Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Maksud
 Mengetahui dan mengintepretasikan bentang alam karst berdasarkan
kenampakan pada peta topografi.
 Mencari persen kelerengan dan mengklasifikasikan berdasarkan
Klasifikasi Van Zuidam.
 Mengetahui dan mengintepretasikan pembagian wilayah delineasi
sesuai dengan satuan kerapatan kontur.
 Membuat sayatan dan profil eksagrasi geomorfologi yang mencakup
setiap klasifikasi daerah pada peta topografi.

1.2. Tujuan
 Mampu mengetahui dan menjelaskan bentang alam karst berdasarkan
kenampakan pada peta topografi.
 Mampu menentukan persen kelerengan dan klasifikasi Van Zuidamnya.
 Mampu mengetahui dan menjelaskan pembagian suatu wilayah
delineasi sesuai dengan satuan kerapatan kontur.
 Mampu membuat sayatan dan profil eksagrasi geomorfologi yang
mencakup setiap klasifikasi daerah pada peta topografi.

1.3. Waktu Pelaksanaan Praktikum


Hari : Jumat
Tanggal : 26 April 2013
Waktu : 13.30 WIB
Tempat Pelaksanaan : Ruang Seminar Gedung Pertamina Sukowati
Teknik Geologi UNDIP

1
BAB II
DASAR TEORI

2.1. Bentang Alam Karst


Pengertian tentang topografi karst yaitu suatu topografi yang terbentuk
pada daerah dengan litologi berupa batuan yang mudah larut, menunjukkan
relief yang khas, penyaluran yang tidak teratur, aliran sungainya secara tiba-
tiba masuk kedalam tanah dan meninggalkan lembah kering untuk
kemudian keluar ditempat lain sebagai mata air yang besar.

2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bentang Alam Karst


2.2.1. Faktor Fisik
1. Ketebalan Batugamping
Menurut Von Engeln, batuan mudah larut (dalam hal ini
batugamping) yang baik untuk perkembangan topografi karst
harus tebal. Ritter (1978) mengemukakan bahwa batugamping
yang berlapis (meskipun membentuk satu unit yang tebal), tidak
sebaik batugamping yang massif dan tebal dalam pembentukan
topografi karst ini.
2. Porositas dan Permeabilitas
Porositas (baik primer maupun sekunder) biasanya
mempengaruhi permeabilitas yaitu kemampuan batuan batuan
untuk meloloskan air. Semakin besar permeabilitas suatu batuan
maka sirkulasi air akan berjalan semakin lancar sehingga proses
karstifikasi akan semakin intensif.
3. Intensitas Struktur terhadap Batuan
Intersitas struktur terutama kekar sangat berpengaruh terhadap
proses karstifikasi. Disamping kekar dapat mempertinggi
permeabilitas batuan, zona kekar merupakan zona yang lemah
yang mudah mengalami pelarutan dan erosi sehingga dengan

2
adanya kekar dalam batuan proses pelarutan dan erosi berjalan
intensif.
2.2.2. Faktor Kimiawi
1. Kondisi Kimia Batuan
Batugamping sedikitnya mengandung 50% mineral karbonat
ynag umumnya berupa kalsit (CaCO3). Corbel (1957 dalam
Ritter, 1978) menyebutkan bahwa untuk membentuk topografi
karst diperlukan sedikitnya 60% kalsit dalam batuan. Untuk
perkembangan topografi karst yang baik diperlukan kurang lebih
90% kalsit dlam batuan tersebut, tetapi bila kandungan mineral
kalsit lebih dari 95% (batugamping murni, misal kalk) maka
batuan tersebut tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk
pembentukan topografi kars.
2. Kondisi Kimia Media Pelarut
Flint dan Skinner (1979) mengemukakan bahwa kalsit sangat
sulit lartu dalam air murni, akan tetapi ia akan larut dalam air
yang mengandung asam. Dialam, air hujan akan mengikat
karbondioksida (CO2) dari udara dan dari tanah disekitarnya
membentuk air/larutan yang bersifat asam yaitu asam karbonat
(H2CO3). Larutan inilah yang akan melarutkan batugamping.
3. Faktor Biologis
Aktifitas biologis dapat mempengaruhi pembentukan topografi
kars, baik secara langsung maupun tidak langsung.
4. Faktor Iklim dan Lingkungan
Didalam membahas lingkungan dalam arti sempit, Von Engeln
(1942) mengemukakan bahwa kondisi lingkungan yang
mendukung pembentukan topografi kars adalah adanya lembah
besar yang mengelilingi tempat yang tinggi, yang terdiri dari
batuan mudah larut (batugamping) yang terkekarkan dengan
intensif.

