Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
hakikat cinta kepada Allah s.w.t. menurut pandangan hakikat hikmah Tauhid dan Tasawuf, sebagaimana
telah diungkapkan oleh Maulana Imam Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam Hikmah beliau sebagai
berikut: "Orang yang begitu sangat cintanya bukanlah orang yang mengharapkan balasan sesuatu dari
pihak yang dicintainya atau dia menuntut sesuatu maksud dari pihak yang ia cintai, karena orang yang
begitu sangat cintanya itu ialah orang yang memberi buat anda, bukanlah orang yang begitu sangat
cintanya itu merupakan orang dimana anda memberi buatnya." Kalam Hikmah ini, sepintas lalu sulit
juga menangkapnya, apabila tidak kita berikan penjelasan sebagai berikut: Apabila cinta dapat
dilukiskan melalui huruf, tulisan dan maksud-maksud tertentu, pada hakikatnya itu tidak dapat
dikatakan cinta atau mahabbah. Karena cinta yang demikian, adalah cinta yang dapat dibuat, demi
untuk sampai kepada tujuan yang dikehendaki. Karena itu, barangsiapa yang mencintai seseorang
supaya seseorang itu memberikan sesuatu kepadanya atau menolak sesuatu yang tidak baik daripada
yang mencintai, berarti orang yang mencintai itu adalah mencintai dirinya sendiri, bukan mencintai
orang yang dicintai. Karena kalau bukanlah sesuatu yang dituju oleh dirinya sendiri tidak ada, maka
pastilah dia tidak akan mencintai orang yang dicintainya itu. Karena itulah, hakikat cinta pada orang
yang mencintai, adalah memberikan keseluruhan yang ada pada dirinya demi untuk mendapatkan
kerelaan daripada pihak yang dicintainya. Tanpa ada sesuatu yang ia ingin capai, berupa sesuatu yang
sifatnya lahiriah dari pihak yang dia cintai. Sehingga tidak ada apa-apa lagi yang dimiliki olehnya,
selain semuanya itu ia serahkan kepada pihak yang ia cintai. Atau boleh dikatakan, bahwa yang
mencintai adalah dibunuh oleh kecintaannya itu, sehingga tidak ada tujuannya selain daripada kerelaan
dari pihak yang dicintai. Misalnya saja seperti yang diungkapkan oleh pengarang Iqazul Himam fi
Syarhil Hikam, tentang contoh seorang laki-laki mencintai seorang wanita. Laki-laki itu berkata: "Aku
betul-betul cinta padamu." Wanita itu menjawab: "Betapa anda cinta kepada saya, padahal yang duduk
di belakang anda itu adalah lebih baik." Mendengar itu, si pria tadi memalingkan mukanya melihat
wanita yang ada di belakangnya, maka setelah wanita itu melihat bahwa pria itu memalingkan
mukanya melihat wanita yang ada dibelakangnya, dia berkata: "Anda ini adalah manusia yang tidak
baik. Anda mengatakan begitu cinta kepadaku, tetapi anda palingkan muka anda melihat kepada
selainku." Itulah sebuah contoh dan apabila contoh ini kita kiaskan kepada hubungan cinta kita selaku
hamba Allah kepada Tuhan Pencipta alam, Allah s.w.t., juga demikian. Kita mengatakan, kepada diri
kita dan kepada orang lain, bahwa kita cinta kepada Allah, tetapi juga hati kita memalingkan cintanya
kepada sesuatu yang selainNya, atau merasakan sesuatu selain Allah, yang mempengaruhi hati kita.
Maka ini menunjukkan cinta kita kepada Allah tidak full, tetapi adalah tidak lebih daripada dakwaan
semata-mata. Selanjutnya Apabila kita begitu mencintai sesuatu, maka hendaklah jiwa raga kita itu, kita
berikan buat sesuatu itu. Demikian pula, kecintaan seseorang kepada orang yang dia cintai, dia harus
memberikan segala-galanya kepada pihak yang dia cintai. Dan bukanlah kebalikannya. Demikianlah
kecintaan kita kepada Allah s.w.t., tidak boleh dipalingkan kepada selainNya. Karena itu, apabila kita
beribadah karena mengharapkan syurgaNya berarti kita mencintai Syurga. Dan bukan mencintai Allah.
Sebab hakikat cinta kepada Allah, hanya tertuju semata-mata kepada Allah dan kita lupa kepada hal-hal
yang lain selain dariNya. Apakah itu merupakan keuntungan kita berupa pahala dari Allah ataukah itu
merupakan hajat-hajat kita kepadaNya. Ada sebuah contoh kejadian, yang telah terjadi pada seorang
Waliyullah bernama Ibrahim bin Adham. Beliau berkata: Pada suatu hari, saya bermohon kepada Allah,
seraya saya mengucapkan "Wahai Tuhanku, jika Engkau telah memberikan kepada seseorang dari
orang-orang yang cinta kepadaMu ketenteraman hati sebelum bertemu dengaMu, maka Engkau berikan
pulalah kepadaku yang demikian. Karena hatiku susah sedemikian rupa, demi cintaku kepadaMu."
Ibrahim bin Adham meneruskan katanya: Setelah sering aku berdoa demikian aku bermimpi, seolah-
olah aku diperintahkan Allah berdiri di hadapanNya, dan Dia 'berkata' kepadaku: Hai Ibrahim (bin
Adham), tidaklah engkau bermalu kepadaKu, bahwa engkau memohon kepadaKu, supaya hatimu
tenteram sebelum bertemu denganKu. Apakah begitu orang yang sangat rindu hatinya akan dapat
tenteram, kalau tidak bertemu dengan yang dicintainya . Apakah orang yang begitu cinta hatinya akan
dapat tenang, tanpa bertemu dengan yang ia rindukan? Ibrahim (bin Adham) menjawab: "Wahai
Tuhanku, aku bingung, dalam cinta terhadapMu. Maka aku tidak tahu, apa yang aku katakan, karena itu
Engkau ampunkan dosaku, Engkau ajarlah aku ya Allah, apa yang seharusnya aku mesti katakan."
Tuhan menjawab: Katakanlah olehmu: "Wahai Tuhan, Engkau ridhailah aku dengan keputusan-
keputusanMu, Engkau sabarlah aku atas cubaan-cubaanMu, Engkau ilhamkanlah kepadaku, untuk
mensyukuri nikmat-nikmatMu." Demikianlah, kejadian mengenai cinta antara hamba dengan
Tuhannya, bagi diri Ibrahim bin Adham. Al Hikam : Celaan yang tidak habis-habisnya dan pujian yang
tidak terhitung banyaknya Pada diri manusia tidak sunyi dari kekurangan-kekurangan dan pada diri
manusia pula dapat tercipta hal-hal yang terpuji dan mulia. Karena itu untuk menerangkan hakikat yang
demikian itu, yang mulia Imam Ibnu Athailah Askandary telah mengungkapkan rumusannya dalam
Kalam Hikmahnya sebagai berikut: "Tidak ada habis-habisnya bagi celaan-celaanmu jika Allah
memulangkan kecelaan itu kepada dirimu, dan tidak ada habis-habisnya puji-pujianmu jika Allah
melahirkan kemurahanNya atasmu." Kejelasan dari Kalam Hikmah ini adalah sebagai berikut: I.
