Anda di halaman 1dari 26

Aspek Hukum atas Pelaksanaan Bangun Guna Serah Dalam Pengelolaan

Barang Milik Daerah


Peraturan Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang
Milik Daerah memberikan kesempatan untuk pemerintah daerah melaksanakan
pemanfaatan aset tetap milik daerah yang tidak digunakan untuk kegiatan operasional
pemerintah daerah dengan tujuan untuk mengoptimalkan aset tetap milik daerah
tanpa mengubah status kepemilikan atas aset tetap milik daerah. Pelaksanaan
pemanfaatan aset tetap milik daerah memberikan peluang untuk masing-masing
daerah menambah pendapatan asli daerah melalui aset tetap yang tidak digunakan
dalam kegiatan operasional.

Salah satu bentuk pemanfaatan yang diatur dalam Peraturan Dalam Negeri Nomor 19
Tahun 2016 adalah terkait dengan Build Operate Transfer(BOT) atau dalam isitilah
Peraturan Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 lebih dikenal dengan isitilah Bangun
Serah Guna(BGS). BGS merupakan pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah
oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya
dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain
tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. Pelaksanaan BGS/BSG barang
milik daerah dilaksanakan dengan pertimbangan:

 Pengguna Barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan


pemerintahan daerah untuk kepentingan pelayanan umum dalam rangka
penyelenggaraan tugas dan fungsi; dan

 tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam APBD untuk penyediaan
bangunan dan fasilitas tersebut.
Pelaksanaan BGS pada Pemerintah Daerah sebagaimana diatur pada Peraturan Dalam
Negeri Nomor 19 Tahun 2016 yang dilaksanakan dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut:

1. Bangunan dan fasilitasnya yang menjadi bagian dari hasil pelaksanaan


BGS/BSG harus dilengkapi dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas
nama pemerintah daerah.

2. Biaya persiapan BGS/BSG yang dikeluarkan Pengelola Barang atau Pengguna


Barang sampai dengan penunjukan mitra BGS/BSG dibebankan pada APBD.

3. Biaya persiapan BGS/BSG yang terjadi setelah ditetapkannya mitra


BGS/BSG dan biaya pelaksanaan BGS/BSG menjadi beban mitra yang
bersangkutan.

4. Penerimaan hasil pelaksanaan BGS/BSG merupakan penerimaan daerah yang


wajib disetorkan seluruhnya ke rekening Kas Umum Daerah.

5. BGS/BSG barang milik daerah dilaksanakan oleh Pengelola Barang setelah


mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota.

Bagi Pemerintah Daerah pelaksanaan BGS merupakan salah satu cara untuk
melaksanakan efisiensi atas pengeluaran dana dari APBD, dimana Pemerintah dapat
memperoleh fasilitas baik dalam bentuk gedung apartemen, hotel, pusat perbelanjaan
dan lain sebagainya tanpa harus mengeluarkan dana dari APBD.

Bangun Guna Serah(BGS) pada pemerintah daerah didasarkan atas perjanjian BGS
antara Pemerintah Daerah sebagai pemilik tanah dan Mitra BGS sebagai pihak ketiga
yang menerima penguasaan atas tanah Pemerintah Derah. Perjanjian BGS menjadi
dasar pembentukan hubungan hukum antara Pemda dengan Mitra BGS. Hak dan
kewajiban pada pelaksanaan BGS timbul akibat perjanjian BGS. Perjanjian BGS
menempatkan tanah sebagai objek perjanjian, dengan perjanjian BGS penggunaan
atau pemanfaatan dan pengelolaan tanah dapat diserahkan kepada pihak lain selama
jangka waktu tertentu. Dengan demikian perlu dipahami norma-norma hukum atas
tanah selama perjanjian BGS berlangsung.

Bagaimana status hukum atas tanah objek perjanjian BGS selama perjanjian BGS
berlangsung?

Untuk menjawab atas permasalahan tersebut maka perjanjian BGS perlu dikaji dari
dua aspek hukum, yaitu melalui aspek hukum perjanjian dan hukum pertanahan:

A.Bangun Guna Serah Ditinjau dari Aspek Perjanjian

Perjanjian BGS ini tidak dikenal dalam hukum perdata, munculnya perjanjian BGS
dilatarbelakangi dengan adanya tuntutan kebutuhan masyarakat, khususnya bagi para
pelaku usaha yang menghendaki terjalinnya hubungan kemitraan atau kerja sama
dalam menjalankan usaha maupun melakukan ekspansi yang dituangkan dalam satu
perjanjian tertulis dan lazimnya agar para pihak yang berkepentingan merasa
terlindungi. Dengan demikian keberadaan BGS adalah untuk memenuhi kebutuhan
praktik dilapangkan dimana di satu sisi pemilik lahan membutuhkan dana untuk
membangun gedung sementara para pengusaha membutuhkan lahan untuk
menjalankan kegiatan bisnisnya. Dua kebutuhan tersebut kemudian bertemu dan
dituangkan dalam perjanjian BGS yang didesain dengan tunduk pada peraturan
perundangan yang terkait dengan perjanjian.

Secara umum terdapat tiga fungsi dari perjanjian BGS yaitu:

1. Sebagai surat penunjukan penggunaan tanah oleh pihak lain(Mitra


BGS/penerima BGS)

2. sebagai dasar kesepakatan penggunaan tanah antara pemilik tanah dengan


pengguna tanah; dan

3. menciptakan hubungan hukum yang konkret atas penguasaan tanah secara


fisik oleh pihak yang menerima penyerahan tanah.
Secara umum dasar hukum perjanjian BGS mengacu pada pasal 1320 KUH Perdata.
Pasal 1320 KUH Perdata menjadi dasar atau tolak ukur sah atau tidaknya perjanjian-
perjanjian yang ada di Indonesia. Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa ada
empat unsur yang harus dipenuhi supaya perjanjian (dalam hal ini perjanjian BGS)
dapat dinyatakan sah, yaitu:

Adanya Kesepakatan Kedua Belah Pihak

Kesepakatan dalam pengertian ini menunjukkan bahwa para pihak yang mengadakan
perjanjian BGS setuju atas pasal-pasal yang dijelaskan pada perjanjian. Pemaksaan
atas kehendak salah satu pihak ke pihak yang lain tidak dibenarkan jika mengacu
pada unsur ini.

