Anda di halaman 1dari 5

KEBIJAKAN KESEHATAN KHILAFAH: NAKES MULIA, IBU ANAK SEHAT

SEJAHTERA
(Kritik Terhadap Kebijakan JKSJSN)
Oleh
Rini Syafri(*)
Pendahuluan.
“Indonesia Cinta Sehat, Ibu Selamat, Anak Sehat”, adalah tema Hari Kesehatan
Nasional ke 48, yang jatuh pada 12 November nanti. Untaian kalimat tersebut
mengingatkan kita pada penderitaan tidak sedikit Ibu hamil, melahirkan dan nifas, beserta
anak-anaknya. Jiwa mereka dalam keadaan terancam disebabkan ketidakmampuannya
mengakses layanan kesehatan yang dibutuhkan karena mahalnya harga layanan
kesehatan, baik jasa dokter/bidan, harga obat, maupun pemeriksaan penunjang. Yang saat
bersamaan para tenaga kesehatan--NaKes--dokter, bidan dan perawat juga dihadapkan
pada persoalan yang tak kalah serius, mulai dari imbalan jasa yang tidak pantas hingga
kerentanan tergelincir dalam kerendahan idealisme dan dedikasi.
Mensikapi persoalan pelik di atas, pemerintah telah merumuskan kebijakan
Jaminan Kesehatan Sistem Jaminan Sosial Nasional (JK SJSN) beserta roadmapnya,
dengan target realisasi Januari tahun 2014. Yang demikian karena pemerintah
berpandangan sebagai berikut, “Kecenderungan meningkatnya biaya pemeliharaan
kesehatan menyulitkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
dibutuhkannya. Keadaan ini terjadi terutama pada keadaan dimana pembiayaannya harus
ditanggung sendiri ("out of pocket") dalam sistim pembayaran pelayanan kesehatan tunai
("fee for service") ..http://www.ppjk.depkes.go.id. Dan solusinya adalah SJSN,
sebagaimana dinyatakan, “....Solusi masalah pembiayaan kesehatan mengarah pada
peningkatan pendanaan kesehatan agar mencukupi untuk mendukung pembangunan
kesehatan sebagai investasi sumber daya manusia, ...dengan pendanaan pemerintah yang
terarah untuk kegiatan public health ..... serta biaya pemeliharaan kesehatan penduduk
miskin. Sedangkan pendanaan masyarakat harus diefisiensikan dengan pendanaan
gotong-royong untuk berbagi risiko gangguan kesehatan, dalam bentuk jaminan
kesehatan sebagaimana Undang-Undang No 40 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional ...” http://www.ppjk.depkes.go.id
Sementara itu ada kekhawatiran dari kalangan pemberi layanan, dalam hal ini IDI
menilai bahwa pelaksanaan BPJS/SJSN akan mempunyai dua implikasi yaitu
kesejahteraan bagi masyarakat dan pemberi pelayanan yakni dokter dan dapat
menyebabkan bencana bagi pasien dan dokter (Micom, 19 Juni, 2012). Selain itu akhir-
akhir ini juga dipersoalkan iuran yang membebani masyarakat, kualitas layanan
kesehatan macam apa yang akan diterima msyarakat, hingga imbalan bagi para dokter
yang kurang pantas. Demikian dipaparkan oleh sejumlah media massa, Rimanews.com.
4 Oktober 2012; depkes.co.id. 12 September 2012; dan kompas.com, 10 Oktober 2012.
Oleh karena itu, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah: pertama, apakah
kesalahan mendasar penyebab berlarut-larutnya persoalan buruknya akses msyarakat
terhadap layanan kesehatan Ibu dan anak? Benarkah sebatas persoalan model
pembiayaan yang ditanggung sendiri ('out of pocket”) dan bersifat tunai (“fee for
service”) ? Benarkah kepesertaan setiap orang dalam JKSJSN merupakan jaminan setiap
orang akan memperoleh layanan kesehatan yang dibutuhkannya? Benarkah dengan
JKSJSN para dokter, bidan akan lebih sejahtera dan mulia? Mengapa hanya layanan
kesehatan Khilafah solusinya?

Persoalan Mendasar.
Cukup mudah menemukan fakta bahwa setiap yang membutuhkan jasa layanan
kesehatan hanyalah akan memperolehnya dengan kompensasi sejumlah uang, sekalipun
di rumah sakit pemerintah. Demikian juga dengan layanan kesehatan Ibu dan Anak,
setiap Ibu yang pernah hamil, melahirkan, tentulah merasakan hal ini. Beruntung jika ada
uang di kantong. Jika tidak, sunggguh menyakitkan.
Berapa dalam kantong harus dirogoh untuk setiap layanan? Yang jelas untuk
pendaftaran saja, harus membayar ribuan hingga belasan ribu rupiah. Bagi Ibu yang
terkategori berpenghasilan Rp 7500 per hari, jelas sangat memberatkan. Belum lagi, jika
membutuhkan tindakan dokter spesialis, tindakan operasi yang harganya hingga puluhan
juta rupiah. Kemiskinan yang menghimpit puluhan juta penduduk Indonesia saat ini,
membuat semua itu berakhir memilukan, ancaman kehilangan nyawa menjadi
keniscayaan.
Mengapa menjadi begitu mahal? Layanan kesehatan, termasuk layanan kesehatan
Ibu dan Anak adalah kebutuhan semua Ibu dan Anak, yang berkaitan erat dengan hidup
atau mati. Karenanya berapapun akan dibayar untuk mendapatkan layanan kesehatan
yang dibutuhkan. Inilah salah satu alasan mengapa menjadi sangat mahal ketika
pengelolaanya bersifat bisnis. Disamping itu, alam kehidupan kapitalistik memang
membebaskan setiap orang membisniskan apapun sekalipun nyawa dan kehidupan.
Sebagai contoh, di AS kebijakan layanan kesehatan yang berorientasi bisnis membuat
harga layanan kesehatan di AS termahal didunia, sebagaimana dipaparkan kolumnis The
Washington Post pada 3 Maret 2012, dan hasil penelitian The Institute of Medicine yang
dimuat pada The New York Times 11 September 2012, dengan tajuk “Study of U.S Health
Care System Finds Both Waste and Opportunity to Improve”.
Sementara itu, layanan kesehatan gratis dalam bingkai kebijakan liberal, acap
kali disertai berbagai persyaratan yang sering menyulitkan dan mengabaikan aspek
kemanusiaan. Ambil contoh layanan kesehatan gratis jampersal. Program persalinan
gratis ini hanya menyediakan anggaran pemeriksaan jaminan persalinan untuk empat kali
pemeriksaan hamil, persalinan (normal) dan empat kali pemeriksaan nifas, dengan
kualitas layanan kelas tiga yang kerap jauh dari kenyamanan yang dibutuhkan oleh fisik
dan psikologis Ibu hamil, melahirkan dan anaknya. Di sisi lain, tidak ada kepastian
bahwa setiap Ibu hanya membutuhkan empat kali pemeriksaan, dan selalu melahirkan
melalui jalan lahir normal.
Bersamaan dengan itu, minimnya anggaran dengan pencairan yang lambat,
membuat bidan, dokter yang juga harus berjuang menghadapi kerasnya kehidupan
kapitalistik, kerap kesulitan memberikan pelayanan terbaik. Disamping juga harus
mengatasi persoalan keterbatasan sarana dan prasarana medik yang dibutuhkan untuk
pelayanan terbaik.
Demikianlah realitas hasil pengelolaan pengadaan layanan kesehatan yang
berorientasi bisnis. Yang merupakan model pengelolaan pengadaan layanan kesehatan
berdasarkan kebijakan liberal, yang terpancar dari Ideologi liberalisme/kapitalisme.
Kebijakan yang niscaya dalam sistem kehidupan kapitalisme. Secara konseptual
kebijakan pengelolaan penyediaan layanan kesehatan tidak lagi bersifat sosial oleh
lembaga pemerintah, tetapi bersifat untung dan rugi oleh korporasi. Bersamaan
dengan itu, kewenangan dan fungsi pemerintah direduksi sebatas fasilitator dan
regulator saja.
Oleh karena itu jelaslah persoalan sesungguhnya bukanlah model pembayaran
ditanggung sendiri "out of pocket" secara tunai (“fee for service") atau bukan, yaitu
pendaan gotong royong dalam bentuk asuransi SJSN. Akan tetapi kebijakan pengelolaan
pengadaan layanan kesehatan yang liberalah yang menjadi sumber persoalan. Artinya,
yang harus dilakukan untuk mengatasi mahalnya harga layanan kesehatan dan
berbagai problem ikutannya adalah mengembalikan pengelolaan pengadaan
layanan kesehatan ke dalam pangkuan pemerintah dengan orientasi ri'ayah (sosial).
Dan bukan JK SJSN, mengapa?

JK SJSN, Justru Mengekalkan Masalah


JKSJSN (Jaminan Kesehatan Sistem Jaminan Sosial Nasional), sesungguhnya
juga kebijakan berlandaskan ideologi liberal, yang bertujuan menutupi kelemahan
kebijakan liberal yang gagal mendistribusikan layanan kesehatan, jadi bukan
menghentikan liberalisasi layanan kesehatan, pangkal penyebab mahalnya harga layanan
kesehatan. Karena itu pemerintah hanya menyediakan anggaran ala kadarnya yang
diperuntukkan bagi masyarakat miskin (Penerima Bantuan Iuaran) dan membayarkan
sebagian iuran wajib pegawai pemerintah. Bersamaan dengan itu, masyarakat diwajibkan
mengiur sejumlah tertentu, baik melalui pemotongan gaji secara langsung (sekitar 2%)
bagi pekerja maupun mebayar tunai kepada badan penyelenggara (BPJS) (Lihat UU No
40 Tahun 2004 tentang SJSN).
Kualitas dan kuantitas layanan kesehatan macam apa yang akan diperoleh
masyarakat? JKSJSN hakekatnya adalah asuransi yang dipaksakan pada masyarakat.
Layanan yang diperoleh tentulah sesuai besar iuran. Oleh karena itu JKSJSN bukan
solusi, bahkan semakin menambah kesengsaraan msyarakat. Yang demikian karena
selain wajib mengiur, namun belum tentu mendapatkan layanan kesehatan yang
dibutuhkannya.
Sungguh penting digaris bawahi penyataan Marshall Auerback (analis pasar dan
komentator), L. Randall Wray (Profesor ekonomi pada University of Missouri-Kansas
City), ketika mensikapi kebijakan “obamacare” (mirip JKSJSN), bahwa kepesertaan
setiap orang dalam asuransi tidaklah menjamin setiap orang akan mendapatkan layanan
kesehatan yang dibutuhkannya (nakedcapitalism.com, 1 April 2012).
Lebih dari pada itu, realitas di atas cukup menjadi bukti, bahwa pemerintah yang
menjadikan sumber kebijakannya bukan dari Islam hanyalah mengakibatkan pemeritah
gagal menunaikan tugas dan tanggungjawabnya. Padahal tanggung jawab tersebut harus
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,
diriwayatkan Bukhari dan Muslim, artinya,”.... Seorang kepala negara akan diminta
pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. …..Dan kamu sekalian
pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang
dipimpinnya”. Ini di satu sisi, disisi lain, akibat dari kebijakan yang menyalahi Islam
tersebut masyarakat ditimpa berbagai kesengsaraan. Oleh karena itu sungguh patut kita
renungkan firman Allah swt, QS Al Maaidah:50, artinya, “Apakah hukum jahiliyah yang
mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
Akankah JKSJN akan menyejahterakan dan mengangkat idealisme dan dedikasi
tenaga medis? Kembali lagi, JK SJSN hakekatnya adalah asuransi, kepesertaan semua
orang dalam asuransi tidaklah akan menghilangkan prinsip-prinsip pengelolaan
pengadaan layanan yang melekat pada asuransi. Berbagai peristiwa pahit yang dialami
tenaga kesehatan saat bekerja dalam bingkai AsKes, Jamsostek, Askeskin, berpotensi
juga muncul dalam JKSJSN.
Dengan demikian jelaslah, yang dibutuhkan saat ini bukanlah SJSN, tetapi
kembali pada pengelolaan pengadaan layanan kesehatan yang sesuai fitrah manusia, yaitu
pengelolaan pengadaan layanan kesehatan dalam bingkai Khilafah.

Layanan Kesehatan Khilafah, Model Terbaik.


Berbeda sama sekali dengan kebijakan liberal, kebijakan (aturan) pengelolaan
pengadaan layanan kesehatan Khilafah adalah kebijakan berlandaskan aqidah Islam,
bersumber dari Al-Quran dan Sunnah dan apa yang terpancar dari ke duanya. Pemerintah
diwajibkan Allah swt mengelola pengadaan layanan kesehatan sedemikian rupa sehingga
layanan kesehatan gratis lagi berkualitas dapat diakses dengan mudah kapanpun dan
dimanapun oleh siapa saja yang membutuhkan. Artinya, tidak dibenarkan satupun
kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pengelolaan layanan kesehatan berorientasi
bisnis. Hal ini karena pemerintah adalah raa’in (pelayan) masyarakat, sebagaimana
dinyatakan Rasulullah saw, yang artinya,”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia,
adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan)
rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Tidak hanya itu, dalam pelaksanaan pengelolaan layanan kesehatan, Khalifah dan
aparatnya wajib mengacu pada tiga prinsip, yaitu: kesederhanaan aturan, kecepatan
memberikan layanan kesehatan, dan dilaksanakan oleh individu yang mampu dan
profesional. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman terhadap sabda Rasulullah saw,
yang artinya, “Sesungguhnya Allah swt mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal.
Jika kalian membunuh (melaksanakan qishash) lakukanlah secara ihsan. Jika kalian
menyembelih lakukanlah secara baik/sempurna.” (HR Muslim).
Prinsip pelaksanaan pengelolaan kesehatan ini bukan hanya indah di atas kertas, tetapi
juga di tataran realitas, hal ini karena sinergis dengan keseluruhan aturan-
aturan/kebijakan yang diterapkan Khalifah, yaitu antara lain:
Pertama, kebijakan APBN Khilafah. Yang memiliki sumber-sumber pemasukan
memadai. Seperti dari harta milik umum, antara lain barang tambang yang berlimpah;
harta negara; dan kharaj (pajak tanah). Disamping itu, juga diterapkan prinsip
pengeluaran yang mutlak untuk pembiayaan pengelolaan pengadaan layanan kesehatan.
Artinya, bila kas defisit maka Negara dibenarkan syara’ mewajibkan pajak temporal dari
orang-orang kaya. Bila dikhawatirkan upaya ini mengakibatkan penundaan pelayanan
yang menimbulkan kemafsadatan, maka Negara meminjam sejumlah uang untuk
menutupi defisit tersebut. Sifat APBN Khilafah yang berjalan sesuai syariat (sumber-
sumber pemasukan dan pos pengeluaran sudah fix), dan diberikan syara’ kewenangan
kepada khalifah menentukan besarnya pengeluaran untuk setiap pos, membuat proses
pembiayaan berlangsung cepat, saat itu juga.
Model pengeluaran yang mutlak tersebut mencakup pembiayaan untuk gaji para
SDM kesehatan yang bekerja pada Rumah sakit, klinik bersalin Khilafah;pendidikan
SDM kesehatan, pembangunan rumah sakit dan klinik bersalin beserta kelengkapannya;
pembangunan industri obat-obatan dan peralatan kedokteran, termasuk biaya research.
Dengan demikian, persoalan pembiayaan akan teratasi dengan kebijakan APBN khilafah.
Kedua, kebijakan pendidikan Khilafah. Yaitu kebijakan yang berlandaskan
aqidah Islam dengan rancangan kurikulum yang bertujuan mencetak generasi
berkepribadian Islam. Disamping itu juga siap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi. Pendidikan ini digratiskan bagi semua warga Negara hingga level
pendidikan menengah atas. Sedangkan untuk level pendidikan tinggi, termasuk
pendidikan kedokteran, farmasi, bidan, perawat dan berbagai disiplin keilmuan lainnya,
digratiskan sesuai kebutuhan Negara. Dengan demikian dalam waktu yang relatif
singkat, tidak saja akan sedia SDM kesehatan yang memadai dari segi jumlah, tetapi juga
dari segi kualitas, bekerja profesional (mengacu pada etik kedokteran Islam).
Ketiga, kebijakan yang terkait sistem dan struktur pemerintahan, menjadikan
khalifah memiliki kewenangan yang memadai untuk menjalankan fungsi dan
tanggungjwabnya yang mulia ini. Sehingga berbagai keputusan dapat diambil secara
cepat dan tepat dan direalisasikan secara cepat dan tepat pula. Bersamaan dengan itu,
kultur kehidupan Islam yang dilingkupi suasana taqwa menjadi salah satu benteng
penghalang terjerumusnya aparat pemerintah termasuk SDM kesehatan yang merupakan
pegawai pemerintah dalam kerendahan budi dan berbagai perbuatan buruk lainnya.
Keempat, politik industri khilafah, memampukan Khilafah mandiri dalam
industri obat-obatan dan peralatan kedokteran.
Kelima, kebijakan pembangunan khilafah yang berorientasi ri'ayah, termasuk
pembangunan sarana dan prasaran transportasi akan mengatasi berbagai kendala
geografis, yang saat ini terjadi.
A khirnya, keseluruhan kebijakan Khilafah yang sepenuhnya berjalan di atas
koridor Islam, menjadikan pemerintah dan aparatnya(termasuk dokter, bidan,
perawat) mampu menjalankan kewajibannya yang mulia. Di samping itu,
masyarakat akan hidup dalam kesejahteraan dan kemuliaan, sebagaimana Allah
nyatakan diawal QS Al Anfaal:24, artinya, “Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu
yang memberi kehidupan kepada kamu, .... “. Allahu a’lam.
*. Penulis adalah Ka Lajnah Mashlahiyah Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, dan Doktor dalam bidang Ilmu Biomedik.

Anda mungkin juga menyukai