digunakan stereoscopic biomicroscopic
menggunakan lensa +90 dioptri.2 Disamping itu Angiografi Fluoresens juga sangat
bermanfaat dalam mendeteksi kelainan mikrovaskularisasi pada retinopati diabetik.
Dijumpainya kelainan pada elektroretinografik juga memiliki hubungan dengan
keparahan retinopati dan dapat membantu memperkirakan perkembangan retinopati

2.4.8Penatalaksanaan

Sejauh ini belum ada pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mencegah
perkembangan retinopati diabetik.

A. Pencegahan

Suatu fakta dikemukakan bahwa insiden retinopati diabetik ini tergantung pada
durasi menderita diabetes mellitus dan pengendaliannya. Hal sederhana yang terpenting
yang dapat dilakukan oleh penderita diabetes untuk dapat mencegah terjadinya retinopati
adalah dengan mengontrol gula darah, selain itu tekanan darah, masalah jantung, obesitas
dan lainnya harus juga dikendalikan dan diperhatikan.

B. Pengobatan

Fokus pengobatan bagi pasien retinopati diabetik non proliferatif tanpa edema
makula adalah pengobatan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemuk lainnya. Terapi
Laser argon fokal terhadap titik-titik kebocoran retina pada pasien yang secara klinis
menunjukkan edema bermakna dapat memperkecil resiko penurunan penglihatan dan
meningkatka fungsi penglihatan . Sedangkan mata dengan edema makula diabetik yang
secara klinis tidak bermakna maka biasanya hanya dipantau secara ketat tanpa terapi
laser.

Untuk penatalaksanaan konservatif penglihatan monokular yang disebabkan oleh


perdarahan korpus vitreum diabetes pada pasien binokular adalah dengan membiarkan
terjadinya resolusi spontan dalam beberapa bulan.

30
Disamping itu peran bedah vitreoretina untuk retinopati diabetik proliferatif
masih tetap berkembang, sebagai cara untuk mempertahankan atau memulihkan
penglihatan yang baik.

2.4.8 PROGNOSIS

Pada mata yang mengalami edema makular dan iskemik yang bermakna akan
memiliki prognosa yang lebih jelek dengan atau tanpa terapi laser, daripada mata dengan
edema dan perfusi yang relatif baik.

31
2.5 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis
dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi
insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

Jenis-jenis diabetes melitus

2. Diabetes mellitus tipe 1

Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan
kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Diabetes tipe ini
disebabkan kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun.
Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan
sel σ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel-sel
σ memproduksi hormon somastatin. Namun demikian serangan autoimun secara selektif
menghancurkan sel-sel β. Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar
pankreas langsung mengakibatkan defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah
yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defesiensi
insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1 juga menjadi tidak
normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-
sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi
glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita DM tipe 1, sekresi glukagon akan tetap
tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia, hal ini memperparah kondisi
hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM tipe
1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapatkan terapi insulin.

Diabetes mellitus tipe 2

Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang dewasa tetapi
kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2 karena sel-sel sasaran
insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut
resietensi insulin.

32
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul
gangguan gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan.
Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun
sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada
penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Obesitas yang pada umumnya
menyebabkan gangguan pada kerja insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi
pada diabetes tipe ini, dan sebagian besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk.
Selain terjadi penurunan kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada
sebagian besar dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu
defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel α terhadap glukosa
dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua kerusakan tersebut
dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang mengurangi hiperglikemia
tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

Diabetes mellitus gestasional

Diabetes mellitus gestasional adalah keadaaan diabetes yang timbul selama masa
kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara. Keadaan ini terjadi karena
pembentukan hormon pada ibu hamil yang menyebabkan resistensi insulin (Tandra,
2008).

2.5.2Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis DM biasanya diikuti dengan adanya gejala poliuria, polidipsia,


polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.
Diagonosis DM dapat dipastikan apabila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu
≥ 200 mg/dl dan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel. Kriteria penegakan diagnosis diabetes mellitus

33
2.5.3 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang harus dilakukan


adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dalam
langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasi dengan
langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau
kombinasi keduanya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

Terapi non farmakologi

1. Pengaturan diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,
protein dan lemak. Tujuan pengobatan diet pada diabetes adalahmakanan dengan
komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak. Tujuan pengobatan
diet pada diabetes adalah:

a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar


normal.

b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.

c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.

d. Meningkatkan kualitas hidup.

Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus, yang


terpenting dari semua terapi nutrisi adalah pencapian hasil metabolis yang optimal dan

34
pencegahan serta perawatan komplikasi. Untuk pasien DM tipe 1, perhatian utamanya
pada regulasi administrasi insulin dengan diet seimbang untuk mencapai dan memelihara
berat badan yang sehat. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi
resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap stimulus glukosa.

2.Olah raga

Berolah secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Prinsipya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara
teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Beberapa contoh olah raga yang
disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya.
Olah raga akan memperbanyak jumlah

Terapi farmakologi

1. Insulin

Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel β pankreas dalam merespon
glukosa. Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2
rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino.
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme,
efek kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel.

Macam-macam sediaan insulin:

1. Insulin kerja singkat

Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah
setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.

2. Insulin kerja panjang (long-acting)

Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan
jaringan dan menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda yang
digunakan adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau mengubah bentuk
fisiknya, contoh: Monotard Human.

35
3. Insulin kerja sedang (medium-acting)

Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan


mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh: Mixtard 30
HM (Tjay dan Rahardja, 2002). Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2
kemudian akan memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk
pasien yang sudah tidak dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi
metformin dan sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah insulin
(Waspadji, 2010).

2. Obat Antidiabetik Oral

Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes


mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan
satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

a. Golongan Sulfonilurea

Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas, oleh sebab itu
hanya efektif apabila sel-sel β Langerhans pankreas masih dapat berproduksi Penurunan
kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea
disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini
merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang
serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).

Sulfonilurea generasi pertama

Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati. Masa
kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002). Dalam
darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi
karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan Suharto, 1995)

Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa


paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1-hidroksilheksamid
yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya daripada asetoheksamid sendiri. Selain itu

36
itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa paruh yang lebih panjang, kira-kira
4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995).

Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam hati dan
metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat albumin, masa paruh
kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan
dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995). Tolazamid diserap lebih lambat di usus
daripada sulfonilurea lainnya dan efeknya pada glukosa darah tidak segera tampak dalam
beberapa jam setelah pemberian. Waktu paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).

Sulfonilurea generasi kedua

Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali lebih


kuat daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak efektif lagi,
risiko hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya berlainan dengan
sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu menstimulasi sekresi
insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan) (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat
ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit diekresi melalui urin dan sisanya
diekskresi melalui empedu dan ginjal (Handoko dan Suharto, 1995). Glipizid memiliki
waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme dalam hati menjadi produk yang aktif
dan 10% diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal (Katzung, 2002).

Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling


rendah dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif dan
dosis harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu
paruh 5 jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif
(Katzung, 2002).

b. Golongan Biguanida

Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan glukosa darah
melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan
produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak
meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005).

37
c. Golongan Tiazolidindion

Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa penurunan
kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot,
jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak
dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran
kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
menyebabkan kelelahan sel β pankreas.

Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.

d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase

Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam
saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandrial. Obat ini bekerja
di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada
kadar insulin. Contoh: Acarbose (Tjay dan Rahardja, 2002).

38
2.6 Hipertensi

Hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami kenaikan tekanan darah


di atas normal atau kronis (dalam waktu yamg lama). Menurut WHO, tidak bergantung
pada usia, pada keadaan istirahat batas normal teratas untuk tekanan sistolik 140 mmHg,
sedangkan tekan diastolik 90 mmHg. Daerah batas yang harus diamati bila sistolik 140-
149 mmHg dan diastolik 90-94 mmHg (Anonim, 2008).

2.6.1 Jenis-jenis hipertensi

Hipertensi primer (essensial)

Hipertensi primer meliputi lebih kurang 90% dari seluruh pasien hipertensi dan
10% lainnya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Oleh karena itu, upaya penanganan
hipertensi primer lebih mendapatkan prioritas. Peninggian tekanan darah tidak jarang
merupakan satu-satunya tanda pada hipertensi primer. Bergantung pada tingginya
tekanan darah gejala yang timbul dapat berbeda-beda, kadang-kadang hipertensi primer
berjalan tanpa gejala, dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target
seperti ginjal, mata, otak, dan jantung.

Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit


komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau renovaskular adalah
penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung atupun
tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan
tekanan darah (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

2.6.2 Klasifikasi Tekanan Darah

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah
pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1
dan hipertensi derajat 2 dapat dilihat pada tabel

39
2.6.3 Pengelolaan Hipertensi

Terapi non farmakologi

Terapi ini dapat dilakukan dengan mengubah gaya hidup seseorang. Semua
pasien dan individu dengan riwayat keluarga hipertensi perlu dinasehati mengenai gaya
hidup, seperti menurunkan kegemukan, asupan garam (total, < 5 g/hari), asupan
lemakjenuh dan alkohol (pria < 21 unit dan perempuan < 14 unit per minggu), banyak
makan buah dan sayuran, tidak merokok dan berolah raga yang teratur, semua ini terbukti
dapat merendahkan tekanan darah dapat menurunkan penggunaan obat-obat (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2006).

Terapi farmakologi

Selain cara non farmakologi, penatalaksanaan utama hipertensi adalah obat.


Keputusan untuk memulai memberikan obat antihipertensi berdasarkan beberapa faktor
seperti derajat peninggian tekanan darah, terdapatnya kerusakan organ target, dan
terdapatnya manifestasi klinis penyakit kardiovaskular atau faktor risiko lain Adapun
obat-obat yang digunakan adalah: Diuretics, Angiostensin Converting Enzyme Inhibitor
(ACE Inhibitor), Angiostensin Reseptor Blocker (ARB), Beta Blocker (BBs), Calcium
Chanel Blocker (CCB) (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

40
Komplikasi Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Hipertensi

Secara umum diperkirakan hipertensi dijumpai dua kali lebih banyak pada
populasi diabetes dibanding non diabetes. Hipertensi diketahui mempercepat dan
memperberat penyulit-penyulit akibat diabetes seperti penyakit jantung koroner, stroke,
nefropati diabetik, retinopati diabetik, dan penyakit kardiovaskular akibat diabetes, yang
meningkat dua kali lipat bila disertai hipertensi. Hipertensi merupakan faktor utama dari
harapan hidup dan komplikasi pada pasien diabetes dan menentukan evaluasi dari
nefropati dan retinopati penderita diabetes khususnya.

Adapun salah satu penyebab terjadinya hipertensi adalah resistensi


insulin/hiperinsulinemia. Kaitan hipertensi primer dengan resistensi insulin telah
diketahui sejak beberapa tahun silam, terutama pada pasien gemuk. Insulin merupakan
zat penekan karena meningkatkan kadar ketekolamin dan reabsorpsi natrium (Saseen dan
Carter, 2005).

Hubungan antara diabetes tipe 2 dan hipertensi lebih kompleks dan tidak
berkaitan dengan nefropati. Pada pasien diabetes tipe 2, hipertensi seringkali bagian dari
sindrom metabolik dari resistensi insulin. Hipertensi mungkin muncul selama beberapa
tahun pada pasien ini sebelum diabetes mellitus muncul. Hiperinsulinemia memperbesar
patogenesis hipertensi dengan menurunkan ekskresi sodium pada ginjal, aktivitas
stimulasi dan tanggapan jaringan pada sistem saraf simpatetik, dan meningkatkan
resistensi sekeliling vaskular melalui hipertropi vaskular. Penatalakasanaan yang giat dari
hipertensi (<130/80 mmHg) mengurangi perkembangan komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskular (Saseen dan Carter, 2005).

Penatalaksanaan terapi pada diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi

Terapi Non Farmakologi

Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi morbiditas


dan mortalitas akibat diabetes sendiri dan akibat hipertensinya. Dalam penanganan
diabetes dengan komplikasi hipertensi, diperlukan perhatian khusus seperti nefropati,
retinopati, gangguan serebrovaskular, obesitas, hiperinsulinemia, hipokalemia,
hiperkalemia, impotensi penyakit vaskuler perifer, neuropati autonom, dan dislipidemia.

