Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

HUKUM DAN PERUNDANGAN GEOSPASIAL


“Resume UU Informasi Geospasial, UU Penataan Ruang, dan UU
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”

NAMA : Nauval Ghifari


NIM : 15115024

TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2017
UU INFORMASI GEOSPASIAL (UU NO.4 TAHUN 2011)
Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi,
letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan
bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu.
Data Geospasial yang selanjutnya disingkat DG adalah data tentang lokasi geografis,
dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan manusia yang berada di
bawah, pada, atau di atas permukaan bumi.
Informasi Geospasial yang selanjutnya disingkat IG adalah DG yang sudah diolah
sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan
keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian.
IG diselenggarakan berdasarkan asas:
1. Kepastian Hukum
2. Keterpaduan
3. Keterbukaan
4. Kemutakhiran
5. Keakuratan
6. Kemanfaatan
7. Demokratis
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
1. Menjamin ketersediaan dan akses terhadap IG yang dapat
dipertanggungjawabkan
2. Mewujudkan penyelenggaraan IG yang berdaya guna dan
berhasil guna melalui kerja sama, koordinasi, integrasi,
dan sinkronisasi
3. Mendorong penggunaan IG dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat.
IGD (informasi geospasial dasar) meliputi jaringan kontrol geodesi dan peta dasar.
Jaringan kontrol yang berupa JKHN yang digunakan untuk kerangka acuan posisi horizontal
untuk IG, JKVN yang digunakan untuk acuan posisi vertikal IG dan, JKGN digunakan sebagai
kerangka acuan gayaberat untuk IG. Peta dasar berupa peta rupabumi indonesia, peta lingkungan
pantai indonesia dan peta lingkungan laut nasional. IGD diselenggarakan secara bertahap dan
sistematis untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah
yurisdiksinya. Igd diselenggarakan oleh pemerintah yaitu oleh badan informasi geospasial,
dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden dan diatur oleh presiden.
IGT (informasi geospasial tematik) mengacu pada IGD yang mana dalam membuat IGT
dilarang mengubah posisi dan tingkat ketelitian geometris bagian IGD; dan/atau membuat skala
IGT lebih besar daripada skala IGD yang diacunya. Diselenggarakan oleh instasi pemerintah,
pemerintah daerah, dan setiap orang yang tugasnya di atur oleh perundang-undangan dan bekerja
sama dengan badan.
Penyelenggaraan IG dilakukan melalui kegiatan:
1. Pengumpulan DG merupakan proses untuk mendapatkan DG yang dilakukan dengan
metode dan instrumen pengumpulan DG. Dilakukan dengan survey, pencacahan atau cara
lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pengolahan DG dan IG merupakan proses atau cara mengolah data dan informasi
geospasial. dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak.
3. Penyimpanan dan pengamanan DG dan IG merupakan cara menempatkan DG dan IG
pada tempat yang aman dan tidak rusak atau hilang untuk menjamin ketersediaan IG.
4. Penyebarluasan DG dan IG merupakan kegiatan pemberian akses, pendistribusian, dan
pertukaran DG dan IG yang dapat dilakukan dengan menggunakan media elektronik dan
media cetak.
5. Penggunaan IG merupakan kegiatan untuk memperoleh manfaat, baik langsung maupun
tidak langsung.
Untuk memperoleh dan menggunakan IG yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah
dan Pemerintah daerah dapat dikenakan biaya tertentu yang besarnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pemerintah wajib memfasilitasi pembangunan infrastruktur IG untuk memperlancar
penyelenggaraan IG. Infrastruktur IG terdiri atas kebijakan, kelembagaan, teknologi, standar, dan
sumber daya manusia semuanya diatur dalam peraturan pemerintah. Kegiatan penyelenggaraan
IG oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah dapat dilaksanakan oleh setiap orang.
Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum dilarang menghilangkan, merusak,
mengambil, memindahkan, atau mengubah tanda fisik yang merupakan bagian dari JKHN,
JKVN, dan JKGN serta instrumen survei yang sedang Digunakan, jika itu terjadi maka akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Setiap orang dilarang mengubah IGD tanpa izin dari Badan dan menyebarluaskan
hasilnya akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Setiap orang dilarang membuat IG yang penyajiannya tidak sesuai dengan tingkat
ketelitian sumber data yang mengakibatkan timbulnya kerugian orang dan/atau barang akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Setiap orang dilarang menyebarluaskan IG yang belum disahkan oleh pejabat yang
berwenang akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang melanggar dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan
tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan, denda administratif, dan/atau
pencabutan izin.

UU PENATAAN RUANG (UU NO.26 TAHUN 2007)


Undang-undang ini dibuat berdasarkan beberapa pertimbangan yaiitu bahwa ruang
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri
Nusantara yang perlu untuk ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna,
dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan. Selain itu, perkembangan situasi
dan kondisi nasional dan internasional menuntut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan,
demokrasi, kepastian hukum, dan keadilan serta untuk memperkukuh Ketahanan Nasional
berdasarkan Wawasan Nusantara dan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang
memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
penataan ruang.
Selain itu pula, ada beberapa pertimbangan penting yaitu keberadaan ruang yang terbatas
dan pemahaman masyarakat perlu penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan
partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Penataan
ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang
lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat
mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung
pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan
ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.
Pendekatan dalam penataan ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat
wilayah. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan merupakan komponen dalam
penataan ruang baik yang dilakukan berdasarkan wilayah administratif, kegiatan kawasan,
maupun nilai strategis kawasan.
Isi dari tiap bab pada undang-undang ini berbeda-beda. Pada bab I, UU RI NOMOR 26
TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG ini membahas tentang ketentuan umum yang
biasa di pakai dalam penataan ruang yang menjelaskan secara umum istilah tersebut, mulai dari
pengertian ruang, tata ruang, struktur, pola ruang, penataan dan masih banyak lagi istilah yang
umum sering dipakai yang berkaitan dengan penataan ruang dan berbagai pengertian tentang
kawasan dan pemerintah serta kenbijakan dan cara pembinaan.
Pada BAB II ini kurang lebih membahas tentang asas yang dipakai dalam penataan ruang
menurut yang terdapat dalam kerangkag NKRI, yaitu asas keterpaduan, keseimbangan,
keberlanjutan, keberdayaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan,
perlindungan dan kepentingan umum, kapastian hukum dan keadilan dan akuntabilitas. Selain
asas yang dibahas dalam bab ini, akan tetapi tujuan dari penyelenggaraan penataan ruang ini
yaitu untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
Sedangkan pada BAB III membahas tentang pengklasifikasian penataan ruang yang
dalam pasal 4 membahas tentang sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan
kawasan, dan nilai strategis kawasan yang kemudian dirincikan secara umum dalam pasal 5 dan
pasal 6. Pemerintah daerah provinsi mengambil langkah penyelesaian dalam bentuk pemenuhan
standar pelayanan minimal apabila setelah melakukan pembinaan, pemerintah daerah
kabupaten/kota belum juga dapat meningkatkan kinerjanya dalam penyelenggaraan penataan
ruang tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang otonomi daerah.
Kemudian pada BAB IV, membahas dan menjelaskan tentang tugas dan wewenang
pemerintah dalam mengatur, melaksakan, dan menyelenggaran system penataan ruang yang
bukan hanya membahas tugas dan wewenang pemerintah pusat saja, akan tetapi sampai pada
pemerintah kota/kabupaten.
Pada BAB V ini, menjelaskan tentang pengaturan dan pembinaan penataan ruang melalui
penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang termasuk pedoman
bidang penataan ruang. Dalam BAB ini menjelaskan tentang bagaimana pemrintah harus
bersikap untuk mengatur dan membina jalannya peraturan ini.
Pendidikan dan pelatihan dimaksudkan, antara lain, untuk meningkatkan kemampuan aparatur
pemerintah dan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana umum tata ruang dibedakan menurut wilayah
administrasi pemerintahan karena kewenangan mengatur pemanfaatan ruang dibagi sesuai
dengan pembagian administrasi pemerintahan.
Pada BAB VI membahas tentang pelaksanaan penataan ruang yang seharusnya dilakukan
yang dimulai dari perencanaan, peninjauan hingga penentuan pembangunan tata ruang mulai dari
tingkat provinsi hingga kabupaten kota. Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan
rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.
Efektivitas penerapan rencana tata ruang sangat dipengaruhi oleh tingkat ketelitian atau
kedalaman pengaturan dan skala peta dalam rencana tata ruang. Perencanaan tata ruang yang
mencakup wilayah yang luas pada umumnya memiliki tingkat ketelitian atau kedalaman
pengaturan dan skala peta yang tidak rinci. Oleh karena itu, dalam penerapannya masih
diperlukan perencanaan yang lebih rinci. Apabila perencanaan tata ruang yang mencakup
wilayah yang luasnya memungkinkan pengaturan dan penyediaan peta dengan tingkat ketelitian
tinggi, rencana rinci tidak diperlukan.
Dalam sistem wilayah, pusat permukiman adalah kawasan perkotaan yang merupakan
pusat kegiatan social ekonomi masyarakat, baik pada kawasan perkotaan maupun pada kawasan
perdesaan. Dalam sistem internal perkotaan, pusat permukiman adalah pusat pelayanan kegiatan
perkotaan. Sistem jaringan prasarana, antara lain, mencakup system jaringan transportasi, sistem
jaringan energi dan kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, system persampahan dan
sanitasi, serta sistem jaringan sumber daya air.
Pada BAB VII menjelaskan tentang pengawasan penataan ruang yang sebaiknya
dilakukan agar tujuan dari penyelenggaran seperti yng tercantum pada pasal 3 dalam berjalan
dengan baik dan terkendali. Pengawasan ini pula dilakukan dalam rangka peningkatan kinerja
fungsi dan manfaat penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional Pengawasan terhadap
penataan ruang pada setiap tingkat wilayah dilakukan dengan menggunakan pedoman bidang
penataan ruang.
Pada BAB VIII membahas mengenai hak, yaitu penjelasan tentang hak dan kewajiban
seluruh komponen negara termasuk masyarakat harus terlibat dalam hal ini. Setiap orang yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi administratif.
Pelanggaran yang di maksud ini dalam pelanggaran kewajiban yang dilakukan.
Pada BAB IX mendeskripsikan mengenai penyelesaian sengketa. Dalam hal ini setiap
permasalahan sengketa yang terjadi harus diselesaikan dengan mencari cara yang musyawarah
dan mufakat yang telah disetujui oleh semua pihak.
Pada BAB X menjelaskan mengenai penyidikan, aturan ini menyebutkan bahwa banyak
pihak yang dilibatkan dalam proses penyidikan. Selain pejabat penyidik kepolisian negara
Republik Indonesia, pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruangan diberi wewenang khusus sebagai
penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pada BAB XI menjelaskan mengenai ketentuan pidana, yaitu penjelasan tentang tingkat
hukuman yang bervariasi yang diberikan kepada pelaku pidana baik itu berupa hukuman penjara
atau pun denda.
Pada BAB XII menjelaskan mengenai ketentuan peralihan, menjelaskan tentang
penetapan pemberlakuan undang-undang ini yang harus dilaksankan dengan melalui penyesuaian
pemanfaatan Ruang. Pada saat rencana tata ruang ditetapkan, semua pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus disesuaikan dengan
rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang.