Barangsiapa dari hamba-hamba Allah s.w.t. yang urusan-urusan di dalam hidupnya telah diserahkan
Allah kepada dirinya dan kepada akalnya, artinya, Allah Ta'ala sudah tidak memberikan inayahNya
kepada orang itu, berarti orang tersebut telah ditolak Allah dari pintuNya dan telah dijauhkan Allah dia
itu dari sampingNya. Pada waktu itu nafsunyalah yang memegang peranan. Nafsunyalah yang
mengerasi dan yang menguasai dalam bermacam -macam kekejian sepanjang masa dan seolah-olah tak
ada habis-habisnya. Sehingga tidak ada lagi dalam amalnya berupa amal yang dianggap baik sebagai
ibadat dan amal kebajikan. Demikian juga hal keadaannya dan gerak-gerik dalam hidupnya sudah jauh
dari terpuji. Jika demikian kenyataanya maka itu adalah sebahagian tanda-tanda atas tertolaknya orang
itu dari Allah s.w.t. Oleh sebab itu kita selaku hamba Allah yang menyadari hal keadaan in harus
bermohon kepadaNya serta diikuti dengan taubat dan amal kebajikan supaya Allah s.w.t. memberikan
inayahNya, disamping taufiq dan hidayah. Karena itulah hamba-hamba Allah yang sadar dan insyaf
tetap menghendaki supaya Allah s.w.t. tetap selalu menanggulangi kedaan-keadaan yang dihadapi
dalam hidup kehidupan ini. Kita berlindung dengan Allah daripada penyerahan segala sesuatu yang kita
hadapi, kepada diri kita, hal keadaani ini tidak akan sanggup dipikul oleh kita. Meskipun sekecil atom
atau setipis selembar bulu mata. Berdasar inilah maka Wali Allah Syeikh Abdul Qadir Jailani dalam
doa surah Al-Waqi'ah, doa yang disusun oleh beliau, diantaranya berbunyi sebagai berikut: "Ya Allah
ya Tuhanku! Mudahkanlah buatku urusanku dan rezekiku. Engkau peliharalah aku dari kesulitan pada
mencari rezeki, Engkau peliharalah pula aku dari kesusahan dan kebakhilan terhadap makhluk dengan
sebab kurniaan rezeki itu. Engkau pelihara pula aku dari kebakhilan yang tidak baik setelah
memperoleh rezeki, dan Engkau jadikanlah rezeki itu sebab untuk mendirikan (melaksanakan tugas)
kehambaanku (terhadapMu) dan sebagai sebab untuk matahatiku dapat melihat hukum-hukum
ketuhanan(Mu). Wahai Tuhanku! Engkaulah yang mengurus urusanku dengan hal-hal tersebut dan
janganlah Engkau serahkan aku ini (urusan-urusanku) kepada diriku, meskipun selembar bulu mata,
bahkan lebih kecil dari itu." Demikian sebahagian doa Syeikh Abdul Qadir Jailani dalam mengantarkan
sebahagian ayat-ayat Al-Waqi'ah, karena itu fahamilah dan camkanlah. Al Hikam : Apabila Cahaya
Yakin Telah Bersinar Sebagaimana dimaklumi, bahwa bersahabat dengan orang-orang baik dalam
agama di mana kita dapat menjadi orang baik pula, karena persahabatan itu berarti pada hakikatnya kita
bersahabat dengan Allah s.w.t. Demikian pula melihat Wali Allah, pada hakikatnya kita melihat Allah,
sebab Wali-waliNya itu tidak ada sesuatu dalam hati mereka terikat dan bergantung kepada selain Alah.
Dengan demikian, maka bercahayalah hati kita dengan cahaya yakin terhadap ajaran agama, dan segala
tuntunan-tuntunannya. Dan bagaimanakah akibat daripada cahaya yakin dalam hati apabila
telahbersinar cahaya tersebut? Dalam hal ini, yang Mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah
menerangkan hal keadaan tersebut dalam rumusan Kalam Hikmahnya sebagai berikut: "Jikalau cahaya
yakin telah bersinar buat anda, pastilah anda melihat akhirat lebih dekat kepada anda dari anda berjalan
kepada akhirat itu. Dan pastilah (pula) anda melihat kebaikan-kebaikan dunia di mana sungguh telah
kelihatan perubahan kehancuran atas kebaikan-kebaikan tersebut." Kalam Hikmah ini keterangannya
sebagai berikut : "Ilmu yang tidak didesak-desak oleh waham tidak dicampuri oleh keraguan dan tidak
disertai oleh kehancuran. Jadi arti yakin ialah ilmu (pengetahuan) yang telah mantap sedemikian rupa
sehingga kita tidak ragu-ragu lagi dan tiak pula dicampuri oleh hal-hal yang tiak bersifat kepastian.
Ilmu yang tersebut itu ialah ilmu mengenai ketuhanan Allah s.w.t. baik tentang DzatNya maupun
tentang sifat-sifatNya. Demikian juga ilmu yang berupa wahyu yang telah disampaikanNya kepada
Rasul-rasulNya melalui Malaikat dan kitab-kitab suciNya. Ilmu itu apabila cahaya bathin telah bersinar
sedemikian rupa, maka ia akan membawa efek-efek kebajikan lahiriah dan bathiniah. Efek-efek
kebajikan pada lahiriah, maksudnya kelihatan berbekas cahaya itu atas tindak-tanduk anggota-angota
tubuhnya yang lain. Pada waktu itu timbullah kegemarannya kepada akhirat dan telah kurang
perhatiannya kepada dunia yang sama sekali tak ada hubungannya dengan kerohanian dan keagamaan.
Terdoronglah hatinya kepada Allah dan rindullah perasaanya untuk dapat melihat hakikat jombangnya
Allah, disamping hatinya pula tenang dan tenteram dangan merendah di bawah keagungan dan
kebesarannya Allah s.w.t. Bersegeralah dia menuntut keridhaanNya dan mencapai segala sesuatu yang
dicintaiNya. Lidahnya bergerak menyebut Allah, hatinya penuh dengan berfikir pada kebesaran dan
keagunganNya . Demikian juga rohnya haus untuk mendekat dengan Allah, di samping mabuk karena
minum 'air cinta kasihNya'. Pada waktu itulah dia tenggelam dalam melihat bagaimana dekatnya dia
dengan Allah s.w.t. Inilah tanda-tanda apabila cahaya yakin dalam hati telah bersinar sedemikian rupa,
sehingga mengakibatkan negeri akhirat dengan segala ihwalnya lebih dekat kepada perasaanya, padahal
akhirat itu masih jauh sebab dia dalam perjalanan. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah dengan
kitab suci Al-Quran: "Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti datang. Dan kamu sekali-kali
tidak sanggup menolongnya." (Al_An'am:134) Dan untuk pengertian itulah penyair ahli Tasawuf telah
bersyair sebagai berikut: "Janganlah anda rela memberikan cinta kepada selain Allah Tetapi jadilah
selamnya dimabuk rindu nestapa Anda melihat sesuatu yang ghaib terang dan nyata Anda beruntung
sebab berhubung bertemu rasa" Demikianlah apabila hati dan perasaan telah dipenuhi dengan cahaya
yakin, yang berarti itulah cahaya iman. kalaulah demikian maka kerinduan dan cinta itu mengakibatkan
segala sesuatu yang jauh dalam kenyataan adalah dekat dalam perasaaan. Negeri akhirat adalah jauh,
sebab harus menempuh sisa hidup, transisi kubur sebagai alam barzakh dan berkumpulnya manusia di
hari kiamat. Teatapi hati para Wali Allah menganggap semuanya itu adalah dekat dan selalu terlihat
dalam ruang matanya. Demikian juga dunia sebagai ciptaan Allah di mana didalam dunia kita lihat
secara lahir adanya keindahan yang bersifat alami atau keindahan yang dibuat oleh tangan manusia.
Tetapi terhadap para Auliya' Allah tiada melihat lahiriahnya tetapi melihat hakikatnya. Mereka melihat
bahwa dunia tidak akan kekal . Mereka melihat kegelapan dan kekacauan penuh berleluasa di mana-
mana. Mereka melihat bahwa semuanya itu hanya membosankan mereka. Itulah yang menyebabkan
ghairah hati dalam dada, mundur teratur melihat kerendahan-kerendahannya. Sabda Rasulullah s.a.w.: "
Bahwasanya cahaya iman apabila telah masuk ke dalam hati terbukalah dada seseorang dan lapanglah
dadanya itu. Ditanyakan kepada Nabi, Wahai Rasulullah! Adakah sebagian dari tanda-tandanya untuk
itu yang dapat dikenal? Nabi menjawab: Ada. (Tandanya ialah); renggang hatinya dari dunia sebagai
kampung tempat tipuan, dan kembali hatinya condong kepada negeri yang kekal dan bersiap-siap untuk
(bekalan) mati sebelum datangnya." Kesimpulan : Yakin apabila telah mantap dalam hati, maka hati
akan melihat segala-galanya untuk kepentingan agama dan akhirat, dan segala hijab antara hatinya dan
antara kepentingan agama dan akhirat akan hancur berantakan. Pada waktu itu terang benderanglah
jalan yang dituju dan sampailah ia kepada tujuan utama yang hakiki. Ke arah itulah tujuan para Nabi
dan para Rasul dan sekalian hamba-hamba Allah yang shaleh. Ya Allah! Engkau kurniakanlah kepada
kami hakikat yakin dan kemantapan makrifat kepadaMu. Engkau sinarkanlah yakin itu dalam hati kami
sehingga tertunjuklah segala anggota badaniah kami lahir dan bathin menuju kepadaMu, ya Allah!.
Walhamdu lillaahi Rabbil-'alamin.
