Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Berdasarkan estimasi WHO, pada tahun 2010 terdapat 285 juta orang didunia
dengan pengelihatan terganggu, dan 39 juta diantaranya menderita kebutaan. Diketahui
bahwa 80% penyebab dari gangguan pengelihatan pada masyarakat dapat dicegah dan
diobati, namun hal tersebut sulit untuk direalisasikan, sehingga angka penderita
penyakit mata di dunia masih relatif tinggi hingga saat ini.1

Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia termasuk Indonesia.


Insiden uveitis pada populasi 100.000 orang adalah 15 kasus pertahun di Indonesia. Di
Amerika terdapat 2.3 juta orang penderita uveitis dimana kasus barunya ditemukan
sebanyak 45.000 pertahun. Uveitis juga merupakan penyebab dari 10 % kasus kebutaan
di Amerika tiap tahunnya, yakni sekitar 30.000 kasus kebutaan baru tiap tahunnya.
Uveitis dapat terjadi pada semua usia, kebanyakan penderita berusia 20-50 tahun, dan
insidennya menurun pada usia diatas 70 tahun.2,3

Istilah uveitis menunjukkan suatu peradangan pada iris, corpus ciliare, atau
koroid. Namun dalam praktiknya, istilah ini turut mencakup peradangan pada retina,
pembuluh-pembuluh retina, dan nervus optikus. Berdasarkan lokasi anatomis yang
terkena, dikenal istilah uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan uveitis
difus atau pan-uveitis apabila terdapat infiltrasi selular yang kurang-lebih merata di
segmen anterior maupun posterior.4

Uveitis merupakan salah satu dari penyakit yang menyebabkan mata merah
disertai penurunan tajam pengelihatan, dan memiliki diagnosis diferensial yang sangat
luas. Penegakan diagnosis yang tepat dan penanganan segera dapat mengurangi
komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita uveitis, sehingga prognosis penderita
dapat menjadi lebih baik. Penggunaan kortikosteroid dan sikloplegik sejak dini dapat
memperkecil kemungkinan terjadinya komplikasi-komplikasi pada kasus uveitis.4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI MATA

Secara konstan mata menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian
pada objek yang dekat dan jauh serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang
dengan segera dihantarkan ke otak.4,5

Gambar 2.1. Anatomi mata potongan melintang

Mata memiliki struktur sebagai berikut : 6

1. Kornea : struktur transparan menyerupai kubah, merupakan pembungkus dari iris,


pupil dan bilik anterior serta membantu memfokuskan cahaya dimana kekuatan
pembiasan sinar yang masuk 80 % atau 40 dioptri , dengan indeks bias 1.38.
2. Sklera (bagian putih mata) : merupakan lapisan luar mata yang bewarna putih dan
relatif kuat.
3. Konjungtiva : selaput tipis yang melapisi bagian dalam kelopak mata dan bagian
sclera.
4. Pupil : Pupil berwarna hitam pekat yang mengatur jumlah sinar masuk kedalam
bola mata. Pada pupil terdapat m.sfinger pupil yang bila berkontraksi akan

2
mengakibatkan mengecilnya pupil (miosis) dan m.dilatator pupil yang bila
berkontriksi akan mengakibatkan membesarnya pupil (midriasis).
5. Iris : Iris merupakan bagian yang memberi warna pada mata, warna coklat pada iris
yang akan menghalangi sinar masuk kedalam mata,iris juga mengatur jumlah sinar
yang masuk kedalam pupil melalui besarnya pupil.
6. Lensa : struktur cembung ganda yang tergantung diantara humor aquos dan vitreus,
berfungsi membantu memfokuskan cahaya ke retina.
7. Retina : lapisan jaringan peka cahaya yang terletak dibagian belakang bola mata,
berfungsi mengirimkan pesan visual melalui saraf optikus ke otak. Retina terdapat
sel batang sebagai sel pengenal sinar dan sel kerucut yang mengenal frekuensi sinar.
8. Saraf optikus : kumpulan jutaan serat saraf yang membawa pesan visual ke otak.
9. Humor aqueus : caian jernih dan encer yang mengalir diantara lensa dan kornea
(mengisi segmen anterior bola mata) serta merupakan sumber makanan bagi lensa
dan kornea, dihasilkan oleh processus ciliaris.
10. Humor vitreus : gel transparan yang terdapat di belakang lensa dan di depan retina
(mengisi segmen posterior mata).

2.2 ANATOMI TRAKTUS UVEALIS


Bagian ini merupakan lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea
dan sklera. Traktus uvealis terdiri atas iris, corpus ciliare, dan koroid, sbb: 4

Gambar 2.2. Anatomi traktus uvealis

3
 Iris
Iris adalah perpanjangan corpus ciliare ke anterior. Iris berupa
permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah, pupil. Iris
terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik
mata depan dari bilik mata belakang, yang masing-masing berisi aqueous
humor. Didalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua
lapisan berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan
neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina ke arah anterior.4
Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler iris
mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang (nonfenestrated) sehingga
normalnya tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena.
Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi ciliares. 4
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk kedalam mata.
Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi
akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan
dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis. 4
 Corpus Ciliare
Corpus ciliare secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang,
membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6mm).
Corpus ciliare terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata
(2mm), dan zona posterior yang datar, pars plana (4mm). Processus ciliares
berasal dari pars plicata, dan terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang
bermuara ke vena-vena vorticosa. Kapiler-kapilernya besar dan berlubang-
lubang sehingga membocorkan flouresein yang disuntukkan secara intravena. 4

Gambar 2.3. Tampilan posterior corpus ciliare, zonula, lensa, dan ora serrata. 4

4
Ada dua lapisan epitel siliaris yaitu: satu lapisan tanpa pigmen di sebelah
dalam, yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior; dan satu lapisan
berpigmen di sebelah luar, yang merupakan perluasan lapisan epitel pigmen
retina. Processus ciliares dan epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai
pembentuk aqueous humor. 4
Musculus ciliaris tersusun dari gabungan serat-serat longitudinal,
sirkular, dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan
relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di lembah-lembah diantara prosessus
ciliares. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat
mempunyai berbagai fokus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang
berjarak jauh dalam lapangan pandang. Serat-serat longitudinal muskulus
ciliaris menyisip ke dalam anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar
porinya. Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus ciliare berasal dari
circulus arteriosus major iris. 4

Gambar 2.4. Sudut bilik mata depan dan struktur disekitarnya.4

 Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera. Koroid
tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang, dan kecil.
Semakin dalam pembuluh terletak didalam koroid, semakin lebar lumennya.
Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai korio kapilaris. Darah

5
dari pembuluh koroid dialirkan memalui empat vena vorticosa, satu di tiap
kuadran posterior. 4
Koroid disebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan disebelah luar
oleh sklera. Ruang supra koroid terletak diantara koroid dan sklera. Koroid
melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus optikus. Disebelah anterior,
koroid bergabung dengan corpus ciliare. Kumpulan pembuluh darah koroid
mendarahi sebagian luas retina yang menyokongnya. 4

Gambar 2.5. Histologi potongan melintang koroid. 4

Perdarahan uvea dibedakan antara bagian anterior yang diperdarahi oleh dua
buah arteri yaitu arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal
dan nasal dekat tempat masuk saraf optik dan 7 buah arteri siliar anterior, yang terdapat
pada setiap otot superior, medial inferior, satu pada otot rektus lateral. Arteri siliar
anterior dan posterior ini bergabung menjadi satu membentuk arteri sirkularis mayor
pada badan siliar. Uvea posterior mendapat perdarahan dari 15-20 buah arteri siliar
posterior brevis yang menembus sklera disekitar tempat masuk saraf optik.6

Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata
dengan otot rektus lateral, 1 cm didepan foramen optik, yang menerima 3 akar saraf di
bagian posterior yaitu: 6

1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliar mengandung serabut sensoris
untuk kornea, iris, dan badan siliar.
2. Saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, berasal dari saraf simpatis yang
melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan untuk dilatasi
pupil.

6
3. Akar saraf motor akan memberikan saraf parasimpatis untuk mengecilkan pupil

Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps. Iris terdiri
atas bagian pupil dan bagian tepi siliar, dan bagian siliar terletak antara iris dan koroid.
Batas antara korneosklera dengan badan siliar belakang adalah 8 mm temporal dan 7
mm nasal. Otot longitudinal badan siliar yang berinsersi di daerah baji sklera bila
berkontraksi akan membuka anyaman trabekula dan mempercepat pengaliran cairan
mata melalui sudut bilik mata. 6

2.3 FISIOLOGI UVEA


Traktus uvealis yang terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid memiliki fungsi sbb: 7
 Iris
Berfungsi dalam pengaturan cahaya yang masuk, ketajaman fokus pengelihatan,
dan meminimalisir penyimpangan optik. Iris juga berfungsi untuk
mempertahankan blood-aqueous barrier dan berperan dalam sirkulasi dan
ekskresi dari aqueous humor (uveoscleral route). 7
 Badan Siliar
Merupakan lapisan tidak berpigmen yang berperan dalam blood-aqueous
barrier. Merupakan tempat produksi dari aqueous humor. Kontraksi dari
muskulus ciliare berfungsi sebagai akomodasi dan meningkatkan aliran
trabekular. Badan siliar juga berperan dalam rute ekskresi uveoscleral. 7
 Koroid
Koroid mendapatkan 85% dari aliran darah okular, dan memberikan supply
oksigen dan nutrisi yang efektif, pembuangan sisa metabolisme, dan pengaturan
panas. Koroid juga memiliki peranan penting dalam imunitas okular. 7

