Anda di halaman 1dari 74

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

UNTUK MENENTUKAN LOKASI HUTAN KOTA DAN


CONTOH PRA DESAIN HUTAN KOTA DI KECAMATAN
BANYUWANGI, KABUPATEN BANYUWANGI

AGE KRIDALAKSANA

DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)
UNTUK MENENTUKAN LOKASI HUTAN KOTA DAN
CONTOH PRA DESAIN HUTAN KOTA DI KECAMATAN
BANYUWANGI, KABUPATEN BANYUWANGI

AGE KRIDALAKSANA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Sistem


Informasi Geografis (SIG) untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota dan Contoh Pra
Desain Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi adalah
benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan
belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober 2011

Age Kridalaksana
NIM E34063106
Judul Skripsi : Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Menentukan
Lokasi Hutan Kota dan Contoh Pra Desain Hutan Kota di
Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi 
Nama : Age Kridalaksana
NIM : E 34063106

Menyetujui :
Komisi Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS. Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc.
NIP.19501226 198003 1 002 NIP.19620316 198803 1 002

Mengetahui,
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.


NIP.19580915 198403 1 003

Tanggal Lulus :
i
 

KATA PENGANTAR

Allah SWT adalah sumber dari segala ilmu, penulis bersyukur atas setitik
ilmu dan ridho yang dianugrahkan Allah SWT sehingga skripsi yang berjudul
“Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk Menentukan Lokasi
Hutan Kota dan Contoh Pra desain Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi,
Kabupaten Banyuwangi” dapat diselesaikan. Penulis hanya berharap bahwa
ilmu yang diperoleh tersebut mampu memberikan manfaat kebaikan bagi banyak
pihak. Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan dari karya ilmiah ini karena
kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh karena itu peneliti selalu berharap
saran, kritik dan masukan dari pembaca agar peneliti mampu mengembangkan diri
dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Bogor, Oktober 2011

Age Kridalaksana
NIM E34063106
ii
 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kecamatan Purwoharjo,


Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 25 Januari 1988.
Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Drs. AH
Hadiyin dan Dra. Sri Supadmi, dan mempunyai satu saudara
yaitu Amesti Dyah Prameswari.
Penulis memulai pendidikan formal di SDN
Penganjuran V Banyuwangi pada tahun 1994 dan lulus pada
tahun 2000. Penulis melanjutkan jenjang pendidikan formal di SLTPN 1
Banyuwangi pada tahun 2000 dan lulus pada tahun 2003. Pendidikan menengah
atas ditempuh penulis di SMAN 1 Glagah Banyuwangi pada tahun 2003 dan lulus
pada tahun 2006.
Tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa di IPB (Institut Pertanian
Bogor) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selain mengikuti
perkuliahan di Fakultas Kehutanan, penulis juga melakukan kegiatan PPEH
(Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan) di Pangandaran dan Gunung Sawal pada
tahun 2009. Tahun 2010, penulis mengikuti kegiatan PPH (Praktek Pengelolaan
Hutan) di HPGW (Hutan Pendidikan Gunung Walat) IPB. Penulis juga mengikuti
kegiatan PKLP (Praktek Kerja Lapang Profesi) di Taman Nasional Baluran pada
tahun 2010.
Penulis menyusun skripsi yang berjudul “Aplikasi Sistem Informasi
Geografis (GIS) untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota dan Contoh Pra Desain
Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi” di bawah
bimbingan Dr. Ir. Endes N Dahlan, MS. dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,
M.Sc., sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
iii
 

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mamanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala
karunia yang tak terhingga yang dilimpahkan kepada penulis. Berbagai bantuan
diterima penulis selama penyusunan skripsi ini, oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ibu, ibu, ibu (Dra. Sri Supadmi) dan bapak (Drs. AH. Hadiyin) atas kasih
sayang, kebaikan dan segala sesuatu yang tidak mungkin bisa penulis hitung
terlebih untuk membalasnya.
2. Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, pengetahuan dan
meluangkan waktu sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
3. Keluarga kedua penulis “OMDA Lare Blambangan Banyuwangi”, yang telah
memberi wawasan, pengalaman, pengetahuan, kehangatan keluarga dan kasih
sayang selama penulis menempuh ilmu di Bogor.
4. Teman – teman Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata angkatan 43,
bersama kalian waktu berjalan begitu cepat dan penulis baru menyadarinya
saat satu persatu dari kalian mengucapkan perpisahan.
5. Teman – teman laboratorium analisis spasial lingkungan (kakak tingkat, adik
tingkat, teman satu angkatan). Penulis tidak mampu menyebutkan setiap nama
kalian satu persatu karena kalian semua sangat berarti bagi penulis dan penulis
hanya mengingat bahwa penulis berhutang banyak hal dari kalian semua.
6. Marisha ARL 45, Atik ARL 45, Mita ARL 44, terima kasih atas bantuan
simbol pohon. Mungkin kalian akan melupakan penulis karena pertemuan kita
begitu singkat, namun penulis tidak akan pernah melupakan sesuatu yang telah
kalian berikan kepada penulis dan penulis berharap di lain kesempatan dapat
melakukan sesuatu untuk membalas kebaikan kalian.
7. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, pemerintah Kecamatan Banyuwangi,
BAPPEDA Banyuwangi atas kesediannya memberi fasilitas kepada penulis
untuk melakukan penelitian.
8. Teman didaerah penulis “Mohammad Salahuddin Thalut”, terima kasih atas
segala bantuan dan semoga kita tetap menjadi teman baik selamanya.
iv
 

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 3
2.1 Hutan Kota .............................................................................................. 3
2.2 Sistem Informasi Geografis (GIS) .......................................................... 4
2.3 Pra Desain Lanskap ................................................................................. 6
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................... 9
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 9
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................ 9
3.3 Pengolahan Data...................................................................................... 10
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 20
4.1 Peta Tematik Kecamatan Banyuwangi ................................................... 20
4.2 Penentuan Lokasi Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi .................... 38
4.3 Pra Desain Hutan Kota ............................................................................ 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................... 55
5.1 Kesimpulan ............................................................................................. 56
5.2 Saran........................................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 58
LAMPIRAN .............................................................................................................. 61
v
 

DAFTAR TABEL

No. Halaman
1. Alat dan bahan penelitian .................................................................................... 9
2. Nilai Konstanta kalibrasi dari band thermal........................................................ 13
3. Suhu permukaan Kecamatan Banyuwangi ......................................................... 21
4. Kelas kemiringan lereng Kecamatan Banyuwangi ............................................. 25
5. Klasifikasi tutupan lahan SNI 7645:2010 ........................................................... 28
6. Klasifikasi tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi............................................. 29
7. Uji akurasi kelas tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi ................................... 29
8. Pembagian ruang terbuka hijau Kota Rotterdam ................................................ 32
9. Jenis tanah berdasarkan tingkat kepekaan terhadap erosi ................................... 42
10. Arti warna terhadap sifat tanah ........................................................................... 42
11. Nilai untuk setiap kriteria penentuan lokasi hutan kota ...................................... 43
12. Kelas prioritas lokasi untuk pembangunan kawasan hutan kota......................... 43
13. Penandaan lokasi dengan GPS ............................................................................ 62
vi
 

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman
1. Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra Landsat 7 ETM+ ............................ 11
2. Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra ASTER GDEM .............................. 12
3. Bagan alur tahapan pembuatan peta distribusi suhu ........................................... 14
4. Bagan alur tahapan pembuatan peta kemiringan lereng ..................................... 15
5. Bagan alur tahapan pembuatan peta penutupan lahan ........................................ 16
6. Bagan alur tahapan pembuatan peta jarak dari pemukiman................................ 16
7. Bagan alur tahapan pembuatan peta jenis tanah ................................................. 17
8. Bagan alur tahapan penentuan lokasi hutan kota ................................................ 18
9. Peta Suhu Permukaan Kecamatan Banyuwangi ................................................. 22
10. Peta Kontur Kecamatan Banyuwangi ................................................................. 26
11. Peta Kemiringan Lahan Kecamatan Banyuwangi............................................... 27
12. Peta Tutupan Lahan Kecamatan Banyuwangi .................................................... 30
13. Peta Jarak dari Pemukiman Kecamatan Banyuwangi ......................................... 33
14. Peta Jenis Tanah Kecamatan Banyuwangi .......................................................... 37
15. Peta Prioritas Lokasi Hutan Kota Kecamatan Banyuwangi ................................ 44
16. Peta Prioritas Lokasi Hutan Kota Kecamatan Banyuwangi ................................ 46
17. Kondisi Tapak Pantai Boom ............................................................................... 52
18. Konsep pegembangan dan pembagian ruang ...................................................... 53
19. Konsep sirkulasi .................................................................................................. 54
20. Site Plan Hutan Kota Bayuwangi........................................................................ 55
vii
 

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman
1. Penandaan lokasi dengan GPS (Global Positioning System).............................. 62
2. Classification accuracy assessment report ......................................................... 64
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kota merupakan pusat kegiatan manusia yang dicirikan dengan kegiatan
perdagangan atau jasa dan sebagai pusat pemerintahan. Pembangunan kota
cenderung diarahkan menuju pembangunan fisik kota yang identik dengan
penyediaan sarana dan prasarana untuk aktifitas manusia. Pembangunan kota yang
lebih mengutamakan pembangunan fisik dapat menyebabkan penurunan kualitas
lingkungan kota, terutama dalam hal kenyamanan. Ilmu arsitektur mengenal
paling sedikit empat macam kenyamanan, yaitu: kenyamanan ruang, kenyamanan
penglihatan, kenyamanan pendengaran dan kenyamanan termis (Karyono 2001).
Kenyamanan termis merupakan jenis kenyamanan yang sangat berkaitan dengan
pembangunan fisik kota. Umumnya pembangunan fisik kota yang tidak diimbangi
dengan penyediaan ruang terbuka hijau perkotaan, sehingga mengakibatkan suhu
perkotaan meningkat bahkan menyebabkan terjadinya fenomena heat island di
perkotaan.
Fenomena kenaikan suhu memang sudah terjadi sejak abad dua puluh dan
terjadi di seluruh kota di Indonesia tidak terkecuali Kecamatan Banyuwangi. Suhu
udara rata-rata tahunan telah bertambah kira-kira 0.3oC sejak tahun 1900.
Sementara itu tahun 1990 menjadi dekade terpanas abad ini. Tahun 1998 menjadi
tahun terpanas hampir 1°C di atas rata-rata tahun 1961-1990. Rata-rata suhu udara
di Indonesia mengalami peningkatan berkisar 0,2-1°C yang terjadi sejak tahun
1970 sampai tahun 2008 akibat adanya pemanasan global (Firman 2009).
Fakta bahwa suhu bumi semakin meningkat, mengindikasikan bahwa faktor
termal perlu mendapatkan perhatian khusus dalam pembangunan kota karena
faktor kenyamanan suhu bekaitan langsung dengan manusia di lokasi tersebut.
Idealistina (1991) menyatakan bahwa suhu nyaman diperlukan manusia untuk
mengoptimalkan produktifitas kerja. Standar kenyamanan termal yang berlaku di
Indonesia berpedoman pada standar Amerika [ANSI/ASHRAE 55-1992] dan
merekomendasikan suhu nyaman 22.5o-26o C, atau disederhanakan menjadi 24o C
± 2o C, atau rentang antara 22o C hingga 26o C.
2
 

Hutan kota merupakan suatu konsep yang dipercaya mampu untuk


mengembalikan atau menstabilkan kondisi kenyamanan lingkungan perkotaan.
Hutan kota dibangun dengan elemen lanskap utama berupa tegakan pohon.
Kemampuan pohon untuk menyerap polusi, menghasilkan oksigen (O2) dari
proses fotosintesis, meningkatkan kenyamanan termal, meredam kebisingan,
memberi naungan, memberi nilai estetika, dll adalah alasan yang memperkuat
bahwa hutan kota mampu mengembalikan keseimbangan dan kenyamanan
lingkungan perkotaan. Fungsi hutan kota semakin optimal apabila hutan kota
dibangun pada lokasi yang tepat, oleh karena itu diperlukan klasifikasi dan
penilaian lahan sebelum menentukan lokasi untuk pembangunan hutan kota.
Hutan kota merupakan suatu kawasan hutan yang berada pada perkotaan.
Pengertian hutan kota tentunya perlu disesuaikan dengan kondisi masyarakat,
karena kawasan hutan yang akan dibangun berada di perkotaan yang merupakan
pusat aktivitas manusia. Pengertian hutan dan pengertian kota tersebut dapat
disatukan dengan membuat suatu desain tertentu sehingga manfaat kawasan hutan
dapat dirasakan secara optimal tanpa harus menggangu aktivitas manusia di
kawasan perkotaan tersebut.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian adalah melakukan klasifikasi lahan untuk menentukan
lokasi hutan kota, memetakan lokasi hutan kota serta membuat satu contoh desain
hutan kota pada lokasi tertentu di Kecamatan Banyuwangi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Kota

2.1.1 Pengertian
Hutan kota adalah komunitas tumbuh-tumbuhan berupa pohon dan
asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur,
menyebar atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur meniru (menyerupai)
hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan
menimbulkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis (Irwan 2007).
Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota menyatakan
bahwa hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon
yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara
maupun tanah hak.
Dahlan (1992), ada dua pendekatan yang dipakai dalam membangun hutan
kota. Pendekatan pertama, hutan kota dibangun pada lokasi-lokasi tertentu saja.
Penentuan luasannya pun dapat berdasarkan: (1). Prosentase, yaitu luasan hutan
kota ditentukan dengan menghitung dari luasan kota; (2). Perhitungan per kapita,
yaitu luasan hutan kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduknya dan (3).
Berdasarkan isu utama yang muncul. Pendekatan kedua, semua areal yang ada di
suatu kota pada dasarnya adalah areal untuk hutan kota. Pada pendekatan ini
komponen yang ada di kota seperti pemukiman, perkantoran dan industri
dipandang sebagai suatu enklave (bagian) yang ada dalam suatu hutan kota.

