Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PEMBAHASAN
1. Tafsir Ayat-Ayat Aqidah mengenai Hubungan Manusia dan Allah
swt.
1. Manusia Sebagai Hamba
Sifat hubungan antara manusia dengan Allah SWT dalam ajaran Islam bersifat
timbal-balik, yaitu bahwa manusia melakukan hubungan dengan Tuhan dan Tuhan
juga melakukan hubungan dengan manusia. Tujuan hubungan manusia dengan
Allah adalah dalam rangka pengabdian atau ibadah. Dengan kata lain, tugas
manusia di dunia ini adalah beribadah, sebagaimana firman Allah swt dalam Al-
Quran surat Adz-Dzariat ayat 56:
﴾٥٦﴿ون
ِ س ِإّل ِليَ ْعبد ِ ْ َو َما َخلَ ْقت ْال ِجن َو
َ اْل ْن
Artinya:
“Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah
kepada ku.”
Secara garis besar, ibadah kepada Allah itu ada dua macam, yaitu ibadah yang
bentuk dan tata caranya telah di tentukan oleh Allah swt, dan ibadah dan bentuk
tata caranya yang tidak di tentukan oleh Allah swt. Ibadah jenis pertama adalah
Mahdhoh, yaitu ibadah dalam arti ritual khusus, dan tidak bisa diubah-ubah sejak
dulu hingga sekarang, misalnya sholat, puasa, dan haji: cara melakukan ruku’ dan
sujud dan lafal-lafal apa saja yang harus dibaca dalam melakukan sholat telah
ditentukan oleh Allah SWT.3 Demikian pula cara melakukan thawaf dan sa’i dalam
haji beserta lafal bacaannya telah ditentukan oleh Allah SWT. Inti ibadah jenis ini
sebenarnya adalah permohonan ampun dan mohan pertolongan dari Allah swt.
Jenis ibadah yang kedua disebut ibadah ghairu mahdoh atau ibadah dalam
pengetahuan umum, yaitu segala bentuk perbuatan yang ditujukan untuk
kemaslahatan, kesuksesan, dan keuntungan.
م ْن ا
ك ِر ْ شاءِِو
ُ اال ْ إِنِِالص اَل اِةِتا ْنهاىِِ اعنِِ ْال اف
ح ا
Artinya:
“Sesungguhnya salat itu pencegah perbuatan fahsya’ dan munkar.” (QS Al-
Ankabut: 45)
Melalui ayat tersebut dapat diketahui bahwa ruh salat adalah ‘inna shalati wa-
nusuki‘, salatku, ibadahku. Penyebutan salat dan nusuk dalam ayat tersebut
bertujuan untuk membedakan bahwa salat itu adalah ibadah mahdhah,
sementaranusuk adalah ibadah ghairu mahdhah. Para mufassir mengatakan kata
nusuk tersebut diterjemahkan dengan insyithatu al-hayat, artinya segala aktivitas
hidup kita. Contoh dari ibadah semacam ini adalah menyingkirkan duri dari jalan,
membantu orang yang kesusahan, mendidik anak, berusaha, bekerja, menjenguk
orang sakit, memaafkan dan sebagainya. Semua perbuatan tersebut, asalkan
diniatkan karena Allah SWT dan bermanfaat bagi kepentingan umum, adalah
pengabdian atau ibadah kepada Allah SWT.4
Jika inti hubungan manusia dengan Allah adalah pengabdian atau ibadah, maka inti
hubungan Tuhan dengan manusia adalah aturan, yaitu perintah dan larangan.
Manusia diperintahkan berbuat menurut aturan yang telah ditetapkan Allah. Jika
manusia menyimpang dari aturan itu, maka ia akan tercela, baik dalam kehidupan
di dunia maupun di akhirat. Aturan itupun ada dua macam, pertama aturan yang
dituangkan dalam bentuk hukum-hukum alam (sunnatullah) dan aturan yang
dituangkan dalam kitab suci Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saw.
Aturan yang dituangkan dalam kitab suci Al-Quran dan hadis Nabi, misalnya
tentang perintah sholat, perintah zakat, perintah puasa, perintah haji, larangan
berzina, larangan mencuri, larangan meminum arak, larangan memakan daging
babi, dan lain-lain. Dalam hal ini, manusia diperintahkan menaati segala perintah
dan menjauhi segala larangan. Adapun aturan yang dituangkan dalam hukum alam
adalah, misalnya, api itu bersifat membakar. Oleh karena itu, jika orang mau
selamat, maka ia harus menjauhkan dirinya dari api. Sebagai contoh lain, benda
yang berat jenisnya lebih berat dari air akan tenggelam dalam air. Dengan
demikian, manusia akan celaka (tenggelam) jika masuk ke dalam air laut tanpa
pelampung, sebab berat jenisnya lebih berat dari air. Demikianlah aturan yang
dituangkan dalam kitab suci (āyah qur’āniyah) dan yang dituangkan dalam hukum
alam (āyah kawniyah). Keduanya harus dipatuhi agar orang dapat hidup selamat
dan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat.
Begitulah prinsip dasar ajaran Islam mengenai hubungan manusia dengan
Tuhannya. Intinya adalah pengabdian dan penyembahan kepada Allah
(ibadah).Berpegang teguh pada tali agama Allah, lebih tepatnya menyelamatkan
diri dari kemunafikan. Memegang tali agama Allah berarti kesetiaan melaksanakan
semua ajaran agama dan mendakwahkannya. Selalu meningkatkan amal saleh,
mengikatkan hati kepada Allah, serta ikhlas dalam beribadah.5
2. Hubungan Manusia dengan Sesama
Pada hakikatnya, tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri tanpa berhubungan
dengan orang lain. Manusia memiliki naluri untuk hidup berkelompok dan
berinteraksi dengan orang lain.6 Karena pada dasarnya, setiap manusia memiliki
kemampuan dasar yang berbeda-beda dan memiliki ciri khas tersendiri yang dapat
dijadikan sebagai alat tukar menukar pemenuhan kebutuhan hidup.
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat,
selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat
dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial,
manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat
yang dibina sejak lahir akan selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk,
karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam
kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri
manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang
lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di
tengah-tengah manusia.
Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak. Dengan bantuan
orang lain, manusia bisa menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan
seluruh potensi kemanusiaannya.
Selain itu, manusia diciptakan dari berbagai karakteristik, bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa agar saling mengenal satu sama lain.
يَا أَيُّ َها الناس ِإنا َخلَ ْقنَاك ْم ِم ْن ذَ َكر َوأ ْنثَى َو َجعَ ْلنَاك ْم شعوبًا
َ َارفوا ۚ ِإن أ َ ْك َر َمك ْم ِع ْندَ ّللاِ أَتْقَاك ْم ۚ ِإن ّللا
ع ِليم َ ََوقَبَا ِئ َل ِلتَع
﴾١٣﴿َخ ِبير
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)
Selain saling mengenal, manusia juga sangat dianjurkan agar dapat menjalin
hubungan yang baik antar sesamanya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran, surah
Al-Hujurat ayat 10-12:
ْ َ ِإن َما ْالمؤْ ِمنونَ ِإ ْخ َوة فَأ
ص ِلحوا بَيْنَ أَخ ََويْك ْم ۚ َواتقوا ّللاَ لَعَلك ْم
﴾١٠﴿ َت ْر َحمون
ساء ِم ْن َ ِسى أ َ ْن يَكونوا َخي ًْرا ِم ْنه ْم َو َّل ن َ يَا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنوا َّل يَ ْسخ َْر قَ ْوم ِم ْن قَ ْوم َع
س ِ سك ْم َو َّل تَنَابَزوا بِ ْاْل َ ْلقَا
َ ْب ۖ بِئ َ سى أ َ ْن يَكن َخي ًْرا ِم ْنهن ۖ َو َّل ت َ ْل ِمزوا أ َ ْنف َ ساء َع َ ِن
ِ ﴾١١﴿ َك هم الظا ِلمون َ ِان ۚ َو َم ْن لَ ْم يَتبْ فَأولَئ ِ ْ َِاّل ْسم ْالفسوق بَ ْعد
ِ اْلي َم
ض الظ ِن ِإثْم ۖ َو َّل ت َ َجسسوا َو َّل َ يرا ِمنَ الظ ِن ِإن َب ْع ً ِاجتَنِبوا َكث ْ َيا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنوا
ضا ۚ أَي ِحبُّ أ َ َحدك ْم أ َ ْن َيأْك َل لَ ْح َم أ َ ِخي ِه َم ْيتًا فَ َك ِر ْهتموه ۚ َواتقوا ّللاَ ۚ ِإن ً َي ْغتَبْ َب ْعضك ْم َب ْع
ِ ﴾١٢﴿حيم ِ ّللاَ تَواب َر
Artinya:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah
sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran
yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan
janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu
sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.”
Dalam menjalin hubungan baik sesama manusia, hendaknya sikap hormat-menghormati tidak dilupakan.
Mengenai hal ini, Allah sudah memperingatkan dalam surah An-Nisa ayat 86:7
Ummatun Wâhidah
Bahwa pada mulanya manusia itu adalah satu umat, ditegaskan dalam surah Al-
Baqarah: 213.
َ َ ث ّللا النبِيِينَ مبَش ِِرينَ َوم ْنذ ِِرينَ َوأ َ ْنزَ َل َمعَهم ْال ِكت
اب َ َاحدَة ً فَبَعِ َكانَ الناس أمةً َو
ف فِي ِه ِإّل الذِينَ أوتوه ِم ْن بَ ْع ِد َما َ َاختَل
ْ اختَلَفوا فِي ِه ۚ َو َما
ْ اس فِي َماِ ق ِليَ ْحك َم بَيْنَ الن ِ ِب ْال َح
ِ اختَلَفوا فِي ِه ِمنَ ْال َح
ۗ ق ِبإ ِ ْذنِ ِه ْ َجا َءتْهم ْالبَ ِينَات بَ ْغيًا بَ ْينَه ْم ۖ فَ َهدَى ّللا الذِينَ آ َمنوا ِل َما
﴾٢١٣﴿ص َراط م ْست َ ِقيم ِ َوّللا َي ْهدِي َم ْن َيشَاء ِإلَى
Artinya:
“Manusia sejak dahulu adalah umat yang satu, selanjutnya Allah mengutus para
nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan menurunkan
bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan diantara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu
melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab itu, yaitu setelah
datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena keinginan yang
tidak wajar (dengki) antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-
orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu
dengan kehendakNya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang
dikehendakiNya kepada jalan yang lurus.”
Dalam ayat ini secara tegas dikatakan bahwa manusia dari dahulu hingga kini
merupakan satu umat. Allah Swt menciptakan mereka sebagai makhluk sosial yang
saling berkaitan dan saling membutuhkan. Mereka sejak dahulu hingga kini baru
dapat hidup jika bantu membantu sebagai satu umat, yakni kelompok yang
memiliki persamaan dan keterikatan. Karena kodrat mereka demikian, tentu saja
mereka harus berbeda-beda dalam profesi dan kecenderungan. Ini karena
kepentingan mereka banyak, sehingga dengan perbedaan tersebut masing-masing
dapat memenuhi kebutuhannya.
Ummatun Wasathan
Istilah lain yang juga mengandung makna masyarakat ideal adalah Ummatun
Wasathan. Istilah ini antara lain tertuang dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah: 143
ِةِالتي ِج اع ْلنااِ ْالقبْل ا ا
شهيداِِ اومااِ ا مِ اِْ علا ْي ُك ُِ س
ولِ ا ُ ونِالر ِعلاىِالناسِِ اوي ُاك ا ش اهداا اِءِ ا ُ ِاسطاِلت ُاكو ُنوا مِ ُأمةِِو ا ُ ج اع ْلن
ِْ ااك كِ ا ِو ااك اذل ا
ُِِِهداىِّللا ِعلاىِالذيناِِ ا تِل ا ا
كبيراةِِإّلِِ ا ِْ نِ اكانا علاىِِ ا
ِْ عقبا ْيهِِِواإ ُِ نِيا ْن اقل
بِ ا ِْ لِمم ِسو اُ عِالر ُِ انِياتب
ِْ مِمِعل ا ْيهااِإّلِِلن ْاعلا ا
تِ اُِك ْن ا
َ اط ًل ۚ ذَ ِل َك
َظ ُّن الذِين َ َو َما َخلَ ْقنَا الس َما َء َو ْاْل َ ْر
ِ َض َو َما بَ ْينَه َما ب
﴾٢٧﴿ار ِ َكفَروا ۚ فَ َويْل ِللذِينَ َكفَروا ِمنَ الن
ِِ
Artinya:
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya
tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka
celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.”