41
Pengobatan non farmakologi berupa pengurangan asupan garam, penurunan berat badan
untuk pasien gemuk, dan berolah raga (Saseen dan Carter, 2005)

Terapi farmakologi

Penanggulangan farmakologi dilakukan secara individual dengan memperhatikan


berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus mempunyai kelainan
metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat. Obat antihipertensi yang
ideal untuk penyandang diabetes mellitus sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Efektif menurunkan tekanan darah

2. Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap hipo-


hiperglikemia.
3. Tidak mempengaruhi fraksi lipid
4. Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai,
tidak meningkatkan risiko impotensi.
5. Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif
Adapun obat yang digunakan untuk pasien hipertensi dengan diabetes mellitus
adalah senagai berikut:
1. Angiostensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor
ACE Inhibitor menurunkan tekanan darah dengan menghambat perubahan
angiostensin I menjadi angiostensin II, dimana angiostensin II adalah
vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2006).
ACE inhibitor sangat dianjurkan dalam mengendalikan diabetes. Obat ini
merupakan pilihan utama untuk penyakit hipertensi dengan kondisi diabetes.
Rekomendasi ini berdasarkan fakta yang menunjukan penurunan hipertensi
yang berhubungan dengan komplikasi, termasuk penderita sakit jantung,
peningkatan penyakit ginjal, dan stroke. Terapi ACE inhibitor mungkin
merupakan bahan antihipertensif yang sangat penting bagi pasien diabetes
(Saseen dan Carter, 2005)
Contoh obat-obat golongan ini yaitu Captropil, Lisinopril, Ramipril,
Enalapril, Tanapres (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

42
2. Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB)
ARB menurunkan tekanan darah dengan menghambat secara langsung
reseptor angiostensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstrisi,
pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan
konstriksi arteriol efferent dari glomelurus ( Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2006). ARB digunakan untuk mengurangi progresi pada diabetik nefropati,
diabetes mellitus tipe 2 dengan protenuria dan kejadian penyakit ginjal.
Contoh obat-obat golongan ini yaitu Valsartan, Losartan, Irbesartan,
Telmisartan, Olmesartan (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

3. Diuretics
Diuretik hemat kalium bekerja pada hilir tubuli distal dan duktus kolingentes
daerah korteks dengan cara menghambat reabsorbsi natrium dan sekresi
kalium dengan jalan antagonisme kompetitif. Contoh diuretik hemat kalium
adalah spironolakton. Diuretik ini menyebabkan diuresis tanpa menyebabkan
kehilangan kalium dalam urin (Anonim, 2009).

4. Beta Bocker (β-blocker)


Beta Blocker ditujukan untuk resiko kardiovaskular pada pasien diabetes,
dan bahan ini digunakan ketika dibutuhkan. Beta Blocker telah ditunjukan
paling tidak pada satu studi menjadi sama efektif dengan ACE Inhibitor dalam
hal perlindungan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien diabetes (Saseen
dan Carter, 2005).

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol adalah penyekat beta yang


kardioselektif, jadi lebih aman daripada penyekat beta yang nonselektif pada
penyakit arteri perifer dan diabetes yang karena alasan khusus harus diberi
penyekat beta. Tetapi kardioselektif adalah fenomena yang tergantung dosis.
Pada
dosis yang lebih tinggi, penyekat beta yang kardioselektif kehilagan
selektifitas
relatifnya untuk reseptor beta-1 dan akan memblok reseptor beta-2 seefektif

43
memblok reseptor beta-1 (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006)

5. CCB (Calcium Chanel Blocker)


CCB direkomendasikan sebagai pilihan untuk merawat hipertensi pada
pasien diabetes. CCB tidak mempengaruhi sensivitas insulin atau
metabolisme glukosa dan nampak menjadi obat antihipertensif yang ideal
untuk pasien diabetes dan hipertensi. Bagaimanapun bukti menunjukkan
penurunan kardiovaskular dengan CCB pada pasien diabetes tidak
meyakinkan sebagaimana antihipertensif yang lain (diuretic, beta blocker,
ACE inhibitor, dan ARB) (Sassen dan Carter, 2005).
CCB tidak berbahaya bagi penderita diabetes, meskipun demikian, CCB
dianggap sebagai bahan kedua setelah beta blocker, ACE inhibitor, dan ARB.
Target tekanan darah pada pasien diabetes adalah < 130/80 mmHg karena
kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau lebih antihipertensif
untuk mencapai tujuan ini, CCB merupakan bahan yang berguna dalam
populasi ini, khususnya bila dikombinasi dengan bahan lain (Saseen dan
Carter, 2005). Contoh obat-obat golongan ini yaitu Amlodipin, Felodipin,
Nifedipin, Diltiazem, dan Verapamil (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).