2.1.2 Manfaat Hutan Kota dalam Menurunkan Suhu


Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar
pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal,
gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antene pemancar
radio, televisi dan lain-lain. sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena
tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi (Grey &
Deneke 1978).
4
 

Robinette (1983) lebih jauh menjelaskan, jumlah pantulan radiasi surya


suatu hutan sangat dipengaruhi oleh : panjang gelombang, jenis tanaman, umur
tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca dan posisi lintang.
Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah tidak
ditumbuhi oleh tanaman. Wenda (1991) telah melakukan pengukuran suhu dan
kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi
dan luasan dari hutan kota di Bogor yang dibandingkan dengan lahan pemukiman
yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa:
a. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5 - 31,0° C dengan kelembaban
66 - 92%.
b. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan
aspal suhu yang terjadi 27,7 - 33,1° C dengan kelembaban 62 - 78%.
c. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3 - 32,1° C dengan kelembaban 62 -
78%.
2.1.3 Tipe dan Bentuk Hutan Kota

Dahlan (1992) membagi hutan kota menjadi bebrapa tipe dan bentuk. Tipe
hutan kota, antara lain: tipe pemukiman, tipe kawasan industri, tipe rekreasi dan
keindahan, tipe pelestarian plasma nutfah, tipe perlindungan, tipe pengamanan.
Bentuk hutan kota, antara lain: jalur hijau, taman kota, kebun dan halaman, kebun
raya, hutan raya, kebun binatang, hutan lindung, kuburan dan taman makam
pahlawan.

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)

2.2.1 Aplikasi Sistem Informasi Geografis

Pengindraan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena
yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990).
Temaja (2010) menggunakan metode pengindraan jauh untuk menduga
distribusi suhu permukaan Kota Denpasar dengan data berupa Citra Lansat 7
ETM+. Suhu permukaan Kota Denpasar berdasarkan estimasi band 6 pada Citra
Landsat dibedakan menjadi 17 kelas suhu permukaan yaitu dengan selang nilai
5
 

suhu antara 17,9 sampai 34oC. Nilai suhu permukaan tertinggi yaitu 33-34oC pada
lahan terbuka wilayah Kecamatan Denpasar Selatan (Kelurahan Sesetan). Nilai
suhu permukaan terendah yaitu 17,9oC pada wilayah Kecamatan Denpasar yaitu
tipe penutupan lahan mangrove.
Fajar (2010) menduga penutupan lahan dan distribusi suhu permukaan Kota
Palembang dengan melakukan analisis estimasi Citra Landsat 7 ETM+. Hasil
interpretasi dan analisis Citra Landsat 7 ETM+ pada tahun 2001 dan 2010
menunjukkan adanya perubahan tutupan lahan dari lahan bervegetasi menjadi
lahan non vegetasi yang cukup besar terjadi di pingguran Kota Palembang.
Perubahan penggunaan lahan tersebut berakibat pada perubahan iklim mikro,
diantaranya adalah peningkatan suhu permukaan, penurunan kelembaban relatif
dan peningkatan indeks kenyaman. Sebaran suhu di Kota Palembang berkisar
antara 27oC sampai 39oC. suhu pada ruang terbuka hijau berkisar antara 27oC
sampai 32oC, sedangkan suhu pada area terbangun > 33oC. Nilai NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index) dapat membantu dalam membedakan
tutupan vegetasi dan non vegetasi dan memiliki kolerasi berupa hubungan
berkebalikan dengan suhu permukaan, yaitu kenaikan suhu permukaan disertai
dengan penurunan NDVI atau sebaliknya.
Yusri (2011) menggunakan metode pengindraan jauh untuk menduga
perubahan penutupan lahan Taman Nasional Gunung Ciremai dan menggunakan
data dasar berupa Citra Landsat 7 ETM+. Tipe penutupan lahan yang ada di
Taman Nasional Gunung Ciremai dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu hutan
alam, hutan tanaman, semak belukar, ladng, lahan terbuka, badan air dan tidak ada
data. Pada tahun 2006-2009 terjadi penurunan luas hutan alam sebesar 51,21 Ha,
peningkatan luas hutan tanaman sebesar 92,88 Ha, kemudian diikuti oleh
penurunan lahan terbuka sebesar 979,2 Ha, peningkatan semak belukar sebesar
746,73 Ha, peningkatan luas ladang 178,29 Ha serta badan air mengalami
penurunan luas sebesar 1,62 Ha.
6
 

2.3 Pra Desain Lanskap

2.3.1 Pengertian
Desain lanskap adalah sebuah perluasan dari perencanaan tapak (Laurie
1986, diacu dalam Heryani 2008). Desain lanskap adalah proses yang membawa
kualitas spesifik yang diberikan kepada ruang diagramatik rencana tapak dan
merupakan level lain dimana arsitektur lanskap didiskusikan dan dikritik. Hasil
dari proses desain adalah gambar kerja yang segera terwujud. Pra desain
merupakan tahap persiapan desain. Hasil dari tahap ini adalah konsep
perancangan site plan, denah, tapak, potongan dan perspektif (Anonim 2007).

2.3.2 Prinsip Desain


Pembuatan desain lanskap pada umumnya didasarkan pada prinsip-prinsip
desain agar menghasilkan desain yang berkualitas. Ried (1993) diacu dalam
Heryani (2008) mengungkapkan prinsip desain meliputi : unity, harmony, interest,
simplicity, emphasis, balance, scale dan proportion.
a. Kesatuan (Unity)
Unity adalah penyatuan dari beberapa elemen desain sehingga dari semua
komponen menghasilkan suatu kesatuan. Unity merupakan kualitas kesatuan dan
perpaduan yang dicapai meliputi pengaturan berbagai elemen lanskap dengan
keseluruhan pengaturan tema.
b. Keselarasan (Harmony)
Harmony merupakan unsur penyelaras. Harmony merupakan pernyataan
untuk kesesuaian antara elemen-elemen lanskap dengan lingkungan sekitarnya.
Teknik untuk menunjukkan harmony yaitu dengan menunjukkan gambar yang
akan direncanakan dalam bagian tertentu terhadap bentuk secara keseluruhan ide
dan penyangga yang cukup antara elemen-elemen yang berbeda. Pada umumnya,
aturannya adalah menghindari solusi yang memunculkan keanehan. Nilai keaslian
dan fungsional akan menambah nilai harmony.
c. Menarik perhatian (Interest)
Interest bukanlah prinsip dasar dalam pengaturan, tetapi aspek yang sangat
penting terhadap kepuasan estetik dan keberhasilan suatu desain. Interest akan
dicapai dengan memperkenalkan berbagai bentuk ukuran, tekstur dan warna,
perubahan arah, pergerakan, suara dan kualitas cahaya.
7
 

d. Kesederhanaan (Simplicity)
Simplicity sebagai unsur kesederhanaan. Simplicity merupakan hasil dari
pengurangan elemen yang tidak penting, sehingga akan memiliki nilai ekonomis
pada garis, bentuk, tekstur dan warna. Hal ini merupakan suatu dasar untuk
membawa kemurnian dan tujuan desain. Simplicity akan membawa ke arah yang
ekstrim, walaupun kesederhanaan menghilangkan kemonotonan
e. Aksentuasi (Emphasis)
Emphasis menitikberatkan pada elemen atau pola tertentu. Emphasis atau
dominan merupakan hal penting untuk diberikan pada suatu elemen lanskap.
Elemen lanskap yang ada disekitarnya membutuhkan pengaturan dengan fokus
terhadap atraksi, pengaruh dan kekuatan, dibatasi dengan menggunakan emphasis
pada tempat istirahat untuk mata dan penolong orintasi. Seluruh gambar akan
terasa menyenangkan ketika seseorang mudah untuk menemukan hal penting.
Emphasis dapat dicapai dengan menentukan penggunaan yang kontras.
Emframement dan focalization merupakan prinsip pelengkap pada
emphasis. Hal tersebut merupakan teknik untuk menyesuaikan dan mendukung
lingkungan di sekitar lanskap. Focalization terjadi ketika elemen-elemen
disekitarnya merupakan struktur yang dijadikan sebagai pemandangan utama,
walaupun perhatiannya harus pasti terhadap daerah penting yang berguna bagi
pengguna.
Ketika prinsip emphasis digunakan terhadap eleman lanskap berupa garis
atau permukaan yang berpola, maka hasilnya adalah ritme. Ritme adalah emphasis
yang sifatnya berulang dan beraturan. Istirahat, variasi dan getaran dapat
mewujudkan perasaan yang bergerak pada lanskap.
f. Keseimbangan (Balance)
Balance merupakan perasaan yang menyatakan pada keseimbangan. Hal itu
berimplikasi pada kestabilan dan digunakan untuk menimbulkan perasaan damai
dan nyaman. Keseimbangan dibagi menjadi dua keseimbangan formal (simetrik)
dan non formal (asimetrik). Keseimbangan formal meliputi bentuk geometri,
simetri dan memiliki karakter berupa pengulangan elemen-elemen yang serupa,
serta memiliki sekmen pusat. Keseimbangan non formal memiliki bentuk non
geometrik dan asimetrik.
8
 

g. Skala dan Proporsi (Scale dan Proportion)


Scale dan proportion, mengacu pada pembidangan relatif antara ketinggian,
panjang, luas, masa dan volume. Scale dan proportion menunjukkan
perbandingan yang relatif dari tinggi, lebar, luas, jumlah dan volume.
Perbandingan antara elemen dengan area yang ditempati. Proportion mengacu
pada bagian dari suatu objek dalam hubungannya dengan sisa objek tersebut,
sedangkan scale adalah perbandingan seluruh objek dalam hubungannya dengan
objek yang lain.
 
9

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi
Provinsi Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan selama 11 bulan dan dimulai pada
bulan September 2010 sampai dengan Juli 2011.

3.2 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian beserta fungsinya
disajikakan pada Tabel 1.
Tabel 1 Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan Bahan Fungsi
A. Alat
1. Kamera Mengambil gambar di lokasi penelitian
2. GPS (Global Positioning System) Untuk menandai dan mengambil posisi
koordinat geografi lapangan
3. Alat tulis Mencatat hasil penelitian
4. Software ERDAS 9.1 Mengolah data spasial
5. Software ArcGIS 9.3 Mengolah data spasial
6. Software Corel Draw X3 Membuat desain hutan kota
7. Software Photoshop CS4 Membuat desain hutan kota
8. Komputer Menjalankan software yang digunakan dalam
penelitian
B. Bahan
1. Citra Landsat 7 ETM Bahan untuk estimasi suhu permukaan bumi,
bahan untuk membuat peta penutupan lahan
dan peta jarak dari pemukiman
2. Citra ASTER GDEM Bahan untuk mendapatkan data kelerengan
lahan dan data kontur di lokasi penelitian
3. Peta Rupa Bumi Bahan untuk melakukan proses koreksi
geometrik pada citra
4. Peta Tanah Salah satu parameter untuk menentukan lokasi
hutan kota
5. Peta rencana tata ruang wilayah Memberikan informasi rencana tata ruang
Kabupaten Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi
10

3.3 Pengolahan Data

3.3.1 Pengolahan Awal Data


Penelitian dilakukan dengan menggunakan data dasar berupa peta dan citra
satelit (Lansat 7 ETM+ dan ASTER GDEM). Setiap data memiliki format yang
berbeda-beda. Data tersebut perlu diolah terlebih dahulu agar data memiliki
format yang sama antara satu data dengan data yang lainnya sehingga data
tersebut mudah untuk dianalisis. Kegiatan pengolahan awal data, antara lain :
a. Import data
Import data merupakan kegiatan menyesuaikan format data yang dimiliki
sehingga data sesuai dengan data yang diminta oleh software yang akan
digunakan.
b. Layer stacking
Layer stacking merupakan proses penggabungan band pada citra satelit.
Layer stacking dilakukan apabila citra satelit memiliki lebih dari satu band,
misalnya Citra Landsat 7 ETM+ yang memiliki delapan band. Sedangkan citra
yang hanya memiliki satu band (misal : Citra ASTER GDEM), proses layer
stacking tidak dilakukan
c. Koreksi geometrik
Kegiatan koreksi geometrik sering dinamakan rektifikasi. Koreksi
geometrik merupakan kegiatan memperbaiki pergeseran, rotasi dan perspektif
citra sehingga orientasi, proyeksi dan anotasinya sesuai dengan yang ada pada
peta. Koreksi geometri terdiri dari koreksi sistematik (karena karakteristik alat)
dan non sistematik (karena perubahan posisi penginderaan). Koreksi sistematik
biasanya telah dilakukan oleh penyedia data. Koreksi non sistematik biasanya
dilakukan dengan suatu proses koreksi geometri. Proses ini memerlukan ikatan
yang disebut titik kontrol medan (Ground control point/GCP), GCP tersebut dapat
diperoleh dari peta, citra yang telah terkoreksi atau tabel koordinat penjuru. GCP
kemudian disusun menjadi matrik transformasi untuk rektifikasi citra.
11

d. Pemotongan peta dan citra satelit


Pemotongan peta dilakukan dengan tujuan untuk memperjelas batasan
wilayah penelitian (wilayah studi). Hasil dari pemotongan peta adalah peta kerja.

