Anda di halaman 1dari 2

Anda tidak salah lihat, ini sesisir pisang yang belum matang.

Dari mana kami


dapatkan? Dari praktek "pasar gelap" yang ada di BPSTW. Pisang sesisir yang belum
matang ini kami razia dari klien lansia perempuan alias Mbah Putri yang biasa
praktek menjual barang-barangnya di Pasar Pakem. Rupanya, penadah hasil jualan
simbah-simbah ini bukan melulu pedangang pasar, tetapi tetangga di kiri kanan balai
yang punya warung juga melakukan praktek jual beli dengan klien kami. Repot ini.

Soal niat itu soal hati, dan saya tidak mau menghakimi apakah si tetangga pedagang
kelontong itu punya niat baik atau buruk. Yang pasti itu merugikan kami sebagai
pengelola balai. Beberapa kali kami sudah sambung rasa dengan pemilik warung, mohon
pengertiannya untuk tidak melakukan praktik perdagangan dengan lansia kami
dikarenakan semua kebutuhannya sudah dicukupi..Eeh..selalu saja terjadi praktek
bawah tangan.

Pertanyaan selanjutnya adalah pertanyaan inti: lalu untuk apa pisang ambon sesisir
yang masih mentah itu dibeli Simbah? Memangnya seumur hidup dia di BPSTW belum
pernah diberi pisang? Lha wong tiap hari jika tidak snack selalu ada saja buah yang
diberikan sebagai pencuci mulut: pisang, pepaya, melon, semangka dan apapun yang
ramah untuk gigi lansia. Kalau mau diberikan atau dihadiahkan, untuk siapa? Kalau
memang untuk sesama temannya, apakah teman yang lain juga tidak pernah mencicipi
buah? Inilah pertanyaan mendasar yang selalu mengganjal di kepala saya.

Pertanyaan ini sama halnya dengan praktek-prakte simbah ketika beli barang-barang
yang kemudian dikumpulkan di kamar, alias nyusuh (jawa). Ada jam tangan, peralatan
bengkel, koran, barang bekas dll. Kok sepertinya absurd sekali lansia-lansia ini
punya kegemaran sama: mengumpulkan barang-barang tidak penting.

Sedikit banyak teka teki itu terjawab, yaitu suatu ketika di hari jumat, bertepatan
dengan kerja bakti Balai. Saya kebagian penekan, memanjat pohon dan menggergaji,
memotong beberapa ranting pohon yang harus dipangkas. Sekian banyak ranting bekas
dikumpulkan dan dibantu oleh teman kerja serta mahasiswa, kayu-kayu itu diseret
dibawa ke tempat sampah.

Ketika menyeret itulah muncul salah satu klien yang sudah sangat sepuh, perempuan
usia 80-an, saya duga sudah pikun, berteriak-teriak.

"Kayune ojo diguwang..njaluk..(kayunya jangan dibuang, saya minta)"

Walah. Geli campur bingung. Simbah ini tampaknya belum move on dari tempat
tinggalnya yang lama. Dipikirnya kayu-kayu itu mau dipakai untuk kayu bakar atau
apa?

"Kangge nopo to Mbah? Nek gesang ten Balai, rak njih mboten perlu gegeni? (Buat apa
sih Mbah, kalau hidup di Balai kan gak butuh perapia?)", tanya saya.

'Yo gen tak openane (ya biar saya peliharanya)", jawabnya.

"Lha injih, kangge nopo?" tanya saya.

"Yo nggo duwen-duwen", jawabnya ketus

Eureka!

Semacam menemukan istilah yang hilang. Inilah konsepsi yang lama saya cari: duwen-
duwen. Apa itu? Duwen-duwen itu segala sesuatu yang dimiliki untuk persediaan,
tetapi tujuannya lebih banyak untuk safety secara sosial. Duwen-duwen ini bukan
terkait dengan perstise, karena biasanya yang dipakai untuk duwen-duwen itu barang-
barang yang nilai ekonominya rendah, tetapi nilai fungsinya tinggi. Jika seseorang
memiliki barang-barang yang kategori duwen-duwen, maka ketika dirinya sendiri
butuh, atau tetangga butuh, atau anak cucunya datang ketika memerlukan, dia punya.
Tampaknya telisik budaya Jawa atau mungkin lebih spesifik lagi, budaya lansia jawa,
perlu dilacak untuk menjelaskan konsepsi tentang duwen-duwen ini. Ini bukan
persoalan remeh temeh. Jika solusi terhadap duwen-duwen ini bisa dikupas dengan
baik, bukan tidak mungkin praktek-praktek pasar gelap, praktek nyusuh dll itu bisa
dicarikan jalan keluarnya.

Oh ya, bagaimana nasib si pisang hasil razia itu? Saya kembalikan lagi ke si
penjual tanpa kompensasi apapun, disapa dengan baik, diverifikasi bahwa pisang itu
benar-benar dia yang tadi menjual kepada simbah, dan ketika benar ya sudah. Balikin
aja. Itu cara Jawa. Semoga dengan begitu dia tahu maknanya. Soal simbahnya?
Hehehe....mau gimana lagi. Sudah tabiat.(*)

Anda mungkin juga menyukai