Anda di halaman 1dari 23

PERKOSAAN

Amil B.J, Chici E.P, Miranty A.H

A. PENDAHULUAN
Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari
kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, mempunyai
kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik; yaitu di dalam upaya
pembuktian bahwa kejahatan tersebut memang benar terjadi. Adanya kaitan
antara ilmu kedokteran dengan kejahatan seksual dapat dipandang sebagai
konsekuensi dari pasal-pasal di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) serta KUHAP (Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana) yang
memuat ancaman hukuman serta tata cara pembuktian pada setiap kasus yang
termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan seksual tersebut. 1
Dalam upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada setiap kasus
kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam pembuktian ada tidaknya
tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan, perkiraan umur
serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau sudah
mampu untuk dikawin atau tidak. 2
Pemeriksaan kasus pemerkosaan atau pesetubuhan yang merupakan
tindak pidana, hendaknya dilakukan dengan teliti dan waspada. Pemeriksa
harus yain akan semua bukti yang telah ditemukan karena tidak ada
kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih
banyak bukti. Dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter hendaknya
tidak meletakkan kepentingan korban di bawah kepentingan pemeriksaan.
Terutama jika korban merupakan anak-anak, pemeriksa sebaiknya tidak sampai
menambah trauma psikis yang sudah dideritanya. 2
Visum et Repertum yang dihasilkan mungkin menjadi dasar untuk
membebaskan terdakwa dari penuntutan atau sebaliknya untuk menjatuhkan
hukuman. Di Indonesia, pemeriksaan korban persetubuhan yang diduga
merupakan tindak kejahatan seksual umumnya dilakukan oleh dokter ahli Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan, kecuali di tempat yang tidak ada doter
ahli tersebut, maka pemeriksaan harus dilakukan oleh dokter umum. 3

B. DEFENISI
Pemerkosaan dalam kosakata bahasa Indonesia yang berarti
“menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan atau
menggagahi”. Berdasarkan pengertian tersebut maka perkosaan mempunyai
makna yang luas yang tidak hanya terjadi pada hubungan seksual (sexual
intercouse) tetapi dapat terjadi dalam bentuk lain seperti pelanggaran hak asasi
manusia yang lainnya.4
Menurut KUHP pasal 285, Perkosaan adalah dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk
dalam kategori kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan
atau tidak berdaya (pasal 89 KUHP). 4,5
Dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: ”barangsiapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Pemerkosaaan tidak hanya
menghilangkan keperawanan seorang perempuan, namun telah memberi
dampak besar bagi korban antaranya; (1) pengucilan dalam keluarga, (2)
pengucilan dalam masyarakat, (3) hilangnya rasa percaya diri korban
dikarenakan kesucian sebagai salah satu indentitas diri perempuan telah hilang,
dan (4) hilangnya hak dalam mengeyam pendidikan. Dampak psikologis bagi
korban sangat besar, korban depresi dan juga bisa berakhir bunuh diri akibat
beban mental yang dialami. Secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah
terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut
tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang
dinamakan perkosaan adalah :
a. Suatu hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita tanpa
persetujuannya.
b. Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita
yang dilakukan dengan cara paksaan dan bertentangan dengan kemauan
wanita yang bersangkutan.
c. Perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap
seorang wanita yang bukan isterinya atau tanpa persetujuanya, dilakukan
ketika wanita tersebut ketakutan.

C. UNDANG-UNDANG TENTANG KEJAHATAN SEKSUAL


Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh
undang-undang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada bab XIV
KUHP, yaitu bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan; yang meliputi baik
persetubuhan di dalam perkawinan maupun persetubuhan di luar perkawinan.
 KUHP pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
 KUHP pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
 KUHP pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya
belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa
belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya
wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah suatu hal
tersebut pasal 291 dan pasal 294.
 KUHP pasal 288
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di dalam perkawinan,
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum mampu
dikawin, diancam, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara
paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.1,4

D. PEMERIKSAAN DAN PEMBUKTIAN DALAM KASUS PERKOSAAN


1. Pemeriksaan
Dalam penanganan korban (hidup) perkosaan, dokter memiliki peran
ganda yaitu sebagai pemeriksa yang membuat visum et repertum (VeR)
serta tenaga medis yang mengobati dan merawat korban.1
Pemeriksaan secara medis pada korban perkosaansebaiknya dilakukan
secara cepat dan tertutup pada tempat pemeriksaan terpisah. Segera tangani
korban dengan keadaan kritis dan lakukan pemeriksaan forensik setelah
keadaan stabil. Korban sebisanya tidak pergi ke kamar mandi, mandi,
makan, atau minum sampai pemeriksaan selesai. Keluarga, teman, perawat,
atau petugas dapat menemani bila perlu. Yang penting, korban tidak
ditinggalkan sendirian, tetapi ditemani orang yang juga berperan sebagai
saksi dalam pemeriksaan. Yakinkan korban tentang keamanannya dan
jelaskan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.1,2,3
 Anamnesis :
 Umur

 Status perkawinan
 Haid : siklus dan hari pertama haid terakhir
 Penyakit kelamin dan kandungan
 Penyakit lain seperti ayan dan lain-lain
 Riwayat persetubuhan sebelumnya, waktu persetubuhan terakhir dan
penggunaan kondom
 Waktu kejadian
 Tempat kejadian
 Ada tidaknya perlawanan korban
 Ada tidaknya penetrasi

 Ada tidaknya ejakulasi

 Tanyakan kepada pasien :


- Telah mandi, membersihkan diri, mengganti pakaian, atau minum
obat-obatan sejak kejadian tersebut.
- Apakah korban pingsan dan tanyakan penyebabnya . hal ini untuk
membedakan apakah korban pingsan karena ketakutan atau dibuat
pingsan dengan obat tidur atau obat bius.
 Pemeriksaan fisik
a) Korban
Pemeriksaan pakaian :
 Robekan lama / baru / memanjang / melintang
 Kancing putus
 Bercak darah, sperma, lumpur dll.
 Pakaian dalam rapih atau tidak
 Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence
Pemeriksaan badan :
 Umum :
- Rambut atau wajah rapi atau kusut.
- Emosi tenang atau gelisah
- Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah
- Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan,
paha
- Trace evidence yang menempel pada tubuh
- Perkembangan seks sekunder
- Tinggi dan berat badan
- Pemeriksaan rutin lainnya
 Genitalia :
- Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar
anus(dapat akibat zat iritan, infeksi atau iritan)
- Adesi labia ( mungkin akibat iritasi atau rabaan)
- Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi,
infeksi atau karena traksi labia mayor pada pemeriksaan)
- Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal)
- Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna)
- Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)
- Kongesti vena atau pooling vena (juga ditemuka pada
konstipasi)
- Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain,
seperti uretra, atau mungkin akibat infeksi vagina, benda asing
atau trauma yang aksidental).
- Pemeriksaan selaput darah.
 Pemeriksaan Ekstra-Genital
- Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat
pada tubuh
- Deskripsi luka
- Pemeriksa rongga mulut pada kasus oral sex
- Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma
- Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari tubuh
pelaku
Bentuk Keterangan Bentuk Hymen Keterangan
Hymen
Hymen anular dimana lubang
Hymen yang jarang,
hymen, berbentuk cincin. ketika
hymen subsepta, mirp
hymen mulai robek entah oleh
dengan hymen
karena hubungan seksual atau
bersepta hanya septa
aktivitas lain, maka lubang
tidak menyebrangi
tersebut tidak berbentuk cincin
seluruh lubang vagina
lagi.

Hymen cribriform
yang
Hymen crescentic, atau
jarang,dikarakteristik
lunar.Berbentuk bulan sabit
kan oleh beberapa
lubang kecil

Hymen denticular
Hymen seorang wanita yang yang jarang,
pernah melakukan hubungan berbentuk seperti satu
seksual atau masturbasi set gigi yang
beberapa kali. mengelilingi lubang
vagina

Hymen fimbria yang


Hymen seorang wanita yang jarang, dengan
hanya pernah melakukan bentuk yang ireguler
aktivitas seksual sedikit atau mengelilingi lubang
pernah kemasukan benda. vagina

Vulva dari seorang wanita yang


Hymen yang terlihat
pernah melahirkan. Hymen
seperti bibir vulva
secara lengkap hilang atau
hampir hilang seluruhnya
Beberapa gadis lahir
hanya dengan lubang
Satu dari 2000 anak perempuan
sempit pada hymen
dilahirkan dengan hymen
sehingga memerlukan
imperforate
operasi

