Anda di halaman 1dari 2

Imagine KAMMI dan Sipil Keummatan

(Refleksi Milad KAMMI ke XVI, 29 Maret 2014)


M. Sadli Umasangaji
(Pengurus Daerah KAMMI Kota Ternate)
Dimuat di Posko Malut Edisi 29 Maret 2014

Tatkala era reformasi bergulir, berbagai wacana yang mengembang adalah terkait
kebebasan. Demokrasi pun menjadi salah satu pilihan terbaik diantara sistem terburuk lainnya.
Ini pula seiring dengan bergulir demokrasi yang menempatkan peran partisipasi rakyat. Taktala
kebebasan terbuka dan partisipasi individu mengemuka dan menyebar, disatu sisi efek kebebasan
itu belum terkontrol, maka atas nama transisi, demokrasi cenderung semu. Transisi dari rezim
otoriter ke demokratis seringkali menyisahkan masalah. Kehendak untuk meninggalkan masa
lalu dengan berbagai warisannya acapkali berbenturan dengan realitas kini yang tak pula
memetik harapan. Kesemuan demokrasi, salah satunya menghasilkan orang-orang tak bermoral.
Dan moral pun cenderung didefinisikan secara abstrak.
Berkutat akan hal ini, maka gagasan demokrasi hendaknya memiliki landasan
rasionalitas, moralitas, dan etika yang kuat. Demokrasi sejalan dengan ide-ide modernisasi yang
menuntut adanya perubahan di segala bidang kehidupan. Demokrasi sebagai sarana misi ideal
dan menjadi instrumen. Akan hal ini maka gagasan KAMMI sebagai gerakan mahasiswa,
gerakan kebangsaan, dan gerakan keummatan harus menjadi bagian dari peran didalamnya.
KAMMI sebagai organisasi pengkaderan harus mampu mengkader para kadernya dalam
mengelaborasi dirinya sebagai bagian gerakan intelektual organik dan gerakan moral. KAMMI
harus menyadari posisinya seperti dipahami ‘kalangan Gramscian’ yang menempatkan
masyarakat sipil yang menghadapi ideologi negara yang dihuni kalangan intelektual organik.
Istilah yang dikemukan Gramsci, intelektual organik adalah intelektual reflektif atas konteks
historis dan revolisioner dalam memperjuangkan manifes perenungannya, intelektual-akademisi
yang mendedikasikan proses pembelajaran sebagai upaya membuka ruang atas terjadinya gap
antara teori dan praktik. Dan KAMMI tidak terjebak pada intelektual tradisional. Intelektual
tradisional adalah mereka yang secara terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke
generasi, penyebar ide dan mediator antara massa rakyat dengan kelas atas.
Maka di posisi ini harus dimaknai KAMMI seperti apa yang dituliskan Rijalul Imam
(Ketua PP KAMMI Periode 2009-2011), dengan konsep “Medan Kompetisi KAMMI”. Pertama,
dirinya sendiri. Konteks ini akan bisa saja berlaku pada kader selama masih berkutat secara aktif
di KAMMI ataupun setelah paska KAMMI. Tapi akan lebih cenderung ketika secara aktif di
KAMMI. Dirinya sendiri adalah medan pertarungan pertama. Masa mudanya yang penuh godaan
adalah tantangan tersendiri. Kader KAMMI harus bisa melaluinya dengan sukses. Kader
KAMMI harus menempatkan masa mudanya dengan masa muda lebih mengedepankan
pemikiran peradaban. Kader KAMMI harus belajar menjadi teladan. Kuncinya adalah belajar
mempersepsi dirinya sebagai teladan terbaik, menyetting dirinya dengan setting mental
pemimpin, dan bergerak dengan perencanaan yang matang dan tertulis.
Kedua, kampus. Kampus adalah medan kompetisi kedua, kampus adalah ruang terbuka
dan miniatur negara pertama bagi gerakan mahasiswa untuk berkiprah di publik. Dari kampuslah
keluar berbagai kebijakan yang sedikit banyak berpengaruh pada kehidupan sivitas akademika.
Di kampus juga bermunculan berbagai dialektika pemikiran. Di kampus juga berkembang
berbagai aliran dan kelompok. Atas dasar itu kampus menjadi medan kompetisi strategis bagi
mahasiswa terkhusus kader KAMMI untuk mengasah bibit kepemimpinannya.
Ketiga, negara. Konteks ini bisa saja berlaku untuk kader yang masih berkutat aktif di
KAMMI ataupun paska KAMMI (senior KAMMI). Konteks ini pula adalah bagian dari KAMMI
sebagai gerakan mahasiswa, gerakan kebangsaan, gerakan keummatan.
Sebagai gerakan mahasiswa, sejatinya KAMMI adalah organisasi intelektual kritis
berbasis mahasiswa dan pemuda. Di bidang intelektual, KAMMI harus memiliki benchmark
intelektual dalam dunia pergerakan mahasiswa, agar aksi-aksi KAMMI tidak dinilai reaksioner
dan hampa intelektual. Justru kehadiran KAMMI harus merupakan bagian dari kedalaman
intelektual kader di berbagai sisinya. Karena itu KAMMI harus lebih banyak menulis gagasan
atau beropini yang argumentatif, berani berdebat secara intelektual, dan mendalam dalam
berbagai kajian strategis. Sebagai gerakan kebangsaan, KAMMI adalah bagian inheren elemen
penting perubahan bangsa karena kelahirannya di Indonesia dan di fase reformasi. Dan sebagai
gerakan keummatan, kelahiran KAMMI adalah bagian tak terpisahkan dalam upaya mewujudkan
“Sipil Keummatan”.
Dalam konteks negara pula, dapat diselaraskan dengan mihwar gerakan KAMMI, fase-
fase KAMMI yang dikonsepkan Rijalul Imam, Fase Ideologisasi (…-1998), Fase Resistensi
(1998-2004), Fase Reformulasi (2004-2009), Fase Rekonstruksi (2009-2014), Fase Leaderisasi
(2014-2019), Fase Internasionalisasi (2019-2024). Akan hal ini penulis memaparkan tentang fase
leaderisasi, sebagai fase dimana bagi penulis sebagai batu loncatan kader KAMMI untuk
menjadi bagian dari benih-benih terciptanya “Sipil Keummatan”.
Maka akan hal ini konteks negara cenderung berkutat dengan kader-kader paska
KAMMI. Menyadari bahwa visi KAMMI adalah wadah perjuangan permanen yang akan
melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang
Islami. KAMMI sebagai wadah bagian pembentukan kadernya sebagai gerakan intelektual
organik dan gerakan moral yang menyadari bahwa hal ini adalah bagian dari terciptanya “Sipil
Keummatan”. Jadi paska KAMMI pun kader KAMMI yang berkutat sebagai politisi, sebagai
birokrat, sebagai pengusaha, sebagai akademisi dan profesi apapun menyadari dirinya sebagai
bagian dari visi KAMMI yang menjadi anasir untuk “Sipil Keummatan”.
Sipil Keummatan merupakan masyarakat yang berperadaban tinggi dan maju dimana
berbasiskan pada nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan, menghormati
pluralitas, bersikap terbuka dan demokratis serta bergotong-royong menjaga kedaulatan Negara.
Akan hal ini kader KAMMI menginteralasi antar generasi baik kader KAMMI aktif dan
paska KAMMI serta menempatkan peradaban itu lahir karena akumulasi dari setiap generasi.
Kondisi ini membuat kader KAMMI aktif (junior) sebagai gerakan intelektual organik dan
gerakan moral. Sedangkan akumulasi dari kader KAMMI aktif dan kader paska KAMMI
(alumni KAMMI) adalah bagian inheren dari anasir dengan organisasi kepemudaan lain,
organisasi masyarakat lain, lembaga swadaya masyarakat lain, partai politik manapun, kalangan
masyarakat manapun untuk terciptanya “Sipil Keummatan”. Enam belas tahun sudah KAMMI
sebagai bagian dari kelanjutan sejarah gerakan mahasiswa, gerakan kebangsaan, dan gerakan
keummatan. Dan KAMMI berani mengatakan untuk Indonesia, “Bangkitlah Negeriku, Harapan
Itu Masih Ada, Jalan Itu Masih Terbentang”.

Anda mungkin juga menyukai