Anda di halaman 1dari 16

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KUSTA/ LEPRA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Sistem Integumen”

Oleh:

Nama : Apriliani Yuva Kusuma Sari Dewi

NIM : 1401036

Dosen Pembimbing :

Sri Suparti, S.Kep., Ns, M.Kep, CWCS

STIKES MUHAMMADIYAH KLATEN

Prodi S1 Keperawatan

Tahun Ajaran 2016/2017


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan penyakit kusta atau lepra sangat ditakuti dimana penyakit ini
disebabkan bakteri Microbakterium leprae. Morbus hansen atau yang sering disebut
penyakit kusta/lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuma
Mycrobacterium leprae yang menyerang saraf tepi (primer), kulit, dan jaringan
tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat. Sedangkan menurut Djuanda Adhi,
kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afiitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecualli susunan saraf pusat.
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae (sering disebut hansen),
ditemukan oleh GH. A. Hansen (Norwegia) tahun 1987. Mycobacterium leprae
bersifat tahan asam, bentuk batang, ukuran panjang 1-2 mikron, lebar 0.2-0.5
mikron. Dimana, terdapat tiga tanda cardinal pada penyakit kusta/lepra yang
meliputi; lesi kulit yang anestesi, penebalan saraf perifer (sensorik, motorik,
autonom) dan ditemukan Mycobacterium leprae.
Berdasarkan laporan Kemenkes RI, jumlah penderita kusta terbanyak terdapat di
Provinsi Jawa Timur baik pada tahu 2011-2013 dengan penurunan 1.152 kasus,
sedangkan provinsi yang mengalami kenaikan dalam kurun waktu 2011-2013
terdapat di Provinsi Banten sebanyak 202 kasus. Berdasarkan jenis kelami pria
memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita. Provinsi dengan
proporsi kusta terbanyak berjenis kelami laki-laki yaitu Jawa Timur (23,25%), Jawa
Barat (13,50%), dan Jawa Tengah (10,82%).

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan kusta?
2. Apakah penyebab dari kusta?
3. Bagaimanakah patofisiologi dari kusta?
4. Apa sajakah tanda gejala dari kusta?
5. Bagaimanakah penatalaksanaan medis dari kusta?
6. Bagaimanakah asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kusta?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi kusta
2. Untuk mengetahui dan memahami penyebab dari kusta
3. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi dari kusta
4. Untuk mengetahui dan memahami tanda gejala dari kusta
5. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis dari kusta
6. Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan yang diberikan pada
pasien dengan kusta
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kusta
Berikut beberapa pengertian dari para ahli;
1. Morbus hansen (lepra, kusta) adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh kuma Mycrobacterium leprae yang menyerang saraf tepi (primer), kulit,
dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat.
2. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afiitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecualli susunan saraf pusat. (Djuanda Adhi,
2010)
3. Kusta atau Lepra (sering disebut penyakit Hansen) adalah infeksi kronis
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, terutama ditandai oleh adanya
kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), bila tidak
ditangani akan berakibat rusaknya kulit, selaput lendir hidung, buah zakar
(testis) dan mata. (Akhsin Zulkoni, 2010)
Menurut WHO, kusta dibagi menjadi sebagai berikut;
1. Tipe Paucibasiler (PB), lepra tipe ini ditemukan pada seseorang dengan sistem
imun seluler yang baik, mengandung sedikit basil yang termasuk TT, BT, I,
dengan BTA (-).
2. Tipe Multibasiler (MB), lepra pada tipe ini ditemukan pada seseorang dengan
sistem imun seluler yang rendah, mengandung banyak basil yang termasuk BB,
BL, LL, dengan BTA (+).

B. Penyebab Kusta
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae (sering disebut hansen),
ditemukan oleh GH. A. Hansen (Norwegia) tahun 1987. Mycobacterium leprae
bersifat tahan asam, bentuk batang, ukuran panjang 1-2 mikron, lebar 0.2-0.5
mikron. Hidup dalam jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat ditumbuhkan
dalam media muatan. Mycobacterium merupakan parasit obligat intraselular,
terutama pada makrofag disekitar pembuluh darah superfisial yang terletak pada
dermis atau sel schwan di jaringan saraf.
Faktor resiko tinggi seseorang terkena kusta adalah sebagai berikut;
a. Mereka yang tinggal di daerah endemik edengan kondisi yang buruk seperti
tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi buruk, dan
adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.
b. Jenis kelamin, pria memiliki tingkar terkena kusta dua kali lebih tinggi dari
wanita.
c. Umur, Kusta diketahui terjadi pada semua umur mulai bayi sampai umur tua (3
minggu sampai lebih dari 70 tahun), namun yang terbanyak adalah pada umur
muda dan produktif. Berdasarkan penelitian di RSK Sitanala Tangerang oleh
Tarusaraya dkk (1996), dinyatakan bahwa dari 1153 responden diperoleh hasil
bahwa kecacatan lebih banyak terjadi pada usia prosuktif 19-55 tahun (76,1%).
d. Penyakit kusta kebanyakan terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas
dan lembap, kemungkinan karena perkembangbiakan bakteri sesuai dengan
iklim tersebut.
e. Faktor kebersihan individu sangat berpengaruh terhadap penyakit ini.

C. Patofisiologi Kusta
Masuknya Mycobacterium leprae sering melalui kulit yang lecet dan mukosa nasal.
Mycobacterium leprae masuk lewat kulit tergantung pada faktor imunitas seseorang.
Bakteri masuk ke dalam tubuh, selanjutnya tubuh bereaksi mengeluarkan makrofag
(berasal dari sel monosit, darah, sel mononuklear, histiosit). Apabila sistem imun
seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita lepra dalam mengontrol
infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra
dengan tipe Paucibasiler (PB). Apabila SIS rendah, maka makrofag tidak dapat
menghancurkan basil sehingga infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan
lepra dengan tipe Multibasiler (MB). Sel Schwan pada jaringan saraf merupakan sel
target untuk pertumbuhan Mycobacterium leprae, berfungsi sebagai eliminator dan
sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwan,
mengakibatkan bakteri bermigrasi dan beraktivasi, akibatnya regenerasi sel saraf
berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.
D. Tanda Gejala Kusta
Ada tiga tanda cardinal pada penyakit kusta/lepra yang meliputi;
1. Lesi kulit yang anestesi
2. Penebalan saraf perifer (sensorik, motorik, autonom)
3. Ditemukan Mycobacterium leprae
Diganosis klinis dari penyakit kusta menurut WHO sebagai berikut;
1. Tipe Paucibasiler (PB)
a. Lesi kulit (makula datar, papula yang meninggi, nodus)
Terdapat 1-5 lesi, hipopigmentasi/eritema, distribusi tidak simetris,
hilangnya sensasi yang jelas.
b. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/ kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang terkena), hanya satu cabang saraf.
2. Tipe Multibasiler (MB)
a. Lesi kulit (makula datar, papula yang meninggi, nodus)
Terdapat lebih dari 5 lesi, distribusi lebih simetris, hilangnya sensari yang
kurang jelas.
b. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/ kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang terkena), banyak cabang saraf tepi yang terkena
kelainan.

E. Penatalaksanaan Medis Kusta


Tujuan utama program pemberantasan kusra adalah menyembuhkan pasien kusta
(lepra) dan mencegah timbulya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit.
Regimen pengobatan kusta di Indonesia disesuaikan dengan rekomendasi WHO
(1995), yaitu program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi obat
medikamentosa utama yang terdiri dari Rifampisin, Klofzimin (Lamprene) dan DDS
(Dapson/4, 4-diamino-difenil-sulfon) yang telah diterapkan sejak tahun 1981.
Program MDT ini bertujuan untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,
mengefektifkan waktu pengobatan dan mengeliminasi persistensi basil kusta dalam
jaringan.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang
direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut sebagai berikut;
1. Penderita Paucibaciler (PB) lesi satu
Diberikan dosis tunggal ROM
Rifampisin Ofloxacin Minocyclin

Dewasa 50-70kg 600mg 400mg 100mg

Anak 5-14tahun 300mg 200mg 50mg

Obat diminum didepan petugas, anak dibawah 5 tahun dan ibu hamil tidak
diberikan ROM. Pengobatan sekali saja dan langsung dinyatakan RFT (Released
From Treatment = berhenti minum obat kusta). Dalam program ROM yang tidak
dipergunakan, penderita satu lesi diobati denga regimen selama 6 bulan.
2. Penderita Paucibaciler (PB) lesi 2-5
Dapson Rifampisin

Dewasa 100mg/hari 600mg/bulan, diawasi

Anak 10-14tahun 50 mg/hari 450mg/bulan, diawasi

Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang
diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis maka
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesiya masih aktif. Menurut WHO tidak
ada lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment
Cure dan pasien tidak ladi dalam pengawasan.
3. Penderita Multibasiler (MB)
Dapson Rifampisin Klofazimin

Dewasa 100mg/hari 600mg/bulan, 50mg/hari dan


diawasi 300mg/bulan diawasi

Anak 50mg/hari 450mg/bulan, 50mg/ selang sehari


10-14tahun diawasi dan 150mg/bulan
diawasi
Pengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang
diselesaikan dalam waktu maksimal 36bulan. Setelah selesai minum 24 dosis
maka dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan bakteri BTA positif. Menurut WHO pengobatan MB diberikan
untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung
dinyatakan RFT.

F. Asuhan Keperawatan Kusta


1. Pengkajian
a. Biodata. Kaji secara lengkap tentang umur; penyakit kusta dapat menyerang
semua usia, jenis kelamin; rasio pria dan wanita 2,3 : 1,0. Paling sering
terjadi pada daerah dengan sosial ekonomi yang rendah dan insidensinya
meningkat pada daerah tropis/ subtropis. Kaji pula secara lengkap jenis
pekerjaan klien untuk mengetahui tingkat sosial ekonomi, risiko trauma
pekerjaan, dan kemungkinan kontak dengan penderita kusta.
b. Keluhan utama. Pasien sering mengeluhkan adanya bercak putih yang tidak
terasa atau datang dengan keluhan kontraktur pada jari-jari.
c. Riwayat penyakit sekarang. Pada saat melakukan anamnesis pada pasien,
kaji kapan lesi atau kontraktut tersebut timbul, sudah berapa lama timbulnya,
dan bagaimana proses perubahannya, baik warna kulit maupun keluhan
lainnya. Pada beberapa kasus, ditemukan keluhan gatal, nyeri, panas, atau
rasa tebal. Kaji juga apakah klien pernah menjalani pemeriksaan
laboratorium. Ini penting juga untuk mengetahui apakah klien pernah
menderita penyakit tertentu sebelumnya. Pernahkah klien memakai obat
kulit yang dioles atau diminum? Pada beberapa kasus, reaksi obat juga dapat
menimbulkan perubahan warna kulit dan reaksi alergi yang lain. Perlu juga
ditanyakan apakah keluhan ini pertama kali dirasakan. Jika sudah pernah,
obat apa yang diminum? Teratur apa tidak?
d. Riwayat penyakit dahulu. Perlu dikaji adakah riwayat penyakit kronis atau
penyakit lain yang pernah diderita.
e. Riwayat penyakit keluarga. Penyakit kusta bukan penyakit turunan tetapi
jika anggota keluarga menderita penyakit kusta, resiko tinggi tertular sangat
mungkin terjadi. Perlu dikaji adakah anggota keluarga yang menderita atau
memiliki keluhan yang sama, baik yang masih hidup maupun yang sudah
meninggal.
f. Riwayat psikososial. Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan
menjijikan. Ini disebabkan adanya deformitas atau kecacatan yang
ditimbulkan. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana konsep diri klien dan
respons masyarakat disekitar klien.
g. Kebiasaan sehari-hari. Pada saat melakukan anamnesis tentang pola
kebiasaan sehari-hari, perawat perlu mengkaji status gizi, pola makan/nutrisi
klien. Hal ini sangat penting karena faktor gizi berikatan erat degan sistem