3
Daerah yang beriklim tropis basah (lintang 0° – 13°) curah hujan
cukup tingggi, kombinasi suhu dan presipitasi ideal untuk
berlangsungnya proses pelarutan sehingga proses karstifikasi
berjalan sangat bagus (Riter, 1978).

2.3. Proses Pembentukkan Topografi Karst


Von Engeln (1942) menyebutkan bahwa kondisi batuan yang
menunjang terbentuknya topografi kars ada 4, yaitu :
- mudah larut dan berada dipermukaan atau dekat dengan permukaan
- masif, tebal dan terkekarkan
- berada pada daerah yang curah hujannya sedang sampai tinggi
- dikelilingi oleh lembah sehingga air permukaan dapat melalui rekahan-
rekahan yang ada pada batuan sambil melarutkannya
Pembentukan topografi kars dimulai pada saat air permukaan
memasuki rekahan yang diikuti oleh pelarutan batuan pada zona rekahan
tersebut. Proses pelarutan pada batuan karbonat (batugamping)
meninggalkan morfologi sisa pelarutan. Perkembangan morfologi sisa ini
menurut Jackues (1977, dalam Van Zuidam, 1979) dapat dibagi dalam
empat fase. Keempat fase tersebut adalah (Gambar 2.1.)

Gambar 2.1. Diagram yang menunjukkan perkembangan morfologi sisa pelarutan (Jackues
1977, dalam Van Zuidam, 1979).

4
Fase I. Terjadi pelarutan pada batuan yang terkekarkan sehingga
membentuk lembah yang ekmudian merupakan zona yang lebih cepat
mengalami pelarutan (zona A) dibanding dengan zona B yang tidak
mengalami pengkekaran (Gambar 2.1. - I).
Fase II. Karena zona A lebih cepat mengalami pelarutan maka pada
zona ini segera terbentuk lembah yang dalam, sementara pada zona B masih
berupa dataran tinggi dengan gejala pelarutan dibeberapa tempat (Gambar
2.1. - II).
Fase III. Pelarutan pada kedua zona tersebut terus berjalan sehingga
pada fase ini mulai terbentuk kerucut-keucut kars pada zona B. Pada kerucut
kars ini tingkat pelarutan /tingkat erosi vertikalnya lebih kecil dibanding
dengan lembah disekitarnya (Gambar 2.1. - III).
Fase IV. Karena adanya erosi lateral dan korosi oleh aliran sungai
maka zona A berada pada batas permukaan erosi dan pada zona B erosi
vertikalnya telah berjalan lebih lanjut sehinga hanya tinggal beberapa
morfologi sisa saja. Morfologi sisa ini sering disebut dengan Menara Kars.
Morfologi sisa berkembang baik pada daerah yang beriklim tropis basah,
karena proses erosi dan pelarutan sangat intensif pada daerah ini (Bloom,
1979).

2.4. Bentang Alam Hasil Proses Karstifikasi


Bentuk morfologi yang menyusun suatu bentang alam kars dapat
dibedakan menjadi dua macam (Srijono, 1984, dalam Widagdo, 1984), yaitu
bentuk-bentuk konstruksional dan bentuk-bentuk sisa pelarutan.
2.4.1. Bentuk-bentuk Konstruksional
Bentuk konstruksional adalah bentuk topogrfi yang dibentuk
oleh proses pelarutan batugamping atau pengendapan material
karbonat yang dibawa oleh air. Berdasarkan ukurannya, topografi
konstruksional dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu
bentuk-bentuk minor dan bentuk-bentuk mayor. Menurut Bloom
(1979), yang dimaksud dengan bentang alam kars minor adalah