______________________________________________________________________ Al Hikam :
Orang Ma'rifat Lebih Mengkhawatirkan Keadaan Lapang "Orang-orang ma'rifat jika merasa lapang
lebih banyak khwatirnya daripada jika mereka dalam keadaan kesempitan. Dan tidak dapat tetap berdiri
di atas batas-batas adab di dalam keadaan lapang kecuali sedikit". Orang-orang ma'rifat lebih khawatir
dalam keadaan lapang daripada dalam keadaan kesempitan. Sebab keadaan lapang itu sesuai dengan
hawa nafsunya. Sehingga mereka khawatir kalau sampai tertarik ke dalam ajakan hawa nafsu. Misalnya
selalu memperbincangkan berbagai keadaan yang wujud ini, dan berbagai kekeramatan. Kadang-
kadang bahkan keluar dari padanya ucapan yang tidak patut diucapkan di hadapan Allah. Padahal bagi
orang ma'rifat dia harus selalu menjaga kesopanan di hadapan-Nya. Lagi pula keadaan lapang itu bisa
menggelincirkan orang. Sehingga menyebabkan orang harus tambah berhati-hati. Sebaliknya
kesempitan lebih mendekatkan orang menuju keselamatan. Sehubungan dengan keadaan lapang dan
kesempitan itu, Syaikh Ahmad bin "Athaillah berkata : "Dalam keadaan lapang nafsu ikut mengambil
bagiannya dengan bergembira, sedang dalam keadaan kesempitan tidak ada bagian sama sekali bagi
nafsu itu." Menjaga kesopanan kepada Allah di dalam masa lapang merupakan perkara yang sukar.
Karena itu di dalam masa lapang itu hawa nafsu ikut mengambil bagiannya dengan bergembira ria.
Tetapi kalau dalam kesempitan hawa nafsu tidak dapat mengambil bagiannya. Dengan demikian orang
lebih aman dalam keadaan kesempitan daripada dalam keadaan lapang. Dalam keadaan lapang hawa
nafsu mudah memperdaya. Sedangkan dalam kesempitan nafsu tak dapat memperdaya. Karena
demikian itulah orang-orang ma'rifat lebih senang dalam kesempitan. Jarang sekali orang yang
kesempitan dari keadaan lapang atau kesempitan. Antara lapang dan kesempitan itu silih berganti
bagaikan pergantian siang dan malam. Namun Allah tetap menerima penghambaan seseorang dalam
dua keadaan itu. Barang siapa waktunya dalam kesempitan, maka dia tidak lepas dari dua keadaan,
yaitu mengetahui sebab-sebabnya dan tidak mengetahui sama sekali. Adapun sebab-sebab kesempitan
(kerisauan hati) itu ada tiga, yaitu : 1.Dosa yang dilakukan, maka dia harus bertaubat. 2.Kehilangan
sesuatu yang berhubungan dengan masalah keduniaan, maka orang harus menyerah dan rela. 3. Hinaan
atau disakiti orang dzalim, maka dia harus sabar dan betah menanggung. "Kadang-kadang Allah
memberi kepadamu sesuatu dari masalah keduniaan, maka Dia menolak memberikan pertolongan
kepadamu. Dan kadang-kadang Dia menolak memberikan sesuatu kepadamu, maka Dia kemudian
memberi pertolongan kepadamu". Bila Allah memberi atau mencegah sesuatu dari masalah keduniaan,
maka janganlah dilihat hanya lahirnya saja dari pemberian atau pencegah itu. Tetapi yang harus
diperhatikan adalah hakekat perkaranya. Sebab kadang-kadang Allah memberikan masalah keduniaan
kepada seseorang, akan tetapi dibalik itu dia memberikan pertolongan untuk ta'at kepada- Nya. Begitu
pula kadang-kadang Allah menolak memberikan sesuatu dari masalah keduniaan kepada seseorang,
namun dibalik itu pula Dia memberi pertolongan kepadanya untuk ta'at kepada-Nya. Dengan demikian
sebaiknya orang itu tidak mengatur dan memilih sendiri, melainkan hanya menyerahkan segala
perkaranya kepada Allah. Kemudian Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata : "Apabila Allah telah
membukakan kepadamu pintu kepahaman didalam penolakan (Nya), maka kembalilah penolakan itu
sebagai kenyataan pemberian(Nya)". Bilamana Allah menolak sesuatu kepada seseorang, kemudian
orang itu memahami bahwa penolakan Allah kepadanya merupakan suatu rahmat dari pada-Nya, maka
penolakan itu pada hakekatnya adalah pemberian juga. Al Hikam : Kemuliaan Wirid Sekalian hamba-
hamba Allah yang shaleh di mana lahiriah mereka dihiasi dengan syariat dan bathiniah mereka diisi
dengan marifat, pastilah sekalian waktu mereka dalam hidup tidak ada yang sia-sia, tetapi adalah penuh
berisi dengan berbagai amal ibadat. Dan bagaimana dengan amal shaleh yang menghiasi waktu-waktu
mereka itu, yang mulia Imam Ibnu Athaillah Askandary telah mengungkapkan dalam Kalam Hikmah
beliau sebagai berikut: "Tidaklah menganggap remeh akan wirid melainkan orang-orang yang jahil.
Bermula Al-Waarid itu didapat di negeri akhirat. Sedangkan Al-Wirdu itu terlipat ia dengan sebab
terlipatnya kampung dunia ini. Dan sepatut-sepatut sesuatu yang mementingkan seseorang dengannya
ialah sesuatu yang tidak dapat menggantikan adanya Al-Wirdu yang Allah menuntut wirid bagi anda,
sedangkan Al-Waarid anda yang memohonkan dari Allah. Dan dimanakah sesuatu yang Allah
menuntutnya dari anda (apabila dibandingkan) dari sesuatu yang bermula dariNya itu tujuan anda pada
sesuatu itu." Dalam ilmu Tasawuf ada istilah Al-Wirdu, di mana dalam bahasa Indonesia sering disebut
dengan perkataan "wirid". Al-Wirdu itu ialah: "Segala amal shaleh yang mendekatkan seseorang
kepada Allah yang Maha Megah dan Maha Pengampun." Atau dalam definisiyang lain adalah sebagai
berikut: "Segala amal shaleh yang terisilah segala waktu dengannya dan tercegah segala anggota
dengan sebabnya pada jatuh ke dalam segala sesuatu yang tidak baik." Jadi yang dimaksud dengan Al-
Wirdu ialah amal shaleh apa saja yang bersifat ibadat atau yang dianggap baik untuk mencari keridhaan
Allah dan untuk menghampirkan diri kepada Allah s.w.t. Apakah amal shaleh itu sifatnya lahiriah atau
sifatnya bathiniah. Apabila amal-amal shaleh itu ditetapkan mengerjakannya pada waktu-waktu
tertentu, berarti terisilah waktu-waktu itu dengan hal-hal yang baik dan jauh segala anggota kita pada
mengerjakan segala sesuatu yang tidak diingini menurutagama. Misalnya dari Al-Wirdu ialah, seperti
menetapkan sembahyang Dhuha pada waktunya, menetapkan membaca Al-Quran sehari semalam
sekian banyaknya, mengajar ilmu agama pada waktu-waktu tertentu dengan ikhlas tanpa memungut
biaya, sembahyang malam sekian rakaat dan sebagainya. Maka mengisi waktu dengan amalan shaleh
secara kontiniu, tetap tekun dan yakin, sehingga tidak pernah tinggal, dan kalau tinggal diqadha'. Yang
begitu itu adalah disebut dengan Al-Wirdu atau wirid. Contoh yang bersifat bathin, seperti pada waktu
khusus apakah di siang hari atau malam hari kita tafakur mengingat segala dosa yang telah kita
kerjakan, kita minta ampun kepada Allah s.w.t. dan kita berzikir dalam hati mengingati Allah s.w.t.
serta mengharapkan keridhaanNya. II. Istilah Tasawuf yang kedua yang kita lihat dalam Kalam Hikmah
ini ialah perkataan "Al-Waarid". Yang dimaksud dengannya ialah : "Sesuatu yang datang atas bathin si
hamba berupa hal-hal yang halus dan nur, maka dengannya menjadi lapanglah dadanya dan bersinarlah
hatinya." Maksudnya dengan sebab amal-amal shaleh yang kita kerjakan sehingga tidak pernah kita
tinggalkan, adalah merupakan jalan di mana Allah s.w.t. akan mendatangkan (melimpahkan) ke dalam
hati hambaNya nur-nur yang tak dapat dilihat oleh mata dan dijangkau oleh perasaan, tetapi yang
terang, hati kita telah dilimpahkan ilmu ketuhanan sehingga iman kita terbuka melihat hakikat hikmah
alam mayapada ini dan hati kita bersinar dengannya. Yang begini ini adalah disebut dengan "Al-
Waarid". Jadi apabila Al-Wirdu merupakan amaliah manusia dan 'ubudiyahnya kepada Allah s.w.t.,
maka Al-Waarid berarti kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia dengan berkah amal
shalehnya itu. III. Al-Wirdu patut menjadi perhatian kita manusia sebagai hamba Allah. Sebab hal
keadaannya adalah karena dua hal: (1). Al-Wirdu itu kesempatannya, waktunya dan tempatnya hanya
khusus di dunia saja, tidak di akhirat. Sebab itu apabila dunia ini masih ada, maka masih ada
kesempatanlah mengerjakan Al-Wirdu atau wirid, yakni masih ada kesempatan membaca Al-Quran,
bersalawat, sembahyang, berzikir, berwaqaf, bersedekah dan sebagainya. Tetapi demi dunia ini sudah
tidak ada lagi, ataudemi umur kita sudah sampai, atau demi waktu untuk menerima ibadat sudah tidak
ada lagi, maka tidak ada artinya segala wirid yang tersebut tadi. Oleh sebab itu sepantasnya bagi kita
memperbanyak ibadat yang bersifat istiqamah di dunia ini selama masih ada kesempatan, karena kita
masih hidup. Tetapi apabila waktu-waktu yang diharapkan untuk dapat beribadat di dalamnya telah
berlalu dan telah luput atau umur kita sudah sampai ajalnya, maka pastilah tidak akan mungkin untuk
mengejar dan mengganti amal shaleh yang telah luput itu. III. (2) Hak Tuhan atas kita ialah Al-Wirdu
itu. Sedangkan hak kita pada Allah ialah mendapat pahala dan kurnia dariNya atas amal shaleh yang
kita kerjakan itu. Karena itu yang lebih patut dan layak ialah supaya kita melaksanakan hak Tuhan atas
kita, karena dengan demikian pasti Allah dengan sifatNya yang Maha Murah akan memperhatikan kita.
Dan alangkah tidak patut dan tidak kena pada tempatnya, kita mendahulukan diri kita memohon kepada
Allah supaya Allah memberikan kurniaNya atas kita sedangkan hak-hakNya tidak menjadi perhatian
kita dan kita tidak serius mengamalkannya. Apabila demikian pentingnya Al-Wirdu sebagai jalan atas
datangnya Al-Waarid, teranglah bagi kita bahwa orang-orang yang meremehkan Al-Wirdu, tidak
memperhatikan dengan serius atau meninggalkan sama sekali adalah orang-orang bodoh dan orang-
orang jahil, betul-betul jahil. Sebab orang-orang itu tidak sampai ilmunya atau tidak sampai
perasaannya pada merasakan dengan keyakinan hikmah yang terkandung di dalam Al-Wirdu itu. Tetapi
apabila perasaannya sampai pada menanggapi bahwa Al-Wirdu itu menimbulkan kesucian bathin dan
mendatangkan cahaya iman, yakin dan makrifat, pasti dia tidak akan memandang ringan dan
meremehkan Al-Wirdu itu. Oleh sebab itu cuma rindu semata-mata dan cuma ingin untuk mendapatkan
Al-Waarid dari Allah tetapi tidak mau bersama mencari jalan-jalannya adalah jahil dan bodoh. IV.
Inilah sebabnya kita melihat para ulama besar dan hamba-hamba Allah yang shaleh selalu dalam
istiqamah, tekun dan kontiniu dalam beramal dan beribadat, sehingga waktu-waktu mereka tidak sunyi
dari terisi dangan amal-amal kebajikan. Sebagai contoh Al-Junaid Al-Baghdady mewiridkan
sembahyang sunnah hingga sampai keluar roh beliau dari dua kakinya, barulah sembahyang itu beliau
hentikan. Dan banyak bukti bagi kita tentang istiqamahnya para ulama dan ketekunan mereka dalam
beramal. Berkata Abu Thalib Al-Makky r.a.: "Mengekalkan wirid-wirid adalah sebahagian dari akhlak
orang-orang yang beriman dan jalan orang-orang yang ahli ibadat, dan mengekalkan wirid itu adalah
menambah iman dan tanda yakin." Dalam satu Hadis, Saiyidah Aisyah r.a. telah ditanyakan, mengenai
amal Rasulullah s.a.w. Aisyah menjawab: "Amal Nabi adalah berkekalan!" Dan pada lafaz yang lain
Aisyah berkata: "Nabi apabila mengamalkan sesuatu amalan, beliau memperbaguskan amalan beliau,
dan beliau tetapkan amalan itu (secara kontiniu)." Sebab itu dalam Hadis yang masyhur Nabi bersabda:
"Sebaik-baik amal pada Allah Ta'ala ialah amal yang kontiniu meskipun sedikit." Kesimpulan: Apabila
kita bermaksud supaya hati kita dipimpin oleh Allah dengan bertambah kuatnya iman, bertambah yakin
dan bersinar hati di samping lapang dada kita menghadapi segala sesuatu di dunia ini, maka jangan
lupa berusaha dengan ibadat dan amal amal-amal shaleh yang sifatnya istiqamah, tetap dan kontiniu.
Apabial demikian keadaannya Insya Allah s.w.t. tanpa kita sadari, kita telah berjalan sedikit demi
sedikit dekat kepada Allah dalam arti iman dan yakin. Mudah-mudahan kita semua dapat melaksanakan
tuntutan agama ini dengan izin Allah s.w.t. Amin, ya Rabbal-'alamin Al Hikam : Pengertian Dekat
Kepada Allah Kita sudah maklum bahwa Allah s.w.t. adalah dekat dengan kita. Tetapi hamba-hamba
Allah yang shaleh merasakan bahwa mereka dekat dengan Allah s.w.t. Bagaimana pengertian hal
keadaan ini, tentu saja kita ingin mempelajarinya. Maka dalam hal ini yang mulia Maulana Ibnu
Athaillah Askandary telah mengungkapkannya dalam Kalam Hikmah beliau sebagai berikut: "Dekat
anda kepadaNya ialah bahwa anda melihat dekatNya. Jika tidak(demikian), maka di manakah anda dan
di manakah wujud dekatNya? Kalam Hikmah ini sepintas lalu agak sulit difahami dan dimengerti,
karena itu marilah kita jelaskan sebagai berikut: I. Pengertian "dekat Allah s.w.t. dengan kita" ialah
dekat pada ilmu, pada kekuasaan (qudrat) dan paa kehendak (iradah). DekatNya Allah dengan kita pada
'Ilmu', artinya segala sesuatu apa pun yang terdapat pada kita dan yang terjadi pada kita, lahir dan
bathin, semuanya diketahui oleh Allah s.w.t. dengan IlmuNya sejak azali, artinya sejak alam mayapada
ini belum diciptakanNya, selain yang ada hanya Dia, yakni Allah s.w.t. Dekatnya Allah dengan kita
pada 'kekuasaan' (qudrat), artinya segala sesuatu apa pun, baik yang adanya dari tiak ada atau
kebalikannya, ataupun apa saja yang terjadi, sama sekali tidak l;uput dari kekuasaanNya atau
qudratNya. Maka demikian pulalah dengan iradahNya (kehendakNya). Dan atas inilah semua tafsir dari
dirman-firman Allah s.w.t. yang menggambarkan dekatNya kepada makhluk-makhlukNya sebagai
berikut di bawah ini: Pertama, ayat 16 dalam Surat Qaf juz 26: "Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya." (Qaf: 16) Kedua, ayat 85 dalam Surat Al-Waqi'ah juz 27: "Dan
Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat." (Al-Waqi'ah: 85) Ketiga, ayat
4 dalam Surat Al-Hadid juz 27: "...Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan." (Al-Hadid: 4) II. Pengertian dekat kita kepada Allah ialah kita
merasakan dengan "Ilmul-Yaqin" bahwa: Alam mayapada ini pada hakikatnya tidak ada, yakni tidak
ada padanya wujud yang hakiki, karena ia berasal dari tidak ada dan akan kembali kepada tiada. Atau
asalnya tiada, kemudian ada dan seterusnya dengan kehedak Allah dan kekuasaanNya. Ia akan ada
terus, seperti syurga dan neraka. Sedangkan wujud yang hakiki, yakni wujud yang tiada permulaannya
dan tiada pula disudahi dengan tiada, ialah wujudnya Allah s.w.t. Dia tidak diliputi oleh tempat dan
zaman atau masa. Bahkan Dia tidak seumpama dengan sesuatu apa pun dalam alam mayapada ini.
Apabila hal keadaan ini semua sudah merupakan Ilmul-Yaqin bagi kita, kemudian masuk meresap ke
dalam bathin penghayatan kita, maka barulah ketika itu hati dan semua perasaan kita dapat melihat
bahwa Allah s.w.t. dekat dengan kita. Dia melihat kita dan melihat segala gerak-gerik kita, lahiriah kita
dan bathiniah kita. Barulah ketika itu kita merasakan cinta kepadaNya dengan melaksanakan apa-apa
yang diridhaiNya, dan begitu takut padaNya apabila terkerjakan apa-apa yang tidak diridhaiNya. Dan
pada ketika itu pula kita senantiasa menjaga dan memelihara adab dan akhlak terhadapNya dengan
adab-adab kita sebagai hambaNya kepada Dia yang bersifat dengan kemahasempurnaan dalam sekalian
sifat-sifatNya. Penghayatan yang sedemikian rupa adalah merupakan zikrullah yang paling penting
yakni ingatnya kita kepadaNya dalam segala pekerjaan lahiriah yang kita sedang kerjakan, apakah itu
bersifat dunia atau bersifat agama. Dan apalagi jikalau penghayatan yang demikian itu kita bawa serta
ke dalam shalat kita dan ibadat-ibadat kita lainnya. Yang demikian itulah disebut dengan hakikat "Al-
Ihsan", yakni keterpaduan antara "Al-Iman" dengan "Al-Islam", atau dengan kata lain keterpaduan
antara kepercayaan kepada Allah s.w.t. dengan pelaksanaan jaran-ajaranNYa seperti apa yang Dia telah
wahyukan kepada Nabi-nabiNya sepanjang zaman, sejak Adam a.s. hingga Nabi dan RasulNya terakhir
Muhammad s.a.w. III. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa pengertian "dekat" di sini bukanlah
maksudnya pendekatan dalam arti biasa dan umum menurut kelaziman kita sebagai makhlukNya, tetapi
adalah menurut arti dan makna seperti yang kita uraikan di atas. Kesimpulan: Apabila kita telah
merasakan pendekatan seperti tersebut di atas berarti tingkatan Tauhid kita kepada Allah s.w.t. sudah
berada dalam lingkungan daerah lapangan Tauhid buat hamba-hamba Allah yang shaleh, yakni para
WaliNya menurut tingkatan nilai kemuliaan yang ditentukan olehNya. Mudah-mudahan kita semua
dengan bantuan Allah dapat berjalan ke arah lapangan tersebut agar dapat dekat kepada Allah. Amin. Al
Hikam : Sembahyang yang mensucikan Hati Sembahyang apabila betul-betul kita mendirikannya,
maka hakikat sembahyang itu akan timbul nyata bagi yang mengerjakannya. Bagaimana hakikat-
hakikat sembahyang yang betul-betul dikerjakan itu? Maka yang mulia Imam Ibnu Athaillah Askandary
berkata dalam Kalam Hikmahnya sebagai berikut: "Sembahyang mensucikan buat semua hati manusia
dari segala kotoran-kotoran dosa, dan membukakan baginya segala pintu yang ghaib (tersembunyi)."
Kejelasan dari Kalam Hikmah di atas adalah sebagai berikut: I. Bahwa hakikat sembahyang itu apabila
dikerjakan dengan betul, baik dan sempurna, maka sembahyang itu akan mensucikan hati kita dari
segala macam kotoran, dan akan mensucikan pula dari segala sifat yang menjauhkan hati dari melihat
Allah s.w.t. dengan segala kebesaranNya. Betapa tidak, sebab Rasulullah s.a.w. telah bersabda dalam
Hadis riwayat Muslim sebagai berikut: "Perumpamaan shalat yang lima itu laksana sebuah sungai yang
tawar airnya, di mana sungai itu meluap-meluap di pintu salah seorang yang mandi didalammnya tiap-
tiap hari sebanyak lima kali. Apakah pendapatmu tentang orang tersebut? Apakah masih ada daki-daki
di badannya? Mereka menjawab: Tidak ada sesuatupun (ya Rasulullah). Sabda Rasulullah s.a.w. :
Sesungguhnya shalat yang lima itu dapat menghilangkan dosa-dosa sebagaimana air yang dapat
menghilangkan segala kotoran." Hadis ini menggambarkan dengan sembahyang yang dikerjakan
dengan sebaik-baiknya, maka pastilah hati kita suci pula dari segala kotoran-kotorannya. Sebab segala
ucapan dan bacaan-bacaan yang kita baca dalam sembahyang tentu sekali mendekatkan hati dan
perasaan kita kepada yang Maha Kuasa, yaitu Allah s.w.t. Karena itu pelajarilah dan dalamilah bacaan-
bacaan yang kita baca dalam sembahyang terdapat pada setiap gerak perbuatan kita itu. I. Sembahyang
juga merupakan kunci pembuka pintu-pintu segala yang ghaib berupa ilmu-ilmu ladunni, yakni ilmu-
ilmu yang bersumber dari keimanan dan keyakinan. Ilmu-ilmu itu merupakan rahasia yang datang dari
Allah s.w.t. Jadi apabila segala dosa sudah dapat dibersihkan dengan shalat, maka ia akan menimbulkan
hati yang suci bersih, dan akan terbukalah pintu hati untuk menerima rahasia-rahasia ketuhanan. Sebab
hakikat shalat berarti sebagai jalan untuk mendapatkan atau untuk memperoleh ilmu-ilmu makrifat
yang terkandung dalam hakikat Tauhid yang laksana laut yang sangat dalam yang tak ada pantainya.
Oleh sebab itulah dalam satu Hadis dimana Imam Ghazali telah menuliskan dalam kitabnya Ihya'
Ulumuddin, sabda Rasulullah s.a.w. sebagi berikut: "Tiada sesuatu yang diwajibkan Allah kepada
makhlukNya sesudah Tauhid yang lebih menyukakan kepadaNya selain daripada shalat. Andainya
jikalau ada sesuatu yang lain (selain shalat), yang lebih menyukakan kepadaNya niscaya para Malaikat
telah terlebih dahulu beribadat dengan sesuatu itu. Kepada para Malaikat itu sebagian dari mereka ada
yang rukuk saja, sebagian yang lain ada yang sujud saja, dan sebagian yang lain lagi ada yang berdiri
saja dan ada yang duduk saja." Hadis ini terang dan jelas menunjukkan bagaimana mulianya shalat
setelah Tauhid di sisi Allah s.w.t. Sebab dalam Hadis ini Rasulullah telah menjelaskan ibadat-ibadat
para Malaikat pada umumnya disibukkan dengan sembahyang. Sama ada mereka itu sebagiannya yang
pada rupanya rukuk saja, atau sujud saja, atau berdiri saja, atau duduk saja. Tetapi semua perbuatan
mereka ini adalah merupakan cara khas dari sembahyangnya para Malaikat Allah s.w.t. Jadi apabila
kita rajin sembahyang, rajin serta tekun dan mengerjakannya dengan sesungguh hati, baik, serius dan
sempurna, maka sembahyang adalah jalan untuk menerangkan hati kita dalam menerima ilmu-ilmu
pengetahuan. Sebab apabila sembahyang yang demikian yang mana kita tidak pernah lupa
mengerjakannya sebagai perintah Allah s.w.t., di samping itu kitapun selalu pula mengerjakan
sembahyang-sembahyang sunnat, maka bertambah dekatlah hubungan kita dengan Allah. Dengan
bertambah dekatnya hubungan kita kepada Allah, berarti tercapailah maksud dan cita-cita kita dengan
kehendak-Nya, dan dengan kasih sayangNya. Karena itu yakinlah dan jangan ragu-ragu lagi, bahwa di
samping sembahyang itu mempunyai banyak faedahnya sebagai tersebut di atas, juga ada hikmatnya
untuk memudahkan mencapai rezeki-rezeki yang halal dari Allah s.w.t. Artinya usaha kita dalam
mencapai rezeki-rezeki itu akan dimudahkan Allah dan diberkati oleh-Nya apabila kita rajin
bersembahyang. Yakni biarlah sembahyang yang kita kerjakan itu baik lagi sempurna, pula dengan
terarahnya hati kita kepada Allah s.w.t. Itulah sebabnya maka Al-Ghazali menukikkan sabda Nabi
Muhammad s.a.w. di mana Nabi telah bersabda sebagai berikut: "Wahai Abu Hurairah! Perintahkanlah
keluarga anda dengan mengerjakan sembahyang, karena bahwasanya Allah akan mendatangkan kepada
anda rezekiNya dari (sumber-sumber dan jalan-jalan) di luar dugaan anda." Hadis ini dan Hadis-Hadis
sebelumnya adalah menggambarkan kelebihan sembahyang. Itulah sebabnya maka sebagian Ulama
menyamakan antara orang yang sembahyang dengan pedagang. Mereka berkata: "Orang yang
mengerjakan shalat adalah umpama saudagar yang tidak memperoleh keuntungan sebelum pokoknya
betul-betul bersih dan kembali." Jadi apabila pokok perdagangan tidak rugi sepeserpun berarti
perdagangan itu telah beruntung, apalagi jika memang untung dan labanya terlihat pula dengan nyata.
Alangkah bahagianya orang yang sembahyang di mana lahir dan batinnya turut bersembahyang sama
menghadap Allah s.w.t. Insya Allah segala faedah dan nikmat di atas akan diperolehnya dengan izin
Allah. Itulah kesimpulan yang jelas dan terang dari Kalam Hikmah
ini.---------------------------------------------------------------------- Al Hikam : Hati Sumber Cahaya Dalam
tulisannya mengenai hati, Syaikh Ahmad Ibn'Athaillah mengatakan bahwa "Tempat terbitnya berbagai
cahaya itu adalah hati dan rahasia-rahasianya". Cahaya ilmu, cahaya ma'rifat dan cahaya tauhid tempat
terbit dan memancarnya ada di dalam hati orang-orang yang ma'rifat dan di dalam rahasia-rahasia
mereka (di dalam jiwa mereka). Cahaya-cahaya ini merupakan cahaya yang hakiki karena lebih kuat
daya pancarnya daripada cahaya yang terpancar dari berbagai macam bintang. Rasulullah saw. telah
bersabda di dalam menceritakan firman Allah : "Tidak akan memuat Aku bumi-Ku dan langit-Ku, dan
bisa memuat Aku hati hamba-Ku yang beriman". Sebagian orang-orang ma'rifat berkata : "Seandainya
Allah menyingkap tempat terbit cahaya hati orang-orang yang menjadi kekasih-Nya, niscaya terlipatlah
cahaya matahari dan bulan karena kuatnya cahaya hati mereka". Asy Syadzili berkata : "Seandainya
disingkap cahaya orang mukmin yang maksiat, pasti akan memenuhi seluruh langit dan bumi. Maka
bagaimanakah perkiraanmu mengenai cahaya orang mukmin yang ta'at ?". Ketahuilah bahwa cahaya
bulan dan matahari masih bisa terkena gerhana dan bisa terbenam. Akan tetapi cahaya hati kekasih
Allah tidak mengenal adanya gerhana dan terbenam.Oleh sebab itu Syaikh Ahmad bin 'Athaillah
selanjutnya berkata : "Cahaya yang tersimpan di dalam hati sumbernya dari cahaya yang dating
langsung dari berbagai gudang kegaiban". Cahaya keyakinan yang tersimpan di dalam hati terus
bertambah-tambah sinarnya yang bersumber dari cahaya yang datang dari perbendaharaan gaib. Yaitu
berupa cahaya sifat=sifat azali. Apabila Allah telah membuka sifat-sifatNya, maka bertambah-
tambahlah cahaya itu yang dihasilkan dari hati para kekasih Allah. Yang demikian itu merupakan suatu
petunjuk bahwa Allah telah memberi pertolongan kepada mereka. Selanjutnya Syaikh Ahmad bin
'Athaillah berkata: "Cahaya yang diperoleh dengan panca indera bisa membuka kepadamu akan semua
keadaan yang terjadi (benda-benda di alam ini), sedang cahaya yang tersimpan di dalam hati bisa
membuka kepadamu akan sifat-sifat Allah yang azali". Cahaya itu ada dua macam, yaitu : 1. Cahaya
yang diperoleh dengan panca indera dengan adanya sinar matahari. Maka cahaya ini bisa
memperlihatkan barang-barang yang ada di alam raya dan bermacam-macam kedaan manusia. Cahaya
ini bukan yang menjadi perhatian orang-orang ahli hakekat, melainkan hanya sebagai petunjuk adanya
Allah Yang Maha Pencipta. 2. Cahaya yang tersimpan dalam hati yang disebut sebagai cahaya
keyakinan. Cahaya inilah yang bisa membuka sifat-sifat Allah yang azali sehingga menjadi nyata dan
terang. Dengan cahaya hati ini benar-benar oarng menjadi ma'rifat kepada Allah. Selanjutnya Syaikh
Ahmad bin 'Athaillah berkata : "Terkadang hati terhenti bersama-sama dengan cahaya, sebagaimana
terhalangnya nafsu sebab tebalnya benda-benda (syahwat)". Penghalang hati untuk menuju kepada
Allah itu ada dua macam, yaitu : 1. Nurani, yang berupa bermacam-macam ilmu dan ma'rifat. Apabila
hati berhenti padanya dan cenderung kepadanya sehingga ilmu dan ma'rifat itu dijadikan pokok
tujuannya, maka dia akan terhalang untuk menuju kepada Allah. 2. Zhulmani (kegelapan), yang berupa
bermacam-macam keinginan nafsu dan kebiasaan-kebiasaanya. Karena hati masih terpengaruh oleh
keinginan-keinginan nafsu inilah maka dia menjadi terhalang untuk menuju kepada Allah. Maka hati
bisa terhalang oleh berbagai macam cahaya sebagaimana nafsu bias terhalang oleh berbagai kegelapan.
Sedang Allah berda di belakang itu semua. Selanjutnya Syaikh Ahmad bin 'Athaillah berkata : "Allah
menutupi cahaya hati dengan bermacam-macam keadaan lahiriyah karena memuliakannya untuk
(tidak) diberikan secara terang atau (khawatir) untuk dipanggil atasannya dengan lisan kemasyhuran".
Allah menutup hati para kekasih-Nya (para wali) sebagai rahmat-Nya kepada sekalian orang-orang
yang beriman. Sebab jikalau rahasia kewalian itu terbuka kepada seseorang, pasti akan mewajibkan
orang yang sudah terlahir kewaliannya. --------------------------------------------------------------------- Al
Hikam : Perbuatan zahir dan suasana hati Sebagian dari tanda bersandar kepada amal (perbuatan Zahir)
adalah berkurang harapanya (suasana hati) tatkala berlaku padanya kesalahan . Imam Ibnu Athaillah
memulai Kalam Hikmat beliau dengan mengajak kita merenung kepada hakikat amal. Amal boleh
dibagikan pada dua jenis yaitu perbuatan zahir dan perbuatan hati atau suasana hati yang berhubung
dengan perbuatan zahir itu. Beberapa orang melakukan perbuatan zahir yang serupa tetapi suasana hati
berhubungan dengan perbuatan zahir itu tidak sama. Kesan amalan zahir kepada hati berbeda antara
seorang dengan seorang yang lain. Jika amalan zahir itu mempengaruhi suasana hati, maka hati itu
dikatakan bersandar kepada amalan zahir. Jika hati dipengaruhi juga oleh amalan hati, maka hati itu
dikatakan bersandar juga kepada amal, sekalipun itu adalah amalan batin. Hati yang bebas daripada
bersandar kepada amal degnan amal zahir atau amal batin adalah hati yang menghadap kepada Allah
s.w.t dan meletakkan pergantungan kepada-Nya tanpa membawa sebarang amal, zahir atau batin, serta
menyerah sepenuhnya kepada Allah s.w.t tanpa sebarang takwil atau tuntutan. Hati yang demikian tidak
menjadikan amalnya, zahir dan batin, walau berapa banyak sekalipun, sebagai alat untuk tawar
menawar dengan Tuhan bagi mendapatkan sesuatu. Amalan tidak menjadi perantaraan di antaranya
dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini tidak membataskan kekuasaan dan kemurahan Tuhan untuk
tunduk kepada perbuatan manusia. Allah s.w.t Yang Maha Berdiri Dengan Sendiri berbuat sesuatu
menurut kehendak-Nya tanpa dipengaruhi oleh siapapun dan sesuatu. Apa saja yang mengenai Allah
s.w.t adalah mutlak, tiada batas. Oleh karana itu orang arif tidak menjadikan amalan sebagai sempadan
yang mengongkong ketuhanan Allah s.w.t atau ‘memaksa’ Allah s.w.t berbuat sesuatu menurut
perbuatan makhluk. Perbuatan Allah s.w.t berada di hadapan dan perbuatan makhluk di belakang. Tidak
pernah terjadi Allah s.w.t mengikuti perkataan dan perbuatan seseorang atau sesuatu. Sebelum menjadi
seorang yang arif, hati manusia memang berhubung rapat dengan amalan dirinya, baik yang zahir mahu
pun yang batin. Manusia yang kuat bersandar kepada amalan zahir adalah mereka yang mencari faedah
keduniaan dan mereka yang kuat bersandar kepada amalan batin adalah yang mencari faedah akhirat.
Kedua jenis manusia tersebut berkepercayaan bahawa amalannya menentukan apa yang mereka akan
perolehi baik di dunia dan juga di akhirat. Kepercayaan yang demikian kadang-kadang membuat
manusia hilang atau kurang pergantungan dengan Tuhan. Pergantungan mereka hanyalah kepada
amalan semata-mata ataupun jika mereka bergantung kepada Allah s.w.t, pergantungan itu bercampur
dengan keraguan. Seseorang manusia bisa memeriksa diri sendiri apakah kuat atau lemah
pergantungannya kepada Allah s.w.t. Kalam Hikmat 1 yang dikeluarkan oleh Ibnu Athaillah memberi
petunjuk mengenai hal tersebut. Lihatlah kepada hati apabila kita terperosok ke dalam perbuatan
maksiat atau dosa. Jika kesalahan yang demikian membuat kita berputus asa daripada rahmat dan
pertolongan Allah s.w.t itu tandanya pergantungan kita kepada-Nya sangat lemah. Firman-Nya: “Wahai
anak-anakku! Pergilah dan intiplah khabar berita mengenai Yusuf dan saudaranya (Bunyamin), dan
janganlah kamu berputus asa dari rahmat serta pertolongan Allah. Sesungguhnya tidak berputus asa
dari rahmat dan pertolongan Allah melainkan kaum yang kafir ”. ( Ayat 87 : Surah Yusuf ) Ayat di atas
menceritakan bahawa orang yang beriman kepada Allah s.w.t meletakkan pergantungan kepada-Nya
walau dalam keadaan bagaimana sekali pun. Pergantungan kepada Allah s.w.t membuat hati tidak
berputus asa dalam menghadapi dugaan hidup. Kadang-kadang apa yang diingini, dirancangkan dan
diusahakan tidak mendatangkan hasil yang diharapkan. Kegagalan mendapatkan sesuatu yang diingini
bukan bermakna tidak menerima pemberian Allah s.w.t. Selagi seseorang itu beriman dan bergantung
kepada-Nya selagi itulah Dia melimpahkan rahmat-Nya. Kegagalan memperolehi apa yang dihajatkan
bukan bermakna tidak mendapat rahmat Allah s.w.t. Apa juga yang Allah s.w.t lakukan kepada orang
yang beriman pasti terdapat rahmat-Nya, walaupun dalam soal tidak menyampaikan hajatnya.
Keyakinan terhadap yang demikian menjadikan orang yang beriman tabah menghadapi ujian hidup,
tidak sekali-kali berputus asa. Mereka yakin bahawa apabila mereka sandarkan segala perkara kepada
Allah s.w.t, maka apa juga amal kebaikan yang mereka lakukan tidak akan menjadi sia-sia. Orang yang
tidak beriman kepada Allah s.w.t berada dalam situasi yang berbeda. Pergantungan mereka hanya
tertuju kepada amalan mereka, yang terkandung di dalamnya ilmu dan usaha. Apabila mereka
mengadakan sesuatu usaha berdasarkan kebolehan dan pengetahuan yang mereka ada, mereka
mengharapkan akan mendapat hasil yang setimpal. Jika ilmu dan usaha (termasuklah pertolongan
orang lain) gagal mendatangkan hasil, mereka tidak mempunyai tempat bersandar lagi. Jadilah mereka
orang yang berputus asa. Mereka tidak dapat melihat hikmat kebijaksanaan Allah s.w.t mengatur
perjalanan takdir dan mereka tidak mendapat rahmat dari-Nya. Jika orang kafir tidak bersandar kepada
Allah s.w.t dan mudah berputus asa, di kalangan sebahagian orang Islam juga ada yang demikian,
bergantung setakat mana sifatnya menyerupai sifat orang kafir. Orang yang seperti ini melakukan
amalan kerana kepentingan diri sendiri, bukan kerana Allah s.w.t. Orang ini mungkin mengharapkan
dengan amalannya itu dia dapat mengecapi kemakmuran hidup di dunia.Dia mengharapkan semoga
amal kebajikan yang dilakukannya dapat mengeluarkan hasil dalam bentuk bertambah rezekinya,
kedudukannya atau pangkatnya, orang lain semakin menghormatinya dan dia juga dihindarkan
daripada bala penyakit, kemiskinan dan sebagainya. Bertambah banyak amal kebaikan yang
dilakukannya bertambah besarlah harapan dan keyakinannya tentang kesejahteraan hidupnya.
Sebahagian kaum muslimin yang lain mengaitkan amal kebaikan dengan kemuliaan hidup di akhirat.
Mereka memandang amal salih sebagai tiket untuk memasuki syurga, juga bagi menjauhkan azab api
neraka. Kerohanian orang yang bersandar kepada amal sangat lemah, terutamanya mereka yang
mencari keuntungan keduniaan dengan amal mereka. Mereka tidak tahan menempuh ujian. Mereka
mengharapkan perjalanan hidup mereka sentiasa selesa dan segala-segalanya berjalan menurut apa
yang dirancangkan. Apabila sesuatu itu berlaku di luar jangkaan, mereka cepat naik panik dan gelisah.
Bala bencana membuat mereka merasakan yang merekalah manusia yang paling malang di atas muka
bumi ini. Bila berjaya memperoleh sesuatu kebaikan, mereka merasakan kejayaan itu disebabkan
kepandaian dan kebolehan mereka sendiri. Mereka mudah menjadi ego serta suka menyombong.
Apabila rohani seseorang bertambah teguh dia melihat amal itu sebagai jalan untuknya mendekatkan
diri dengan Tuhan. Hatinya tidak lagi cenderung kepada faedah duniawi dan ukhrawi tetapi dia
berharap untuk mendapatkan kurniaan Allah s.w.t seperti terbuka hijab-hijab yang menutupi hatinya.
Orang ini merasakan amalnya yang membawanya kepada Tuhan. Dia sering mengaitkan pencapaiannya
dalam bidang kerohanian dengan amal yang banyak dilakukannya seperti berzikir, bersembahyang
sunat, berpuasa dan lain-lain. Bila dia tertinggal melakukan sesuatu amal yang biasa dilakukannya atau
bila dia tergelincir melakukan kesalahan maka dia berasa dijauhkan oleh Tuhan. Inilah orang yang pada
peringkat permulaan mendekatkan dirinya dengan Tuhan melalui amalan tarekat tasauf. Jadi, ada
golongan yang bersandar kepada amal semata-mata dan ada pula golongan yang bersandar kepada
Tuhan melalui amal. Kedua-dua golongan tersebut berpegang kepada keberkesanan amal dalam
mendapatkan sesuatu. Golongan pertama kuat berpegang kepada amal zahir, iaitu perbuatan zahir yang
dinamakan usaha atau ikhtiar. Jika mereka tersalah memilih ikhtiar, hilanglah harapan mereka untuk
mendapatkan apa yang mereka hajatkan. Ahli tarekat yang masih diperingkat permulaan pula kuat
bersandar kepada amalan batin seperti sembahyang dan berzikir. Jika mereka tertinggal melakukan
sesuatu amalan yang biasa mereka lakukan, akan berkurangan harapan mereka untuk mendapatkan
anugerah dari Allah s.w.t. Sekiranya mereka tergelincir melakukan dosa, akan putuslah harapan mereka
untuk mendapatkan anugerah Allah s.w.t. Dalam perkara bersandar kepada amal ini, termasuklah juga
bersandar kepada ilmu, sama ada ilmu zahir atau ilmu batin. Ilmu zahir adalah ilmu pentadbiran dan
pengurusan sesuatu perkara menurut kekuatan akal. Ilmu batin pula adalah ilmu yang menggunakan
kekuatan dalaman bagi menyampaikan hajat. Ia termasuklah penggunaan ayat-ayat al-Quran dan jampi.
Kebanyakan orang meletakkan keberkesanan kepada ayat, jampi dan usaha, hinggakan mereka lupa
kepada Allah s.w.t yang meletakkan keberkesanan kepada tiap sesuatu itu. Seterusnya, sekiranya Tuhan
izinkan, kerohanian seseorang meningkat kepada makam yang lebih tinggi. Nyata di dalam hatinya
maksud kalimat: Tiada daya dan upaya kecuali beserta Allah. “Padahal Allah yang mencipta kamu dan
benda-benda yang kamu perbuat itu!” ( Ayat 96 : Surah as- Saaffaat ) Orang yang di dalam makam ini
tidak lagi melihat kepada amalnya, walaupun banyak amal yang dilakukannya namun, hatinya tetap
melihat bahawa semua amalan tersebut adalah kurniaan Allah s.w.t kepadanya. Jika tidak kerana taufik
dan hidayat dari Allah s.w.t tentu tidak ada amal kebaikan yang dapat dilakukannya. Allah s.w.t
berfirman: “Ini ialah dari limpah kurnia Tuhanku, untuk mengujiku adakah aku bersyukur atau aku
tidak mengenangkan nikmat pemberian-Nya. Dan (sebenarnya) sesiapa yang bersyukur maka faedah
syukurnya itu hanyalah terpulang kepada dirinya sendiri, dan sesiapa yang tidak bersyukur (maka
tidaklah menjadi masalah kepada Allah), kerana sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya, lagi Maha
Pemurah”. ( Ayat 40 : Surah an-Naml ) Dan tiadalah kamu berkemahuan (melakukan sesuatu perkara)
melainkan dengan cara yang dikehendaki Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi
Maha Bijaksana (mengaturkan sebarang perkara yang dikehendaki-Nya). Ia memasukkan sesiapa yang
kehendaki-Nya (menurut aturan yang ditetapkan) ke dalam rahmat-Nya (dengan ditempatkan-Nya di
dalam syurga); dan orang-orang yang zalim, Ia menyediakan untuk mereka azab seksa yang tidak
terperi sakitnya. ( Ayat 30 & 31 : Surah al-Insaan ) Segala-galanya adalah kurniaan Allah s.w.t dan
menjadi milik-Nya. Orang ini melihat kepada takdir yang Allah s.w.t tentukan, tidak terlihat olehnya
keberkesanan perbuatan makhluk termasuklah perbuatan dirinya sendiri. Makam ini dinamakan makam
ariffin iaitu orang yang mengenal Allah s.w.t. Golongan ini tidak lagi bersandar kepada amal namun,
merekalah yang paling kuat mengerjakan amal ibadat. Orang yang masuk ke dalam lautan takdir, reda
dengan segala yang ditentukan Allah s.w.t, akan sentiasa tenang, tidak berdukacita bila kehilangan atau
ketiadaan sesuatu. Mereka tidak melihat makhluk sebagai penyebab atau pengeluar kesan. Di awal
perjalanan menuju Allah s.w.t, seseorang itu kuat beramal menurut tuntutan syariat. Dia melihat amalan
itu sebagai kenderaan yang boleh membawanya hampir dengan Allah s.w.t. Semakin kuat dia beramal
semakin besarlah harapannya untuk berjaya dalam perjalanannya. Apabila dia mencapai satu tahap,
pandangan mata hatinya terhadap amal mula berubah. Dia tidak lagi melihat amalan sebagai alat atau
penyebab. Pandangannya beralih kepada kurniaan Allah s.w.t. Dia melihat semua amalannya adalah
kurniaan Allah s.w.t kepadanya dan kehampirannya dengan Allah s.w.t juga kurniaan-Nya. Seterusnya
terbuka hijab yang menutupi dirinya dan dia mengenali dirinya dan mengenali Tuhannya. Dia melihat
dirinya sangat lemah, hina, jahil, serba kekurangan dan faqir. Tuhan adalah Maha Kaya, Berkuasa,
Mulia, Bijaksana dan Sempurna dalam segala segi. Bila dia sudah mengenali dirinya dan Tuhannya,
pandangan mata hatinya tertuju kepada Kudrat dan Iradat Allah s.w.t yang menerajui segala sesuatu
dalam alam maya ini. Jadilah dia seorang arif yang sentiasa memandang kepada Allah s.w.t, berserah
diri kepada-Nya, bergantung dan berhajat kepada-Nya. Dia hanyalah hamba Allah s.w.t yang faqir. Al
Hikam : Kosongkanlah Hati dari Pengaruh Makhluk Apabila kita bermaksud supaya hati kita dapat
masuk ke dalamnya cahaya-cahaya Ilahi, cahaya-cahaya Al-Ihsan dan teranglah hati dengannya untuk
dapat menangkap ilmu-ilmu ketuhanan dan sebagian rahasia alam makhluk ini, maka tidak ada jalan
lain selain apa yang telah diungkapkan oleh Maulana Ibnu Athaillah Askandary dalam Kalam
Hikmahnya sebagai berikut: "Kosongkanlah hati anda dari segala sesuatu selain Allah, niscaya Dia
akan memenuhi hati anda itu dengan ilmu-ilmu makrifat (ilmu mengenal Allah dan rahasia-rahasia
alam) ketuhanan." Kalam Hikmah ini kejel;asannya sebagai berikut: I. Kita diperbolehkan Allah
bahkan dianjurkan olehNya menguasai dan memiliki alam ini sebanyak-banyaknya menurut pandangan
lahiriah, walaupun pada hakikatnya semua itu adalah milik Allah s.w.t. dan Dia adalah penguasa,
pemilik tunggal dan Maha Esa atas semuanya itu. Hal kedaan itu adalah menurut pandangan "syari'at".
Sedangkan menurut pandangan "hakikat", di samping yang tadi, juga hati kita tidak boleh dipenuhi
oleh alam makhluk ini, tidak boleh dipengaruhi hati kita oleh harta kekayaan kita, oleh pangkat kita,
oleh isteri dan anak-anak kita dan lain-lain sebagainya. Tetapi yang boleh bahkan yang harus
mempengaruhi hati kita ialah Allah s.w.t. atau dengan kata lain ialah agama kita yakni agama Islam.
Selain daripada Allah, apakah itu alam atas, atau alam bawah, alam dunia, alam akhirat, alam hissy
(yang dapat dijangkau pancaindera) ataupun alam maknawi (yang bukan hissy), tidak boleh
mempengaruhi hati kita. Apabila hati kita telah kosong dari pengaruh-pengaruh alam mayapada ini
sehingga tidak ada dalam hati kita selain hanya "cinta pada Allah s.w.t.", barulah Allah mengisi hati
kita bahkan memenuhi hati kita dengan ilmu makrifatNya sehingga hilanglah dari kita segala macam
keraguan, naik kepada tingkat yakin terhadapNya dan apa-apa yang diciptakan dan yang telah
ditentukan olehNya. Pada waktu itu berkumpulah dalam hati kita "Anwar Al-Malakut" dan "Asrar Al-
Jabarut". Anwar Al-Malakut artinya cahaya-cahaya alam malakut. Yakni alam bathin atau alam ghaib
yang berhubungan dengan arwah dan jiwa manusia. Sedangkan yang dimaksudkan dengan "Asrar Al-
Jabarut", ialah alam pertengahan yakni alam barzakh (alam kubur) dan alam-alam mahsyar. Jabarut
artinya kekusaan danpaksaan. Sedangkan dalam alam barzakh dan mahsyar, segala sesuatu di dalamnya
adalah menurut apa yang telah ditetapkan Allah dan tidak boleh dibantah oleh sesiapa pun, meskipun
Rasul-rasulNya, semuanya lemah menghadapi apa yang terjadi. II. Kalau sudah berkumpul dalam hati
kita Anwar Al-Malakut dan Asrar Al-Jabarut, maka terbukalah segala-galanya ini, sebab segala sesuatu
sudah beserta Allah, dengan Allah, dari Allah, kepada Allah, atas Allah, dalam Allah dan tida ada daya
dan kekuatan melainkan dengan Allah (Laa haula walaa quwwata illa billaahil-'aliyyil 'azhim). Sebab
kita dalah hambaNya dan yang dicintai olehNya, lahiriah kita dan bathiniah kita. Inilah makna wahyu
Allah s.w.t. kepada Nabi Isa a.s.: "Bahwasanya Aku apabila Aku lihat pada hati hambaKu, lantas Aku
tidak mendapatkan dalam hatinya cinta pada dunia dan cinta pada akhirat, niscaya Aku penuhkan
hatinya itu dari "cintaKu" (padanya)." Kesimpulan: (a) Ilmu makhrifat terhadap Allah s.w.t. sangat sulit
kita dapatkan apabila hati kita masih dipengaruhi oleh kecintaan-kecintaan kepada selain Allah. Hal
keadaan ini seperti kata penyair Tasawuf: Jika alam telah hancur dari mata hatiku, Barulah rahasia
dapat melihat ghaibnya dalam cahaya terang, Maka lemparkanlah alam itu dari pandanganmu, Dan
hapuslah titik ghaibnya, jika anda ingin melihatKu. (b) Karena itu, berjuang memerangi hawa nafsu
adalah penting sekali. Kemudian barulah kita tingkatkan pendekatan kita kepada Allah s.w.t. dengan
lahir dan bathin kita, sehingga sampai kita pada taraf bahwa dunia ini dan apa saja selain Allah sudah
tidak mempengaruhi bathin kita lagi, meskipun kita mengahadapi dunia ini dengan serba macam
permasalahannya, seperti Rasulullah, Muhammad s.a.w. di mana beliau telah diikuti pula oleh sahabat-
sahabat dan hamab-hamba Allah yang shaleh. Posted by alif braja at 4:11 AM Email This BlogThis!
Share to Twitter Share to Facebook Share to Pinterest Labels: KITAB