Oleh:
Disusun Oleh :
Disetujui Oleh :
1. Kanker Serviks
1.1 Definisi
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks.Serviks
merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuksilindris, menonjol dan
berhubungan dengan vagina melalui ostiumuteri eksternum. (PPKS, 2015)
1.2 Etiologi
Etiologi kanker servik yang diketahui adalah virus HPV (Human
Papilloma Virus) sub tipe onkogenik, terutama sub tipe 16 dan 18. Adapun faktor
risiko terjadinya kanker serviks antara lain: aktivitas seksual pada usia muda,
berhubungan seksual dengan multipartner, merokok, mempunyai anak banyak,
sosial ekonomi rendah, pemakaian pil KB (dengan HPV negatif atau positif),
penyakit menular seksual, dan gangguan imunitas.
a. Penyakit menular
Infeksi virus seperti herpes simpleks (HSV-2) dan virus papiloma atau
kondiloma akuinata diduga sebagai faktor penyebab kanker serviks.
b. Usia
Umur pertama kali melakukan hubungan seksual, menunjukkan bahwa
semakin muda wanita melakukan hubungan seksual maka makin besar
kemungkinan mendapatkan kanker servik, seperti kawin pada usia 20
tahun kebawah dianggap masih terlalu muda.
c. Jumlah perkawinan
Wanita yang sering melakukan hubungan seksual dan berganti-ganti
pasangan mempunyai faktor resiko yang sangat besar terhadap kanker
serviks.
d. Merokok
Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker.
e. Pemakaian alat kontrasepsi
Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim akan berpengaruh terhadap servik
seperti terjadinya erosi servik yang kemudian menjadi infeksi yang berupa
radang yang terus menerus, sehingga dapat menjadi pencetus terbentuknya
kanker serviks.
f. Jumlah kehamilan atau partus
Kanker serviks banyak dijumpai pada wanita yang sering
melahirkan.Dimana semakin sering seorang wanita melahirkan maka
makin besar kemungkinan resiko untuk mendapatkan kanker serviks.
g. Social ekonomi
Kanker serviks banyak dijumpai pada golongan social ekonomi yang
rendah yang berkaitan dengan gizi, imunitas dan kebersihan perorangan,
sehingga pada golongan social ekonomi rendah umumnya kualitas dan
kuantitas makanannya kurang yang dapat mempengaruhi imunitas
tubuhnya. (PPKS, 2015)
1.3 Patofisiologi
1.5 Penatalaksanaan
a. Tatalaksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang
ada.Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat
dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes
IVA dapat dilakukan dengan carasingle visit approach atau see and treat
program, yaitu bila didapatkantemuan IVA positif maka selanjutnya dapat
dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan
yang sudah terlatih.
Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal direkomendasikan
untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila diperlukan
maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure
(LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ) untuk
kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik.
Bila hasil elektrokauter tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa
dilanjutkan dengan tindakan konisasi atau histerektomi total.
Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi :
- LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion),dilakukan LEEP dan
observasi 1 tahun.
- HSIL(high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukanLEEP
dan observasi 6 bulan. (PPKS, 2015)
b. Tatalaksana Kanker Serviks Invasif
1. Stadium 0 / KIS (Karsinoma in situ)
Konisasi (Cold knife conization).
Bila margin bebas, konisasi sudah adekuat pada yangmasih memerlukan
fertilitas.
Bila tidak tidak bebas, maka diperlukan re-konisasi.
Bila fertilitas tidak diperlukan histerektomi total
Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuaitatalaksana kanker invasif.
2. Stadium IA1 (LVSI negatif)
Konisasi (Cold Knife) bila free margin (terapi adekuat)
apabila fertilitas dipertahankan.(Tingkat evidens B)
Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi.
Histerektomi Total apabila fertilitas tidak dipertahankan
3. Stadium IA1 (LVSI positif)
Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas
dipertahankan.
Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi medik dapat
dilakukan Brakhiterapi
4. Stadium IA2,IB1,IIA1
Pilihan 1 : Operatif.
Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik.
(Tingkat evidens 1 / Rekomendasi A)
Ajuvan Radioterapi (RT) atau Kemoradiasi bila terdapat faktor resiko
yaitu metastasis KGB, metastasis parametrium, batas sayatan tidak
bebas tumor, deep stromal invasion, LVSI dan faktor resiko lainnya.
Hanya ajuvan radiasi eksterna (EBRT) bila metastasis KGB saja.