2. Surah Yâsin
ِِاْلا ْرض
ْ ِكةِِإنيِجااعلِِفي كِل ْلم ااَلئ ا ِلِ اربُّ اِواإ ِْذِ اقا ا
ِدِفيهاا ُِ انِ ُي ْفس
ِْ لِفيهااِم ُِ ج اع ْ الواِأاتاُ خلي افةِِِۖ اق ا
ُِ كِ او ُن اقد
ِس ِامد اْ حِبح ُِ سب نِ ُن ا
ُِ ح ْ كِالدماا اِءِ اونا ُِ اسف ْ اوي
ِم ا
ون ُ ّلِتا ْعلا
ِمِمااِ ا ُِ لِإنيِأا ْعلا ِكِِۖ اقا ا ِلا ا
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
ِِادواِإّل مِ اف ا
ُ سج ِج ُدواِِل اد اُ اس ْ ِِكة واإ ِْذِ ُق ْلنااِل ْلم ااَلئ ا
ِكافريناانِمناِِ ْال ا ْ إ ْبليساِِأاباىِِو
ِااست ْاكبا اِرِو ااك ا
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu
kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 34)
Ibnu Katsir dalam interpretasi ayat di atas mengungkapkan bahwa kekhalifahan
dan kepemimpinan adalah suatu kemuliaan besar yang Allah berikan kepada Adam
a.s dan merupakan anugerah bagi keturunannya, khususnya disaat Allah
memerintahkan malaikat-Nya untuk bersujud kepada Adam a.s.
Dengan demikian, maka dipahami bahwa kekhalifahan yang Allah berikan kepada
manusia adalah suatu kemuliaan. Allah pun menorehkan sejarah kemuliaan yang
diberikan-Nya ini dalam kitab suci yang diturunkan-Nya. Selain itu terdapat
kemuliaan lain yang Allah berikan kepada manusia, yaitu sebagai berikut:
1. Allah telah memuliakan eksistensi manusia dari semua makhluk yang lain, baik
itu secara struktur tubuh maupun psikologis. Sebagaimana yang telah tertuang
dalam Alquran:
ٍ سنِِتا ْقو
﴾٤﴿يم ْ انِفيِأا
ح ا ِس ا ْ ِخلا ْقناا
اْل ْن ا ِْ لا اق
دِ ا
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya.” (QS. At-Tiin: 4)
2. Allah memuliakan manusia dengan memberikan kemampuan untuk
menundukkan sumber daya alam yang ada di bumi dan memanfaatkan segala
fasilitas yang ada di bumi dengan baik.
PENUTUP
Manusia adalah makhluk paling sempurna dibandingkan makhluk ciptaan Allah
lainnya. Kesempurnaan tersebut dimiliki manusia karena manusia dianugerahi akal
dan nafsu. Dengan dua unsur tersebut, maka akan terdapat beberapa identitas yang
melekat pada diri manusia, di antaranya yaitu sebagai hamba (hubungan manusia
dengan Allah), sebagai makhluk sosial (hubungan manusia dengan sesama), serta
sebagai khalifah (hubungan manusia dengan alam.
Hubungan manusia dengan Allah, yaitu sebagai hamba, maka manusia wajib
beribadah kepada Allah sepanjang hidupnya, karena semua yang dilakukan
manusia akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Dalam hal ini ibadah
memiliki dua dimensi yaitu itu ibadah yang bersifat mahdhah (vertikal), maupun
ibadah yang bersifat ghairu mahdhah (horizontal).
Selain sebagai makhluk individu yang diwajibkan menjalankan ibadah kepada
Allah, manusia juga sebagai makhluk sosial. Dimana manusia hidup selalu
membutuhkan orang lain. Manusia hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan
orang lain. Dengan demikian, maka manusia haruslah memiliki akhlak yang baik,
saling menolong dan menyayangi sesama manusia.
Demikian pula dengan alam, selain menjalin hubungan baik dengan Sang Pencipta
dan sesama manusia, manusia juga memiliki amanah sebagai khalifah di bumi,
dimana manusia diberi kemuliaan untuk mengelola dan memanfaatkan segala
fasilitas yang ada di bumi, tentu dengan tidak mengabaikan kaidah-kaidah
pemanfaatan sumber daya. Wallahu’alam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. Psikologi Sosial. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.
Anggota IKAPI. Antropologi Budaya. tt: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Baron, Robert A. dan Donn Bybne. Psikologi Sosial. Terj. Ratna Djuwita dkk. Ed.
Wisnu C. Kristiaji dan Ratri Medya. Jakarta: Erlangga, 2003.
Budiaman, Arie, Ahmad Jauhar Arief, dan Edy Nasriady Sambas. Membaca Gerak
Alam Semesta Mengenali Jejak Sang Pencipta. Ed. Nanik Supriyanti. Jakarta: Lipi
Press, 2007.
Gea, Antonius Atoshoki, Noor Rachmat, dan Antonina Panca Yuni
wulandari.Relasi dengan Tuhan. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, 2006.
Gerungan, W.A. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2009.
Hadhiri, Choiruddin. Klasifikasi Kandungan Alquran. Jakarta: Gema Insani Press,
2005.
Jazuli, Ahzami samiun. kehidupan dalam Pandangan Alquran. Jakarta: Gema
Insani Press, 2006.
Nurdin, Ali. Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Alquran. TT: PT. Gelora
Aksara Pratama, 2006.
Shaleh, Abdul Rahman dan Muhbib Abdul Wahab. Psikologi Suatu Pengantar
dalam Persfektif Islam. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Sholikhin, Muhammad. Hadirkan Allah Di Hatimu. Ed. Sukini. Solo: Tiga
Serangkai, 2008.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Psikologi sosial: psikologi kelompok dan psikologi
terapan. Jakarta: PT. Balai Pusta, 1999.
Syihab, Dodi. Al-Quran Sandi Kecerdasan. Jakarta: Aldi Prima, 2010.
Thabathaba’I, M dan Abu Abdullah dan Az-Zanjani. Mengungkap Rahasia Al-
Quran. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009.
Tim Penceramah Jakarta Islamic Cernter. Islam Rahmat bagi Alam
Semesta.Jakarta: Afilia Books, 2005.
1Abdul Rahman Shaleh dan Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Persfektif
Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 227-228.
2M. Thabathaba’I dan Abu Abdullah dan Az-Zanjani, Mengungkap Rahasia Al-Quran(Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2009), 157-158.
3Antonius Atoshoki Gea, Noor Rachmat, dan Antonina Panca Yuni wulandari, Relasi dengan
Tuhan (Jakarta: PT. Alex Media Komputindo, 2006), 94-102.
4Tim Penceramah Jakarta Islamic Cernter, Islam Rahmat bagi Alam Semesta (Jakarta: Afilia Books,
2005), 140-142.
5Untuk mengetahui lebih lanjut tentang identitas pelaksanaan ibadah mahdhah lihat Muhammad
Sholikhin, Hadirkan Allah Di Hatimu, Ed. Sukini (Solo: Tiga Serangkai, 2008), 118-122.
6Untuk lebih memahami tentang manusia sebagai makhluk sosial, lihat antara lain Sarlito Wirawan
Sarwono, Psikologi sosial: psikologi kelompok dan psikologi terapan (Jakarta: PT. Balai
Pusta, 1999), 4, Abu Ahmadi, Psikologi Sosial (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), 95-96, dan
W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 103, serta Robert A.
Baron dan Donn Bybne, Psikologi Sosial, Terj. Ratna Djuwita dkk, Ed. Wisnu C. Kristiaji
dan Ratri Medya (Jakarta: Erlangga, 2003), 177-187.
7Dodi Syihab, Al-Quran Sandi Kecerdasan (Jakarta: Aldi Prima, 2010), 70.
8Ali Nurdin, Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Alquran (TT: PT. Gelora Aksara Pratama,
2006), 110-117.
9Arie Budiaman, Ahmad Jauhar Arief, dan Edy Nasriady Sambas, Membaca Gerak Alam Semesta
Mengenali Jejak Sang Pencipta, Ed. Nanik Supriyanti (Jakarta: Lipi Press, 2007), 46-47.
10Lihat Choiruddin Hadhiri, Klasifikasi Kandungan Alquran (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 30.
11Untuk lebih mendalami tentang budaya manusia, lihat Anggota IKAPI, Antropologi Budaya (tt: PT Citra
Aditya Bakti, 2002), 93-107.
12 Untuk mendapat keterangan lebih luas tentang hubungan penciptaan manusia dengan alam semesta,
lihat Ahzami samiun Jazuli, kehidupan dalam Pandangan Alquran (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), 47-
55.