5
bentang alam yang tak dapat diamati pada foto udara atau peta
topografi, sedangkan bentang alam kars mayor adalah bentang alam
yang dapat diamati baik didalam foto udara atau peta topografi.
Bentuk-bentuk topografi kars minor adalah :
a. Lapies, merupakan bentuk tak rata pada permukaan batugamping
akibat adanya proses pelarutan, penggerusan atau karena proses
lain.
b. Karst Split, adalah celah pelarutan yang terbentuk dipermukaan.
c. Parit Karst, adalah alur pada permukaan yang memanjang
membentuk parit. Srijono (1984), mengemukakan bahwa parit
kars ini merupakan kars split yang memajang sehingga
membentuk parit kars.
d. Palung Karst, adalah alur pada permukaan batuan yang besar dan
lebar, dibentuk oleh proses pelarutan. Kedalamannya dapat
mencapai lebih dari 50 cm.
e. Speleothem, adalah hiasan yang terdapat didalam gua yang
dihasilkan oleh endapan berwarna putih, bentuknya seperti
tetesan air, mengkilat dan menonjol. Macam-macam speleothems
yang sering dijumpai adalah Stalagtit, yaitu hiasan yang
menggantung dilangit-langit dan Stalagmit, yaitu hiasan yang
berada didasar atau dilantai gua, serta Tiang Masif (Massife
Column), yaitu hiasan yang terbentuk bila stalagtit dan
stalagmite bertemu.
f. Fitokarst, adalah permukaan yang berlekuk-lekuk, dengan
lubang-lubang yang saling berhubungan dan dibatasi oleh tepi-
tepi yang tajam, sehingga memberikan bentuk seperti bunga
karang pada menara (pinnacles) kars.

6
(a). Lapies (b). Parit Karst

(c). Speleothem

(d). Palung Karst

Gambar 2.2. (a-d) Berbagai topografi minor karst

Bentuk-bentuk topografi karst mayor adalah :


a. Surupan (doline), yaitu depresi tertutup hasil pelarutan denagn
diameter mulai dari beberapa meter sampai beberapa kilometer,
kedalamannya mencapai ratusan meter dan bentuknya dapat
bundar atau lonjong (oval), (Twidale, 1967).
b. Uvala, adalah depresi tertutup yang besar, terdiri dari gabungan
beberapa doline, lantai dasarnya tidak rata. Jenning (1967) dalam
Ritter (1978), mengemukakan bahwa sebuah uvala terdiri dari 14
buah doline dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi.

7
c. Polje, yaitu depresi tertutup yang besar dengan lantai dasar dan
dinding yang curam, bentuknya tidak teratur dan biasanya
memanjang searah jurus perlapisan atau zona lemah structural.
Polje mempunyai ukuran yang sangat besar minimal dalam
satuan kilometer persegi.
d. Jendela Kars, adalah lubang pada atap gua yang menghubungkan
antara ruang dalam gua dengan udara diluar yang terbentuk
karena atap gua tersebut runtuh, (Twidale, 1976).
e. Lembah Kars (Kars Valley), adalah lembah atau alur yang besar
yang terdapat pada lahan kars.
f. Gua (Cave), yaitu ruangan bawah tanah yang dapat dicapai dari
permukaan dan cukup besar bila dimasuki oleh manusia
(Sanders, 1981).
g. Terowongan dan Jembatan Alam, yaitu lorong bawah tanah yang
terbentuk oleh pelarutan dan penggerusan air tanah atau oleh
aliran bawah tanah (Von Engeln, 1942).

(a). Dolina (b). Polje

8
(c). Gua karst

(d). Lembah karst


Gambar 2.3. (a-d) Berbagai topografi mayor karst

2.4.2. Bentuk-bentuk Sisa Pelarutan


Yang dimaksud dengan bentuk morfologi sisa pelarutan adalah
morfologi yang terbentuk karena pelarutan dan erosi sudah berjalan
sangat lanjut sehingga meninggalkan sisa yang khas untuk lahan
kars. Morfologi sisa dapat berkembang baik terutama pada daerah
yang beriklim tropis basah (Bloom, 1979).
Macam-macam bentuk morfologi sisa yaitu :
a. Kerucut Kars, yaitu bukit kars yang berbentuk kerucut, berlereng
terjal dan dikelilingi oleh depresi yang biasanya disebut sebagai
bintang (Ritter, 1978).
b. Menara Kars, adalah bukit sisa pelarutan dan erosi berbentuk
menara dengan lereng yang terjal, tegak atau menggantung,
terpisah satu dengan yng lain dan dikelilingi oleh dataran alluvial
(Ritter, 1978).
c. Mogote, adalah bukit terjal yang merupakan sisa pelarutan dan
erosi, umumnya dikelilingi oleh dataran alluvial yang hampir rata
(flat). Mogote dan menara kars dibedakan dari bentuk dan
keterjalan lereng sisi-sisinya.

9
(a). Kerucut Karst (b). Menara Karst

(c). Mogote

(c). Mogote

Gambar 2.4. (a-c). Berbagai bentuk morfologi sisa

10
BAB III
PERHITUNGAN MORFOMETRI

Untuk pengukuran morfometri, pada praktikum ini menggunakan klasifikasi


relief Van Zuidam (1983).
Tabel 3.1. Klasifikasi Van Zuidam (1983)
Klasifikasi Relief Persen Lereng (% ) Beda Tinggi (m)
Datar / hampir rata 0–2 < 50
Bergelombang landai 3–7 5 – 50
Bergelombang miring 8 – 13 25 – 75
Berbukit bergelombang 14 – 20 50 – 200
Berbukit terjal 21 – 55 200 – 500
Pegunungan sangat terjal 56 – 140 500 – 1000
Pegunungan sangat curam > 140 > 1000

1
IK = 2000 × 25000 = 12,5 𝑚

∆ℎ𝑘𝑜𝑛𝑡𝑢𝑟 = 12,5𝑚 × 5 = 62,5 𝑚

∆ℎ
%𝑙𝑒𝑟𝑒𝑛𝑔 = × 100%
𝑑 (𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟)

3.1. Satuan Bentang Alam Karst


3.1.1. Panjang Sayatan
- Sayatan a1 = 0,4 cm d = 0,4 × 25000 = 10000 cm = 100 m
- Sayatan a2 = 0,4 cm d = 0,4 × 25000 = 10000 cm = 100 m
- Sayatan a3 = 0,7 cm d = 0,7 × 25000 = 17500 cm = 175 m
- Sayatan a4 = 2,1 cm d = 2,1 × 25000 = 52500 cm = 525 m
- Sayatan a5 = 0,6 cm d = 0,6 × 25000 = 15000 cm = 150 m

11
3.1.2. Persen Kelerengan
62,5
- % Lereng Sayatan a1 = × 100% = 62,5%
100
62,5
- % Lereng Sayatan a2 = × 100% = 62,5%
100
62,5
- % Lereng Sayatan a3 = × 100% = 35,71%
175
62,5
- % Lereng Sayatan a4 = × 100% = 11,9%
525
62,5
- % Lereng Sayatan a5 = × 100% = 41,67%
150

- % Kelerengan Rata-rata Satuan Kontur Rapat =


62,5%+62,5%+35,71%+11,9%+41,67% 214,28%
= = 42,856%
5 5

3.1.3. Beda tinggi


Tophill – Lowhill = 635 m – 413 m = 222 m
3.1.4. Hasil
Berdasarkan perhitungan di atas, maka satuan bentang alam karst ini
dapat digolongkan dalam Berbukit Terjal di dalam Tabel Klasifikasi
Van Zuidam (1983).