Citra Landsat 7 ETM+

Layer Stacking
 

Import Data

Koreksi Geometrik Peta RBI

Citra Terkoreksi

Pemotongan Citra

Citra sesuai
wilayah studi

Gambar 1 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra Landsat 7 ETM+.


12

Citra ASTER GDEM

Import Data

Koreksi Geometrik Peta RBI

Citra Terkoreksi

Pemotongan Citra

Citra sesuai
wilayah studi

Gambar 2 Bagan alur tahapan pengolahan awal Citra ATER GDEM.

3.3.2 Pengolahan Band 6 untuk Estimasi Suhu Permukaan


Pengolahan band 6 pada Citra Landsat 7 ETM dilakukan untuk
menghasilkan peta distribusi suhu permukaan. Estimasi nilai suhu permukaan
dilakukan dengan mengunakan software ERDAS imagine 9.1, proses dilakukan
dengan membuat model pada menu Model Maker ERDAS imagine 9.1 yang
sudah tersedia untuk mengkonversi nilai-nilai pixel pada Landsat 7 ETM band 6.
DN (Digital Number) merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan
konversi menjadi nilai radiansi. Konversi nilai digital number menjadi nilai
radiansi dilakukan dengan rumus sebagai berikut (USGS 2002):
Radiansi = gain x DN (digital number) + offset

Dengan nilai gain sebesar 0.05518, digital number adalah band 6 dari Citra
Landsat 7 ETM dan nilai offset sebesar 1.2378.
13

Suhu permukaan didapatkan setelah dilakukan proses konversi Radian


Spektral (Spectral Radiance) menjadi temperatur. Citra band thermal (band 6)
dapat dikonversi menjadi peubah fisik dengan asumsi bahwa emisinya adalah
satu. Persamaan konversi radian spektral menjadi temperatur adalah sebagai
berikut:

Keterangan :
T : Suhu efektif (K)
K2 : Konstanta Kalibrasi 2 (Tabel 2)
K1 : Konstanta Kalibrasi 1 (Tabel 2)
L : Spectral radiance in watts/(meter squared * ster * µm)
Konstanta K1 dan K2 untuk Landsat 5/TM dan Landsat 7/ETM dapat ditunjukkan
dalam Tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2 Nilai Konstanta kalibrasi dari Band Thermal
Satelit K1 (W/(m2*ster*μm)) K2 (Kelvin)
Landsat 5/TM 607.76 1260.56
Landsat 7/ETM 666.09 1282.71
Sumber : Handbook Landsat
14

Citra sesuai Band 6


wilayah studi

Konversi Citra

Klasifikasi Suhu

Estimasi Band 6

Peta Distribusi
Suhu

Gambar 3 Bagan alur tahapan pembuatan peta distribusi suhu.

3.3.3 Pembuatan Peta Ketinggian dan Kemiringan Lereng


Penelitian dilakukan dengan melakukan proses analisis Citra ASTER
GDEM untuk memperoleh data ketinggian tempat dan kemiringan lereng di
Kecamatan Banyuwangi dan proses analisis Citra ASTER GDEM dilakukan
dengan mengunakan software ArcGIS 9.3. Data spasial lereng merupakan data
yang memberi infomasi kemiringan suatu lahan yang mempunyai nilai satuan
persen (%) berdasarkan derajat sudut kemiringan derajat (°). Lereng dengan nilai
100 % = 45° sudut kemiringan. Data spasial lereng dapat dibangun dengan
melakukan proses analisis lereng pada data DEM (Digital Elevation Modeling),
kemudian data tersebut dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kecuraman suatu
kawasan (klasifikasi lereng).
15

Citra ASTER GDEM

3D Analyst (Create countur)

3D Analyst (Create TIN From Feature)

TIN (Triangulated Irregular Network)

Surface Analyst (slope)


Peta Ketinggian

Peta Kemiringan lereng

Gambar 4 Bagan alur tahapan pembuatan peta kemiringan lereng.

3.3.4 Analisis Penutupan Lahan


Data tutupan lahan diperoleh dari hasil analisis interprestasi citra satelit
(Citra Landsat 7 ETM+) dengan mengunakan software ERDAS Imagine 9.1.
Berikut adalah tahapan untuk mengolah citra satelit sehingga citra satelit dapat
diinterpretasikan:
a. koreksi citra satelit (koreksi radiometri dan koreksi geometri),
b. penyusunan citra komposit warna,
c. fusi citra satelit,
d. filter prosesing.
Penentuan dan pembuatan kelas penutupan lahan didasarkan atas interpretasi
warna pixel – pixel Citra Landsat 7 ETM. Hasil interpretasi tersebut kemudian
dicocokkan dengan data survey lapangan untuk menentukan tingkat akurasi
pembuatan kelas tutupan lahan tersebut. Analisis penutupan lahan tersebut
16

bertujuan untuk mengetahui lokasi-lokasi yang tidak termaanfaatkan yang


nantinya dapat dijadikan sebagai lokasi untuk pembangunan hutan kota.

Citra sesuai
wilayah studi

Klasifikasi
sementara

Analisis
Pengecekan
Penutupan lahan
Lapangan

Peta penutupan
lahan

Gambar 5 Bagan alur tahapan pembuatan peta penutupan lahan.

3.3.5 Pembuatan Peta Jarak dari Pemukiman (Peta Buffer Pemukiman)


Peta jarak dari pemukiman merupakan proses lanjutan dari tahapan analisis
penututupan lahan. Klasifikasi tutupan lahan berupa areal terbangun/pemukiman
dijadikan dasar untuk membuat peta jarak dari pemukiman. Peta jarak dari
pemukiman yaitu peta yang menunjukkan selang jarak tertentu dari pemukiman
penduduk. Proses pembuatan peta jarak dari pemukiman dilakukan dengan
bantuan software ArcGIS 9.3.

Klasifikasi areal
pemukiman

Analyst tool (buffer)

Peta jarak
pemukiman

Gambar 6 Bagan alur tahapan pembuatan peta jarak dari pemukiman.


17

3.3.6 Pembuatan Peta Jenis Tanah


Peta jenis tanah didapatkan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan
Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Banyuwangi yang berupa peta analog. Penelitian
membutuhkan peta digital untuk melakukan proses analisis, oleh karena itu peta
analog tersebut diubah menjadi peta digital dengan melakukan proses digitasi.
Proses digitasi peta dilakukan dengan bantuan software ArcGIS 9.3 dan
mengunakan metode digitasi on screen.

Peta Jenis
Tanah (analog)

Digitasi on screen

Peta Jenis
Tanah (digital)

Gambar 7 Bagan alur tahapan pembuatan peta jenis tanah.

3.3.7 Penentuan Prioritas Lokasi Hutan Kota


Mekanisme penentuan lokasi untuk pembangunan hutan kota dilakukan
dengan cara skoring. Setiap kriteria yang digunakan (peta suhu permukaan, peta
kemiringan lahan, peta tutupan lahan, peta jarak dari pemukiman dan peta tanah)
di klasifikasikan kemudian diberi nilai yang berbeda-beda. Skor total merupakan
penjumlahan nilai dari peta suhu permukaan, peta kemiringan lahan, peta tutupan
lahan, peta jarak dari pemukiman dan peta tanah). Kombinasi penjumlahan dari
kelima kriteria tersebut akan menghasilkan nilai maksimal dan nilai minimal.
Berdasarkan nilai maksimal dan minimal tersebut, dibuatlah selang prioritas lahan
untuk penentuan lokasi hutan kota.
Penentuan tapak untuk contoh pra desain hutan kota Kecamatan
Banyuwangi mengacu pada peta prioritas lokasi hutan kota yang telah dibuat,
namun karena hanya akan dipilih satu lokasi sebagai contoh hutan kota di
Kecamatan Banyuwangi maka tapak yang dipilih harus memiliki nilai lebih
dibandingkan tapak lainnya. Nilai lebih dari suatu tapak dapat berupa nilai
18

sejarah, nilai budaya, nilai sosial, dll. Nilai lebih dari suatu tapak dapat dilihat dan
ditentukan setelah melakukan kegiatan verifikasi hasil (peta prioritas lokasi hutan
kota) di lapang. Verifikasi lapang menghasilkan tapak yang terpilih sebagai
contoh pra desain hutan kota di Kecamatan Banyuwngi.

Peta Distribusi Peta Peta jarak dari


Suhu kemiringan pemukiman

Peta jenis tanah

overlay

Skor total

Peta Prioritas untuk pembangunan


hutan kota

Peta penutupan Verifikasi


lahan lapang

Pemilihan tapak

Gambar 8 Bagan alur tahapan penentuan lokasi hutan kota.


19

3.3.8 Tahapan Pra Desain Lanskap


Tahapan-tahapan untuk mendesain lanskap dengan menggunakan Metode
Gold (1980), yaitu :
a. Persiapan awal
Penetapan tujuan desain dan informasi tentang program serta instansi
terkait. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan model (desain)
hutan kota, dengan mengunakan informasi dasar berupa data kesesuaian lahan
hasil analisis Citra Landsat yang telah diolah sebelumnya dengan menggunakan
pendekatan SIG (Sistem Informasi Geografis).
b. Inventarisasi
Tahapan pengecekan lapang secara langsung untuk mengetahui karakteristik
tapak, elemen-elemen lanskap yang ada dan melakukan penghayatan tapak.
c. Analisis
Data hasil inventarisasi yang didapat, selanjutnya dilakukan proses analisis
untuk mengetahui potensi tapak baik secara spasial maupun non-spasial dari
berbagai aspek dan faktor yang ada di lapangan.
d. Sintesis
Hasil yang diperoleh dari tahap analisis dikembangkan sebagai suatu
masukan untuk mendapatkan hasil sintesis yang sesuai dengan tujuan desain. Hal-
hal yang negatif dicarikan jalan keluarnya melalui berbagai alternatif yang
terbaik, sedangkan hal-hal yang positif dikembangkan untuk mencapai tujuan dan
hasil yang diperoleh berupa suatu konsep perencanaan serta alternatif
pengembangan.
e. Master plan
Master plan merupakan kesimpulan dari keseluruhan tahap inventarisasi,
analisis dan sintesis. Tahap ini menggambarkan aktivitas, fasilitas-fasilitas yang
dapat dikembangkan, tata letak dan elemen lanskap yang mendukung keberadaan
tapak yang berupa zonasi tapak, tata guna lahan dan landscape plan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Peta Tematik Kecamatan Banyuwangi