Kecakapan untuk Melakukan Perbuatan Hukum

Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum dapat diartikan bahwa para pihak
yang menandatangani perjanjian harus lah subjek hukum yang sah. Apabila pihak
yang melaksanakan perjanjian adalah orang per orang (person) maka setiap orang
tersebut haruslah cakap melakukan perbuatan hukum sebagai yang telah ditentukan
adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya.

Terkait dengan pengertian dewasa, di Indonesia terdapat pandangan yang berbeda


dalam mendefinisikan dewasa, menurut KUH Perdata dewasa adalah 21 tahun bagi
laki-laki dan 19 tahun bagi wanita namun jika mengacu pada Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16
tahun bagi wanita. Secara umum pengertian dewasa sebagaimana dijelaskan pada
KUH Perdata menjadi acuan dalam praktik-praktik hukum perjanjian di Indonesia.

Dengan melihat karakteristik dan sifat dari perjanjian BGS, maka secara umum pihak
yang melaksanakan perjanjian adalah pemerintah daerah dengan perusahaan
swasta(rechtssubject), dan tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh perusahaan
swasta dengan perusahaan swasta lainnya atau perorangan dengan perusahaan swasta.
Jika pihak yang melakukan perjanjian BGS adalah Pemerintah Daerah dengan
Perusahaan swasta, maka yang menjadi perhatian adalah status badan hukum dari
perusahaan swasta tersebut. Pemerintah Daerah harus memastikan bahwa status
badan hukum sah secara hukum Indonesia, dengan demikian apabila pelaksanaan
BGS yang sifatnya kompleks dan dengan nilai aset tanah yang menjadi objek
perjanjian BGS besar maka legal audit ataupun Due diligence atas status badan
hukum mitra BGS menjadi salah satu pilihan tepat untuk meminimalisir masalah-
masalah yang timbul dikemudian hari akibat badan hukum yang tidak sah secara
hukum Indonesia diketahui setelah perjanjian ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Jika mengacu Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan


Barang Milik Daerah, pihak swasta yang menjadi pihak dalam perjanjian BGS
disebut dengan istilah mitra BGS. Pemilihan mitra didasarkan pada prinsip-prinsip
terbuka, sekurang-kurangnya diikuti oleh 3 (tiga) peserta, memperoleh manfaat yang
optimal bagi daerah, dilaksanakan oleh panitia pemilihan yang memiliki integritas,
andal dan kompeten, tertib administrasi, dan tertib pelaporan.

Pelaksanaan pemilihan mitra BGS dilakukan dengan cara tender. Tender dilakukan
untuk mengalokasikan hak pemanfaatan barang milik daerah berdasarkan spesifikasi
teknis yang telah ditentukan oleh Pengelola Barang/Pengguna Barang kepada mitra
BGS yang tepat dari peserta calon mitra yang lulus kualifikasi. Proses tender
dilaksanakan sepanjang terdapat paling sedikit 3 (tiga) peserta calon mitra yang
memasukkan penawaran, kemudian hasil tender dituangkan dalam berita acara yang
ditandatangani oleh panitia pemilihan dan calon mitra selaku pemenang tender.

Adanya Obyek

Objek Hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat yang bermanfaat dan dapat
dikuasai oleh subjek hukum serta dapat dijadikan objek dalam suatu hubungan
hukum.[1] Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau
barang yang cukup jelas, dalam kaitannya dengan perjanjian BGS maka yang menjadi
objek perjanjian secara umum adalah Aset Berupa Tanah atau hak atas tanah. Dalam
hal ini hak-hak atas tanah dari pemilik harus jelas secara hukum sebagaimana yang
akan dijelaskan pada sub pembahasan angka 2 tulisan ini.

Adanya Kausa yang Halal

Kausa yang halal dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 1335 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau
dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan
hukum. Unsur ini tidak menutup kemungkinan bahwa isi perjanjian harus sesuai
dengan ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia di luar dari KUH Perdata
itu sendiri. Dengan demikian Pemerintah Daerah dalam membuat perjanjian BGS
harus memperhatikan ketentuan perundangan yang terkait dengan BGS, adapun
ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan antara lain adalah:

 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria;

 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas


Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Daerah;

 Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan


Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015;

 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang perlakukan


Pajak Penghasilan terhadap pihak-pihak yang melakukan kerja sama dalam
bentuk perjanjian bangun guna serah; dan
 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman
Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Dibandingkan dengan jenis perjanjian lain terdapat karakteristik khusus yang


melekat pada jenis perjanjian ini. Karakteristik yang secara khusus melekat pada
perjanjian BGS adalah terkait dengan prestasi yang diperjanjikan. Pasal 1234 KUH
Perdata menyebutkan bahwa prestasi merupakan memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.

Klausa memberikan sesuatu pada perjanjian BGS adalah berupa pemberian hak oleh
pemilik tanah/lahan kepada pihak swasta untuk membangun di atas tanah pemilik
lahan dan pemberian hak konsesi kepada pihak swasta untuk menggunakan bangunan
tersebut untuk waktu tertentu yang telah disepakati.

Klausa berbuat sesuatu adalah adanya kewajiban dari pihak swasta untuk membuat
atau mendirikan bangunan di atas hak pemilik lahan sesuai dengan gambar atau
spesifikasi yang telah disepakati oleh pemilik lahan, kewajiban untuk mengurus Izin
Mendirikan Bangunan(IMB) dan perizinan lainnya atas nama pemilik lahan,
mengasuransikan bangunan gedung, membayar komensasi/royalty kepada pemilik
lahan, dan penyerahan kembali aset berserta dengan segala fasilitasnya kepada
pemilik.

Klausa tidak berbuat sesuatu adalah berupa larangan yang ditujukan kepada pihak
swasta untuk tidak melakukan sesuatu seperti larangan menjual, mengalihkan atau
menjaminkan hak atas tanah kepada pihak ketiga. Pasal 221 ayat (1) Permendagri
Nomor 19 Tahun 2016 melarang mitra BGS untuk menjaminkan, menggadaikan, atau
memindahtangankan atas:

 tanah yang menjadi objek BGS/BSG;

 hasil BGS yang digunakan langsung untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi
Pemerintah Daerah; dan/atau
 hasil BSG.

Bangun Guna Serah(BGS) Ditinjau dari Aspek Hukum Pertanahan

Berkaitan dengan aspek hukum pada perjanjian BGS maka perjanjian BGS dapat
ditinjau dari aspek hukum pertanahan, mengingat dalam perjanjian BGS yang
menjadi objek perjanjian adalah tanah maka dianggap perlu bahwa perjanjian BGS
dikaji dari aspek hukum pertanahan.

Pada prinsipnya pada perjanjian BGS tidak terjadi peralihan hak atas tanah kepada
mitra BGS melainkan mitra BGS hanya memperoleh penguasaan fisik atas tanah
untuk dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada
perjanjian BGS. Setelah perjanjian berakhir maka mitra BGS harus mengembalikan
kembali penguasaan fisik atas tanah beserta dengan sarana dan prasarana yang timbul
atas pelaksaan perjanjian BGS.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok


Agraria (UUPA) mengenal beberapa hak atas tanah yang antara lain meliputi Hak
Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Dalam perkembangan
hukum tanah nasional dikenal pula Hak Pengelolaan. Dari lima hak tanah tersebut
atas tanah dengan Hak Guna Usaha tidak dapat dijadikan objek BGS karena pada Hak
Guna Usaha tidak diberikan izin untuk membangun gedung di atas tanah melainkan
hanya untuk mengusahakan saja.

BGS di atas Tanah Hak Milik

Pengertian hak milik menurut ketentuan Pasal 6 UUPA adalah hak yang turun
temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan
mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA. Hak Milik bersifat turun-menurun diartikan
bahwa Hak Milik atas tanah tersebut tidak hanya berlangsung selama hidup
pemegang Hak milik atas tanah, tetapi dapat juga dilanjutkan oleh ahli warisnya
apabila pewaris meninggal dunia, oleh karena itu Hak Milik jangka waktunya tidak
terbatas. Hak Milik bersifat terkuat maksudnya bahwa Hak Milik merupakan induk
dari macam hak atas tanah lainnya dan dapat dibebani oleh hak atas tanah lainnya,
seperti Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Hak Milik bersifat terpenuh maksudnya
Hak Milik menunjuk luas wewenang yang diberikan kepada pemegang Hak Milik
dalam menggunakan tanahnya baik untuk usaha pertanian maupun untuk mendirikan
bangunan. Hak Milik bersifat turun temurun, terkuat dan terpenuh bukan berarti
bahwa Hak Milik merupakan hak yang mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat
diganggu gugat. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan Hak Milik dengan hak-hak
atas tanah lainnya yang dimiliki oleh individu.

Pasal 6 UUPA menyebutkan bahwa Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
termasuk tanah dengan hak milik. Fungsi sosial tersebut dapat diartikan sebagai:[2]

 Dalam aktivitas penggunaannya atau pemanfaatan tanah tidak boleh


menimbulkan kerugian kepada pihak lain;

 penggunaan tanah wajib disesuaikan dengan peruntukan yang telah ditetapkan


sesuai dengan rencana tata ruang;

 penggunaan atau pemanfaatan tanah wajib memperhatikan kepentingan umum


selain kepentingan pribadi;

 tanah digunakan tidak boleh ditelantarkan sehingga menimbulkan kerugian


atas tanah tersebut, baik dari sisi kesuburan, penggunaan, dan
kemanfaatanatan tanah tersebut.

Dalam rangka BGS, Tanah dengan status hak milik akan diserahkan penggunaannya
kepada mitra BGS dengan maksud untuk membangun gedung yang berada di atas
tanah hak milik. Maka dalam rangka pelaksanaan BGS tersebut maka kepada mitra
BGS dapat diberikan hak baru berupa hak guna bangunan atau hak pakai.

Pemberian HGB atau Hak Pakai kepada Mitra BGS dilaksanakan dengan prosedur
sebagai berikut:
1. Pemegang Hak Milik dan Mitra BGS membuat dan menandatangani Akta
Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Hak Milik melalui Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT);

2. Kemudian Akta Tersebut didaftarkan ke Kantor Pertanahan sesuai dengan


wilayah hukumnya;

3. Kantor Pertanahan melakukan penelitian dan verifikasi atas berkas


permohonan hak;

4. Kantor Pertanahan membuat buku tanah HGB atau Hak Pakai dan kemudian
menerbitkan Sertifikat HGB atau Hak Pakai di atas hak milik,

Dengan demikian, dalam proses BGS tanah dengan status hak milik dapat
membentuk dua instrumen hukum yaitu perjanjian BGS dan Akta Pemberian Hak
Guna Bangunan/Hak Pakai atas Hak Milik dalam rangka menerbitkan sertifikat HGB
atau Hak Pakai.

B.BGS di atas Tanah dengan alas Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai

Pasal 35 ayat (1) UUPA menjelaskan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri
dengan jangka waktu paling lama 30 Tahun, sementara Hak Pakai sesuai dengan
Pasal 41 ayat (1) UUPA diartikan sebagai hak untuk menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik
orang lain. Kedua Hak atas tanah ini merupakan hak atas tanah sekunder yaitu hak
atas tanah yang berasal dari tanah yang dikuasai oleh pihak lain, sehingga tanah yang
dibebani dengan HGB dan Hak Pakai tidak dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah
lainnya.

Pelaksanaan BGS di atas dengan alas HGB atas Hak Pakai hanya membutuhkan satu
instrumen hukum saja yaitu perjanjian BGS. Mitra BGS hanya dapat menggunakan,
mengelola dan mengambil keuntungan ekonomis secara wajar dari pemanfaatan tanah
dalam jangka waktu tertentu. Perjanjian BGS di atas Tanah HGB dan Hak Pakai
kurang menguntungkan bagi mitra BGS dalam hal aspek komersialnya. Mitra BGS
tidak dapat menjaminkan tanah yang dikelolanya kepada lembaga keuangan karena
mitra BGS tidak memiliki Hak atas Tanah yang Dikuasainya. Hal ini berbeda dengan
BGS di atas Hak Milik dimana mitra BGS dapat menjaminkan tanah yang
dikelolanya kepada bank.

BGS di atas Tanah Hak Pengelolaan(HPL)

Hak Pengelolaan(HPL) merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan


pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Seperti halnya dengan
perjanjian BOT di atas tanah Hak Milik, penyerahan penggunaan tanah HPL kepada
Investor juga dapat disertai dengan pemberian hak atas tanah baru, baik dengan HGB
atau dengan Hak Pakai. Namun yang membedakan adalah pemberian HGB dan Hak
Pakai di atas tanah Hak Pengelolaan tidak membutuhkan akta PPAT, melainkan cukup
hanya dengan menandatangani perjanjian BGS dan persetujuan prinsip atau
rekomendasi dari pemegang HPL. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan dan penandatanganan perjanjian BGS antara Pemegang HPL


dengan Mitra BGS;

2. Pemegang HPL menerbitkan Surat Rekomendasi kepada Mitra BGS untuk


digunakan sebagai salah satu syarat bagi perolehan hak guna bangunan;

3. Mitra BGS mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas


tanah HPL ke Kantor Pertanahan setempat;

4. Apabila syarat dalam permohonan pemberian Hak Guna Bangunan telah


lengkap maka Kantor Pertanahan setempat menerbitkan Surat Keputusan
Pemberian Hak (SKPH);

5. SKPH didaftarkan di Kantor Pertanahan untuk dibuatkan buku tanah yang


menjadi dasar penerbitan Sertifikat Hak Guna bangunan.
Kerja sama dengan sistem BGS di atas tanah HPL merupakan praktik yang paling
sering dijumpai pada pemerintah daerah.

Kesimpulan

Berdasarkan kajian atas BGS yang ditinjau dari aspek hukum perjanjian dan hukum
pertanahan diketahui bahwa inti dari perjanjian BGS adalah pemberian hak untuk
menguasai dan menggunakan atau memanfaatkan tanah untuk didirikan baik untuk
kepentingan komersial. Ketika tanah tersebut telah diserahkan penggunaan dan/atau
penguasaan fisiknya kepada mitra BGS membawa dampak terhadap hak-hak dan
kewajiban pemilik tanah. Hak pemilik tanah yang semula bebas untuk mengelola dan
menggunakan tanah, maka dengan perjanjian BGS dibatasi karena sebagian haknya
telah diserahkan kepada mitra BGS.

SAAT ini, bentuk kerja sama investasi dengan sistem bangun guna serah (Built,
Operate and Transfer/BOT) telah banyak dilakukan baik antara pemerintah dengan
investor maupun antara pemilik lahan dengan investor.
Lantas bagaimana perlakuan pajak penghasilan (PPh) terhadap pihak-pihak yang
melakukan kerja sama dalam bentuk perjanjian BOT? Sebelum membahas lebih jauh
mengenai perlakuan pajak dari BOT, penting untuk memahami terlebih dahulu
pengertian dari bangun guna serah (BOT).
BOT adalah bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas
tanah dengan investor yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan
hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna
serah, dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas
tanah setelah masa bangun guna serah berakhir.
Definisi tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
248/KMK.04/1995 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE -
38/PJ.4/1995 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan
Dengan Perjanjian Bangun Guna Serah.
Adapun bangunan yang didirikan oleh investor dapat berupa gedung perkantoran,
apartemen, pusat perbelanjaan, rumah toko (ruko), hotel, dan/atau bangunan lainnya.
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian bangun guna serah adalah investor yang
diberikan hak untuk mendirikan bangunan dan menggunakan atau mengusahakan
bangunan tersebut selama masa perjanjian bangun guna serah, dan pemegang hak atas
tanah yang memberikan hak kepada investor.
Bangun Guna Serah
a. Pengertian Bangun Guna Serah
Secara umum pengertian Bangun Guna Serah (BGS) adalah Bentuk pendanaan
proyek saat suatu entitas swasta menerima konsesi (pemberian hak, izin, atau tanah
oleh perusahaan, individu, atau entitas legal lainnya) dari entitas lain untuk
mendanai, merancang, membangun, dan mengoperasikan suatu fasilitas yang
dinyatakan dalam kontrak konsesi. Umumnya proyek dengan skema ini kan
diserahkan kepada pemerintah pada akhir masa konsesi.
Dalam perspektif perpajakan Bangun Guna Serah adalah bentuk perjanjian kerja
sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang
menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk
mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah, dan mengalihkan
kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa bangun
guna serah berakhir. (Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan nomor 248/KMK.04/1995,
SE-38/PJ.4/1995).
Karena hak telah diberikan hak sesuai jangka waktu perjanjian kepada investor maka
investor dapat menatakelola lahan tersebut dengan mendirikan berupa gedung
perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, rumah toko (ruko), hotel, termasuk
didalamnya adalah wahana permainan atau ilmu pengetahuan dan atau bangunan
lainnya
b. Ciri-Ciri Bangun Guna Serah
Ada 3 (tiga) ciri-ciri dalam perjanjian Bangun Guna Serah yaitu :
 Pembangunan (Build), pemilik proyek sebagai pemberi hak pengelolaan
memberikan kuasanya kepada pemegang hak (pelaksana proyek) untuk
membangun sebuah proyek dengan dananya sendiri (dalam beberapa hal
dimungkinkan didanai bersama / participate interest). Desain dan spesifikasi
bangunan merupakan usulan pemegang hak pengelolaan yang harus mendapat
persetujuan dari pemilik proyek.
 Pengoperasian (Operate). Merupakan masa atau tenggang waktu yang
diberikan pemilik proyek kepada pemegang hak untuk selama jangka waktu
tertentu mengoperasikan dan mengelola proyek tersebut untuk diambil
manfaat ekonominya. Bersamaan dengan itu pemegang hak berkewajiban
melakukan pemeliharaan terhadap proyek tersebut. Pada masa ini, pemilik
proyek dapat juga menikmati hasil sesuai dengan perjanjian jika ada.
 Penyerahan kembali (Transfer), Pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak
pengelolaan dan fisik proyek kepada pemilik proyek setelah masa konsesi
selesai tanpa syarat (biasanya). Pembebanan biaya penyerahan umumnya telah
ditentukan dalam perjanjian mengenai siapa yang menanggungnya.
c. Unsur-Unsur Bangun Guna Serah
Berdasarkan pengertian, ciri-ciri dari suatu perjanjian Bangun Guna Serah maka
didapat beberapa unsur-unsur dalam perjanjian bangun guna serah yaitu :
1. Investor
2. Tanah/Lahan
3. Bangunan komersial
4. Jangka waktu operasional
5. Penyerahan

Subjek dan Objek Pajak


Pihak-pihak yang melakukan kerjasama dalam bentuk Perjanjian Bangunan Guna
Serah (Built Operate and Transfer/BOT).
Aspek Pajak bagi investor
1. Penghasilan bagi Investor
Penghasilan investor sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah adalah
penghasilanyang diterima atau diperoleh investor dari pengusahaan bangunan
yang didirikan antara lain:
 Sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta;
 Penghasilan sehubungan dengan hak pengusahaan bangunan seperti
penghasilan dari pengusahaan hotel, pusat fasilitas olah raga (sport
center), tempat hiburan, dan sebagainya;
 Penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dari pemegang hak
atas tanah apabila masa perjanjian bangun guna serah diperpendek dari
masa yang telah ditentukan.
2. Biaya bagi Investor
 Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bagi investor adalah
biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan dengan
memperhatikan pasal 9 ayat (1) Undang-undang PPh berkenaan dengan
pengusahaan bangunan yang didirikan berdasarkan perjanjian bangun
guna serah tersebut.
 Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh investor untuk mendirikan bangunan
merupakan nilai perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan
atau hak mengusahakan bangunan tersebut, dan nilai perolehan tersebut
oleh investor diamortisasi dalam jumlah yang sama besar setiap tahun
selama masa perjanjian bangun guna serah

Aspek Pajak bagi Pemegang Hak Atas Tanah


1. Penghasilan bagi Pemegang Hak Atas Tanah
Penghasilan yang terima atau diperoleh pemegang hak atas tanah sehubungan
dengan perjanjian bangun guna serah dapat berupa :
 Pembayaran berkala yang dilakukan oleh investor kepada pemegang hak
atas tanah dalam atau selama masa bangun guna serah;
 Bagian dari uang sewa bangunan ;
 Bagian keuntungan dari pengusahaan bangunan dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang telah diberikan oleh investor;
 Penghasilan lainnya sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah
yang terima atau diperoleh pemegang hak atas tanah.
2. Biaya bagi Pemegang Hak Atas Tanah
Biaya yang dapat dikurangkan oleh pemegang hak atas tanah selama masa
bangun guna serah adalah biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) dan dengan memperhatikan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Pajak
Penghasilan (PPh).

Tarif Pajak
Besarnya tarif pajak penghasilan (PPh) yang terutang sebesar 5% dari jumlah bruto
dari nilai tertinggi antara nilai pasar dengan NJOP bagian bangunan yang diserahkan
oleh pemegang hak atas tanah tersebut merupakan nilai perolehan bangunan bagi
pemegang hak atas tanah.
Pembayaran PPh sebesar 5% yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah atas
penyerahan bangunan yang dilakukan oleh investor bagi wajib pajak orang pribadi
bersifat final dan bagi wajib pajak badan merupakan pembayaran PPh Pasal 25 yang
dapat diperhitungkan dengan PPh terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 15 atas perusahaan yang melakukan investasi
dalam bentuk BOT sebesar 5% yakni apabila pemegang hak atas tanah adalah badan
pemerintah.

Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan


Pelaporan harus diserahkan tanggal 20 pada bulan dimana pembayaran pajak juga
dilakukan. Namun, tanggal jatuh tempo pembayaran pajak itu sendiri bervariasi.
Dibayar oleh wajib pajak paling lambat tanggal 15 di bulan setelah masa BOT
berakhir.
Dalam hal bangunan yang didirikan oleh investor tidak seluruhnya menjadi
hak investor tetapi sebagian diserahkan kepada pemegang hak atas tanah maka PPh
yang terutang harus dilunasi oleh pemegang hak atas tanah selambat-lambatnya
tanggal 15 bulan berikutnya setelah penyerahan.

Subjek Pajak Bangun Guna Serah


Subjek dalam Bangun Guna Serah adalah pihak-pihak yang melakukan kerjasama
dalam bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah yaitu :
 Pemilik Lahan, jika pemiliknya adalah Pemerintah Daerah maka subjeknya
adalah Pengelola barang (Sekretaris Daerah) tentu setelah mendapat
persetujuan Bupati. Jika lahan dimiliki oleh badan usaha maka subjeknya
adalah Badan
 Investor, Jika investornya adalah Badan maka subjeknya adalah Badan
demikian juga jika investornya Orang Pribadi maka subjeknya adalah Orang
pribadi.
Objek Pajak Bangun Guna Serah
Pajak Penghasilan
Jenis pajak dalam skema bangun guna serah adalah pajak penghasilan yang diterima
oleh :
1. Investor
2. Pemegang Hak Atas Lahan

a. Investor
Penghasilan yang diterima investor dengan skema bangun guna serah adalah semua
penghasilan dari pemberdayaan lahan. Misal investor membangun wahana permainan
seperti Water Park, maka penghasilannya adalah :
 Ticket Masuk
 Sewa sehubungan dengan penggunaan harta seperti lapak yang ada disekitar
waterpark
 Penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dari pemegang hak
atas tanah apabila masa perjanjian bangun guna serah diperpendek dari masa
yang telah ditentukan
 dan lain-lain
Semua penghasilan yang diterima wahana permainan Waterpark tersebut di atas
dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sesuai jenis subjek pajaknya.
Pembiayaan yang dapat dilakukan oleh investor meliputi :
 Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bagi investor adalah
biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan dengan
memperhatikan pasal 9 ayat (1) Undang-undang PPh berkenaan dengan
pengusahaan bangunan yang didirikan berdasarkan perjanjian bangun guna
serah tersebut.
 Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh investor untuk mendirikan bangunan
merupakan nilai perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan
atau hak mengusahakan bangunan tersebut, dan nilai perolehan tersebut oleh
investor diamortisasi dalam jumlah yang sama besar setiap tahun selama masa
perjanjian bangun guna serah.
contoh-contoh :
 Biaya Amortisasi, Investor PT. Nusa Wahana Permai (NWP) mendirikan
tempat bermain Water Park atas tanah milik PT. Channel Penguasa (CP)
berdasarkan perjanjian bangun guna serah dengan biaya Rp. 15 Miliar untuk
masa selama 15 Tahun. Maka Amortisasi yang dilakukan oleh PT. NWP setiap
tahunnya adalah Rp. 1 Miliar (Rp 15 Miliar : 15).
 Penghasilan, berdasarkan contoh di atas pada akhir tahun tahun ke 10 PT.
NWP menyerahkan bangunan kepada PT. CP. Maka dengan diperpendeknya
masa perjanjian tersebut kepada PT. NWP diberikan imbalan oleh PT. CP
sebesar Rp. 5 Miliar padaalhir tahun ke 10 (tahun bverakhirnya masa
perjanjian bangun guna serah). PT. NWP memperoleh tambahan penghasilan
sebesar Rp. 5 M
b. Pemegang Hak Atas Lahan
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 34 Tahun 2016 tentang pajak penghasilan atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan perjanjian
pengikat jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya dijelaskan
bahwa yang dikecualikan dari kewajiban PPh atas PHTB dan PPJB TB adalah Orang
pribadi atau badan yang melakukan PHTB dalam rangka melaksanakan perjanjian
bangun guna serah, bangun serah guna atau pemanfaatan barang milik negara berupa
tanah dan atau bangunan. Sesuai pasal 15 ayat (1) UU PPh pihak-pihak yang
mjelakukan kerjasama dalam bentuk perjanjian bangun guna serah adalah kategori
Wajib Pajak tertentu.
Adapun penghasilan yang terima atau diperoleh pemegang hak atas tanah sehubungan
dengan perjanjian bangun guna serah dapat berupa :
 Pembayaran berkala yang dilakukan oleh investor kepada pemegang hak atas
tanah dalam atau selama masa bangun guna serah;
 Bagian keuntungan dari pengusahaan bangunan dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang telah diberikan oleh investor;
 Penghasilan lainnya sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah yang
terima atau diperoleh pemegang hak atas tanah.
 Dalam hal bangunan yang didirikan investor tidak seluruhnya menjadi hak
investor tetapi sebagian diserahkan kepada pemegang hak atas tanah, maka
bagian bangunan yang diserahkan merupakan penghasilan bagi pemegang atas
tanah dalam tahun pajak yang bersangkutan. Atas penyerahan tersebut
terutang pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai
yang tertinggi antara lain pasar dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) bagian
bangunan yang diserahkan, dan harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 15
bulan berikutnya setelah penyerahan.
 Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah
setelah masa Perjanjian bangunan serah berakhir merupakan penghasilan baik
pemegang hak atas tanah, dan terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima
persen) dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP) bangunan yang telah diserahkan, dan harus dilunasi
oleh pemegang hak atas tanah selambat-lambatnya tanggal 15 bulan
berikutnya setelah masa bangun guna serah berakhir.

Kelemahan Dan Kelebihan BOT

Kelebihan :
1. Pemilik proyek
• Kontrol pemilik proyek terhadap kinerja operasional, standar pelayanan, dan
perawatannya.
• Kemampuan untuk mengakhiri kontrak jika standar kinerja tidak terpenuhi,
walaupun fasilitas dapat terus digunakan.
• Pemilik proyekdapat memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
• Penghematan terhadap desain, konstruksi, dan arsitekturnya.
• Pemilik proyek dapat membangun infrastruktur dengan biaya perolehan dana
dan tingkat bunga yang relatif rendah atau tidak mengeluarkan dana untuk
pembangunan sebuah proyek.
• Pemilik proyek dapat mengurangi beban penggunaaan dana APBN/APBD atau
pinjaman luar negeri.
• Proyek BOT secara financial menguntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan
biaya untuk melakukan studi kelayakan, biaya operasional.
• Pemilik proyek daerah juga tidak menanggung risiko kemungkinan terjadinya
perubahan kurs.
2. Pelaksana proyek
• Pembangunan infrastruktur dengan metode BOT merupakan pola yang menarik,
karena memiliki hak penguasaan yang tinggi terhadap infrastruktur yang
dibangunnya.
• Dengan proyek BOT, pelaksan proyek dapat membuka peluang dan diberi
kesempatan untuk memasuki bidang usaha yang semula hanya ditangani
pemerintah atau BUMN/BUMD.
• Pelaksana proyek dapat melakukan ekspansi usaha yang mempunyai prospek
menguntungkan serta dapat memanfaatkan lahan strategis yang dimiliki pemilik
proyek.
• Merupakan inovasi dalam pembiayaan proyek yang umumnya berbeda dengan
proyek biasa, meningkatkan profesionalisme dan meningkatkan daya saing
perbankan dalam negeri.

3. Publik
• Publik akan mendapatkan sarana dan prasarana utnuk umum yang dibutuhkan
oleh masyrakat.
• Publik mendapat manfaat dari keahlian partner swastanya.
• Publik mendapatkan manfaat dari penghematan operasi dari partner swasta.
• Publik dapat mempertahankan kepemilikan aset.
• Kepemilikan publik dan kontrak diluar operasi tidak dapat dikenai pajak.
• Publik mempertahankan otoritas terhadap kualitas layanan dan pembayarannya.
• Bagi pihak swasta, termasuk lawyer, perbankan, enginer, dan yang lain, dapat
berperan mengambil bagian dalam penanganan dan pengoperasian proyek yang
sangat potensial mendatangkan keuntungan.

Kelemahan :
1. Pemilik proyek
• Jika pelaksana proyek bangkrut, maka pemilik proyek yang harus melanjutkan
operasi proyek dan memberikan subsidi.
• Bagi pemilik proyek, proyek BOT tidak jarang berarti melepaskan monopoli dan
menyerahkannya pada pihak swasta.
• Hilangnya salah satu sumber pendapatan yang potensial mendatangkan
keuntungan, melepaskan hak pengelolaan aset strategis dan memberikannya pada
swasta untuk jangka waktu tertentu.
• Dalam beberapa hal, pemilik proyek masih diikutsertakan dalam masalah yang
rumit, seperti pembebasan tanah, pemindahan lokasi, dsb.
2. Pelaksana Proyek
• Kemungkinan pemindahan entitas sektor swasta atau penyelesaian kontrak
ketika terjadi kebangkrutan partner swasta.
• Bagi pelaksana proyek terdapat kemungkinan menanggung semua risiko karena
pemerintah sebagai pemilik proyek tidak mau berbagi risiko atas proyek BOT,
sampai dengan control atas proyek itu diserahkan kembali kepada pemilik proyek.
• Lebih rawan terjadi korupsi, ada anggapan bahwa tidak mungkin mendapatkan
proyek pemerintah tanpa mengeluarkan dana untuk menyuap ofisialnya.
• Perusahaan swasta sebagai suatu entitas bisnis pada umumnya memiliki
keterbatasan dalam penyediaan dana untuk pembangunan infrastruktur,
menyebabkan pola BOT menjadi kurang diminati investor.
• Selama kurun waktu pengoperasian infrastruktur oleh pihak investor, mungkin
saja terjadi perubahan kebijakan pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian
bagi pihak investor.
• Kemungkinan kesulitan pendanaan oleh investor karena perbankan
mengganggapnya tidak bankable untuk dibiayai.

RISIKO PROYEK BOT

Karena proyek BOT membutuhkan dana yang besar, maka proyek BOT juga
rentan terhadap risiko. Risiko yang umumnya ada pada proyek BOT antara lain :
1. Risiko konstruksi (construction and operation risk), yaitu kemungkinan
konstruksi proyek tersebut tidak dapat dipenuhi pada waktu yang telah ditentukan.
Konsekuensi atas penyelesaian keterlambatan proyek konstruksi, seharusnya
diperjanjikan dalam kontrak. Untuk itu dapat dipertimbangkan pengenaan penalty
atau ganti kerugian untuk suatu keterlambatan atau meminta jaminan pelaksanaan
(performance bond) pada tingkatan yang berbeda.
2. Risiko biaya yang ternyata melebihi estimasi semula.
Apabila terjadi hal ini, maka dapat diperjanjikan dalam kontrak adanya harga
yang pasti atau dapat pula diusahakan agar risiko tersebut ditanggung bersama-
sama antara para pihak. Dapat juga melakukan penyediaan stanby credit atau
akses pada penyertaan modal tambahan.
3. Risiko politik (political risk), yaitu berkaitan dengan stabilitas negara, misalnya
huru hara, unjuk rasa, perang, dsb.
Secara teori, political risk dapat berupa project discruption caused by adverse acts
of government, yaitu tindakan atau perbuatan yang berasal dari pemerintah atau
agent of the government yang dapat mengganggu jalannya proyek BOT. Political
risk sendiri dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu :
- Traditional political risk yang berupa pengambilalihan perusahaan dengan atau
tanpa ganti rugi yang dikenal dengan tindakan nasionalisasi (nationalization of the
project company’s assets) atau aturan perpajakan baru yang merugikan prospek
perolehan keuntungan ekonomi proyek BOT tersebut.
- Regulatory risk dapat berupa perubahan peraturan yang merugikan proyek BOT,
pengetatan standar baru, pembukaan sektor baru yang mendatangkan banyak
kompetisi.
- Quasi-commercial risk dapat berupa pemutusan hubungan kontrak oleh
pemerintah atau terdapatnya perubahan dalam planning pemerintah dsb.
4. Risiko musibah (project discruption caused by events outside of the control of
the parties), yaitu bencana alam yang dapat mengganggu jalannya proyek,
misalnya gempa, banjir, badai, dll.
Dalam hal ini asuransi merupakan alternatif terbaik untuk mengatasi risiko tidak
terduga ini, walaupun pemerintah membantu memberikan jaminan terhadap
gangguan-gangguan tersebut.
5. Risiko tidak diperolehnya bahan baku yang sangat dibutuhkan untuk proyek.
Gangguan supply bahan baku akan sangat mengganggu jalannya sebuah proyek,
oleh karena itu sebelumnya perlu dibuat kontrak dengan supplier untuk
meminimalisasi risiko tersebut. Jaminan dari pemerintah atas supplier bahan baku
barangkali akan sangat membantu apabila dapat dilakukan.
6. Risiko pasar (commercial risk), yang berkaitan dengan produk yang akan dijual
atau jasa yang akan dilakukan ternyata dapat menutup semua pengeluaran yang
telah dilakukan.
Apabila barang atau jasa yang dihasilkan proyek BOT tidak dapat dijual pada
harga yang diprediksikan maka kemungkinan kelangsungan hidup dari proyek
tersebut akan terancam, untuk itu rencana yang matang dan studi kelayakan yang
teliti dan cermat barangkali akan dapat meminimalisasi risiko ini.
7. Risiko pertukaran mata uang asing/exchange rate.
Ada kalanya proyek BOT membutuhkan dana pinjaman dalam bentuk valuta
asing sedangkan keuntungan yang diperoleh dalam bentuk mata uang lokal. Pada
saat jatuh tempo tidak jarang kontraktor harus mengembalikan dalam bentuk
valuta asing. Pada saat pengembalian dana pinjaman, tidak jarang terjadi
perubahan nilai tukar yang sangat tinggi.
JENIS-JENIS KONTRAK DALAM BOT