Hymen bersepta yang jarang


sekali oleh karena adanya
jembatan yang menyeberangi
lubang vagina

Tabel 1. Jenis Hymen berdasarkan bentuk.4

b) Pelaku
 Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan,
dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans
penis. Pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya penyakit
kelamin.
 Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan
sebagainya.Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian
sehingga tidak perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena
kemungkinan berasal dari darah deflorasi. Penentuan golongan darah
penting untuk dilakukan. Trace evidence pada pakaian yang dipakai
ketika terjadi persetubuhan harus diperiksa. Jika fasilitas pemeriksaan
tidak ada, kirim ke laboratorium forensik di kepolisian atau bagian
Ilmu Kedokteran Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat berita acara
pembungkusan dan penyegelan.
2. Pembuktian dalam kasus perkosaan
Menurut Idries, terdapat beberapa hal penting yang harus ditentukan
dan dievaluasi pada korban kejahatan seksual, yaitu :3
a. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan
Persetubuhan adalah suatu peristiwa dimana alat kelamin laki-laki
masuk ke dalam alat kelamin perempuan, sebagian atau seluruhnya dan
dengan atau tanpa terjadinya pancaran air mani, sehingga besarnya zakar
dengan ketegangannya, sampai seberapa jauh zakar masuk, keadaan
selaput dara serta posisi persetubuhan mempengaruhi hasil pemeriksaan.3
Tidak terdapatnya robekan pada hymen, tidak dapat dipastikan
bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi, sebaliknya adanya robekan
pada hymen hanya merupakan pertanda adanya sesuatu benda (penis atau
benda lain), yang masuk ke dalam vagina.3
Apabila pada persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan
ejakulat tersebut mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam
liang vagina merupakan tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila
ejakulat tidak mengandung sperma maka pembuktian adanya
persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap
ejakulat tersebut. Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat
diperiksa adalah enzim asam fosfatase, kholin dan spermin. Ketiganya
bila dibandingkan dengan sperma, nilai untuk pembuktian lebih rendah
oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun demikian
enzim fosfatase masih dapat diandalkan, oleh karena kadar asam
fosfatase yang normalnya juga terdapat dalam vagina, kadarnya jauh
lebih rendah bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang berasal dari
kelenjar prostat.3
Dengan demikian, apabila pada kejahatan seksual yang disertai
dengan persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan
sendirinya pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik
tidak mungkin dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya
dokter tidak dapat secara pasti pula menentukan bahwa pada wanita tidak
terjadi persetubuhan. Maksimal dokter harus mengatakan bahwa pada
diri wanita yang diperiksa itu tidak ditemukan tanda-tanda persetubuhan,
yang mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak ada
persetubuhan, dan kedua, persetubuhan ada tetapi tanda-tandanya tidak
dapat ditemukan.3
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti, maka
perkiraan saat terjadinya persetubuhan harus pula ditentukan. Hal ini
menyangkut masalah alibi yang sangat penting di dalam proses
penyidikan. Sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak dalam
waktu 4-5 jam setelah persetubuhan. Sperma masih dapat ditemukan
tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam setelah persetubuhan pada
korban yang hidup. Sedangkan pada orang yang mati sperma masih dapat
ditemukan dalam vagina paling lama sampai 7-8 hari setelah
persetubuhan. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat
ditentukan dari proses penyembuhan selaput dara yang robek, yang pada
umumnya penyembuhan akan dicapai dalam waktu 7-10 hari setelah
persetubuhan.1-3

Penyebab Hasil pemeriksaaan yang diharapkan


o Robekan pada selaput dara
Penetrasi zakar
o Luka-luka pada bibir kemaluan dan dinding vagina
o Sperma di dalam vagina
Pancaran air mani
o Asam fostase, kholin dan sperma di dalam vagina
(ejakulasi)
o Kehamilan
o G.O. (kencing nanah)
Penyakit kelamin
o Lues (sifilis)
Tabel 2. Hasil pemeriksaan yang diharapkan pada korban kejahatan seksual.3

b. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan


Beberapa lokasi luka yang sering ditemukan untuk pembuktian
adanya kekerasan yaitu pada daerah mulut dan bibir, leher, puting susu,
pergelangan tangan, pangkal paha serta di sekitar dan pada alat genital,
dan biasanya berbentuk luka-luka lecet bekas kuku, gigitan serta luka
memar.1-3
Di dalam hal pembuktian adanya kekerasan, tidak selamanya
kekerasan tersebut meninggalkan jejak atau bekas berbentuk luka. Oleh
karena itu tidak ditemukannya luka tidak berarti bahwa tidak terjadi
kekerasan, sehingga penting bagi dokter untuk berhati-hati
mengggunakan kalimat tanda-tanda kekerasan dalam VeR yang dibuat.
Oleh karena tindakan pembiusan dikategorikan pula sebagai tindakan
kekerasan maka diperlukan pemeriksaan toksikologi pada korban untuk
menentukan ada tidaknya obat atau racun yang kiranya dapat membuat
wanita menjadi pingsan. 1-3
c. Memperkirakan umur
Tujuan pemeriksaan untuk memperkirakan umur korban salah
satunya mengacu pada pasal 287 KUHP bahwa” barang siapa yang
bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum
lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya
untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun”. Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang
menurut undang-undang belum cukup umur. Jika umur korban belum
cukup 15 tahun tetapi sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan
bila ada pengaduan dari yang bersangkutan (delik aduan). 1-3
Selain itu, pentingnya memperkirakan umur korban juga
didasarkan pada pasal 81 Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak, bahwa:4
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pada kasus dimana umur korban belum jelas, maka memperkirakan


umur merupakan pekerjaan yang paling sulit, karena tidak ada satu
metodepun yang dapat memastikan umur seseorang dengan tepat.
Dengan teknologi kedokteran yang canggih pun maksimal hanya sampai
pada perkiraan umur saja.1-3
Perkiraan umur dapat diketahui dengan melakukan serangkaian
pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder,
pertumbuhan gigi, fusi atau penyatuan dari tulang-tulang khususnya
tengkorak serta pemeriksaan yang memerlukan berbagai sarana serta
keahlian seperti pemeriksaan keadaan pertumbuhan gigi atau tulang
dengan menggunakan rontgen. 1-3
Dalam menilai perkiraan umur, dokter perlu menyimpulkan apakah
wajah dan bentuk badan korban sesuai dengan yang dikatakannya.
Keadaan perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan
perlu dikemukakan. Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2
(molar ke-2) sudah tumbuh (terjadi pada umur kira-kira 12 tahun,
sedangkan molar ke-3 akan muncul pada usia 17-21 tahun atau lebih).
Juga harus ditanyakan apakah korban sudah pernah menstruasi bila umur
korban tidak diketahui. 1-3
Selain itu perkiraan umur pada korban kejahatan seksual adalah
dengan memperhatikan ciri-ciri seks sekunder. Dalam hal ini termasuk
perubahan pada genitalia, payudara dan tumbuhnya rambut-rambut
seksual yang pertama tumbuh hampir selalu di daerah pubis.2,3,5
Sexual Maturation Rate (SMR) atau dikenal juga dengan Tanner
Staging merupakan penilaian ciri seks sekunder. SMR didasarkan pada
penampakan rambut pubis, perkembangan payudara dan terjadinya
menarke pada perempuan. SMR stadium 1 menunjukkan pertumbuhan
dan perkembangan prapubertal, sedangkan stadium 2-5 menunjukkan
pubertas progress. SMR stadium 5 pematangan seksual sudah sempurna.
Pematangan seksual berhubungan dengan pertumbuhan liniar, perubahan
berat badan dan komposisi tubuh, dan perubahan hormonal.
d. Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin
Menentukan pantas tidaknya korban buat dikawin diperlukan untuk
menentukan pasal mana yang paling tepat dikenakan bagi si pelaku.
Sebab, bila korban dikawin disaat ia belum memenuhi syarat secara
hukum dan undang-undang yang berlaku, maka si pelaku harus dipidana.
Terlebih lagi apabila korban masih di bawah umur, maka pelaku dapat
dikenakan sanksi sesuai pasal dalam KUHP maupun Undang-Undang
nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.1-3
Penentuan pantas tidaknya seseorang untuk dikawin sangat
tergantung dari banyak hal, salah satunya dari segi mana seseorang
tersebut ingin dilihat, apakah dari segi biologis, sosial atau sebagai
manusia seutuhnya serta berdasarkan undang-undang yang berlaku.1
Secara biologis jika persetubuhan dilakukan untuk mendapatkan
keturunan, pengertian pantas tidaknya buat kawin tergantung dari apakah
korban telah siap untuk dibuahi yang dimanifestasikan dengan sudah
pernah mengalami menstruasi atau belum. Bila dilihat dari segi
perundang-undangan, yaitu undang-undang perkawinan pada Bab II
(Syarat-syarat perkawinan) pada pasal 7 ayat (1) berbunyi: “perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dengan demikian terbentur lagi
pada masalah penentuan umur korban.4
E. PENATALAKSANAAN KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL MENURUT
WHO
Pemeriksaan fisik dari kepala hingga kaki pada pasien harus dilakukan
secara sistematis.

Gambar 3. Pemeriksaan Fisik “Top to toe”6

Tahapan Keterangan
Tahap I  Catat keadaan umum dan sikap pasien
 Mulai pemeriksaan dari tangan, karena membuat pasien merasa aman.
 Pemeriksa tanda vital
 Lihat kedua tangan pasien. Adakah terdapat luka? Bekas ikatan pada
pergelangan tangan? Catat jika terdapat bukti jejas
Tahap II  Pada lengan bawah : perhatikan adakah luka tangkisan saat pasien
mengangkat lengannnya? Adanya luka memar, lecet, robek, dan tusuk.
 Pada orang kulit hitam luka memar sulit dilihat dengan demikian rasa nyeri
dan pembengkakan merupakan bukti yang penting. Tusukan jarum
intravena harus dicatat juga.

Tahap III Lengan atas : permukaan dalam lengan atas dan ketiak di amati dengan hati-
hati jika terdapat luka memar.
Adanya memar pada lengan atas sering ditunjukan jika korban menahan
tangannya. Jika pakaian ditarik ke atas, dapat terlihat segaris bercak merah.
Tahap IV Wajah : apakah terdapat perdarahan pada hidung? Lakukan rabaan secara
gentle pada daerah rahang, mata, apakah terdapat nyeri yang menandakan
adanya memar.
Mulut : dilihat secara hati-hati dan di amati apakah terdapat luka memar, lecet
pada mukosanya, atau adanya gigi patah?. Adanya bercak perdarahan pada
atap mulut menandakan adanya penetrasi.Lakukan swab oral jika ada
indikasinya.
Tahap V Telinga : daerah belakang telinga apakah apakah terdapat bayangan memar,
gunakan otoskop untuk melihat gendang telinga
Tahap VI Kulit : raba kulit kepala untuk adakah pembengkakan ataupun nyeri, curiga
adanya hematoma.
Jika terdapat rambut rontok, harus dikumpulkan dengan sarung tangan.
Tahap VII Leher : jika terdapat memar dapat menunjukkan serangan ganas.Jejak memar
dapat dilihat dari kalung dan perhiasan pada telinga dan leher.
Memar bekas gigitan harus di catat dan lakukan swab air liur sebelum
menyentuh leher pasien
Tahap VIII
Tahap IX Perut : Pasien berbaring, lihat apakah terdapat luka.Perabaan pada daerah
perut harus dilakukan kecuali ada cedera internal atau untuk mendeteksi
kehamilan.
Tahap X Kaki : di mulai dari bagian depan kaki.
Paha bagian dalam : adakah luka memar bekas jari-jari pelaku dan adanya
trauma tumpul.Pola luka memar biasanya simetris.
Lutut : adakah luka lecet di lutut pasien.
Pergelangan kaki : Sangat pentinguntuk melihat adanya perlawanan.Telapak
kaki juga penting di periksa.
Tahap XI Disarankan, jika mungkin lakukan pemeriksaan belakang kaki dan
pemeriksaan bokong.
Beberapa bukti harus dikumpulkan menggunakan kapas basah ( seperti
semen, air liur dan darah ) atau pinse ( untuk rambut, rumput, dan tanah.
Adanya tato juga harus didokumentasikan dalam catatan pemeriksa
bersamaan dengan deskripsi singkat tentang ukuran dan bentuk tato.
Lampu wood digunakan untuk mendeteksi adanya semen pada kulit .
Tabel 3. Tahapan pemeriksaan fisik pada korban pejahatan seksual.6
 Pemeriksaan Genito-Anal
Pasien harus berbaring terlentang dengan posisi litotomi. Pencahayaan
harus diarahkan ke daerah vulva pasien.Cedera pada daerah genital atau anal
dapat menyebabkan rasa sakit ketika disentuh.Pada beberapa kasus daerah
pemeriksaan dapat terbatas, selain itu pemberian analgetik mungkin
diperlukan.6

Gambar 4. Pemeriksaan rutin genito-anal.6

Trauma genitalia dan anus perempuan dapat disebabkan akibat


paksaan penetrasi. Penetrasi dapat berupa penis yang ereksi ataupun
semiereksi, bagian tubuh lain seperti jari dan lidah, atau benda lainnya.
Daerah frenulum posterior , labia mayora dan minora, hymen dan perianal
merupakan lokasi cedera yang paling sering ditemukan.6 Klasifikasi luka,
tergantung pada karakteristiknya dapat memungkinkan beberapa
kesimpulan untuk menggambarkan penyebabnya.Kekerasan dapat
menyebabkan banyak jenis luka, bergantung pada jenis kekerasan yang
menyebabkannya.6
Tahapan Keterangan
Tahap I Periksa genital bagian luar dan anus.
Inspeksi : mons pubis,vestibula vagina seperti pada labia mayora, labia minora,
klitoris, selaput dara atau sisa-sisa selaput dara, dan perineum.
Swab pada genitalia bagian luar dilakukan sebelum pemeriksaan spekulum.
Peregangan pada daerah labium pudenda dapat mengalami luka dan sulit untuk
dilihat karena tertutup adanya pembengkakan jaringan mukosa. Secara gentle
tariklah labia untuk melihat hymen.
Tahap II Swab secara hati-hati jika terdapat darah segar, lihat asal darah tersebut apakah
dari vulva atau dari bagian dalam vagina.
Tahap III Dengan speculum, periksa pada dinding vagina, apakah ada tanda cedera,
termasuk luka lecet atau luka memar.(penggunaan spekulum plastik transparan
sangat membantu melihat dinding vagina). Selain itu, juga periksa kanalis
endoservikalis.
Bukti seperti benda asing dan rambut mungkin dapat ditemukan dan
dikumpulkan.
Kejadian > 24 jam - < 96 jam : pemeriksaan endoservikal kanal swab sebaiknya
dilakukan terlebih dahulu untuk pemeriksaan semen. Jika pemeriksaan
spekulum tidak bisa dilakukan (karena pasien menolak) masih memungkinkan
untuk dilakukan blind vaginal swab.
Tahap IV Pemeriksaan anal dapat dilakukan dengan pasien dalam posisi lithotomi, namun
lebih mudah untuk melakukan pemeriksaan ini pada pasien dengan posisi
miring kekiri. Perlu dijelaskan kepada pasien untuk menahan panggulnya
sehingga anus tampak jelas.
Tahap V Jika terdapat kecurigaan benda asing yang masuk ke lubang anus dapat
dilakukan pemeriksaan colok dubur dan dilakukan sebelum pemeriksaan
anoscopy. Jari pemeriksa diletakkan pada jaringan perianal untuk menimbulkan
relaksasi spingter, saat relaksasi terjadi jari dapat dimasukkan kedalam anus.
Tahap VI Proctoscopy hanya perlu dilakukan untuk kasus pendarahan anus atau nyeri
anus berat setelah kekerasan atau jika dicurigai terdapat benda asing dalam
rectum.
Tabel 4. Tahapan pemeriksaan rutin genito-anal.6
Pemeriksaan Penunjang
Tergantung pada jenis kejahatan dan beratnya cedera yang terjadi,
beberapa pemeriksaan penunjang terhadap pasien mungkin dapat dilakukan
seperti pemeriksaan Rontgen, CT scan dan USG.Selain itu, beberapa
pemeriksaan spesimen dapat dilakukan tes medis seperti tes kehamilan dan
penyakit menular seksual.6
Pemeriksaan Spesimen Forensik
Tujuannya untuk membuktikan atau menyingkirkan kontak fisik
antara individu dengan objek/benda dan dengan suatu tempat. Temuan yang
dekat antara pemerkosa, korban dan tempat kejadian perkara dapat
menunjukkan titik temu dalam melacak jejak barang bukti (Locard’s
principle).6
Spesimen biologi (seperti rambut, darah, semen, sisa-sisa kulit) dapat
ditemukan pada korban dan pelaku, misalnya, darah korban mungkin
menempel pada pakaian pelaku. Fragmen dari tempat kejadian perkara
(seperti lumpur, tumbuh-tumbuhan) menghubungkan antara korban, pelaku
dengan lokasi tertentu atau, mungkin saja bekas pakaian atau specimen
biologi dapat tertinggal di tempat kejadian perkara tersebut.6
Karena banyaknya bukti dan informasi yang dapat diperoleh dari
korban dan penyelidik (investigator), petugas kesehatan harus menentukan
specimen mana yang akan dikumpulkan dari setiap orang yang terlibat
dalam kejadian. Poin-poin penting yang perlu diingat saat melakukan
pemeriksaan terhadap korban kejahatan seksual agar dapat memperoleh
bukti forensik terangkum dalam tabel dibawah ini.6,7
Teknik Pengumpulan Spesimen Forensik
Hal-hal berikut harus diperhatikan dalam pengumpulan spesimen.6,7

Pastikan spesimens tidak terkontaminasi oleh material lain. Gunakan sarung


Avoid
tangan. Sistem DNA assay modern sangat sensitif dan mampu mendeteksi
contamination
material selain spesimen walaupun dalam jumlah kecil.
Usahakan memperoleh spesimens forensik secepat mungkin karena material
yang dapat menjadi barang bukti akan menghilang sesuai dengan berjalannya
Collect early
waktu. Idealnya, specimens sebaiknya dikumpulkan dalam 24 jam setelah
kejadian
Pastikan spesimens dikemas, disimpan, dan ditransportasikan dengan tepat.
Handle
Untuk spesimen berupa cairan(fluids) didinginkan, sedangkan untuk spesimen
appropriately
yang lainnya disimpan dalam keadaan kering.
Semua spesimen harus dilabel secara jelas dengan nama pasien, tanggal lahir,
Label accurately nama petugas, jenis spesimen, dan waktu(tanggal dan jam) pengumpulan
spesimen.
Spesimen sebaiknya dikemas rapi untuk memastikannya aman dan tahan
Ensure security terhadap kerusakan. Hanya pihak berwenang yang dipercayakan untuk
menangani spesimen.
Maintain Jika ada perpindahan dari tangan satu orang ke orang berikutnya haruslah di
continuity catat. Detail proses transfer spesimen antara individu juga perlu dicatat.
Document Sebaiknya semua spesimen yang dikumpulkan dan rincian kapan, dan kepada
collection siapa dipindahtangankan perlu disusun dengan rapi.

Prosedur umum yang digunakan pada teknik swab untuk


pengumpulan berbagai macam material guna analisis forensik: 6
 Gunakan kapas swab yang steril. Jangan letakkan swab pada medium
yang akan menyebabkan tumbuhnya bakteri dan merusakan material
yang telah diperoleh. Swab yang ditempatkan dalam medium hanya
digunakan untuk pengumpulan spesimen bakteriologis.
 Basahi swab dengan air steril atau larutan salin ketika mengumpulkan
material dari permukaan yang kering (e.g. kulit, anus).
 Jika dilakukan pemeriksaan mikroskop (e.g. untuk memeriksa ada atau
tidaknya spermatozoa), perlu dipersiapkan sediaan(slide). Beri label
sediaan dan setelah mengumpulkan swab, oleskan ujung swab pada
kaca sediaan. Lalu kirim swab dan slide ke laboratorium untuk
diperiksa.
 Semua swab dan slide sebaiknya dikeringkan sebelum ditutup dalam
wadah yang tepat.
 Dalam kasus dimana pasien telah memperoleh obat-obatan dalam
selang waktu 12-14 jam, sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah.
Namun jika sudah cukup lama, mungkin dapat dilakukan pemeriksaan
urin.
 Jika ada kemungkinan material asing telah menempel pada kulit korban
ataupun pakaian korban, korban sebaiknya diminta melepaskan
pakaiannya di atas selembar kertas yang cukup lebar supaya material
yang mudah lepas akan jatuh ke atas kertas sehingga bisa di ambil
dengan penjepit ataupun kertas tersebut dapat langsung dilipat dan
segera dikirim ke laboratorium.
 Rambut pubis korban perlu disisir untuk menemukan rambut pubis
pelaku, dan sisir yang digunakan juga dikirim ke laboratorium dalam
wadah yang steril.
 Pengambilan swab buccal (permukaan dalam pipi) yang cukup kuat
akan memberikan material selular yang cukup guna analisis DNA
korban. Kemungkinan lain adalah pengambilan darah korban untuk
kemudian diperiksa. Swab buccal mungkin akan mengering setelah
diambil. Swab buccal tidak boleh dilakukan jika curiga terdapat
material asing di dalam mulut korban (e.g. jika ejakulasi terjadi di
dalam mulut korban).
 Jika korban sempat mencakar pelaku, materi dari bawah kuku korban
dapat diambil untuk pemeriksaan analisis DNA.
 Pembalut sebaiknya dikeringkan di udara. Kemudian dibungkus
dengan tisu dan dimasukkan ke dalam kantong keras.
 Terdapatnya semen paling baik dibuktikan dengan mengambil swab
kemudian diperiksa secara mikroskopis.
Gambar (a) teknik pengambilan Blind vaginal swab (b) Swab Mulut untuk
memperoleh Spermatozoa.6

E. TATA LAKSANA DAN FOLLOW UP


Pencegahan dan Penatalaksanaan Kehamilan
Jika korban datang dalam beberapa jam hingga 5 hari setelah kejadian,
pemberian kontrasepsi emergensi dapat diberikan. Jika korban datan lebih dari
5 hari setelah kejadian, disarankan untukn kembali untuk mengikuti tes
kehamilan apabila periode menstruasinya terlambat.

Kontrasepsi Guna : menunda ovulasi, mencegah fertilisasi, dan menghalangi


emergensi implantasi.
Dosis : terdapat dua kategori, yaitu kombinasi esterogen dan
progesterone, dan pil progestin (lebih sering digunakan)
Manajemen Sarankan pasien untuk memeriksa kehamilan apabila dia
dan tes terlambat haid berikutnya.
kehamilan 1. Apabila pasien ternyata hamil berikan 2 pilihan yaitu:
 Mempertahankan kehamilannya, adakah tetap menjaga anak
atau memberikan anaknya untuk diadopsi.
 Terminasi kehamilan.

Penyakit menular seksual


Infeksi yang paling sering di tularkan pada korban adalah :
 Chlamydia
 Gonorrhea
 Syphilis
 Trichomoniasis
Korban kejahatan seksual dapat juga berisiko terinfeksi Human
Papilloma virus (HPV), herpes simplex virus tipe 2 (HSV 2), HIV dan hepatitis
B.

Pemeriksaan penyakit menular


Apabila fasilitas tersedia beberapa pemeriksaan di bawah ini dapat
dilakukan :10
 Kultur kuman Neisseria gonnorhoeae and Clamydia trachomatis
 Kultur Trichomonas Vaginalis.
 Sampel darah untuk pemeriksaan Sifilis, HIV, dan Hepatitis B.
Hasil (+) : tatalaksana sesuai regimen.
Hasil (-) : pemeriksaan follow up diperlukan untuk melihat adanya
infeksi, karena infeksi kuman dapat memiliki masa inkubasi 3 hari
hingga 3 bulan untuk dapat teridentifikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Budiyanto A, Widiatmaka W, et al, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta:


Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Dahlan, Sofwan. 2008. Ilmu Kedokteran Forensik : Pedoman bagi Dokter dan
Penegak Hukum. Semarang: BP, UNDIP, 2008.
3. Idries AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Jakarta:
Binarupa Aksara.
4. Anonim, 1994, Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
5. Syamsudin K, 2004, Persetubuhan Melawan Hukum. Palembang: Departemen
Obstetri dan Ginekologi Universitas Sriwijaya.
6. WHO. Guideline for medicolegal care for victims of sexual violence.2003
7. Andrew G., Justin C., Slade T., Issakidis C., Swanston H. Chiild sexual abuse.

Anda mungkin juga menyukai