Apabila tepi sayatan tidak bebas tumor / closed margin, maka radiasi
eksterna dilanjutkan dengan brakhiterapi.
2 : Non operatif
Radiasi (EBRT dan brakiterapi)
Kemoradiasi (Radiasi : EBRT dengan kemoterapi konkuren dan
brakiterapi)
5. Stadium IB 2 dan IIA2
Pilihan 1 : Operatif (Rekomendasi A)
Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi
Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil
patologi anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
2 : Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi adalah untuk mengecilkan massa
tumor primer dan mengurangi risiko komplikasi operasi.
Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil
patologi anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
6. Stadium IIB
Pilihan 1 : Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2 : Radiasi (Rekomendasi B)
3 : Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi.
4: Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy
(dalam penelitian)
7. Stadium III A III B
Kemoradiasi (Rekomendasi A)
Radiasi (Rekomendasi B)
8. Stadium IIIB dengan CKD
Nefrostomi / hemodialisa bila diperlukan
Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau
Radiasi
9. Stadium IV A tanpa CKD
Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi terlebih
dahulu dilakukan kolostomi, dilanjutkan :
Kemoradiasi Paliatif, atau Radiasi Paliatif
10. Stadium IV A dengan CKD, IVB
Paliatif .Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif / radiasi
paliatif dapat dipertimbangkan.(PPKS, 2015).
2. Anemia
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
Anemia merupakan kumpulan gejalan yang pada dasarnya menyebabkan
gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; kehilangan darah atau
pendarahana; proses penghentian eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya atau
hemolisa.( Schrier S, 2017)
2.3 Klasifikasi Anemia
Berdasarkan etiopatogenesisnya terdapat 4 klasifikasi dalam anemia yaitu :
1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang,
terbagi lagi menjadi tiga klasifikasi antara lain:
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
- Anemia defisiensi besi
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan besi
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
- Anemia aplastik
- Anemia mieloplastik
- Anemia diseriropoitik
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
2. Anemia akibat hemorragi;
3. Anemia hemolitik;
4. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang
kompleks.
Tabel 4.Batas Anemia Menurut Departemen Kesehatan RI; Berdasarkan
SK Menkes RI No.736a/Menkes/XI/1989
Transfusi darah
Penggunaan transfusi darah untuk memperbaiki anemia adalah modalitas
terapeutik yang hanya sedikit literatur yang tersedia untuk penderita
kanker.Akibatnya, beberapa penelitian mampu memberikan bukti tingkat tinggi
tentang keefektifan dan keamanan modalitas ini.Tujuan utama transfusi adalah
segera memperbaiki tanda atau gejala akibat anemia.Biasanya, ada kebutuhan
transfusi darah yang meningkat pada pasien kanker perorangan karena jumlah
siklus kemoterapi meningkat.Namun, ada variasi yang luas pada tingkat
hemoglobin yang memicu transfusi darah di antara berbagai penelitian dan di
antara berbagai jenis kanker. (Aknar Calabrich & Artur Katz, 2011,Management
of anemia in
cancer patients).
Ada konsensus medis umum bahwa transfusi darah harus digunakan pada
pasien dengan penyakit terminal bila terjadi kehilangan darah akut atau
kemunduran kronis pada pasien, ketika kadar hemoglobin di bawah 7 g / dl, pada
pasien anemia dengan gejala pernapasan atau jantung atau pada pasien. dengan
anemia akibat kemoterapi. Namun, tingkat pemicu hemoglobin dan nilai targetnya
belum ditentukan. Di sisi lain, panduan EORTC menyebutkan bahwa pasien
dengan kadar hemoglobin kurang dari 9 g / dl terutama harus dievaluasi untuk
kebutuhan transfusi.(Aknar Calabrich & Artur Katz, 2011)
Pedoman ASH / ASCO menunjukkan bahwa transfusi darah dapat menjadi
pilihan untuk koreksi anemia yang terkait dengan kemoterapi ketika tingkat
hemoglobin kurang dari 10 g / dl atau untuk pasien lanjut usia dengan cadangan
kardiopulmoner terbatas, pasien dengan penyakit koroner atau angina simtomatik,
mereka yang memiliki pengurangan kapasitas latihan yang substansial atau yang
mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Aknar Calabrich &
Artur Katz, 2011).
Hasil sejumlah penelitian yang mengevaluasi dampak transfusi terhadap
mortalitas pada pasien yang sakit kritis saling bertentangan.Satu studi terhadap 56
pasien kanker esofagus yang menerima terapi kemoradiasi menunjukkan bahwa
transfusi darah meningkatkan kelangsungan hidup secara keseluruhan.Namun, ada
bukti dalam literatur bahwa transfusi darah mungkin memiliki dampak negatif
pada perkembangan penyakit.Fyles dan rekan menganalisis data yang
dipublikasikan dari uji coba secara acak dan menemukan bahwa transfusi pada
pasien anemia dengan kanker serviks tidak menghasilkan keuntungan. Dalam
sebuah studi retrospektif terhadap 70.542 pasien yang dirawat di rumah sakit
karena kanker, penggunaan transfusi darah dikaitkan dengan tingkat TE yang
lebih tinggi dan arteri, di samping meningkatnya risiko kematian di rumah sakit.
Namun, hubungan kausal tidak dapat dibangun karena sifat retrospektif penelitian.
Ada potensi bahaya lain yang terkait dengan transfusi darah. Beberapa
kontaminan darah yang diketahui saat ini meliputi virus hepatitis A,
sitomegalovirus, virus Epstein-Barr, virus herpes manusia 8, Toxoplasma gondii,
parvovirus B-19, virus West Nile, prekalsopati spongiform encephalopathy,
Trypanosoma cruzi, spesies Babesia dan spesies Plasmodium, walaupun
pengenalan banyak intervensi keselamatan untuk organisme infeksi telah secara
dramatis menurunkan kejadian infeksi terkait transfusi. Reaksi transfusi lainnya
meliputi reaksi transfusi nonhemolitik demam, infeksi bakteri, reaksi hemolitik
akut, reaksi anafilaksis, cedera paru akut akibat transfusi, overload volume,
overload besi, reaksi hemolitik tertunda, penyakit inang graftversu yang
dihubungkan dengan transfusi, dan purpura pasca-transfusi. Saat ini, transfusi
darah bukanlah alternatif yang terbukti aman untuk ESA, karena studi
perbandingan belum dilakukan dan, berbeda dengan ESA, sedikit yang diketahui
tentang potensi efek samping jangka panjang (Aknar Calabrich & Artur Katz,
2011).
BAB III
STUDI KASUS
A. Profil Pasien
Nama/ usia Nn. STI/ 39 tahun
NO. RM 11322453
2
TB/BB/LPB 41 kg/148 cm/1,4 m
Parameter tanggal
14/12 15/12 16/12 17/12 18/12 19/12 20/12 21/12 22/12 23/12
H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10
nyeri perut + + + + +
mual + + + + + - - -
muntah + + + + +
demam - - - - - - - - + -
pendarahan - - - - - - - - - -
BAB + + + + + - - - - -
BAK + + + + + + + + + +
C. Data Laboratorium
Tanggal
Parameter Nilai Normal
13/12 15/12 23/12
Hematologi
Hemoglobin 11,4- 15,1 g/dL 8,1 11,6 7,90
Eritrosit 4,0-5,0 106/µL 2,87 4,29 2,90
Leukosit 4,7-11,3 103/µL 13,86 12,84 0,05
HMT 38-42 % 22,30 33,0 22,50
3
Trombosit 142-424 10 /µL 127 97 22
MCV 80-93fL 77,70 76,90 77,60
MCH 27-31 pg 28,20 27,00 27,20
MCHC 32-36 g/dL 36,30 35,20 35,10
RDW 11,5-14,5 % 14,60 15,80 21,50
PDW 9-13 fL 13,60 15,1 -
MPV 7,2-11,1 fL 11,0 12,4 -
P-LCR 15,0-25,0 % 31,6 41,7 -
PCT 0,150-0, 400% 0,14 0,12 -
NRBC absolute 0,04 0,02 0,00
NRBC percent 0,3 0,2 0,0
Hitung jenis
Eosinofil 0-4 % 0,1 0,1 -
Basofil 0-1 % 0,2 0,3 -
Neutrofil 51-67 % 77, 0 83,4 -
Limfosit 25-33 % 8,7 5,8 -
Monosit 2-5 % 14,0 10,4 -
Imm. Granulosit 8,70 0,38 -
Tanggal
Parameter Nilai Normal
13/12 15/12 23/12
Elektrolit Serum
Faal hati
Metabolit Karbohidrat
BB 41 kg
Ratio PB 1,33
32,46
CCT ml/menit/1,73
m2
Tanggal
Parameter Nilai Normal
23/12
Analisa Gas Darah
pH 7,35-7,45 7,26
Hb 6,29 g/dL
Ondansetron 8 mg IV
Hari II Dexamethason 20 mg IV
(17/12/2017) Ondansetron 8 mg IV
Tanggal
Obat Rute Dosis
14/12 15/12 16/12 17/12 18/12 19/12 20/12 21/12 22/12 23/12
Tranfusi PRC IVFD 2 kolf/hari √ √ STOP
NaCl 0,9% IVFD 20 TPM √ √ √ √ √ √ √ √
Metochlopramide inj IV 3x10mg K/P √
Ondansetron inj IV 8 mg √
Dexamethason inj IV 20 mg √ √
Carboplatin IV 520 mg √
Ifosfamid IV 8000 mg √
IV 800 mg
√
Mesna IVFD 5600 mg √
√
IVFD 1600 mg
Manitol infuse 20% 500cc IV 15 tpm √
Dekstrosa 5% 500 cc IVFD 20 TPM √
Nifedipin tab PO 5 mg √
ESO:
Pasien Ny.STI masuk rumah sakit pada tanggal 13 desember 2017 di RS Dr.
