Anda di halaman 1dari 5

BAB V

PENUTUP

33. Kesimpulan

a. Akar penyebab dari konflik di Poso secara garis besar


adalah konflik etnis yang bercampur dengan motif politik, ekonomi,
sosial dan budaya. Penyelesaian oleh pemerintah tak pernah
menemui hasil yang maksimal, meskipun telah ada Deklarasi
Malino. Kekecewaan atas penanganan konflik dan dendam akibat
konflik di masa lalu telah membuat konflik berkembang menjadi
bernuansa terorisme dan radikalisme. Hal ini diperparah oleh para
teroris pendatang dari luar negeri yang menanamkan ajarannya di
Indonesia. Menjadikan Poso tak ubahnya sebagai ladang
pertempuran bagi aparat dan teroris. Kondisi tersebut semakin
buruk mengingat dari sejak konflik bernuansa SARA (1998-2001)
hingga sekarang banyak pihak yang memiliki kepentingan terlibat
dalam konflik. Konflik Poso adalah sebuah transformasi konflik.
b. Konflik yang sedemikian kompleks dan mampu berkembang
menjadi sebuah radikalisasi dan isu terorisme tentunya memiliki
dampak yang cukup besar. Sebelum Deklarasi Malino, dampak
konflik terlihat jelas dan nyata karena konflik berjalan secara
terbuka dan frontal antara kedua komunitas. Semua sendi-sendi
kehidupan terkena dampaknya. Politik, ekonomi, sosial, budaya,
keamanan, hingga psikis masyarakat. Poso seperti medan perang
antara kedua komunitas.
c. Solusi yang penulis tawarkan untuk konflik Poso berupa
integracy approach, yakni pendekatan bersama. Dimana semua
pihak terlibat dalam penanganan konflik. Ada yang menyangkut

94
95

bidang pertahanan keamanan maupun non pertahanan keamanan,


antara lain :
1) Evaluasi secara menyeluruh kinerja aparat keamanan
di Poso. Terutama yang berkaitan langsung dengan bagian
penangkapan para teroris. Dengan evaluasi berarti juga
dengan memaksimalkan sumber daya aparat yang ada,
peningkatan kualitas intel maupun penyelenggaraan binter di
wilayah Poso. Aparat yang bertugas harus mampu
memisahkan mana masyarakat biasa, mana yang benar-
benar pelaku teror, meskipun sangat berat. Disinilah peran
intelijen dibutuhkan.
2) Politik di daerah Poso harus stabil, birokrasi harus
berjalan sebagaimana mestinya dengan bersih dan sehat.
Dengan birokrasi yang sehat, masyarakat tentunya akan
hidup tenang, karena masyarakat merasa dipimpin oleh
orang-orang yang memang dianggap mampu memimpin
warganya dengan baik.
3) Kehadiran negara sangat diperlukan, negara harus
peduli dengan konflik ini, baik pemerintah pusat maupun
daerah. Bentuk dari kehadiran negara dapat diaplikasikan
dengan banyak cara, salah satunya adalah pembangunan
ekonomi yang terus menerus guna meningkatkan taraf hidup
masyarakat setempat.
4) Penciptaan iklim kondusif di Poso dengan
mengembalikan citra Poso sebagai wilayah yang damai,
aparat harus dapat mengambil hati masyarakat setempat
agar tercipta suasana yang kondusif dengan pendekatan-
pendekatan teritorial oleh TNI.
5) Ideologisasi empat pilar kebangsaan, penanaman
kembali nilai dan semangat juang Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Bhinekka Tunggal Ika sebagai rangkaian usaha
96

deradikalisasi dan menangkal paham yang salah tentang


jihad.
6) Law enforcement, yakni penegakan hukum. Agar
pihak yang berwajib kembali mendapat kepercayaan
masyarakat dalam melaksanakan tugasnya menegakkan
hukumyang bebas dan tanpa memihak. Disosialisasikannya
kembali mengenai hukum HAM maupun hukum humaniter
agar aparat tidak terkendala kedua aturan tersebut saat
beroperasi.
7) Peran media massa, perlu dioptimalkan media massa
sebagai media untuk membantu pemerintah mengembalikan
Poso dalam kondisi sebelumnya yang lebih baik.
8) Teroris sebagai common enemy, artinya seluruh
komponen bangsa harus sepakat dan benar-benar
komitmen dalam pemberantasan terorisme yang dilakukan
aparat negara.
9) Peran LSM atau NGO/Non Govermental Organization
( lembaga non pemerintah ). LSM harus dijadikan rekan atau
mitra dalam setiap penyelesaian konflik. Tidak boleh alergi
terhadap kritik, namun LSM juga sebaiknya independen dan
profesional, oleh karena itu juga perlu diadakan pengawasan
pada LSM tanpa meninggalkan prinsip negara demokrasi
Pancasila.
10) Menggali kembali nilai-nilai adat “Sintuwu Maroso”
yang merupakan semangat dari masyarakat Poso sendiri
untuk menangkal segala bentuk hasutan untuk kembali
berkonflik bahkan untuk melawan kebijakan pemerintah.
Semangat untuk mau hidup saling menolong dan membantu
dalam kehidupan bermasyarakat.
97

34. Saran

Dalam penanganan konflik Poso, ada beberapa hal yang dapat


penulis sarankan guna mendukung solusi pemecahan konflik Poso,antara
lain:
a. Diharapkan adanya suatu sinergitas stake holders dalam
penanganan konflik. Bagaimana pemerintah dalam hal ini antara
lain aparat keamanan, pemerintah pusat, maupun pemerintah
daerah mampu bekerjasama dan memaksimalkan peran LSM,
media massa, serta tokoh-tokoh setempat baik tokoh masyarakat,
tokoh adat, maupun tokoh agama.
b. Dalam pelaksanaan di lapangan, meskipun masih mendapat
sorotan serta kritik dari publik, pemerintah dalam hal ini aparat
keamanan tidak perlu ragu dalam bertindak guna memberantas
terorisme, namun yang perlu diingat adalah aparat jangan sampai
melakukan kesalahan prosedur dalam aksinya, sehingga
meminimalisir sentimen negatif dari LSM atau media massa. Pada
intinya, pemberantasan terorisme harus ditegakkan.
Pemberantasan teroris ini pun harus diimbangi dengan
pembangunan kembali masyarakat Poso secara selaras dan
serasi. Di satu sisi melaksanakan tindakan keamanan, disisi lain,
tetap menjaga simpati masyarakat (membangun kepercayaan).
c. Salah satu usaha dalam menjaga simpati serta kepercayaan
masyarakat adalah bagaimana pemerintah sanggup menjaga
wibawa, menciptakan birokrasi yang bersih dan tertata.
Bagaimanapun juga, kepercayaan masyarakat setempat adalah
modal utama dalam penyelesaian konflik. Masyarakat sendiri
adalah unsur yang paling vital, dimana dari masyarakat lah konflik
berasal, dan sebenarnya, masyarakat sendiri lah yang juga mampu
mengatasinya.
98

d. Sebagai tambahan dari penulis adalah ditujukan pada


lembaga, agar menambah pendalaman materi dalam bahan ajar
manajamen konflik mengenai konflik serta penanganannya yang
pernah terjadi atau yang sedang terjadi seperti konflik Poso,
Ambon, Aceh, dan Papua. Karena tidak menutup kemungkinan
masih ada kesempatan bagi Taruna untuk penempatan satuan di
wilayah konflik di masa yang akan datang sehingga referensi
mengenai konflik tersebut bermanfaat cukup besar bagi Taruna.

Anda mungkin juga menyukai