Jenis-jenis Kontrak yang terkait dalam kegiatan pembangunan dan pengoperasian


proyek/fasilitas infrastruktur dengan pola BOT, meliputi antara lain :
1. Kontrak Konsesi (Concession Agreement)
Kontrak antara Prinsipal dan Promotor. Kontrak ini menjadi dasar dari kontrak-
kontrak lainnya.
2. Kontrak Konstruksi (Construction Contract)
Kontrak yang dibentuk antara Promotor dan kontraktor. Dalam sejumlah proyek
kedua pihak dapat menjadi satu pihak.
3. Kontrak Suplai (Supply Contract)
Kontrak antara Supplier dan Promotor tentang suplai bahan-bahan mentah untuk
proyek bersangkutan.
4. Shareholder Agreement
Kontrak yang dibentuk antara Promotor dan Investor. Investor disini dapat
diartikan sebagai penyandang dana yang ikut membiayai proyek. Dapat berasal
dari Lembaga keuangan ataupun individu.
5. Kontrak Operasional (Operation Contract)
Kontrak antara Promotor dan Operator tentang pengoperasian atau pemeliharaan
fasilitas yang telah dibangun.
6. Kontrak Pinjaman (Loan Agreement)
Kontrak yang dibentuk antara Lender dan Promotor seputar sumber pembiayaan.
Lender dapat berupa bank-bank investasi, dana pensiun, lembaga penyedia kredit
ekspor yang menyediakan dana bagi pembiayaan fasilitas tertentu.
7. Offtake Contract
Kontrak ini dibentuk antara User dan Promotor. Pola BOT ini sangat kompleks
sehingga membutuhkan pengetahuan yang cukup bagi aparat daerah untuk
melaksanakannya. Pelaksanaan yang salah akan membawa kerugian baik bagi
pemerintah daerah sendiri maupun bagi masyarakat, termasuk juga investor.

Pembekalan pengetahuan tentang pola BOO/BOT ini hendaknya secara


berkesinambungan diberikan kepada aparat pemerintah di daerah. Berbagai
disiplin ilmu harus saling melengkapi dalam proyek ini. Untuk bidang hukum,
pakar konstruksi haruslah dilibatkan dalam memberikan pembekalan baik dari
segi dasar hukum, teknis dan prosedur yang diatur oleh peraturan perundangan
serta bentuk kontrak yang sesuai bagi keperluan proyek bersangkutan.
Menimbang :
1. bahwa sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994, Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang norma
penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak
tertentu;
2. bahwa untuk keperluan pemungutan Pajak Penghasilan terhadap pihak-pihak
yang melakukan perjanjian kerjasama dalam bentuk bangun guna serah (built
operate and transfer) dipandang perlu diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263),
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3459) dan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3567);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1994 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan
Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3579);
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3312), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12
Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2171);
4. Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP PIHAK-PIHAK YANG
MELAKUKAN KERJASAMA DALAM BENTUK PERJANJIAN BANGUN
GUNA SERAH ("BUILT OPERATE AND TRANSFER").
Pasal 1
Bangun Guna Serah ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian
kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang
menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk
mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan
mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah
masa guna serah berakhir.
Pasal 2
Biaya mendirikan bangunan diatas tanah yang dikeluarkan oleh investor
merupakan nilai perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau
(1) hak mengusahakan bangunan tersebut, dan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut
oleh investor diamortisasi dalam jumlah yang sama besar setiap tahun selama
masa perjanjian bangun guna serah.
Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai pada tahun bangunan
(2)
tersebut mulai digunakan atau diusahakan oleh investor.
Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih pendek dari masa yang
telah ditentukan dalam perjanjian maka sisa biaya pembangunan yang belum
(3)
diamortisasi, diamortisasi sekaligus oleh investor pada tahun berakhirnya masa
bangun guna serah yang lebih pendek tersebut.
Apabila dalam pelaksanaan bangun guna serah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diberikan penggantian atau imbalan kepada investor, maka penggantian atau
(4)
imbalan tersebut adalah penghasilan bagi investor dalam tahun diterimanya hak
penggantian atau imbalan tersebut.
Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih panjang dari masa yang
telah ditentukan dalam perjanjian karena adanya penambahan bangunan, maka
(5) biaya penambahan bangunan tersebut ditambahkan terhadap sisa biaya yang
belum diamortisasi dan diamortisasi oleh investor hingga berakhirnya masa
bangun guna serah yang lebih panjang tersebut.
Pasal 3
Bangun yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah
masa perjanjian bangun guna serah berakhir adalah merupakan penghasilan bagi
(1) pemegang hak atas tanah berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994.
Atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang Pajak Penghasilan
sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar
dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) bangunan yang bersangkutan sebagaimana
(2) dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1994 dan harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah
masa guna serah berakhir.
(3) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi orang
pribadi bersifat final dan bagi Wajib Pajak badan adalah merupakan pembayaran
Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan
yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Nilai perolehan atas bangunan yang diterima dari investor sebagaimana dimaksud
(4) pada ayat (1) adalah sebesar nilai atau NJOP yang merupakan dasar pengenaan
Pajak Penghasilan.
Pasal 4
Penghasilan lain yang diterima atau diperoleh oleh pemegang hak atas tanah selama
masa bangun guna serah merupakan obyek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1994.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan keputusan ini ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Pasal 6
Keputusan ini berlaku atas perjanjian bangun guna serah yang berakhir setelah tahun
pajak 1994.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengumuman Keputusan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai