Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN STUDI KASUS

KANKER SERVIKS IIIB DENGAN ANEMIA

PERIODE 4 DESEMBER – 23 JANUARI 2018

Oleh:

Sastra Ariwibowo, S.Farm., Apt 1608045028


Nabial Chiekal Gibran, S.Farm., Apt 1608045054
Nurkholis Amin, S.Farm., Apt 1608045039

PROGRAM PASCASARJANA FARMASI KLINIK


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN STUDI KASUS

KANKER SERVIKS IIIB DENGAN ANEMIA

Disusun Oleh :

Sastra Ariwibowo, S.Farm., Apt 1608045028


Nabial Chiekal Gibran, S.Farm., Apt 1608045054
Nurkholis Amin, S.Farm., Apt 1608045039

Disetujui Oleh :

Apoteker Pembimbing Farmasi Klinis


RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

(DesantikaWuryana , M.Farm. Klin., Apt)


BAB I
PENDAHULUAN

Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks.Serviks


merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuksilindris, menonjol dan
berhubungan dengan vagina melalui ostiumuteri eksternum. (Guidelines PNPK,
2017) Di Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker
terbanyak berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens
sebesar 12,7%. Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah
wanita penderita baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk
dan setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker serviks. (Guidelines PPKS, 2015)
Penyebab kanker serviks diketahui adalah virus HPV (Human Papilloma
Virus) sub tipe onkogenik, terutama sub tipe 16 dan 18. Adapun faktor risiko
terjadinya kanker serviks antara lain: aktivitas seksual pada usia muda,
berhubungan seksual dengan multipartner, merokok, mempunyai anak banyak,
sosial ekonomi rendah, pemakaian pil KB (dengan HPV negatif atau positif),
penyakit menular seksual, dan gangguan imunitas. (Guidelines PPKS, 2015)
Pilihan terapi pengobatan kanker serviks meliputi terapi pembedahan,
kemoterapi, dan radioterapi.Kemoterapi dan radioterapi diberikan pada pasien
dengan stadium Ib2 sampai dengan stadium IVb (Berek dan Novak,
2007).Kemoterapi memiliki dampak dalam berbagai bidang kehidupan antara lain
dampak terhadap fisik dan psikologis. Berbagai dampak pada fisik meliputi
kerontokan rambut yang merupakan efek paling sering dan juga yang paling
ditakuti.Kerontokan rambut terjadi sekitar 65% dari semua pasien (Rim, 2012).
Kelelahan merupakan gejala yang paling umum dialami pasien selama
pengobatan, kelelahan terjadi sekitar 82% sampai 100% dari semua pasien,mual
dan muntah merupakan efek yang buruk dan penting untuk ditangani, mual dan
muntah terjadi sekitar 64,4% dari keseluran pasien yang menjalani kemoterapi,
penurunan berat badan terjadi 5 sekitar 50% pada semua pasien saat terdiagnosis
kanker dan 80% pada pasien dengan kanker stadium lanjut, efek yang terakhir
adalahanemia merupakan dampak yang sering dialami pada mayoritas pasien
kanker yang menjalani kemoterapi. Terdapat sekitar 83% dari pasien yang
mengalami kemoterapi menunjukkan anemia (Rim, 2012).
Anemia yaitu berkurangnya 1 atau lebih sel darah merah: konsentrasi
hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah.Berdasarkan kriteria WHO
yang direvisi/ kriteria National Cancer Institute, anemia adalah kadar hemoglobin
di bawah 14 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita. Kriteria ini
digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita dengan keganasan.Gejala
utamaadalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat, fatigue, gejala
dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring
in the ears).Pada anemia yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan
komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/ atau infark
miokard).( Schrier S, 2017)
Pada penderita anemia pada kanker, tatalaksana yang terbaik adalah
mengatasi penyebab anemia yang merupakan tindakan paling optimal.Beberapa
penyebab seperti defisiensi nutrisional, mudah untuk diidentifikasi dan diobati
seperti pemberian suplemen besi (FE), asam folat atau vitamin dan mineral.
Keadan-keadan lain seperti adanya pendarahan samar, infeksi, atau hemolisis sel
darah merah memerlukan evaluasi yang mendalam dan terapi yang tepat, seperti
tranfusi atau pemberian eritropoiesis. Kalau anemia tidak begitu nyata pada
penderita biasanya tidak bergejala, maka pemeriksaan baku seperti pemeriksaan
darah secara regular harus dilakaukan. (Azmi Sariedj, 2015)
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. Kanker Serviks
1.1 Definisi
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks.Serviks
merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuksilindris, menonjol dan
berhubungan dengan vagina melalui ostiumuteri eksternum. (PPKS, 2015)
1.2 Etiologi
Etiologi kanker servik yang diketahui adalah virus HPV (Human
Papilloma Virus) sub tipe onkogenik, terutama sub tipe 16 dan 18. Adapun faktor
risiko terjadinya kanker serviks antara lain: aktivitas seksual pada usia muda,
berhubungan seksual dengan multipartner, merokok, mempunyai anak banyak,
sosial ekonomi rendah, pemakaian pil KB (dengan HPV negatif atau positif),
penyakit menular seksual, dan gangguan imunitas.
a. Penyakit menular
Infeksi virus seperti herpes simpleks (HSV-2) dan virus papiloma atau
kondiloma akuinata diduga sebagai faktor penyebab kanker serviks.
b. Usia
Umur pertama kali melakukan hubungan seksual, menunjukkan bahwa
semakin muda wanita melakukan hubungan seksual maka makin besar
kemungkinan mendapatkan kanker servik, seperti kawin pada usia 20
tahun kebawah dianggap masih terlalu muda.
c. Jumlah perkawinan
Wanita yang sering melakukan hubungan seksual dan berganti-ganti
pasangan mempunyai faktor resiko yang sangat besar terhadap kanker
serviks.
d. Merokok
Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker.
e. Pemakaian alat kontrasepsi
Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim akan berpengaruh terhadap servik
seperti terjadinya erosi servik yang kemudian menjadi infeksi yang berupa
radang yang terus menerus, sehingga dapat menjadi pencetus terbentuknya
kanker serviks.
f. Jumlah kehamilan atau partus
Kanker serviks banyak dijumpai pada wanita yang sering
melahirkan.Dimana semakin sering seorang wanita melahirkan maka
makin besar kemungkinan resiko untuk mendapatkan kanker serviks.
g. Social ekonomi
Kanker serviks banyak dijumpai pada golongan social ekonomi yang
rendah yang berkaitan dengan gizi, imunitas dan kebersihan perorangan,
sehingga pada golongan social ekonomi rendah umumnya kualitas dan
kuantitas makanannya kurang yang dapat mempengaruhi imunitas
tubuhnya. (PPKS, 2015)
1.3 Patofisiologi

Gambar 1. Patofisiologi Kanker Serviks

Perkembangan kanker invasif berawal dari terjadinya lesi neoplastik pada


lapisan epitel serviks, dimulai dari neoplasia intraepitel serviks (NIS) 1, NIS 2,
NIS 3 atau karsinoma in situ (KIS).Persisten Selanjutnya setelah menembus
membran basalis akan berkembang menjadi karsinoma mikroinvasif dan invasif.
Pemeriksaan sitologi papsmear digunakan sebagai skrining, sedangkan
pemeriksaan histopatologik sebagai konfirmasi diagnostik.
Perkembangan kanker invasif berawal dari terjadinya lesi neoplastik pada
lapisan epitel serviks, dimulai dari neoplasia intraepitel serviks (NIS) 1, NIS 2,
NIS 3 atau karsinoma in situ (KIS).Selanjutnya setelah menembus membran
basalis akan berkembang menjadi karsinoma mikroinvasif dan invasif.
Pemeriksaan sitologi papsmear digunakan sebagai skrining, sedangkan
pemeriksaan histopatologik sebagai konfirmasi diagnostik.
Pemeriksaan sitologi papsmear digunakan sebagai skrining, sedangkan
pemeriksaan histopatologik sebagai konfirmasi diagnostic.
Deteksi dini lesi prakanker terdiri dari berbagai metode :
1. Papsmear (konvensional atau liquid-base cytology /LBC ),
2. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA),
3. Inspeksi Visual Lugoliodin (VILI),
4. Test DNA HPV (genotyping / hybrid capture) (PPKS, 2015)
Tabel 1.klasifikasi lesi prakanker
Tabel 2. Klasifikasi Histologi dan Stadium (Pnpk Kanker Serviks, 2017)

Klasifikasi Stadium menurut FIGO


0 Karsinoma in situ (karsinoma preinvasif)
I Karsinoma serviks terbatas di uterus (ekstensi ke korpus uterus dapat
diabaikan)
IA Karsinoma invasif didiagnosis hanya dengan mikroskop. Semua lesi
yang terlihat secara makroskopik, meskipun invasi hanya superfisial,
dimasukkan ke dalam stadium IB
IA1 Invasi stroma tidak lebih dari 3,0 mm kedalamannya dan 7,0 mm atau
kurang pada ukuran secara horizontal
IA2 Invasi stroma lebih dari 3,0 mm dan tidak lebih dari 5,0mm dengan
penyebaran horizontal 7,0 mm atau kurang
IB Lesi terlihat secara klinik dan terbatas di serviks atau secara
mikroskopik lesi lebih besar dari IA2
IB1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm
atau kurang
IB2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih dari
4,0 cm
II Invasi tumor keluar dari uterus tetapi tidak sampai ke dinding panggul
atau mencapai 1/3 bawah vagina
IIA Tanpa invasi ke parametrium
IIA1 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar 4,0 cm
atau kurang
IIA2 Lesi terlihat secara klinik berukuran dengan diameter terbesar lebih dari
4,0 cm
IIB Tumor dengan invasi ke parametrium
III Tumor meluas ke dinding panggul/ atau mencapai 1/3 bawah vagina
dan/atau menimbulkan hidronefrosis atau afungsi ginjal
IIIA Tumor mengenai 1/3 bawah vagina tetapi tidak mencapai dinding
panggul
IIIB Tumor meluas sampai ke dinding panggul dan / atau menimbulkan
hidronefrosis atau afungsi ginjal
IVA Tumor menginvasi mukosa kandung kemih atau rektum dan/atau
meluas keluar panggul kecil (true pelvis)
IVB Metastasis jauh (termasuk penyebaran pada peritoneal, keterlibatan dari
kelenjar getah bening supraklavikula, mediastinal, atau para aorta, paru,
hati, atau tulang)
1.4 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang paling umum terjadi adalah perdarahan (contact
bleeding, perdarahan saat berhubungan intim) dan keputihan. Pada stadium lanjut,
dapat berkembang mejadi nyeri pinggang atau perut bagian bawah karena desakan
tumor di daerah pelvik ke arah lateral sampai obstruksi ureter, bahkan sampai
oligo atau anuria. (PPKS, 2015)

1.5 Penatalaksanaan
a. Tatalaksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang
ada.Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat
dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes
IVA dapat dilakukan dengan carasingle visit approach atau see and treat
program, yaitu bila didapatkantemuan IVA positif maka selanjutnya dapat
dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan
yang sudah terlatih.
Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal direkomendasikan
untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila diperlukan
maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure
(LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ) untuk
kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik.
Bila hasil elektrokauter tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa
dilanjutkan dengan tindakan konisasi atau histerektomi total.
Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi :
- LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion),dilakukan LEEP dan
observasi 1 tahun.
- HSIL(high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukanLEEP
dan observasi 6 bulan. (PPKS, 2015)
b. Tatalaksana Kanker Serviks Invasif
1. Stadium 0 / KIS (Karsinoma in situ)
Konisasi (Cold knife conization).
 Bila margin bebas, konisasi sudah adekuat pada yangmasih memerlukan
fertilitas.
 Bila tidak tidak bebas, maka diperlukan re-konisasi.
 Bila fertilitas tidak diperlukan histerektomi total
 Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuaitatalaksana kanker invasif.
2. Stadium IA1 (LVSI negatif)
Konisasi (Cold Knife) bila free margin (terapi adekuat)
apabila fertilitas dipertahankan.(Tingkat evidens B)
Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi.
Histerektomi Total apabila fertilitas tidak dipertahankan
3. Stadium IA1 (LVSI positif)
Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas
dipertahankan.
Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi medik dapat
dilakukan Brakhiterapi
4. Stadium IA2,IB1,IIA1
Pilihan 1 : Operatif.
 Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik.
(Tingkat evidens 1 / Rekomendasi A)
 Ajuvan Radioterapi (RT) atau Kemoradiasi bila terdapat faktor resiko
yaitu metastasis KGB, metastasis parametrium, batas sayatan tidak
bebas tumor, deep stromal invasion, LVSI dan faktor resiko lainnya.
 Hanya ajuvan radiasi eksterna (EBRT) bila metastasis KGB saja.
Apabila tepi sayatan tidak bebas tumor / closed margin, maka radiasi
eksterna dilanjutkan dengan brakhiterapi.
2 : Non operatif
 Radiasi (EBRT dan brakiterapi)
 Kemoradiasi (Radiasi : EBRT dengan kemoterapi konkuren dan
brakiterapi)
5. Stadium IB 2 dan IIA2
Pilihan 1 : Operatif (Rekomendasi A)
 Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi
 Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil
patologi anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
2 : Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
 Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi adalah untuk mengecilkan massa
tumor primer dan mengurangi risiko komplikasi operasi.
 Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil
patologi anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
6. Stadium IIB
Pilihan 1 : Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2 : Radiasi (Rekomendasi B)
3 : Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi.
4: Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy
(dalam penelitian)
7. Stadium III A  III B
Kemoradiasi (Rekomendasi A)
Radiasi (Rekomendasi B)
8. Stadium IIIB dengan CKD
Nefrostomi / hemodialisa bila diperlukan
Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau
Radiasi
9. Stadium IV A tanpa CKD
Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi terlebih
dahulu dilakukan kolostomi, dilanjutkan :
Kemoradiasi Paliatif, atau Radiasi Paliatif
10. Stadium IV A dengan CKD, IVB
Paliatif .Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif / radiasi
paliatif dapat dipertimbangkan.(PPKS, 2015).