imun. Apabila sudah ada deformitas atau kecacatan, maka aktivitas dan
kemampuan klien dalam menjalankan kegiatan sehari-hari dapat terganggu.
Di samping itu perlu dikaji aktivitas yang dilakukan klien sehari-hari.
h. Pemeriksaan fisik. Seperti pada kasus lain, pemeriksaan fisik harus
dilakukan secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada lesi saja.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, dan
pemeriksaan secerhana dengan mengunnakan jarum, kapas, tabung reaksi
(masing-masing dengan air panas dan es), pensil tinta dan sebagainya.
Inspeksi dilakukan untuk menetapkan ruam yang ada pada kulit, biasanya
dapat ditemukan adanya makula hipopigmentasi/hiperpigmentasi dan
eritematosa dengan permukaan yang kasar atau licin dengan batas yang
kurangn jelas atau jelas, bergantung pada tipe yang diderita. Pada palpasi,
ditemkan penebalan serabut saraf tergantung pada tipe yang diderita.
Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan sederhana untuk menunjang kepastian
diagnosis penyakit kusta dan juga untuk mengetahui ada/tidaknya anestesia
pada lesi yang kita curigai melalui beberapa pengujian seperti;
1) Uji kulit. Terlebih dahulu penderita diberi tahu dan dijelaskan tentang
prosedur pengujian yang akan dilakukan secara jelas. Penggunaan jarum
untuk mengetahui rasa nyeri. Menggunakan kapas atau bulu ayam untuk
mengetahui sensasi raba. Jika masih belum jelas, dilakukan pengujian
terhadap sensasi suhu yaitu panas dan digin, dengan menggunakan 2
tabung reaksi yang disentuhkan secara bergantian dengan catatan
penderita tidak melihat pada waktu pengujian dilakukan dan menyebutka
rasa apa yang dirasakan.
2) Uji keringat. Pada penderita kusta, ditemukan anhidrosis karena
rusaknya kelenjar keringat. Uji ini dilakuka dengan cara menggores lesi
dengan pensil tinta mulai dari beberapa cm di luat lesi melewati
permukaan lesi dan keluar batas lsi. Hasilnya, pada bagian luar lesi
goresan pensil akan mengembang berwarna ungu, sedangkan didaerah
lesi tidak.
3) Uji Lepromin. Dilakukan untuk menentkan diagnosis dan klasifikasi
peyakit kusta.
i. Pemeriksaan penunjang.
1) Pemeriksaan bakterioskopik, skin smear atau kerokan kulit adalah
pemeriksaan sediaan yang diperoleh melalui irisan dan kerokan kecil
pada kulit yang kemudian diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat
Mycobacterium leprae. Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan.
2) Pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan histopatologi pada penyakit
lepra dilakukan untuk memastikan gambaran klinik atau untuk
menentukan klasifikasi lepra.
3) Pemeriksaan serologis, pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas
terbentuknya antibodi tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
Mycobacterium leprae. Pemeriksaan serologis ini dapat membantu
diagnosis lepra yang meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik
tidak jelas.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit b.d adanya lesi pada kulit
b. Nyeri akut b.d proses inflamasi
c. Gangguan citra tubuh b.d perubahan persepsi diri terhadap lesi kulit
d. Hambatan mobilitas fisik b.d kontraktur otot dan kaku sendi
3. Intervensi Keperawatan

1. Kerusakan integritas kulit b.d adanya NOC : NIC :


lesi pada kulit Setelah diberikan tindakan keperawatan Pressure Management
integritas kulit utuh. a. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
Kriteria Hasil : b. Monitor kulit adanya kemerahan
a. Integritas kulit yang baik bisa c. Monitor status nutrisi pasien
dipertahankan (temperatur, sensasi, d. Anjurkan pasien untuk menggunakan
elastistitas, hidrasi, pigmentasi) pakaian yang longgar
b. Perfusi jaringan baik e. Jaga kulit agar tetap bersih dan kering
c. Mampu melindungi kulit dan f. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
mempertahankan kelembaban kulit dan daerah yang tertekan
perawatan alami g. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
setiap dua jam sekali
2. Nyeri akut b.d proses inflamasi NOC : NIC :
Setelah diberikan tindakan keperawatan Pain Management
terjadi peningkatan keyamanan dan nyeri a. Kaji nyeri secaa komprehensif termasuk
terkontrol. lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Kriteria Hasil : kualitas dan faktor presipitasi
a. Mampu mengontrol nyeri b. Observasi reaksi nonverbal dari
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang ketidaknyamanan
dengan menggunakan manajemen nyeri c. Kaji kultur yang mempengaruhi respon
c. Mampu mengenali nyeri (skala, nyeri
intensitas, frekuensi, tanda gejala) d. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperi suhu,
pencahayaan dan kebisingan
e. Ajarkan teknik non farmakologi
f. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
g. Monitor vital sign sebelum dan seudah
pemberian analgesik pertama kali
h. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
3. Gangguan citra tubuh b.d perubahan NOC : NIC :
persepsi diri terhadap lesi kulit Setelah diberikan tindakan keperawatan Body Image Enhancement
dapat berfungsi secara optimal dan konsep a. Kaji secara verbal dan non verbal respon
diri meningkat. pasien terhadap tubuhnya
Kriteria Hasil: b. Monitor frekuensi mengkritik dirinya
a. Body image positif c. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan,
b. Mampu mengindentifikasi kekuatan kemajuan dan prognosis penyakit
personal d. Dorong klien mengungkapkan
c. Mendiskripsikan secara faktual perasaannya
perubahan fungsi tubuh e. Fasilitas kontak dengan individu lain
d. Mempertahankan interaksi sosial dalam kelompok kecil
4. Hambatan mobilitas fisik b.d NOC : NIC :
kontraktur otot dan kaku sendi Setelah diberikan tindakan keperawatan Exercise Therpy : Ambulation
terjadi peningkatan aktifitas fisik. a. Monitor vital sign sebelum/sesudah
Kriteria Hasil : latihan dan lihat respon pasien saat
a. Pasien meningkat dalam aktivitas fisik latihan
b. Mengerti tujuan dari peningkatan b. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
mobilitas c. Ajarkan pasien tentang teknik ambulasi
c. Memverbalisasikan perasaan dalam d. Latih pasien dalam pemenuhan
meningkatkan kekuatan dan kemampuan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai
berpindah. kemampuan
e. Dampingi dan bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
ADLs.
f. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai kebutuhan.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Morbus hansen (lepra, kusta) adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh kuma Mycrobacterium leprae yang menyerang saraf tepi (primer), kulit,
dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat.
2. Menurut WHO, kusta dibagi 2 yaitu Tipe Paucibasiler (PB) dan Tipe
.Multibasiler (MB).
3. Ada tiga tanda cardinal pada penyakit kusta/lepra yang meliputi sebagai berikut;
lesi kulit yang anestesi, penebalan sarag perifer (sensorik, motorik, autonom) da
ditemukan Mycobacterium leprae.
4. Tujuan penatalaksanaan pada penyakit kusta bertujuan untuk menyembuhkan
pasien kusta (lepra) dan mencegah timbulya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk
menurunkan insiden penyakit.
5. Regimen pengobatan kusta di Indonesia disesuaikan dengan rekomendasi WHO
(1995), yaitu program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi obat
medikamentosa utama yang terdiri dari Rifampisin, Klofzimin (Lamprene) dan
DDS.
6. Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa
pada penyakit kusta sebagai berikut; pemeriksaan bakterioskopik, pemeriksaan
histopatologi, pemeriksaan serologis.
4. Diagnosa keperawatan yang ditegakkan pada pasien dengan penyakit kusta
sebagai berikut; kerusakan integritas kulit b.d adanya lesi pada kulit, nyeri akut
b.d proses inflamasi, gangguan citra tubuh b.d perubahan persepsi diri terhadap
lesi kulit, hambatan mobilitas fisik b.d kontraktur otot dan kaku sendi.

B. Saran
Makalah ini masih terdapat kekurangan, untuk itu kritik dan saran sangat membantu
bagi kami.
DAFTAR PUSTAKA

Rahariyani, Dwi Lutfia. 2007. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Ganggauan
Sistem Integumen. Jakarta: ECG.
Hurarif, Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & Nanda Nic Noc. Yogyakarta: Percertakan Mediaction Publising.
Zulkoni, Akhsin. 2010. Parasitologi. Yogyakarta: Nuha Medika.
10 pertanyaan
1. Jelaskan dan sebutkan tipe dari kusta dengan tanda gejalanya?
2. Mengapa dalam pengkajian perlu dikaji aktifitas sehari-hari?
3. Sebutkan dan jelaskan tanda cardinal dari kusta?
4. Jelaskan cara penularan penyakit kusta dan bagaimana cara mengatasinya?
5. Sebutkan diganosa keperawatan yang dapat ditegakknya pada penyakit kusta?
6. Sebut dan jelaskan faktor resiko seseorang dapat terkena penyakit kusta?
7. Sebutkan intervesi keperawatan apa saja yang perlu dilakukan pada diagnosa
kerusakan integritas kulit berubungan dengan adanya lesi pada kulit?
8. Sebut dan jelaskan pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk membantu
menegakan diagnosa kusta?
9. Apa yang perlu dilakukan perawat dalam mengatasi nyeri akut pada penyakit
kusta?
10. Jelaskan tujuan dan pengobatan penyakit kusta?

Anda mungkin juga menyukai