Anda di halaman 1dari 8

1.

DEFINISI
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus
tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan
atresia rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai
sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb)
(Faradilla, 2009).
Atresia ani merupakan suatu kelainan malformasi congenital dimana
terjadi ketidaklengkapan perkembangan embrionik pada bagian anus atau
tertutupnya anus secara abnormal atau dengan kata lain tidak ada lubang
secara tetap pada daerah anus. Lokasi terjadinya anus imperorata ini meliputi
bagian anus, rectum, atau bagian diantara keduanya. (Alimul, Aziz. 2008)

2. KLASIFIKASI
Klasifikasi atresia ani :
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses
tidak dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum
(Wong, Whaley. 1985).

Menurut klasifikasi Wingspread (1984)yang dikutip Hamami, atresia ani


dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.
1. Laki Laki
 Golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia
rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara
> 1 cm dari kulit.
 Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu kelainan fistel
perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada dan pada
invertogram: udara < 1 cm dari kulit.
2. Perempuan
 Golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel
vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada
invertogram: udara > 1 cm dari kulit.
 Golongan II pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel
perineum, stenosis anus, fistel tidak ada dan pada invertogram: udara
< 1 cm dari kulit ( Hamami A.H, 2004).

3. Epidemiologi

Atresia ani rata-rata terjadi 1 dari 5000 kelahiran, yang kebanyakan terjadi
pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Di Amerika
Serikat 600 anak lahir dengan atresia ani. Data yang didapatkan kejadian
atresia ani timbul dengan perbandingan 1 dari 5000 kelahiran. Atresia ani
paling sering terjadi pada bayi yang baru lahir. Frekuensi seluruh kelainan
kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran, sedangkan
atresia ani didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus
dan dapat muncul sebagai penyakit tersering. Jumlah pasien dengan kasus
atresia ani pada laki-laki lebih banyak ditemukan dari pada pasien perempuan
(Grosfeld J, 2006)
Insiden terjadinya atresia ani berkisar dari 1500-5000 kelahiran hidup
dengan sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki. 20 % -75 % bayi yang
menderita atresia ani juga menderita anomali lain. Kejadian tersering pada
laki-laki dan perempuan adalah anus imperforata dengan fistula antara usus
distal uretra pada laki-laki dan vestibulum vagina pada perempuan (Oldham
K, 2005). Angka kajadian kasus di Indonesia sekitar 90 %. Berdasarkan dari
data yang didapatkan penulis, kasus atresia ani yang terjadi di Jawa Tengah
khususnya Semarang yaitu sekitar 50 % dari tahun 2007-2009.
5. Faktor resiko
a. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga
bayi lahir tanpa lubang dubur.
b. Gangguan organogenesis dalam kandungan.
c. Berkaitan dengan sindrom down.
d. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu
atau 3 bulan.
e. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah
usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara
minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
f. Risiko atresia ani meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan
kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan
populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran.

6. Manifestasi Klinik atresia ani

Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering
ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses
keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.
Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di
kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul:

 Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.


 Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
 Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
 Perut kembung.
 Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

(Ngastiyah, 2005)

Manifestasi klinik atresia ani adalah:

 Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran


 Tidak dapat dilakukan pengeluaran suhu rectal pada bayi
 Mekonium keluar melalui fistula atau anus yang salah letaknya
 Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak
ada fistula)
 Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
 Pembuluh darah dikulit abdomen akan terlihat menonjol
 Pada pemeriksaan rectal touche terdapat adanya membran anal
 Perut kembung
(Betz. Ed 7 2002)

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ATRESIA ANI


Untuk memperkuat diagnosis atresia ani, diperlukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut (Royan, 2012):
a. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengtahui ada tidaknya obstruksi intestinal
b. X-Ray abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan usus dan untuk
mengetahui kjarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya
c. Ultrasound abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh
karena massa tumor
d. CT Scan
Digunakan untuk menentukan adanya lesi
e. Pyelografi intravena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter
f. Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan dengan memasukan selang atau jari ke
dubur
g. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan
dengan traktus urinarius
8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani
letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu
lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal
pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan
prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982
yang dikutip oleh Faradillah memperkenalkan metode operasi dengan
pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah
muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan
mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel (Faradilla, 2009).
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara
jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik
serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus
ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan
berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG.
Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak
adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang
kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi
penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran
rektum dan ada tidaknya fistula (Faradilla, 2009).
Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada:
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif
(PSARP). (atau berat BB > 10 kg)
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana
sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk
identifikasi batas otot sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena
dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009).
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan
intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi.
Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak
dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baikminimal, limited atau full
postero sagital anorektoplasti (Faradilla, 2009).
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya
ditemukan vital ke vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel
vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak
lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara
fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita
hanya minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan
makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan
optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus
urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak
sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum,
anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat
masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu
segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika
udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Lubang
fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus
normal, tetapi tanda timah anus yang buntu ada di posteriornya. Kelainan ini
umumnya menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak
di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar
sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. Bila tidak ada fistel
dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat segera dilakukan
pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi (Hamami A.H, 2004).
Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk
perineum dan tidak adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi pada
anak laki dapat dibuat kelompok dengan atau tanpa fistel urin dan fistel
perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari
orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke
vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan
memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel
terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin
mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses
tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum
tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak
ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera
dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum sama dengan pada wanita ;
lubangnya terdapat anterior dari letak anusnormal. Pada membran anal
biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses
tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis
anus, sama dengan wanita, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada
fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram, perlu juga segera
dilakukan pertolongan bedah (Hamami A.H, 2004).

DAPUS
Faradilla N, Damanik R.R, Mardhiya W.R.2009. Anestesi pada Tindakan
Posterosagital Anorektoplasti pada Kasus Malformasi Anorektal. Universitas Riau.
Whaley & Wong’s. 1995. Pedoman Klinik Keperawatan Pediatrik.Jakarta : EGC

Hamami A.H, Pieter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. 2004. Buku-ajar ilmu


bedah. editor, Peter J,.-Ed.2.-Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai