Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM

Dosen Pembimbing: Ichda Archamatur, S.H.I

Disusun oleh:
1. Aulia Firda 25010116120005
2. Baskara Petar Marhaensa 25010116120007
3. Yolanda Indah Saputri 25010116120040
4. Rery Afianto 25010116120048
5. Ari Hatanti 25010116120050
6. Eka Kristia Ayu A 25010116120064

UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam
perspektif, ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan
pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Pemikiran tentang hakikat manusia sejak zaman
dahulu kala sampai sekarang belum juga berakhir dan memiliki kemungkinan hal tersebut
tidak akan pernah berakhir. Pada kenyataannya, orang menyelidiki manusia itu dari berbagai
sudut pandang. Banyak yang menyelidiki manusia dari segi fisik yaitu antropologi fisik,
adapula yang menyelidiki dengan sudut pandang budaya yaitu antropologi budaya,
sedangkan yang menyelidiki manusia dari sisi hakikatnya disebut antropologi filsafat.
Memikirkan dan membicarakan hakikat manusia inilah yang menyebabkan orang tak henti-
hentinya berusaha mencari jawaban yang memuaskan tentang pertanyaan yang mendasar
tentang manusia itu sendiri, yaitu apa dari mana dan mau kemana manusia itu. Manusia
dalam perkembangannya dipengaruhi lingkungan dan pembawaan dari orang tua mereka.
Al-Qur’an memberi keterangan tentang manusia dari banyak seginya, untuk menjawab
pertanyaan siapakan manusia itu?. Dari ayat-ayat Qur’an tersebut, dapat disimpulkan bahwa
manusia adalah makhluk fungsional yang bertanggungjawab. Pada surat al-Mu’minun ayat
115 Allah bertanya kepada manusia sebagai berikut : “Apakah kamu mengira bahwa kami
menciptakan kamu sia-sia, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”.
Dari ayat ini, menurut Ahmad Azhar Basyir, terdapat tiga penegasan Allah yaitu [1] Manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan, [2] Manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi berfungsi, dan [3]
Manusia akhirnya akan dikembalikan kepada Tuhan, untuk mempertanggungjawabkan
semua perbuatan yang dilakukan pada waktu hidup di dunia ini, dan perbuatan itu tidak lain
adalah relisasi daripada fungsi manusia itu sendiri.[1] Berdasarkan fakta dan paparan
tersebut, maka diperlukan adanya suatu pemahaman lebih lanjut tentang hakekat manusia
menurut Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep manusia secara umum?
2. Bagaimana konsep manusia dalam Al-Qur’an?
3. Bagaimana proses penciptaan manusia?
4. Apa peran dan fungsi potensi penciptaan manusia yang diberikan Allah?
5. Bagaimana status dan kedudukan manusia menurut Al-Qur’an?

C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan konsep manusia secara umum.
2. Mendeskripsikan konsep manusia dalam Al-Qur’an.
3. Mendeskrpisikan proses penciptaan manusia.
4. Mendeskripsikan peran dan fungsi potensi penciptaan manusia yang diberikan Allah.
5. Mendeskripsikan status dan kedudukan manusia menurut Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN

Manusia secara bahasa disebut insan. Dalam bahasa Arabnya, berasal dari kata “nasiya”
yang berarti lupa. Jika dilihat dari kata dasar “al-uns” yang berarti jinak. Kata “insan” dipakai
untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak yang berarti manusia
selalu menyesuaikan diri dengan keadaan baru disekitarnya. Manusia sejak semula ada dalam
suatu kebersamaan, ia senantiasa berhubungan dengan manusia-manusia lain dalam wadah
kebersamaan, persahabatan, lingkungan kerja, rukun warga, dan rukun tetangga, serta bentuk-
bentuk relasi sosial lainnya. Sebagai partisipan kebersamaan ia sudah pasti mendapat pengaruh
lingkungannya, dan sebaliknya ia pun dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Manusia
dilengkapi antara lain cipta, rasa, karsa, norma, cita-cita, dan nurani sebagai karakteristik
kemanusiaannya. Kepadanya diturunkan pula agama. Jadi selain ada hubungan dengan
sesamanya, juga ada hubungan dengan sang pencipta. (Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi
Psikologi dengan Islam, 1995)

A. KONSEP MANUSIA SECARA UMUM


Manusia adalah makhluk yang luar biasa kompleks. Kita merupakan paduan antara
makhluk material dan makhluk spiritual. Dinamika manusia tidak tinggal diam karena manusia
sebagai dinamika selalu mengaktivisasikan dirinya. Berikut ini adalah pengertian dan definisi
manusia menurut beberapa ahli:
1. Nicolaus D. & A. Sudiarja
Manusia adalah bhineka, tetapi tunggal. Bhineka karena ia adalah jasmani dan rohani. Tunggal
karena jasmani dan rohani merupakan satu barang.
2. Abineno J. I
Manusia adalah "tubuh yang berjiwa" dan bukan "jiwa abadi yang berada atau yang terbungkus
dalam tubuh yang fana"
3. Upanisads
Manusia adalah kombinasi dari unsur-unsur roh (atman), jiwa, pikiran, dan prana atau badan fisik
4. Sokrates
Manusia adalah mahluk hidup berkaki dua yang tidak berbulu dengan kuku datar dan lebar
5. Kees Bertens
Manusia adalah suatu mahluk yang terdiri dari 2 unsur yang kesatuannya tidak dinyatakan.
6. I Wayan Watra
Manusia adalah mahluk yang dinamis dengan trias dinamikanya, yaitu cipta, rasa, dan karsa
7. Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany
Manusia adalah mahluk yang paling mulia, manusia adalah mahluk yang berfikir, dan manusia
adalah mahluk yang memiliki 3 dimensi (badan, akal, dan ruh), manusia dalam pertumbuhannya
dipengaruhi faktor keturunan dan lingkungan.
8. Erbe Sentanu
Manusia adalah mahluk sebaik-baiknya ciptaan-Nya. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling
sempurna dibandingkan dengan mahluk yang lain.
9. Paula J. C & Janet W. K
Manusia adalah mahluk terbuka, bebas memilih makna dalam situasi, mengemban tanggung
jawab atas keputusan yang hidup secara kontinu serta turut menyusun pola berhubungan dan
unggul multidimensi dengan berbagai kemungkinan.

B. KONSEP MANUSIA DALAM ALQUR’AN


Al-Qur’an adalah kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk segenap
manusia. Di dalamnya Allah menyapa akal dan perasaan manusia, mengajarkan tauhid, dan
menyucikan manusia dengan berbagai ibadah, menunjukkan manusia kepada hal-hal yang dapat
membawa kebaikan serta kemaslahatan dalam kehidupan individual dan sosial, membimbing
manusia kepada agama yang luhur agar mewujudkan diri, mengembangkan kepribadiannya, serta
meningkatkan diri manusia ke taraf kesempurnaan insani. Sehingga, manusia dapat mewujudkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk merenungkan perihal dirinya, dan keajaiban
penciptaannya, serta keakuratan pembentukannya. Sebab, pengenalan manusia terhadap dirinya
dapat mengantarkannya pada ma’rifatullah, sebagaimana tersirat dalam Surah at-Taariq ayat 5-7.

.‫ب‬ ِ ‫ص ْل‬
ِ ِ‫ب َوالت َّ َرائ‬ ُّ ‫ َي ْخ ُر ُج ِم ْن َبي ِْن ال‬. ‫ق‬
ٍ ِ‫ ُخ ِلقَ ِم ْن َماءٍ دَاف‬. َ‫ان ِم َّم ُخ ِلق‬
ُ ‫س‬َ ‫اْل ْن‬ ُ ‫فَ ْل َي ْن‬
ِ ْ ‫ظ ِر‬
Maka, hendaklah manusia merenungkan, dari apa ia diciptakan. Ia diciptakan dari air
yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. (Q.S. at-Taariq [86]: 5-7)
Berkaitan dengan hal ini, terdapat sebuah atsar yang menyebutkan bahwa “Barang siapa
mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhan-nya.
Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang diri kita sendiri sebagai makhluk
yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat
wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan
makhluk yang lain. Menurut Ismail Rajfi manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting,
karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan.
Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal.
Dengan dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta
mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah yang merupakan amanah-Nya.
Selain itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbunya manusia
dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman,
dan kehadiran Ilahi secara spiritual.
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling tinggi derajadnya dibanding makhluk
lain. Di dalam kitab suci Al-Quran, Allah SWT menggunakan beberapa istilah yang pada
dasarnya menjelaskan tentang konsep manusia, bahkan istilah-istilah itu disebutkan lebih dari
satu kali. Istilah-istilah manusia dalam Al-Quran memiliki arti yang berbeda-beda. Berikut tujuh
istilah “manusia” dalam Al-Quran, sebagai berikut:
a. Konsep al-Basyar
Penelitian terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan menggunakan kata basyar
menyebutkan, bahwa manusia basyar anak keturunan Nabi Adam as dan makhluk fisik yang suka
makan serta minum. Kata 'basyar' disebutkan sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya
sekali dalam bentuk 'mutsanna' atau 'jama'. Sebagai makhluk yang bersifat fisik, manusia tidak
jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Kehidupan manusia terikat dengan kaidah prinsip
kehidupan biologis seperti berkembang biakSebagaimana halnya dengan makhluk biologis lain,
seperti binatang. Mengenai proses dan fase perkembangan manusia sebagai makhluk biologis,
ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, yang artinya:
12. Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. 13. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim). 14. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah
itu kami jadikan segump al daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Secara sederhana, Quraish Shihab menyatakan bahwa manusia dinamai basyar karena
kulitnya yang tampak jelas dan berbeda dengan kulit-kulit binatang yang lain. Dengan kata lain,
kata basyar senantiasa mengacu pada manusia dari aspek lahiriahnya, mempunyai bentuk tubuh
yang sama, ia, makan dan minum dari bahan yang sama yang ada di dunia ini.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia dalam konsep al-Basyr ini dapat
berubah fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan semakin lemah dan akhirnya meninggal dunia.
Dan dalam konsep al-Basyr ini juga dapat tergambar tentang bagaimana seharusnya peran
manusia sebagai makhluk biologis. Bagaimana dia berupaya untuk memenuhi kebutuhannya
secara benar sesuai tuntunan Penciptanya. Yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder
dan tersier.
b. Konsep Al-Insan
Al – Ihsan memiliki arti melihat, mengetahui, dan minta izin. Istilah ini menunjukkan bahwa
manusia memiliki kemampuan menalar dan berpikir dibanding dengan makhluk lainnya. Manusia
dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, mengetahui yang benar dan yang salah, serta
dapat meminta izin ketika menggunakan sesuatu yang bukan miliknya. Manusia dalam istilah ini
merupakan makhluk yang dapat dididik, memiliki potensi yang dapat digunakan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an yang artinya:
Bukankah Telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum
merupakan sesuatu yang dapat disebut?
Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia
untuk berkreasi dan berinovasi .
c. Konsep Al-Nas
Menunjukkan fungsi manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri.
Manusia harus menjaga hubungan baik dengan manusia lainnya. Dari awal terciptanya, seorang
manusia berawal dari sepasang laki-laki dan wanita. Ini menunjukkan bahwa manusia harus
hidup bersaudara dan saling membantu.
Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan laki-laki
dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat, menunjukkan bahwa
manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah
sebenarnya fungsi manusia dalam konsep an-naas. Ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an,
yang artinya:
Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di
antara mereka: "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman
bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka". Orang-orang kafir
berkata: "Sesungguhnya orang Ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata".
d. Konsep Bani Adam
Manusia dalam istilah ini memiliki arti keturunan Adam. Istilah ini digunakan untuk
menyebut manusia bila dilihat dari asal keturunannya. Istilah 'Bani Adam' disebutkan sebanyak 7
kali dalam 7 ayat Al-Quran. Menurut Thabathaba’i dalam Samsul Nizar, penggunaan kata Bani
Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang
dikaji, yaitu:
1. Anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah. Contohnya, berpakaian guna
manutup aurat.
2. Mengingatkan pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang
mengajak kepada keingkaran.
3. Memanfaatkan semua yang ada di alam semesta dalam rangka ibadah dan mentauhidkan-
Nya.
Kesemuanya itu adalah anjuran sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan
keturunan Adam dibanding makhluk-Nya yang lain. Ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-
Qur’an, yang artinya:
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah
syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.”
e. Konsep Al-Ins
Al Ins memiliki arti tidak liar atau tidak biadab. Istilah Al Ins berkebalikan dengan istilah al
jins atau jin yang bersifat metafisik dan liar. Jin hidup bebas di alam yang tidak dapat dirasakan
dengan panca indra. Berbeda dengan manusia yang disebut menggunakan istilah al ins. manusia
adalah makhluk yang tidak liar, artinya jelas dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Kata Al Ins disebutkan sebanyak 18 kali dalam Alquran, masing-masing dalam 17 ayat dan 9
surat, Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan jin, maka manusia adalah
makhluk yang kasat mata. Sedangkan jin adalah makhluk halus yang tidak tampak. Ditegaskan
oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-An’aam ayat 112 yang artinya:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis)
manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki,
niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-
adakan.”
f. Konsep Abd. Allah
Manusia itu pada hakikatnya adalah turunan dari manusia pertama yang bernama Adam,
karena itulah disebut Bani Adam (Keturunan Adam). Jawaban ini tentu tidak salah, tetapi ada
rahasia yang sangat agung kenapa Allah menyebut manusia sebagai Bani Adam. Ditegaskan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 7 , yang artinya:
“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan
di lautan [862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.”
Jika kita simak ayat diatas, kenapa Allah tidak menyebutkan nama lain dari manusia seperti,
insan, basyar atau an-Naas, tetapi Allah menggunakan istilah Bani Adam? Tentu ada rahasia
besar yang terkandung dalam istilah Bani Adam.
Al Quran merupakan kalam yang agung, karena itu pemilihan katanya pun sangat selektif
dan tentu saja sangat sesuai dengan tuntutan alur kalam. Pada ayat di atas Allah secara tegas
mengatakan bahwa Dia memuliakan anak-anak Adam dengan memberi mereka akal, bisa
berbicara, bisa menulis, bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, bentuk tubuh
yang baik, bisa berdiri tegak serta bisa mengatur kehidupan, baik sekarang di dunia maupun
untuk nanti di akhirat.
Menurut Ibnu Katsir, Allah memuliakan manusia dengan bisa berjalan tegak di atas kedua
kakinya, bisa mengambil makanan dengan kedua tangannya, sedangkan makhluk yang lain tidak
bisa melakukan dua hal tersebut secara bersamaan, mereka berjalan dengan keempat kakinya dan
mengambil makanan dengan mulunya. Manusia juga dimuliakan oleh Allah dengan memberi
mereka pendengaran, penglihatan dan hati, dimana ketiganya merupakan modal yang berharga
untuk memahami segala hal, kemudian mengambil manfaat dari hal tersebut. Selain itu tiga alat
ini merupakan modal dalam membedakan segala sesuatu, mengetahui manfaatnya, mengetahui
keistimewaan serta kemudaratannya, baik untuk urusan dunia maupun akhirat.
g. Konsep Khalifah Allah
Khalifah berarti pengganti, yaitu pengganti dari jenis makhluk yang lain atau pengganti,
dalam arti makhluk yang diberi wewenang oleh Allah agar melaksanakan perintahNya di muka
bumi. Pada hakikatnya eksistensi manusia dalam kehidupan dunia ini adalah untuk melaksanakan
kekhalifahan, yaitu membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini, sesuai dengan
kehendak Penciptanya. Peran yang dilakonkan oleh manusia menurut statusnya sebagai khalifah
Allah setidak-tidaknya terdiri dari dua jalur, yaitu jalur horizontal dan jalur vertikal.
Peran dalam jalur horizontal mengacu kepada bagaimana manusia mengatur hubungan yang baik
dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Sedangkan peran dalam jalur vertikal
menggambarkan bagaimana manusia berperan sebagai mandataris Allah. Dalam peran ini
manusia penting menyadari bahwa kemampuan yang dimilikinya untuk menguasai alam dan
sesama manusia adalah karena penegasan dari Penciptanya. Ditegaskan oleh Allah SWT dalam
Al-Qur’an surah Al Baqarah ayat 30 yang artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui."
Adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Bapak
Adam dan Ibu Hawa. Dua insan ini pada awalnya hidup di surga. Namun, karena melanggar
perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Kemudian, sepasang manusia beranak-pinak,
menjaga, dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu.
Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan
diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia.
Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi akal. Manusia dengan segala kelebihannya
kemudian ditetapkan menjadi khalifah di bumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang
oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “....Hai Adam,
beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka...” (al-Baqarah: 33).
Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirnya Malaikatpun tahu
bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa
manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala
pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukan yang paling tinggi
dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT:
“.....kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”, maka
merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan ia termasuk golongan orang-orang
yang kafir” (al-Baqarah: 34).