Saiful Anwar dari poli oncologi dengan keluhan lemah, mual dan muntah. Pasien,
pasien datang ke RS Dr. Saiful Anwar untuk menjalani kemoterapi seri V(lima)
Carboplatin ifosfamid mesna. Pasien mempunyai riwayat penggunaan obat
kemoterapi carboplatin ifosfamid 4 seri lalu droupout dan mulai dari awal lagi
kemoterapi carboplatin ifosfamid. Sekarang akan kemoterapi seri V(lima), jika
dari awal seri 9. Pasien masuk ruang rawat inap obgyn genokologi tanggal 13
desember 2017. Dari pemeriksaan laboratorium, Hemoglobin pasien tanggal 13
desember 2017 adalah 8,1g/dL, indikasi pemberian trnsfusi PRC (Packed red
cell)adalah menaikkan nilai hemoglobin pasien hingga hemoglobin target (Hb=10
g/dL), Dari rumus WHO didapatkan bahwa kebutuhan PRC untuk pasien ini
adalah 2 labu, kemudian dilakukan transfusi PRC pada tanggal 14 – 15 desember
2017, pada tanggal 15 desember 2017 data laboratorium hemoglobin pasien =
11,6g/dL dan sudah mencapai target, Transfusi darah mampu mengatasi toksisitas
hematologi selama terapi kemoterapi (Hadi S.M, 2012). Maka pasien sudah siap
menjalani kemoterapi.Penatalaksanaan kanker serviks stadium IIIB adalah dengan
kemoradiasi (radiasi dan kemoterapi dengan obat golongan cisplatinum)atau
radiasi tunggal (NCCN, 2017), tetapi karena masalah administrasi, maka
dilakukan kemoterapi carboplatin dan ifosfamid.Pada saat ini, cisplatin lebih
banyak frekuensi penggunaannya untuk terapi kanker serviks, menurut penelitian
Randomized Control TrialMulti Center Studies, cisplatin dan carboplatin
menunjukkan efek sebanding sebagai antineoplastik. Dalam 3 penelitian RCT
dengan total pasien 360 orang, menunjukkan secara signifikan bahwa efek
nefrotoksisitas, ototoksisitas, neurotoksisitas dari karboplatin lebih kecil
dibandingkan cisplatin (Rozenzcweig M, et al, 1989). Menurut penelitian, Phase
II study of carboplatin/ifosfamidein untreated advanced cervical cancer, dari total
32 pasien yang diterapi dengan karboplatin/ifosfamid hasilnya adalah 3 (9%)
complete responses (CRs)dan 19 (59%) objective responses (CR+PR).
Myelosuppressiondenganleukopeniadan atauthrombocytopeniaof WHO grade 4
yaitu 28% dan 13% pasien (Kiihnle. H, et.al.1990). Berdasarkan penelitian
tersebut, pasien kenker serviks stadium lanjut yang tidak diterapi dengan
kemoradiasi atau radiasi, maka dapat diterapi dengan karboplatin dan ifosfamid.
Tujuan penatalaksan kemoterapi karboplatin dan ifosfamid adalah untuk
memperpanjang angka harapan hidup pasien ini, menurut PNPK kanker Serviks
2017 bahwa angka survival 5 tahun pasien kanker serviks IIIB adalah 32%
(Anonim, 2017).Sebelum diberikan obat kemoterapi, pasien terlebih dahulu
mendapatkan obat premedikasi.Tujuan diberikan obat premedikasi adalah untuk
mencegah reaksi efek samping mual muntah dari obat kemoterapi.Menurut
NCCN, carboplatin dan ifosfamid menginduksi mual muntah dengan tingakatan
mual muntah berat (severe), maka Menurut NCCN untuk anti emetik profilaksis
tipe severe emetogenic bisa dengan pilihan terapi aprepitan atau 5-HT3 yang
dikombinasi dengan dexametason. Dexametason injeksi 20 mg Indikasi:
Premedikasi sebelum kemoterapi (pencegahan mual muntah) Dosis Literatur (8
mg – 20 mg) (BC CancerAgency) 3 guideline (MASCC,ASCO, dan NCCN) yang
merekomendasikan pemberian dexametason untuk pencegahan mual muntah akut
pada kemoterapi ematogenik derajat rendah, sedang, dan tinggi. Dexametasone
untuk pencegahan CINV(chemotherapy induced nausea and vomiting) yang akut
(24 jam setelah kemoterapi) atau tertunda (delayed, 2-5 hari setelah kemoterapi).
(Jordan, Karin.,et al. 2007. Guidelines for Antiemetic Treatment of
Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting: Past, Present, and Future
Recommendations).DRP: tidak ada, monitoring mual muntah selama, setelah
kemoterapi.Ondansetron 8 mg intravena.Indikasi untuk premedikasi sebelum
kemoterapi (pencegahan mual muntah). Dosis literatur (0,15mg/kg) (canterbury
Regional Cancer and Blood Service, Oncology Department, 2012, Antiemetic
Guidelines for Chemotherapy and Radiation Therapy). Ondansetron termasuk
kelompok obat antagonis serotonin 5-HT3, yang bekerja dengan menghambat
secara selektif serotonin 5-hydroxytriptamine berikatan pada reseptornya yang ada
di chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan di saluran cerna (Chen, et.al.,
2011).Monitoring mual muntah selama dan setelah kemoterapi, setelah
kemoterapi muncul mual muntah pada tanggal 18 desember, dan diberikan
ondansetron oral 3x 8mg.
Pasien mendapat kemoterapi karboplatin pada hari pertama.. Mekanisme
aksi obat ini merupakan alkilating agent yangberikatan secara kovalen dengan
DNA, dapat juga melalui cross-link dan mempengaruhi fungsi DNA (2006,
Lacy)ESO:Mual muntah (65-81%), nefrotoksisitas (22%), Myelosuppression,
leukopenia (85%), anemia (71% to 90%), neutropenia (67%), Creatinine
clearance decreased (27%), BUN increased (14% to 22%), Alopecia (2% to 3%),
Constipation (5%), diarrhea (6%). Dosis pemberian: Carboplatin 520 mg dalam
250 ml cairan NaCl diberikan selama 1 jam. Dosis literatur: carboplatin 300
mg/m2 dengan injeksi IV drip pada hari pertama setiap 21 hari selama 6 seri atau
dengan pendekatan AUC dengan rumus calvert (2017, FDA) Dosis menurut luas
permukaan tubuh Untuk pasien ini: 300 mg x 1,4 = 420 mg (BC cancer Agency:
GFR>40 , dosis maksimal 400 mg/ m2). Jadi dosis untuk pasien ini: 400 x 1,4=
560 mg. Jika mengacu ke BC cancer agency, maka dosis sudah sesuai. DRP
pemberian karboplatin adalah efek samping potensial carboplatin yaitu
nefrotoksisitas, mual dan muntah.Carboplatin mempunyai efek nefrotoksik
walaupun tidak sebesar cisplatin, Oleh karena itu dilakukan hidrasi cairan normal
salin sebelum dan sesudah kemoterapi karboplatin.Indikasi pemberian NaCl 0,9 %
adalah sebagai cairan hidrasi. Dosis Pemberian:H1: I Liter sebelum carboplatin, 1
L setelah carboplatin. Dosis literatur: 2 Liter Nacl, 1 Liter sebelum, 1 L setelah
pemberian carboplatin (Akira et.al, 2014, journals of oncology). Mekanisme kerja:
hidrasi cairan, meningkatkan aliran cairan melewati tubular ginjal sehingga obat
kemoterapi relatif lebih cepat diekskresi.
Pada hari kedua kemoterapi, pasien mendapat kemoterapi ifosfamid,
Mekanisme aksi sebagai alkilating agent,Suatu prodrug yg akan dimetabolisme di
hepar dari bentuk aktifnya, berikatan secara kovalen dengan DNA, dapat juga
melalui cross-link dan mempengaruhi fungsi DNA (2006, Lacy). Dosis
pemberian: Ifosfamid 8000 mg. Dosis literatur: 5-6 g/m2(maksimal 10g/m2)
diberikan dalam infuse 24 jam setiap 3-4 minggu(lacy, 2016) Renal Drug
Handbook – GFR 20-50ml/min 75% dose; 10-20ml/min 75% dose; <10ml/min
50% dose. Dosis untuk pasien ini: 6g/m2x1,4x75%=6300 mg. Jika yg dipakai
dosis maksimal: 10g/m2x1,4x0,75=10,5 gram. Jadi untuk pasien ini sebaiknya
dosis diturunkan menjadi 6300 mg. Efek samping ifosfamid adalah
encephalopathy (10-50%) , hemorrhagic cystitis (1-10%); hematuria (6-92%)
Alopecia (83%) mual muntah (58%), leukopenia (50%), thrombocytopenia (20%)
DRP:1. potensial, Efek samping obat yaitu cystitis hemorrhagic, nefrotoksisitas,
encelopathy(Yin, Lo,.et.al., 2014). 2. aktual: dosis ifosfamide terlalu tinggi, perlu
diturunkan. Rekomendasi penurunan dosis ifosfamid menjadi 6300 mg.
Untuk mencegah efek samping cystitis hemorrhagic, diberikan mesna
dalam dosis terbagi 3, yaitu intravena bolus, intravena drip, intravena
drip.Mekanisme kerja mesna adalah dengan gugus thiolnya akan mengikat
acrolien sehingga acrolien menjadi inactive. (lacy, 2007).Indikasi profilaksis
cystitis hemorrhagic.Dosis pemberian 8000 mg (H2; iv bobus 800 mg, Iv drip
5600mg bersama ifosfamide,; H3: 1600 mg IV drip)Dosis literatur: 100 % - 180
% dari dosis ifosfamid (diberikan dalam dosis terbagi 3) ( Lacy, 2007) (NHS
trust). Jadi dosis yang diberikan sudah sesuai.Efek samping diare, rash, demam.
Menurut penelitian dengan desain RCT didapatkan hasil bahwa insidensi
hematuria grade severe (gross hematuria) atau moderate (150 rbc/hpf) 6.7% pada
kelompok mesna, dan 32.6% pada kelompok placebo (p=0.0008) dengan nilai
NNT=5 (Lillian L. Siu dan Malcolm J. Moore, 1998, Use of mesna to prevent
ifosfamide-induced urotoxicity, Springer journals). Berdasarkan hasil monitoring
pasien, tidak terjadi pendarahan kandung kemih selama dan setelah pemberian
ifosfamid, Hal ini menunjukkan bahwa pemberian mesna efektif untuk mencegah
pendarahan kandung kemih oleh karena efek samping dari kemoterapi ifosfamid.
Setelah dilakukan monitoring, efek samping pendarahan kandung kemih tidak
terjadi, namun efek samping enchelopathy terjadi pada tanggal 18 desember pukul
13.30 wib, Lalu pasien ditatalaksana dengan manitol 20% 500 ml kecepatan
tetesan 13 TPM, dari analisis monitoring dan penelusuran data maka didapatkan
data bahwa pemberian ifosfamid dimulai pada tanggal 17 desember jam 17.00 wib
dan pada tanggal 18 desember 2017 jam 09.30 wib ifosfamid sudah habis
tetesannya, jika mengacu ke protocol bahwa pemberian ifosfamid harus dengan
pelan –pelan selama 22 jam, pada kasus ini pemberiannya hanya 16,5 jam, hal ini
memungkinkan untuk memunculkan efek enchelopathy. Dan dari data
BUN/kreatinin pasien pada tanggal 23 desember 2017, bahwa kadar ureum dan
kreatinin naik drastis dari normal.
Pada tanggal 18 desember 2017, jam 13.58 wib, pasien mendapat terapi
Manitol 20% 500cc. Mekanisme aksi manitol adalah diuretik di ginjal; pada
tubulus proksimal, lengkung henle, (menghambat reabssorpsi natrium dan air
melalui daya osmotiknya), diuretik osmotik: menigkatkan osmolaritas plasma dan
menarik cairan dari dalam sel otak yg osmolarnya rendah. (FDA, 2017) Efek
samping manitol adalahoedem, hipotensi, takikardi. Indikasi: menurunkan tekanan
intracranial di brain mass. Dosis pemberian: Manitol 20% 500 ml 15 tpm. Dosis
literatur:; 50 – 200 gram / 24 jam. Pemberian dosis sudah sesuai.DRP: 1. aktual,
penurunan kesadran pasien, diduga karena eso ifosfamid 2. Penurunan kesadaran
belum mendapat terapi manitol.
Pada tanggal 19 desember 2017 malam pasien mengalami kenaikan
tekanan darah hingga > 180/90 mmHg, penataksanaannya adalah dengan
pemberian nifedipin hingga target tekanan darah 160/90 mmHg, setelah target
tercapai, kemudian dilanjutkan terapi selajutnya dengan captopril dan amlodipin
mualai tanggal 20 desember 2017 sampai target tekanan darah 140/80 mmHg.
Nifedipine golongan calcium kanal blocker, derivat dihidrofenidil,
Mekanisme aksinya : Menghambat transmembran masuknya ion kalsium
ekstraseluler melintasi membran sel miokard dan sel otot polos pembuluh darah,
tanpa mengubah konsentrasi serum kalsium.vasodilator arteri perifer; bekerja
langsung pada otot polos pembuluh darah menyebabkan penurunan resistensi
pembuluh darah perifer (afterload) dan Tekanan darah (BP= blood pressure).
Nifedipin dipilih untuk hipertensi urgensi karena mempunyai efektivitas yang
lebih baik dari pada captopril,clinidin dan furosemid dan onset nifedipin lebih
cepat untuk penanganan hipertensi urgensi (Cherney, D et.al, 2016, Management
of patient with hypertensive urgencies and emergencies).Nifedipin 5mg P.O,
Indikasi: hipertensi urgensi. Dosis literatur: 5 mg - 30 mg dan dapat diulang setiap
15 menit sampe target tekanan darah tercapai (V. Ratna Kumari1, K. Saraswathi,
A. Srilaxmi, 2016), Onset : 10-20 menit. Dalam jurnal Efficacy and Safety of
Amlodipine versus Captopril and their Combination in Hypertensive Urgency: A
Randomized Controlled Trial oleh Praew Kotruchin et. al. tahun 2016
disimpulkan bahwa penggunaan kombinasi captopril dan amlodipin efektif dan
dengan efek samping minimal. Captopril, Dosis pemberian 3x 25 mg tablet.Dosis
literatur: 25mg 2-3x/hari (bisa dimulai dari dosis rendah 12,5 mg 2-3x/hari) (lacy,
2016) maksimal dosis; 150 mg/hari. Dosis sudah sesuai.Mekanisme obat:
inhibitor kompetitif pada enzym ACE, sehingga mencegah konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II,menyebabkan penurunan level angiotensin II, akibatnya
aktivitas renin plasma meningkat, dan penuruan sekresi aldosteron. Efek samping
hipotensi (1%-3%). rash(4% to 7%), batuk (<1% to 2%), onset :Peak effect:
penurunan tek.darah: 1-1.5 jam. Absorpsi: 60% - 75%; menurun 30% to 40%
dengan makanan. DRP: interaksi dengan makanan, absorpsi captopril
menurun.Monitoring efektivitas captopril (tekanan darah pasien hingga
140/80mmHg).Monitoring ESO captopril (batuk kering), Monitoring Ureum,
kreatinin, dan serum elektrolit pasien Rekomendasi: Terapi lanjut. KIE: perawat:
pemberian obat caaptopril tidak bersamaan dengan makanan.Captopril diberikan
bersamaan dengan amlodipin untuk mendapatkan efek maksimal, sesuai dengan
JNC VIII, jika tekanan darah >140 mmHg, maka tatalaksananya adalah dengan 2
golongan antihipertensi yaitu golongan ACE Inhibitor dan Calcium Channel
Blocker.Dari hasil monitoring tekanan darah menurun pada tanggal 22 dan 23
desember 2017.Amodipinmekanisme aksi yaitu menghambat ion kalsium ketika
memasuki saluran lambat atau area sensitif tegangan selektif pada otot polos
vaskuler dan miokardium selama depolarisasi, menghasilkan relaksasi otot polos
vaskuler koroner dan vasodilatasi koroner, meningkatkan penghantaran oksigen
pada pasien angina vasospastik.Onset: 30-50 menit, Durasi: 24 jam, Dosis
pemberian 1x10 mg peroral 5 mg – 10 mg sekali sehari (lacy, 2016)2.5-10 mg
once daily (JNC 7). Efek Samping obat adalah sakit kepala(7%) pusing(1% to
3%),lemah lesu (4%), mengantuk(1% - 2%). DRP: -tidak ada. Monitoring
efektivitas amlodipin (tekanan darah pasien hingga 140/80mmHg) Monitoring
efek samping obatamlodipin (sakit kepala).Dari hasil monitoring tekanan darah
menurun pada tanggal 21 dan 22 desember 2017.
Pada tanggal 23 desember 2017, pasien mengalami syok kardiogenik dan
mendapat terapi norepinefrin.Dosis Pemberian 8mg dalam NS 100 ml. Dosis
literatur: Dewasa: Inisial: 0.5-1 mcg/menit dan dititrasi sampai mendapat respon
dengan ; 8-30 mcg/menit; Range dosis : 0.01-3 mcg/kg/menit. Mekanisme kerja
menstimulasi reseptor B1 adrenergik dan alpha adrenergik menyebabkan
kontraktilitas dan HR sehingga terjadi vasokontriksi kemudian meningkatkan
tekanan darah sistemik dan aliran darah koroner secara klinik, efek alpha
(vasokontriksi) lebih besar dari efek Beta (efek inotropik dan konotropik). Onset:
rapid (sangat cepat) Durasi: Vasopresor : 1 – 2 menit . Metabolisme: Via catechol-
o-methyltransferase (COMT) and monoamine oxidase (MAO). Ekskresi: Urine
(84% to 96% as inactive metabolites). Efek samping obat adalah bradycardia,
arrhythmia, peripheral (digital) ischemia.Setelah pemberian norepinefrin, tekanan
darah sistole tidak dapat naik sampai 90 mmHg. DRP: Norepinefrin tunggal
belum adekuat menaikkan tekanan darah. Rekomendasi pemberian norepinefrin
tunggal belum adekuat, saran: kombinasi dengan dopamin dosis 2-15
mcg/kgbb/menit. Berdasar studi Gerry et al Norepineprine alone versus
norepinephrine plus low-dose dopamine : Enhanced renal blood flow with
combination pressor menyimpulkan bahwa dalam penanganan pasien pada shock
kardiogenik yang memerlukan terapi dengan norepinefrin, penambahan dopamin
dosis rendah dapat mencegah vasokonstriksi ginjal yang berlebihan dan dapat juga
mengurangi risiko iskemik.
Berdasar data laboratorium dari tanggal 23 desember 2017 bahwa terjadi
ketidakseimbangan elektrolit serum dimana terjadi hipernatremia dan
hipokalemia. Penatalaksaan hipernatremia dengan membatasi intake cairan,
sedangkan penatalaksanaan hipokalemia menurut Journal of Parenteral and
Enteral Nutrition, kalium serum 3,68 mmol/L termasuk dalam severe hipokalemia
dan penatalaksanaannya dengan koreksi Kalium: KCl 40 mEq × 3 doses (total 120
mEq). Ketidakseimbangan elektrolit ini masuk dalam DRP karena belum
dilakukan koreksi elektrolit karena pasien pulang APS hari tanggal 23 desember
2017.
BAB V
KESIMPULAN
M. Saiful Hadi, et al. 2012. Hubungan Anemia dan Transfusi Darah terhadap
Respons Kemoradiasi pada Karsinoma Serviks Uteri Stadium IIb –
IIIb. Semarang: Medica Hospitalia.
Michael M. Braun, et al. 2015. Diagnosis and Management of Sodium
Disorders: Hyponatremia and Hypernatremia. America: American
Academy of Family Physicians.
Praew Kotruchin, et al. 2016. Efficacy and Safety of Amlodipine versus
Captopril and their Combination in Hypertensive Urgency: A
Randomized Controlled Trial. Thailand: Department of Emergency
Medicine
Rim, et al., 2012.Recent trends in prostate cancer incidence by age, cancer
stage, and grade, the United States. USA :School of Medicine