Disusun oleh :
Thoriq Al-anshori
Adi Saputra
Silfika Anggraini
1 Daud, Ali, Hukum Islam, 1996, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
dakwah dan jihad. Negara Islam inilah satu satunya tariqah yang dijadikan Islam untuk
menerapkan sistem dan hukumnya secara menyeluruh dalam kehidupan dan masyarakat.
Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia dan tidak didapati dalam al Quran
maupun al-Hadis (Ahmad Rafiq, 1996: 3). Hukum Islam didefinlsikan sebagai
seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan hadis Rasulullah SAW
tentangtingkah laku orang mukallaf yang diyakini mengikat untuk semua yang beragama
islam (Amir Syarifuddin, 1997: 5).
Hukum Islam dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu Hukum Islam
kategori syari'ah dan Hukum Islam kategori fiqh. Syari'ah kebenarannya bersifat mutlak
dan otoritatif sedangkan fiqh cenderung bersifat relatif dan liberal. Hukum Islam dalam
pengertian di sini lebih dekat dan pas dengan pengertian fiqh, yakni hukum yang
mempunyai karakteristik Islam dengan dasar wahyu. (Juhaya S. Praja, 2000:119).
Hukum Islam, masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke
Indonesia.Namun Hukum Islam di Indonesia mempunyai tipikal yang spesifik bila
dibandingkan dengan hukum Islam di berbagai negara muslim lainnya. Menurut banyak
studi, Islam di Indonesia adalah Islam yang akomodatif dan cenderung elastis dalam
berkompromi dengan situasi dan kondisi yang berkembang di Indonesia, terutama situasi
social politik yang sedang terjadi pada masa tertentu. Hal ini tidak bisa terlepas dari
bagaimana Islam masuk ke Indonesia. Islam beserta hukumnya masuk ke Indonesia
dengan cara penetrasi, dengan cara yang sangat laten dan membaur dengan berbagai
tradisi yang telah ada dan eksis. Dengan kata lain Islam masuk ke Indonesia tanpa
menimbulkan hentakan shoe culture, apalagi memicu kontroversi, sesuatu yang tidak
lazim bila dibandingkan dengan sejarah munculnya beberapa ideologi besar didunia.
Pada mulanya Hukum Islam adalah hukum positif. Hal ini terbukti dengan adanya
gelar adipati ing alogo sayyidin panotogomo, yaitu sebuah terminologi yang dengan
sangat jelas tidak akan merefer kecuali pada asumsi bahwa para raja adalah seorang
pemimpin yang memberlakukan hukum agama. (Agus Triyanta, 1997: 2).Dalam hal ini
Fazlur Rahman mengungkapkan bahwa begitu seseorang masuk Islam,maka hukum
agama akan teramalkan, karena hukum dalam Islam merupakan hal yang inheren dan
kesatuan yang tak terpisahkan dengan keislaman seseorang.(FazlurRahman, 1984: 90).
Hal senada dikemukakan oleh H.R. Gibb, bahwa orang Islam,kalau telah menerima Islam
sebagal agamanya, ia menerima autoritas hukum Islam.
Adapun perjalanan historis hukum Islam di Indonesia secara rinci adalah
sebagal berikut2:
Zaman Pra-Pemerintahan Hindia Belanda.
Pada zaman Ini, dikenal ada tiga periode, yaltu, periode tahkim, ahl al-hilli wa al-aqdi
dan tau{iyah.(Zam\ Ahmad Noeh, 1996:72).
a. Periode Tahkim.
Dalam persoalan pribadi yang mengakibatkan perbenturan antara hak-hak dan kepentingan
dalam tindakan, mereka bertahkim kepada seorang pemuka agama
yang ada di tengah-tengah kelompok masyarakat tersebut.
b. Periode Ahl al-Halili wa al-Aqdi.
Mereka telah membalat, mengangkat seorang ulama' Islam yang dapat bertindak
sebagai qadi untuk menyelesaikan setiap perkara yang terjadi di antara mereka.
c. PeriodeTauliyah.