1.6 Karboplatin, Ifosfamid


a. Karboplatin
Karboplatin merupakan turunan dari sisplatin.Generasi kedua dari
platinum ini merupakan analog yang lebih stabil, tetapi memiliki aktivitas yang
ekuivalen pada beberapa tipe kanker dibandingkan dengan sisplatin.Karboplatin
diaktivasi secara lambat untuk pemaparan pada dua situs pengikatan DNA pada
kompleks koordinat platinum II.Obat ini lebih larut air dan lebih tidak nefrotoksik
dibandingkan sisplatin.Aksi obat ini tidak spesifik pada siklus sel. Pada pasien
gangguan ginjal, dosis carboplatin harus dikurangi. Fraksi bebas dari karboplatin
dan hasil hidrolisnya dieksresikan pada urin melalui filtrasi glomerular dan sekresi
tubular. Eliminasi lewat urin mencapai 65% pada pasien dengan kondisi ginjal
normal (Anderson et al., 2002). Obat ini merupakan alkilating agent yang
berikatan secara kovalen dengan DNA, dapat juga melalui cross-link dan
mempengaruhi fungsi DNA. Karboplatin diekskresikan 60-90 % melalui urin
setelah 24 jam, serta menimbulkan peningkatan pada nilai kreatinin dan BUN
(Lacy et al., 2004).
Karboplatin bekerja pada siklus sel fase nonspesifik. Fraksi bebas
darikarboplatin dan hasil dari proses hidrolisis diekskresikan melalui filtrasi
glomerulus dan sekresi tubular. t ½ dari karboplatin pada fase α sebesar 90±50
menit dan pada fase β sebesar 180±50 menit. Nilai klirens dari karboplatin yaitu
4,4 L/jam. (Anderson et al., 2002). Karboplatin dengan konsentrasi 1gram/L
dilarutkan dalam NaCl 0,9% didalam wadah gelas secara fisik kompatibel dengan
kehilangan 5% dalam 24 jam pada suhu 2500C. Dengan konsentrasi 7 gram/L
didalam NaCl 0,9% mengalami kehilangan sebanyak 8% dalam 2 jam
penyimpanan pada suhu 270C (Trissel, 2009). Efek samping yang umum dijumpai
dari pemberian karboplatin diantaranya adalah mual muntah, myelosuppression,
trombositopenia, anemia, diare, nefrotoksiksitas, perubahan elektrolit dan enzim
hepatik, neuropati dan nyeriabdominal.Monitoring terhadap klirens kreatinin perlu
dilakukan selama terapi menggunakan karboplatin (Anderson et al., 2002).Efek
samping dari penggunaan karboplatin secara umum antara lain mual (10-18 %),
muntah (65-80 %), gangguan elektrolit, depresi sumsum tulang. Sedangkan efek
samping serius yang dapat terjadi adalah depresi sumsum tulang (trombositopenia
60-70 %), neutropenia (95%), anemia (88%), hipokalsemia, hipomagnesemia (30-
60 %), hiponatremia (10-50 %), hipokalemia (10-50 %), neurotoksisitas (hanya
terjadi setelah pemberian cisplatin sebelumnya), nefrotoksisitas, ototoksisitas,
gagal jantung, hepatitis, serta pendarahan (Ehrenpreis and Eli, 2001).
b. Ifosfamid
Sinonim(S): isophosphamide, iphosphamide
Klasifikasi: alkylating agent, cytotoxic
Mekanisme Aksi:
ifosfamide mengganggu DNA melalui pembentukan fosfotriester dan ikatan
silang DNA-DNA, sehingga menghambat sintesis protein dan sintesis DNA.
Ifosfamid adalah spesifik siklus sel, namun fase siklus sel tidak spesifik.Ifosfamid
adalah agen imunosupresif.(BC Cancer Agency, 2010).
Farmakokinetik: Absorpsi oral 90%-100%, Vd 6-49L melewati brain barrier,
Ikatan protein sangat kecil, dimetabolisme di hati sebagai metabolit aktif
(ifosfamid mustard, dan acrolien) dan metabolit non aktif, ekskresi utama di renal
melalui urin (14-50% bentuk obat utuh, 15-41% dalam bentuk metabolit lain),
feces, T1/2 eliminasi 4-8 jam, dosis tinggi (3,800-5,000mg/m2) 11-15 jam, klirens
21 mL/menit.
Efek samping: alergi/imunologi (reaksi alergi <1%), pendengaran (auditory
hallucinations), blood/bone marrow/ febrile neutropenia [anemia, leukopenia,
6,000 mg/m2/cycle (50%); 10,000-12,000 mg/m2/cycle (~100%, severe 50%);
mulai pada hari 5,13 nadir 7-14 hari, rekoverimulai sesudah 10-14
haridankomplitsetelah 14-21 hari, thrombocytopenia (10%), 6,000 mg/m2/cycle
(20%); 10,000-12,000 mg/m2/cycle (severe 8%)], cardiovascular
(supraventricular arrhythmias, S-T segment changes, ventricular arrhythmias,
heart failure), dermatology/kulit (iritasi, Alopecia 1-83%, dermatitis,
hiperpigmentasi, inflamasi membran mukosa), gastrointestinal [(emetogenic
potential: low-moderate; dose-related), hematemesis, mual dan muntah (56-
81%)], hemorrhagic cystitis (1-10%); insidensi, tingkat keparahan bergantung
dengan penigkatan dosis, pancreatitis (<1%), infeksi dengan atau tanpa demam
(8%), hyperaminoaciduria, enzim hati dan atau bilirubin meningkat (3%), serum
kreatini meningkat, asidosis metabolik (31%), phosphaturia, musculoskeletal
(asthenia), neurologi [(agitasi, cerebellar symptoms, koma, disfungsi saraf kranial,
depresi mental, encephalitis (<1%), encephalopathy (10-50%); terdiri
darikebingungan, disorientasi, dizziness, somnolence, stupor, kejang umum
(<1%), halusinasi, neuropati perifer (<1%), polyneuropathy (<1%)], Gangguan
visual (penglihatan kabur), pulmonary (interstitial pneumonitis (<1%), pulmonary
edema (<1%), renal/genitourinary [hematuria (6-92%)15,16; 6 g/m2/cycle
(microscopic 50%, gross 8%), hemorrhagic cystitis (1-10%); insidence, severity,
and persistensi meningkatdengan peningkatan dosis, nephrogenic diabetes
insipidus, proteinuria, gagal ginjal (<1%), nekrosis parenkim ginjal,asidosis
tubular ginjal,nekrosis tubular ginjal, nefrotoksisitas nonspesifik (6%), retensi
urin], sindrom fanconi , vascularthrombophlebitis (1%).
Dosis: Tiap 3 minggu: 1,200 mg/m2 IV once daily selama 5 hari berturut-turut
(total dosis per cycle 6000 mg/m2), berdasarkan respon: 1,200-2,500 mg/m2 IV
once daily selama 3-5 hari mulai dari hari pertama, tiap 3 minggu (BC Cancer
Agency):1,500-1,800 mg/m2 IV once daily selama 4-5 hari berturut-turutmulai
hari 1 (total dosis per cycle 6000-9000 mg/m2)
Tiap 3 minggu (American Society of Health-System Pharmacists, 2007): 5,000
mg/m2 IV once daily selama 1 dosispada hari pertama.
Menurut penelitian case report berjudul Fatal Ifosfamide-Induced
Metabolic Encephalopathy in Patients with Recurrent Epithelial Ovarian Cancer:
Report of Two Cases oleh You-Jung Shin et.al tahun 2011 dilaporkan bahwa
Toksisitas sistem saraf pusat (CNS) telah dilaporkan pada sekitar 10-30% pasien
yang menerima infus intravena ifosfamid. Encephalopathy adalah penyakit SSP
yang jarang namun serius Reaksi pada pasien ini, dan meski biasanya sementara
dan reversibel, bisa menyebabkan disfungsi neurologispersisten atau
kematian.Gambaran klinis berkisar dari kelelahan dan kebingungan hingga koma
dan kematian.Meskipun metilen blue dapat digunakan untuk mengobati
neurotoksisitas yang disebabkan oleh ifosfamid, termasuk ensefalopati,
mekanisme kerjanya tetap kurang jelas.
Berdasar penelitian case reportIfosfamide-induced renal Fanconi
syndrome with associated nephrogenic diabetes insipidus in an adult patient oleh
Aurelio Negro, Giuseppe Regolisti, Franco Perazzoli, Simona Davoli, Carlo Sani
and Ermanno Rossi tahun 1998 melaporkan bahwa Seorang wanita berusia 48
tahun dengan kanker payudara metastatikDia telah menerima lima siklus
kemoterapi, termasuk ifosfamide (41 g / m2 total dosis 65,2 g). Toksisitas Selama
dua siklus pertama masing-masing 5 hari, total segmen proksimal dan distal
tubulus ginjal.Serta menyebabkan falconi sindrom.
Pada penelitian Severe ifosfamide-induced neurotoxicity: a case reportoleh
Sara Ramos Linares et.al tahun 2010 dilaporkan bahwa seorang pria berusia 38
tahun yang menderita Hodgkin limfoma klasik (Stadium IV-B) sejak Desember
2006. Ia menjalani 8 siklus Regimen ABVD (adriamycin, bleomycin, vinblastine,
dacarbazine) mencapai respon parsial lebih besar dari 50%. Selanjutnya, pasien
menerima kemoterapi lini kedua dengan rejimen mini-BEAM (carmustine,
etoposide, sitarabin dan melphalan) dan menunjukkan perbaikan dari respon
setelah 3 siklus terapi, diperbolehkan transplantasi sumsum tulang autologous
dengan perifer sel induk darah. Pasien kambuh awal 3 bulan setelahnya
transplantasi, jadi diputuskan untuk kemoterapi DHAP (sitarabin, cysplatin,
deksametason) untuk selanjutnya transplantasi sumsum tulang alogenik
haematopoietic- sel induk dari donor sibir HLA yang cocok. Setelah 4 siklus
respon minimal. Oleh karena itu bertekad menggunakan protokol IGEV
(ifosfamide 2000 mg /m2 dan MESNA pada hari 1-4; gemcitabine 800 mg / m2,
di hari 1 dan 4; vinorelin 20 mg / m2 pada hari ke 1) pada perawatan intensif. Dua
puluh empat jam setelahpemberian ifosfamide, pasien mengalami sindrom
kebingungan yang memburuk,hari-hari berturut-turut gangguan neurologis
semakin memburuk adanyaagitasi, kegelisahan, dan gejala ekstrapiramidal seperti
distonia, disartria, salivasi, dan hipokinesia, serta tremor, mutisme, dan kelesuan,
dengan mimpi buruk dan halusinasi transien. Studi lanjutantidak menunjukkan
gangguan metabolik yang membenarkan Gejala, sama-sama meningeal atau
infeksi enchepalic atau lesi organik dalam serebral yang dihitung tomografi dan
resonansi magnetik nuklir.Neurologis Gangguan dikategorikan sebagai
neurotoksisitas derajat 3 yang diinduksi ifosfamida dan dilaporkan ke Pusat
Pharmacovigilance Regional yang mengklasifikasikan ifosfamide sebagaiAgen
penyebab yang mungkin. Pasien mendapat dukungan pengobatan dengan hidrasi,
benzodyazepin, dan biperiden dengan resolusi bertahap dalam 3 minggu tanpa
sekuele neurologis Mengingat tingkat keparahan neurologisnya gangguan,
ifosfamide dihentikan dan diganti dengan siklosfosfamid; neurotoksisitas tidak
diamati pada siklus berikutnya.
Dalam penelitian retrospektif High-Dose Ifosfamide Is Associated with
Severe, Reversible Cardiac Dysfunction oleh Zenaide M.N. et.al, Annals of
Internal Medicine tahun 1993 dilaporkan bahwa Selama periode yang ditinjau, 52
pasien menerima 53 kursus kemoterapi yang berhubungan dengan autologous
transplantasi sumsum tulang Kelompok ini termasuk 22 orang wanita dan 30 pria
dengan usia rata-rata 36 tahun (kisaran, 15 sampai 65 tahun). Diagnosis utama
mereka adalah Hodgkin penyakit (n = 24), limfoma sel besar yang menyebar (n =
10), limfoma intermediate atau high grade lainnya (n = 7), karsinoma payudara (n
= 7), dan karsinoma testis (n = 4).Dosis ifosfamid adalah 10 g / m2 pada 6 pasien,
12,5g / m2 pada 12 pasien, 15,6 g / m2 pada 20 pasien, 16 g / m2 di 12 pasien,
dan 18 g / m2 pada 3 pasien. Sembilan belas pasien menerima regimen VIC, dan
34 menerima ICE regimen. Satu pasien menerima kedua regimen tersebut,
awalnya VIC dengan dosis ifosfamide 15,6 g / m2, dan setelah kambuh 13 bulan
kemudian, ICE dengan dosis ifosfamide 16 g / m2 Sebelum terapi ifosfamide, 45
pasien telah menerimanya doksorubisin dalam dosis kumulatif (rata-rata ± SE)
sebesar 384 ± 23 mg / m2 (kisaran, 45 sampai 650 mg / m2). Singkatnya,
penelitian retrospektif kami terhadap 52 pasien menunjukkan bahwa ifosfamid
dosis tinggi dikaitkan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus,dengan depresi
miokard reversibel, yang bermanifestasidengan gagal jantung kongestif dan
aritmia berat. Tingginya indeks kecurigaan terhadap toksisitas ini diperlukan saat
mengelola pasien dengan terapi ifosfamid.Penyebab lain gagal jantung kongestif
harus dipertimbangkan, tapi sifat reversibel dari ifosfamid yang berasosiasigagal
jantung mengamanatkan dukungan terapeutik yang agresif dari semua pasien yang
mengalami komplikasi ini.