44
BAB III

ANALISA KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : tj. Balik
No MR : 008154
Pekerjaan : IRT
Tgl Masuk : 24/11/2017

Keluhan Utama:

Sembab pada wajah kedua kaki dan kedua tangan sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:

- Sembab pada wajah kedua kaki dan kedua tangan sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit.
- Nyeri pada saat menelan
- Perut kembung
- Pernapasan ngorok saat tidur telentang
- Penurunan nafsu makan (+)
- Badan terasa lelah (+)
- Kaki dan tangan kebas
- Mudah lelah
- Pandangan kabur
- BAB berdarah sejak ÷3 jam sebelum masuk rumah sakit

45
Riwayat Penyakit Dahulu

-Riwayat penyakit Diabetes Melitus (+) sejak 15 tahun yang lalu terkontrol

- Riwayat penyakit hipertensi (+) sejak 2 tahun yang lalu , terkontrol

-Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat penyakit Diabetes Melitus disangkal

- Riwayat penyakit hipertensi disangkal

-Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat Pengobatan

Pasien Minum Obat Metformin, rutin

Pasien minum obat Amlodipin 5 mg, teratur

Riwayat Pribadi dan sosial:

Seorang wanita berusia 54 tahun sudah menikah dan memiliki 4 orang anak.
Tinggal bersama suami dan anaknya.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis cooperatif

Tekanan darah : 200/100 mmHg

Nadi : 82x / menit

Napas : 18 x/ menit

46
Suhu : 36,3

Bb : 56 kg

Tb : 148 cm

IMT :

Kulit : turgor kulit normal

Selaput lendir : dalam batas normal

Kelenjer Getah Bening : Tidak ada pembesaran

Kepala : Normochepal

Leher : JVP 5-2cmH20

Jantung : inspeksi : ictus coris tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Kanan atas : RIC II linea parasternalis dextra

Kiri atas: RIC II Linea parasternalis sinistra

Kiri bawah : RIC iv Linea midclavicularis sinistra

Auskultasi : bunti jantung S1 dan S2 (+) reguler, murmur (-), gallop(-)

Paru : Inspeksi : simetris kanan dan kiri

Palpasi : fremitus taktil kanan dan kiri sama

Perkusi : sonor diseluruh lapang paru

47
Auskultasi : rhonki (-/-), wheezing (-/-), ekspirasi memanjang (-/-)

Perut : inspeksi : perut tampak sedikit membuncit

Palpasi : NT (-), NL (-), Hepar dan lien tidak tiraba

Perkusi : shifting dulnes (+)

Auskultasi : bising usung (+) normal

Anggota gerak :

- Akral hangat : + +

+ +

- Edema : + +

+ +

Laboratorium:

Tgl 24/11-2017

- Hemoglobin : 8,7 gr/ dl


- Hematokrit : 20 %
- Leukosit : 8.530 /ul
- Trombosit : 418000/ul
- Gdr : 65 mg%
- Ureum : 62 mg/ dl
- Creatinin : 3,25 mg/dl

25/11-2017

Urinalisa

Warna : kuning

Ph : 6,0

48
Sedimen

- Eritrosit = -
- Silinder = negatif
- Lekosit = 1-2/ LBP
- Kristal = negatif
- Epitel = 0-2 / LPK

Diagnosis :

Diabetes melitus tipe II + CKD + CHF + Hipertensi Emergency

Therapi :

-Ivfd RL 8 jam / kolf

-captopril 1x25 mg dublingual

- inj lasix 2x1 (iv)

-candesartan 1x15 mg

- amlodipin 1x 10 mg

- dulcolax syr 3x1 mg

Follow up

28/11/2017

Subject : sulit menelan

Sakit mwenelan

49
Kaki sembab

Penglihatan kabur

Objektif : kesadaran: cmc

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Tekanan darah : 150/90 mmhg

Nadi : 78 x/ menit

Nafas : 18 x/ menit

Suhu : 36,5

Pemeriksaan labor :

-ureum : 49 mg/dl

- creatinin : 3,84 mg/dl

Assasment :

DM tipe II + CKD + CHF + Neuropati

Planning :

Konsul mata

29/11/2017

Subjek : susah tidur

Sakit kepala

50
Sulit menelan

Objektif :

