Anda di halaman 1dari 2

Anomali Kenaikan BBM

M. Sadli Umasangaji
(Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate)
Dimuat di Radar Halmahera Edisi 20 November 2014

Dengan adanya penegasan bahwa bumi, langit, dan seisinya adalah milik Allah semata, maka
siapakah yang berani melakukan klaim kepemilikan atas itu? Demikian pula siapakah yang
berani mencegah seseorang dari mengusahakan sesuatu di muka bumi ini?
(Fahri Hamzah)

Jika kita memperhatikan wacana yang berkembang dari zaman ke zaman mengenai pasar
dan perekonomian, kita akan mendapati perdebatan yang tak pernah selesai antara pengutamaan
pasar dan peran negara. Sebuah perdebatan yang sejatinya lahir dari sebuah salah kaprah dan
kekhawatiran yang dilandasi oleh keserakahan akan kebebasan meraup untung. Lambat laun,
kesalahan pemahaman ini pun benar-benar merasuk baik ke dalam pasar itu sendiri maupun ke
dalam lembaga negara. Pasar di sini telah kehilangan maknanya karena dikooptasi oleh segelintir
kaum partikelir yang mengklaim legitimasi atau institusi pasar. Sementara banyak negara juga
telah kehilangan keterkaitannya dengan rakyat karena pemerintahannya tidak lagi memedulikan
amanah para pemilih untuk mewakili mereka dalam urusan memajukan kesejahteraan umum.
Pasar sebagai suatu sistem memiliki berbagai wajah yang selama ini sering saling silap
baik dalam pemahaman konseptualnya maupun dalam konteks peletakannya sebagai suatu
institusi. Secara konseptual, sistem pasar mengacu pada mekanisme interaksi antara permintaan
dan penawaran yang mengarah kepada penentuan nilai tambah yang paling efisien. Konsep ini
lebih tepat ditujukan bagi istilah mekanisme pasar yang mendasarkan asumsinya pada kesetaraan
posisi tawar antara berbagai pihak yang terlibat dalam proses tawar-menawar tersebut sehingga
tidak ada pertimbangan lain di luar nilai dan harga. Sebagai institusi, pasar merupakan suatu
bangunan sosial dari masyarakat yang menggabungkan lebih banyak variabel di luar permintaan
dan penawaran itu sendiri seperti ideologi, tujuan politik, ada istiadat, nilai-nilai agama, dan lain
sebagainya. (Hamzah, 2010).
Bapak Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia telah menyampaikan
pengumumannya atas kenaikkan bahan bakar minyak (BBM) yang berlaku pada tanggal 18
November 2014 pukul 00.00 WIB. Dengan berbagai alasan. Diantaranya salah sasaran
penggunaan BBM yang lebih dimanfaatkan oleh kelompok borjuis (mapan), dan penimbunan
BBM serta perlunya pemanfaatan subsidi BBM pada sektor produktif seperti infrastruktur,
agraria, dan perikanan. Selain itu pula terkait dengan Kartu Sakti-nya, Kartu Indonesia Sehat
(KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Menurut ekonom
Kwik Kian Gie, kenaikan BBM tidak berlandaskan hanya salah satu bentuk pemaksaan Joko
Widodo terhadap pencitraan kartu saktinya.
Di satu sisi kenaikkan harga BBM dianggap sebagai bentuk liberalisasi dimana
pemerintah berpijak pada alasan adanya kenaikan harga minyak dunia. Alih-alih naik, harga
minyak dunia saat ini justru sedang turun. Menurut ekonom Ichsanuddin Noersy, kenaikan harga
BBM ini hanya untuk disamakan dengan harga minyak dunia, itu yang diinginkan IMF, dan
Bank Dunia. Inilah bentuk liberalisasinya. Membuka ruang untuk pemanfaatan oleh partikelir
(swasta). Ini juga bentuk neo-imprealisme. Penjajahan gaya baru oleh asing yang
berkepentingan.
Secara sederhana, nilai keekonomian ini menimbulkan multitafsir tersendiri. Bagi
pemerintah, bisa saja harga keekonomian ini ditafsirkan sebagai harga yang tidak memberatkan
APBN. Sedangkan bagi masyarakat, utamanya rakyat miskin, nilai keekonomian adalah harga
yang sesuai dengan kemampuan mereka. Kita memahami bahwa BBM adalah salah satu
penggerak roda perekonomian. Olehnya itu ada saling keterkaitan antara kebutuhan energi
dengan proses produksi sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan sosial dan keseharian masyarakat.
Maka secara pasti kenaikan harga BBM relevan dengan dampak pada sendi-sendi sektor
ekonomi terutama harga kebutuhan bahan pokok dan memicu inflasi.
Menurut BPS (2013) jumlah rakyat miskin di Indonesia yang mencapai 28,28 juta orang,
atau sekira 11,25 persen merupakan tantangan besar bagi pemerintah untuk melindungi mereka
dari bencana ekonomi. Kenaikan harga BBM bukan saja memberatkan rakyat dalam konsumsi
BBM untuk kendaraan, peralatan pertanian, ternak, dan sebagainya. Akan tetapi, jauh lebih besar
adalah efek domino ekonomi secara umum. Harga bahan pokok secara umum akan naik. Di sisi
lain pendapatan rakyat tidak meningkat atau hanya sedikit kenaikannya. Selisih kerugian dari
dampak dengan nilai keuntungan yang tidak sebanding inilah yang merupakan bencana besar
dalam konteks ekonomi yang akan dihadapi oleh rakyat kelas menengah hingga miskin di
Indonesia.
Maka perlu peran pemerintah (terkhusus pemerintah daerah) untuk mengatur regulasi
mengenai efek domino kenaikan BBM ini baik masalah kenaikan harga bahan pokok, harga
bensin enceran, harga angkutan umum dan transportasi lainnya, meningkatkan harga komiditi
(pala, cengkeh, kopra) sebagai hasil pertanian umum masyarakat Maluku Utara sebagai bentuk
stabilitas.
Dan sudah umum bahwa pemerintah pusat harus berani melakukan revitalisasi aset
nasional. Hentikan liberalisasi sektor perminyakan, politik luar negeri yang berpihak pada asing
(kapitalisme), memberantas penimbunan BBM dan penyalahgunaan BBM.
Kenaikan BBM juga berdampak pada efek sosial. Dapat kita lihat dengan banyaknya
gerakan mahasiswa melakukan aksi di seluruh Indonesia. Aksi mahasiswa juga dilakukan oleh
berbagai elemen gerakan mahasiswa di Maluku Utara sebagai bentuk gerakan sosial dan gerakan
ekstraparlementer. Gerakan mahasiswa ini juga turut menjadi benturan dengan pihak keamanan
(kepolisian). Dimana tugas kepolisian yang mengayomi masyarakat dalam keamanan tapi malah
menjadi benturan dengan gerakan mahasiswa. Bahkan aksi-aksi konfrotasi cukup ramai seperti di
Makkasar, Sulawesi Selatan. Ini salah satu efek sosialnya. Seharusnya pemerintah bertanggung
jawab mengenai ini.
Di sisi lain, padahal partai pengusung Joko Widodo, Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) adalah partai yang paling ‘ngotot’ menolak kenaikan harga BBM ketika pada
kepemimpinan SBY. Joko Widodo juga bersikap sama. Tapi kini Joko Widodo ketika berkuasa
bahkan sebelum dilantik sebagai presiden sudah menyatakan keinginan menaikkan harga BBM.
Anomali.
Distorsi. Pasar yang bebas nilai ini nyatanya memang terbukti efektif dalam
mengakumulasi keuntungan, tetapi tidak demikian halnya dalam meningkatkan kesejahteraan.
Demikian pemerintahan seharusnya lahir dari masyarakat, dan secara bersama-sama membangun
suatu lembaga yang bernama negara untuk membela kepentingan mereka bersama.

Anda mungkin juga menyukai