Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I

PENDAHULUAN

Intubasi endotrakeal merupakan “gold standard” untuk penanganan jalan nafas.


Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami penyumbatan
jalan nafas, kehilangan refleks proteksi, menjaga paru-paru dari sekret agar tidak terjadi
aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas. Intubasi endotrakeal dapat dilakukan melalui
hidung ataupun mulut. Masing – masing cara memberikan keuntungan tersendiri.
Tindakan intubasi endotrakeal selama anestesi umum berfungsi sebagai saraa untuk
menyediakan oksigen (O2) ke paru paru dan sebagai saluran untuk obat-obat anestesi
yang mudah menguap.

Perlengkapan jalan nafas yang ditempatkan ke dalam trakea sudah


diperkenalkan sejak abad ke‐19 ketika dipergunakan untuk resusitasi pada kasus orang
tenggelam. Keterampilan prosedur ini sudah mulai sempurna sejak kira‐kira 100 tahun
yang lalu oleh Chevalier Jackson seorang spesialis otorinolaringologi. Laryngoskop
Jackson telah didesain tetapi secara cepat dimodifikasi oleh ahli anestesiologi untuk
keperluan intubasi endotrakeal. Arthur E. Guedel, Ralph M. Waters, dan Ivan
Macintosh telah secara cepat memanfaatkan pipa trakeal, dipergunakan untuk menjaga
jalan nafas pasien, memberikan ventilasi positif ke dalam paru‐paru, dan akses yang
tepat untuk lapangan operasi pada pembedahan kepala dan leher.

Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter anestesi
adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal,tanpa pengaruh
yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan nafas menjadi salah
satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari
obat‐obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan nafas
berjalan dengan baik. Salah satu usaha untuk menjaga jalan nafas pasien adalah dengan
melakukan tindakan intubasi endotrakeal, yakni dengan memasukkan suatu pipa
kedalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan
dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan nafas selalu bebas dan nafas dapat
berjalan dengan lancar serta teratur.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.I. Anatomi Sistem Respirasi

2.1.1 Saluran Nafas Bagian Atas

a. Rongga hidung

Udara yang dihirup melalui hidung akan


mengalami tiga hal :

 Dihangatkan
 Disaring
 Dan dilembabkan
Yang merupakan fungsi utama dari
selaput lendir respirasi ( terdiri dari :
Psedostrafied ciliated columnar epitelium yang berfungsi menggerakkan partikel
partikel halus kearah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu
hidung, sel goblet dan kelenjar serous yang berfungsi melembabkan udara yang masuk,
pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara). Ketiga hal tersebut dibantu
dengan concha. Kemudian udara akan diteruskan ke :

b. Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius)

c. Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat pangkal lidah)

d. Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan)


3

2.2.2 Saluran Nafas Bagian Bawah

a. Laring

Terdiri dari tiga struktur yang penting

- Tulang rawan krikoid

- Selaput/pita suara

- Epilotis

- Glotis

b. Trakhea

Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾ cincin tulang rawan
seperti huruf C. Bagian belakang dihubungkan oleh membran fibroelastic
menempel pada dinding depan usofagus.

c. Bronkhi

Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat percabangan ini disebut
carina. Brochus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trachea.

Bronchus kanan bercabang menjadi : lobus superior, medius, inferior. Brochus kiri
terdiri dari : lobus superior dan inferior
4

d. Alveoli

Terdiri dari : membran alveolar dan ruang interstisial.

Membran alveolar :

 Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah rongga alveoli


 Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang menghasilkan surfactant.
 Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri yang saling
berhubungan langsung, ini terdiri dari : sel endotel, aliran darah dalam rongga
endotel
Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh : endotel kapiler, epitel
alveoli, saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit serum.
5

2.3. Definisi Intubasi

Intubasi adalah memasukan pipa kedalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Itubasi terbagi menjadi dua yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan
intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa
trakea kedalam trakea melalui rima glotidis dengan mengembangkan cuff,
sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara
dan bifukasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal
melalui nasal dan nasopharing kedalam oropharing sebelum larryngoscopy.

2.4. Tujuan Intubasi Endotrakeal


Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal adalah untuk membersihkan
saluran trakeobronkial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah
aspirasi serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien
operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakeal adalah :
1. Mempermudah pemberian anesthesia.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan.
3. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung ( pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk ).
4. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut.

2.5. Indikasi
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakeal menurut Gisele tahun 2002 antara
lain:
1. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
2. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
3. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
6

4. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat


atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
5. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
6. Trakeostomi.
7. Pada pasien dengan fiksasi vocal cord.
8. Menjaga patensi jalan napas
9. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

2.6. Kesulitan intubasi


Sehubungan dengan manajemen saluran nafas,riwayat sebelum intubasi
seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi
akses jalan nafas melibatkan pemeriksaan keadaan gigi, terutama gigi ompong,
gigi seri atas dan juga gigi seri menonjo. Visualisasi dari orofaring yang paling
sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi Mallampati Modifikasi. Sistem ini
didasarkan pada visualisasi orofaring, pasien duduk membuka mulutnya dan
menjulurkan lidah.
 Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatum mol, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan
mudah intubasi, sedngkan kelas III dan IV terkadang sulit

Gambar 1. Klasifikasi Mallampati


7

Selain sistem Mallampati,temuan lainya telah terbukti menjadi prediktor


yang baik dari kesulitan saluran nafa, diantaranya yaitu :
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas

2.7. Persiapan intubasi endotrakeal


Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan
memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT
sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan
stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT.
Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien
harus setentang dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk
mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk induksi
dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan nafas
yang dalam dengan oksigen 100 %. Persiapan untuk intubasi antara lain :
1. Jalur intravena yang adekuat
2. Obat‐obatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot
3. Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi
4. Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laryngoskop dengan
blade yang tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan, jelly, dan stylet
5. Pastikan lampu laringoskop hidup dan berfungsi serta cuff ETT berfungsi
6. Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan
sirkuit anestesi yang berfungsi
7. Monitor pasien termasuk elektrokardiografi, pulse oksimeter dan tekanan
darah noninvasive
8. Tempatkan pasien pada posisi Sniffing Position selama tidak ada
kontraindikasi
9. Alat‐alat untuk ventilasi
8

10. Alat monitoring karbon dioksida untuk memastikan ETT dalam posisi
yang tepat.

Gambar 2. Alat‐alat Intubasi Endotrakeal

2.8. STATICS (Scope,Tube,Airway,Tape,Introducer,Connector,Suction)


 S: Scope
Yang dimaksud scope disini adalah stetoskop dan laringoskop.
Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop
untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa
trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam
laringoskop
1. Bilah/daun/blade lurus (Miller,Magill) untuk bayi,anak dan dewasa
2. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar,dewasa
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi
adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas
terlihat.
9

Gambar 3. Laringoskopy

 T: Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesi, pipa
trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya
dibuat dari bahan standar

Gambar 4. Tube/Pipa Endotrachea


10

 A: Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan
napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasotracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas

Gambar 5. Macam-Macam Guedel

 T: Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong tau tercabut

Gambar 6. Plester

 I: Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang
dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
11

Gambar 7. Stylet

 C: Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan
bag valve mask atapun peralatan anestesi

 S: Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya

Gambar 8. Suction
12

2.9. Pipa Endotrakeal.

Gambar 8. Murphy tracheal tube.

Pipa endotrakeal digunakan untuk menghantarkan gas anestesi langsung


ke trakea dan memfasilitasi ventilasi dan oksigenasi. Pipa endotrakeal biasanya
terbuat dari plastik Polyvinyl Chlorida yang merupakan cetakan dari bentuk
jalan napas setelah dilembutkan karena terpapar dengan temperature tubuh.
Bahan dari ETT juga harus bersifat radiopaq untuk mengetahui posisi ujung
distal ke karina dan transparan agar dapat dilihat sekresi atau aliran udara yang
dibuktikan oleh adanya pengembunan uap air pada lumen pipa selama
ekshalasi. Bentuk dan rigiditas ETT dapat diubah dengan penggunaan stylet.
Ujung dari pipa dapat dimiringkan untuk membantu penglihatan dan masuknya
melewati pita suara. Pipa Murphy memiliki lubang ( Murphy Eye ) untuk
menurunkan resiko oklusi bagian bawah pipa yang berbatas langsung dengan
carina atau trakea. Resistensi aliran udara terutama tergantung dari diameter
pipa, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang dan lekukan pipa. Ukuran ETT
biasanya didesain dalam millimeter dari diameter internal, atau kadang kadang
dalam skala French ( diameter eksternal dalam millimeter dikalikan 3 ).
Pemilihan diameter pipa selalu berdasarkan antara aliran maksimal dengan
ukuran besar dan trauma jalan napas yang minimal.
13

Tabel 1. Panduan Ukuran Pipa Endotrakeal.

Usia Diameter (mm) Skala French Jarak sampai


bibir
Premature 2,0 – 2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5 – 3,5 12 11 cm
1 - 6 bulan 3,0 – 4,0 14 11 cm
½ - 1 tahun 3,0 – 3,5 16 12 cm
1 – 4 tahun 4,0 – 4,5 18 13 cm
4 – 6 tahun 4,5 – 5,0 20 14 cm
6 – 8 tahun 5,0 – 5,5 22 15 – 16 cm
8 – 10 tahun 5,5 – 6,0 24 16 – 17 cm
10 – 12 tahun 6,0 – 6,5 26 17 – 18 cm
12 – 14 tahun 6,5 – 7,0 28 – 30 18 – 22 cm
Dewasa Wanita 6,5 – 8,5 28 – 30 20 - 24 cm
Dewasa Pria 7,5 – 10 32 -34 20 – 24 cm

2.10. Cuff Sistem Pada Pipa Endotrakeal

Kebanyakan ETT untuk dewasa memiliki system inflasi cuff yang


terdiri dari valve, pilot balloon, inflating tube dan cuff. Valve mencegah udara
keluar setelah pengisian cuff. Pilot balloon menyediakan udara untuk
pengisian cuff dan berfungsi sebagai panduan. Inflating tube berfungsi untuk
menghubungkan valve dengan cuff dan menyatukan dengan dinding pipa.
Dengan menutupi trakea, cuff ETT memberikan tekanan positif dan dapat
mengurangi aspirasi. TT tanpa cuff biasanya digunakan pada anak‐ anak untuk
meminimalisasi resiko trauma akibat tekanan dan batuk setelah intubasi.
Ada dua tipe utama dari cuff ETT yaitu high pressure low volume dan
low pressure high volume. Cuff yang high pressure memiliki hubungan
dengan iskemik dan kerusakan mukosa trakea sehingga kurang cocok untuk
intubasi yang lama. Cuff low pressure kemungkinan dapat meningkatkan nyeri
14

tenggorokan, aspirasi, ekstubasi spontan, dan kesulitan insersi. Karena cuff


low pressure kurang menyebabkan kerusakan mukosa, maka cuff tipe ini lebih
dianjurkan dalam pemakaiannya. Tekanan cuff tergantung dari beberapa
faktor antara lain inflasi volum, diameter cuff dan hubungannya dengan
trakea, regangan cuff dan trakea dan tekanan intra torakal. Tekanan cuff
mungkin meningkat selama anestesi umum yang disebabkan oleh diffus N2O
dari mukosa trakea ke dalam cuff ETT. Cuff high volume low pressure
dikatakan memiliki efek minimal terhadap gangguan mukosa trakea dari pada
cuff high pressure low volume. Cuff low pressure kadang kadang dengan
mudah menjadi over inflasi sehingga menghasilkan tekanan yang akan
melewati tekanan perfusi kapiler.

Gambar 9. Anatomi aliran darah pada sub mukosa Trakea.

RD Seegobin dalam tulisannya menilai tracheal mucosal blood flow


dalam hubungannya dengan tekanan cuff yang berbeda. Pada tekanan 25
cmH2O mukosa anterior dan posterior tampak seragam dan ukuran pembuluh
darah yang normal. Pada tekanan 30 cmH2O mukosa anterior diatas cincin
trakea lebih merah dibandingkan daerah intercartilage. Pada tekanan 40
cmH2O mukosa anterior di atas cincin cartilage sangat pucat. Mukosa
posterior juga pucat. Pada tekanan 50 cmH2O mukosa anterior diatas cincin
trakea menjadi lebih pucat dan tidak tampak aliran darah pada sub mukosa.
Pada tekanan 60‐100 cmH2O tidak ada aliran darah pada sub mukosa.
15

Gambar 10. Efek tekanan cuff pada aliran darah mokosa ke mukosa
trakea anterior a. 30 cmH2O. b. 40 cmH2O. c. 50 cmH2O. d. 100 cmH2O.

Gambar 11. Efek tekanan cuff pada arteriol submukosa posterior. a. 30


cmH2O. b. 40 cmH2O. c. 80 cmH2O. d. 100 cmH2O.
16

Tekanan cuff ETT dihantarkan ke mukosa dan dinding trakea, ketika


tekanannya tinggi dapat menyebabkan iskemik pembuluh darah dan
perubahan‐ perubahan mukosa lainnya seperti, kehilangan siliar, ulkus,
perdarahan, subglotis stenosis, trakeal oesophageal fistel dan granuloma.
Belum ada konsensus yang menyatakan tekanan cuff maksimum untuk
mencegah trakeal injury. Noordin dalam penelitiannya menganjurkan tidak
lebih dari 30 cmHg. Pada percobaan manusia juga dianjurkan tidak lebih dari
30 cmHg. Emanuel Celice Castilho menyatakan dalam kesimpulan
penelitiannya, pada percobaan terhadap hewan percobaan, TT dengan high
volume low pressure diisi dengan udara yang cukup membuat tekanan 25
cmH2O atau tekanan minimal untuk mencegah kebocoran selama ventilasi
menghasilkan minor injury pada mukosa trakea yang kontak dengan cuff, dan
tidak ada perbedaan antara kedua tekanan.

Gambar 12. Alat ukur tekanan cuff ETT, Endotest ® ( RUSCH )

Kadang kadang komplikasi dapat terjadi akibat dari kurangnya


pengisian cuff TT tersebut. Lazimnya high volume low pressure tidak dapat
mencegah mikroaspirasi walaupun tekanan cuff sampai 60 cmH2O, walaupun
beberapa penelitian menyarankan 25 cmH2O sudah cukup. Tanpa adanya
suatu Guideline, banyak clinician mempertimbangkan 20 cmH2O dapat
dibuat menjadi batas bawah untuk tekanan cuff dewasa. Lamholt dkk
merekomendasikan tekanan cuff 25 cmH2O sebagai tekanan minimum untuk
mencegah aspirasi dan kebocoran melalui cuff. Seegobin dan Hasselt
menyimpulkan dalam penelitiannya merekomendasikan tekanan cuff tidak
lebih dari 30 cmH2O, jadi tekanan cuff harus dipertahankan antara 20 – 30
17

cmH2O. Papiya Sengupta dkk dalam akhir penelitiannya menganjurkan


bahwa tekanan cuff harus diukur dengan manometer dan, bila perlu
dikoreksi. Pada penelitian sebelumya menyatakan bahwa tekanan cuff selalu
diluar dugaan bila diukur dengan palpasi manual. Braz dkk menemukan
tekanan cuff sampai 40 cmHg pada 91 % pasien di PACU setelah anestesi
dengan N2O, 55 % pada pasien ICU (Intensive Care Unit) dan 45 % pada
pasien PACU (Post Anesthesia Care Unit) dengan anestesi tanpa N2O. Jose
Reinaldo dkk dalam artikelnya menyimpulkan bahwa tekanan cuff TT di ICU
dan PACU secara rutin sangat tinggi dan sangat signifikan tinggi dengan
penggunaan N2O. tekanan cuff ETT harus rutin diukur untuk
meminimalisasi trauma pada trakea.

2.11. Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi

Gambaran klasik yang benar adalah leher dalam keadaan fleksi ringan,
sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the
air position. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.

Gambar 13. Sniffing Position


18

2.12. Cara Intubasi Endotrakeal


Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan
dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam
rongga mulut. Gagang diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat
uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan
kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang
tampak keputihan berbentuk huruf V. Jeratan bibir antara gigi dan blade
laringoskop sebaiknya dicegah. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan
dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara sampai balon pipa tepat
melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta
untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak
dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi.
Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa
difiksasi dengan plester.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu
ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas
kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa
endotrakeal. Bila terjadi intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat
tanda‐tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri,
kadang‐kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan
nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik
sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke
daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan mengembang,
terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang‐kadang keluar cairan
lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal
tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan
oksigenasi yang cukup.
19

