ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian untuk menganalisa kekeruhan dan kandungan sedimen
dan kaitannya dengan kondisi DAS sungai Krueng Aceh. Penelitian dilakukan sepanjang
DAS Krueng Aceh di 7 (tujuh) sub DAS dalam kawasan Aceh Besar. Hal ini sangat
signifikan dalam kaitannya dengan pengaruh DAS sungai Krueng Aceh. Parameter
penting yang diukur adalah kekeruhan (turbidity), kandungan sedimen (total suspended
solids/TSS dan total disolved solids/TDS). Metode yang dilakukan adalah dengan
pengukuran insitu, dengan menggunakan turbidity meter, TSS meter dan TDS meter.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai kekeruhan tertinggi sebesar 63,8 NTU di
kawasan sub DAS Krueng Indrapuri, lalu di sub DAS Krueng Inong sebesar 35,6 NTU,
dan yang terendah sebesar 4,66 NTU di bagian hulu di kawasan sub DAS Krueng
Teureubeh. Pola yang sama didapatkan untuk parameter TDS (102.9 mg/l) dan TSS (93
mg/l). Sedangkan pada sub DAS Krueng Teureubeh, nilai TSS sebesar 55.9 mg/l dan
TDS hanya 2 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan sub DAS Indrapuri sudah di
pengaruhi oleh aktivitas manusia yang mempengaruhi input material ke dalam sungai
serta adanya pengikisan (erosi) pada badan sungai. Hasil ini sangat penting
menunjukkan perbedaan signifikan kondisi air di bagian hulu dan hilir sungai Krueng
Aceh, dan harus tetap dijaga kualitasnya dalam batas baku mutu yang ditetapkan.
I. Pendahuluan
Air sungai mempunyai peranan yang sangat strategis dalam kehidupan manusia
dan makhluk hidup lainnya, serta berperan penting dalam menjaga kelangsungan
kehidupan. Sungai memiliki sifat dinamis, maka dalam pemanfaatannya dapat
berpotensi mengurangi nilai manfaat dari sungai itu sendiri dan dampak lainnya dapat
membahayakan lingkungan secara luas. Salah satu sungai besar dan penting di Aceh
adalah Sungai Krueng Aceh. Sungai tersebut memiliki fungsi penting dalam berbagai
aspek kehidupan yaitu sebagai sumber bahan baku air minum, mandi, pengairan baik di
Kabupaten Aceh Besar maupun di Kota Banda Aceh.
Daerah aliran sungai Krueng Aceh terdiri dari beberapa sub DAS, yaitu sub Das
Sungai Krueng Teureubeh, Krueng Inong, Bendungan Sungai Krueng Aceh, Krueng
Capeung, Krueng Keumireu, Krueng Ie Alang dan Krueng Indrapuri merupakan
sebagian dari sungai-sungai utama yang berada di DAS Sungai Krueng Aceh. Dimana
Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat Menuju Hutan Aceh
Berkelanjutan, Banda Aceh, 19 Maret 2013
DAS Krueng Aceh merupakan salah satu dari 15 DAS di Propinsi Aceh, sehigga
merupakan DAS yang sangat penting bagi sebagian besar masyarakat dan Ibukota
Provinsi Aceh. Untuk mengantisipasi banjir di Kota Banda Aceh maka aliran air Sungai
Krueng Aceh juga dialirkan melalui flood way ke Alue Naga Kota Banda Aceh. Dengan
demikian aliran air sungai Krueng Aceh di hilir DASnya terbagi dua wilayah tersebut
(Alemina, et.al, 2011). DAS ini memiliki luas 207.496 ha, dan berada pada dua wilayah
administratif, yaitu Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. DAS Krueng Aceh
didominasi oleh dataran rendah berupa daerah cekungan dan dataran, serta bukit
bergelombang, pegunungan, dan perbukitan. Topografi wilayah bervariasi dari datar
sampai curam dan terletak pada ketinggian 0-1.710 m dpl. Dataran dengan lereng 0-8%
mendominasi daerah tengah memanjang ke hilir, sedangkan perbukitan dan pegunungan
mengapitnya di bagian hulu. Bukit bergelombang dengan luas 17% dari luas wilayah
terdapat di pinggir bagian hilir (Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, 2006).
Kondisi alam lingkungan sekitar daerah aliran sungai dengan berbagai aktifitas dapat
menimbulkan permasalahan yang mempengaruhi kualitas air sungai. Rendahnya kualitas
air dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain meningkatnya beban pencemaran
akibat limbah industri, domestik dan pertanian (Fardiaz, 1992).