Tauliyah dapat diidentifikasikan sebagai delegation of authority, yaitu penyerahan
kekuasaan atau wewenang mengadili kepada suatu judlcatlve, tetapi tidak mutlak. Pada periode
Ini telah nampak pengaruh ajaran trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu. Kenyataan
periodesasi Ini dibuktikan dengan kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk
daerah Cirebon, Semarang, Bone dan Gowa (Makassar) serta Papakem Cirebon. (Moh. Idris
Ramulyo, 1995:53-54).terhadap dirinya. Namun dalam perkembangannya pemberlakuan hukum
Islam mengalami hambatan-hambatan, baik dari penjajah Belanda maupun akibat adanya situasi
perpoliitikan di tanah air. Sehingga pemberlakuan hukum Islam sebagai hokum positif yang
berlaku secara mengikat, berjalan sangat lamban.
Zaman Pemerintahan Hindia Belanda.
Kedudukan Hukum Islam pada zaman Hindia Belanda, dapat dibagi menjadi dua periode,
yaitu.
a. Periode penerimaan Hukum Islam sepenuhnya.
Penerimaan Hukum Islam sepenuhnya disebut juga dengan receptio in compiexu(teori ini
dikemukakan oleh Van Den Berg), (Ahmad Azhar Basyir, 1993: 8;Muhammad Fajrul Falaakh,
3Ahmad Azhar Basyir, 1998, Hukum Islam di Indonesia dari masa ke masa dalam Peradilan
Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press.
b. Penerimaan Hukum Islam sebagai Sumber Otoritatif.
Dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Piagam
Jakarta atau penerimaan Hukum Islam bukan hanya sekedar menjadi sumber persuasif
(persuasive source) akan tetapi Hukum Islam telah menjadi132 Jumal Hukum Islam Al-
Mawarid Edisi 8
sumber otoritatif {authoritative source) dalam hukum tata negara Indonesia, yaitu mempunyai
kekuatan (authority). Dalam Dekrit Presiden tersebut, selain ditetapkannya Piagam Jakarta dalam
konsiderans, di dalam diktum ditetapkan pula kata "menetapkan UUD 1945 berlaku lagi". Di
dalam konsideransnya berbunyi "Bahwa kami berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni
1945 menjadi jiwa UUD 1945 dan adalah merupakarn suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi
tersebut".
Oleh karena itu dasar hukum Piagam Jakarta, konsiderans dan dasar hukum UUD1945
ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dinamakan Dekrit Presiden.
Keduanya, menurut hukum tata negara Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama.
Dalam perkembangan selanjutnya, Pemerintah Indonesia menggulirkan kebijakan politik hukum
yang dalam batas-batas tertentu mengakomodir beberapa keinganan umat Islam. Hal ini terbukti
dengan diberlakukannya Hukum Islam bagi pemeluk pemeluknya oleh pemerintah dengan
munculnya beberapa peraturan perundang-undangan.
Walaupun kalau dicermati betul, moment yang menguntungkan bagi umat Islam hanya
terjadi beberapa kali saja. Semenjak Indonesia merdeka, baru pada tahun 1957 ada penegasan
tentang kedudukan peradilan Islam atau berlakunya Mahkamah syariah. Lama setelah itu baru
muncul beberapa perundangan-undangan, diantaranya iaiah: Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974Tentang Perkawinan, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Setelah
diundangkannya UU No. 1 tahun 1974, lama sekali tidak muncul perundang-undangan yang
mengakomodir kepentingan umat Islam. Baru setelah rentang waktu 15 tahun, lahir UU No. 7
tahun 1989 tantang Peradilan Agama. Hal ini sangat logis terjadi, bila dilihat dari perspektif
sosial politis. Fase tersebut terkenal sebagai suatu fase yang dengan sangat jelasnya
menunjukkan disharmonitas hubungan antara pemerintah dengan umat Islam.