1.7 Hipertensi Urgensi


Keadaan darurat hipertensi dapat didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan darah (BP) yang parah dengan adanya kerusakan organ target
akut.Sindrom koroner akut, pembedahan aneurisme aorta, edema paru akut,
ensefalopati hipertensi, infark serebral akut, perdarahan intraserebral atau
perdarahan arterial akut atau eklampsia merupakan kondisi klinis di mana
pengurangan tekanan darah segera diperlukan untuk mencegah perkembangan
kerusakan organ target (target organ target / TOD).Urgensi hipertensif ditandai
dengan peningkatan berat di BP (> 180/120 mmHg) tanpa bukti TOD akut. Pada
urgensi hipertensi, BP biasanya dapat dikurangi di bagian gawat darurat (ED) oleh
obat oral tanpa masuk rumah sakit dan dengan follow up ambulatori
Penetuan triase pasien yang tepat merupakan bagian penting dari evaluasi
awal.Setelah riwayat lengkap (dengan perhatian khusus pada hipertensi dan TOD
yang sudah ada sebelumnya) dan pemeriksaan fisik yang akurat (termasuk
pemeriksaan fundoskopi), penelitian laboratorium terpilih seperti urinanalisis,
kreatinin, urea, elektrolit dan penghitungan darah penuh harus dilakukan.Bila
bentuk sekunder dari hipertensi dicurigai sebagai sampel untuk aktivitas renin
plasma, aldosteron dan katekolamin juga harus ditarik.Dianjurkan untuk
mendapatkan setiap elektrokardiogram dan radiogram dada (Tabel 2).Tekanan
darah harus diukur sesuai dengan pedoman saat ini, baik dalam posisi duduk
maupun posisi berdiri.Perbedaan yang signifikan pada BP antara kedua lengan
harus meningkatkan kecurigaan diseksi aorta.Pada tekanan darah ED kemudian
harus dipantau secara ketat.(European Society of Hypertension, 2006)
Penatalaksanaan hipertensi urgensi agen oral harus menjadi terapi pertama
untuk urgensi hipertensi.Agen oral yang paling sering digunakan meliputi
clonidine, nifedipine, captopril, dan labetalol. Meskipun ini umum digunakan,
masuk akal untuk memulai pengobatan yang akan diindikasikan untuk
penggunaan jangka panjang. Karena penyebab urgensi hipertensi sering kali
sekunder akibat ketidakpatuhan terhadap terapi antihipertensi yang telah
ditentukan sebelumnya, cukup reinisiasi obat yang sama yang sering bekerja
dengan baik. Penting untuk terus memantau pasien dan memintanya kembali
dalam 1-2 minggu untuk memastikan bahwa tekanan darah membaik dan tidak
ada komplikasi komplikasi hipertensi yang tidak terkontrol. (Erica Brownfield.
Treatment of Hypertensive Urgency in an Outpatient Setting - Medscape – 2002)

1.8 Syok Kardiogenik


Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung dan
perfusi sistemik pada kondisi volume intravaskular yang adekuat, sehingga
menyebabkan hipoksia jaringan.Gambaran yang esensial dari syok kardiogenik
adalah adanya hipoperfusi sistemik yang menyebabkan hipoksia jaringan dengan
bukti volume intravaskular yang adekuat. Kriteria hemodinamik syok kardiogenik
adalah adanya hipotensi yang berkepanjangan dengan batasan/cut-off points
tekanan darah sistolik untuk syok kardiogenik adalah < 90 mmHg selama
sekurangnya 30-60 menit atau mean arterial pressure < 30 mmHg dari baseline
dengan indeks kardiak yang berkurang (< 2,2 L/menit/m2) dan tekanan baji
kapiler paru (pulmonary capillary wedge pressure/PCWP) > 15 mmHg.
Insidensi dan Epidemiologi Syok kardiogenik merupakan penyebab
kematian paling sering pada pasien-pasien yang dirawat dengan infark
miokard.Tindakan revaskularisasi dini terbukti mampu menurunkan kejadian syok
kardiogenik pada kasus infark miokard akut. Tingkat kejadian syok kardiogenik
telah banyak berkurang belakangan ini, mulai dari 20% pada tahun 1960an,
hingga saat ini tinggal + 8% saja. Jenis infark miokard akut yang paling sering
menyebabkan syok kardiogenik adalah STEMI.Sekitar 80% kasus syok
kardiogenik yang berkaitan dengan infark miokard akut.80% Syok kardiogenik
yang terjadi akibat infark miokard disebabkan oleh kegagalan ventrikel
kiri.Sedangkan yang lainnya adalah mitral regurgitasi akut, rupture septum
ventrikular, gagal ventrikel kanan, serta tramponade jantung.Insidensi syok
kardiogenik lebih tinggi pada pria daripada wanita (3:2).Perbedaan ini disebabkan
karena semakin meningkatnya kejadian penyakit jantung koroner pada
pria.Namun demikian persentase kejadian syok kardiogenik yang mengikuti infark
miokard lebih banyak pada wanita dibanding pria.Umur rata-rata pasien dewasa
yang mengalami syok kardiogenik adalah 65-66 tahun. Ras yang paling tinggi
persentasenya untuk kejadian syok kardiogenik adalah ras hispanik (74%)
sedangkan ras afrika amerika 65%, kulit putih 56%, sedangkan Asia dan
selebihnya 41%.3,4,6. Berdasarkan SHOCK register dan trial disebutkan bahwa :
74,5% syok kardiogenik disebabkan oleh predominasi kegagalan ventrikel kiri;
8,36% akibat MR: 4,6% akibat ruptur septum ventrikel; 3,4% masalah pada
jantung kanan; 1,7% tamponde/ruptur jantung; 3,0% penyebab lain. Secara
fungsional penyebab syok kardiogenik dapat dibagi menjadi 2 yakni kegagalan
Jantung kiri dan kegagalan Jantung kanan. Penyebab-penyebab kegagalan jantung kiri
antara lain : (1) disfungsi sistolik yakni, berkurangnya kontraktilitas miokardium.
Penyebab yang paling sering adalah infark miokard akut khususnya infark
anterior.Penyebab lainnya adalah hipoksemia global, penyakit katup, obat-obat yang
menekan miokard (penyekat beta, penghambat gerbang kalsium, serta obat-obat anti
aritmia), kontusio miokard, asidosis respiratorius, kelainan metabolic (asidosis
metabolic, hipofosfatemia, hipokalsemia), miokarditis severe, kardiomiopati end-
stage, bypass kardiopulmonari yang terlalu lama pada operasi pintas jantung, obat-
obatan yang bersifat kardiotoksin (mis. Doxorubicin, adriamycin). (2) disfungsi
diastolik. Hal ini dapat terjadi akibat meningkatnya kekakuan ruang ventrikel
kiri.Selain itu dapat pula terjadi pada tahap lanjut syok hipovolemik dan syok septik.
Hal-hal yang dapat menyebabkannya antara lain : iskemik, hipertrofi ventrikel,
kardiomiopati restriktif, syok hipovolemik dan syok septik yang berlama-lama,
kompresi eksternal akibat tamponade jantung (3) Peningkatan afterload yang terlalu
besar. Hal ini dapat terjadi pada keadaan stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik,
koarktasio aorta, hipertensi maligna. (4) abnormalitas katup dan struktur jantung. Hal
ini dapat terjadi pada keadaan mitral stenosis, endokarditis, regurgitasi mitral dan
aorta, obstruksi yang disebabkan oleh atrial myxoma atau thrombus, ruptur ataupun
disfungsi otot-otot papilaris, ruptur septum dan tamponade. (5) Menurunnya
kontraktilitas jantung. Hal ini terjadi pada keadaan, infark ventrikel kanan, iskemia,
hipoksia dan asidosis. Kegagalan ventrikel kanan dapat disebabkan oleh berbagai
peristiwa antara lain: (1) peningkatan afterload yang terlalu besar misalnya, emboli
paru, penyakit pembuluh darah paru (hipertensi arteri pulmonalis dan penyakit oklusif
vena), vasokonstriksi pulmonal hipoksik, tekanan puncak akhir ekspirasi, fibrosis
pulmonaris, kelainan pernafasan saat tidur, PPOK. (2) Artimia. Ventrikel takiaritmia
sering berkaitan dengan syok kardiogenik. Sementara bradiaritmia dapat
menyebabkan atau memperburuk syok yang disebabkan oleh etiologi lain. Sinus
takikardia dan takiaritmia atrial dapat menyebabkan hipoperfusi dan memperburuk
syok.Penyebab syok kardiogenik dapat pula dibedakan berdasarkan infark miokard
akut atau non-infark miokard seperti berikut ini :
 Infark miokard akut
Kegagalan pompa jantung
Infark luas, > 40% ventrikel kiri
Infark kecil namun dengan riwayat disfungsi ventrikel kiri atau riwayat infark
sebelumnya
Infark yang meluas
Reinfark
Komplikasi mekanik
Mitral regurgitasi akut akibat/disfungsi ruptur otot papilari atau korda
tendinea
Defek septum ventrikel yang disebabkan roleh ruptum septum intraventrikular
Ruptur dinding ventrikel kiri
Tamponade perikard
Infark ventrikel kanan
 Kondisi lain
Kardiomiopati tahap akhir (end stage)
Miokarditis
Syok septik dengan depresi miokard berat
Obstruksi jalan keluar ventrikel kiri
Obstruksi jalan masuk (pengisian) ventrikel kiri
Regurgitasi mitral akut (ruptur korda)
Insufisiensi katup aorta akut
Kontusio miokardial
Bypass kardiopulmonari yang berkepanjangan.
Menentukan etiologi syok kardiogenik merupakan suatu tantangan yang tidak
mudah.Anamnese dan pemeriksaan klinis dapat memberikan informasi penting dalam
menentukan etiologi syok kardiogenik.Misalnya, jika keluhan utama pasien yang
masuk adalah nyeri dada, maka hal yang dapat diperkirakan adalah adanya infark
miokard akut, miokarditis, atau tamponade perikard.Selanjutnya, jika ditemukan
murmur pada pemeriksaan fisik, maka dapat dipikirkan kemungkinan adanya ruptur
septum ventrikel, ruptur otot-otot papillaris, penyakit akut katup mitral atau aorta.
Adanya murmur pada syok kardiogenik merupakan suatu indikasi untuk segera
dilakukan pemeriksaan echocardiography (AHA, 2017).
Syok kardiogenik merupakan akibat dari gangguan dari keseluruhan system
sirkulasi baik yang besifat temporer maupun permanen. Kegagalan ventrikel kiri atau
ventrikel kanan (akibat disfungsi miokardium) memompakan darah dalam jumlah
yang adekuat merupakan penyebab primer syok kardiogenik pada infark miokard akut
.Akibatnya adalah hipotensi, hipoperfusi jaringan, serta kongesti paru atau kongesti
vena sistemik.Kegagalan ventrikel kiri merupakan bentuk yang paling sering dari
syok kardiogenik, namun bagian lain dari sistem sirkulasi juga ikut bertanggung
jawab terhadap gagalnya mekanisme kompensasi.Kebanyakan abnormalitas ini
sifatnya reversibel sehingga bagi pasien-pasien yang selamat, fungsi jantung mungkin
masih dapat dipertahankan. (AHA, 2017)
Tabel 3.Mekanisme Aksi dan Efek Hemodinamik Obat Vasoaktif
Umum pada Shock Kardiogenik. (AHA, 2017)

2. Anemia
2.1 Definisi

Anemia yaitu berkurangnya 1 atau lebih sel darah merah: konsentrasi


hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah.Berdasarkan kriteria WHO
yang direvisi/ kriteria National Cancer Institute, anemia adalah kadar hemoglobin
di bawah 14 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada wanita. Kriteria ini
digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita dengan keganasan.( Schrier S,
2017)

2.2 Etiologi
Anemia merupakan kumpulan gejalan yang pada dasarnya menyebabkan
gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; kehilangan darah atau
pendarahana; proses penghentian eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya atau
hemolisa.( Schrier S, 2017)
2.3 Klasifikasi Anemia
Berdasarkan etiopatogenesisnya terdapat 4 klasifikasi dalam anemia yaitu :
1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang,
terbagi lagi menjadi tiga klasifikasi antara lain:
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
- Anemia defisiensi besi
- Anemia defisiensi asam folat
- Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan besi
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
- Anemia aplastik
- Anemia mieloplastik
- Anemia diseriropoitik
- Anemia pada sindrom mielodisplastik
2. Anemia akibat hemorragi;
3. Anemia hemolitik;
4. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang
kompleks.
Tabel 4.Batas Anemia Menurut Departemen Kesehatan RI; Berdasarkan
SK Menkes RI No.736a/Menkes/XI/1989

No Umur dan Jenis Kadar Hb


kelamin
1 Anak Balita <11 gr/dl
2 Anak Usia Sekolah <12 gr/dl
3 Wanita Dewasa <12 gr/dl
4 Pria Dewasa <13 gr/dl
5 Ibu Hamil <11 gr/dl
6 Ibu menyusui >3 bulan <12 gr/dl
Tabel 5.Batasan Anemia di Masyarakat Menurut WHO

Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Hb gr/dl


6 bln - 59 bln <11
5 – 11 tahun <11,5
12 - 14 tahun <12
Wanita tidak hamil <15 tahun <12
Wanita hamil <11
Laki-laki <13 tahun <13

2.4 Patofisiologi Anemia


Proses terjadinya defisiensi besi terbagi menjadi tiga fase antara lain :
a. Fase pertama : Deplesi besi, yakni pengurasan cadangan besi yang terlihat dari
penurunan kadar serum feritin. Keadaan kekurangan zat besi pada tahap ini
walaupun belum berpengaruh secara fungsional, namun mulai berpengaruh pada
berkurangnya bahan baku produksi hemoglobin.
b. Fase kedua : Iron deficient erythropoeisis yaitu menurunkan kadar besi dalam
plasma (menjadi<60 gr/dl) dan meningkatnya kemampuan pengikatan besi yang
mengakibatkan persentase penjenuhan menurun (menjadi kurang dari 15%), kadar
protoporfirin eritrosit akan meninggi melebihi angka 100 mikrogram/dl, nilai
hemoglobin di dalam darah masih berada pada nilai normal. Fase ini terjadi
karena asupa dan absorpsi zat besi tidak sanggup mengganti zat besi yang
dikeluarkan oleh tubuh, sehingga zat besi tidak lagi cukup untuk mensintesis
heme, sementara kadar hemoglobin masih bertahan pada nilai normal.
c. Fase ketiga : Anemia defisiensi besi dimana kadar hemoglobin total turun
dibawah nilai normal. (Arisman, 2009)

2.5 Menifestasi Klinik


Gejala utamaadalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat,
fatigue, gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung
berdebar, dan roaring in the ears).Pada anemia yang lebih berat, dapat timbul
letargi, konfusi, dan komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina,
aritmia dan/ atau infark miokard).( Schrier S, 2017)

2.6 Penatalaksanaan anemia


Penatalaksanaan anemia meliputi :
1. Terapi besi oral.
Merupakan pilihan utama karena efektif, murah, dan aman.Preparat yang
utama adalah ferrous sulphat. Diberikan 3 sampai 6 bulan, setelah kadar
hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis pemeliharaan
adalah 100-200 mg. Jika tidak diberikan dosis pemeliharaan, maka anemia sering
kambuh kembali.Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung hati dan
daging.
2. Terapi besi parenteral
Sangat efektif tetapi lebih berisiko dan mahal. Karena itu terapi besi parenteral
hanya diberikan untuk indikasi tertentu seperti : intoleransi terhadap besi oral,
kepatuhan pada obat rendah, gangguan pencernaan, penyerapan besi
terganggu,kehilangan darah yang banyak, kebutuhan besi besar dalam waktu
pendek, dan defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoietin pada
anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik.
3. Pengobatan Lain
- Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama
protein hewani.
- Vitamin C: diberikan 3×1000 mg/hari untuk meningkatkan absorpsi besi.
- Transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi
transfusi pada anemia defisiensi besi antara lain :adanya penyakit jantung
simptomatik, anemia yang sangat simptomatik, dan pasien yang
memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat seperti pada kehamilan
trimester akhir atau preoperasi.(Bakta et.al., 2006).
2.7 Anemia pada Kanker
Patofisiologi anemia pada pasien kanker
Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat disebabkan karena
aktivasi sistem imun tubuh dan sistem inflamasi, ditandai dengan peningkatan
beberapa petanda sistem imun, seperti interferon, tumor necrosis factor (TNF) dan
interleukin.Anemia bisa juga disebabkan oleh sel kanker sendiri.(Birgegård G et.
al, 2005).

Gambar 2.Mekanisme postulat yang terlibat dalam patogenesis anemia


terkait kanker. AIS = Anemia-inducing substance;BFU-E = burst-forming
units-erythroid; CFU-E = colony-forming units-erythroid; IFN-ß =
interferon beta; IFN-Á = interferon gamma; IL-1· = interleukin-1 alpha; IL-
1ß = interleukin-1 beta; TNF = tumor necrosis factor. (Birgegård G et. al,
2005)

Transfusi darah
Penggunaan transfusi darah untuk memperbaiki anemia adalah modalitas
terapeutik yang hanya sedikit literatur yang tersedia untuk penderita
kanker.Akibatnya, beberapa penelitian mampu memberikan bukti tingkat tinggi
tentang keefektifan dan keamanan modalitas ini.Tujuan utama transfusi adalah
segera memperbaiki tanda atau gejala akibat anemia.Biasanya, ada kebutuhan
transfusi darah yang meningkat pada pasien kanker perorangan karena jumlah
siklus kemoterapi meningkat.Namun, ada variasi yang luas pada tingkat
hemoglobin yang memicu transfusi darah di antara berbagai penelitian dan di
antara berbagai jenis kanker. (Aknar Calabrich & Artur Katz, 2011,Management
of anemia in
cancer patients).
Ada konsensus medis umum bahwa transfusi darah harus digunakan pada
pasien dengan penyakit terminal bila terjadi kehilangan darah akut atau
kemunduran kronis pada pasien, ketika kadar hemoglobin di bawah 7 g / dl, pada
pasien anemia dengan gejala pernapasan atau jantung atau pada pasien. dengan
anemia akibat kemoterapi. Namun, tingkat pemicu hemoglobin dan nilai targetnya
belum ditentukan. Di sisi lain, panduan EORTC menyebutkan bahwa pasien
dengan kadar hemoglobin kurang dari 9 g / dl terutama harus dievaluasi untuk
kebutuhan transfusi.(Aknar Calabrich & Artur Katz, 2011)
Pedoman ASH / ASCO menunjukkan bahwa transfusi darah dapat menjadi
pilihan untuk koreksi anemia yang terkait dengan kemoterapi ketika tingkat
hemoglobin kurang dari 10 g / dl atau untuk pasien lanjut usia dengan cadangan
kardiopulmoner terbatas, pasien dengan penyakit koroner atau angina simtomatik,
mereka yang memiliki pengurangan kapasitas latihan yang substansial atau yang
mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Aknar Calabrich &
Artur Katz, 2011).
Hasil sejumlah penelitian yang mengevaluasi dampak transfusi terhadap
mortalitas pada pasien yang sakit kritis saling bertentangan.Satu studi terhadap 56
pasien kanker esofagus yang menerima terapi kemoradiasi menunjukkan bahwa
transfusi darah meningkatkan kelangsungan hidup secara keseluruhan.Namun, ada
bukti dalam literatur bahwa transfusi darah mungkin memiliki dampak negatif
pada perkembangan penyakit.Fyles dan rekan menganalisis data yang
dipublikasikan dari uji coba secara acak dan menemukan bahwa transfusi pada
pasien anemia dengan kanker serviks tidak menghasilkan keuntungan. Dalam
sebuah studi retrospektif terhadap 70.542 pasien yang dirawat di rumah sakit
karena kanker, penggunaan transfusi darah dikaitkan dengan tingkat TE yang
lebih tinggi dan arteri, di samping meningkatnya risiko kematian di rumah sakit.
Namun, hubungan kausal tidak dapat dibangun karena sifat retrospektif penelitian.
Ada potensi bahaya lain yang terkait dengan transfusi darah. Beberapa
kontaminan darah yang diketahui saat ini meliputi virus hepatitis A,
sitomegalovirus, virus Epstein-Barr, virus herpes manusia 8, Toxoplasma gondii,
parvovirus B-19, virus West Nile, prekalsopati spongiform encephalopathy,
Trypanosoma cruzi, spesies Babesia dan spesies Plasmodium, walaupun
pengenalan banyak intervensi keselamatan untuk organisme infeksi telah secara
dramatis menurunkan kejadian infeksi terkait transfusi. Reaksi transfusi lainnya
meliputi reaksi transfusi nonhemolitik demam, infeksi bakteri, reaksi hemolitik
akut, reaksi anafilaksis, cedera paru akut akibat transfusi, overload volume,
overload besi, reaksi hemolitik tertunda, penyakit inang graftversu yang
dihubungkan dengan transfusi, dan purpura pasca-transfusi. Saat ini, transfusi
darah bukanlah alternatif yang terbukti aman untuk ESA, karena studi
perbandingan belum dilakukan dan, berbeda dengan ESA, sedikit yang diketahui
tentang potensi efek samping jangka panjang (Aknar Calabrich & Artur Katz,
2011).
BAB III
STUDI KASUS

A. Profil Pasien
Nama/ usia Nn. STI/ 39 tahun
NO. RM 11322453
2
TB/BB/LPB 41 kg/148 cm/1,4 m

Alamat DS. Tawang Rejeni RT 2/ RW 5 Kec. Turn, Malang

Riwayat pengobatan Kemoterapi 4 seri (Haloxan, Carboplatin, mesna)


(droupout), diulang lagi kemoterapi 4 seri
(ifosfamid, carboplatin, mesna)
Vitamin: as. Folat, vitamin K

Obat yang dibawa dari Tidak ada


rumah
Diagnosa awal Ca Serviks IIIB + Anemia

MRS/KRS 5/1/2017 – 23/12/2017 (APS)


