Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Depersonalisasi adalah suatu perasaan aneh tentang dirinya atau perasaan


bahwa pribadinya sudah tidak seperti biasa lagi, tidak sesuai dengan kenyataan
misalnya rasanya seperti sudah di luar badannya (misalnya: pengalaman di luar
tubuh atau OBE, out of the body experience) atau sesuatu bagian tubuhnya sudah
bukan kepunyaannya lagi. Ini dibedakan dari waham hipokhondrik dan dari
disorientasi terhadap dirinya sendiri. Depersonalisasi ada kalanya ditemukan
pada sindrom lobus pariealis juga.
Penelitian menyatakan bahwa depersonalisasi transien dapat terjadi
pada sebanyak 70 persen populasi tertentu, tanpa perbedaan bermakna antara
laki-laki dan wanita. Pada beberapa penelitian terakhir, depersonalisasi
ditemukan terjadi pada wanita sekurangnya dua kali lebih sering dibandingkan
laki-laki; keadaan ini jarang ditemukan pada orang yang berusia lebih dari 40
tahun.
Gangguan depersonalisasi merupakan bagian dari sekelompok kondisi
yang disebut gangguan disosiatif. Gangguan disosiatif adalah penyakit jiwa yang
melibatkan gangguan atau kerusakan fungsi memori, kesadaran atau kesadaran,
identitas dan / atau persepsi mental yang biasanya beroperasi lancar. Bila satu atau
lebih dari fungsi ini terganggu, dapat mengakibatkan gejala. Gejala ini dapat
mengganggu fungsi umum seseorang, termasuk kegiatan sosial dan pekerjaan, dan
hubungan relasi.3
Penting untuk dicatat bahwa gejala depersonalisasi atau derealisasi mungkin
menunjukkan gangguan medis atau psikologis yang lebih serius. Dan, suatu
kondisi yang disebut gangguan depersonalisasi bisa eksis sendiri. Oleh karena itu,
diagnosis diri tidak disarankan. Jika Anda mengalami salah satu gejala yang
diuraikan di atas, melihat dokter Anda atau penyedia layanan kesehatan
lainnya. Dia atau dia akan dapat memberitahu Anda apakah atau tidak gejala-
gejala kecemasan Anda terkait atau bagian dari penyakit lain.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Depersonalisasi merupakan satu istilaah yang digunakan untuk
menerangkan suatu perubahan dalam perasaan seseorang ysng merasa bahwa
dirinya menjadi lain dari biasanya, merasa semu dan tidak sesungguhnya
(unreality feelings), yang biasanya disertai dengan perubahan pada
penghayatannya tentang dunia luarnya yang oleh Maphoter disebut derealisasi.
Perubahan perasaan ini perasaan dirasakan sebagai sesuatu yang tidak nyaman,
ditambah dengan perubahan pada penghayatan bayangan tubuh, perubahan pada
penghayatan jalannya waktu, tiada berperasaan, preokupasi hipokondria, déjà vu,
metamorpnopsia atau autoskopia.
Gangguan depersonalisasi adalah terjadinya perasaan terus-menerus dari
ketidaknyataan atau merasa asing dari dirinya sendiri biasanya dengan perasn
bahwa dirinya sebagai seorang pengamat luar dari proses mental sendiri. Individu
yang mrnderita depersonalisasi merasa tertekan oleh hal itu, mereka menyadari
dalam pengalaman persepsi mereka dan oleh karena itu bukan halusunasi atau
delusi. Individu yang terkena sering takut bahwa mereka akan gila. Gejala ini
tidak jarang sementara.5

B. ETIOLOGI
Depersonalisasi dapat disebabkan oleh penyakit psikologis, neurologis,
atau sistemik. Sistemik yang disebabkan antara lain gangguan endokrin tiroid dan
pancreas. Depersonalisasi telah dikaitkan dengan epilepsy tumor otak,
kekurangan sensorik, dan trauma. Depersonalisasi disebabkan oleh stimulus dari
kortex lobus temporal.Depersonalisas dikaitkan dengan berbagai zat, termasuk
alcohol, barbiturate, benzodiazepine, skopolamin, antagonis reseptor B-
adrenergic, ganja dan hamper semua phencyclidine (PCP) atau zat halusinogen.
Kecemasan dan depresi merupakan factor predisposisi seperti stress berat yang
dialami misalnya dalam pertempuran atau dalam suasana kcelakaan mobil.

2
Depersonalisasi adalah gejala yang sering dikaitkan dengan kecemasan, gangguan
depresi, dan skizofrenia.4
Shorvon dalam peneyelidikannnya yang menyeluruh mendapatkan
beberapa fakta yang dapat membantu menjelaskan mekanisme atau etiolgi
sindrom ini, yaitu dengan:
1. Penemuan yang positif: mulainya (onset) selalu mendadak, dapat terjadi
sebagai gejala dari berbagai gangguan iwa, dapat terjadi sebagai gelaja dari
berbagai gangguan jiwa, dapat terjadi paa orang normal sebagai pengalaman
sepintas, merupakan kondisi, yang reversible, kasus-kasus dapat sembuh
sempurna dan secara spontan, ada kaitan yang bermakna migraine dan
obsssesionsl traits, mulainya berkaitan dengan istitahat setelah stimulasi yang
kuat atau lama baik fisik maupun psikologis.Gejalanya dapat dialami dalam
hal kognitif, afektif dan konaktif, ada kecendrungan gangguan ini terjadi
pada orang yang intelligent. Ada pula kecendrungan gangguan ini terjadi
pada orang yang secara emosional tidak matang, insidennya tinggi pada
hubungsn orsng tua-anak yang tak memuskan.
2. Penemuan yang negatif: bukan gangguan persepsi visual, tidak dapat
dijelaskan secara neurologis sebagai akibat dari lesi fokal, Relative tidak ada
derealisasi olfaktorik atau auditorik, sangat jarang pada anak-anak, praktis
tidak pernah dijumpai paranoia.1

C. EPIDEMIOLOGI
Gangguan ini biasa dimulai antara usia 15-30 tahun dan sangat jarang
setelah 40 tahun. Pada wanita ditemukan du kali lebih banyak daripada
pria.Depersonalisasi sebagai gejala yang berdiri sendiri sangat jarang dijumpai,
kadang-kadang ditemukan bersama dengan kecemasan, depresi, skizofrenia atau
gangguan otak organic.Kesulitan untuk menemukan kasus ini timbul apabila
gejalanya menyebabkan anxietas atau depresi yang menyolok.1
Penelitian pada college student yang dilakukan oleh Dixon menunjukkan
bahwa sekitar 50 persen dari yang diteliti pernah mengalami dipersonalisasi
sepintas dan tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara insiden

3
pada pria dan wanita.1
Beberapa pandangan teoritis diajukan dengam maksud untuk dapat lebih
mengerti akan sindrom ini, baik dalam bentuk berdiri sendiri maupun sebagai
gejala sekunder dari gangguan mental lainnya.1
Janet (1903) menganggap bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
depersonalisasi terutama adalah hiperaktivitas dari memory, kesadaran yang
menyempit dan konstitusi. Sedangkan Pick (1904), Oesterrich (1910) dan Loewy
(1908) menekankan bahwa gangguan emosional merupakan unsur yang
menentukan dan paling penting untuk terjadinya depersonalisasi.1
Depersonalisasi merupakan fenomena umun dan tidak selalu patlogis.
Penelitian menunjukkan bahwa depersonalisasi dapat terjadi sebanyak 70 persen
dari populasi tertentu, anak-anak sering mengalami depersonalisasi ketika mereka
mengembangkan kemampuan untuk kesadaran diri dan pada orang dewasa sering
mengalami rasa sementara tak nyata ketika mereka melakukan perjalanan ke
tempat-tempat baru dan aneh.4

D. GAMBARAN KLINIS
Gambaran utamanya adalah adanya perubahan persepsi atau
perasaan akan dirinya, dan merasa tidak riil. Mulai dan hilangnya cepat.Ada juga
perasaan hilang pengendalian terhadap tindakan dan bicaranya. Episodenya
berlangsug beberapa menit sampai beberapa jam dan seringkali berulang.1
Gejala-gejala lain yang bisa menyertai adalah pusing-pusing, anxietas,
hipokhondriasis, takut menjadi gila, sering juga perasaan akan waktu terganggu
dan bisa juga ditemukan derealisasi.1
Pada penderita nerosa depersonalisasi terjadi perubahan kesadaran yang
tidak menyenangkan terhadap dunia luar.Ia merasa aneh, barang-barang dan
keadaan yang sudah serung dilihatnya bergerak seperti otomatis atau karena suatu
kekuatan gaib. Diri sendiri dirasakan lain, asing,seperti dalam mimpi atau
mungkin berada diluar tubuhya dan melihat tubuhnya dari atas. Sering penderita
merasa ditinggalkan sendirian, ditolak, tidak disukai, terkurung dari dunia luar.
Suara-suara dan bahasa aslinya terdengar asing baginya.6

4
E. DIAGNOSIS2,5
Untuk diagnosis pasti, harus ada salah satu atau dua-duanya dari
(a) dan (b), ditambah (c) dan (d).7
(a) Gejala depersonalisai, yaitu individu merasa bahwa perasaannya dan /atau
pengalamannya terlepas dari dirinya, jauh, bukan dari dirinya, hilang dan
sebagainya;
(b) Gejala derealisasi, yaitu objek,orang dan/atau lingkungan menjadi seperti
tidak sesungguhnya (unreal), jauh, semu, tanpa warna, tidak hidup dan
sebagainya;
(c) Memahami bahwa hal tersebut merupakan perubahan spontan dan subjectif,
da bukan disebabkan oleh kekuatan luara atau orang lain (insight cukup baik);
(d) Peng-indraan tidak terganggu dan tidak ada “toxic confusional satate” atau
epilepsy.
Harus dapat dibedakan gangguan lain dengan gejala “change of personality”,
seperti skizofrenia (F20); Gangguan disosiatif (F44; Epilepsi lobus temporalis
(Pre/Post-ictal)
Ackner menyebut 4 kriteria untuk diagnose depersonalisasi:6
1.kenyataan yang berubah
2. perubahan yang tidak menyenangkan
3. perubahan persepsi ini bukan suatu waham
4. tidak adanya respons emosional
Pada anak-anak gejala sering salah didiagnosis sebagai skizofrenia. Lebih
mudah mendiagnosis saat anak mencapai usia remaja. Alat srining
pengalaman skala disosiatif, kuesioner disosiatif, angket pengalaman disosiasi
dan tes psikolog, seperti Rorschach, telah digunakan untuk menegakkan
diagnosis.8

F. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa banding antara depersonalisasi sebagai sindrom yang berdiri
sendiri dan berbagai bagian gangguan psikiatrik lainnya tidak sulit.Pada yang
berdiri sendiri individu tidak pernah kehilangan kontaknya dengan realitas. Walu

5
bagimanapun fantastik perubahan yang dialami dan dilaporkan, ia tetap tidak
mempercayainya.1
Depersonalisasi ini penting untuk secepatnya diketahui karena dapat
merupakan tahap permulaan dari psikosis atau neurosis lainnya, atau karena suatu
gangguan organic. Bila gejala-gejala depersonalisasinya jelas dan menonjol,
diagnose sebagai sindrom depersonalisasi mudah. Akan tetapi bila pasien
bukannya mengeluh takut sakit jiwa, melainkan mengeluh anxietas, fobik dan
depresif, maka diagnose harus hati-hati.1
Sebagai diagnose banding:1
- Gejala depersonalisasi tanpa menimbulkan gangguan
- Skizofrenia
- Gangguan afektif
- Gangguan mental organic
- Keadaan (neurosis) cemas
- Gangguan kepribadian
- epilepsi
Depersonalisasi mungkin timbul sebagai gejala pada depresi atau
skizofrenia.Untuk membedakannya dengan gangguan-gangguan itu perlu diambil
anamnesa dan diadakan pemeriksaan psikiatrik yang teliti.Bila yang menonjol
ialah perubahan identitas, maka kemungkinan lebih besar hal itu suatu skizofrenia.
Pada depresi terdapat juga gejala-gejala yang lain. Bila ternyata penderita
memakai obat-obatan psikomimetik (ganja,LSD), maka mungkin inilah
penyebabnya. bila tidak terdapat gejala psikiatrik yang lain, maka perlu diadakan
pemeriksaan lebih lanjut untuk membedakan depersonalisasi sebagai gejala tumor
otak atau epilepsi.6

G. TERAPI
Masih banyak pertanyaan tentang pengobatan sindrom ini, banyak
pasien yang dengan mudah dapat mengatasi gangguan ini setelah mereka
mengetahui dari dokternya bahwa rasa asing yang dialaminya adalah hal yang
dialami pula orang lain. Sedangkan pada pasien lainnya mungkin diperlukan

6
reassurance untuk itu. Menghindari faktor-faktor pencetus seperti kelelahan,
axietas dan obat-obat tertentu dapat menolong.1
Nerosa depersonalisasi kadang-kadang berlangsung lama. Dengan
psikoterapi jangka panjang dan obat-obatan dapat diperoleh kesembuhan
simptomatik, tetapi penderita kadang-kadang masih tetap mengalami serangan-
serangan depersonalisasi itu.1
Secara simptomatik dapat diberikan obat stimulant.Bila terdapat depresi
atau kecemasan dapat diberi antidepressant atau tranquilaizer. Bimbingan yang
baik, psikoterapi suportif individual dan kelompok serta olahraga dapat banyak
membantu pasien dan dapat memberi petunjuk untuk memahami konfliknya.6
Suatu depersonalisasi yang akut dapat dihilangkan dengan
transquilazior.Bila kecemasan hebat, dapat diberi klorpromazin, terutama bila ada
petunjuk mengenai suatu skizofrenia.Bila terdapat depresi, maka diberi
antidepresan.Jika terdapat bahaya bunuh diri, maka sebaiknya diberi terapi
elektrokonvulsi. Bila depersonalisasiya itu hanya merupakan suatu gejala
gangguan lain, maka gangguan yang mendasarinya harus diobati.6

H. PROGNOSIS
Prognosanya bervariasi, beberapa pasien mengalami serangan-
serangan yang berulang dan berlangsung sampai bertahun-tahun,
sementara pasien lain mungkin hanya mengalami sekali serangan saja.
Serangannya ada yang hanya beberapa menit saja, tapi ada yang sampai
berbulan-bulan. Apabila depersonalisasi merupakan bagian sekunder dari
gangguan lain, prognosanya tergantung pada primernya.1

7
BAB III
KESIMPULAN
Depersonalisasi adalah perasaan bahwa tubuh seseorang atau diri pribadi
seseorang adalah asing dan tidak nyata, sementara derealisasi adalah persepsi
objek di dunia luar sebagai asing dan tidak nyata. Perbedaan tersebut
memberikan deskripsi yang lebih akurat untuk masing-masing fenomena
dibandingkan mengelompokkan mereka bersama-sama di dalam bagian
depersonalisasi.
Dalam menegakkan diagnostik gangguan depersonalisasi, digunakan
kriteria diagnostik DSM-IV. Diagnosis mengharuskan adanya episode
depersonalisasi yang persisten atau rekuren yang menyebabkan penderitaan
bermakna pada pasien atau suatu gangguan pada kemampuan mereka untuk
berfungsi dalam hubungan sosial, pekerjaan, atau interpersonal. Gangguan
secara kasar dibedakan dari gangguan psikotik oleh kebutuhan diagnsotik
bahwa tes realitas tetap intak pada gangguan depersonalisasi. Gangguan tidak
dapat didiagnosis jika gejala adalah lebih baik disebabkan gangguan mental
lain, ingesti zat, atau suatu kondisi medis umum.
Meskipun mungkin tidak mungkin untuk mencegah gangguan
depersonalisasi, mungkin akan membantu untuk memulai perawatan pada
orang segera setelah mereka mulai menunjukkan gejala. Selanjutnya,
intervensi cepat setelah peristiwa traumatis atau pengalaman emosional
menyedihkan mungkin membantu mengurangi risiko gangguan disosiatif
berkembang.

8
DAFTAR PUSTAKA
1. R. Budhi Muljanto, Syndrom Depersonalisasi. Majalah Psikiatri,
Yayasan Kesehatan Jiwa Darmawansa, Tahun XVII No.4, Desember
1984;p.72-76
2. Roan, W.E; Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa; Airlangga University
Press; Surabaya; p.274-275.
3. Diagnostic dan Statika Manual of Mental Disorders Third Edition,
American Psychiatric Association Washington, DC. 1987.
4. Sadock, B.J; Sadock, V.A; Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry;
Lippincott Williams & Wilkins; p.87.
5. Michael B.First, Allan T. Clinical Guide To The Diagnosis and
Treatment of Mental Disorders.Wiley; England, 2006; p.375-377.
6. Maramis, W.E; Catatn Ilmu Kedokteran Jiwa; Airllangga University
Press; Surabaya; p.274-275.
7. Dr. Rusli Maslim, Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan ringkas Dari
PPDGJ-III, Jakarta, Juni 2003;p.87
8. Dissociative Disorders in Diagnosis and Statistical Manual of Mental
Disorders. 4th ed. Washingtong. DC; The American Psychiatric
Association, 1994.

Anda mungkin juga menyukai