Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah Siri
Perkawinan adalah aqad antara calon laki istri untuk memenuhi hajat jenis kelamin
yang diatur oleh syari’at. Sedangkan pengertian dari ikah siri adalah nikah secara rahasia
(sembunyi-sembuyi). Disebut secara rahasia karena tidak dilaporkan kekantor urusan agama
atau KAU bagi muslim atau kantor catatan sipil bagi non muslain.
Biasanya nikah siri dilakukan karena dua pihak belum siap meresmikannya atau
meramaikannya, namun dipihak lain untuk menjadi agar tidak terjadi hal-hal yag tidak
dinginkan atau terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama.
Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah siri adalah nikah yang tidak bisa
menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya ke KUA dengan tiga imam madzab
lainnya. Beliau menetapkan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal (dalam kondisi
normal) maka diperbolehkan memilih sendiri calon suaminya. Dia tidak hanya tergantung
pada walinya saja. Lebih lanjut beliau menjelaskan wanita baligh dan berakal juga
diperbolehkan aqad nikah sendiri baik dalam kondisi perawan atau janda.
B. Bagaimana Tata Cara Pernikahan Menurut Islam
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki
jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Subhanallah. Sehingga
mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata cara yang lain.
Namun di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui orang. Kami akan mengungkap tata
cara penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang hanya dengan cara inilah
kita terhindar dari jalan yang sesat (bidah).
Jelas tentang ajaran agamanya karena meyakini kebenaran yang dilakukannya. Dalam
masalah pernikahan sesunggguhnya Islam telah mengatur sedemikian rupa. Dari mulai
bagaimana mencari calon pendamping hidup sampai mewujudkan sebuah pesta pernikahan.
Berikut ini kami akan membahas tata cara pernikahan menurut Islam secara singkat.Hal-Hal
Yang Perlu Dilakukan Sebelum Menikah
1. Minta Pertimbangan
Bagi seorang lelaki sebelum ia memutuskan untuk mempersunting seorang wanita untuk
menjadi isterinya, hendaklah ia juga minta pertimbangan dari kerabat dekat wanita tersebut
yang baik agamanya. Mereka hendaknya orang yang tahu benar tentang hal ihwal wanita
yang akan dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat memberikan pertimbangan dengan jujur
dan adil.
Begitu pula bagi wanita yang akan dilamar oleh seorang lelaki, sebaiknya ia minta
pertimbangan dari kerabat dekatnya yang baik agamanya.
2. Shalat Istikharah
Setelah mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana calon isterinya, hendaknya ia
melakukan shalat istikharah sampai hatinya diberi kemantapan oleh Allah Taala dalam
mengambil keputusan. Shalat istikharah adalah shalat untuk meminta kepada Allah Taala agar
diberi petunjuk dalam memilih mana yang terbaik untuknya. Shalat istikharah ini tidak hanya
dilakukan untuk keperluan mencari jodoh saja, akan tetapi dalam segala urusan jika
seseorang mengalami rasa bimbang untuk mengambil suatu keputusan tentang urusan yang
penting. Hal ini untuk menjauhkan diri dari kemungkinan terjatuh kepada penderitaan hidup.
Insya Allah ia akan mendapatkan kemudahan dalam menetapkan suatu pilihan.
3. Khithbah (peminangan)
Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan wanita pilihannya, maka
hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut harus menghadap orang tua/wali dari
wanita pilihannya itu untuk menyampaikan kehendak hatinya, yaitu meminta agar ia direstui
untuk menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang adalah bilamana memenuhi
dua syarat sebagai berikut, yaitu:
a. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan.
syari yang menyebabkan laki-laki dilarang memperisterinya saat itu. Seperti karena suatu hal
sehingga wanita tersebut haram dini kahi selamanya(masih mahram) atau sementara (masa
iddah/ditinggal suami atau ipar dan lain-lain).
b. Belum dipinang orang lain secara sah
Sebab Islam mengharamkan seseorang meminang pinangan saudaranya. Dari Uqbah bin
Amir radiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Orang
mukmin adalah saudara orang mukmin yang lain. Maka tidak halal bagi seorang mukmin
menjual barang yang sudah dibeli saudaranya, dan tidak halal pula meminang wanita yang
sudah dipinang saudaranya, sehingga saudaranya itu meninggalkannya." (HR.
Jamaah) Apabila seorang wanita memiliki dua syarat di atas maka haram bagi seorang laki-
laki untuk meminangnya.
4. Melihat Wanita yang Dipinang
Islam adalah agama yang hanif yang mensyariatkan pelamar untuk melihat wanita yang
dilamar dan mensyariatkan wanita yang dilamar untuk melihat laki-laki yang meminangnya,
agar masing- masing pihak benar-benar mendapatkan kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan
pasangan hidupnya Dari Jabir radliyallahu anhu, bersabda : Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam:
"Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka apabila ia mampu
hendaknya ia melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya."
Jabir berkata: "Maka aku meminang seorang budak wanita dan aku bersembunyi untuk bisa
melihat apa yang mendorong aku untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya." (HR. Abu
Daud dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud, 1832).
Adapun ketentuan hukum yang diletakkan Islam dalam masalah melihat pinangan ini di
antaranya adalah:
a. Dilarang berkhalwat dengan laki-laki peminang tanpa disertai mahram.
b. Wanita yang dipinang tidak boleh berjabat tangan dengan laki- laki yang meminangnya
5. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya ijab qabul. Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan.
Qabul artinya menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada
lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima. Dalam perkawinan yang
dimaksud dengan "ijab qabul" adalah seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan
mengemukakan kepada calon suami anak perempuannya/ perempuan yang di bawah
perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang mengambil perempuan tersebut
sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.
c. Adanya Mahar (mas kawin)
Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang hendak menikahinya
menyerahkan mahar (mas kawin). Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu dalam mas
kawin ini, tetapi atas kesepakatan kedua belah pihak dan menurut kadar kemampuan. Islam
juga lebihmenyukai mas kawin yang mudah dan sederhana serta tidak berlebih-lebihan
dalam memintanya.
Dari Uqbah bin Amir, bersabda Rasulullah shallallahualaihi wa sallam:
"Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan."
(HR.Al-Hakim dan Ibnu Majah, shahih, lihat Shahih
Al-Jamius Shaghir 3279 oleh Al-Albani)
d. Adanya Wali
Dari Abu Musa radliyallahu anhu, Nabi shallallahualaihi wa sallam bersabda:
"Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali." (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh syaikh Al-
Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
Wali yang mendapat prioritas pertama di antara sekalian wali-wali yang ada adalah ayah dari
pengantin wanita. Kalau tidak ada barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki
seayah seibu atau seayah, kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat
terdekat yang lainnya atau hakim.
e. Adanya Saksi-Saksi
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang
wali dan dua orang saksi yang adil." (HR. Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih,
lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).
Menurut sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam, sebelum aqad nikah diadakan khuthbah
lebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah ataukhuthbatul-hajat.
6. Walimah
Walimatul Urus hukumnya wajib. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaih wa
sallam kepada Abdurrahman bin Auf:"....Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor
kambing." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu
Dawud no. 1854)
Memenuhi undangan walimah hukumnya juga wajib."Jika kalian diundang walimah,
sambutlah undangan itu (baik undangan perkawinan atau yang lainnya).
Barangsiapa yang tidak menyambut undangan itu berarti ia telah bermaksiat kepada Allah
dan Rasul-Nya." (HR. Bukhari 9/198, Muslim 4/152, dan Ahmad no. 6337 dan Al-Baihaqi
7/262 dari Ibnu Umar).
Akan tetapi tidak wajib menghadiri undangan yang didalamnya terdapat maksiat kepada
Allah Taala dan Rasul-Nya, kecuali dengan maksud akan merubah atau menggagalkannya.
Jika telah terlanjur hadir, tetapi tidak mampu untuk merubah atau menggagalkannya maka
wajib meninggalkan tempat itu. Dari Ali berkata: "Saya membuat makanan maka aku
mengundang Nabi shallallahu ?alaihi wa sallam dan beliaupun datang. Beliau masuk dan
melihat tirai yang bergambar maka beliau keluar dan bersabda:
"Sesungguhnya malaikat tidak masuk suatu rumah yang di dalamnya ada gambar." (HR. An-
Nasai dan Ibnu Majah, shahih, oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii.
Adapun Sunnah yang harus diperhatikan ketika mengadakan walimah adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan selama 3 (tiga) hari setelah hari dukhul (masuk- nya)
2. Hendaklah mengundang orang-orang shalih, baik miskin atau kaya
3. Sedapat mungkin memotong seekor kambing atau lebih, sesuai dengan taraf ekonominya.
C. Faktor Yang Melatarbelakangi Terjadinya Nika Siri
Bermacam alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan nikah siri. Ada yang menikah
karena terbentur ekonomi, sebab sebagian pemuda tidak mampu menanggung biaya pesta,
menyiapkan rumah milik dan harta gono gini, maka mereka memilih menikah dengan cara
misyar yang penting halal, hal ini terjadi di sebagian besar Negara Arab . Adajuga yang tidak
mampu mengeluarkan dana untuk mendaftarkan diri ke KUA yang dianggapnya begitu
mahal. Atau malah secara finansial pasangan ini cukup untuk membiayai, namun karena
khawatir pernikahannya tersebar luas akhirnya mengurungkan niatnya untuk mendaftar
secara resmi ke KUA atau catatan sipil. Hal ini untuk menghilangkan jejak dan bebas dari
tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan
seterusnya (bagi pegawai negeri dan TNI).
Menurut psikolog Ekorini Kuntowati, nikah siri juga dilatarbelakangi oleh model keluarga
masing-masing pasangan. Pernikahan siri ataupun bukan, tidak menjadi jaminan untuk
mempertahankan komitmen. Seharusnya orang lebih bijak, terutama bila hukum negara tidak
memfasilitasinya. Nikah siri terjadi bukan hanya karena motivasi dari pelaku/pasangan atau
latar belakang keluarganya, lingkungan sosial atau nilai sosial juga turut membentuknya.
Sebut saja ketika biaya pencatatan bikah terlalu mahal sehingga ada kalangan masyarakat tak
mampu tidak memedulikan aspek legalitas.
Faktor lain, ada kecenderungan mencari celah-celah hukum yang tidak direpotkan oleh
berbagai prosedur pernikahan yang dinilai berbelit, yang penting dapat memenuhi tujuan,
sekalipun harus rela mengeluarkan uang lebih banyak dari seharusnya. UU 1/1974 tentang
Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya mengatur syarat yang cukup ketat bagi
seseorang atau pegawai negeri sipil (PNS) yang akan melangsungkan pernikahan untuk kali
kedua dan seterusnya, atau yang akan melakukan perceraian. Syarat yang ketat itu, bagi
sebagian orang ditangkap sebagai peluang ''bisnis'' yang cukup menjanjikan. Yaitu dengan
menawarkan berbagai kemudahan dan fasilitas, dari hanya menikahkan secara siri (bawah
tangan) sampai membuatkan akta nikah asli tapi palsu (aspal). Bagi masyarakat yang
berkeinginan untuk memadu, hal itu dianggap sebagai jalan pintas atau alternatif yang tepat.
Terlebih, di tengah kesadaran hukum dan tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang
relatif rendah. Tidak dipersoalkan, apakah akta nikah atau tata cara perkawinan itu sah
menurut hukum atau tidak, yang penting ada bukti tertulis yang menyatakan perkawinan
tersebut sah. Penulis menyebut fenomena itu sebagai ''kawin alternatif''.
D. Sah Tidaknya Nikah Siri Menurut Hukum Agama Dan Hukum Positif Indonesia
1. Hukum Agama
Hukum nikah sirih hukum nikah siri secara agama adalah sah atau legal dan dihalalkan atau
diperbolehkan jika sarat dan rukun nikanya terpenuhi pada saat ini nikah sirih digelar. Rukun
nikah yaitu 1). Adanya kedua mempelai ,2) adanya wali, 3) adanay saki nika, 4) adanay
mahar atau ma kawin, 5) adanay ijab gobul atau akad.
2. Hukum Positif Indonesia
Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundang-undangkan pada
tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan
pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat
pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: "(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika
suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabultelah dilaksanakan
(bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya,
maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat.
Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi
oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan,
tentang pencatatan perkawinan . Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama
Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya
perkawinan tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI "perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah"). Sedangkan bagi mereka yang beragama
non muslim pencatatan dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta
Perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975
tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama
Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka
yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat
2 PP No. 9 tahun 1975. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis
rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan,
selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai
pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat
halangan perkawinan menurut UU. Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat
pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat
mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat
yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum .

E. Bagaimana Pandangan Para Ulama Tentang Nikah Siri


Menurut pandangna mahzab hanfi dan hambali suatu penikahan yang sarat dan
rukunya mka sah menurut agama islam walaupun pernikah itu adalah pernikahn siri. Hal itu
sesuai dengan dalil yang berbunyi :
artinya “takutlah kamu terhadap wanita, kamu ambil mereka (dari orang tuanya ) dengan
amanah allah dan kamu halalkan percampuran kelamin dengan mereka dengan kalimat
allah(ijab qabul”)(rohil muslaim).
Sedangkan menurut kiayai hisen muhamad seorang komisioner komnas prempuan mnyatakan
pernikahan pria dewasa dengan wanita secara sirih merupakan pernikahan terlarang karena
pernikahn tersebut dapat merugikan si perempauan, sedangkan islam jusru melindungi
prempuan bukan malah merugikannya.
Menurut kalangan Ulama Syiah memang membolehkan cara pernikahan seperti itu. Yaitu
nikah siri, sebih baik ketimbang berjinah yang sangat dilaknat oleh Allat SWT.
Kalangan Ulama Suni di Indonesia yang berpendapat bahwa Nikah sirih adalah Halal
berdasarkan nash Al Qur’an (Anisa:3), dan bahkan tidak sedikit diantaranya yang
melakukannya, bukan semata-mata karena kebutuhan seksual, tetapi guna menunjukan ke-
halalan Nikah sirih itu sendiri.

F. Bagai Mana Dampak Yang Ditimbulkan Dari Nikah Siri Terhadap Perempuan Dan
Anaknya
R Valentina, dalam Perihal Perkawinan menulis , dampak yang akan timbul dari
perkawinan yang tidak dicatatkan secara Yuridis Formal.
Pertama, perkawinan dianggap tidak sah. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan
kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum
dicatat oleh KUA atau Kantor Catatan Sipil (KCS).
Kedua, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu (pasal 42 dan
43 UU Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. Ini artinya
anak tidak dapat menuntut hak-haknya dari ayah. Dengan dilahirkan dalam perkawinan yang
tidak dicatatkan, kelahiran anak menjadi tidak tercatatkan pula secara hukum dan hal ini
melanggar hak asasi anak (Konvensi Hak Anak). Anak-anak ini berstasus anak di luar
perkawinan.
Ketiga, akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik istri maupun anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan
dari ayahnya.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan sama saja dengan membiarkan adanya
hidup bersama di luar perkawinan, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat
(terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang
dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak
luar kawin yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak
mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak
mempunyai bapak (Wila Chandrawila, 2001). Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi
masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan
perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini
memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan
perempuan dan anak-anak.
Bersinggungan dengan pentingnya pencatatan perkawinan, seperti juga pembuatan KTP
atau SIM, kita sesungguhnya membicarakan pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab
negara. Sehingga sudah semestinya memperhatikan prinsip good governance, salah satunya
adalah menetapkan biaya yang sesuai dengan taraf kehidupan masyarakat dan prosedur yang
tidak berbelit-belit (user-friendly). Dengan prosedur yang tidak berbelit-belit dan biaya yang
sesuai masyarakat diajak untuk mencatatkan perkawinannya.
G. Pengertian poligami , Nikah Siri dan kawin Kontrak
Poligami.
adalah uangkapan bagi seorang lelaki yang beristri lebih dari satu, dan ini dalam
ajaran Islam tidak dilarang meski untuk melakukannya harus memenuhi syarat dan kriteria
tertentu. Dalam perkembangannya poligami terkadang hanya dijadikan alasan oleh sebagian
orang sebagai legalisasi, namun tidak sedikit penganut poligami yang Rumah tangganya
bahagia karena di dasari dengan ajaran Agama yang diyakini kebenarannya.
Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam
hal ini Ajaran Islam namun karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak
terjadinya pencatatan secara syah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam hal ini
Pemerintah yang di wakili Departemen Agama.
Kawin Kontrak adalah sebuah perkawinan yang di batasi waktu sehingga akan berakhir
sesuai ketentuan waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan
perkawinan itu sendiri. Kawin kontrak yang dalam ajaran Islam di kenal dengan Istilah Nikah
Mut’ ah yang dalam perkembangan syari’at Islam nikah model ini telah dilarang.
Ketiga type perkawinan tersebut kini telah digodog rancangan undang-undangnya oleh
Pemerintah yang di wakili oleh Departemen Agama dengan sebuah Rancangan Undang-
undang , yang didalamnya diatur bagi orang yang melakukannya akan di kenai sangsi hukum.
Akankah RUU tersebut efektif, mungkinkah ini akan menjadi sebuah solusi atau hanya akan
menjadi masalah baru ? dalam kehidupan masyarakat kita, setujukah rekan-rekan semua
dengan rancangan Undang-undang tersebut, sesuatu yang di halalkan oleh Tuhan
mungkinkah dilarang oleh Manusia, wallahu Alam.
Berikut cuplikan beberapa pasal tentang draft RUU tersebut yang menjadi kontroversi
Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus
membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta.
Pasal 143, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan
pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi. Mulai dari enam bulan
hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Pasal 144, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-
lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum.
Selain mengatur tentang Perkawinan Siri, Mutah/Kontrak, RUU ini juga mengatur soal
perkawinan campur (berbeda kewarganegaraan).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Pernikah siri adalah nika dibawah tangan atau nikah secara sembunyi-sembunyi.
Disebut secara sembunyi karena tidak dilaporakan kekantor urusan agama bagi muslaim atau
catatan sipil non muslim. Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah sirih
adalah nikah yang tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya.
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki
jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Subhanallah.
Penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang hanya
dengan cara inilah kita terhindar dari jalan yang sesat (bidah).
Hukum nikah sirih secara aturan agama adalah sah. Dan dihalalkan atau diperbolehkan jika
sarat dan rukun nikanya terpenuhi. Namun secara hukum yang berlaku di Negara kita tentang
perundang-undangan pernikahan itu tidak sah karena di dalam perundangan ada yang tidak
lengkap secara administrasi.
Dampak yang ditimbulkan dari nikah sirih lebih banyak faktor kerugaiannya dibandingkan
faktor keuntungannya. Kerugaian yang terbesar dari nikah siri berdampak pada pihak
perempuan dan anaknya untuk masa depannya.
Faktor yang melatarbelakangi adanya nikah sirih yaitu 1) faktor ekonomi, 2) proses
admisntrasi pernikahan yang dianggap terlalu sukar, 3) bagi pria yang yang ingin menukah
lagi atau poligami tetap tidak mendapat persetujuan atau disetujui dari istri ke pertama, 4)
dari awal baik siwanita atau pria yang melakukan nikah siri mempunyai itikad tidak baik,
hanya sekedar menghalalkan hubungan persetubuhan saja.
B. Saran
Kepada pemuda pemudi islam tidak mengikuti tata cara perkawinan sirih karena dapat
merugikan. Dan berusaha menghindari pernikahan sirih. Juga kepada pemerintah melakukan
penyuluhan dan dapat menghimbau masyarakat tentang kerugian nikah siri.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Sidik.Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Tintamas.1983

Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Fiqh sunah untuk Wanita. Jakarta Timur. Darul Bayan Al-

Haditsah. 2007

Ali Yusuf As-Subki. 2010. Fiqh Keluarga. Jakarta. Amzah.

Fuad Moh. Facruddin.Nikah Mut’ah. Jakarta. Pedoman Ilmu Jaya.1992

Mahyuddin.Masailul Fiqhiyah. Jakarta. Kalam Mulia.2003

Rahman Ghazali Abdul.Fikih Munakahat.Jakarta,Kencana.2003

Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. 2007. Fiqh sunah


untuk Wanita. Jakarta Timur. Darul Bayan Al-Haditsah. Hlm
599-602.
[2] Abdullah Sidik. 1983. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Tintamas. Hlm 95

Ali Yusuf As-Subki. 2010. Fiqh Keluarga. Jakarta.


Amzah. Hlm 134-135
Fuad Moh. Facruddin. 1992. Nikah Mut’ah. Jakarta.
Pedoman Ilmu Jaya. Hlm 74.
Mahyuddin. 2003. Masailul Fiqhiyah. Jakarta. Kalam Mulia. Hlm 54
Abd.Rahman Ghazali,2003,Fikih
Munakahat.Jakarta.Kencana,2006.Hlm 124-128

Anda mungkin juga menyukai