Posisi umat Islam sangat terpojok. Umat Islam dicurigai sebagai kekuatan sosial politik
yang sewaktu-waktu bisa mengancam pemerintah. Sehingga militer sangat ketat mengawasi
gerak gerik umat islam, terutama generasi mudanya. Oleh karenanya tidak terlalu
mengherankanlah bila pada fase ini masalah perundang-undangan kurang mendapatkan perhatian
yang semestinya. Kalau dicermati, dekade delapan puluhan ke belakang, akan didapati kenyataan
bahwa begitu banyak produk pembangunan hukum dan kebijakan pemerintah yang menunjukkan
concern yang demikian besar terhadap hukum Islam. Setelah lahirya UU No. 7 tahun 1989,
muncul kebijakan yang membolehkan pemakalan jilbab di sekolah, adanya Kompilasi hukum
Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991), dimasukkannya beberapa aktivitas muamalah Islam ke dalam
Undang-undang Perbankan (1992), diaturnya secara jelas sertifikasi halal atas berbagai produk
makanan yang masuk ke Indonesia, dan diundangkannya UU No. 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat.
Urgensi Penerapan Hukum Islam dalam Suatu Negara
Sebagai salah satu kedaulatan Negara, hukum berperan sangat penting dalam mengatur
ketertiban suatu Negara dengan terwujudnya hukum yang baik dalam sebuah Negara akan
menjadikan para rakyat nya teratur dan sesuai dengan kehendak yang di inginkan nya, dalam hal
ini hukum mengatur ketertiaban rakyat nya yang terpacu pada perilaku manusia.
Dalam Islam, agama dan perilaku berada pada kategori yang sama keduanya seperti dua sisi
pada satu mata uang. Tiap tingkah laku manusia mesti merefleksikan kehendak Tuhan, pada saat
yang sama diatur oleh aturan-aturan-Nya. Dalam pandangan Prof. Souryal, asumsi yang
mendasari syariat adalah bahwa manusia tidak mampu memisahkan yang benar dan yang salah
sesuai dengan kekuasaan mereka. Tugas abadi syariat adalah untuk menciptakan dan
mempertahankan suatu kondisi keterikatan sosial yang dilakukan guna menjaga tetap baiknya
keyakinan-keyakinan agama, organisasi sosial, dan tingkah laku yang baik.4
Untuk melihat lebih jauh tentang potensi penerapan syariat Islam sebagai rahmat bagi seluruh
alam, kita perlu mengkaji tujuan luhur penerapan syariat Islam dalam memelihara kehidupan
masyarakat dengan hukum-hukum yang dapat ditargetkan dan diandalkan untuk memelihara
aspek- aspek penting. Paling tidak, ada 8 aspek dalam kehidupan luhur masyarakat manusia yang
dipelihara oleh syariat Islam ketika diterapkan, yaitu:
1. Memelihara Keturunan: dengan mensyariatkan nikah dan mengharamkan
perzinaan; menetapkan berbagai sanksi hukum terhadap para pelaku perzinaan itu, baik
hukum cambuk maupun rajam. Dengan itu, kesucian dan kebersihan serta kejelasan
4 Santoso, membumikan hukum pidana islam, (Gema Insani Press: Jakarta, 2003), Hal: 136
keturunan manusia terjaga (Lihat: QS an-Nisa’ (4:1), QS ar-Rum (30:21), QS an-Nur
(21:2)
2. Memelihara Akal: dengan mencegah dan melarang dengan tegas segala
perkara yang merusak akal seperti minuman keras (muskir) dan narkoba (muftir) serta
menetapkan sanksi hukum terhadap para pelakunya. Di samping itu, Islam mendorong
manusia untuk menuntut ilmu, melaku-kan tadabbur, ijtihad, dan berbagai perkara yang
bisa mengembangkan potensi akal manusia dan memuji eksistensi orang-orang berilmu.
3. Memelihara Kehormatan: yakni dengan melarang orang menuduh zina,
mengolok, menggibah, melakukan tindakan mata-mata, dan menetapkan sanksi-saksi
hukum bagi para pelakunya. (Lihat: QS an-Nur [21:4], QS al-Hujurat [49:10-12]).
4. Memelihara Jiwa Manusia: dengan menetapkan sanksi hukuman mati bagi
orang yang telah membunuh tanpa hak dan menjadikan hikmah dari hukuman itu
(qishâsh) adalah untuk memelihara kehidupan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 179).
5. Memelihara Harta: dengan menetapkan sanksi hukum terhadap tindakan
pencurian dengan hukuman potong tangan yang akan mencegah manusia dari tindakan
menjarah harta orang lain. (Lihat: QS al-Maidah [5]: 38).