4.1.1 Peta Suhu Permukaan


Hutan kota memliki fungsi untuk menurunkan dan menstabilkan suhu di
perkotaan sehingga suhu kota menjadi nyaman. Parameter suhu permukaan
digunakan dalam penelitian sebagai bahan pertimbangan untuk perencanaan hutan
kota, terutama untuk menentukan lokasi hutan kota supaya hutan kota yang akan
dibangun berfungsi optimal. Mom & Wiesebron (1940) diacu dalam Mannan
(2007) menyatakan bahwa tingkatan kenyamanan termal dibagi mulai dari dingin
tidak nyaman, sejuk nyaman, nyaman atau optimal nyaman, hangat nyaman,
sampai panas tidak nyaman. Kondisi termal sejuk nyaman adalah antara 20,5oC
sampai 22,8oC, nyaman optimal adalah antara 22,8oC sampai 25,8oC, dan panas
nyaman adalah antara 25,8oC sampai 27,1oC. SNI 03-6572-2001 menyatakan
bahwa faktor yang mempengaruhi kenyamanan termal orang ada tiga, yaitu:
temperatur udara kering, kelembaban udara relatif dan pergerakan udara.
Kenyamanan termal untuk daerah tropis dibagi menjadi tiga, antara lain: sejuk
nyaman (temperatur efektif 20,5oC-22,8oC), nyaman optimal (temperatur efektif
22,8oC-25,8oC) dan hangat nyaman (temperatur efektif 25,8oC – 27,1oC).
Kelembaban udara relatif untuk daerah tropis yang dianjurkan 40%-50% tetapi
untuk ruangan yang jumlah orangnya padat seperti ruang pertemuan, kelembaban
udara relatif masih diperbolehkan berkisar antara 55% sampai 60%. Kondisi
nyaman termal dipertahankan oleh kecepatan udara yang jatuh ke atas kepala
tidak boleh lebih besar dari 0,25m/detik dan sebaiknya lebih kecil dari
0,15m/detik. Indonesia juga biasa menggunakan standar kenyamanan termal yang
berpedoman pada standar Amerika [ANSI/ASHRAE 55-1992] dan
merekomendasikan suhu nyaman 22.5o-26oC, atau disederhanakan menjadi 24o C
± 2o C, atau rentang antara 22o C hingga 26o C.
Pendugaan suhu permukaan bumi dapat dilakukan dengan teknologi
remote sensing yaitu dengan melakukan analisis Citra Landsat 7 ETM+. Landsat 7
ETM+ dapat digunakan untuk menduga suhu permukaan karena Landsat 7 ETM+
21
 

dilengkapi oleh sensor thermal IR yang terdapat pada band 6. Suhu permukaan
diperoleh dengan mengkonversi DN (digital number) band 6 menjadi radian
spectral (spectral radiance), radian spectral kemudian dikonversi menjadi
temperatur.
Pembuatan peta suhu permukaan Kecamatan Banyuwangi dilakukan
dengan mengolah band 6 dari Citra Landsat 7 ETM + path 117; row 066, tanggal
pengambilan citra 15 Maret 2010. Kelas suhu nyaman yang digunakan untuk
pembuatan peta suhu permukaan mengacu pada standar suhu nyaman yang
dipakai oleh Indonesia (standar ANSI/ASHRAE 55-1992) sehingga tingkatan
kenyamanan suhu di Kecamatan Banyuwangi dikalsifikasikan menjadi 3 kelas,
antara lain: dibawah nyaman (< 22oC), nyaman (22oC-26oC) dan diatas nyaman
(> 26oC). Hasil pengolahan band 6 menjadi temperatur disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Suhu permukaan Kecamatan Banyuwangi
No. Kelas suhu ( oC ) Luas area (hektar) Persentase (%)
1. < 22oC 518,206 9,383 %
2. 22oC-26oC 4.402,800 79,716 %
3. > 26oC 602,100 10,901 %
Total 5.523,106 100%
Hasil yang diperoleh dari analisis band 6 menunjukkan bahwa 79,716% wilayah
di Kecamatan Banyuwangi berada dalam rentang suhu yang nyaman dan hanya
20,284% wilayah Kecamatan Banyuwangi yang memiliki suhu tidak nyaman.
Namun, apabila peta suhu permukaan tersebut di overlay (ditumpang tindihkan)
dengan peta tutupan lahan maka dapat diketahui bahwa sebagian besar distribusi
suhu nyaman dan dibawah nyaman tersebut berada pada daerah persawahan,
badan air dan perkebunan sedangkan wilayah pemukiman atau areal terbagun
yang terdapat di pusat kota memiliki suhu permukaan diatas nyaman. Fenomena
tersebut biasa disebut heat island, heat island adalah suatu keadaan dimana suhu
perkotaan lebih tinggi jika dibandingkan suhu lingkungan sekitarnya. Fenomena
tersebut juga membuktikan bahwa ruang terbuka hijau (RTH) dapat membuat
suhu lingkungan menjadi lebih nyaman.
23

4.1.2 Peta Ketinggian Tempat dan Peta Kemiringan Lereng


Ketinggian tempat dan kemiringan lereng merupakan hal yang perlu
dipertimbangkan untuk menentukan peruntukan kawasan dalam perencanaan
suatu wilayah. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa peraturan
pemerintah yang ditetapkan berdasarkan ketinggian tempat dan kemiringan lahan,
sebagai contoh :
a. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
menyatakan bahwa kriteria hutan lindung antara lain : kawasan hutan yang
mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, dan atau kawasan hutan yang
mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih,
b. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 41/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Kriterian Teknis Kawasan Budi Daya menyatakan bahwa salah satu
kriteria teknis kawasan peruntukan pemukiman adalah topografi datar sampai
bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%), sedangkan salah satu kriteria teknis
kawasan peruntukan pariwisata adalah memiliki kemiringan lahan yang
memungkinkan dibangun tanpa memberikan dampak negatif terhadap
kelestarian lingkungan.
Parameter ketinggian tempat dan kemiringan lereng perlu diperhitungkan dalam
penentuan lokasi hutan kota karena berkaitan dengan tujuan pengembangan hutan
kota dan tingkat kesulitan pengolahan lanskap hutan kota.
Sistem informasi geografis (SIG) memberikan kemudahan dalam
melakukan analisis mengenai ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Penelitian
dilakukan dengan mengaplikasikan SIG untuk memperoleh data mengenai
ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan data citra satelit yang bernama Advanced Spaceborne Thermal
Emission and Reflection Radiometer (ASTER) Global Digital Elevation Model
(GDEM). ASTER GDEM merupakan hasil kerjasama NASA bersama dengan
Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang (METI), GDEM
diproses menggunakan stereo-correlating 1,3 juta scene arsip image optik
ASTER. Meliputi 83 derajat lintang utara dan 83 derajat lintang selatan, yang
berarti hampir 99% permukaan bumi tercover oleh GDEM dengan tingkat
24

ketelitian 30 meter. Data ASTER GDEM selanjutnya dianalisis dengan software


ArcGIS 9.3 untuk mendapatkan peta kontur dan peta kemiringan lereng.
Garis kontur adalah garis yang menghubungkan titik-titik yang
mempunyai ketinggian yang sama terhadap bidang referensi yang digunakan.
Kemiringan dari suatu lahan dapat ditentukan dengan adanya interval kontur dan
jarak antara dua kontur, sedangkan jarak horizontal antara dua garis kontur dapat
ditentukan dengan cara interpolasi.
Kemiringan lereng adalah besaran yang dinyatakan dalam derajat/persen
(%) yang menunjukkan sudut yang dibentuk oleh perbedaan tinggi tempat.
Kemiringan lahan dapat digolongkan dalam 7 (tujuh) golongan sebagai berikut
(Deptan 2008):
a. Datar : kemiringan lahan antara 0-3% .
b. Landai/ berombak : kemiringan lahan antara 3-8%.
c. Bergelombang : kemiringan lahan antara 8-15%.
d. Berbukit : kemiringan lahan antara 15-30%.
e. Agak Curam : kemiringan lahan antara 30-45%.
f. Curam : kemiringan lahan antara 45-65%.
g. Sangat Curam : kemiringan lahan > 65%.
Analisis Citra ASTER GDEM menghasilkan dua jenis peta, yaitu : peta
kontur yang memberikan informasi mengenai ketinggian tempat di Kecamatan
Banyuwangi dan peta kemiringan lereng yang memberikan informasi mengenai
kemiringan lereng di Kecamatan Banyuwangi. Garis kontur dari hasil analisis,
memberikan informasi bahwa ketinggian tempat maksimal di Kecamatan
Banyuwangi adalah 260 m diatas permukaan laut (dpl). Penentuan kelas
kemiringan lereng di Kecamatan Banyuwangi berpedoman pada ketentuan Deptan
(2008). Hasil analisis kemiringan lereng memberikan informasi bahwa di
Kecamatan Banyuwangi terdapat lima kelas lereng, yaitu : datar (kemiringan
lereng antara 0-3%), landai/berombak (kemiringan lereng antara 3-8%),
bergelombang (kemiringan lereng antara 8-15%), berbukit (kemiringan lereng
antara 15-30%) dan agak curam (kemiringan lereng antara 30-45%). Data
mengenai kemiringan lereng di Kecamatan Banyuwangi disajikan pada Tabel 4.
25

Tabel 4 Kelas kemiringan lereng Kecamatan Banyuwangi.


No. Kelas Kemiringan lahan Luas area (Ha) Persen area (%)
1 Datar 3060,912 55,420
2 Landai/Berombak 1850,338 33,502
3 Bergelombang 554,588 10,041
4 Berbukit 53,557 0,969
5 Agak Curam 3,711 0,068
Total 5.523,106 100%
28

4.1.3 Peta Tutupan Lahan


Peta tutupan lahan adalah peta yang memberikan informasi mengenai
objek-objek yang tampak di permukaan bumi (Campbel 1987). Informasi
mengenai tutupan lahan memberikan kemudahan dalam melakukan analisis
perencanaan dan pengembangan suatu wilayah. Tutupan lahan suatu daerah dapat
diduga dan dipetakan dengan menggunakan teknologi remote sensing
(pengindraan jauh). Penelitian dilakukan dengan memanfaatkan teknologi remote
sensing dalam kegiatan pembuatan peta tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi.
Teknologi remote sensing dipilih dalam penelitian karena teknologi tersebut
memiliki keuntungan yaitu dapat menduga tutupan lahan dengan cepat pada
wilayah yang luas.
Satellite image berupa Citra Landsat 7 ETM+, path 117; row 066, tanggal
pengambilan 15 Maret 2010 merupakan data yang diolah untuk mendapatkan peta
tutupan lahan di Kecamatan Banyuwangi. Landsat 7 ETM+ digolongkan sebagai
pasif remote sensing, terdiri dari 8 band dan memiliki resolusi spasial 30 m x 30
m (kecuali band 6 yang memiliki resolusi spasial 60 m x 60 m dan band 8 yang
memiliki resolusi spasial 15 m x 15 m).
Pembuatan peta tutupan lahan dilakukan dengan cara menginterpretasikan
pixel-pixel dari Citra Landsat 7 ETM+ menjadi kelas tutupan lahan tertentu. Kelas
tutupan lahan yang telah dibuat kemudian diuji tingkat keakurasiannya dengan
data survey lapangan (berupa titik GPS). Klasifikasi tutupan lahan dibuat dengan
mengacu pada ketentuan SNI 7645:2010. Klasifikasi tutupan lahan menurut SNI
7645:2010 disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Klasifikasi tutupan lahan SNI 7645:2010
Kelas penutup lahan Deskripsi
1. Daerah bervegetasi Daerah dengan liputan vegetasi (minimal 4%)
sedikitnya selama 2 bulan, atau dengan liputan
Lichens/Mosses lebih dari 25% jika tidak terdapat
vegetasi lain.
1.1 Daerah pertanian Areal yang diusahakan untuk budi daya tanaman
pangan dan holtikultura. Vegetasi alamiah telah
dimodifikasi atau dihilangkan dan diganti dengan
tanaman anthropogenik dan memerlukan campur
tangan manusia untuk menunjang kelangsungan
hidupnya. Antar masa tanam, area ini sering kali tanpa
tutupan vegetasi. Seluruh vegetasi yang ditanam dengan
tujuan untuk dipanen, termasuk dalam kelas ini.
1.2 Daerah bukan pertanian Areal yang tidak diusahakan untuk budi daya tanaman
pangan dan holtikultura.
29

Kelas penutup lahan Deskripsi


2. Daerah tak bervegetasi Daerah dengan total liputan vegetasi kurang dari 4%
selama lebih dari 10 bulan, atau daerah dengan liputan
Lichens/Mosses kurang dari 25% (jika tidak terdapat
vegetasi berkayu atau herba).
2.1 Lahan terbuka Lahan tanpa tutupan lahan baik yang bersifat alamiah,
semialamiah, maupun artifisial. Menurut karakteristik
permukaannya, lahan terbuka dapat dibedakan menjadi
consolidated dan unconsolidated surface.
2.2 Pemukiman dan lahan bukan Lahan terbangun dicirikan oleh adanya subtitusi
pertanian yang berkaitan penutup lahan yang bersifat alami atau semialami oleh
penutup lahan yang bersifat artifisial dan kadang-
kadang kedap air.
2.3 Perairan Semua kenampakan perairan, termasuk laut, waduk,
terumbu karang, dan padang lamun.
Penelitian dilakukan dengan membagi Kecamatan Banyuwangi menjadi 5 kelas
tutupan lahan, yaitu: areal terbangun/pemukiman, persawahan, perkebunan, lahan
terbuka dan tambak sedangkan awan merupakan kelas yang tidak memiliki data.
Data kelas tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Klasifikasi tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi
No. Kelas tutupan lahan Luas area (Ha) Persen area (%)
1 Areal terbangun/pemukiman 1.380,130 24,988
2 Persawahan 2.940,800 53,245
3 Perkebunan 606,668 10,985
4 Lahan terbuka 251,550 4,555
5 Tambak 314,730 5,698
6 awan 29,228 0,529
Total 5.523,106 100%
Klasifikasi tutupan lahan yang telah dibuat kemudian diuji tingkat akurasinya
dengan menggunakan data survey lapangan berupa 45 titik koordinat GPS (Global
Positioning System) yang mewakili tiap kelas lahan. Hasil dari uji akurasi
menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian antara data survey lapangan dengan kelas
tutupan lahan yang dibuat adalah sebesar 95,74%, data hasil uji akurasi di sajikan
pada Tabel 7.
Tabel 7 Uji akurasi kelas tutupan lahan Kecamatan Banyuwangi
No. Kelas tutupan lahan Reference Classified Number Producers User
totals totals correct accuracy accuracy
1 Areal 13 13 13 100,00% 100,00%
terbangun/pemukiman
2 Persawahan 7 9 7 100,00% 77,78%
3 Perkebunan 10 8 8 80,00% 100,00%
4 Lahan terbuka 4 4 4 100,00% 100,00%
5 Tambak 11 11 11 100,00% 100,00%
6 awan 0 0 0 --- ---
Totals 45 45 43 --- ---
Overall classification accuracy 95,74%
31
 

4.1.4 Peta Jarak dari Pemukiman (Peta Buffer Pemukiman)


Manusia merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk
mengukur tingkat keberhasilan pembangunan hutan kota karena hutan kota
dibangun di areal perkotaan yang memiliki interaksi tinggi dengan aktivitas
manusia, jadi tinggi-rendahnya tingkat pemanfaatan hutan kota oleh manusia akan
memberikan gambaran besarnya kebutuan manusia dan tingkat kepuasan manusia
terhadap keberadaan hutan kota. Fungsi hutan kota yang berkaitan dengan
manusia akan optimal apabila hutan kota yang dibangun mampu mengakomodasi
dan menunjang berbagai aktivitas manusia. Fungsi hutan kota yang berkaitan
dengan manusia misalnya hutan kota sebagai tempat rekreasi warga perkotaan,
sebagai tempat masyarakat bertemu, sebagai tempat berkumpul dan berinteraksi
bagi masyarakat kota, hutan kota juga dapat berfungsi sebagai identitas dan
kebanggan kota. Secara garis besar pembangunan hutan kota diharapkan dapat
menjadi suatu wahana sosial yang dapat menyatukan seluruh anggota masyarakat
perkotaan dalam suatu wilayah tertentu dengan berbagai aktivitas yang dapat
dilakukan didalamnya.
Interaksi masyarakat perkotaan dengan hutan kota kemungkinan akan
tinggi apabila lokasi hutan kota yang dibangun mudah dijangkau atau diakses oleh
masyarakat perkotaan. Peta jarak dari pemukiman (peta buffer pemukiman) dapat
digunakan sebagai parameter penduga prioritas lahan untuk perencanaan
pembangunan hutan kota berdasarkan jarak dari masyarakat. Parameter jarak dari
pemukiman mengasumsukan bahwa masyarakat sebagai kumpulan manusia yang
berada dalam suatu kawasan pemukiman. Indonesia belum memiliki standar untuk
menentukan lokasi hutan kota berdasarkan jarak dari pemukiman. Grove dan
Cresswell (1983) dalam City Landscape memberikan contoh kasus pengembangan
pembangunan pertamanan yang diterapkan di Rotterdam dalam rangka
optimalisasi distribusi penyediaan ruang terbuka hijau kota, salah satunya
berkaitan tentang penentuan ruang terbuka hijau berdasarkan jarak dari
pemukiman. Pembagian ruang terbuka hijau Kota Rotterdam selengkapnya
disajikan pada Tabel 8.
32
 

Tabel 8 Pembagian ruang terbuka hijau Kota Rotterdam


Unit Jenis Ruang Terbuka Keterangan
Hijau
1 Ruang Terbuka Hijau di a. Luas = + 50-5000m2
Lokasi Perumahan (House b. Jarak Tempuh, max = 250 m
Block Greenspace) c. Lokasi : di dalam area perumahan
d. Standard : 2,8-3,7 m2/ penduduk
2 Ruang Terbuka Hijau di a. Luas = + 5000m2 (4 Ha)
Bagian Kota (Quarter b. Jarak Tempuh, Max = 400 m
Greenspace) c. Lokasi : radius + 300-500 m
d. Standard : 3,6-4,5 m2/ penduduk
3 Ruang Terbuka Hijau Di a. Luas = + min 8 Ha
Wilayah Kota (District b. Jarak tempuh, max = 800 m
Greenspace) c. Lokasi : di wilayah kota
d. Standar : 3,7-4,8 m2/ penduduk
e. Ruang Terbuka ini melayani 2 s/d 3 ruang terbuka
hijau bagian wilayah kota
4 Ruang Terbuka Hijau Kota a. Luas = 20-200 Ha
(Town Greenspace) b. Dapat berfungsi sebagai daerah rekreasi
c. Standar : 9-12,8 m2/ penduduk

Standar teknis yang tidak dimiliki oleh Indonesia untuk menentukan lokasi
hutan kota berdasarkan jarak dari pemukiman meyebabkan peneliti menggunakan
asumsi pembagian ruang terbuka hijau Kota Rotterdam dan beberapa asumsi lain
dalam pembuatan peta jarak dari pemukiman (peta buffer pemukiman) di
Kecamatan Banyuwangi. Jarak dari pemukiman diklasifikasikan menjadi 3 kelas,
yaitu : jarak 0-400 m dari pemukiman, jarak 400-800 m dari pemukiman dan
> 800 m dari pemukiman. SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan
Lingkungan Perumahan di Perkotaan menyatakan bahwa asumsi dasar lingkungan
perumahan adalah jarak ideal jangkauan pejalan kaki adalah 400 m dan kecepatan
rata-rata pejalan kaki adalah 4000 m/jam, atas dasar tersebut maka dibuat kelas
jarak dari pemukiman pertama sebesar 0-400 m. Asumsi penentuan kelas jarak
sebesar 0-400 m adalah hutan kota dapat diakses hanya dengan 6 menit berjalan
kaki, dengan kemudahan akses tersebut diharapkan interaksi antara hutan kota
dengan masyarakat semakin tinggi. Sedangkan penentuan kelas kedua sejauh 400-
800 m lebih didasarkan pada pembagian kelas ruang terbuka hijau di kota
Rotterdam yang menyatakan jarak maksimal ruang terbuka hijau di wilayah kota
adalah 800 m.
34
 

4.1.5 Peta Jenis Tanah


Tanah merupakan salah satu kriteria yang selalu menjadi pertimbangan
dalam melakukan kegiatan perencanaan peruntukan wilayah, tidak terkecuali
dalam perencanaan pembangunan hutan kota. Tanah diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis yang masing-masing diantaranya memiliki sifat dan karakteristik
yang berbeda-beda. Tanah merupakan substrat (media tumbuh) pohon atau
tanaman yang akan ditanam pada hutan kota. Peta jenis tanah diperlukan untuk
mengetahui sebaran jenis tanah dimasing-masing lokasi sehingga desain hutan
kota yang akan dibangun dapat disesuaikan dengan kondisi tanah di lokasi
tersebut.
Faktor tanah merupakan faktor penting dalam menentukan lokasi hutan
kota, oleh karena itu penelitian memasukkan kriteria jenis tanah sebagai salah
satu pertimbangan dalam penentuan lokasi hutan kota di Kecamatan Banyuwangi.
Data tanah dan persebarannya didapatkan dari Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Banyuwangi berupa peta jenis
tanah Kecamatan Banyuwangi. Peta jenis tanah Kecamatan Banyuwangi
memberikan informasi bahwa di Kecamatan Banyuwangi terdapat 4 jenis tanah,
antara lain : asosiasi aluvial, asosiasi latosol, latosol coklat kemerahan dan
(kompleks brown forest soil, litosol mediteran).
Rachim dan Suwardi (2002) klasifikasi tanah adalah penggolongan tanah
berdasarkan ciri-ciri tertentu secara bertingkat-tingkat dan disusun secara
sistematik dan berikut adalah beberapa penjelasan mengenai jenis tanah yang
terdapat di Kecamatan Banyuwangi :
a. Tanah aluvial merupakan tanah yang berkembang dari bahan induk baru.
Tanah ini meliputi lahan yang sering atau baru saja mengalami banjir,
sehingga baru saja dianggap masih muda dan belum ada diferensiasi horison.
Tanah aluvial merupakan jenis tanah berorder Entisol yang pembentukannya
dicirikan dengan bahan kasar diendapkan tidak jauh dari sumbernya. Tekstur
bahan yang diendapkan pada waktu tempat sama akan lebih seragam, makin
jauh dari sumbernya makin halus butir yang diangkut. Karena terbentuk akibat
banjir dimusim hujan, maka sifat bahan-bahannya juga tergantung pada
kekuatan banjir dan asal serta macam bahan yang diangkut, sehingga
35
 

menampakkan ciri morfologi berlapis-lapis yang bukan horison karena bukan


hasil perkembangan tanah. Sifat tanah aluvial dipengaruhi langsung oleh
sumber bahan asal, sehingga kesuburannya pun ditentukan sifat bahan asalnya.
Sebagian besar tanah aluvial disepanjang aliran besar merupakan campuran
yang mengandung cukup banyak hara tanaman, sehingga umumnya dianggap
tanah subur.
b. Entisol yang duduk diatas batuan induk dalam sistem PPT (Pusat Penelitian
Tanah) dinamakan litosol. Jenis tanah ini merupakan tanah yang dianggap
paling muda, sehingga bahan induknya sering kali dangkal (kurang dari 45
cm) atau tampak tanah sebagai batuan padat yang padu. Dengan demikian
maka profilnya belum memperlihatkan horison-horison dengan sifat-sifat dan
ciri-ciri batuan induknya. Tanah ini belum lama mengalami perkembangan
tanah, akibat pengaruh iklim yang lemah, letusan volkan, atau topografi yang
terlalu miring atau bergelombang. Tanah ini harus diusahakan agar dipercepat
pembentukan tanahnya, antara lain dengan penghutanan atau tindakan lain
untuk mempercepat proses pelapukan.
c. Tanah latosol adalah tanah yang kaya seskuioksida, miskin unsur-unsur kimia
dengan sifat kimia yang baik. Ciri lainnya adalah mineral lempung tipe 1:1
dari golongan kaolinit, dan haloisit, mempunyai kapasitas pertukaran kation
rendah, kejenuhan kation rendah (kurang dari 35%) dan kadar bahan terlarut
juga rendah karena adanya proses pelapukan dan pelindian yang telah berjalan
lanjut (Buringh 1983 & Darmawijaya 1980, diacu dalam Notohadiningrat et
al. 1993). Tanah latosol termasuk dalam order Oxisol, adalah tanah yang kaya
akan seskuioksida telah mengalami pelapukan lanjut. Oxisol banyak
digunakan untuk perladangan, pertanian subsisten, penggembalaan dengan
intensitas rendah dan perkebunan yang intensif seperti perkebunan tebu,
nanas, pisang dan kopi.
d. Tanah latosol coklat kemerahan berasal dari bahan induk tuf volkan
intermedier dengan fisiografi volkan. Tanah ini mempunyai tekstur lempung
dengan struktur tanah remah sampai pejal, dimana konsistensi bervariasi dari
gembur sekali sampai teguh (Somardjo et al. 1997).
36
 

e. Tanah brown forest ditampilkan dalam bentuk komplek rensina, latosol dan
brown forest soil. Tanah ini berasal dari bahan induk kapur dengan fisiografi
bukit lipatan. Jenis tanah ini merupakan jenis tanah yang dipengaruhi oleh
fluktuasi besar, sehingga pencucuian tanah tergantung musim. Jenis tanah ini
mengalami 2 proses yaitu sebagai tanah yang kearah podsolisasi dan pihak
lain kearah proses laterisasi, sehingga jenis tanah sama dengan tanah
podsolisasi yaitu telah mengalami pencucian, bereaksi dengan asam dan relatif
miskin akan hara tanaman. Tanah jenis ini sesuai untuk jenis tanaman
semusim (Somardjo et al. 1997).
38

4.2 Penentuan Lokasi Hutan Kota di Kecamatan Banyuwangi

4.2.1 Kriteria Pemilihan Lokasi Hutan Kota


Kawasan hutan kota yang ada di Indonesia saat ini sebagian besar tidak
dibangun dari “nol” melainkan dengan mekanisme penunjukan suatu kawasan
tertentu yang telah memiliki tegakan pohon. Hal tersebut dikarenakan hutan kota
merupakan ilmu yang baru di Indonesia sehingga panduan teknis untuk
pembangunan hutan kota masih belum ada di Indonesia. Dasar kebijakan yang
berkaitan dengan hutan kota sebenarnya sudah dimuat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002, namun dalam peraturan pemerintah tersebut
tidak terdapat ketentuan teknis untuk membangun kawasan/lokasi hutan kota. Hal
tersebut berbeda, misalnya dalam penentuan kawasan pemukiman, kawasan
industri, kawasan pariwisata, pertanian, kawasan pertambangan, kawasan
perdagangan & jasa dan kawasan hutan produksi dimana kriteria teknisnya telah
diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya atau seperti dalam Keppres Nomor
32 tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung yang memuat kriteria teknis
penentuan kawasan lindung.
Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Banyuwangi mengasumsikan
bahwa di daerah tersebut belum terdapat/dibangun hutan kota dan daerah tersebut
ingin membangun suatu hutan kota dari “nol” yang diawali dengan penentuan
lokasi hutan kota. Kriteria penentuan lokasi hutan kota dibuat dari turunan fungsi-
fungsi yang dihasilkan oleh hutan kota sehingga nantinya manfaat dari hutan kota
dapat dirasakan secara optimal. Penelitian mengasumsikan bahwa hutan kota
merupakan suatu kawasan hutan yang berada pada suatu kawasan perkotaan,
artinya hutan kota akan memiliki interaksi yang intensif dengan keberadaan
manusia. Pembangunan hutan kota sebaiknya menampilkan fungsi yang dapat
dirasakan oleh manusia atau fungsi yang dilihat dari sudut pandang manusia
sedangkan fungsi ekologi merupakan fungsi ikutan yang melekat pada hutan kota.
PP No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota menyatakan bahwa “rencana
pembangunan hutan kota disusun berdasarkan kajian dari aspek teknis, ekologis,
ekonomis, sosial dan budaya setempat”.
39

Penelitian dilakukan dengan menetapkan beberapa kriteria untuk


menentukan lokasi hutan kota di Kecamatan Banyuwangi, antara lain : suhu
permukaan, jenis tanah, kemiringan lahan (slope) dan jarak dari pemukiman
(buffer pemukiman). Setiap kriteria tersebut nantinya akan dibagi lagi menjadi
beberapa kelas dan setiap kelas nantinya akan diberi bobot skor tertentu.
Kombinasi dari beberapa kelas akan menghasilkan nilai maksimal dan nilai
minimal, nilai tersebut nantinya akan digunakan untuk menentukan lokasi hutan
kota di Kecamatan Banyuwangi.

4.2.1.1 Suhu Permukaan


Salah satu fungsi hutan kota adalah menstabilkan suhu permukaan bumi
sehingga suhu permukaan bumi menjadi nyaman. Pengertian suhu nyaman yang
digunakan dalam penelitian adalah standar suhu nyaman bagi manusia. Oleh
karena itu, penelitian mengklasifikasikan suhu permukaan Kecamatan
Banyuwangi sesuai dengan standar yang digunakan Indonesia (standar
ANSI/ASHRAE 55-1992) yang merekomendasikan suhu nyaman 22.5o-26oC,
atau disederhanakan menjadi 24o C ± 2o C, atau rentang 22o C-26o C.
Standar suhu nyaman yang berkisar antara 22o C hingga 26o C tersebut
dijadikan acuan dalam menentukan lokasi hutan kota. Analisis Citra Landsat 7
ETM di Kecamatan Banyuwangi mengkalsifikasikan suhu permukaan menjadi 3
kelas, antara lain: dibawah nyaman (< 22oC), nyaman (22oC-26oC) dan diatas
nyaman (> 26oC). Dalam penentuan lokasi hutan kota, areal yang memiliki suhu
tidak nyaman (< 22oC atau > 26oC) merupakan areal yang lebih diutamakan untuk
dikembangkan menjadi kawasan hutan kota dibandingkan areal yang telah
memiliki suhu yang nyaman (22oC-26oC). Asumsi penentuan lokasi tersebut
adalah kawasan hutan kota diharapkan mampu merubah area yang memiliki suhu
tidak nyaman menjadi area yang memiliki suhu yang nyaman.

4.2.1.2 Kemiringan Lereng (Slope)


Setiap peruntukan kawasan memiliki kriteria teknis tertentu yang berkaitan
dengan kemiringan lereng. Kriteria kemiringan lereng tersebut berbeda antara satu
kawasan dengan kawasan lain, biasanya tergantung dari fungsi yang ingin
diperoleh dari kawasan tersebut. Kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan
40

hutan lindung menurut Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan


Kawasan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40%
atau lebih. Kriteria kelerengan lahan untuk kawasan hutan lindung tersebut
berbeda apabila kawasan tersebut diperuntukkan sebagai kawasan terbangun,
Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) menyatakan bahwa kesesuaian kemiringan
lereng untuk bangunan diklasifikasikan menjadi 3, yaitu : baik (0-8%), sedang
(8-15%) dan buruk (>15%).
Hutan kota merupakan suatu kawasan hutan yang berada di wilayah
perkotaan. Fungsi konservasi dan fungsi lindung merupakan fungsi yang ingin
didapatkan dari pembangunan hutan kota, tetapi karena lokasi hutan kota berada
di perkotaan maka kesesuaian, kemudahan pembangunan serta fungsi yang
berkaitan dengan manusia juga harus dipertimbangkan. Kriteria kemiringan lereng
untuk penentuan lokasi hutan kota yang digunakan dalam melakukan penelitian
di Kecamatan Banyuwangi didasarkan atas penyesuaian antara kriteria
kemirinagan lereng untuk kawasan lindung dan kriteria kemiringan lereng untuk
bangunan. Penyesuaian kriteria kemiringan lereng tersebut bertujuan agar tapak
mudah untuk diolah (dimanipulasi) namun tapak tetap memiliki fungsi lindung
Klasifikasi kemiringan lereng untuk membangun hutan kota di Kecamatan
Banyuwangi dibagi menjadi tiga, antara lain : lokasi dengan kemiringan lereng
> 15% merupakan lokasi yang sangat direkomendasikan untuk dibangun hutan
kota, lokasi dengan kemiringan lereng 8-15% merupakan prioritas kedua dalam
pembangunan hutan kota dan lokasi dengan kemiringan lereng 0-8% merupakan
lokasi yang kurang direkomendasikan untuk dibangun hutan kota.

4.2.1.3 Jarak dari Pemukiman


Indonesia sebenarnya tidak memiliki standar untuk menentukan lokasi hutan
kota berdasarkan jarak dari pemukiman. Atas berbagai pertimbangan yang telah
dijelaskan sebelumnya pada pembuatan peta jarak dari pemukiman, maka parameter
jarak dari pemukiman digunakan untuk menentukan lokasi hutan kota di Kecamatan
Banyuwangi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian dilakuakan dengan
mengkalsifikasikan jarak dari pemukiman di Kecamatan Banyuwangi menjadi 3
kelas, yaitu : jarak 0-400 m dari pemukiman, jarak 400-800 m dari pemukiman
dan > 800 m dari pemukiman. Penelitian mengasumsikan bahwa interaksi
41

masyarakat perkotaan dengan hutan kota kemungkinan akan tinggi apabila lokasi
hutan kota yang dibangun mudah dijangkau atau diakses oleh masyarakat
perkotaan atau dengan kata lain, semakin dekat jarak hutan kota dengan
pemukiman maka manfaat hutan kota akan semakin dirasakan oleh masyarakat
perkotaan. Lokasi yang memiliki jarak 0-400 m dari pemukiman merupakan
lokasi yang menjadi prioritas utama untuk pembangunan hutan kota di Kecamatan
Banyuwangi. Lokasi yang memiliki jarak 400-800 m dari pemukiman merupakan
prioritas kedua untuk pembangunan hutan kota di Kecamatan Banyuwangi,
sedangkan lokasi yang memiliki jarak > 800 m dari pemukiman merupakan
prioritas terakhir untuk pembangunan hutan kota di Kecamatan Banyuwangi.

4.2.1.4 Jenis Tanah


Hutan kota adalah sebuah kawasan hutan yang berada di wilayah
perkotaan, sehingga fungsi konservasi dan fungsi lindung merupakan fungsi yang
ingin didapatkan dari pembangunan hutan kota. Keppres Nomor 32 Tahun 1990
tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyatakan bahwa kawasan hutan lindung
adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan
perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata
air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.
Berdasarkan Keppres Nomor 32 Tahun 1990, maka salah satu fungsi lindung
tersebut berkaitan dengan jenis tanah. Jenis tanah merupakan salah satu parameter yang
digunakan dalam penelitian untuk menentukan lokasi hutan kota terutama yang berkaitan
dengan sifat tanah. Sifat tanah yang dipertimbangkan dalam penelitian yang dilakukan di
Kecamatan Banyuwangi adalah sifat tanah yang berkaitan dengan kestabilan tanah
terhadap erosi dan kemampuan drainase tanah. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor: 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriterian Teknis Kawasan Budi Daya
mengelompokkan jenis tanah berdasarkan tingkat kepekaan terhadap erosi menjadi 5
kelas tanah, disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Jenis tanah berdasarkan tingkat kepekaan terhadap erosi
Kelas Kelompok jenis tanah Kepekaan
tanah terhadap erosi
1 Aluvial, tanah glei, planossol, hidromorf kelabu, literite air tanah Tidak peka
2 Latosol Agak peka
3 Brown forest soil, non calcic Kurang peka
4 Andosol, laterictic gromusol, podsolik Peka
5 Regosol, litosol, organosol, renzine Sangat peka
42

Sedangkan kemampuan drainase tanah dapat dilihat dari warna tanah. Tabel 10
menjelaskan beberapa arti warna tanah terhadap sifat tanah (Rachim & Suwardi
2002).
Tabel 10 Arti warna terhadap sifat tanah
Warna Tanah Sifat Tanah
Ca-karbonat, gypsum, garam, turunan bahan induk marl/batuan
Putih
putih lain
Kelabu Putih Kuarsa, kaolin, karbonat, gypsum, garam, besi fero
Kelabu pucat Besi dan bahan organik rendah; tanah pasir cenderung kuarsa
Kelabu
Gleisasi, drainase buruk-sangat buruk, air tergenang, besi fero
kebiruan/kehijauan
Kelabu Jenuh air dominan, drainase buruk, besi fero
Coklat-coklat pucat-
Variasi proporsi bahan organik dan besi oksida, drainase baik
coklat hitam
Besi oksida hidrat, Al oksida, kelambaban relative tinggi, lereng
Kuning
agak cembung, drainase baik,fisiografi pengangkatan baru
Besi oksida anhidrat, kelembaban relative rendah, drainase dan
Merah aerasi baik, lereng relatif cembung, bahan induk basik-ultra basik,
fisiografi pengangkatan tua
Bahan induk ultrabasik, besi oksida anhidrat (hematite dan
Merah gelap magnetit), drainase dan aerasi baik, struktur granular, kesuburan
sangat rendah
Bahan organik tinggi, senyawa Mn, magnetit, arang, struktur
Gelap-hitam
granular, relative subur
Penelitian mengasumsikan bahwa pembangunan hutan kota dapat
meningkatkan kualitas tanah di kawasan tersebut sehingga tanah menjadi lebih
tahan terhadap erosi dan kemampuan tanah dalam menyerap air meningkat
(meningkatkan kemampuan drainase tanah). Jika kestabilan tanah terhadap erosi dan
kemampuan drainase tanah merupakan pertimbangan utama dalam menentukan lokasi
hutan kota, maka kawasan yang memiliki jenis tanah yang mudah tererosi dan memliki
drainase buruk merupakan kawasan yang menjadi prioritas utama dalam pembangunan
hutan kota karena diharapkan dengan adanya hutan kota maka kondisi tanah di daerah
tersebut lebih stabil. Kecamatan Banyuwangi memiliki 4 jenis tanah, antara lain
:asosiasi aluvial, asosiasi latosol, latosol coklat kemerahan dan (kompleks brown
forest soil, litosol mediteran). Kawasan yang memiliki jenis tanah Komplek brown
forest soil ,litosol mediteran merupakan kawasan yang paling diutamakan dalam
pembangunan hutan kota di Kecamatan Banyuwangi karena jenis tanah tersebut memiliki
kemampuan drainase yang buruk dan lebih mudah tererosi apabila dibandingkan dengan
jenis tanah lainnya (asosiasi aluvial, asosiasi latosol dan latosol coklat kemerahan).