Gambar 14. Cara Intubasi Endotracheal


20

2.13. TEKNIK PEMASANGAN ET PADA DEWASA


1. Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai prosedur tindakan
yang akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan mintalah
persetujuan dari penderita atau keluarga ( informed consent)
2. Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih
pipa endotrakeal ( ET) yang sesuai ukuran. Masukkan stilet ke dalam pipa
ET. Jangan sampai ada penonjolan keluar pada ujung balon, buat
lengkungan pada pipa dan stilet dan cek fungsi balon dengan
mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika fungsi baik, kempeskan balon.
Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah cuff.
3. Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di oksiput
dan pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur cervical dapat
disingkirkan)
4. Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring dan berikan
semprotan bensokain atau tetrakain jika pasien sadar atau tidak dalam
keadaan anestesi dalam.
5. Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan Fi O2
100 %.
6. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang
laringoskop.
7. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah
kanan, sisihkan lidah ke kiri. Masukkan bilah sedikit demi sedikit sampai
ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah atau bibir
tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien.
8. Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30 samapi 40
sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik
tumpu.
9. Bila pita suara sudah terlihat, tahan tarikan / posisi laringoskop dengan
menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan. Masukkan pipa ET
dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian proksimal dari cuff ET
melewati pita suara ± 1 – 2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman
pipa ET ±19 -23 cm.
21

10. Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5 – 10
ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.
11. Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil
melakukan auskultasi ( asisten), pertama pada lambung, kemudaian pada
paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada.Bila
terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak mengembang, berarti
pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan pipa harus diulangi setelah
melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Berkurangnya bunyi
nafas di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam
bronkus utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET.
12. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan
menggunakan spuit 10 cc.
13. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut.
14. Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika mulai
sadar.
15. Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % ( aliran 10 sampai 12 liter
per menit).
22

2.14. TEKNIK PEMASANGAN ET PADA BAYI


1. Memilih dan menyiapkan pipa ET. Pipa ET sekali pakai ( disposable)
ukuran disesuaikan dengan berat badan bayi. Perbandingan berat badan
bayi dengan ukuran pipa ET yang dibutuhkan Berat (gram) Ukuran pipa
ET (mm) < 1000 2,5 1000 – 2000 3,0 2001 – 3000 3,5 > 3000 4,0 Pipa ET
dipotong secara diagonal pada angka 13, sambungkan dengan sambungan
yang sesuai. Agar pipa lebih kaku dan mudah dilegkungkan, masukkan
stilet yang ujungnya tidak melebihi panjang pipa ET.
2. Menyiapkan laringoskop Pilih laringoskop dengan lidah / daun lurus, no.
1 ( cukup bulan) dan 0 ( kurang bulan). Pasang daun laringoskop pada
pegangannya. Hidupkan lampu laringoskop, periksa lampu dan batere-nya
3. Menyiapkan perlengkapan lain Alat dan kateter penghisap no 10 F.
Balon dan sungkup , sumber oksigen 100 %, stetoskop, plester.
4. Posisi bayi Kepala sedikit ekstensi / tengadah Untuk anak di atas 2 tahun,
posisi optimal dapat dicapai dengan meletakkan ganjal pada kepala anak,
kemudian melakukan sniffing position. Pada bayi hal ini tidak perlu
dilakukan karena oksiput bayi yang prominen . Pada trauma leher ,
intubasi harus dilakukan dalam posisi netral.
5. Menyiapkan pemasukan laringoskop.
a. Penolong berdiri di sisi atas kepala bayi.
b. Nyalakan lampu laringoskop
c. Pegang laringoskop dengan ibu jari dan ketiga jari tangan kiri ( normal
atau pun kidal ), arahkan daun laringoskop ke sisi berlawanan dengan
penolong.
d. Pegang kepala bayi dengan tangan kanan.
6. Memasukkan daun laringoskop
a. masukkan daun laringoskop antara palatum dan lidah
b. ujung daun laringoskop dimasukkan menyusuri lidah secara perlahan ke
pangkallidah sampai vallecula ( lekuk antara pangkal lidah dan epiglotis)
23