6. emelihara Aqidah : dengan melarang murtad serta menetapkan sanksi
hukuman mati bagi pelakunya jika tidak mau bertobat kembali kepang-kuan Islam (Lihat:
QS al-Baqarah [2]: 217).
7. Memelihara Keamanan: yakni dengan menetapkan hukuman berat sekali
bagi mereka yang mengganggu keamanan masyarakat, misalnya dengan memberikan
sanksi hukum potong tangan plus kaki secara silang serta hukuman mati dan disalib bagi
para pembegal jalanan (Lihat: QS al-Maidah [5]: 33).
8. Memelihara Negara: dengan menjaga kesatuannya dan melarang orang
atau kelompok orang melakukan pemberontakan (bughât) dengan mengangkat senjata
melawan negara (Lihat: QS al-Maidah [5]: 33).
Syariat Islam, ditujukan terutama sebagai instrument moralisasi dan juga agen
pencegahan. Pentingnya penerapan hukum islam pada suatu Negara atau wilayah akan
efektif dengan menggunakan lima pendekatan:
Pertama: syariat digunakan secara terus menerus dalam mendorong perbaikan
individu dan mensucikan kesadarannya dengan ide-ide islam yang tinggi dan moralitas yang
luhur.
Kedua: syariat dengan seimbang memperingatkan manusia untuk tidak melakukan
kejahatan dan mengancam pelakunya dengan hukuman yang berat di dunia dan di akhirat.
Ketiga: syariat memerintahkan umat islam untuk saling tolong menolong dalam
kebaikan dan kesabaran dengan memberikan bimbingan, dorongan moral, dan pengajaran
agama.
Keempat: syariat mencegah kejahatan dengan menutup jalan yang dapat
menyebabkan dilakukannya perbuatan itu.
Kelima: syariat mempersiapkan umat islam, sebagai antisipasi kecenderungan moral
manusia, sesuai dengan kaidah-kaidah islam.5
Pendapat para Ulama seputar negara Islam dan Demokrasi
Negara Indonesia bisa dikategorikan "negara Islam" karena telah pernah dikuasai
sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi
nama negara Islam tetap selamanya. Keterangan diambil dari kitab Bughyatul Mustarsyidin
karya Sayyid Abdurrahman bin Husain salah seorang Ulama ahli fiqih Hadramaut. Semua
tempat dimana muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa tertentu, maka ia
menjadi daerah Islam yang syariat Islam berlaku pada pada masa itu dan masa sesudahnya,
walaupun kekuasaan umat Islam terputus oleh penguasaan orang-orang kafir terhadap
mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran terhadap
mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan "daerah kafir harbi" hanya
merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya. Dengan demikian diketahui bahwa tanah
Betawi dan bahkan sebagian besar Tanah Jawa adalah "daerah Islam” karena umat Islam
pernah menguasainya sebelum penguasaan orang-orang kafir.6
Kita juga tidak bisa mengkategorikan Negara Indonesia sebagai negara Kafir,
yang lantaran banyak aturan-aturan didalamnya bukan aturan Islam. Sehingga tidak dapat
dibenarkan mereka yang ingin berjihad melawan negara ini dengan dalih negara
Indonesia tidak menerapkan sistem khilafah, sebagaimana salah seorang pakar Fiqih
bernama Sulaiman Bin Manshur al jaili al Jamal dalam Hasyiyah Sulaiman Al Jamal,
kitab rujukan para Mufti mafzhab Syafii, dimana disana dijelaskan, beliau berkata
Imam Rafi’i berkata : Para ulama’ menggolongkan bagian kedua sebagai negara
Islam, hal itu menjelaskan bahwa tentang penganggapan sebagai negara Islam cukup
adanya negara itu dibawah kekuasaan seorang imam walaupun disana tidak terdapat
satupun orang muslim. Imam Rafi’i berkata : Adapun para ulama’ menggolongkan bagian
ketiga sebagai negara Islam karena terkadang dijumpai dalam perbincangan para ulama’