C. Peran dan Fungsi Potensi Penciptaan Manusia


Tujuan penciptaan manusia adalah untuk penyembahan Allah. Penyembahan berarti
ketundukan manusia pada hukum Allah dalam menjalankan kehidupan di muka bumi, baik
ibadah ritual yang menyangkut hubungan vertical (manusia dengan Tuhan) maupun ibadah
sosial yang menyangkut horizontal ( manusia dengan alam semesta dan manusia).
Dalam hal ini Allah berfirman: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyambah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari
mereka dan aku tidak menghendaki supaya mereka member aku makan. Sesungguhnya
Allah, Dialah maha pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (az-
Zaariyaat, [51]: 56-58).
Dan mereka telah di perintahkan kecuali supaya mereka menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan degnan dekimikian itulah agama yang
lurus. (Al-Bayinnah: 5)
Penyembahan yang sempurna dari seseorang manusia akan menjadikan dirinya
sebagai khalifah Allah di muka bumi dalam mengelola kehidupan alam semesta.
Keseimbangan alam dapat terjaga dengan hukum-hukum alam yang kokoh. Keseimbangan
pada kehidupan manusia tidak sekedar akan menghancurkan bagian-bagian alam semesta
yang lain, inilah tujuan penciptaan manusia di tengah-tengah alam.
Peran yang hendaknya dilakukan seorang khalifah sebagaimana yang telah ditetapkan
Allah, diantaranya adalah:
1. Belajar (surat An-Naml: 15-16 dan Al -Mukmin: 54)
Belajar yang dinyatakan pada ayat pertama surat al-Alaq adalah mempelajari ilmu Allah
yaitu Al-Qur’an.
2. Mengajarkan ilmu (Al-Baqoroh: 31-39)
Khalifah yang telah diajarkan ilmu Allah maka wajib untuk mengajarkannya kepada
manusia lain.Yang dimaksud dengan ilmu Allah adalah Al-Qur’an.
3. Membudayakan ilmu (Al-Mukmin: 35)
Ilmu yang telah diketahui bukan hanya untuk disampaikan kepada orang lain melainkan
dipergunakan untuk dirinya sendiri dengan mengimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari agar membudaya.
Di dalam Al Qur’an disebutkan fungsi dan peranan yang diberikan Allah kepada
manusia, yaitu:
 Menjadi abdi Allah.
Secara sederhana hal ini berarti hanya bersedia mengabdi kepada Allah dan tidak mau
mengabdi kepada selain Allah, termasuk tidak mengabdi kepada nafsu dan syahwat.
Yang dimaksud dengan abdi adalah makhluk yang mau melaksanakan apapun perintah
Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Abdi juga tidak akan pernah membangkang
terhadap Allah. Hal ini tercantum dalam QS Az Dzariyat : 56 yang artinya, “Dan tidak
Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Aku.”
 Menjadi saksi Allah.
Sebelum lahir ke dunia ini, manusia bersaksi kepada Allah bahwa hanya Dialah
Tuhannya. Hal tersebut dilakukan agar mereka tidak ingkar di hari akhir nanti. Sehingga
manusia sesuai fitrahnya adalah beriman kepada Allah tapi orang tuanya yang
menjadikan manusia sebagai Nasrani atau beragama selain Islam. Hal ini tercantum
dalam QS Al A’raf: 172, “Dan (ingatlah), keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan Kami), kami menjadi
saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan).”
 Khalifah Allah.
Khalifah Allah adalah perwakilan Allah untuk berbuat sesuai dengan misi yang telah
ditentukan Allah sebelum manusia dilahirkan yaitu untuk memakmurkan bumi. Khalifah
yang dimaksud Allah bukanlah suatu jabatan sebagai Raja atau Presiden tetapi yang
dimaksud sebagai kholifah di sini adalah seorang pemimpin Islam yang mampu
memakmurkan alam dengan syariah-syariah yang telah diajarkan Rosulullah kepada
umat manusia. Dan manusia yang beriman sejatilah yang mampu memikul tanggung
jawab ini. Karena kholifah adalah wali Allah yang mempusakai dunia ini.

D. Status dan Kedudukan Manusia Dalam Al-Qur’an


Kedudukan Manusia Dalam Pandangan Al-Qur'an:
1. Makhluk termulia (Al-Israa': 70)
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezEki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.” (QS. 17: 70)
2. Makhluk yang paling indah bentuk kejadiannya
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS.
95:4)
3. Makhluk yang diberikan kebebasan memilih dan bisa membedakan antara yang baik dan
yang buruk.
“..dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. 91: 7-10).
4. Makhluk yang diberi kemampuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan
manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah.” (96: 13).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk yang sempurna dan memiliki derajad yang tinggi
dibanding dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya, karena Allah menganugerahi dengan
akal. Manusia tidak selalu diam karena dalam setiap kehidupannya selalu ambil bagian. Kita
sebagai manusia harus menjadi individu yang berguna untuk diri sendiri dan orang lain.
Karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa berdiri sendiri, tetapi
mutlak membutuhkan orang lain. Maka dari itu manusia harus suka membantu dan memberi
manfaat bagi manusia lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.tugasku4u.com/2013/05/makalah-hakikat-manusia-menurut-islam.html
Abuddin Nata, AL-Qur’an dan Hadits (Dirasah Islamiyah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998.
Departemen Agama RI, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta :
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001.
Hamdan Mansoer, dkk, Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam, 2004
Murthada Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama, Bandung : Mizan,
1990.
Nanih Machendrawaty & Agus Ahmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam, Jakarta : Rineka
Cipta, 2004
Muhammadong. 2009. Pendidikan Agama Islam. Makassar : Tim Dosen Pendidikan Agama
Islam Universitas Negeri Makassar.
Abdullah, Abd. Malik. 2009. Pendidikan Agama Islam. Makassar : Tim Dosen Penididikan
Agama Islam Universitas Negeri Makassar.

Anda mungkin juga menyukai