7. Melihat glottis
a. angkat daun laringoskop dengan cara mengangkat seluruh laringoskop ke
arah batang laringoskop menunjuk, lidah akan terjulur sedikit sehingga
terlihat faring.
b. Menentukan letak dan posisi daun laringsokop :

Tabel 3. Tanda penunjuk tampilan laring melalui laringoskop apabila terpasang dengan
benar, kurang dalam, dan terlalu dalam

Letak Tanda Petunjuk


Benar Glottis tampak di sebelah atas dengan muara
di bawah
Kurang dalam Lidah terlihat menutupi daun
Terlalu dalam Terlihat dinding esofagus
Lebih ke kiri Di belakang faring terlihat sebagian trakea
disamping

c. Penekanan di daerah laring akan memperlihatkan glottis, dengan


menggunakan jari ke -4 dan ke-5 tangan kiri . atau dilakukan asisten dengan
telunjuk

8. Batasan waku 20 detik Tindakan dibatasi 20 detik untuk mencegah hipoksia.


Sambil menunggu, bayi diberikan VTP dengan oksigen 100 %.

9. Memasukkan pipa ET

a. Glottis dan pita suara harus terlihat. Pipa ET dipegang dengan tangan kanan,
dimasukkan dari sebelah kanan mulut.

b. Tetap melihat glottis, dimasukkan waktu pita suara terbuka. Jika dalam 20
detik pita suara belum terbuka, hentikan, sementara lakukan VTP.

c. Masukkan pipa ET di antara pita suara, sampai sebatas garis tanda pita suara,
ujung pipa pada pertengahan pita suara dan karina.Hindari mengenai pita
suara, dapat mengakibatkan spasme.
24

10. mengeluarkan laringoskop.


a. Pipa ET dipegang dengan tangan kanan, bertumpu pada muka bayi,
tekan ibir.
b. Laringoskop dikeluarkan dengan tangan kiri tanpa mengganggu atau
menggeser pipa ET.
c. Cabut stilet dari pipa ET
11. Memastikan letak pipa ET
a. Sambil memegang pipa ET pada bibir, pasang sambungan pipa ke balon
resusitasi dan lakukan ventilasi sambil mengamati dada dan perut bayi.
b. Jika letak ET benar akan terlihat :
o dada mengembang
o perut tidak mengembung
c. Mendengarkan suara nafas dengan menggunakan stetoskop di dada atas
kiri dan kanan. Jika letak ET benar : - udara masuk ke kedua sisi dada -
suara nafas kiri = kanan

12. Letak pipa ET

a. Pipa ET tepat di tengah trakea :

o kedua sisi dada mengembang sewaktu melakukan ventilasi


o suara nafas terdengar sama di kedua sisi dada
o tidak terdengar suara di lambung
o perut tidak kembung
b. pipa Et terletak di bronkus
o suara nafas hanya terdengar di salah satu sisi paru
o suara nafas terdengar tidak sama keras
o tidak terdengar suara di lambung
o perut tidak kembung
c. pipa ET terletak di esofagus
o tidak terdengar suara nafas di kedua dada atas
o terdengar suara udara masuk lambung
o perut tampak gembung Tindakan : Cabut pipa ET , beri VTP
degnan balon dan sungkup, ulangi intubasi pipa ET.
25

13. Fiksasi pipa ET Perhatikan tanda cm pada pipa ET setinggi batas bibir
atas. Tanda ini digunakan untuk :
o mengetahui apakah pipa ET berubah letaknya
o jarak pipa ET ke bibir menentukan dalamnya pipa Fiksasi pipa ET
ke wajah bayi dengan plester.

2.15. Beberapa keadaan yang menyebabkan pengembangan paru tidak adekuat


dengan masker resusitasi dan pipa ET

 pipa ET terlalu kecil


 katup pelindung kelebihan tekanan pada balon resusitasi lupa ditutup,
hingga udara tekan keluar melalui katup ini
 kebocoran pada konektor
 volume tidal yang diberikan kurang
 sumbatan pada pipa ET
 pneumothorax

2.16. Nyeri Tenggorokan pasca general anestesi intubasi endotrakeal


Nyeri tenggorokan adalah rasa tidak nyaman, sakit, atau rasa gatal di
tenggorok dan menyebabkan rasa sakit pada saat menelan. Nyeri tenggorokan
setelah operasi merupakan nyeri inflamasi yang terjadi pada 90 % pasien
dengan intubasi endotrakeal. Faktor faktor yang menyebabkan termasuk
ukuran ETT dan jenis cuff yang digunakan menunjukkan faktor penting
sebagai penyebab. Penyebab utama adalah iritasi oleh pengisian cuff pipa
endotrakeal pada mukosa trakea. Hal tersebut sering terjadi pada bagian
posterior pita suara, daerah medial aritenoid dan posterior dari krikoid serta
bagian anterior dari trakea. Cuff pipa endotrakeal diimplikasikan sebagai
penyebab dari kerusakan yang serius pada mukosa trakea akibat intubasi yang
lama. Penggunaan tekanan tinggi pada mukosa trakea juga dapat menyebabkan
nyeri tenggorokan. Intubasi endotrakeal rutin pada pembedahan elektif dapat
26

menyebabkan perubahan patologis, trauma dan kerusakan syaraf dimana pada


akhirnya menyebabkan nyeri tenggorokan.
Sebuah penilitian terhadap aliran darah mukosa trakea pada kelinci
menunjukkan cuff dengan high pressure low volume dengan tekanan sampai
>30 mmHg (39 cmH20) menyebabkan mukosa trakea menjadi iskemik.
Penggunaan tekanan yang tinggi pada mukosa trakea sangat berperan terhadap
terjadinya nyeri tenggorokan setelah operasi. Ketika cuff dengan dinding tipis,
low pressure diperkenalkan, aliran darah tidak terganggu dalam tekanan 18-120
mmHg,walaupun demikian tekanan cuff yang direkomendasikan harus
dipertahankan pada tekanan <20 mmHg (26cmH2O). Tekanan cuff yang lebih
dari 30 cmH2O dalam waktu 15 menit cukup untuk menyebabkan perubahan
histology pada mukosa trakea dengan low pressure high volume dapat
menyebabkan tekanan yang tinggi pada mukosa trakea pada penggunaan N2O
disebabkan oleh N20 yang dapat berdiffusi kedalam cuff ETT. Walaupun
tergolong dalam komplikasi minor nyeri tenggorokan setelah operasi dapat
menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya nyeri
tenggorokan paska intubasi,yaitu faktor pasien dan faktor peralatan persiapan,
faktor yang berhubungan dengan pasien adalah usia, jenis kelamin, kesulitan
intubasi dan pasien dengan penyakit kronis. Pada penyakit kronis berhubungan
dengan penurunan perfusi jaringan sehingga lebih mudah terjadi nekrosis
jaringan dan ulserasi.

2.17. Komplikasi
1. Trauma gigi geligi
2. Laserasi bibir, gusi, laring
3. Merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardi)
4. Intubasi esofagus
5. Aspirasi
6. Spasme bronkus
27

BAB III
KESIMPULAN

Intubasi adalah memasukkam suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui
hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Tujuanya adalah
pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask, pemberian
nafas buatan secara mekanik (respirator) memungkinkan pengisapan secret secara
adekuat, mencegah aspirasi lambung dan pemberian oksigen dengan adekuat

Airway merupakan komponen terpenting dalam menjaga keadaan vital pasien,


sehingga dalam keadaan gawat darurat komponen inilah yang pertama kali
dipertahankan. Salah satu cara menjaga patensi saluran napas (airway) tersebut adalah
dengan intubasi. Sehingga teknik intubasi harus dikuasai dengan benar dari mulai
indikasi sampai dengan komplikasi – kompilkasinya.
28

DAFTAR PUSTAKA

1. Price,S.A.(2003).Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.(Ed ke-6).


Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC
2. Sherwood, L. (1996). Fisiologi manusia: dari sel ke sistem (Terj. Brahm. U.
Pendit) Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
3. Desai,Arjun M.2010 Anesthesiology. Stanford University School of Medicine.
4. Ron M. Walls, Michael F. Murphy “emergency airway management” Third
Edition
5. Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI: Jakarta.
Universitas Indonesia. 2007
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In: Morgan GE,
Mikhail MS, Murray MJ, Editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. USA, McGr
aw-Hill Companies, Inc.2006
7. Greenberg MS, Glick M. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment. 10th
ed. Ontario: BC Decker Inc, 2003

Anda mungkin juga menyukai