Berbagai aktivitas penggunaan lahan di wilayah DAS Sungai Krueng Aceh
seperti permukiman, pertanian dan industri rumah tangga, diperkirakan telah
mempengaruhi kualitas air Sungai Krueng Aceh. Aktivitas permukiman dan pertanian
menyebar meliputi bagian tengah hingga hilir DAS. Kegiatan pertanian terutama akibat
menggunakan pupuk dan pestisida akan mempengaruhi kualitas air sungai melalui
buangan dari lahan pertanian yang masuk ke badan air. Selain juga, aktivitas rumah
tangga yang juga sebagaian besar pembuangannya dialirkan ke sungai ini. Hal ini tidak
dapat dihindari, dengan alasan bagi melaksanakan aktivitas pembangun. Dimana
kegiatan pembangunan yang dilaksanakan bersama bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia dengan menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dan
memanfaatkan sumber daya alam tanpa memperhatikan aspek lingkungan dapat
menimbulkan tekanan terhadap lingkungan. Pertambahan jumlah penduduk yang
semakin meningkat dari tahun ke tahun dengan luas lahan yang tetap juga akan
mengakibatkan tekanan terhadap lingkungan semakin berat. Berbagai aktivitas manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang berasal dari kegiatan industri, rumah tangga,
Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat Menuju Hutan Aceh
Berkelanjutan, Banda Aceh, 19 Maret 2013
dan pertanian akan menghasilkan limbah yang memberi sumbangan pada penurunan
kualitas air sungai (Suriawiria, 2003).
Priyambada et al (2008) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa perubahan
tata guna lahan yang ditandai dengan meningkatnya aktivitas domestik, pertanian dan
industri akan mempengaruhi dan memberikan dampak terhadap kondisi kualitas air
sungai terutama aktivitas domestik yang memberikan masukan konsentrasi BOD
terbesar ke badan sungai. Dengan penjelasan tersebut, maka dipandang perlu untuk
melakukan analisis kualitas air, terutama kekeruhan dan kandungan sedimen di sungai
Krueng Aceh dalam kaitannya dengan perkembangan pertumbuhan penduduk di
kawasan DAS yang akan memberi beban pencemaran dari aktivitas masyarakat.
Kegiatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat akan sangat mempengaruhi pada
sistem alami DAS, seperti pengembangan lahan kawasan budidaya. Hal ini tidak lepas
dari semakin meningkatnya tuntutan atas sumberdaya alam (air, tanah, dan hutan) yang
disebabkan meningkatnya pertumbuhan penduduk yang membawa akibat pada
perubahan kondisi tata air DAS.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas air sungai Krueng Aceh
serta menganalisis hubungannya dengan kondisi sub-DAS dan DAS yang berasal dari
aktivitas permukiman, pertanian dan industri kecil yang memberikan masukan
pencemaran ke sungai Krueng Aceh.
6 5
4
3
\1
sungai lainnya. Air sungai yang mempunyai konsentrasi TSS yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya pendangkalan dan menghambat jangkauan sinar matahari ke
dalam dasar sungai sehingga proses fotosisentis tumbuhan air terhambat.
Tabel 2. Hasil pengukuran TSS pada 7 (tujuh) sub DAS
TSS (mg/L)
No Sub-DAS November Juni
2008 2009 2008 2009
1 Krueng Teureubeh 2 6 1,02 6
2 Krueng Inong 50.4 32 20,4 9
3 Bendungan Krueng Aceh 40 14 26,4 10
4 Krueng Capeung 8 49 12 8
5 Krueng Keumireu 26 13 25,6 4
6 Krueng Ie Alang 0.0002 16 1,07 14
7 Krueng Indrapuri 74 93 79,6 6
IV. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kekeruhan yang terjadi sangat
ditentukan oleh besarnya kandungan sedimen yaitu dari total suspended solids (TSS)
dan total disolved solids (TDS). Dimana semakin tinggi TDS dan TDS di setiap stasiun
pengukuran akan menghasilkan kekeruhan yang lebih tinggi. Selain itu juga, besarnya
kandungan sedimen tersebut (total suspended solids (TSS) dan total disolved solids
(TDS)) sangat dipengaruhi oleh sub keberadaan DAS pada DAS Krueng Aceh. Adanya
aktivitas yang tinggi pada suatu sub DAS akan mempengaruhi sangat relevan pada
kekeruhan, TSS dan TDS sungai Krueng Aceh.
Daftar Pusataka
Alemina E, Hairul B, Muzailin A, Agus H, Alvisyahhrin T, 2011. Penyimpangan
Penggunaan Lahan di DAS Krueng Aceh Berdasarkan Zona Agroekologi,
TDMRC-Unsyiah Banda Aceh.
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, 2006, Alih Fungsi Lahan dan Perubahan
Karakteristik Debit DAS Krueng Aceh, Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, vol. 28, no.1.
Suriawiria, Unus. 2003. Air dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat. Penerbit
Alumni. Bandung.
Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat Menuju Hutan Aceh
Berkelanjutan, Banda Aceh, 19 Maret 2013