4.2.2 Skoring untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota


Skoring merupakan kegiatan pemberian nilai tertentu terhadap kriteria
yang telah ditentukan sebelumnya. Pemberian nilai pada masing-masing kelas
43

yang dibuat berbeda antara satu kelas dengan kelas yang lainnya. Skoring
merupakan tahapan sebelum melakukan proses overlay. Proses overlay akan
menghasilkan prioritas lokasi untuk pembangunan hutan kota di Kecamatan
Banyuwangi. Nilai dari setiap kriteria disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Nilai untuk setiap kriteria penentuan lokasi hutan kota
No. Kriteria Kelas Skor
1. Suhu > 26oC 3
< 22oC 2
22oC-26oC 1
2. Kemiringan lahan (slope) 0–8% 1
8 – 15 % 2
> 15 % 3
3. Jarak dari pemukiman 0-400 m 3
400-800 m 2
> 800 m 1
4. Jenis tanah Kompleks brown forest soil, litosol mediteran 4
Asosiasi latosol 3
Latosol coklat kemerahan 2
Asosiasi alluvial 1
Kombinasi dari kelima kriteria tersebut akan menghasikan skor maksimal sebesar 13 dan
skor minimal sebesar 4. Nilai maksimal dan minimal akan dibagi menjadi 3 selang, yaitu
: antara skor ≥ 4 sampai skor < 7, antara skor ≥ 7 sampai < 10 dan antara skor ≥ 10
sampai skor 13.
Skor tersebut dijadikan acuan untuk menentukan lokasi hutan kota di Kecamatan
Banyuwangi. Berdasarkan tingkat prioritas lokasi untuk pembangunan area hutan kota,
Kecamatan Banyuwangi akan dibagi menjadi tiga kelas tingkat prioritas lokasi, yaitu:
prioritas pertama (area dengan skor antara ≥ 10 sampai 13), prioritas kedua (area dengan
skor antara ≥ 7 sampai < 10), dan prioritas ketiga (area dengan skor antara ≥ 4 sampai
< 7). Hasil proses overlay peta menunjukkan bahwa 5,494% wilayah Kecamatan
Banyuwangi memiliki kelas prioritas pertama untuk dikembangkan menjadi kawasan
hutan kota. Proses overlay peta menghasilkan data yang disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Kelas prioritas lokasi untuk pengembangan kawasan hutan kota
No. Kelas Kesesuaian Lahan Luas area (Ha) Persen area (%)
1 Prioritas pertama 303,466 5,494
2 Prioritas kedua 2.527,465 45,762
3 Prioritas ketiga 2.692,175 48,744
Total 5.523,106 100%
45

4.2.3 Kriteria Tambahan untuk Menentukan Lokasi Hutan Kota

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian dilakukan dengan


mengkalsifikasikan penutupan lahan di Kecamatan Banyuwangi menjadi 5 kelas
tutupan lahan, yaitu: areal terbangun/pemukiman, persawahan, perkebunan, lahan
terbuka dan tambak. Areal tidak terbangun merupakan lokasi yang lebih
direkomendasikan untuk membangun hutan kota dibandingkan areal terbangun.
Lahan terbuka merupakan kelas tutupan lahan yang paling direkomendasikan
untuk pembangunan hutan kota. Pemilihan areal tidak terbangun sebagai lokasi
yang direkomendasikan sebagai areal pembangunan hutan kota didasarkan atas
pertimbangan bahwa jika ingin membangun hutan kota dari “nol” maka areal
terbangun membutuhkan manipulasi lanskap (misalnya menghilangkan bangunan
yang telah ada) sehingga memerlukan biaya ekstra bila dibandingkan dengan areal
tidak terbangun.

Prioritas tutupan lahan utama untuk pembangunan hutan kota di


Kecamatan Banyuwangi adalah kelas berupa lahan terbuka, sedangkan areal
terbangun merupakan prioritas terakhir dalam pembangunan hutan kota. Kelas
tutupan lahan tersebut diberi skor sebelum kembali di overlay dengan peta
prioritas lahan yang telah dibuat sebelumnya agar mempermudah proses analisis.
Skor untuk kelas tutupan lahan, antara lain : lahan terbuka (skor 5), persawahan
(skor 4), perkebunan (skor 3), tambak (skor 2) dan pemukiman (skor 1).  
47
 

4.3 Pra Desain Hutan Kota

4.3.1 Pemilihan Tapak Hutan Kota Kecamatan Banyuwangi


Hasil dari proses overlay peta menunjukkan bahwa Kecamatan
Banyuwangi memiliki beberapa lokasi yang sangat sesuai untuk dikembangkan
menjadi areal hutan kota. Selain membuat peta prioritas lokasi untuk hutan kota,
penelitian juga akan membuat satu contoh pra desain hutan kota di Kecamatan
Banyuwangi.
Pembuatan contoh pra desain hutan kota diawali dengan tahapan
penentuan tapak. Tapak untuk pengembangan hutan kota dapat dilihat dari peta
prioritas lokasi hutan kota yang merupakan hasil dari proses overlay peta, namun
penelitian hanya akan memilih satu tapak untuk dijadikan contoh pra desain hutan
kota di Kecamatan Banyuwangi. Pantai Boom merupakan tapak yang dipilih oleh
peneliti sebagai lokasi untuk contoh pra desain hutan kota. Pemilihan Pantai
Boom didasarkan atas beberapa alasan yang ditemukan oleh peneliti setelah
melakukan kegiatan verifikasi lapangan dari hasil peta kesesuain lahan hutan kota.
Alasan yang menguatkan pemilihan Pantai Boom sebagai satu contoh pra desain
hutan kota di Kecamatan Banyuwangi, antara lain:
a. Pantai Boom dikenal dengan nama lain THR (taman hiburan rakyat), artinya
masyarakat Banyuwangi menganggap Pantai Boom sebagai sarana untuk
rekreasi,
b. Pantai Boom memiliki dua monumen peringatan (monumen peringatan
INKAI dan Wisma Raga Satria Laut Pasukan ALRI 0032), artinya Pantai
Boom memiliki nilai sejarah.

4.3.2 Konsep Desain


Desain hutan kota yang akan dikembangkan di Pantai Boom bersifat
minimalis, mempertahankan nilai sejarah dan dapat mengakomodasi berbagai
aktifitas manusia dengan elemen lanskap utama berupa tegakan pohon.
Pengembangan konsep dibagi ke dalam tiga konsep utama diantaranya konsep
pengembangan dan pembagian ruang, konsep pemilihan tanaman, dan konsep
sirkulasi.
Taman minimalis biasanya bercirikan bersih, murni, sederhana, rapi, halus,
kontras, berunsur geometris primitif, dan mudah dalam hal pemeliharaan. Desain
48
 

taman minimalis biasanya memakai sedikit jenis tanaman. Desain taman


minimalis juga melibatkan elemen-elemen simbolik seperti batu dan air. Unsur air
sering dipakai untuk dikontraskan terhadap elemen taman lain yang keras dan
berbentuk kaku. Selain itu, taman minimalis dapat menonjolkan aksen natural
dengan menyelaraskan desainnya terhadap kondisi alam dan permukaan / kontur
tanah yang sudah ada, misalkan gunung, lembah, sungai, jalan setapak, kontur
tanah yang tidak rata, dan ragam tanaman yang tumbuh di habitatnya (Endi 2008,
diacu dalam Handayani 2008).

4.3.2.1 Konsep Pengembangan dan Pembagian Ruang


Konsep pengembangan dan pembagian ruang Pantai Boom adalah
memisahkan dan mengelompokkan area berdasarkan aktivitas yang akan
dilakukan di area tersebut. Konsep pengembangan dan pembagian ruang di desain
agar tetap mempertahankan aktivitas utama yang telah ada di Pantai Boom, yaitu :
aktivitas rekreasi, olah raga dan sejarah. Peneliti juga menambahkan ruang khusus
untuk tegakan pohon karena peneliti ingin menyesuaikan desain tapak dengan
tema yang dibuat yaitu hutan kota. Konsep pengembangan dan pembagian ruang
dilakukan dengan melakukan pengelompokan ulang area yang telah ada sehingga
pengguna dapat mengetahui dengan jelas jenis aktivitas yang dapat dilakukan di
area dimana pengguna tersebut berada.
Konsep pengembangan dan pembagian ruang dibuat dengan membagi
tapak Pantai Boom menjadi tujuh area, yaitu : area sejarah dan budaya, area olah
raga dan seni, area display dan rekreasi, area memancing, area hutan mangrove,
area hutan campuran dan area parkir. Konsep pengembangan dan pembagian
ruang tersebut dijelaskan sebagai berikut :
a. Area Sejarah dan Budaya, area ini dibuat dengan mengelompokkan dua
monumen peringatan yang terdapat di Pantai Boom. Konsep area ini
dikembangkan dengan desain geometris. Desain geometris dipilih agar dapat
memberikan kesan formal di area tersebut. Kesan formal juga ditunjang
dengan pemilihan elemen lanskap utama berupa tegakan pohon yang lebih
rapat dan kompak sehingga suasana di area tersebut terasa lebih hikmat, lebih
tenang dan lebih sunyi.
49
 

b. Area Olah Raga dan Seni, Pantai Boom memiliki beberapa fasilitas olah raga
(lapangan sepak bola, lapangan tenis dan bilyard) namun kondisi fasilitas olah
raga teresbut kurang diperhatikan dan letaknya terpisah antara satu fasilitas
dengan fasilitas lainnya. Konsep pengembangan area olah raga dan seni
bertujuan untuk mengelompokkan berbagai kegiatan olah raga dan seni dalam
satu kesatuan area sehingga pengguna mengetahui dengan pasti aktivitas yang
dapat dilakukan jika pengguna tersebut berada di area tersebut. Area olah raga
dan seni dibagi menjadi area indoor dan outdoor. Desain untuk fasilitas olah
raga, yaitu : membangun beberapa fasilitas olah raga (tenis, futsal, basket,
volley dan bulutangkis) dalam satu gedung (area indoor) dan membangun
fasilitas lapangan sepak bola (area outdoor). Sedangkan desain untuk fasilitas
seni adalah dengan membangun suatu panggung di atas air dengan dilengkapi
tribun penonton yang menghadap ke panggung tersebut.
c. Area Display dan Rekreasi, merupakan area yang dikembangkan untuk tujuan
menampung berbagai aktivitas manusia yang lebih bersifat santai dengan
interaksi manusia yang tinggi. Konsep pengembangan area ini adalah dengan
menyediakan ruang terbuka yang lebih luas untuk interaksi manusia
dibandingkan dengan area lain. Ruang terbuka yang dikembangkan dalam
bentuk taman. Desain taman pada area ini dikembangkan dengan gaya
geometris dan formal.
d. Area Memancing, area ini merupakan area tambahan yang di desain oleh
peneliti. Peniliti beranggapan bahwa pantai atau laut identik dengan aktivitas
nelayan, sehingga pengembangan area memancing di Pantai Boom dapat
mewakili kegiatan nelayan dan diharapkan dapat menjadi salah satu identitas
tapak di Pantai Boom. Konsep pengembangan area pemancingan adalah
dengan membuat suatu “kerambah raksasa” sebagai tempat budidaya ikan.
Hasil budidaya ikan tersebut nantinya dijadikan komoditi wisata
pemancingan.
e. Area Hutan Mangrove, hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah
pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh
pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Area ini merupakan
area yang sudah ada di Pantai Boom walaupun kondisi di areal tersebut belum
50
 

bisa dikatakan sebagai hutan mangrove karena hanya terdapat beberapa


tegakan pohon saja. Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang dapat
mencirikan dan memperkuat identitas dari tapak berupa pantai, karena hutan
mangrove hanya bisa hidup di pantai sehingga keberadaan hutan mangrove di
Pantai Boom harus dipertahankan dan dikembangkan. Konsep pengembangan
di area ini hanya mempertahankan, menanam dan memelihara hutan mangrove
yang ada sehingga kondisi hutan mangrove tetap terjaga dengan baik.
f. Area Hutan Campuran, merupakan area yang dikembangkan untuk
memperkuat kesan hutan pada tapak Pantai Boom. Desain lanskap pada area
ini yaitu dengan memperbanyak jenis pohon yang ditanam di tapak Pantai
Boom.
g. Area parkir, area ini merupakan area tambahan yang dikembangkan dengan
tujuan menciptakan kondisi tapak yang lebih tertata. Desain lanskap pada area
ini mengoptimalkan penggunaan pohon peneduh.

4.3.2.2 Konsep Sirkulasi


Konsep sirkulasi pada tapak dibagi menjadi dua, yaitu: sirkulasi utama dan
sirkulasi untuk pejalan kaki. Sirkulasi utama merupakan jalur jalan untuk
kendaraan bermotor dan alat transportasi lainnya. Sirkulasi utama dikembangkan
dengan konsep desain kuldesak, yaitu dengan menyatukan akses keluar dan masuk
tapak melalui satu gerbang utama. Selain itu, sistem sirkulasi satu arah merupakan
sistem yang didesain untuk sirkulasi utama tapak Pantai Boom. Konstruksi jalan
untuk sirkulasi utama berupa aspal dilengkapi jalur pedestrian disamping badan
jalan dengan mengunakan kontruksi paving blok.
Sirkulasi untuk pejalan kaki merupakan detail jalur untuk memasuki setiap
objek yang terdapat pada tapak Pantai Boom (hutan kota). Sistem sirkulasi dua
arah merupakan sistem yang didesain untuk jalur pelajan kaki. Konstruksi jalan
untuk sirkulasi pejalan kaki berupa paving blok.

4.3.2.3 Konsep Pemilihan Tanaman


Konsep pemilihan tanaman disesuaikan dengan kondisi tapak yang berupa
pantai dan konsep desain yang dikembangkan. Penyesuaian tersebut dilakukan
dengan memilih tanaman yang dapat memperkuat karakter dari pantai sehingga
tanaman yang dipilih adalah tanaman yang adaptif dan mencirikan pantai.
51
 

Tanaman yang digunakan dalam pengembangan lanskap terbagi menjadi beberapa


kelompok, antara lain:
a. Tanaman untuk mencirikan pantai, pengunaan tanaman ini bertujuan untuk
memperkuat karakter tapak yang berupa pantai. Jenis tanaman yang digunakan
diantaranya adalah Kelapa (Cocos nucifera), keben (Barringtonia asiatica),
mempari (Pongamia pinnata) dan cemara laut (Casuarina equisetifolia).
Sedangkan untuk hutan mangrove mengunakan tanaman bakau (Rhizophora
apiculata).
b. Tanaman penunjang desain hutan kota, pengunaan tanaman ini bertujuan
untuk menambah nilai estetika, keserasian dan keharmonisan tanaman dalam
tapak. Jenis tanaman yang digunakan diantaranya adalah tanjung (Mimusops
elengi), palem kipas (Livistona chinensis) dan flamboyan (Delonix regia).
c. Tanaman semak, perdu, dan penutup tanah, merupakan tanaman untuk
menambah nilai estetika, keserasian dan keharmonisan dalam tapak. Jenis
tanaman yang digunakan diantaranya adalah africa violet (Sainpaulia
ionantha), daun samarinda (Strobilanthes dyerianus), krokot hijau
(Althenanthera ficoides), teh-tehan (Acalypa siamensis), nanas kerang (Rhoeo
discolor), rumput gajah mini (Pennisetum purpureum) dan rumput manila
(Zoysia matrella).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Penentuan lokasi hutan kota didasarkan pada empat kriteria (suhu
permukaan bumi, kemiringan lahan, jarak dari pemukiman dan jenis tanah)
dengan kriteria tambahan berupa tutupan lahan. Lokasi hutan kota merupakan
hasil dari proses overlay dan skoring dari empat kriteria yang telah ditentukan.
Lokasi hutan kota yang sangat sesuai untuk dikembangkan menjadi hutan kota
adalah lokasi yang memiliki kriteria umum sebagai berikut: lokasi yang memiliki
suhu diatas nyaman, memiliki kemiringan lahan yang datar, mudah diakses oleh
masyarakat, memiliki tanah yang tidak stabil dan kurang subur. Proses overlay
peta menunjukkan bahwa 5,494% (303,466 Ha) wilayah Kecamatan Banyuwangi
masuk dalam kelas prioritas pertama untuk dikembangkan menjadi kawasan
hutan kota, 45,762% (2.527,465 Ha) wilayah Kecamatan Banyuwangi masuk
dalam kelas prioritas kedua untuk dikembangkan menjadi kawasan hutan kota dan
48,744% (2.692,175 Ha) wilayah Kecamatan Banyuwangi masuk dalam kelas
prioritas ketiga untuk dikembangkan menjadi kawasan hutan kota.
Tapak yang dipilih untuk pembangunan hutan kota adalah Pantai Boom.
Konsep pengembangan hutan kota adalah mempertahankan aktivitas utama tapak
(rekreasi, olahraga dan sejarah), mengelompokkan aktivitas manusia dengan
desain hutan kota yang bersifat geometris dan menggunakan elemen lanskap
utama berupa tegakan pohon. Pengembangan konsep dibagi ke dalam tiga konsep
utama diantaranya konsep pengembangan dan pembagian ruang, konsep
pemilihan tanaman, dan konsep sirkulasi. Konsep pengembangan dan pembagian
ruang dibuat dengan membagi tapak Pantai Boom menjadi tujuh area, yaitu : area
sejarah dan budaya, area olah raga dan seni, area display dan rekreasi, area
memancing, area hutan mangrove, area hutan campuran dan area parkir. Konsep
sirkulasi pada tapak dibagi menjadi dua, yaitu: sirkulasi utama dan sirkulasi untuk
pejalan kaki. Sirkulasi utama dikembangkan dengan konsep desain kuldesak, yaitu
dengan menyatukan akses keluar dan masuk tapak melalui satu gerbang utama.
Tanaman yang digunakan dalam pengembangan lanskap Pantai Boom, antara lain:
57

Kelapa (Cocos nucifera), keben (Barringtonia asiatica), mempari (Pongamia


pinnata), cemara laut (Casuarina equisetifolia), bakau (Rhizophora apiculata),
tanjung (Mimusops elengi), palem kipas (Livistona chinensis), flamboyan
(Delonix regia), africa violet (Sainpaulia ionantha), daun samarinda
(Strobilanthes dyerianus), krokot hijau (Althenanthera ficoides), teh-tehan
(Acalypa siamensis), nanas kerang (Rhoeo discolor), rumput gajah mini
(Pennisetum purpureum) dan rumput manila (Zoysia matrella).

5.2 Saran
Peneliti hanya menggunakan empat kriteria atau parameter dalam
menentukan lokasi hutan kota, antara lain: tutupan lahan, suhu permukaan bumi,
kemiringan lahan, jarak dari pemukiman dan jenis tanah. Pada dasarnya, semakin
banyak parameter yang digunakan untuk membangun hutan kota maka fungsi
hutan kota yang didapatkan akan semakin banyak. Penelitian hanya dilakukan
sebatas pembuatan model untuk pengembangan hutan kota, oleh karena itu
nantinya diperlukan suatu tahapan evaluasi dan validasi model yang telah dibuat
agar tingkat keberhasilan model yang telah dibuat tersebut dapat diukur.
Hutan kota menggunakan elemen lanskap utama berupa pohon. Hal
tersebut berarti hasil dari pembangunan hutan kota baru bisa dirasakan secara
optimal 10-15 tahun yang akan datang. Pembangunan hutan kota merupakan
proyek jangka panjang karena membutuhkan waktu yang lama dalam
pembangunannya. Peneliti beranggapan bahwa pembangunan hutan kota yang
mamerlukan waktu lama (10-15 tahun) tersebut memiliki ancaman dari
pemerintah setempat, karena dalam rentang waktu pembangunan tersebut
setidaknya terdapat tiga kali pergantian kepala pemerintahan (bupati) di
Kabupaten Banyuwangi. Pergantian kepala pemerintahan (bupati) memungkinkan
terjadinya perubahan program dalam pembangunan daerah. Hal terpenting yang
harus dilakukan pemerintah jika ingin membangun hutan kota dari “nol” adalah
membuat suatu kebijakan yang dapat menjamin pembangunan hutan kota tetap
berjalan walaupun terjadi pergantian kekuasaan (kepala pemerintahan) di daerah
tersebut.
 
 

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan EN. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas
Lingkungan Hidup. Jakarta: Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2008. Pedoman Teknis Konservasi DAS Hulu.
Direktorat Pengelolaan Lahan.
Fajar M. 2010. Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu
Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) Kota Palembang
[skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Firman U. 2009. Fluktuasi Suhu Udara dan Trend Variasi Curah Hujan Rata-Rata
di Atas 100 mm di Beberapa Wilayah Indonesia. Buletin Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika 5(3): 309-322.
Grove AB dan Cresswell RW. 1983. City Landscape: A Contribution to the
Council of Europe’s European Campaign for Urban Renaissance. Butterworths,
London.
Heryani D. 2008. Pra Desain Lanskap Universitas Mathla’ul Anwar sebagai
Botanical Garden [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Handayani DR. 2008. Perancangan Lanskap Aston Ambon Natsepa Resort dan
Spa, Ambon [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Idealistina F. 1991. Model Termoregulasi Tubuh untuk Penentuan Besaran Kesan
Thermal Terbaik dalam Kaitannya dengan Kinerja Manusia [tesis]. Bandung
: Institut Teknologi Bandung. 
Irwan DZ. 2007. Hutan Kota. Jakarta :Universitas Trisakti.
Kartasasmita M. 2001. Prospek dan Peluang Industri Pengindraan Jauh di
Indonesia. Jakarta: LIPSI.
Karyono TH. 2001. Penelitian Kenyamanan Termis di Jakarta sebagai Acuan
Suhu Nyaman Manusia Indonesia. Dimensi Teknik Arsitektur 29(1): 24-33.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 32 Tahun 1990 Tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung.
Laurie M. 1875. An Introduction to Landscape Design. New York: American
Elsevier Publishing Co.,Inc.
59
 

Lillesand TM dan Kiefer RW. 1990. Pengindraan Jauh dan Interpretasi Citra.
Dulbahri, Suharsono, Hartono, Surhayadi, penerjemah; Sustanto, editor.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Mannan A. 2007. Faktor Kenyamanan dalam Perencanaan Bangunan
(Kenyamanan Suhu-Termal pada Bangunan). Jurnal Ichsan Gorontalo 2(1):
466-473.
Notohadiningrat T, Sri NHU, Sutanto R, Radjagukguk B.1993. Faktor Jerapan
dan Pelepasan Fosfat di Tanah Andosol Dan Latosol. Jurnal BPPS-UGM 6
(4B).
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman
Kriteria Teknis Kawasan Budidaya.
Rachmin DA, Suwardi. 2002. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Reid GW. 1993. From Concept to From in Landscape Design. New York. Van
Nostrand Reinhld.162p.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2001. Tata Cara Perancangan Sistem Ventilasi
dan Pengkondisian Udara pada Bangunan Gedung. SNI 03-6572-2001.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Tata Cara Perancanaan Lingkungan
Perumahan di Perkotaan. SNI 03-1733-2004.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2010. Klasifikasi Penutup Lahan. SNI
7645:2010.
Sumardjo, Haryani NS, Jaya MM. 1997. Studi Tentang Perubahan Kondisi Cuaca
dalam Hubungan dengan Terjadinya Tanah Longsor di Tasikmalaya pada
tanggal 14 Desember 1997. Pusat Pemanfaalan Pengindraan Jauh, LAPAN.
Temaja PMW. 2010. Pengembangan Hutan Kota Berdasarkan Distribusi Suhu
Permukaan Kota Denpasar[skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
[USGS] United States Geological Survey. 2002. Landsat 7 Science Data Users
Handbook.http://landsathandbook.gscf.nasa.gov/handbook/handbook_htmls
/chapter11/html [13 Agustus 2010].
60
 

Wijaya CI. 2005. Analisis Perubahan Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Jawa
Barat Mengunakan Sistem Informasi Geografis [skripsi]. Bogor : Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Yusri A. 2011. Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab
Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai [skripsi]. Bogor :
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 
LAMPIRAN
62
 

Tabel 13 Penandaan lokasi dengan GPS


No. Jenis tutupan lahan Koordinat X Koordinat Y
1 pemukiman 211102 9093572
2 pemukiman 211003 9092247
3 pemukiman 210361 9092084
4 pemukiman 210983 9091693
5 pemukiman 210347 9091425
6 pemukiman 210685 9090919
7 pemukiman 210137 9089805
8 pemukiman 209228 9088866
9 pemukiman 209113 9089800
10 pemukiman 208207 9090898
11 sawah 207697 9093532
12 sawah 207239 9092768
13 sawah 203864 9091925
14 sawah 205853 9092472
15 sawah 205962 9090362
16 sawah 207665 9089848
17 sawah 210805 9088673
18 sawah 209970 9087495
19 sawah 205022 9086746
20 sawah 204466 9089174
21 perkebunan 211528 9093802
22 perkebunan 211654 9094023
23 perkebunan 211851 9094256
24 perkebunan 211857 9094194
25 perkebunan 205020 9096853
26 perkebunan 210544 9087915
27 perkebunan 210967 9087622
28 perkebunan 211716 9093973
29 perkebunan 211666 9093789
30 perkebunan 211800 9094180
31 lahan terbuka 211525 9092213
32 lahan terbuka 211530 9092029
33 lahan terbuka 211810 9091947
34 lahan terbuka 211808 9091627
35 lahan terbuka 212384 9089408
36 tambak 211786 9089902
37 tambak 211910 9089626
38 tambak 212116 9089222
39 tambak 211938 9088959
40 tambak 212223 9088833
41 tambak 212036 9088489
42 tambak 211778 9088008
63
 

No. Jenis tutupan lahan Koordinat X Koordinat Y


43 tambak 211118 9087011
44 tambak 210899 9086587
45 tambak 210586 9085871
46 pemukiman 210573 9092888
47 pemukiman 208824 9091998
48 sawah 209212 9091357
49 sawah 206827 9091901
50 pemukiman 207779 9091074

Anda mungkin juga menyukai