Pada BAB XIII membahas terperinci tentang ketentuan penutup, berisi tentang jangka waktu
penyelesaian undang-undang berdasarkan peraturan pemerintah, presiden dan menteri.
UU PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL (UU NO.1
TAHUN 2014)
Undang-Undang ini berisi tentang perubahan atas Undang-Undang No.27 tahun 2007
tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Setidaknya ada enam dasar pemikiran
dibentuknya UU No. 1 Tahun 2014. Pertama, kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
akan kerusakan akibat bencana alam maupun aktivitas pemanfaatan sumber daya. Kedua,
Akumulasi aktivitas eksploitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak
memperhatikan kelestarian sumber daya. Ketiga, Belum adanya peraturan perundang-undangan
yang berorientasi pada kelestarian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Keempat,
kurangnya kesadaran akan nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat. Kelima, kurang dihargaiya hak
masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Keenam,
terbatasnya ruang partisipasi masyarakat yang menunjukkan belum terintegrasinya sistem
pengelolaan sumber daya dengan kegiatan pembangunan.
UU No.27 tahun 2007 dinilai belum memberikan kewenangan dan tanggung jawab
negara secara memadai atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Konsekuensinya
beberapa pasal perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di
masyarakat. Dalam perwujudannya, Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) bertentangan
dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terkait dengan kalimat "dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat".
UU No.1/2014 sebanyak 17 pasal dalam UU No.27/2007 yang diubah sebagian atas
seluruhnya dan ditambahkan 7 pasal baru. Sedikitnya ada enam poin penting dalam revisi UU
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ini. Pertama, adanya partisipasi masyarakat di
dalam rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (pasal 14). Kedua, hak
pengusahaan perairan pesisir (HP3) diubah menjadi suatu mekanisme perizinan (pasal 16).
Ketiga, HP3 sudah tidak dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang (pasal 20).
Keempat, adanya penguatan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang ada di wilayah
pesisir dengan tidak mengurangi kewenangan negara (pasal 21 dan 22). Kelima, adanya peluang
bagi investor asing yang ingin menanamkan modalnya dengan tetap mementingkan kepentingan
nasional dengan persyaratan yang cukup ketat (pasal 26A). Keenam, adanya penambahan
hukuman baik berupa materi maupun lama kurungan penjara bagi setiap orang yang tidak
mempunyai izin sebagaimana dimaksud pada pasal 16.

Anda mungkin juga menyukai