3.2. Satuan Bentang Alam Struktural


3.2.1. Panjang Sayatan
- Sayatan b1 = 0,6 cm d = 0,6 × 25000 = 15000 cm = 150 m
- Sayatan b2 = 0,7 cm d = 0,7 × 25000 = 17500 cm = 175 m
- Sayatan b3 = 0,9 cm d = 0,9 × 25000 = 22500 cm = 225 m
- Sayatan b4 = 1 cm d = 1 × 25000 = 25000 cm = 250 m
- Sayatan b5 = 1 cm d = 1 × 25000 = 25000 cm = 250 m
3.2.2. Persen Kelerengan
62,5
- % Lereng Sayatan b1 = × 100% = 41,67%
150
62,5
- % Lereng Sayatan b2 = × 100% = 35,71%
175
62,5
- % Lereng Sayatan b3 = × 100% = 27,78%
225
62,5
- % Lereng Sayatan b4 = × 100% = 25%
250

12
62,5
- % Lereng Sayatan b5 = × 100% = 25%
250

- % Kelerengan Rata-rata Satuan Kontur Renggang =


41,67%+35,71%+27,78%+25%+25% 155,16%
= = 31,032%
5 5

3.2.3. Beda Tinggi


Tophill – Lowhill = 587 m – 203 m = 384 m
3.2.4. Hasil
Berdasarkan perhitungan di atas, maka satuan bentang alam struktural
ini dapat digolongkan dalam Berbukit Terjal di dalam Tabel
Klasifikasi Van Zuidam (1983).

13
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada praktikum Geomorfologi Acara Bentang Alam Karst ini, praktikan


menggunakan peta topografi Daerah Yogyakarta. Di dalam peta topografi
tersebut, dapat diamati adanya dua satuan pembagian delineasi, yaitu satuan
bentang alam karst dan bentang alam struktural.

4.1. Satuan Bentang Alam Karst


Pembagian satuan delineasi bentang alam karst ditandai dengan
pemberian warna orange. Pada peta topografi, daerah satuan bentang alam
karst memiliki kenampakan berupa kontur-kontur yang banyak dan
antarkonturnya membentuk pola seperti lingkaran atau oval. Hal itu
menunjukkan bahwa relief dari permukaannya akan cenderung berbukit-
bukit dan tidak rata.
Praktikan membuat lima (5) buah sayatan yang masing-masing
memotong lima (5) garis kontur pada daerah delineasi ini. Setelah dilakukan
perhitungan morfometri, diperoleh klasifikasi kelerengan berdasarkan
klasifikasi Van Zuidam (1983). Dari kelima sayatan pada satuan karst
tersebut kemudian dihitung persentase kelerengannya yang didapat dari
62,5%+62,5%+35,71%+11,9%+41,67% 214,28%
hasil reratanya, yaitu = =
5 5

42,856%. Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1983), daerah delineasi


karst tersebut termasuk ke dalam daerah Berbukit Terjal. Selain kelerengan,
juga dihitung beda ketinggian yang didapat dengan cara mengurangkan titik
tertinggi (tophill) dengan titik terendah (lowhill) yang ditemui pada bagian
delineasi karst. Hasil yang didapat adalah 635 m – 413 m = 222 m. Maka
angka tersebut dapat digolongkan ke dalam klasifikasi berbukit terjal dalam
kalsifikasi Van Zuidam. Maka untuk satuan delineasi bentang alam karst ini
dapat diklasifikasikan dalam relief Berbukit Terjal. Dalam membuat sayatan

