Suratman J3P115007
Nanda Finisa J3P115022
Rahmatiaqmara H J3P115024
Ridho Rizki J3P115041
Indah Elsa J3P115046
Syifa Fauziah J3P115073
Cara Kerja
Ada tiga tahapan penting dalam proses PCR yang selalu terulang dalam
30- 40 siklus dan berlangsung dengan cepat :
1. Denaturasi
Dalam proses PCR, denaturasi awal dilakukan sebelum enzim taq
polimerase ditambahkan ke dalam tabung reaksi. Denaturasi DNA merupakan
proses pembukaan DNA untai ganda menjadi DNA untai tunggal. Ini biasanya
berlangsung sekitar 3 menit, untuk meyakinkan bahwa molekul DNA
terdenaturasi menjadi DNA untai tunggal. Denaturasi yang tidak lengkap
mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA untai ganda lagi)
secara cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya proses PCR. Adapun waktu
denaturasi yang terlalu lama dapat mengurangi aktifitas enzim Taq polymerase.
Aktifitas enzim tersebut mempunyai waktu paruh lebih dari 2 jam, 40 menit, 5
menit masing-masing pada suhu 92,5; 95 dan 97,5oC.
JENIS-JENIS PCR
1. Rabies
Deteksi virus rabies menggunakan metode RT-PCR dinilai memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk pemeriksaan ante-mortem. RT-PCR
merupakan metode yang mudah dilakukan dengan waktu pengerjaan yang lebih
cepat dibandingkan dengan FAT dan MIT. Hal ini merupakan kelebihan metode
RT-PCR dibandingkan metode pemeriksaan lainnya sehingga deteksi virus rabies
pada kasus manusia tersangka tertular rabies melalui gigitan hewan penular rabies
(GHPR) dapat dilakukan lebih cepat (Puspa et al. 2014).
Isolasi RNA dilakukan dengan menggunakan kit komersial dan sesuai
dengan protokol kit (Qiagen, Hilden Jerman). Pemeriksaan spesimen rabies
dilakukan dengan menggunakan metode RT-PCR, yaitu dengan mengamplifikasi
gen N dan gen G sebagai target amplifikasi.
2. Brucella
Polymerase Chain Reaction (PCR) telah digunakan secara luas di banyak
negara untuk deteksi brucellosis pada ternak yaitu uji tapis brucellosis pada satu
populasi ternak, identifikasi species dalam suatu kelompok ternak, dan untuk
identifikasi strain epizootik dengan tujuan membantu pakar epidemiologi
melakukan trace back infeksi dari sumbernya (Brickeret al., 2003 dalam Noor et
al. 2014). Teknik multiplex PCR species-specific assay dapat dipakai untuk
identifikasi species maupun galur Brucella. Bricker dan Halling (1994), pertama
kali mengembangkan uji (AMOS)-PCR untuk identifikasi B.abortus, B.melitensis,
B.ovis, dan B.suis berdasarkan adanya polimorfisme pada lokasi species-specific
dengan menyisipkan sequence kromosom Brucella IS711 menggunakan lima
primer oligonukleotida. Teknik tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh
Ewalt dan Bricker (2003) menjadi uji Brucella abortus strain specific-Polymerase
Chain Reaction (BaSS-PCR) dengan mengubah dan menambah primer sehinga
dapat mengamplifikasi sampai empat lokus yang berbeda dengan menggunakan
tujuh primer oligonukleotida. Teknik BaSS-PCR mampu untuk mengidentifikasi
dan membedakan isolat B.abortus galur vaksin (S19 dan RB51) dan galur lapang
B.abortus biovar 1, 2, dan 4. Uji BaSS-PCR ini merupakan uji yang sangat cepat,
sensitif, dan akurat untuk identifikasi galur Brucella (Bricker et al., 2003 dalam
Noor et al. 2014). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pada penelitian
dilakukan identifikasi isolat lokal B.abortus hasil isolasi sampel dari sapi
terinfeksi brucellosis secara molekuler dengan uji BaSSPCR. Manfaat dari
penelitian ini diharapkan dengan diketahuinya galur B.abortus yang menginfeksi
ternak sapi di Indonesia maka dapat digunakan untuk tindakan pengendalian serta
identifikasi galur epizootik untuk trace back infeksi dari sumbernya.
3. Anthrax
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa determinan molekular yang
berperan dalam virulensi B. anthracis pada inang adalah molekul-molekul DNA
sirkular yang terpisah dari kromosom bakteri tetapi mampu melakukan replikasi
sendiri (dinamakan plasmid) yang mensintesis multitoxin protektif antigen (PA),
faktor lethal, dan edema (plasmid pXO1) dan yang mensintesis enzim biosintetik
kapsul (plasmid pXO2) (Chand et al.,2009; Ebrahimi et al., 2011; Liu, Moayeri,
and Leppla, 2014 dalam Wibawa et al. 2014). Atas dasar ini, deteksi dengan
teknik PCR terhadap penanda-penanda molekular ini dipilih untuk mereduksi
resiko keselamatan dan keamanan dalam diagnosis anthrax.
Teknik multiplex PCR ini telah digunakan oleh Balai Besar Veteriner
Wates dalam diagnosis B. anthracis dan aplikasi teknik PCR ini untuk deteksi,
identifikasi dan/atau differensiasi B. anthracis dari sampel-sampel lapangan.
Multiplex PCR. Teknik multiplex PCR yang digunakan dapat
mendeteksi/mengidentifikasi sekaligus untuk membedakan strain B. anthracis dan
kemungkinan kontaminasi dari spesies Bacillus lainnya. Teknik ini menggunakan
tiga pasang primer (BacR, Cap dan Lef) untuk mendeteksi genus, strain virulen
dan strain avirulen B. anthracis (Ramisse et al., 1996 Wibawa et al. 2014).
4. Masih banyak penyakit yang dapat diidentifikasan dengan metode PCR ini,
seperti :
Newcastle Disease (ND)
Classical Swine Fever (CSF)
Septicaemia Epizootica (SE)
dan lainnya
DAFTAR PUSTAKA