Alasan masuk RS Pro kemoterapi seri V
Status pasien BPJS kelas III
B. Data Tanda Vital
Nilai normal tanggal
Parameter 14/12 15/12 16/12 17/12 18/12 19/12 20/12 21/12 22/12 23/12
H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10
Suhu 36-37 ° C 35 36,1 36,1 36,1 35,6 36,2 36,7 36,8 37,9 36
Nadi 80-85 x/menit 80 86 90 89 70 104 98 99 101 106
RR 18 - 20 x/menit 20 21 22 22 20 20 23 26 34 26
TD 140/80 mmHg 110/70 100/80 110/ 80 130/70 100/60 170/ 101 184/70 156/93 159/101 74/34
GCS 456 456 456 456 456 456 435 435 435 435 435

Parameter tanggal
14/12 15/12 16/12 17/12 18/12 19/12 20/12 21/12 22/12 23/12
H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10
nyeri perut + + + + +
mual + + + + + - - -
muntah + + + + +
demam - - - - - - - - + -
pendarahan - - - - - - - - - -
BAB + + + + + - - - - -
BAK + + + + + + + + + +
C. Data Laboratorium
Tanggal
Parameter Nilai Normal
13/12 15/12 23/12
Hematologi
Hemoglobin 11,4- 15,1 g/dL 8,1 11,6 7,90
Eritrosit 4,0-5,0 106/µL 2,87 4,29 2,90
Leukosit 4,7-11,3 103/µL 13,86 12,84 0,05
HMT 38-42 % 22,30 33,0 22,50
3
Trombosit 142-424 10 /µL 127 97 22
MCV 80-93fL 77,70 76,90 77,60
MCH 27-31 pg 28,20 27,00 27,20
MCHC 32-36 g/dL 36,30 35,20 35,10
RDW 11,5-14,5 % 14,60 15,80 21,50
PDW 9-13 fL 13,60 15,1 -
MPV 7,2-11,1 fL 11,0 12,4 -
P-LCR 15,0-25,0 % 31,6 41,7 -
PCT 0,150-0, 400% 0,14 0,12 -
NRBC absolute 0,04 0,02 0,00
NRBC percent 0,3 0,2 0,0
Hitung jenis
Eosinofil 0-4 % 0,1 0,1 -
Basofil 0-1 % 0,2 0,3 -
Neutrofil 51-67 % 77, 0 83,4 -
Limfosit 25-33 % 8,7 5,8 -
Monosit 2-5 % 14,0 10,4 -
Imm. Granulosit 8,70 0,38 -
Tanggal
Parameter Nilai Normal
13/12 15/12 23/12
Elektrolit Serum

Natrium 136-145 mmol/L 162

Kalium 3,5-5,0 mmol/L 2,69

Klorida 98-106 mmol/L 132

Faal hati

AST 0-32 U/L 18 27

ALT 0-33 U/L 26 12

Albumin 3,5-5,5 g/dL

Metabolit Karbohidrat

GDS <200mg/dL 109 204

Glukosa <200 mg/dL 188


(POCT)
Faal ginjal

Ureum 16,6-48,5 mg/dL 22,80 274,20

Kreatinin < 1,2 1,18 5,99

Kreatinin urin 19,75

Volume urin/24 2100


jam
TB 148 cm

BB 41 kg

Ratio PB 1,33

32,46
CCT ml/menit/1,73
m2
Tanggal
Parameter Nilai Normal
23/12
Analisa Gas Darah

pH 7,35-7,45 7,26

pCO2 35-45 mmHg 20,3

pO2 mmHg 85,6

HCO3 21-28mmol/L 11,4

Kelebihan Basa (BE) (-3)- (+3) mmol/L -15,9

O2 saturase >95% 94,7

Hb 6,29 g/dL

Asam Laktat Darah arteri 0,5-2,2 0,8 mmol/L


Darah vena 0,5-1,6
PROTOKOL KEMOTERAPI
HALOXAN – MESNA – KARBOPLATIN

Nama : Ny. STI


Alamat : turen, malang
Umur : 39 tahun
Diagnosa : Ca Cervix IIIB
Dosis : BB/TB/LPB: 48kg/148cm/1,40 m2
Seri ke -5; 15-12-2017; kembali 3 minggu lagi
Haloxan 8000 mg
Mesna 8000 mg
Carboplatin 520 mg
Hari I 08.00 – 08.30 1 liter NaCl infuse selang 3 jam

16/12/2017) 08.30 – 11.30 Dexamethason 20 mg IV

Ondansetron 8 mg IV

11.30 – 12.30 Carboplatin 520 mg dalam 250 ml cairan NaCl


diberikan selama 1 jam

1 L NaCl infuse selama 6 jam


12.30 – 18.30

Hari II Dexamethason 20 mg IV

(17/12/2017) Ondansetron 8 mg IV

Mesna 800 mg IV bolus selama 15 menit

Ifosfamid 8000 mg dalam 1000cc NaCl+ Mesna


5600 mg dalam 1000 cc cairan infuse NaCl selama
22 jam

Drip Manitol 12 TPM

Hari III Infuse Mesna 1600 mg dalam 500 ml cairan infuse


NaCl selama 12 jam
(18/12/2017)
D. Data Pengobatan

Tanggal
Obat Rute Dosis
14/12 15/12 16/12 17/12 18/12 19/12 20/12 21/12 22/12 23/12
Tranfusi PRC IVFD 2 kolf/hari √ √ STOP
NaCl 0,9% IVFD 20 TPM √ √ √ √ √ √ √ √
Metochlopramide inj IV 3x10mg K/P √
Ondansetron inj IV 8 mg √
Dexamethason inj IV 20 mg √ √
Carboplatin IV 520 mg √
Ifosfamid IV 8000 mg √
IV 800 mg

Mesna IVFD 5600 mg √

IVFD 1600 mg
Manitol infuse 20% 500cc IV 15 tpm √
Dekstrosa 5% 500 cc IVFD 20 TPM √

Norepinefrin 8 mg inj IVFD Dlm NS100 cc √

Curcuma tab PO 2x1 tab √ √ √ √ √ √ √

Rob(Vit.B-compleks) tab PO 1x1 tab √ √ √ √ √ √ √

Attapulgit tab PO 2tab/BAB √ k/p V k/p

Nifedipin tab PO 5 mg √

Captopril 25mg tab PO 3x1 tab √ √ √ √

Amlodipin 10 mg tab PO 10 mg -0-0 √ √ √ √

As. Folat 5 mg tab PO 2x1 tab √ √ √

Ondansetron 8 mg tab PO 3x1 tab √ √ √


E. Analisa SOAP

Catatan Perkembangan Pasien


Problem Medik Tindakan/ Perkembangan Klinik/Masalah
Subyektif dan Obyektif Asessment Plan
Kanker Serviks 16/12/2017 Dexamethason 20 mg
IIIB Subjektif: Mual Muntah Indikasi: Premedikasi sebelum kemoterapi (pencegahan mual Monitoring efektivitas: mual
Objektif:- muntah) muntah berkurang
Dosis Literatur (8 mg – 20 mg)
(BC CancerAgency) KIE: Bila mual muntah pasien
3 guideline (MASCC,ASCO, dan NCCN) yang minum ondansetron 3x8mg tablet
merekomendasikan pemberian dexamethasone
untuk pencegahan mual muntah akut pada
kemoterapi ematogenik derajat rendah, sedang,
dan tinggi. Dexamethasone untuk pencegahan
CINV(chemotherapy induced nausea and vomiting)
yang akut (24 jam setelah kemoterapi) atau
tertunda (delayed, 2-5 hari setelah kemoterapi).
(Jordan, Karin., et al. 2007. Guidelines for
Antiemetic Treatment of Chemotherapy-Induced
Nausea and Vomiting: Past, Present, and Future
Recommendations)
DRP: tidak ada
Kanker Serviks 16/12/2017 Ondansetron 8 mg IV Monitoring efektivitas: mual
IIIB Subjektif: Mual Muntah Indikasi: Premedikasi sebelum kemoterapi (pencegahan mual muntah berkurang
Objektif:- muntah)
Dosis literatur (0,15mg/kg) KIE: Bila mual muntah pasien
(canterbury Regional Cancer and Blood Service, Oncology minum ondansetron 3x8mg tablet
Department, 2012, Antiemetic Guidelines for Chemotherapy
and Radiation Therapy)
Ondansetron termasuk kelompok obat antagonis serotonin 5-
HT3, yang bekerja dengan menghambat
secara selektif serotonin 5-hydroxytriptamine berikatan pada
reseptornya yang ada di chemoreceptor trigger zone (CTZ)
dan di saluran cerna (Chen, et.al., 2011).
DRP: tidak ada
Kanker Serviks Subjektif: Pasien NaCl 0,9% Monitoring: Ureum dan kreatinin
IIIB mengerang kesakitan post kemoterapi
perutnya, masih mual, Indikasi: Cairan Hidrasi
muntah, susah tidur - Dosis Pemberian: KIE: -
semalem - H1: I Liter sebelum carboplatin, 1 L setelah
Objektif: carboplatin
Td 120/80 mmHg - Dosis literatur:
HR 90x/mnt - 2 Liter Nacl, 1 Liber sebelum, 1 L setelah pemberian
RR 22x/mnt carboplatin (Akira et.al, 2014, journals of oncology)
T 36,10C mekanisme kerja: hidrasi cairan, meningkatkan aliran cairan
Ca cervix IIIB melewati tubular ginjal sehingga obat kemoterapi relatif lebih
Pro kemoterapi carboplatin, cepat diekskresi.
ifosfamid
DRP : Tidak ada
Kanker Serviks 16/12 Carboplatin Monitoring efektivitas: Pasien
IIIB Subjektif: Pasien Dosis pemberian: Carboplatin 520 mg dalam 250 ml cairan bisa survive
mngerang kesakitan NaCl diberikan selama 1 jam. Monitoring ESO: Serum kreatinin
perutnya / BUN pasien post kemoterapi
Pro kemoterapi carboplatin carboplatin, mual muntah
Dosis literatur: carboplatin 300 mg/m2 dengan injeksi IV
ifosfamid seri V
drip pada hari pertama setiap 21 hari selama 6 seri atau
Objektif: Rekomendasi: Terapi lanjut,
dengan pendekatan AUC dengan rumus calvert (2017, FDA)
K/u tampak sakit sedang, Saran: ondansetron 8 mg 3x1 tab
kesadaran cm, (k/p) saat KRS
Untuk pasien ini: 300 mg x 1,4 = 420 mg
Td 120/80 mmHg
Diagnosa Ca cerviks IIIB -BC cancer Agency: GFR>40 , dosis maksimal 400 mg/ m2. KIE: tetesan infuscarboplatin
tidak boleh dipercepat dan edukasi
-Jadi dosis untuk pasien ini: 400 x 1,4= 560 mg terkait efek samping carboplatin

-Jika mengacu ke BC cancer agency, maka dosis sudah sesuai.

-mekanisme aksi:Obat ini merupakan alkilating agent yang

-berikatan secara kovalen dengan DNA, dapat juga melalui


cross-link dan mempengaruhi fungsi DNA (2006, Lacy)

ESO:

- Mual muntah (65-81%)


- nefrotoksisitas (22%)
- Myelosuppression
- leukopenia (85%)
- anemia (71% to 90%)
- neutropenia (67%)
- Creatinine clearance decreased (27%)
- BUN increased (14% to 22%)
- Alopecia (2% to 3%)
- Constipation (5%)
- diarrhea (6%)
-DRP: efeksamping potensial carboplatin yaitu
nefrotoksisitas, mual dan muntah
Kanker Serviks 17/12 Ifosfamide -Monitoring efektivitas ifosfamid
IIIB Subjektif: (pasien bisa survive)
Pasien on kemoterapi Dosis pemberian: Ifosfamid 8000 mg
carboplatin ifosfamid (H-2) - MonitoringDRP .
Objektif: Dosis literatur: 5-6 g/m2(maksimal 10g/m2) diberikan dalam
Td130/90mmHg infuse 24 jam setiap 3-4 minggu(lacy, 2016) - Monitoring ESO
N 89x/mnt potensial:,Encelophati, Cystitis
RR 22x/mnt Renal Drug Handbook – GFR 20-50ml/min 75% dose; 10- hemorage , nefrotoxicity
T 36,10C 20ml/min 75% dose; <10ml/min 50% dose.
Diagnosis Ca Cerviks IIIB
REKOMENDASI:
Dosis untuk pasien ini: 6g/m2x1,4x75%=6300 mg
Penurunan dosis ifosfamid
Jika yg dipakai dosis maksimal: menjadi 6300 mg
10g/m2x1,4x0,75=10,5 gram Pemberian mesna untuk preventif
cystitis hemoragic

Pemberian Manitol untuk preventif


Jadi untuk pasien ini sebaiknya dosis diturunkan menjadi toksisitas enchelopathy
6300 mg
KIE: 1. keluarga pasien, bila urin
Mekanisme aksi sebagai alkilating agent, pasien berdarah, dan pasien
mengalami penurunan kesadaran
Suatu prodrug yg akan dimetabolisme di hepar dari bentuk segera hubungi perawat/
aktifnya,berikatan secara kovalen dengan DNA, dapat juga dokter,/apoteker
melalui cross-link dan mempengaruhi fungsi DNA (2006,
Lacy) 2. perawat: pemberian tetesan
ifosfamid tidak boleh dipercepat
ESO: - encephalopathy (10-50%) , hemorrhagic cystitis (1-
10%); hematuria (6-92%) Alopecia (83%) mual muntah
(58%), leukopenia (50%), thrombocytopenia (20%)

DRP:1. potensial, ESO yaitu cystitis hemoragic,


nefrotoksisitas, encelopathy

2. aktual: dosis ifosfamide terlalu tinggi, perlu diturunkan

Kanker Serviks 17/12 Mesna Monitoring efektivitas mesna


IIIB Subjektif: Pasien on kemo :tidak terjadi pendarahan cystitic
carboplatin ifosfamid (H-2) Indikasi profilaksis cystitis hemorrhagic hemoragic setelah pemberian
Dosis pemberian: 8000 mg (H2; iv bobus 800 mg, Iv drip ifosfamid
Objektif: 5600mg bersama ifosfamide,; H3: 1600 mg IV drip) Monitoring ESO Ifosfamid:
Td: 130/90mmHg Dosis literatur: 100 % - 180 % dari dosis ifosfamid diare, rash, demam
N: 89x/mnt (diberikan dalam dosis terbagi 3) ( Lacy, 2007)(NHS trust)
RR: 22x/mnt Jadi dosis yang diberikan sudah sesuai Rekomendasi: terapi lanjut
S: 36,10C
Mekanisme kerja obat: mesna dengan gugus thiolnya akan KIE: ke keluarga pasien, apabila
mengikat acrolien sehingga acrolien menjadi inactive. muncul tanda pendarahan kandung
(lacy,2007). kemih pasien, segera lapor
ESO: diare, rash, demam perawat/dokter/apoteker
DRP: tidak ada
Kanker Serviks 18/12 Manitol20% 500cc Monitoring efektivitas: GCS
IIIB Subjektif: Indikasi: cairan hidrasi (diuretik osmotik), menurunkan
Pasien mengalami penurunan tekanan intracranial di brain mass. Monitoring ESO: oedeme,
kesadaran, Dosis pemberian: Manitol 20% 500 ml 15 tpm hipotensi, takikardi
Diduga karena efek samping Dosis literatur:; 50 – 200 gram / 24 jam Rekomendasi: Sebaiknya manitol
dari ifosfamide Pemberian dosis sudah sesuai tetap dikasih walaupun tidak ada
Objektif: keluhan penurunan kesadaran
Mekanisme aksi:
Td 100/60 mmHg
Dieretik di ginjal; pada tubulus proksimal, lengkung henle,
N 70x/mnt
RR 20x/mnt (menghambat reabssorpsi nattrium dan air melalui daya
T 35,6 0C osmotiknya),
Diuretik osmotik: menigkatkan osmolaritas plasma dan
menarik cairan dari dalam sel otak yg osmolarnya rendah.
(2017, FDA)
ESO: oedeme, hipotensi, takikardi
DRP: 1. aktual, penurunan kesadran pasien, diduga karena
eso ifosfamid 2. Penurunan kesadaran belum mendapat terapi
manitol
Anemia 14/ 12 PRC (Packed red cell) Monitoring efektivitas transfusi
15/12 Komposisi: Sel darah merah (sedikit plasma), sebanyak 250 PRC: kadar Hb setelah transfusi
Subjektif: ml (target 10g/dL)
Pasien lemas Indikasi: untuk anemia pada kanker serviks. (kadar Hb < 11
gr/dl Monitoring Efek samping
Objektif: Dosis pemberian: 2 labu/hari
Diagnosa Ca cervix IIIB Kebutuhan PRC= (Hb yang diinginkan – Hb sekarang) X selama transfusi:reaksi selama
Pro kemoterapi carboplatin BB X 4 (rumus WHO) proses transfusi.
ifosfamid seri V = 10 – 8,1x41 kgx 3 = 311,6 ml
Hb: 8,1 g/dL Dosis panduan transfusi darah: Untuk naikkan Hb 1 gr/dl Rekomendasi; Tramsfusi lanjut
MCV: 77,70 fL (turun) perlu PRC 4 ml/kgBB hingga target Hb
= 4 ml/kgBBx41 kgx2 (target naik)= 328 ml
Dosis yg dibutuhkan sudah sesuai
ES: reaksi hipersensitifitas, gelisah, nyeri dada, nyeri di
sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri
punggung, nyeri kepala, dan dispnea.
DRP: tidak ada
Problem Medik 19/12 Nifedipin 5mg P.O Monitoring efektivitas tekanan
Lain Indikasi: hipertensi darah target (140/80mmHg) 10
Hipertensi Urgensi Subjektif: Pasienmasih Dosis literatur: 5 mg - 30 mg dan dapat diulang setiap 15 menit setelah pemberian nifedipine
penurunan kesadaran menit sampe target tekanan darah tercapai (V. Ratna
dan tiap ½ jam
Kumari1, K. Saraswathi, A. Srilaxmi, 2016)
Objektif: Nifedipine golongan calcium kanal blocker, derivat
dihidrofenidil,
Td: 210/101mmHg Mekanisme aksinya : Menghambat transmembran masuknya Rekomendasi: lanjut terapi
N98x/mnt ion kalsium ekstraseluler melintasi membran sel miokard dan
sel otot polos pembuluh darah, tanpa mengubah konsentrasi
serum kalsium.vasodilator arteri perifer; bekerja langsung
pada otot polos pembuluh darah menyebabkan penurunan
resistensi pembuluh darah perifer (afterload) dan Tekanan
darah (BP= blood pressure).
Onset : 10-20 menit
DRP: tidak ada
Problem Medik 20/12 Captopril Monitoring efektivitas captopril
Lain Subjektif: Pasien masih (tekanan darah pasien hingga
Hipertensi Urgensi mengalami penurunan Dosis pemberian 3x 25 mg P.O 140/80mmHg)
kesadaran Dosis literatur: 25mg 2-3x/hari (bisa dimulai dari dosis Monitoring ESO captopril (batuk
rendah 12,5 mg 2-3x/hari) (lacy, 2016) kering),
Objektif: Maksimal dosis; 150 mg/hari Monitoring Ureum, kreatinin,
Dosis sudah sesuai. dan serum elektrolit pasien
Td 184/70 mmHg Mekanisme obat: inhibitor kompetitif pada enzym Rekomendasi: Terapi lanjut
N98x/mnt ACE,sehingga mencegah konversi angiotensin I menjadi - KIE: perawat: pemberian obat
RR 23x/mnt angiotensin II, menyebabkan penurunan level angiotensin II, caaptopril tidak bersamaan dengan
T 36,7 0C akibatnya aktivitas renin plasma meningkat, dan penuruan makanan.
sekresi aldosteron.
ESO: hipotensi (1%-3%). Rash(4% to 7%), Batuk (<1% to
2%),
Onset :Peak effect: penurunan tek.darah: 1-1.5 jam.
Absorpsi: 60% - 75%; menurun 30% to 40% dengan
makanan.

DRP: interaksi dengan makanan, absorpsi captopril menurun.


Problem Medik 20/12 Amlodipin Monitoring efektivitas amlodipin
Lain Subjektif: Pasien masih Dosis pemberian 1x10 mg P.O (tekanan darah pasien hingga
Hipertensi Urgensi mengalami penurunan 5 mg – 10 mg sekali sehari (lacy, 2016) 140/80mmHg)
kesadaran 2.5-10 mg once daily (JNC 7): Monitoring ESO Amlodipin
Mekanisme aksi: Menghambat ion kalsium ketika memasuki (sakit kepala)
Objektif: saluran lambat atau area sensitif tegangan selektif pada otot Rekomendasi: Terapi lanjut
Td 184/70 mmHg polos vaskuler dan miokardium selama depolarisasi,
N98x/mnt menghasilkan relaksasi otot polos vaskuler koroner dan
RR 23x/mnt vasodilatasi koroner, meningkatkan penghantaran oksigen
T 36,7 0C pada pasien angina vasospastik.
Onset: 30-50 menit
Durasi: 24 jam
ESO:Sakit kepala(7%) pusing(1% to 3%),lemah lesu (4%),
mengantuk(1% to 2%)
DRP: -tidak ada

Problem Medik 23/12 Norepinefrin 8 mg inj Monitoring: Efektivitas


Lain Subjektif: - Indikasi: syok kardiogenik norepinefrin( tekanan darah sistole
Syok Kardiogenik Objektif: Dosis Pemberian 8mg dalam NS 100 ml hingga 90 mmHg)
Td: 74/34 mmHg
Dosis literatur: Adults: Initial: 0.5-1 mcg/menit dan dititrasi
Nadi: 106x/mnt Rekomendasi: pemberian
RR: 26x/mnt sampai mendapat respon dengan ; 8-30 mcg/menit; Range
dosis : 0.01-3 mcg/kg/menit; norepinefrin tunggal belum
T: 36 0 C
Mekanisme kerja : menstimulasi reseptor B1 adrenergik dan adekuat, saran: kombinasi dengan
alpha adrenergik menyebabkan kontraktilitas dan HR dopamin dosis 2-15
sehingga terjadi vasokontriksi kemudian meningkatkan mcg/kgbb/menit
tekanan darah sistemik dan aliran darah koroner secara klinik,
efek alpha (vasokontriksi) lebih besar dari efek Beta (efek KIE: keluarga pasien bahwa
inotropik dan konotropik). pasien akan diberi obat emergensi
Onset: rapid (sangat cepat) karena konsisi pasien mengalami
Durasi: Vasopresor : 1 – 2 menit syok kardiogenik.

Metabolisme: Via catechol-o-methyltransferase (COMT) and


monoamine oxidase (MAO)
Ekskresi: Urine (84% to 96% as inactive metabolites)

ESO: Bradycardia, arrhythmia, peripheral (digital) ischemia


DRP: Norepinefrin tunggal belum adekuat menaikkan
tekanan darah
Problem Medik Subjektif: Pasien masih Monitoring serum elektrolit
Lain mengalami penurunan setelah koreksi Kalium
Ketidakseimbangan kesadaran Rekomendasi:
Elektrolit serum Untuk koreksi Kalium: KCl 40
DRP: Pasien mengalami hipernatremia dan hipokalemia. mEq × 3 doses (total 120 mEq)
Objektif: Lab (23/12)

Na: 162 mmol/L


(hipernatremia)

Ka: 2,69 mmol/L


(hipokalemia)
F. Asuhan Kefarmasian
1. Diberikan informasi ke pasien dan keluarga pasien untuk transfusi PRC
dan mengisi lembar persetujuan transfusi PRC. Monitoring efektivitas
transfusi (kadar Hb=10g/dL).
2. Sebelum masuk obat kemoterapi pasien dan keluarga pasien diberikan
informasi terkait obat kemo: nama obat, lama pemberian, efek samping
dan dilarang mempercepat tetesan obat kemoterapi karena akan muncul
efek toksik obat.
3. Pemberian captopril pada saat perut kosong karena jika bersamaan dengan
makanan maka absorpsi kaptopril akan menurun, ½ jam sebelum makan
atau 2 jam setelah makan
4. Diberikan informasi ke keluarga pasien untuk penggunaan obat
norepinefrin dengan kondisi klinik pasien dengan syok kardiogenik.
5. Monitoring efek terapi obat premedikasi kemoterapi (dexametason,
ondansetron) selama 3 hari kemoterapi)
6. Monitoring Efek samping obat kemoterapi: Karboplatin (serum elektrolit,
kreatinin/Bun serum setelah kemoterapi), Ifosfamid( pendarahan kandung
kemih, penurunan kesadaran selama kemoterapi ifosfamid, serum
elektrolit, Bun/kreatinin serum setelah kemoterapi ifosfamid).
7. Monitoring efektivitas Mesna (tidak terjadi pendarahan kandung kemih)
8. Monitoring keluhan dan tanda –tanda vital pasien.
9. Monitoring DRP potensial dan mencegah DRP yang aktual.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien Ny.STI masuk rumah sakit pada tanggal 13 desember 2017 di RS Dr.
Saiful Anwar dari poli oncologi dengan keluhan lemah, mual dan muntah. Pasien,
pasien datang ke RS Dr. Saiful Anwar untuk menjalani kemoterapi seri V(lima)
Carboplatin ifosfamid mesna. Pasien mempunyai riwayat penggunaan obat
kemoterapi carboplatin ifosfamid 4 seri lalu droupout dan mulai dari awal lagi
kemoterapi carboplatin ifosfamid. Sekarang akan kemoterapi seri V(lima), jika
dari awal seri 9. Pasien masuk ruang rawat inap obgyn genokologi tanggal 13
desember 2017. Dari pemeriksaan laboratorium, Hemoglobin pasien tanggal 13
desember 2017 adalah 8,1g/dL, indikasi pemberian trnsfusi PRC (Packed red
cell)adalah menaikkan nilai hemoglobin pasien hingga hemoglobin target (Hb=10
g/dL), Dari rumus WHO didapatkan bahwa kebutuhan PRC untuk pasien ini
adalah 2 labu, kemudian dilakukan transfusi PRC pada tanggal 14 – 15 desember
2017, pada tanggal 15 desember 2017 data laboratorium hemoglobin pasien =
11,6g/dL dan sudah mencapai target, Transfusi darah mampu mengatasi toksisitas
hematologi selama terapi kemoterapi (Hadi S.M, 2012). Maka pasien sudah siap
menjalani kemoterapi.Penatalaksanaan kanker serviks stadium IIIB adalah dengan
kemoradiasi (radiasi dan kemoterapi dengan obat golongan cisplatinum)atau
radiasi tunggal (NCCN, 2017), tetapi karena masalah administrasi, maka
dilakukan kemoterapi carboplatin dan ifosfamid.Pada saat ini, cisplatin lebih
banyak frekuensi penggunaannya untuk terapi kanker serviks, menurut penelitian
Randomized Control TrialMulti Center Studies, cisplatin dan carboplatin
menunjukkan efek sebanding sebagai antineoplastik. Dalam 3 penelitian RCT
dengan total pasien 360 orang, menunjukkan secara signifikan bahwa efek
nefrotoksisitas, ototoksisitas, neurotoksisitas dari karboplatin lebih kecil
dibandingkan cisplatin (Rozenzcweig M, et al, 1989). Menurut penelitian, Phase
II study of carboplatin/ifosfamidein untreated advanced cervical cancer, dari total
32 pasien yang diterapi dengan karboplatin/ifosfamid hasilnya adalah 3 (9%)
complete responses (CRs)dan 19 (59%) objective responses (CR+PR).
Myelosuppressiondenganleukopeniadan atauthrombocytopeniaof WHO grade 4
yaitu 28% dan 13% pasien (Kiihnle. H, et.al.1990). Berdasarkan penelitian
tersebut, pasien kenker serviks stadium lanjut yang tidak diterapi dengan
kemoradiasi atau radiasi, maka dapat diterapi dengan karboplatin dan ifosfamid.
Tujuan penatalaksan kemoterapi karboplatin dan ifosfamid adalah untuk
memperpanjang angka harapan hidup pasien ini, menurut PNPK kanker Serviks
2017 bahwa angka survival 5 tahun pasien kanker serviks IIIB adalah 32%
(Anonim, 2017).Sebelum diberikan obat kemoterapi, pasien terlebih dahulu
mendapatkan obat premedikasi.Tujuan diberikan obat premedikasi adalah untuk
mencegah reaksi efek samping mual muntah dari obat kemoterapi.Menurut
NCCN, carboplatin dan ifosfamid menginduksi mual muntah dengan tingakatan
mual muntah berat (severe), maka Menurut NCCN untuk anti emetik profilaksis
tipe severe emetogenic bisa dengan pilihan terapi aprepitan atau 5-HT3 yang
dikombinasi dengan dexametason. Dexametason injeksi 20 mg Indikasi:
Premedikasi sebelum kemoterapi (pencegahan mual muntah) Dosis Literatur (8
mg – 20 mg) (BC CancerAgency) 3 guideline (MASCC,ASCO, dan NCCN) yang
merekomendasikan pemberian dexametason untuk pencegahan mual muntah akut
pada kemoterapi ematogenik derajat rendah, sedang, dan tinggi. Dexametasone
untuk pencegahan CINV(chemotherapy induced nausea and vomiting) yang akut
(24 jam setelah kemoterapi) atau tertunda (delayed, 2-5 hari setelah kemoterapi).
(Jordan, Karin.,et al. 2007. Guidelines for Antiemetic Treatment of
Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting: Past, Present, and Future
Recommendations).DRP: tidak ada, monitoring mual muntah selama, setelah
kemoterapi.Ondansetron 8 mg intravena.Indikasi untuk premedikasi sebelum
kemoterapi (pencegahan mual muntah). Dosis literatur (0,15mg/kg) (canterbury
Regional Cancer and Blood Service, Oncology Department, 2012, Antiemetic
Guidelines for Chemotherapy and Radiation Therapy). Ondansetron termasuk
kelompok obat antagonis serotonin 5-HT3, yang bekerja dengan menghambat
secara selektif serotonin 5-hydroxytriptamine berikatan pada reseptornya yang ada
di chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan di saluran cerna (Chen, et.al.,
2011).Monitoring mual muntah selama dan setelah kemoterapi, setelah
kemoterapi muncul mual muntah pada tanggal 18 desember, dan diberikan
ondansetron oral 3x 8mg.
Pasien mendapat kemoterapi karboplatin pada hari pertama.. Mekanisme
aksi obat ini merupakan alkilating agent yangberikatan secara kovalen dengan
DNA, dapat juga melalui cross-link dan mempengaruhi fungsi DNA (2006,
Lacy)ESO:Mual muntah (65-81%), nefrotoksisitas (22%), Myelosuppression,
leukopenia (85%), anemia (71% to 90%), neutropenia (67%), Creatinine
clearance decreased (27%), BUN increased (14% to 22%), Alopecia (2% to 3%),
Constipation (5%), diarrhea (6%). Dosis pemberian: Carboplatin 520 mg dalam
250 ml cairan NaCl diberikan selama 1 jam. Dosis literatur: carboplatin 300
mg/m2 dengan injeksi IV drip pada hari pertama setiap 21 hari selama 6 seri atau
dengan pendekatan AUC dengan rumus calvert (2017, FDA) Dosis menurut luas
permukaan tubuh Untuk pasien ini: 300 mg x 1,4 = 420 mg (BC cancer Agency:
GFR>40 , dosis maksimal 400 mg/ m2). Jadi dosis untuk pasien ini: 400 x 1,4=
560 mg. Jika mengacu ke BC cancer agency, maka dosis sudah sesuai. DRP
pemberian karboplatin adalah efek samping potensial carboplatin yaitu
nefrotoksisitas, mual dan muntah.Carboplatin mempunyai efek nefrotoksik
walaupun tidak sebesar cisplatin, Oleh karena itu dilakukan hidrasi cairan normal
salin sebelum dan sesudah kemoterapi karboplatin.Indikasi pemberian NaCl 0,9 %
adalah sebagai cairan hidrasi. Dosis Pemberian:H1: I Liter sebelum carboplatin, 1
L setelah carboplatin. Dosis literatur: 2 Liter Nacl, 1 Liter sebelum, 1 L setelah
pemberian carboplatin (Akira et.al, 2014, journals of oncology). Mekanisme kerja:
hidrasi cairan, meningkatkan aliran cairan melewati tubular ginjal sehingga obat
kemoterapi relatif lebih cepat diekskresi.
Pada hari kedua kemoterapi, pasien mendapat kemoterapi ifosfamid,
Mekanisme aksi sebagai alkilating agent,Suatu prodrug yg akan dimetabolisme di
hepar dari bentuk aktifnya, berikatan secara kovalen dengan DNA, dapat juga
melalui cross-link dan mempengaruhi fungsi DNA (2006, Lacy). Dosis
pemberian: Ifosfamid 8000 mg. Dosis literatur: 5-6 g/m2(maksimal 10g/m2)
diberikan dalam infuse 24 jam setiap 3-4 minggu(lacy, 2016) Renal Drug
Handbook – GFR 20-50ml/min 75% dose; 10-20ml/min 75% dose; <10ml/min
50% dose. Dosis untuk pasien ini: 6g/m2x1,4x75%=6300 mg. Jika yg dipakai
dosis maksimal: 10g/m2x1,4x0,75=10,5 gram. Jadi untuk pasien ini sebaiknya
dosis diturunkan menjadi 6300 mg. Efek samping ifosfamid adalah
encephalopathy (10-50%) , hemorrhagic cystitis (1-10%); hematuria (6-92%)
Alopecia (83%) mual muntah (58%), leukopenia (50%), thrombocytopenia (20%)
DRP:1. potensial, Efek samping obat yaitu cystitis hemorrhagic, nefrotoksisitas,
encelopathy(Yin, Lo,.et.al., 2014). 2. aktual: dosis ifosfamide terlalu tinggi, perlu
diturunkan. Rekomendasi penurunan dosis ifosfamid menjadi 6300 mg.
Untuk mencegah efek samping cystitis hemorrhagic, diberikan mesna
dalam dosis terbagi 3, yaitu intravena bolus, intravena drip, intravena
drip.Mekanisme kerja mesna adalah dengan gugus thiolnya akan mengikat
acrolien sehingga acrolien menjadi inactive. (lacy, 2007).Indikasi profilaksis
cystitis hemorrhagic.Dosis pemberian 8000 mg (H2; iv bobus 800 mg, Iv drip
5600mg bersama ifosfamide,; H3: 1600 mg IV drip)Dosis literatur: 100 % - 180
% dari dosis ifosfamid (diberikan dalam dosis terbagi 3) ( Lacy, 2007) (NHS
trust). Jadi dosis yang diberikan sudah sesuai.Efek samping diare, rash, demam.
Menurut penelitian dengan desain RCT didapatkan hasil bahwa insidensi
hematuria grade severe (gross hematuria) atau moderate (150 rbc/hpf) 6.7% pada
kelompok mesna, dan 32.6% pada kelompok placebo (p=0.0008) dengan nilai
NNT=5 (Lillian L. Siu dan Malcolm J. Moore, 1998, Use of mesna to prevent
ifosfamide-induced urotoxicity, Springer journals). Berdasarkan hasil monitoring
pasien, tidak terjadi pendarahan kandung kemih selama dan setelah pemberian
ifosfamid, Hal ini menunjukkan bahwa pemberian mesna efektif untuk mencegah
pendarahan kandung kemih oleh karena efek samping dari kemoterapi ifosfamid.
Setelah dilakukan monitoring, efek samping pendarahan kandung kemih tidak
terjadi, namun efek samping enchelopathy terjadi pada tanggal 18 desember pukul
13.30 wib, Lalu pasien ditatalaksana dengan manitol 20% 500 ml kecepatan
tetesan 13 TPM, dari analisis monitoring dan penelusuran data maka didapatkan
data bahwa pemberian ifosfamid dimulai pada tanggal 17 desember jam 17.00 wib
dan pada tanggal 18 desember 2017 jam 09.30 wib ifosfamid sudah habis
tetesannya, jika mengacu ke protocol bahwa pemberian ifosfamid harus dengan
pelan –pelan selama 22 jam, pada kasus ini pemberiannya hanya 16,5 jam, hal ini
memungkinkan untuk memunculkan efek enchelopathy. Dan dari data
BUN/kreatinin pasien pada tanggal 23 desember 2017, bahwa kadar ureum dan
kreatinin naik drastis dari normal.
Pada tanggal 18 desember 2017, jam 13.58 wib, pasien mendapat terapi
Manitol 20% 500cc. Mekanisme aksi manitol adalah diuretik di ginjal; pada
tubulus proksimal, lengkung henle, (menghambat reabssorpsi natrium dan air
melalui daya osmotiknya), diuretik osmotik: menigkatkan osmolaritas plasma dan
menarik cairan dari dalam sel otak yg osmolarnya rendah. (FDA, 2017) Efek
samping manitol adalahoedem, hipotensi, takikardi. Indikasi: menurunkan tekanan
intracranial di brain mass. Dosis pemberian: Manitol 20% 500 ml 15 tpm. Dosis
literatur:; 50 – 200 gram / 24 jam. Pemberian dosis sudah sesuai.DRP: 1. aktual,
penurunan kesadran pasien, diduga karena eso ifosfamid 2. Penurunan kesadaran
belum mendapat terapi manitol.
Pada tanggal 19 desember 2017 malam pasien mengalami kenaikan
tekanan darah hingga > 180/90 mmHg, penataksanaannya adalah dengan
pemberian nifedipin hingga target tekanan darah 160/90 mmHg, setelah target
tercapai, kemudian dilanjutkan terapi selajutnya dengan captopril dan amlodipin
mualai tanggal 20 desember 2017 sampai target tekanan darah 140/80 mmHg.
Nifedipine golongan calcium kanal blocker, derivat dihidrofenidil,
Mekanisme aksinya : Menghambat transmembran masuknya ion kalsium
ekstraseluler melintasi membran sel miokard dan sel otot polos pembuluh darah,
tanpa mengubah konsentrasi serum kalsium.vasodilator arteri perifer; bekerja
langsung pada otot polos pembuluh darah menyebabkan penurunan resistensi
pembuluh darah perifer (afterload) dan Tekanan darah (BP= blood pressure).
Nifedipin dipilih untuk hipertensi urgensi karena mempunyai efektivitas yang
lebih baik dari pada captopril,clinidin dan furosemid dan onset nifedipin lebih
cepat untuk penanganan hipertensi urgensi (Cherney, D et.al, 2016, Management
of patient with hypertensive urgencies and emergencies).Nifedipin 5mg P.O,
Indikasi: hipertensi urgensi. Dosis literatur: 5 mg - 30 mg dan dapat diulang setiap
15 menit sampe target tekanan darah tercapai (V. Ratna Kumari1, K. Saraswathi,
A. Srilaxmi, 2016), Onset : 10-20 menit. Dalam jurnal Efficacy and Safety of
Amlodipine versus Captopril and their Combination in Hypertensive Urgency: A
Randomized Controlled Trial oleh Praew Kotruchin et. al. tahun 2016
disimpulkan bahwa penggunaan kombinasi captopril dan amlodipin efektif dan
dengan efek samping minimal. Captopril, Dosis pemberian 3x 25 mg tablet.Dosis
literatur: 25mg 2-3x/hari (bisa dimulai dari dosis rendah 12,5 mg 2-3x/hari) (lacy,
2016) maksimal dosis; 150 mg/hari. Dosis sudah sesuai.Mekanisme obat:
inhibitor kompetitif pada enzym ACE, sehingga mencegah konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II,menyebabkan penurunan level angiotensin II, akibatnya
aktivitas renin plasma meningkat, dan penuruan sekresi aldosteron. Efek samping
hipotensi (1%-3%). rash(4% to 7%), batuk (<1% to 2%), onset :Peak effect:
penurunan tek.darah: 1-1.5 jam. Absorpsi: 60% - 75%; menurun 30% to 40%
dengan makanan. DRP: interaksi dengan makanan, absorpsi captopril
menurun.Monitoring efektivitas captopril (tekanan darah pasien hingga
140/80mmHg).Monitoring ESO captopril (batuk kering), Monitoring Ureum,
kreatinin, dan serum elektrolit pasien Rekomendasi: Terapi lanjut. KIE: perawat:
pemberian obat caaptopril tidak bersamaan dengan makanan.Captopril diberikan
bersamaan dengan amlodipin untuk mendapatkan efek maksimal, sesuai dengan
JNC VIII, jika tekanan darah >140 mmHg, maka tatalaksananya adalah dengan 2
golongan antihipertensi yaitu golongan ACE Inhibitor dan Calcium Channel
Blocker.Dari hasil monitoring tekanan darah menurun pada tanggal 22 dan 23
desember 2017.Amodipinmekanisme aksi yaitu menghambat ion kalsium ketika
memasuki saluran lambat atau area sensitif tegangan selektif pada otot polos
vaskuler dan miokardium selama depolarisasi, menghasilkan relaksasi otot polos
vaskuler koroner dan vasodilatasi koroner, meningkatkan penghantaran oksigen
pada pasien angina vasospastik.Onset: 30-50 menit, Durasi: 24 jam, Dosis
pemberian 1x10 mg peroral 5 mg – 10 mg sekali sehari (lacy, 2016)2.5-10 mg
once daily (JNC 7). Efek Samping obat adalah sakit kepala(7%) pusing(1% to
3%),lemah lesu (4%), mengantuk(1% - 2%). DRP: -tidak ada. Monitoring
efektivitas amlodipin (tekanan darah pasien hingga 140/80mmHg) Monitoring
efek samping obatamlodipin (sakit kepala).Dari hasil monitoring tekanan darah
menurun pada tanggal 21 dan 22 desember 2017.
Pada tanggal 23 desember 2017, pasien mengalami syok kardiogenik dan
mendapat terapi norepinefrin.Dosis Pemberian 8mg dalam NS 100 ml. Dosis
literatur: Dewasa: Inisial: 0.5-1 mcg/menit dan dititrasi sampai mendapat respon
dengan ; 8-30 mcg/menit; Range dosis : 0.01-3 mcg/kg/menit. Mekanisme kerja
menstimulasi reseptor B1 adrenergik dan alpha adrenergik menyebabkan
kontraktilitas dan HR sehingga terjadi vasokontriksi kemudian meningkatkan
tekanan darah sistemik dan aliran darah koroner secara klinik, efek alpha
(vasokontriksi) lebih besar dari efek Beta (efek inotropik dan konotropik). Onset:
rapid (sangat cepat) Durasi: Vasopresor : 1 – 2 menit . Metabolisme: Via catechol-
o-methyltransferase (COMT) and monoamine oxidase (MAO). Ekskresi: Urine
(84% to 96% as inactive metabolites). Efek samping obat adalah bradycardia,
arrhythmia, peripheral (digital) ischemia.Setelah pemberian norepinefrin, tekanan
darah sistole tidak dapat naik sampai 90 mmHg. DRP: Norepinefrin tunggal
belum adekuat menaikkan tekanan darah. Rekomendasi pemberian norepinefrin
tunggal belum adekuat, saran: kombinasi dengan dopamin dosis 2-15
mcg/kgbb/menit. Berdasar studi Gerry et al Norepineprine alone versus
norepinephrine plus low-dose dopamine : Enhanced renal blood flow with
combination pressor menyimpulkan bahwa dalam penanganan pasien pada shock
kardiogenik yang memerlukan terapi dengan norepinefrin, penambahan dopamin
dosis rendah dapat mencegah vasokonstriksi ginjal yang berlebihan dan dapat juga
mengurangi risiko iskemik.
Berdasar data laboratorium dari tanggal 23 desember 2017 bahwa terjadi
ketidakseimbangan elektrolit serum dimana terjadi hipernatremia dan
hipokalemia. Penatalaksaan hipernatremia dengan membatasi intake cairan,
sedangkan penatalaksanaan hipokalemia menurut Journal of Parenteral and
Enteral Nutrition, kalium serum 3,68 mmol/L termasuk dalam severe hipokalemia
dan penatalaksanaannya dengan koreksi Kalium: KCl 40 mEq × 3 doses (total 120
mEq). Ketidakseimbangan elektrolit ini masuk dalam DRP karena belum
dilakukan koreksi elektrolit karena pasien pulang APS hari tanggal 23 desember
2017.
BAB V
KESIMPULAN

1. Kanker serviks IIIB penatalaksanaannya dengan kemoradiasi atau radiasi,


tetapi untuk pasen ini belum dilakukan radiasi maka penatalaksanaanya
dengan carboplatin yang dikombinasi ifosfamid. Carboplatin nefrotoksisitas
lebih minimal dari cisplatin maka lebih safety untuk pasien ini karena nilai
kreatinin dalam batas atas normal (1,18 mg/dL).
2. Anemia pada pasien ini dikarenakan oleh prognosis kanker dan terapi yang
digunakan adalah tranfusi PRC. Transfusi PRC efektif menaikkan
hemoglobin pasien dari Hb 8,1 g/dL menjadi 10,6 g/dL.
3. Tujuan kemoterapi carboplatin ifosfamid pada pasien ini untuk
memperpanjang angka survival pasien.
4. Kecepatan tetesan kemoterapi ifosfamid harus pelan – pelan selama 22 jam
dan tidak boleh dipercepat karena akan meningkatkan toksisitas ifosfamid.
5. Pada kasus ini terdapat DRP potensial dan aktual,
DRP potensial:
a. efek samping potensial carboplatin yaitu, menyebabkan mual muntah,
nefrotoksisitas.
b. Efek samping potensial dari ifosfamid yaitu cyctitis haemorrhagic,
nefrotoksisitas, dan enchelopathy (penurunan kesadaran).
DRP aktual:
a. dosis pemberian ifosfamid 8000 mg terlalu tinggi, rekomendasi penurunan
dosis ifosfamid menjadi 6300 mg
b. pemberian norepinefri tunggal untuk syok kardiogenik pada kasus ini tidak
cukup adekuat, butuh kombinasi dengan dopamin.
c. ada indikasi hipokalemia dan hipernatremia pada pasien yang belum
dilakukan koreksi.
DAFTAR PUSTAKA

Agustria ZS.2004. Penuntun pelaksanaan praktis kanker ginekologi. Palembang,;20-


26

Anonim.1998. Kanker di Indonesia Tahun 1998. Jakarta: Dirjen Pelayanan


Medik Departemen Kesehatan RI
Anonim. 2017. Antiemesis. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology.
Anonim. 2017. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Serviks.
Jakarta: Komite Penanggulangan Kanker Nasional
Anonim. 2017. Human Papillomavirus and Related Diseases Report. Spain:
ICO HPV Information Centre.
Asnelia Devicaesaria. 2014. Hipertensi Krisis. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Aziz, M. F. 1996. Kemoterapi pada kanker serviks.Dalam : Indones J Obstet Gynecol
20(3):Jakarta, 186-192

Arisman, 2009.Buku ajar ilmu gizi.Jakarta : ECG

Azmi Sariedj, et al. 2015. Klasifikasi Dan Screening Anemia. Medan :


Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Bakta, I Made, et al. 2006. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia.Jakarta Pusat


Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

David Cherney, et al. 2002. Management of Patients With Hypertensive


Urgencies and Emergencies. Canada: J Gen Intern Med.
E.J. Hoorn, et al. 2013. Dutch guideline for the management of electrolyte
disorders – 2012 revision. Netherlands: 1 Department of Internal
Medicine–Nephrology.
IARC, Globocan. 2002. database; Summary table by Cancer 2002.
http://www-dep.iarc.fr/top.htm.Accessed
James PA, et al. 2014. Evidence-based guideline for the management of high
blood pressure in adults: (JNC8).
Kaufman RH. Adam E. Vonka V. 2002. Human papilloma virus infection and
cervikal carcinoma.Clinical obstetric gynecology;43:363-80

Mochtarom M. 1992. Data registrasi Kanker Ginekologik. Jakarta: Bagian


Obstetri dan Ginekologi.RSUPN /FKUI.
Mansjoer A dkk. 2001. Kanker Serviks. Dalam : Mansjoer A dkk. Kapita Selekta
Kedokteran. Media Aesculapius : Jakarta; 379-381.

M. Saiful Hadi, et al. 2012. Hubungan Anemia dan Transfusi Darah terhadap
Respons Kemoradiasi pada Karsinoma Serviks Uteri Stadium IIb –
IIIb. Semarang: Medica Hospitalia.
Michael M. Braun, et al. 2015. Diagnosis and Management of Sodium
Disorders: Hyponatremia and Hypernatremia. America: American
Academy of Family Physicians.
Praew Kotruchin, et al. 2016. Efficacy and Safety of Amlodipine versus
Captopril and their Combination in Hypertensive Urgency: A
Randomized Controlled Trial. Thailand: Department of Emergency
Medicine
Rim, et al., 2012.Recent trends in prostate cancer incidence by age, cancer
stage, and grade, the United States. USA :School of Medicine

Sjamsuddin S. 2001.Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Cermin Dunia


Kedokteran;133;9-14.

Tharavichitkul, et al. 2016.Combined chemoradiation of cisplatin versus


carboplatin in cervical carcinoma: a single institution experience
from Thailand. Thailand: BioMed Central.
Wiknjosastro H. 1999.Karsinoma Serviks Uterus.Dalam : Wiknjosastro H. Ilmu
Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo : Jakarta :,380-
388

Yin lo, et al. 2015.Risk Factor Of Ifosfamide-related Encephalopathy in Adult


Patients With Cancer: A Retrospective Analysis. Taiwan: National
Taiwan University.

Anda mungkin juga menyukai