Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan
penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. Selain mencegah
infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota
gerak. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur
terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debridemen
yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang
dini serta pemberian antibiotik yang adekuat.

Gustilo dan Anderson melaporkan bahwa 50,7 % dari pasien mereka


memiliki hasil kultur yang positif pada luka mereka pada evaluasi awal.
Sementara 31% pasien yang memiliki hasil kultur negatif pada awalnya, menjadi
positif pada saat penutupan definitf. Oleh karena itu, setiap upaya dilakukan untuk
mencegah masalah potensial tersebut dengan penanganan dini.

Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu


anestesi umum dan anestesi regional. Salah satu anestesi regional yang
banyak digunakan adalah subarachnoid block (SAB) atau disebut juga anestesi
spinal.
SAB menimbulkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok motorik
(tergantung pada dosis, konsentrasi atau volume dari anestesi lokal).
Keuntungan lain dari penggunaan neuraxial blok yang efektif adalah
penurunan tekanan darah arteri yang dapat diprediksi dan juga denyut nadi
sehubungan dengan simpatektomi dengan kejadian vasodilatasi dan blokade
serabut kardio selarator, untuk menjaga tekanan darah dan denyut nadi tetap
dalam batas normal, sering dibutuhakan obat vasoaktif dan cairan intravena.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur Terbuka Tibia-Fibula

2.1.1 Anatomi
Tibia berada pada batas anteromedial dan terletak pada subkutaneus. Pada
daerah diafisis bagian distal menjadi lebih tipis sehingga rentan terjadi cedera
twisting.
Kruris terbagi menjadi 4 kompatemen yang masing – masing diselubungi
oleh fascia. Kompartemen anterior terdiri dari 4 otot yaitu tibialis anterior,
extensor hallucis longus, extensor digitorum longus dan peroneus tertius. Dan
pada kompartemen ini terdapat arteri tibialis anterior, nervus peroneal deep.
Kompartemen lateral terdiri dari 2 otot yaitu peroneus longus dan
peroneus brevis disertai nervus peroneal superficial.
Kompartemen posterior terdiri dari 2 yaitu kompartemen posterior deep
dan kompartemen posterior superficial. Pada kompartemen posterior superficial
terdapat otot gastrocnemius, plantaris dan soleus. Gastrocnemius dan soleus
sangat penting untuk menutup defek pada fraktur diafisis tubia proksimal.
Kompartemen posterior deep sangat penting karena berhubungan dengan
kompartemen anterior dan biasanya terjadi sindrom kompartemen. Terdiri dari
flexor digitorum longus, flexor haliccis longus, dan tibialis posterior, disertai
arteri tibialis posterior dan nervus tibialis posterior. Dikarenakan nervus tibialis
posterior mensuplai motorik otot – otot kruris dan pedis maka adanya kerusakan
saraf ini perlu dipikirkan antara limb salvage ataupun amputasi.

2
2.1.2 Mekanisme Trauma
Terdapat 5 penyebab utama terjadinya fraktur diafisis tibia meliputi:
 Jatuh dari ketinggian
 Cedera olahraga
 Trauma langsung
 Kecelakaan motor
 Luka tembak
2.1.3 Klasifikasi Fraktur Terbuka
Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustillo Anderson

3
1. Tipe I : Lukanya bersih dan panjangnya < 1 cm
2. Tipe II : Panjang luka > 1 cm dan tanpa kerusakan jaringan lunak
yang luas
3. Tipe IIIA : Luka dengan kerusakan jaringan yang luas, biasanya > 10
cm dan mengenai periosteum. Fraktur tipe ini dapat disertai kemungkinan
komplikasi. Contohnya: luka tembak
4. Tipe IIIB : Luka dengan tulang yang periosteumnya terangkat
5. Tipe IIIC : Fraktur dengan gangguan vaskular dan memerlukan
penanganan terhadap vaskularnya agar vaskularisasi tungkai dapat normal
kembali.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Pada pasien yang sadar maka fraktur tibia dan fibula jelas dapat dikenali.
Adanya nyeri dan deformitas tampak jelas. Yang perlu diperhatikan adalah adanya
pembengkakkan jaringan lunak pada tempat fraktur. Pada pasien yang tidak sadar
dan mempunyai riwayat multiple trauma maka tibia perlu diperiksa secara teliti.
Anamnesa dilakukan untuk mengetahui penyebab fraktur dan
memperkirakan kerusakan jaringan lunak akibat fraktur tersebut. Adanya penyakit
penyerta yang dapat menyebabkan fraktur patologis perlu disingkirkan.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan asses terhadap derajat nyeri dan status
neurovaskular. Perlu diberikan perhatian khusus untuk mengenali tanda – tanda
sindrom kompartemen. Pada fraktur tibia dapat terjadi kerusakan nervus common
peroneal dan cabang – cabangnya seperti nervus tibial posterior, nervus sural dan
nervus saphenous. Pulsasi arteri dan capillary refill perlu dinilai.
Jika terdapat luka terbuka maka perlu dideskripsikan tentang ukuran dan
derajat kontaminasinya. Dan akan lebih baik jika melakukan pengambilan gambar
dengan kamera untuk aspek klinis dan legalitas. Adanya crush injury terutama
pada pengendara sepeda motor, pengguna obat – obatan dan pada usia tua. Adanya
crush injury dapat menyebabkan mionekrosis sehingga memerlukan tindakan
amputasi. Mioglobinuria yang dihasilkannya dapat menyebabkan gagal ginjal.
Fraktur tibia dapat disertai dengan cedera ligamen lutut dan sekitar 5 % berupa
fraktur bifocal.

4
2.1.5 Pemeriksaan Radiologi
Dilakukan pengambilan foto x-ray anteroposterior dan lateral. Pada x-ray harus
tampak adanya sendi ankle dan lutut untuk melihat adanya fraktur yang meluas
hingga ke sendi.
Beberapa hal penting yang harus diperhatikan pada foto x-ray:
1. Lokasi dan morfologi fraktur
2. Adanya garis fraktur sekunder yang dapat menjadi displaced selama operasi
3. Adanya comminutif menunjukkan gaya penyebab fraktur yang besar
4. Jarak fragmen tulang dari lokasi normal. Hal ini menunjukkan keadaan jaringan
lunak
5. Kondisi tulang. Dilihat adanya osteopenia, metastasis, atau adanya fraktur
sebelumnya
6. Adanya osteoarthritis
7. Adanya gas pada jaringan menunjukkan fraktur terbuka atau gas gangrene,
fasciitis nekrotik dan infeksi anaerob yang lain Jika secara klinis didapatkan
cedera vascular maka diperlukan pemeriksaan arteriografi.
2.1.6 Penatalaksanaan
Terdapat 4 prinsip penanganan fraktur diafisis tibia. Non operative terdiri
dari longleg casts maupun patellar tendon-bearing casts. Metode operative lainnya
meliputi plating, intramedullary nailing, dan fiksasi eksternal.
a. CASTING
Indikasi dilakukan casting jika fraktur tibia dengan comminutif minimal
yang stabil dan acceptable. Kriteria relative stabilitas adalah displacement kurang
dari 50% lebar tibia dan shortening kurang dari 1 cm. Pada foto x-ray angulasi
varus dan valgus kurang dari 5⁰ dan angulasi anterior dan posterior kurang dari
10⁰.
b. Patellar-Tendon-Bearing Casts (PTBC)
Sarmineto memperkenalkan casting patellar-tendon-bearing dimana
casting long – leg cast digunakan hingga bengkak menghilang. Atau adanya long
leg cast dapat diiganti dengan PTBC setelah 3- 4 minggu dan harus dilakukan
pemeriksaan x-ray ulang untuk memastikan dalam aligment yang baik. Namun

5
jika dibandingkan dengan penggunaan intramedullary nail menunjukkan lebih
sedikit komplikasi non union dan malunion. Dan pada terapi casting, 27% pasien
menunjukkan malaligment varus dan valgus yang signifikan, 46% terjadi
shortening. Dan 54% pasien yang mendapat terapi casting bersifat tidak stabil dan
memerlukan tambahan screw ataupun wiring.
c. Operative
Indikasi operasi dibagi menjadi indikasi absolute dan relative
Indikasi absolute:
 Fraktur terbuka
 Fraktur dengan cedera vascular
 Fraktur dengan sindrom kompartemen
 Pasien dengan cedera multiple untuk meningkatkan mobilisasi, mengurangi
nyeri dan mengurangi pelepasan mediator – mediator sehingga menurunkan
resiko sindrom distress pernafasan.
Indikasi relative:
 Adanya shortening yang signifikan pada foto x-ray
 Cominutif yang signifikan
 Fraktur tibia dengan fibula yang intak
d. Intramedullary Nailing
Closed intramedullar nailing digunakan untuk Open fraktur tibia tipe I, II,
III A dan fraktur tertutup tibia terutama fraktur tibia segmental dan bilateral.
Intramedullary nailing menjaga jaringan lunak sekitar tempat fraktur dan
memberikan keuntungan mobilisasi lebih awal. Locking nails pada daerah
proksimal dan distal memberikan control panjang, aligment dan rotasi pada
fraktur tidak stabil dan memberikan stabilisasi pada fraktur tibia yang terletak 3-4
cm diatas sendi ankle. Nailing tidak direkomendasikan untuk pasien dengan fisis
terbuka, deformitas anatomis, luka bakar ataupun luka terbuka, serta fraktur
terbuka tipe III C.

6
Komplikasi tersering pada terapi intramedullary nailing tibia adalah nyeri
pada knee anterior. Penyebab nyeri ini masih belum jelas, namun disebutkan
beberapa factor yang mempengaruhi seperti usia muda, pasien aktif, adanya nail
prominence diatas cortex tibia proksimal, robekan meniscus, cedera intraarticular,
peningkatan tekanan pada artikulasi patellofemoral, cedera nervus infrapatellar,
dan pembentukkan scar akibat pembedahan. Selain itu, dapat timbul komplikasi
berupa gangguan neurologi, cedera vascular, meningkatnya kerusakan tulang.
e. Fiksasi Plate dan Screw
Fiksasi dengan plating diindikasikan untuk frkatur tibia prokssimal dan
distal yang displaced dan tidak stabil baik dengan atau tanpa keterlibatan
intrartikular. Reduksi terbuka dan plating memberikan hasil fiksasi stabil,
mobilisasi awal sendi knee dan ankle dan memelihara panjang serta alignment.
Kerugian pemasangan plate adalah membuka jaringan lunak dan dapat
menyebabkan komplikasi infeksi.
f. Fiksasi External
Tiga tipe fixators terdiri dari half-pin fixators, wire dan ring fixators dan
hybrid fixators. Fikasi eksterna memberikan fiksasi stabil, menjaga vaskularitas
tulang dan menjaga jaringan lunak, sedikit perdarahan. Komplikasi tersering
fiksasi eksterna adalah infeksi pin site, malunion, joint stiffness, delayed union.
Fiksasi eksterna digunakan pada fraktur terbuka berat (tipe IIIB dan tipe C).

7
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi Fraktur
1.Sindrom kompartemen
Jika terjadi sindrom kompartemen maka fasciotomi emergency 4
kompartemen kruris harus segera dilakukan.
2.Infeksi dalam
Infeksi pada fraktur tertutup sangat sedikit yaitu 1%, tetapi pada fraktur
terbuka Gustilo tipe IIIB dapat mencapai 25 – 50%
3.Cedera vascular
Adanya cedera arteri dapat berakhir dengan amputasi jika tidak segera
ditangani.
4.Malreduksi/Malalignment
Pada fraktur dengan shorteing yang signifikan, comminution signifikan
dan fibula yang intak jika diterapi non operatif maka kemungkinan besar
terjadi malunion.
Komplikasi terapi:
1. Penyembuhan luka
2.Osteomielitis
3.Sindrom kompartemen
4.Infeksi Pin track
Klasifikasi Dahl untuk pin track infeksi

8
2.2 REGIONAL ANESTESI SUBARACHNOID BLOCK (RA-SAB)
2.2.1 Sejarah RA-SAB
Anestesi spinal pertama kali dikenal tahun 1885 dan digunakan dalam
klinik oleh August Bier pada tahun 1898 di kota Keil, Jerman. SAB pertama kali
digunakan untuk prosedur pembedahan pada abad lalu, digunakan secara luas
sampai tahun 1940-an, sampai pada akhirnya banyak dilaporkan cedera
neurologik yang permanen. Publikasi dari studi epidemiologi tahun 1950
menunjukkan bahwa komplikasi sangat jarang terjadi jika dilakukan dengan
teknik yang benar dengan perhatian pada tindakan asepsis dan penggunaan
lokal anestesi yang aman. Anestesi spinal memberikan lapangan yang luas bagi
ahli anestesi, sebagai alternatif anestesi umum jika kondisi memungkinkan.
2.2.2 Definisi RA-SAB
Anestesi regional adalah pemberian anestesi ke bagian tubuh tanpa terjadi
hilangnya kesadaran atau berkurangnya kesadaran. Ada dua kelompok teknik –
central neuraxis blockade (blokade epidural atau subarachnoid) dan peripheral
nerve blockade.
Persiapan analgesia spinal terdiri dari melakukan informed consent (izin
dari pasien), pemeriksaan fisik (ada tidaknya kelainan punggung), dan
pemeriksaan laboratorium anjuran (hemoglobin, hematokrit, PPT dan aPTT).
Peralatan yang diperlukan dalam analgesia spinal ini terdiri aatas peralatan
monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetry, dan EKG; peralatan
resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (Quincke-
Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil.
2.2.3 Indikasi RA-SAB
Indikasi dilakukannya teknik anastesi RA-SAB adalah sebagai berikut:
1. Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena terdapat
inervasi pada buli buli kencing)
2. Hysterectomy
3. Caesarean section (T6)
4. Evakuasi alat KB yang tertinggal
5. Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti
arthroplasty
6. Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal
2.2.4 Kontraindikasi RA-SAB
Kontraindikasi Absolut
- Pasien menolak
- Deformitas pada lokasi injeksI

9
- Hipovolemia berat
- Sedang dalam terapi antikoagulan
- Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aorta
- Peningkatan tekana intracranial.
Kontraindikasi Relatif
- Infeksi sistemik (sepsis, bacteremia)
- Infeksi sekitar tempat penyunikan
- Kelainan neurologis
- Kelainan psikis
- Bedah lama
- Penyakit jantung
- Hipovolemia ringan
- Nyeri punggung kronis
2.2.5 Komplikasi RA-SAB
Komplikasi Pasca Tindakan
- Nyeri tempat suntikan
- Nyeri punggung
- Nyeri kepala karena kebocoran likuor
- Retensio urine
- Meningitis
2.2.6 Teknik Anastesi
Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau
posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan
posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus
lateral. Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga agar tulang
spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat
tusukannya, misalnya L2-L3, L3-L4, atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2
atau di atasnya berisiko trauma medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G,
23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil
27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum),
yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-
kira 2 cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal

10
berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi
menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah 1,003 –
1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut
isobaric. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut
hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS
disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan
dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh
dengan mencampur dengan air injeksi.

2.2.7 Preoperatif
a) Penilaian Preoperatif
Penilaian preoperatif merupakan langkah awal dari serangkaian tindakan
anesthesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk
menjalani tindakan operatif.
Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau
pascabedah
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan.
b) Tatalaksana evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis baik autoanamnesis maupun hetero anamnesis, yakni meliputi
identitas pasien, anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang
mungkin menimbulkan kerusakan fungsi organ, dan anamnesis umum yang

11
meliputi riwayat penyakit sistemik, riwayat pemakaian obat-obatan, riwayat
operasi/anestesia terdahulu, kebiasaan buruk, dan riwayat alergi.
2. Pemeriksaan fisik
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran, frekuensi
nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status
gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan fisik umum yang meliputi
pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit darah,
gastrointestinal, hepato-bilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik dan
endokrin, otot rangka.
1) Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
Meliputi pemeriksaan rutin yakni pemeriksaan darah dan urin. Selain itu
pada pasien yang akan operasi besar dan pasien yang menderita penyakit sistemik
tertentu diperlukan pemeriksaan khusus sesuai indikasi yang meliputi
pemeriksaan laboratorium lengkap, pemeriksaan radiologi.
2) Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital
Konsultasi dilakukan dengan lab/staf medis fungsional yang terkait bila
dijumpai gangguan fungsi organ, konsultasi bisa dilakukan berencana atau
darurat. Koreksi dapat dilakukan bila dianggap perlu, pada kasus elektif koreksi
dapat dilkukan mandiri oleh staf medis fungsional ataupun bersama dengan staf
medis lain di bangsal, pada kasus darurat koreksi dilakukan bersama diruang
resusitasi IRD atau di kamar operasi IRD.
3) Menentukan prognosis pasien perioperative
Hal ini dapat menggunakan klasifikasi yang dibuatoleh American Society
of Anesthesiologist (ASA).

Tabel 1 Klasifikasi ASA


Kelas Definisi
ASA 1 pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
ASA 2 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
sistemikringan sampai sedang
ASA 3 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit

12
sistemik berat yang disebabkan karena berbagai penyebab
tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya.
ASA 5 pasien penyakit bedah dengan disertai dengan penyakit
sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam24 jam pasien meninggal.
ASA 6 pasien mati batang otak yang akan menjalani transplantasi
organ untuk donor.
E Jika prosedur merupakan prosedur emergensi, maka status
pemeriksaan diikuti “E” (Misal, “2E”)

Klasifikasi status fisik ASA bukan merupakan alat prakiraan risiko


anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping
pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6
selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status
fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
Karena penyakit yang mendasari hanyalah satu dari banyak faktor yang
berkontribusi terhadap komplikasi periopertif. Meskipun begitu, klasifikasi status
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik
monitoring.
3. Persiapan Preoperatif
1. Masukan oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.

13
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.
2. Terapi Cairan
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
defisit cairan karena durasi puasa . Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan
dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat, dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan
paru. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa.
3. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestetik
 Mengurangi mual muntah pasca bedah
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi reflek yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada
situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan
bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi
anestesi. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya
petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian di atas dapat diberikan antagonis reseptor H2
histamin misalnya simetidin 600 mg atau oral ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum
jadwal operasi. Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuskular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansetron 2-4 mg.
Sebelum dilakukan anestesi, pasien diberikan premedikasi berupa
pemberian injeksi Metoclopramide 10mg dan injeksi Ranitidine 50mguntuk

14
profilaksis dari PONV (postoperative nausea and vomiting). Metoclopramide
digunakan sebagai anti emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan
metokloperamide dikarenakan obat ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin
pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus sfinger esofagus bagian bawah,
mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung
sehingga efek-efek ini akan menimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.
Metokloperamide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi
yang berhubungan dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram
uterus, dll). Selain itu metokloperamide juga berefek memblok receptor
Dopamine pada chemoreceptor trigger zone pada sistem saraf pusat sehingga
sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi.
Obat premedikasi lain yang digunakan adalah ranitidin. Pemilihan
ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga
dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko
4.
2.2.8 Durante Operasi
a. Persiapan Pasien
Pasien ddilakukan monitor balans cairan. Perlu juga untuk mengatur suhu
pendingin ruangan.
b. Pemakaian Obat Anestesi
Infiltrasi lokal menggunakan lidokain 5% di area L4-L5 dengan menyusuri
krista iliaka. Dilanjutkan anestesi dengan morfin 0.1 mg bersama dengan
bupivacaine0.5% dengan dosis 12.5 mg.
c. Terapi Cairan
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular
weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga
mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer
besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian
besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan
dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.

15
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.
Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan
hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan
baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut
cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan
jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan
sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium
serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit
pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling
fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah
volume darah yang hilang.
Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan
darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual
memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon
ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat menyerap
100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika spons atau lap
tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah.
d. Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam
mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring
intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor berikut ini adalah standard
minimal monitoring):
1. Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada
kondisi emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standard ini
ditujukan hanya tentang basic anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu
komponen perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim

16
(1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)
penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk mendeteksi
perkembangan klinis selanjutnya.
1) Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general
anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.
2) Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan
temperature pasien harus dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
- Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.2.9 Postoperatif
a. Pemindahan Pasien dari Kamar Operasi ke Recovery Room
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care
unit(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Di tempat ini, pasien akan
diobservasi dengan ketat, termasuk vital signdan level nyerinya. Pemindahan
pasien dari kamar operasi ke PACU memerlukan pertimbangan-pertimbangan
khusus. Pertimbangan ini di antaranya ialah letak insisi bedah. Letak insisi bedah
harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien pasca operasi dipindahkan.
Banyak luka ditutup dengan tegangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya
dilakukan untuk mencegah regangan sutura yang lebih lanjut. Selain itu, pasien
diposisikan sehingga tidak berbaring pada posisi yang menyumbat drain dan
selang drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari
satu posisi ke posisi yang lain. Bahkan memindahkan pasien yang telah dianestesi

17
ke brankard dapat menimbulkan masalah vaskular juga. Untuk itu pasien harus
dipindahkan secara perlahan dan cermat. Segera setelah pasien dipindahkan ke
brankard atau tempat tidur, pakaian pasien yang basah (karena darah atau cairan
lainnya) harus segera diganti dengan pakaian yang kering untuk menghindari
kontaminasi. Selama perjalanan transportasi tersebut pasien diselimuti dan
diberikan pengikat di atas lutut dan siku serta side railharus dipasang untuk
mencegah terjadinya risiko injury.
Selain itu, hal tersebut di atas untuk mempertahankan keamanan dan
kenyamanan pasien. Selang dan peralatan drainase harus ditangani dengan cermat
agar dapat berfungsi dengan optimal. Pasien ditransportasikan dari kamar operasi
ke PACU. Jika PACU terletak jauh dari kamar operasi, atau jika kondisi umum
pasien jelek, monitoring adekuat terhadap pasien sangat diperlukan. Dokter
anestesi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa proses transfer tersebut
berjalan dengan lancar.
b. Perawatan Post Anestesi di Recovery Room
Recovery dari anestesi terjadi ketika efek obat-obatan anestesi hilang dan
fungsi tubuh mulai kembali. Perlu beberapa waktu sebelum efek anestesi benar-
benar hilang. Setelah anestesi, sejumlah kecil obat masih terdapat dalam tubuh
pasien, tetapi efeknya minimal.
Waktu recovery dari anestesi bergantung pada jenis anestesi, usia pasien,
jenis operasi, durasi operasi, pre-existing disease, dan sensitivitas individu
terhadap obat-obatan. Perkiraan waktu recovery yang tepat dapat ditentukan jika
semua spesifikasi pembedahan, riwayat pasien dan jenis anestesi diketahui.
Observasi ketat harus terus dipertahankan hingga pasien benar-benar pulih
dari anestesia. Observasi klinis harus dilakukan dengan pemantauan seperangkat
alat berikut :
a. Pulse oximeter
b. Non-invasive blood pressure monitor
c. Elektokardiograf
d. Nerve stimulator
e. Pengukur suhu

1) Risiko Pasca anestesia, dibagi dalam 3 kelompok:

18
a) Kelompok I : pasien dengan risiko tinggi gagal nafas dan goncangan
kardiovaskular pasca anesthesia/bedah, sehingga perlu nafas kendali pasca
anestesia/bedah, pasien ini langsung dirawat di Unit Terapi Intensif pasca
anesthesia/bedah.
b) Kelompok II : sebagian besar pasien masuk dikelompok ini, perawatan pasca
anesthesia bertujuan menjamin agar pasien secepatnya mampu menjaga
respirasi yang adekuat.
c) Kelompok III: pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan.
Pada pasien ini respirasi adekuat harus dipertahankan selain itu juga harus
bebas dari rasa ngantuk, ataksia, nyeri dan kelemahan otot sehingga pasien
dapat kembali pulang.

2) Ruang Pulih
a) Tujuan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih: memantau secara kontinyu
dan mengobati secara cepat dan tepat masalah respirasi dan sirkulasi,
mempertahankan kestabilan sistem respirasi dan sirkulasi, memantau
perdarahan luka operasi, mengatasi/mengobati masalah nyeri pasca bedah.
b) Pasien yang tidak memerlukan perawatan pasca anesthesia di ruang pulih:
pasien dengan anesthesia lokal yang kondisinya normal, pasien dengan risiko
tinggi tertular infeksi sedangkan di ruang pulih tidak ada ruang isolasi, pasien
yang tidak memerlukan terapi intensif, pasien yang akan dilakukan tindakan
khusus di ruangan.
3) Pemantauan dan penanggulangan kedaruratan Medik
c) Hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu meliputi pemulihan kesadaran, respirasi
(sumbatan jalan nafas dan depresi nafas), sirkulasi (tekanan darah dan denyut
jantung), fungsi ginjal dan saluran kencing, fungsi saluran cerna, aktivitas
motorik, suhu tubuh, masalah nyeri, posisi pasien, pemantauan pasca
anesthesia dan criteria pengeluaran yakni dengan menggunakan Skor Aldrete.
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pengaruh anestesi,
yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi oksigen minimal
95%, dan tingkat kesadaran baik.

19
Tabel 2 Aldrete Score
POSTANESTHETIC ALDRETE RECOVERY SCORE
ORIGINAL CRITERIA Modified Criteria PointValue
COLOR Oxygenation
PINK SpO2>92% on room air 2
PALE OR DUSKY SpO2>90% on oxygen 1

CYANOTIC SpO2<90% on oxygen 0


RESPIRATION

CAN BREATHE DEEPLY Breathes deeply and coughs 2


freely
AND COUGH
SHALLOW BUT ADEQUATE Dyspneic, shallow or limited 1
breathing
EXCHANGE
APNEA OR OBSTRUCTION Apnea 0

CIRCULATION

BLOOD PRESSURE WITHIN Blood pressure ± 20 mmHg of 2


normal
20% OF NORMAL
BLOOD PRESSURE WITHIN Blood pressure ± 20–50mmHg 1
of normal
20–50% OF NORMAL
BLOOD PRESSURE Blood pressure more than ± 50 0
mmHg of normal
DEVIATING >50% FROM

NORMAL
CONSCIOUSNESS

AWAKE, ALERT, AND Fully awake 2

ORIENTED

20
AROUSABLE BUT READILY Arousable on calling 1

DRIFTS BACK TO SLEEP


NO RESPONSE Not responsive 0

ACTIVITY
MOVES ALL EXTREMITIES Same 2

MOVES TWO EXTREMITIES Same 1

NO MOVEMENT Same 0

Berdasarkan pada Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score.


Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score
revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.Idealnya, pasien di-discharge bila total skor
10 atau minimal 9.
Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien
untuk dikeluarkan dari PACU adalah:
a. Fungsi pulmonal yang tidak terganggu
b. Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat
c. Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah
d. Orientasi pasien terhadap tempat, waktu, dan orang
e. Produksi urin tidak kurang dari 30 ml/jam
f. Mual dan muntah dalam kontrol
g. Nyeri minimal
Kontrol nyeri postoperatif, mual dan muntah, dan mempertahankan
normotermia sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem skoring
untuk discharge digunakan secara luas. Sebagian besar kriteria yang dinilai adalah
SpO2 (atau warna kulit), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik.
Sebagian besar pasien memenuhi kriteria discharge dalam waktu ± 60 menit di
PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general anestesi
seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.
Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang
sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30%
pasien. Bahkan, PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah
discharge (postdischarge nausea and vomiting).

21
Terjadi peningkatan insiden mual setelah pemberian opioid selama
anestesi, setelah pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi
strabismus. Insidensi tertinggi terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus
vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi yang seringkali mendahului atau
bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan insiden PONV.
Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti
ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak). Metoclopramide, 0.15 mg/kg
intravena, kurang efektif tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT 3
antagonis tidak berhubungan dengan manifestasi akut extrapyramidal (dystonic)
dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh metoclopramide atau
phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in
children), bila dikombinasikan dengan antiemetik lainnya biasanya efektif untuk
mual dan muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa
digunakan untuk postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis
untuk mencegah PONV misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa
dan stimulasi P6 acupuncture point (pergelangan tangan).

2.2.10 Efek RA-SAB


Subarachnoid block (SAB) adalah salah satu teknik anestesi regional
dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang subarachnoid
dengan tujuan untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu dan
relaksasi otot rangka. Penyuntikan obat anestetik local pada ruang subarachnoid
diantara konus medularis dan bagian akhir dari ruang subarachnoid adalah
untuk menghindari adanya kerusakan pada medulla spinalis. Pada orang dewasa,
obat anestetik local disuntikan ke dalam ruang subarachnoidantara L2 dan
L5(biasanya antara L3 dan L4). Untuk mendapatkan blokade sensoris yang
luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung kepada banyak
factor, antara lain posisi pasien dan berat jenis obat.

22
BAB III
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS
 Nama : Nani Kristina
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 43 Tahun
 Agama : Islam
 Alamat : Jl. . Mesjid Taufik No 18 Medan

 Pekerjaan : Wiraswasta

23
 Status Perkawinan : Sudah Menikah
 No RM : 30.18.07

2. ANAMNESA
 Keluhan Utama : Nyeri pada tungkai kanan bawah
Telaah :
Pasien datang ke IGD RS Haji Medan diantar oleh keluarga dalam keadaan
sadar setelah kecelakaan lalu lintas ± 1 jam yang lalu. Pasien mengeluhkan
tungkai kanan bawahnya nyeri dan tidak dapat digerakkan. Pasien kemudian
dibawa ke puskesmas terdekat dan lukanya dibersihkan dan dipasang bidai setelah
itu pasien baru diantar ke IGD RS Haji Medan.
 RPT : (-)
 RPO : (-)
 RPK : (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedan
Vital Sign
 Sensorium : Compos Mentis
 Tekanan Darah : 130/70 mmHg
 Nadi : 89 kali/menit
 RR : 28 kali/menit
 Suhu : 36,5 0C
 Tinggi Badan : 150 cm
 Berat Badan : 64 kg
Pemeriksaan Umum
 Kulit : Sianosis (-), Ikterik (-), Turgor (-)
 Kepala : Normocepali
 Mata : Anemis -/-, Ikterik -/-, Edema palpebra -/-
 Mulut : Hiperemis pharing (-), Pembesaran tonsil (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax

24
Paru
 Inspeksi : Pergerakan nafas simetris,
 Palpasi : Stem fremitus kiri = kanan
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : Vesikuler seluruh lapang paru
Abdomen
 Inspeksi : Datar, Simetris
 Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak
teraba
 Perkusi : Nyeri Ketok (-)
 Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
 Ekstremitas : Edema -/-
Genitalia : tidak ada pembesaran pada testis

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium
Darah Rutin
 Hb : 12,5 g/dl
 HT : 38,0 % g/dl
 Eritrosit : 4, 5 x 106 /µL
 Leukosit : 21.400 /µL
 Trombosit : 306. 000 /µL
Metabolik
 KGDS : 153 mg/dl
 Asam Urat :- mg/dl
Fungsi Ginjal
 Kreatinin : 0,69 mg/dl
 Ureum : 19 mg/dl

Diagnosis : Fraktur Terbuka Tibia-Fibula Dextra

5. RENCANA TINDAKAN
 Tindakan : Debridement + Gips
 Anesthesi : RA-SAB

25
 PS-ASA :1
 Posisi : Supinasi
 Pernapasan : Kanul nasal O2

6. KEADAAN PRA BEDAH


Pre operatif
B1 (Breath)
 Airway : Clear
 RR : 28 kali/ menit
 SP : Vesikuler kanan = kiri
 ST : Ronchi (-), Wheezing (-/-)
B2 (Blood)
 Akral : Hangat/ Merah/ Kering
 TD : 130/ 70 mmHg
 HR : 89 kali/ menit
B3 (Brain)
 Sensorium : Compos Mentis
 Pupil : Isokor, kanan = kiri
 RC : (+)/(+)
B4 (Bladder)
 Urine Output : 150 ml
 Kateter : Terpasang
B5 (Bowl)
 Abdomen : Soepel
 Peristaltik : Normal (+)
 Mual/Muntah : (-)/(-)
B6 (Bone)
 Oedem : (+)/(-)

7. PERSIAPAN OBAT RA-SAB


Intratekal
 Bupivacaine 0,5% : 17,5mg

26
 Fentanyl : 25µg
Jumlah Cairan
 PO : RL 500 cc
 DO : RL 500 cc
 Produksi Urin :-
Perdarahan
 Kasa Basah : 2 x 10 = 20 cc
 Kasa 1/2 basah : 3x 5 = 15 cc
 Suction : = 2000 cc
 Jumlah : 2035 cc
 EBV : 64 x 65 = 4.160 cc

 EBL
10 % = 416 cc
20 % = 832 cc
30 % = 1.248 cc

 Durasi Operatif
 Lama Anestesi= 14.50 - 15.50 WIB
 Lama Operasi = 14.55 - 15.50 WIB

Teknik Anastesi : RA-SAB


 Posisi duduk (SITTING position) - Identifikasi L3-L4 → Desinfektan
betadine + alcohol 70%→ Insersi spinocan 25G → CSF (+), darah (-) →
injeksi bupivacain 0,5% 17,5mg → posisi supine → atur blok setinggi T6.

8. POST OPERASI
 Operasi berakhir pukul : 15.50 WIB
 Setelah operasi selesai pasien di observasi di Recovery Room. Tekanan
darah, nadi dan pernapasan dipantau hingga kembali normal.

27
 Pasien boleh pindah ke ruangan bila Alderette score > 9
o Pergerakan :2
o Pernapasan :2
o Warna kulit :2
o Tekanan darah :2
o Kesadaran :2
PERAWATAN POST OPERASI
 Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan setelah
dipastikan pasien pulih dari anestesi dan keadaan umum, kesadaran serta
vital sign stabil, pasien dipindahkan ke bangsal dengan anjuran untuk
bedrest 24 jam, tidur telentang dengan 1 bantal untuk mencegah spinal
headache, karena obat anestesi masih ada.

9. TERAPI POST OPERASI


 Istirahat sampai pengaruh obat anestesi hilang
 IVFD RL 20 gtt/ menit
 Minum sedikit-sedikit bila sadar penuh dan peristaltic (+) Normal
 Inj. Ketorolac 30mg/ 8jam IV
 Inj. Ondansetron 4mg/ 8 jam IV bila mual/muntah

28
DAFTAR PUSTAKA

Boulton T., Blogg C. 1994. Komplikasi dan Bahaya Anestesi: Anestesiologi. EGC.
Jakarta. pp:229-231
Dobson, Michael B. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta : EGC

Elizabet J. Corwin. 2000. Buku saku patofisiologi. EGC: Jakarta

Snel, R.S., 2006. Abdomen: Bagian I Dinding Abdomen. Dalam: Hartanto,


Huriawati, ed. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC, 147–
200

Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.

Sjamsuhidajat, De Jong,. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Penerbit
Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.

Ismiarto, Yoyo Dias. 2014. Fraktur Diafisis Tibia dan Fibula. Bandung :
Departemen / SMF Orthopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin.

29
30

Anda mungkin juga menyukai