2.4 UVEITIS
2.4.1. DEFINISI
Istilah “uveitis” menunjukkan suatu peradangan pada iris, corpus
ciliaris, atau koroid. Namun dalam praktiknya, istilah ini turut mencakup
peradangan pada retina, dan nervus optikus. Uveitis bisa terjadi sekunder
akibat radang kornea, radang sklera, ataupun akibat keduanya.4

7
2.4.2. EPIDEMIOLOGI
Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia termasuk
Indonesia. Insiden uveitis pada populasi 100.000 orang adalah 15 kasus
pertahun di Indonesia. Di Amerika terdapat 2,3 juta orang penderita uveitis
dimana kasus barunya ditemukan sebanyak 45.000 pertahun. Uveitis juga
merupakan penyebab dari 10 % kasus kebutaan di Amerika tiap tahunnya,
yakni sekitar 30.000 kasus kebutaan baru tiap tahunnya. Uveitis dapat terjadi
pada semua usia, kebanyakan penderita berusia 20-50 tahun, dan insidennya
menurun pada usia diatas 70 tahun.2,3

2.4.3. KLASIFIKASI
Klasifikasi dan standardisasi uveitis penting untuk meningkatkan presisi
dan perbandingan riset klinis dari pusat-pusat berbeda dan membantu
perkembangan pembentukan gambaran sepenuhnya penyakit tersebut serta
responnya terhadap terapi. Klasifikasi uveitis yang paling banyak digunakan
adalah oleh International Uveitis Study Group (IUSG) yang berdasarkan lokasi
anatomis inflamasi.8,9

Secara anatomis berdasarkan letak inflamasi primer Penyakit

Anterior Camera oculi anterior Iritis, iridocyclitis, dan


anterior cyclitis

Intermediate Vitreous Pars planitis, posterior


cyclitis, dan hyalitis

Posterior Retina atau koroid Fokal, multifokal


atauchoroiditis difus,
chorioretinitis, retinitis,
dan neuroretinitis

Panuveitis Camera oculi anterior,


vitreous, retina atau koroid

8
Infeksius Bacterial, viral, fungal, parasitic, lain-lain
Non-infeksius Hubungan sistemik yang diketahui
Hubungan sistemik yang tidak diketahui
Masquerade Neoplastic & non-neoplastik

Berdasarkan waktu, akut disebut berlangsung < 6 minggu dengan onset cepat
dan bersifat simptomatik serta sembuh sempurna.Residif adalah uveitis yang
berlangsung beberapa kali, diselingi periode sembuh/ inaktif selama ≥ 3 bulan.Uveitis
kronis berlangsung > 3 bulan dengan onset yang sering kali tidak jelas dan
asimptomatik, tidak pernah sembuh sempurna.8,9

Gambar 2.6. Pembagian uveitis berdasarkan lokasi anatomis

Uveitis anterior terjadi pada mata bagian depan, merupakan bentuk uveitis
paling sering ditemukan, secara predominan pada dewasa usia muda dan menengah.
Kebanyakan kasus mengenai individu yang sehat dan hanya mengenai satu mata saja
namun beberapa kasus dihubungkan dengan rematologi, kulit, gastrointestinal, dan
penyakit infeksi.8,9
Uveitis intermediate seringkali ditemukan pada dewasa muda, dan berhubungan
dengan beberapa penyakit seperti sarcoidosis dan multiple sclerosis. Uveitis posterior
adalah bentuk uveitis yang paling sedikit ditemui. Secara primer terjadi pada bagian
belakang mata, seringkali melibatkan retina dan koroid. Disebut juga koroiditis atau
korioretinitis. Terdapat sebab infeksi maupun non-infeksi yang menyebabkan uveitis
posterior. 8,9

9
Pan-uveitis adalah istilah yang digunakan ketika ketiga bagian mayor mata
mengalami inflamasi.Penyakit Behcet’s adalah salah satu bentuk pan-uveitis yang
diketahui dan sangat merusak retina.8,9