suatu pendapat yang memberikan pengertian bahwa penguasaan yang sudah berlalu
cukuplah untuk melestarikan hukum sebagai negara Islam.7
Timbul pertanyaan di benak sebagian saudara-saudara kita, Bagaimanakah kita
memahami al-Maidah: 44 yang mana disana dijelaskan barangsiapa yang menggunakan
hukum selain Hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir. Imam Al Qurtuby
dalam tafsirnya menjelaskan :
; ومن لم يحكم بما أنزل ا فأولئك هم الكافرون والظ المون والفاسفقون نزل ت كلهفا ففي الكففار: قوله تعالى
. فأما المسلم فل يكف ر وإن ارتكفب كفبيرة. وعلى هذا المعظم، وقد تقدم، ثبت ذلك في صحيح مسلم من حديث البراء
وجحفدا لقفول الرس ول عليفه الصفلة والسفلم فهفو، ومن لم يحكم بما أنزل اف ردا للقفرآن: فيه إضمار ; أي: وقيل
هي عامة في كففل مففن لففم يحكففم بمففا: قال ابن مسعود والحسن. فالية عامة على هذا، كافر ; قاله ابن عباس ومجاهد
معتقدا ذلك ومستحل له ; فأما من فعل ذلك وهففو معتقففد أنففه راكففب محفرم: أنزل ا من المسلمين واليهود والكفار أي
ومففن لففم: وقال ابن عباس في روايففة، وإن شاء غفر له، وأمره إلى ا تعالى إن شاء عذبه، فهو من فساق المسلمين
ومن لم يحكم بجميع ما أنزل افف فهففو كففافر ; فأمففا: أي: وقيل، يحكم بما أنزل ا فقد فعل فعل يضاهي أفعال الكفار
والصحيح الول، من حكم بالتوحيد ولم يحكم ببعض الشرائع فل يدخل في هذه الية
7 Sulaiman Bin Manshur al jaili al Jamal, Hasyiyatul Jamal, Juz. 7 Hal. 208
Kurang lebihnya dapat kita pahami sebagaimana berikut : Maksud dari Q.S Al-
Maidah 41 dalam ayat selanjutnya juga dijelaskan dengan redaksi kalimah KAFIRUN
dengan kalimah FASIQUUN dan DZALIMUUN ayat ini berkenaan dengan permasalah
KUFUR, sebagaimana telah dijelaskan dalam Hadits Muslim dari riwayat Al-bara' RA,
sebagaiman penjelasan yang telah lalu, seorang Muslim tdk bisa dikatakan Kafir. dan ada
juga pendapat ayat ini mengandung arti "Barang siapa yang tdk menetapkan hukum yang
telah diturunkan Alloh Swt, maksudnya adalah Menolak (kebenaran) Al-Qur'an dengan
angkuh, Dengan dasar Hadits Rosululloh Saw maka orang trsebut Kafir, sebagaiman yang
dikatakan Ibnu Abbas dan Al-Mujahid RA "ini adalah ayat yang aam/Umum" oleh
karenanya Ibnu mas'ud & Hasan RA berkata (ini adalah ayat) yang Umum pada tiap-tiap
seseorang yang tidak menetapkan hukum dengan apa-apa yang diturunkan oleh Alloh
Swt, dari permasalahan yang berkenaan dengan seorang Muslim, Yahudi dan seorang
kafir (pada umum-nya) maksudnya, jika seseorang yang melakukan hal yang dilarang
oleh Alloh swt sedang dia berkeyakinan ini tetap haram hukumnya maka dia dikatakan
sebagai seorang Muslim yang Fasik (bukan kafir)Dan atas perbuatannya. Seseorang bisa
mendapatkan adzab dari Alloh atau Alloh Swt memberikan pengampunan atas-nyaIbnu
Abbas RA dalam riwayat yang lain berkata barang siapa yang tdk meng-hukumi atas apa
yang telah diturunkan (ditetapkan) oleh Alloh Swt, maka dia sungguh... telah melakukan
pekerjaan orang kafir (bukan dikatakan seorang kafir). ada juga yang qiil (sedikit ulama
yang berpendapat) "Barang siapa yang tdk meng-Hukum-i dengan semua yang
diturunkan (ditetapkan )oleh Alloh dia dikatakan kafir, adapun orang yang meng-hukumi
tauhid dan tidak meng-hukum-i syari'at maka tdk termasuk pada pembahasan ayat
tersebut diatas. Dan pendapat yang shohih adalah pendapat pertama.yaitu, orang muslim
yang melakukan perbuatan orang kafir (amal kemaksiatan) tdk bisa difonis KAFIR,akan
tetapi SEORANG MUSLIM YANG FASIK.8
Demokrasi sering diartikan sebagai bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh
rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara perwakilannya. Didalam menghukumi
sesuatu seringkali mengutamakan kemufakatan bersama yang dalam hal ini diwakili DPR
atau MPR. Keputusan-keputusan yang dihasilkan seringkali dihasilkan dari suara
8 Abu Abdillah Muhammad bIn Ahmad Al Qurthubi, Al Jaami’ li Ahkaamil Quran, Juz 6, Hal.
190-191
terbanyak. Terlepas apa yang disuarkan tersebut sesuatu yang batil atau tidak. Minuman
keras misalnya, jika DPR memutuskan legal maka legal, jika dilarang atau haram maka
haram. Dalam mencapai kekuasaan pun demokrasi mengedepankan rakyat langsung yang
bersuara. Semua dianggap sama tanpa membedakan dia termasuk Ahlul Halli wal Aqdi
atau bukan. Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al Buti salah seorang Ulama Damascus
pemikir Islam kontemporer menyebutkan dalam kitabnya Fiqhussiroh An Nabawiyyah
bahwasannya sistem demokrasi ini bertentangan dengan asas syariah Islam. Akan tetapi
negara-negara yag mayoritas penduduknya Muslim tetap dihukumi sebagai negara Islam
meski pada kenyataannya Syariat Islam tidak bisa diterapkan. Beliau menjadikan salah
satu Qaidah Ushul yang berbunyi Al Ghoyah laa tubarrirul Washilah sebagai pedoman
penolakan Demokrasi ini. Sebagaimana Nabi SAW dulu menolak tawaran kafir Quraisy
agar dijadikan raja tanah arab atau dijadikan orang yang paling tinggi kedudukannya di
klangan mereka namun Nabi SAW menolak, karena hal ini bertentangan dengan syariat
Islam. Bagaimanapun baiknya tujuan tidak serta merta menghalalkan segala cara yang
dicapai. Andai Nabi SAW naudzu bilah berpolitik pada saat itu (politik zaman sekarang)
niscaya Nabi SAW memilih menjadi Raja terdahulu lalu menghakimi semua umat pada
saat itu dengan Islam, namun tidak demukian. Karena Nabi SAW mengetaui hal ini
bertentangan dengan Syariah.9
Penutup
Sebagai salah satu kedaulatan Negara, hukum berperan sangat penting dalam
mengatur ketertiban suatu Negara dengan terwujudnya hukum yang baik dalam sebuah
Negara akan menjadikan para rakyat nya teratur dan sesuai dengan kehendak yang di
inginkan nya, dalam hal ini hukum mengatur ketertiaban rakyat nya yang terpacu pada
perilaku manusia.
Negara Indonesia bisa dikategorikan "negara Islam" karena telah pernah dikuasai
sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi
nama negara Islam tetap selamanya. Keterangan diambil dari kitab Bughyatul
Mustarsyidin karya Sayyid Abdurrahman bin Husain salah seorang Ulama ahli fiqih
Hadramaut. Semua tempat dimana muslim mampu untuk menempatinya pada suatu masa
tertentu, maka ia menjadi daerah Islam yang syariat Islam berlaku pada pada masa itu dan
masa sesudahnya, walaupun kekuasaan umat Islam terputus oleh penguasaan orang-orang
kafir terhadap mereka, dan larangan mereka untuk memasukinya kembali atau pengusiran
terhadap mereka, maka dalam kondisi semacam ini, penamaannya dengan "daerah kafir
harbi" hanya merupakan bentuk formalnya dan tidak hukumnya
Daftar Pustaka
Daud, Ali, Hukum Islam, 1996, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ahmad Azhar Basyir, 1998, Hukum Islam di Indonesia dari masa ke masa dalam Peradilan
Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press.
Santoso, membumikan hukum pidana islam. Gema Insani Press: Jakarta, 2003.
Abu Abdillah Muhammad bIn Ahmad Al Qurthubi, Al Jaami’ li Ahkaamil Quran, Juz 6.