14
tersebut, usahakan agar posisi kelima sayatan menyebar secara merata agar
hasilnya dapat mewakili seluruh daerah delineasi bentang alam karst.
Berdasarkan pola pengaliran yang telah dibuat, bahwa pada daerah
yang termasuk daerah bentang alam karst, cukup sulit untuk ditemukannya
sungai yang mengalir memanjang. Tidak dapat ditemukan sama sekali pola
sungai yang mengalir memanjang. Sedangkan di daerah karst ini masih
dapat kita temukan adanya sungai-sungai yang memiliki bentuk tidak
sempurna. Kenampakannya pada peta topografi berupa garis terputus-putus
membentuk lingkaran yang kecil. Pola pengaliran seperti ini dikenal dengan
istilah Multi Basinal. Pola pengaliran seperti ini merupakan pola pengaliran
yang tidak sempurna, kadang tampak kadang hilang yang disebut sebagai
sungai bawah tanah. Pola pengaliran ini memang penciri bahwa suatu
daerah merupakan daerah karst atau daerah batugamping.
Pembentukan daerah dengan bentang alam karst semacam ini
diawali dengan litologi suatu daerah yang memiliki kandungan lebih dari
50% batuannya berupa batuan yang mudah larut, yaitu batugamping. Akibat
adanya gaya yang bekerja pada lapisan batuan yang tebal ini, maka
terbentuklah kekar-kekar yang kemudian memberi celah bagi air asam untuk
masuk dan melarutkan. Proses terbentuknya bentuk lahan seperti ini lebih
dipengaruhi oleh proses eksogen yang berupa proses pelarutan
batugamping. Proses pelarutan ini dapat terdiri dari proses erosi dan
pelapukan. Proses pelarutan ini dapat menyebabkan terbentuknya sungai
bawah tanah dimana pada sungai ini terdapat air yang sangat jernih. Hal ini
yang menyebabkan tidak ditemukannya aliran sungai di permukaan tanah,
melainkan berupa sungai-sungai bawah tanah yang kenampkannya hanya
berupa sungai yang menghilang ke dalam tanah.
Daerah ini menunjukkan ciri-ciri adanya bentuk lahan yang
berbukit-bukit bila diamati berdasarkan profil eksagrasi yang telah dibuat.
Kemungkinan, dapat ditemui banyak perbukitan karst yang tersebar di
beberapa wilayah, seperti di Gunung Weru atau di Gunung Rajutan.
Sehingga pada daerah karst ini tidak cocok dijadikan pemukiman dan lahan

15
pertanian warga, karena suatu kondisi alam yang tidak efektif dan efisien
akibat litologinya yang kurang mendukung. Namun daerah dengan litologi
seperti ini biasanya dapat dimanfaatkan untuk daerah pertambangan
batugamping yang dimanfaatkan warga. Selain itu, daerah dengan
kenampakan karst biasanya juga dimanfaatkan sebagai objek wisata dan
objek studi geologi.

4.2. Satuan Bentang Alam Struktural


Pembagian satuan delineasi bentang alam struktural ditandai dengan
pemberian warna ungu. Pada peta topografi, daerah satuan bentang alam
struktural memiliki kenampakan berupa kontur-kontur yang banyak dan
antarkonturnya berjarak dekat (rapat). Hal itu menunjukkan bahwa beda
ketinggian antartitik akan cukup besar di lapangan. Maka, relief dari
permukaannya akan cenderung terjal.
Praktikan membuat lima (5) buah sayatan yang masing-masing
memotong lima (5) garis kontur pada daerah delineasi ini. Setelah dilakukan
perhitungan morfometri, diperoleh klasifikasi kelerengan berdasarkan
klasifikasi Van Zuidam (1983). Dari kelima sayatan pada satuan struktural
tersebut kemudian dihitung persentase kelerengannya yang didapat dari
41,67%+35,71%+27,78%+25%+25% 155,16%
hasil reratanya, yaitu = = 31,032%.
5 5

Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1983), daerah delineasi struktural


tersebut termasuk ke dalam daerah Berbukit Terjal. Selain kelerengan, juga
dihitung beda ketinggian yang didapat dengan cara mengurangkan titik
tertinggi (tophill) dengan titik terendah (lowhill) yang ditemui pada bagian
delineasi struktural. Hasil yang didapat adalah 587 m – 203 m = 384 m.
Maka angka tersebut dapat digolongkan ke dalam klasifikasi berbukit terjal
dalam kalsifikasi Van Zuidam. Maka untuk satuan delineasi struktural ini
dapat diklasifikasikan dalam relief Berbukit Terjal. Dalam membuat sayatan
tersebut, usahakan agar posisi kelima sayatan menyebar secara merata agar
hasilnya dapat mewakili seluruh daerah delineasi struktural.

16
Berdasarkan pola pengaliran yang telah dibuat, bahwa pada daerah
yang termasuk daerah struktural, cukup sulit ditemukannya sungai yang
mengalir memanjang. Hanya terdapat sedikit sungai yang memiliki
kenamapakan memanjang, dan itu hanya dalam jarak yang kecil. Sedangkan
di daerah struktural ini masih dapat kita temukan adanya sungai-sungai yang
memiliki bentuk membundar. Pola pengaliran seperti ini dikenal dengan
istilah Multi Basinal. Dapat diinterpretasikan bahwa pada daerah
berstruktural ini masih mendapat pengaruh dari daerah karst di dekatnya.
Letak pembentukan bentang alam struktural ini berdekatan dengan
bentang alam karst. Hal ini dikarenakan kedua lahan ini terbentuk sebagai
akibat dari adanya proses endogen yang berupa proses tektonik, yaitu proses
pengangkatan. Hanya saja yang membedakannya adalah litologi dari masing
– masing daerah. Karena kesamaan pembentukan ini, maka dapat
disimpulkan bahwa daerah ini dahulu kala merupakan daerah yang terdapat
di dasar laut, namun karena adanya proses tektonik yang berupa proses
pengangkatan maka daerah ini terangkat ke atas dan berkembang menjadi
sebuah daratan. Ciri yang menunjukkan bahwa daerah ini terangkat adalah
kenampakan dari bentang alam kars itu sendiri yang menunjukkan adanya
litologi batugamping dimana litologi ini umumnya terdapat di laut dangkal
dan terbentuk dari kumpulan sisa – sisa organisme laut yang telah mati yang
kemudian terendapkan di laut dangkal. Selain itu, juga dapat dibuktikan
dengan kelerengan pada daerah ini yang lebih landai daripada kelerengan di
daerah struktural. Dimana ketika proses pengangkatan terjadi daerah
struktural sudah terbentuk dahulu di atas lautan, sehingga ketika proses
pengangkatan berlangsung, maka daerah struktural akan semakin terangkat
ke atas sehingga dapat membentuk kelerengan yang terjal, sedangkan pada
daerah kars akan membentuk sebuah daratan karena proses pengangkatan
tersebut dimana kelerengannya lebih landai dari daerah struktural.
Daerah ini menunjukkan ciri-ciri adanya bentuk lahan yang terjal
dan dengan kemiringan yang cukup tinggi. Sehingga pada daerah struktural
ini tidak cocok dijadikan pemukiman dan lahan pertanian warga, karena

17
suatu kondisi alam yang tidak efektif dan efisien serta karena kecuramannya
yang cukup tinggi. Maka dapat memungkinkan bencana longsor. Namun
daerah pada ketinggian tinggi biasanya dapat dimanfaatkan untuk daerah
perkebunan. Selain itu, daerah dengan kenampakan struktur geologi dapat
dimanfaatkan sebagai objek studi geologi.

18
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
 Pada peta topografi, bentang alam karst ditandai dengan daerah
delineasi berwarna orange. Bentang alam ini mempunyai % kelerengan
sebesar 42,856% dan beda tinggi 222 m, sehingga dapat digolongkan ke
dalam relief Berbukit Terjal berdasarkan kalsifikasi van Zuidam (1983).
Bentang alam ini memiliki pola pengaliran sungai multi basinal dan
morfologi perbukitan.
 Pada peta topografi, bentang alam struktural ditandai dengan daerah
delineasi berwarna ungu. Bentang alam ini mempunyai % kelerengan
sebesar 31,032% dan beda tinggi 384 m, sehingga dapat digolongkan ke
dalam relief Berbukit Terjal berdasarkan kalsifikasi van Zuidam (1983).
Bentang alam ini memiliki pola pengaliran sungai dendritik dan
morfologi perbukitan yang terjal.

5.2. Saran
 Para praktikan diharapkan untuk dapat bekerja dengan lebih teliti dan
cepat
 Para asisten diharapakan untuk tetap menyampaikan penjelasan dan
materi dengan baik dan sabar

19
DAFTAR PUSTAKA

Staff Asisten Geomorfologi dan Geologi Foto. 2012. Buku Panduan Praktikum
Geomorfologi dan Geologi Foto Edisi ke-6. Semarang: UNDIP

20

Anda mungkin juga menyukai