2.4.1. UVEITIS ANTERIOR


Iritis merupakan inflamasi intraocular yang paling sering menyebabkan
mata merah dan nyeri. Inflamasi iris dapat disebut iritis dan inflamasi iris serta
badan siliaris disebut iridosiklitis. Iritis dapat dibagi menjadi 2 kategori luas
yaitu granulomatosa dan non-granulomatosa. Iritis granulomatosa biasa
ditemukan pada anak-anak sebagai bagian dari penyakit sistemik atau
komponen dari sindrom ocular tertentu, namun diagnosis iritis granulomatosa
tidak selalu mengindikasikan adanya proses sistemik.adanya invasi mikroba
aktif ke jaringan oleh bakteri.4
Infiltrat dominan sel limfosit, adanya agregasi makrofag dan sel-sel
raksasa multinukleus.Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau
hipopion di kamera okuli anterior. Uveitis non-granulomatosa terutama timbul
di bagian anterior traktus uvealis, yaitu iris dan korpus siliaris.Terdapat reaksi
radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel plasma dengan
jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear.4

Anamnesis

Gejala subyektif yang dialami penderita uveitis umumnya sebagai berikut: 10

 Nyeri: biasanya nyeri pada pasien uveitis timbul dengan onset cepat dan
umumnya terjadi unilateral yang biasanya disertai dengan rasa tidak
nyaman pada mata selama beberapa hari.
 Fotofobia
 Mata merah dan disertai sekresi air mata yang berlebihan
 Penglihatan yang menurun sesuai dengan derajat keparahan penyakit yang
diderita, dan pasien dapat mengeluh adanya floaters.4

10
Pemeriksaan fisik
Tabel 2.1. Perbedaan Uveitis Granulomatosa dan Non-Granulomatosa.4
Non- Granulomatosa Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Nyeri Nyata Tidak ada atau ringan
Fotofobia Nyata Ringan
Penglihatan Kabur Sedang Nyata
Injeksi Nyata Ringan
Sirkumkorneal
Keratic precipitates Putih halus Kelabu besar
Pupil Kecil dan tak teratur Bervariasi
Sinekia posterior Kadang-kadang Kadang-kadang
Noduli iris Tidak ada Kadang-kadang
Lokasi Uvea anterior Uvea anterior,
posterior
Perjalanan penyakit Akut Kronik
Kekambuhan Sering Kadang-kadang

Pemeriksaan lengkap termasuk dilatasi pupil dan retina perifer sebagai berikut: 4,10

 Penglihatan: normal sampai menurun signifikan, tergantung luasnya inflamasi


dan komplikasi seperti katarak, glaucoma, dan edema macula. 4
 Konjungtiva: dapat ditemukan injeksi siliar atau injeksi perilimbus yang
dinamakan ciliary flush. Umumnya berwarna keunguan / violaceous 4,10

Gambar 2.7. Injeksi siliar / ciliary flush 10


 Kamera okuli anterior: ditemukan sel pada kamera okuli anterior, yang
merupakan indikator dari adanya suatu proses inflamasi. Sel pada kamera okuli

11
anterior dinilai dengan menggunakan slit lamp berukuran 1mm x 1mm dengan
pembesaran dan kuantitas cahaya yang cukup. Diklasifikasikan oleh SUN
Working Group sebagai berikut: 4,8,10

Selain hitung sel, dapat juga ditemukan Aqueous flare pada kamera anterior
yang menandai adanya protein akibat kerusakan dari blood-aqueous barrier.
Flare dapat di tentukan derajatnya menggunakan slit lamp ataupun laser flare
photometry untuk penilaian yang lebih obyektif. Berikut derajat Aquous flare
berdasarkan SUN Working Group menggunakan slit lamp: 10

Pada kamera anterior juga dapat ditemukan hipopion yang merupakan eksudat
purulen berwarna keputihan yang terbentuk dari kumpulan sel radang, yang
umumnya ditemukan pada bagian inferior dan terdapat air fluid level. Hipopion
dapat ditemukan bersamaan dengan adanya eksudat fibrin, terutama pada kasus
uveitis yang berkaitan dengan peradangan HLA-B27.10

Gambar 2.8. Hipopion pada bagian inferior kamera anterior dan eksudat fibrin.

12
 Iris: Dapat ditemukan nodul Koeppe dan Busacca yang dapat terjadi pada
uveitis granulomatosa ataupun non granulomatosa. Nodul Koeppe ditemukan
pada margin pupil, dan dapat menjadi lokasi terbentuknya sinekia posterior.
Sedangkan nodul Busacca umumnya ditemukan pada stroma iris dan
merupakan manifestasi uveitis granulomatosa. Nodul iris biasanya berwarna
kuning-kecoklatan dan merepresentasikan akumulasi sel inflamasi. Selain
kedua nodul tersebut dapat juga ditemukan Yellowish nodules pada kasus uveitis
akibat sifilis, iris pearls pada uveitis yang disebabkan kusta, dan Russell bodies
4,10
pada kasus uveitis kronis.