Kesadaran = CMC

Keadaan umum = baik

Tekanan darah = 140/90 mmHg

Nadi = 80 x/ menit

Napas = 18 x/menit

Suhu = 36,2 C

Hasil labor :

Urinalisa

Warna = kuning

Bood = +++

Protein =+

Glukosa = ++

Sedimen

Eritrosit = 20-30 / lbp

Leukosit = 10-15/lbp

Pemeriksaan faal hati :

Protein: 5,37

Albumin : 2,47

51
Globulin : 2,90

Pemeriksaan laboratorium:

faal hati

-protein = 5,37 gr/dl

Urinalisa

-warna = kuning

-blood = +++

-bilirubin = negatif

-urobilinogen = -

-protein =+

-glukosa = ++

Jawaban Konsul Mata : VOD 3/60

VOS 6/30

Retinopati diabetik

Assesment : DM tipe II + CKD + CHF + Nefropati + Retinopati

Planning : tranfusi 2 unit PRC

52
-IVFD RL 8 jam/kolf

-captoril 1x25 mg

-Lasix inj 2x1

- candesartan 1x16 mg

- paracetamol 3x500 mg

- Azitromicin 1x500 mg

30/11-2017

Subjectif : - susah tidur

 Sakit kepala
 Sulit menelan
 Terasa sembab pada wajah
 BAB keras, berdarah , ada massa yang keluar dari anus

Objektif :

Kesadaran = CMC

Keadaan umum = baik

Tekanan darah = 210/100 mmHg

Nadi = 80 x/ menit

Napas = 18 x/menit

Suhu = 36,2 C

Hasil laboratorium :

53
-ureum : 51 mg/dl

- creatinin : 3,93 mg/dl

Assesment : DM tipe II + CKD + CHF + Hipertensi Emergency + Neuropati +


Retinopati + Hemoroid

Planning : - IVFD RL 8 Jam/ kolf

- Captopril 1x25 mg
- Inj lasix 2x1 amp
- Candesartan 2x16 mg
- Opilax
- Dulcolax supp 1x

KONSUL THT

2/12-2017

Subjektif :

Sakit kepala

Sulit menelan

BAB berdarah segar dan ada massa

Objektif :

Kesadaran = CMC

Keadaan umum = baik

Tekanan darah = 180/90 mmHg

Nadi = 80 x/ menit

Napas = 18 x/menit

54
Suhu = 36,2 C

Hasil labor :

Urinalisa

Warna = kuning

Bood = +++

Protein =+

Glukosa = ++

Sedimen

Eritrosit = 20-30 / lbp

Leukosit = 10-15/lbp

Pemeriksaan faal hati :

Protein: 5,27

Albumin : 2,47

Globulin : 2,90

Pemeriksaan laboratorium:

faal hati

-protein = 5,37 gr/dl

55
Urinalisa

-warna = kuning

-blood = +++

-bilirubin = negatif

-urobilinogen = -

-protein =+

-glukosa = ++

Jawaban Konsul THT = Tidak ada gangguan pada bagian THT

Assesment : DM tipe II + CKD + CHF + Nefropati + Retinopati

Planning :aff infus

lasix inj 2x1 amp

Ceftriaxone

Anti hemoroid supp

Amlodipin 1x 10 mg

GG 3X1 tab

Azitromicin 1x 500 mg

Candesartan 2x16 mg

Opilac syr 3x1

56
4/12-2017

Subjek : tidak ada keluhan

Objektif :

Kesadaran = CMC

Keadaan umum = baik

Tekanan darah = 140/90 mmHg

Nadi = 80 x/ menit

Napas = 18 x/menit

Suhu = 36,2 C

Hasil laboratorium tgl 02-12-2017

Hemoglobin : 10,1 g/dl

Hematokrit : 29,1 u/l

Leukosit : 8.530 /ul

Trombosit : 418000/ul

Assesment:

DM tipe II + CKD + CHF + Hipertensi Emergency + Neuropati + Retinopati +


Hemoroid

Planning : lasix inj 2x1

Ceftriaxone 1x2

57
Anti hemoroid sup 1x1

Amlodipin 1x10 mg

Paracetamol 3x500 mg

Candesartan 2x16 mg

Boleh pulang

58

Anda mungkin juga menyukai