Gambar 2.9. Gambaran nodul Busacca dan Koeppe pada penderita uveitis,
serta gambaran Russell bodies pada uveitis kronis 10

Selain nodul, pada iris dapat terjadi sinekia atau perlengketan yang umumnya
terjadi pada bagian posterior atau disebut Posterior synechiae. Umumnya
terjadi pada lokasi ditemukannya nodul Koeppe, dapat berkembang secara
cepat, dan dapat menjadi permanen.10

Gambar 2.10. Sinekia posterior

13
 Kornea: presipitat keratik (KP) ditemukan pada pada lapisan endotel kornea,
yaitu kumpulan sel radang meliputi leukosit, makrofag, dan sel plasma.
Umumnya ditemukan pada bagian inferior, dengan bentuk menyerupai segitiga
(Arlt triangle). KP berukuran besar disebut juga Mutton fat appearance,
sedangkan KP berukuran kecil hingga sedang disebut juga Punctate. Edema
kornea dapat terlihat. Endotelitis kornea ditandai oleh edema kornea, presipitat
keratik serta reaksi COA ringan, dan merupakan spectrum penyakit dimana
endotel kornea merupakan letak primer inflamasi.4,10

Gambar 2.11. Keratic Presipitat pada kornea penderita uveitis

 Lensa dan vitreous: presipitat lenticular dapat terlihat pada kapsul lensa
posterior. Katarak subkapsular posterior bisa terjadi jika pasien mengalami
episode iritis berulang atau inflamasi kronis. Lihat vitreous untuk sel inflamasi;
jika ada dapat menandakan adanya sindrom uveitis yang lebih ekstensif. 4
 Segmen posterior: adakah edema nervus opticus, vasculitis, dan lesi fokal retina
atau koroid. Pasien dengan iritis granulomatosa lebih cenderung memiliki
uveitis ekstensif. 4
 Tekanan intraokular: biasanya menurun karena produksi aqueous menurun oleh
badan siliaris. Terkadang TIO meningkat akibat perubahan atau obstruksi aliran
aqueous, meningkatnya TIO pada onset dapat mensugestikan etiologi virus
terutama pada satu mata saja. 4

14
Patofisiologi
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung suatu
infeksi atau merupakan fenomena alergi.Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu
trauma tembus okuli, walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi
terhadap zat toksik yang diproduksi oleh mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh
diluar mata. Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam
(antigen endogen).Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius.
Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama setelah proses infeksinya
yaitu setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas.Radang iris dan badan siliar
menyebabkan rusaknya blood aqueous barriersehingga terjadi peningkatan protein,
fibrin,dan sel-sel radang dalam humor akuos. Padapemeriksaan biomikroskop (slit
lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown
(efek Tyndall). 4
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel
radang berupa pus di dalam COA yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke
dalam COA, dikenal dengan hifema. Apabila proses radang berlangsung lama (kronis)
dan berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada endotel kornea, disebut sebagai
keratic precipitate (KP). Ada dua jenis keratic precipitate, yaitu: 4
1. Mutton fat KP: besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen yang
difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.
2. Punctate KP: kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat
pada jenis non granulomatosa.
Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses peradangan akan
berjalan terus dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan
fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior
yang disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut sinekia
anterior.Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio
pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil. 4
Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh
sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik
mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan
mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans (iris bombe). Selanjutnya
tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder.

15
Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa yang
menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata.Apabila peradangan
menyebar luas, dapat timbul endoftalmitis (peradangan supuratif berat dalam rongga
mata dan struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan kaca) ataupun
panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul tenon sehingga
bola mata merupakan rongga abses). 4
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera
ditangani, dapat pula terjadi oftalmitis simpatika pada mata sebelahnya yang semula
sehat. Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior yang terjadi akibat trauma
tembus, terutama yang mengenai badan silier. 4

2.4.2. PENATALAKSANAAN
Terapi utama uveitis adalah pemberian kortikosteroid dan sikloplegik /
midriatik agar otot-otot iris dan badan silier relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri,
mempercepat penyembuhan, dan mengurangi kongesti pada tempat peradangan.
Selain itu, midriatikum sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya sinekia,
ataupun melepaskan sinekia yang telah ada.Selama pemberian, perlu diperhatikan
kemungkinan ada defek epitel dan trauma tembus yang harus disingkirkan pada
riwayat trauma, periksa sensibilitas kornea dan TIO untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi herpes simpleks atau zoster. Terapi topical yang agresif adalah
prednisolone asetat 1% 1-2 tetes tiap ½ jam saat terjaga, biasanya dapat mengontrol
inflamasi anterior. Homatropin 2-5% 2-4 kali/hari membantu mencegah terbentukya
sinekia dan meredakan rasa tidak nyaman akibat spasme siliaris. 4
Pilihan terapi medika mentosa pada kasus uveitis sebagai berikut:10
A. Steroid Topikal
Pilihan utama steroid topikal pada kasus uveitis adalah prednisolone 1%
atau dexamethasone 0.1%. Sediaan lainnya dapat menggunakan difluprednate
0.05% dengan frekuensi jarang, loteprednol etabonate 0.2% dan 0.5%,
betamethasone, prednisolone 0.5%, flurometholone dan rimexolone. Steroid
topikal umumnya dengan sediaan drop dan dapat dikombinasi dengan sediaan
ointment.
Pemberian steroid topikal tergantung pada derajat keparahan dari
inflamasi yang terjadi, umumnya diawali dengan 1 tetes per jam pada kasus

16
uveitis sedang hingga berat. Begitu peradangan sudah terkontrol, dilakukan
tappering off steroid dengan cara sebagai berikut:
- 1 tetes per jam selama 3 hari pertama
- 1 tetes per 2 jam selama 3 hari berikutnya
- 1 tetes 4 kali per hari selama 1 minggu berikutnya
- 1 tetes 3 kali per hari selama 1 minggu berikutnya
- 1 tetes 2 kali per hari selama 1 minggu berikutnya
- 1 tetes 1 kali per hari selama 1 minggu, dan kemudian pemberian
steroid topikal dapat dihentikan. Umumnya pemberian steroid topikal
dihentikan setelah 5-6 minggu pemberian.10

Selama pemberian steroid topikal dilakukan evaluasi secara periodik


untuk melihat respon terapi. Evaluasi lanjutan perlu dilakukan hingga 1-2
minggu setelah terapi steroid dihentikan.10

B. Siklopegia
Pemberian siklopegia khususnya untuk mencegah terbentuknya sinekia
posterior, untuk melepaskan sinekia yang baru terbentuk, dan untuk mengatasi
spasme dari otot pupil dan siliar. Umumnya diberikan golongan antikolinergik
seperti cyclopentolate (durasi 12-24 jam), homatropine dan atropine (10-14
hari). Pada fase akut pemberian antikolinergik dapat dikombinasi pemberian
phenylephrine 2.5% atau 10% untuk membantu mengatasi sinekia.10
Pada kasus uveitis ringan atau kronis, siklopegia dapat diberikan pada
malam hari sebelum tidur untuk mencegah kesulitan akomodasi pada
keesokan harinya. Pemberian siklopegia uniokular berkepanjangan dapat
menyebabkan amblyopia pada kelompok umur tertentu.10
C. Mydricaine® No. 2
Preparat berisi kombinasi 0.12 mg adrenaline, 1 mg atropine, dan 6 mg
procain yang digunakan untuk mengatasi sinekia apabila siklopegia drop
dinilai tidak efektif. Diberikan melalui injeksi subkonjungtiva, atau dengan
menyisipkan kasa yang sudah dibasahi Mydricaine diantara forniks superior
dan inferior selama 5 menit.

17
D. Tissue Plasminogen Activator (TPA)
Pada kasus uveitis fibrinous anterior berat dapat diberikan injeksi
intracamera (injeksi pada kamera anterior) TPA 12.5 – 25 mikrogram dalam
0.1 ml, didahului anestesi topikal. Injeksi TPA bertujuan untuk mengatasi
eksudat fibrin, dan melepaskan sinekia posterior.
E. Injeksi Steroid Subkonjungtiva
Injeksi steroid subkonjungtiva diberikan pada kasus uveitis berat, atau
pada pasien yang non-compliance terhadap pengobatan lainnya. Dapat
diberikan betamethasone sodium phosphate (4mg dalam 1ml) yang bisa
dikombinasi dengan betamethasone asetat untuk efek yang lebih lama.
F. Injeksi Steroid Regional
Pemberian injeksi steroid regional dapat dilakukan melalui orbital floor
atau posterior sub-tenon pada kasus uveitis anterior yang terjadi komplikasi
odema makula sistoid ( CMO ) dan bagi pasien yang non-compliance dengan
pengobatan topikal. Efek terapi maksimal pada minggu ke-4 , dan durasi kerja
obat maksimal berkisar hingga ± 3 bulan.
Terdapat beberapa komplikasi yang mungkin terjadi antara lain
perdarahan subkonjungtiva, globe penetration, peningkatan TIO, katarak,
ptosis, perdarahan palpebra, perdarahan retrobulbar, atrofi lemak subdermal,
paresis otot extraokular, trauma nervus optik, oklusi vaskuler retina dan
koroid, dan hipopigmentasi kutis.

Gambar 2.12. Injeksi steroid melalui sub-tenon posterior


G. Injeksi Steroid Intraokular
Dapat diberikan triamcinolone acetonide (4mg dalam 0.1ml) yang
diinjeksi secara intravitreal pada uveitis yang tidak responsif terhadap pilihan
terapi lainnya.

18
H. Steroid Sistemik
Pemberian steroid sistemik pada kasus uveitis anterior jarang
diperlukan, namun dapat diberikan apabila respon terapi dengan pemberian
terapi lokal tidak adekuat. Umumnya diberikan beberapa saat sebelum
dilakukan pembedahan intraokular sebagai profilaksis dari perburukan proses
inflamasi penderita uveitis.
I. Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (NSAID)
Dapat diberikan tolmetin dan naproxen pada kasus uveitis kronis atas
pertimbangan dan pengawasan spesialis.
J. Antimetabolit
Corticosteroid-sparing agent seperti methotrexate, azathioprine,
mycophenolate mofetil, siklosporin, tacrolimus, siklofosfamid, atau
klorambusil sering diperlukan pada peradangan non-infeksi bentuk berat atau
kronis terutama jika ditemukan keterlibatan sistemik.

Adapun terapi non-medikamentosa juga dapat dilakukan seperti:


 Penggunaan kacamata hitam: mengurangi fotofobia, terutama akibat
pemberian midriatikum.
 Kompres hangat: mengurangi rasa nyeri & meningkatkan aliran darah
sehingga resorbsi sel-sel radang dapat lebih cepat.

2.4.3. KOMPLIKASI

Komplikasi dari uveitis dapat berupa: 4


a. Glaukoma
Pada uveitis anterior dapat terjadi sinekia posterior sehingga mengakibatkan
hambatan aliran aqueous humor dari bilik posterior ke bilik anterior. Penumpukan
cairan ini bersama-sama dengan sel radang mengakibatkan tertutupnya jalur
outflow aquos humor sehingga terjadi glaukoma. Untuk mencegahnya dapat
diberikan midriatik. 4
b. Katarak
Peradangan di badan siliar dapat menyebabkan gangguan pada metabolisme lensa
dan berujung pada timbulnya katarak.Selain itu, katarak dapat pula muncul akibat
terapi dengan menggunakan kortikosteroid.

19
c. Sinekia posterior  perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior
akibat sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas.
d. Sinekia anterior  perlekatan iris dengan endotel kornea akibat sel-sel radang,
fibrin, dan fibroblas.
e. Seklusio pupil  perlekatan seluruh pinggir iris dengan lensa.
f. Oklusio pupil  seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang
g. Endoftalmitis  peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan struktur di
dalamnya dengan abses di dalam badan kaca akibat dari peradangan yang meluas.
h. Panoftalmitis  peradangan pada seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul
tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses.
i. Retinitis proliferans
Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca mengalami jaringan
organisasi dan tampak sebagai membran yang terdiri dari jaringan ikat dengan
neovaskularisasi yang berasal dari sistem retina.
j. Ablasio retina

2.4.4. PROGNOSIS
Prognosis untuk penyakit uveitis ditentukan oleh ada/tidaknya penyulit. Bila
peradangan hebat, sebagian besar badan siliar akan rusak dan menjadi atrofi, sehingga
pembentukan aqueous humor akan menurun. Selanjutnya tekanan intraokuler akan
menurun, bola mata menjadi lembek dan terjadilah atrofi bulbi. Terjadinya penutupan
pupil oleh oklusi pupil dan katarak dapat menurunkan visus yang hebat, tetapi katarak
masih dapat diangkat jika keadaan retina masih baik dan radang sudah
tenang.Kemungkinan adanya ablasio retina memberikan prognosis yang sangat
buruk. Namun bila penyakit dapat dideteksi secara dini dan segera mendapatkan
pengobatan yang tepat, terutama dengan penggunaan kortikosteroid, hasilnya cukup
memuaskan. 4

2.4.5. UVEITIS INTERMEDIATE


Uveitis intermediate bersifat kronis, rekuren, onset insidious, dengan lokasi
peradangan utama pada vitreous dan retina perifer dengan penyakitnya pars planitis,
posterior siklitis, dan hialitis. Penyebab uveitis intermediate umumnya idiopathic atau
berhubungan dengan penyakit sistemik. Pars planitis dikarakteristikkan dengan
adanya eksudat putih (snowbanks) diatas pars plana dan ora serrata atau dengan sel

20
inflamasi pada vitreous (snowballs) pada uveitis intermediate yang etiologinya non-
infeksius (penyakit Lyme) atau penyakit sistemik (sarcoidosis).4,10
Manifestasi klinis uveitis intermediate dapat berupa:
 Gejala subyektif meliputi pengelihatan kabur disertai floaters, umumnya tidak
disertai nyeri dan mata merah. Gejala umumnya unilateral pada satu mata.
 Penurunan visus dapat terjadi tergantung pada aktifitas peradangan dan
komplikasi yang terjadi.
 Vitreous: dapat ditemukan sel vitreus anterior predominan, dengan
kondensasi vitreus, dan kekeruhan pada kasus berat. Gambaran snowball yang
merupakan kumpulan sel radang fokal berwarna keputihan disertai eksudat
yang umumnya terdapat pada vitreous inferior. Kekeruhan vitreous dapat
ditentukan sebagai berikut:

Gambar 2.13. Proses peradangan berat pada vitreous.

 Peripheral periphlebitis biasanya pada kasus multiple sklerosis.


 Snowbanking: gambaran abu-abu / putih yang tersusun atas jaringan
fibrovaskular dan atau plak eksudat yang dapat timbul pada seluruh kuadran
 Neovaskularisasi
 Optic disc swelling
 Oedem makula
 Pembentukan membran makula epiretinal

21
 Glaukoma dapat terjadi pada mata yang mengalami inflamasi
berkepanjangan, dan pada pasien yang mendapatkan pemberian steroid jangka
panjang.
 Katarak dapat terjadi akibat pemberian steroid, ataupun akibat proses
peradangan itu sendiri.
 Ablasio retina

Gambar 2.14. Snowball dan Snowbanking pada Uveitis Intermediate 10

Penatalaksanaan Uveitis Intermediate menggunakan steroid sistemik lebih


diutamakan dibandingkan pemberian steroid topikal apabila proses peradangan
terjadi secara bilateral. Dapat dilakukan cryotherapy, peripheral retinal laser, ataupun
pars plana vitrectomy. 10

2.4.6. UVEITIS POSTERIOR


Lesi pada segmen posterior biasa berbentuk fokal, multifocal, geografik, atau
difus. Chorioretinitis merupakan proses inflamasi yang disebabkan oleh virus, bakteri
atau protozoa secara kongenital ada naeonatus. Infeksi toxoplasma dan CMV
kongenital merupakan yang paling sering. 4
Etiologi yang disebabkan oleh infeksi CMV kongenital biasanya stabil dan
membaik saat masa kanak-kanak, dibandingkan dengan toxoplasmosis kongenital
yang berkembang setelah kelahiran dan secara klijis lebih signifikan setelah beberapa
tahun. CMV dan toxoplasma juga dapat menyebabkan manifestasi ekstraokular
seperti intrauterine growth retardation, mikrosefali, katarak, defek pendengaran, dan
lain-lain.Pada individu yang memiliki imunodefisiensi, sebab chorioretinitis
berhubungan dengan virus Epstein-Barr, CMV, varicella-zoster, jamur seperti
Candida, Aspergillus, Fusarium, dan toxoplasma. 4

22
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Universal eye health: a global action plan 2014-2019.


2. Indraswari E. Anie M. Suhendro G. Trans Limbal Lensectomy of Untreatable Uveitis
in Juvenile Rhematoid Arthritis Patient. Jurnal Oftalmologi Indonesia. 2007;5(1):77-
81.
3. Acharya NR. Tham VM. Esterberg E. Incidence and Prevalence of Uveitis: Results
from the Pasific Ocular Inflammation Study. JAMA Ophthalmol. 2013;131(11):1405-
1412
4. Eva PR, Whitcher JP. Uveal Tract & Sclera. Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology. 17th ed. USA: Mc Graw-Hill; 2007:151-162.
5. Guyton AC. Hall EH. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company. 2006.
6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010.
7. Denniston AK. Murray PI. Oxford Handbook of Ophthalmology 3rd ed. UK: Oxford
University Press; 2014:407-72.
8. Bloch-Michel E, Nussenblatt RB. International Uveitis Study Group recommendations
for the evaluation of intraocular inflammatory disease. Am J Ophthalmol
1987;103:234-235.
9. Deschenes J, Murray PI, Rao NA, Nussenblatt RB. International Uveitis Study Group.
International Uveitis Study Group (IUSG): clinical classification of uveitis. Ocul
Immunol Inflamm 2008;16:1-2.
10. Kanski. Jack J. Bowling B. Ken K. Nischal. Pearson A. Kanski’s Clinical
Ophthalmology A Systematic Approach 8th ed. Edinburgh: Elsavier. 2015:396-465.

23

Anda mungkin juga menyukai