Anda di halaman 1dari 44

17 Dampak Kekerasan Pada Anak – Fisik – Psikis

Sponsors Link

Tentu kita sudah sering sekali menyaksikan berbagai tindak kekerasan pada anak, baik itu
menyaksikannya dengan mata kepala sendiri maupun melalui berita – berita yang beredar di
media massa. Kekerasan terhadap anak adalah suatu kondisi yang nyata dan sering terjadi dalam
kenyataannya, bahkan merupakan kasus yang lebih banyak terjadi daripada yang dilaporkan di
permukaan.
ads

Salah satu penyebab kurangnya laporan kekerasan anak daripada yang sebenarnya terjadi adalah
karena seringkali kekerasan secara emosional bukanlah merupakan hal yang dilaporkan terjadi,
karena dianggap akibatnya tidak senyata kekerasan fisik. Padahal kekerasan fisik maupun
kekerasan secara emosional yang dialami anak akan mendatangkan akibat yang sama
merusaknya bagi perkembangan anak di masa depannya.

Konsekuensinya dapat mendatangkan berbagai dampak negatif bagi perkembangan anak secara
psikologis dan secara fisik. Perkembangan emosi anak usia dini dan tahap perkembangan afektif
anak usia dini pun akan sangat terpengaruh. Dampaknya pun bisa mendatangkan trauma yang
berkepanjangan sehingga anak tidak menikmati masa kecilnya walaupun telah mendapatkan
pertolongan yang tepat. Trauma tersebut juga akan akan terbawa hingga dewasa, karena dampak
kekerasan seperti ini biasanya akan menunjukkan dirinya dalam waktu yang lama, dan tidak
segera terlihat seketika itu juga.

baca juga:

Hambatan Perkembangan Anak


Cara Menghilangkan Trauma Pada Anak
Cara Membentuk Karakter Anak Usia Dini
Tahap Perkembangan Emosi Anak
Cara Mengatasi Anak yang Malas Belajar

Saat ini mungkin Anda tidak akan melihat apa akibat kekerasan pada anak, namun dampaknya
akan terlihat seiring pertumbuhan usia anak dan juga perkembangan psikologisnya. Berikut ini
adalah beberapa dampak kekerasan pada anak yang perlu diketahui sejak dini agar tidak
mengganggu psikologisnya saat beranjak dewasa.

1. Membentuk mental sebagai korban


Anak – anak korban kekerasan pada umumnya sudah mengalaminya sejak kecil sehingga mental
sebagai seorang korban sudah terlanjur terbentuk di alam bawah sadarnya. Dengan demikian,
bisa saja tertanam dalam pikirannya bahwa dirinya memang hanya pantas untuk dikorbankan.
Jika memiliki pola pikir seperti itu, sang anak akan terus menerus terjebak pada siklus menjadi
korban tanpa dapat memutuskan rantai tersebut selama hidupnya.

2. Melakukan kekerasan

Akibat dari kekerasan yang dialami bukan hanya menjadi korban semata, namun anak yang juga
menjadi korban kekerasan justru bisa berubah menjadi pelaku kekerasan tersebut. Misalnya, ada
penelitian yang mengungkap bahwa perilaku membully justru banyak dilakukan oleh mereka
yang dulunya pernah menjadi korban bullying, dan kemungkinan itu sangat tinggi.

3. Rendahnya kepercayaan diri

Kepercayaan diri anak yang rendah seringkali disebabkan oleh ketakutan akan melakukan
sesuatu yang salah dan ia akan mengalami kekerasan lagi. Hal ini akan menyebabkan
perkembangan anak terhambat. Anak akan sulit menunjukkan sikap inisiatif dalam memecahkan
masalah, bahkan mengalami kesulitan bergaul.

baca juga:

Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini


Teori Perkembangan Anak Menurut Para Ahli
Cara Mengatasi Anak Pemarah
Gangguan Mental Pada Anak
Penyebab Kenakalan Anak

4. Mengalami trauma

Kekerasan yang dialami anak akan menimbulkan luka hati dan juga trauma pada anak.
Dampaknya dalam kehidupan anak selanjutnya akan sangat besar, salah satunya depresi, stress,
dan gangguan psikologis lainnya yang dapat mengganggu kehidupan sosial serta aktivitas sehari
– hari. Anak juga akan menjadi takut tehadap segala bentuk kekerasan, bahkan yang terkecil
sekalipun, misalnya suara – suara keras, pembicaraan bernada tinggi, dan lain – lain.
Sponsors Link
5. Perasaan tidak berguna

Anak- anak yang sering mengalami kekerasan dapat mengembangkan perasaan tidak berguna di
dalam dirinya. Bukan hanya itu, namun juga adanya perasaan tidak bermanfaaat dan tidak bisa
ditolong akan berkembang dalam kejiwaan anak. Pada akhirnya, anak akan menjadi pendiam,
mengucilkan diri dari lingkungannya, dan tidak bergaul dengan teman sebayanya karena merasa
hal tersebut lebih nyaman.

6. Bersikap murung

Anak – anak identik dengan keceriaan, namun tindak kekerasan akan merampas senyum dari
wajah seorang anak. Perubahan yang cukup drastis pada kondisi emosional anak akan langsung
terlihat. Anak akan terlihat menjadi pendiam, pemurung, mudah menangis. Ia juga sama sekali
tidak menunjukkan raut wajah yang ceria dalam keadaan yang menyenangkan sekalipun.
Ketidak mampuan anak untuk mencari cara menghilangkan beban pikiran dengan efektif lah
yang akan menghilangkan perasaan positif dari dirinya.

7. Sulit mempercayai orang lain

Anak yang mengalami kekerasan merasa kehilangan figur orang dewasa yang bisa
melindunginya, karena itulah sedikit demi sedikit kepercayaannya kepada orang lain akan mulai
terkikis, dan anak akan sulit menaruh kepercayaan dan keyakinan pada orang lain lagi. Ia akan
menganggap tidak ada orang yang bisa diandalkan untuk memberikan perlindungan kepadanya,
karena itulah maka tidak ada orang yang layak untuk dipercaya oleh anak.

8. Bersikap agresif

Sikap agresif juga dapat ditunjukkan anak korban kekerasan sebagai hasil peniruan dari apa
yang disaksikannya sehari – hari. Anak akan belajar bahwa sikap yang penuh kekerasan itu
adalah sikap yang membuat seseorang menjadi kuat, karena itu ia juga harus bersikap agresif
agar dapat menjadi orang yang kuat dan tidak lagi menjadi korban tindak kekerasan.

baca juga:

Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia Dini


Cara Menangani Anak Berkebutuhan Khusus
Tahap Perkembangan Kepribadian
Pola Asuh Anak Usia Dini
Ciri-Ciri Disleksia

9.Depresi

Sikap murung anak yang berlanjut lambat laun bisa mengarah kepada depresi. Kehilangan
kemampuan untuk merasa bahagia perlahan akan meningkatkan perasaan yang buruk dan
depresif sehingga anak akan selalu dipengaruhi oleh perasaan yang negatif, tanpa adanya
keinginan untuk berpikir positif untuk meningkatkan semangat di dalam dirinya. Anak juga
dapat menderita gangguan kecemasan akut serta depresi kronis. Ketahuilah cara mengatasi
anxiety disorder dan terapi psikologi untuk depresi.

10. Sulit mengendalikan emosi

Kecenderungan anak yang menderita kekerasan untuk merasa kurang percaya diri dan tidak
mempercayai orang dawasa, umumnya tidak dapat mengungkapkan perasaannya dengan benar.
Anak kesulitan mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya sehingga mengalami kesulitan
dalam mengendalikan atau menunjukkan emosinya sendiri kepada orang lain.

11. Sulit berkonsentrasi

Tekanan akibat kekerasan yang diterima anak juga dapat merusak kemampuan anak untuk
berkonsentrasi dan fokus terhadap suatu hal. Misalnya, terhadap kegiatan sekolah dan pelajaran
sekolahnya. Bisa saja minat dan bakat anak yang tadinya tampak besar dan menjanjikan akan
menghilang secara drastis seiring dengan penurunan kemampuannya untuk berkonsentrasi.

baca juga:

Psikologi Anak
Cara Mengetahui Bakat Anak Sejak Dini
Cara Mendidik Anak Usia 2 Tahun
Cara Meningkatkan Prestasi Belajar
Fakta Kepribadian Anak Bungsu

ads

12. Luka, cacat fisik atau kematian


Tanda – tanda kekerasan fisik yang dilakukan pada anak bisa berupa memar, bengkak, keseleo,
patah tulang, lukaa bakar, perdarahan dalam, luka pada area kelamin, kurangnya kebersihan dan
ppenyakit menular seksual serta banyak lagi yang tidak semuanya dapat langsung dilihat dengan
jelas. Sudah pasti anak korban kekerasan akan enggan untuk memberi tahu orang lain mengenai
hal yang dialaminya.

Biasanya anak takut jika pelaku mengetahuinya, kekerasan yang terjadi akan berlangsung lebih
buruk, serta tidak ada orang yang bisa dipercaya. Kekerasan fisik yang berlangsung dalam waktu
lama bisa menyebabkan anak mengalami cacat fisik atau bahkan resiko kematian ketika luka
fisiknya telah menjadi sangat parah.

13. Sulit tidur

Tekanan pikiran yang dialami anak akan berlanjut hingga mempengaruhi pola tidur anak. Anak
akan mengalami kesulitan tidur dan bahkan bermimpi buruk sebagai hasil dari beban pikiran
yang disimpan di bawah sadarnya. Apabila anak kerap bermimpi buruk yang sukar dijelaskan
penyebabnya, waspadalah karena bisa saja anak sedang mengalami suatu tinadk kekerasan pada
saat itu yang tidak diketahui oleh Anda.

14. Gangguan kesehatan dan pertumbuhan

Anak yang mengalami kekerasan dalam waktu yang lama atau berkepanjangan biasanya akan
menunjukkan gejala fisik seperti gangguan kesehatan berupa gangguan jantung, kanker,
penyakit paru, penyakit hati, obesitas, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan juga kadar
protein reaktif c yang tinggi. Bahkan mengalami gangguan penglihatan pendengaran, gangguan
berbahasa, mengalami perkembangan otak yang terbelakang, dan mengalami ketidak
seimbangan kemampuan sosial, emosional dan kognitif.

baca juga:

Kecerdasan Kinestetik
Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik
Kecerdasan Naturalis
Ciri-Ciri Anak Hiperaktif
Cara Mendidik Anak Hiperaktif
Peran Keluarga Dalam Pendidikan Anak

15. Memiliki kebiasaan buruk


Stres yang dirasakan anak sejak kecil dapat membawanya memiliki kebiasaan buruk yang
dilakukan untuk mengalihkan pikirannya dari stres tersebut . Misalnya, merokok, menggunakan
obat – obatan terlarang, ketergantungan alkohol, memilih lingkungan pergaulan yang buruk,
melakukan seks bebas, dan banyak lagi yang dilakukan sejak usia dini apabila tidak ada
pertolongan untuk anak korban kekerasan.

16. Kecerdasan tidak berkembang

Kekerasan dapat menekan proses tumbuh kembang anak. Perkembangn IQ anak akan cenderung
menjadi statis dan bahkan tingkat IQ bisa mengalami penurunan. Perkembangan kognitif anak
pun akan memburuk dan tidak seperti yang seharusnya. Dengan kata lai, kondisi kecerdasan
anaak akan terhambat dengan kekerasan yang dialami anak secara terus menerus.

17. Menyakiti diri sendiri atau bunuh diri

Anak – anak yang mengalami kekerasan tidak dapat membela diri ataupun mencari pertolongan
kepada orang lain. Ketidak mampuan mereka untuk mencari pertolongan tersebut akan
menggiring anak kepada situasi dimana mereka sanggup menyakiti diri sendiri sebagai tindakan
meminta tolong. Misalnya, mengiris dirinya sendiri dngn maksud menimbulkan luka fisik. Atau
bahkan melakukan percobaan bunuh diri karena sudah merasa sangat putus asa.

Dampak kekerasan pada anak tidak hanya berasal dari kekerasan fisik semata, melainkan juga
berasal dari kekerasan emosional, dan keduanya sama buruknya karena dapat mengganggu
perkembangan emosional serta fisik anak, dan juga dapat mengganggu proses tumbuh kembang
termasuk mengganggu perkembangan kecerdasannya. Anak – anak yang mengalai kekerasan
menurut penelitian akan tumbuh menjadi anak yang bermasalah dengan perilakunya. Oleh
karena itu, masalah ini merupakan suatu masalah serius yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Anda harus waspada tehadap kondisi anak, mengetahui bagaimana depresi dalam psikologi, ciri
– ciri depresi berat, tanda – tanda depresi sebenarnya untuk mencari tanda – tanda yang tidak
biasa agar anak terhindar dari masalah kekerasan tersebut.
Sponsors Link
https://dosenpsikologi.com/dampak-kekerasan-pada-anak

JURNAL PENDIDIKAN USIA DINI


Vol 9,Edisi 2 (2015): ISSN 1693-1602
Faizatul Faridy

Mahasiswa Pascasarjana UPI

Fey_zha@ymail.com

Abstrak

Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang paling sering ditemui disekitar kehidupan
anak. Namun, tanpa disadari penggunaan bahasa dalam pendidikan bisa mengandung kekerasan
yang sangat berdampak pada anak usia dini. Orangtua dan guru sadar atau tidak mungkin sering
melakukan kekerasan verbal pada anak. Padahal dampak yang ditumbulkan dari kekerasan
verbal ini sangat berpengaruh terhadap mental dan tumbuh kembang anak. Ketika dampak-
dampak tersebut tidak terdeteksi oleh orangtua dan tidak ditangani dengan tepat, maka
kemungkinan dampak-dampak tersebut akan terbawa hingga dewasa. Kekerasan verbal pada
anak juga akan menyebabkan anak kehilangan harga diri dan rasa percaya diri. Diantara
penyebab orang tua dan guru sering melakukan kekerasan verbal kepada anak adalah kurangnya
pengetahuan mereka dalam mendisiplinkan anak. Maka dari itu penulis tertarik untuk membuat
tulisan ini guna menambah wawasan para orang tua dan guru PAUD dalam mencetak penerus
bangsa yang berkualitas.

Kata kunci: Kekerasan Verbal Pada Anak

Pendahuluan

Dalam mendidik anak usia dini, baik orang tua maupun guru harus memberikan pendidikan dan
pola asuh yang baik kepada anak. Hal ini dikarenakan perlakuan dan pola asuh yang didapatkan
anak akan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter dan mental anak usia dini. Pada
dasarnya anak usia dini belajar dari apa yang ia lihat dari sekitarnya, anak juga belum bisa
membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Namun anak adalah pembelajar
yang cepat belajar dari kesalahan yang ia buat sendiri.
Ketika anak berbuat salah atau melakukan hal yang tidak disukai, baik guru dan orangtua kerap
memarahi, membentak sampai membandingkan anak dengan anak lain. Terkadang orangtua
hanya ingin menunjukkan rasa tidak suka pada perilaku anak tersebut, atau mungkin sebenarnya
orangtua ingin memberitahukan konsekuensi atas kesalahan yang dibuat anak. Tapi ternyata
perlakuan ini termasuk dalam kekerasan verbal yang sangat berdampak pada anak dalam
pembentukan mental anak usia dini. Padahal pada masa ini adalah masa dimana anak
membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari lingkungan tempat anak tinggal. Maka dari itu
orangtua dan guru seharusnya mampu mengontrol emosi dalam mendidik anak, karena hukuman
secara nonfisik ini bisa lebih berdampak serius jika berlebihan karena dapat mempengaruhi
perkembangan emosi anak untuk selanjutnya.

Orangtua dan guru beranggapan bahwa kekerasan pada anak hanya bersifat fisik, padahal
kekerasan terhadap anak tak hanya selalu bersifat fisik atau seksual, tetapi verbal dan emosional
juga bisa mengarah pada kekerasan. Kekerasan emosional bisa berupa pengabaian terhadap hak–
hak anak, sedang kekerasaan verbal biasanya berupa membandingkan anak dengan anak lain,
menegur anak dengan cara yang salah, melarang atau membentak anak meski berniat
melindungi anak dari hal yang berbahaya hingga hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari
kekerasaan verbal dapat mengakibatkan anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar,
tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.

Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal yang bersifat keras atau
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain
atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan merupakan tindakan yang
disengaja yang mengakibatkan cidera fisik atau tekanan mental (Carpenito, 2009). Campbell dan
Humphrey mendefinisikan kekerasan anak sebagai berikut “setiap tindakan yang mencelakakan/
dapat mencelakakan kesehatan dan kesejahteraan anak yang dilakukan oleh orang yang
seharusnya bertanggung jawab terhadap kesehatandan kesejahteraan anak tersebut” (Yani, S.A.
2008).

Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua
dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya
menjadi tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan,
cacat/kematian. Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan baik
fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah merupakan tindakan kasar yang mencelakakan
anak, sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan/meremehkan anak.
Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari
orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan
terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang
anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental. WHO juga menjelaskan bahwa
kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap
seseorang yang mengakibatkan luka, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan
atau perampasan hak. Bicara soal kekerasan, ada tiga jenis di antaranya fisik, verbal, dan
emosional.

Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-
hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk mencegahnya
dapat dilakukan oleh para petugas hukum. Psikolog pendidikan dan perkembangan anak, Dr
Seto Mulyadi, Msi, mengatakan tindak kekerasan pada anak adalah setiap tindakan yang
menimbulkan rasa sakit secara fisik dan psikis serta membuat anak merasa tak nyaman. ‘'Besar
kecilnya luka yang dialami anak tergantung pada intensitas tindak kekerasan dilakukan oleh
orangtua, karakteristik anak, dan pengalaman hidupnya,'' kata Ketua Umum Komnas
Perlindungan Anak ini. Seto menjelaskan, dampak kekerasan juga akan membentuk kepribadian
baru pada anak. Misalnya anak yang mulanya ceria menjadi mudah sedih atau sensitif.
Sedangkan dampak jangka panjangnya, akan mempengaruhi pembentukan kepribadiannya
seperti agresif dan pemberontak. Selain itu juga bisa mempengaruhi konsep dirinya, anak akan
mempersepsikan dirinya sebagaimana lingkungan melabelinya. ‘'Konsep diri ini akan
berkembang ke arah yang negatif pada anak,'' katanya. Seto juga menjelaskan bahwa, anak yang
sering mendapat perlakuan kasar dari orang-orang terdekatnya lambat laun rasa percaya diri dan
harga dirinya akan terpuruk. Sehingga dapat menghambat kemampuan dan keberanian anak
untuk mencoba hal-hal baru serta mengembangkan minat serta potensinya. Untuk menghindari
hal tersebut, lanjut Seto, “orangtua harus mengubah cara berpikir (mind framing) bahwa setiap
anak itu beharga dan berpotensi. Dan dalam mendidik anak orangtua tak hanya melihat hasilnya
saja tapi juga terhadap prosesnya,'' paparnya.

Terry E. Lawson, psikiater anak membagi kekerasan anak menjadi 4 (empat) macam, yaitu
emotional abuse , verbal abuse , physical abuse dan sexual abuse. Verbal abuse, terjadi ketika
Ibu, mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan
menangis”. Anak mulai berbicara dan Ibu terus menggunakan kekerasan verbal seperti, “kamu
bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, dan seterusnya (Solihin, 2004). Hal yang paling
sering menyebabkan orang tua melakukan kekerasan terutama kekerasan verbal adalah karena
kenakalan anak. Terutama ketika anak memasuki usia 3 tahun, usia ini merupakan masa-masa
pembentukan otak dan perilaku anak (Richard, 1999). Pada masa ini anak dianggap sangat kritis
untuk perkembangan emosi dan psikologis. Perkembangan super ego terjadi selama periode ini
dan kesadaran mulai muncul. Kenakalan anak pada usia 3 sampai 6 tahun merupakan hal yang
wajar, dengan cara seperti itu anak mempelajari lingkungan secara kreatif, tetapi kadang
orangtua melihat hal itu sebagai suatu hal yang mengganggu, dan orangtua tidak segan-segan
untuk melakukan kekerasan verbal seperti membentak dan mengabaikan anak (Wong, 2008)

Jadi berdasarkan beberapa pengertian kekerasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan
verbal adalah kekerasan terhadap perasaan dengan menggunakan kata-kata yang kasar tanpa
menyentuh fisiknya. Akibatnya, ucapan atau kalimat yang dilontarkan tersebut dapat
memengaruhi kondisi emosional anak. Umumnya, kekerasan verbal dilakukan oleh orang
dewasa kepada anak tidak disertai dengan niat jahat. Awalnya, pada beberapa kasus,
orangtua/guru/orang dewasa melakukan hal tersebut dengan tujuan baik, yakni untuk mendidik
si anak, namun pemilihan katanya tidak tepat sehingga membuat anak terganggu perasaannya.

Mengatur perilaku anak agar sesuai dengan aturan norma yang berlaku di suatu lingkungan tidak
perlu dengan kekerasan. Jika melalui wejangan tidak efektif, orangtua bisa memberikan
hukuman misalnya dicabut haknya dalam melakukan hal yang disukainya, dan memberikan
hadiah ketika anak melakukan hal-hal yang baik. Orangtua sebaiknya tidak memberikan
hukuman ataupun memarahi anak terutama di hadapan teman-temannya karena bisa
menjatuhkan harga diri anak. Sebelum memarahi atau menghukum anak sebaiknya coba
mencari tau alasan anak mengapa melakukan tindakan tersebut. Dengan mengetahui perubahan
psikologis anak, orangtua dan guru bisa memahami apa yang diinginkan dan tindakan yang
dibutuhkan oleh anak, termasuk strategi pemberian hukuman. Seto menjelaskan, mendidik anak
tidak harus dengan hukuman namun dengan keteladanan dan kasih sayang

Factor Terjadinya Kekerasan Verbal Pada Anak

Menurut hasil pengaduan yang diterima KOMNAS Perlindungan Anak (2006), diantara pemicu
terjadinya kekerasan terhadap anak adalah :

1) Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu terjadinya kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah,
ibu dan saudara yang lainnya. Anak sering kali menjadi sasaran kemarahan orang tua.

2) Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya
disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing
dan menyayangi,

3) Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya kondisi
keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi,
4) Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak
adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan
oleh orang tua.

Disamping itu, faktor penyebab lainnya adalah terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi
maupun media-media lainnya yang tersebar dilingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan
ternyata 62 % tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan
prilaku kekerasan (Tempo, 2006).

Menurut Sitohang (2004), penyebab munculnya kekerasan pada anak adalah a) Stress berasal
dari anak. Yaitu, kondisi anak yang berbeda, mental yang berbeda atau anak adalah anak angkat,
b) Stress keluarga. Yaitu, kemiskinan pengangguran mobilitas, isolasi, perumahan tidak
memadai, anak yang tidak diharapkan dan lain sebagainya, c) Stress berasal dari orang tua.
Rendah diri, Waktu kecil mendapat perlakuan salah, Depresi, Harapan pada anak yang tidak
realistis, Kelainan karakter/gangguan jiwa. Sitohang (2004) melihat ketiga hal tersebut adalah
situasi awal atau kondisi pencetus munculnya kekerasan pada anak. Pada gilirannya kondisi
tersebut berlanjut pada perilaku yang salah orang tua terhadap anaknya. Contohnya,
penganiayaan dan teror mental.

Unicef (1986) mengemukakan ada 2 faktor yang melatarbelakangi munculnya kekerasan anak
oleh orang tuanya. Faktor tersebut masing-masing berasal baik dari orang tua maupun anak
sendiri. 2 faktor tersebut antara lain; a) Orang tua yang pernah jadi korban penganiayaan anak
dan terpapar oleh kekerasan dalam rumah, orang tua yang kondisi kehidupannya penuh sters,
seperti rumah yang sesak, kemiskinan, orang tua yang menyalahgunakan NAPZA, orang tua
yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi atau psikotik atau gangguan keperibadian. b)
Anak yang premature, anak yang retardasi mental, anak yang cacat fisik, anak yang suka
menangis hebat atau banyak tuntutan. Berdasarkan uraian tersebut baik orang tua maupun anak
sama-sama berpengaruh pada timbulnya kekerasan pada anak.

Beberapa factor diatas merupakan penyebab terjadinya kekerasan secara garis umum, sedang
factor yang menyebabkan terjadinya kekerasan verbal adalah;

Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu sehingga kerap
memancing emosi orang tua ataupun guru dalam mendidik
Kemiskinan keluarga (banyak anak). Tertekannya kondisi keuangan keluarga menyebabkan
orangtua stress dan melampiaskan kemarahannya kepada anak.
Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu/ayah dalam jangka panjang.
Hal ini juga membuat salah satu orangtua merasa strees yang akhirnya menyalahkan anak atas
apa yang orangtua alami.
Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak, anak yang
tidak diinginkan (Unwanted Child) atau anak lahir diluar nikah.
Kondisi lingkungan yang buruk,. Biasanya orangtua yang tumbuh dalam keluarga yang
pendidikannya “keras” kerap menerapkan pola yang sama pada anaknya
Kurangnya pemahaman orangtua dalam mendidik anak. Kadang orang tua beranggapan
bahwa dengan mendidik anak dengan keras adalah merupakan bagian dari pembelajaran agar
anak tumbuh menjadi sosok disiplin. Padahal kekerasan pada anak termasuk kekerasan dalam
rumah tangga

Dampak Kekerasan Terhadap Anak

Ada beberapa dampak dari kekerasan verbal pada anak, Ketika dampak-dampak tersebut tidak
terdeteksi oleh orangtua dan tidak ditangani dengan tepat, maka kemungkinan yang terjadi
adalah dampak-dampak tersebut akan berpengaruh hingga dewasa. Sehingga proses
perkembangannya si anak akan terus terganggu. Berikut beberapa dampak yang mungkin terjadi
berupa:

Hilangnya kepercayaan diri pada anak. Karena sering disalahkan dan dimarahi, anak akan
kehilangan rasa percaya dirinya.
Muncul perasaan tidak berdaya pada anak. Ketika anak disalahkan, anak merasa tidak mampu
dalam hal apapun dan membuat anak mudah menyerah.
Prestasi yang terus menurun, baik prestasi di sekolah maupun luar sekolah. Karena jarang
dipuji, anak tidak semangat dalam hal apapun termasuk bidang akademik.
Lemahnya daya kreativitas anak. Karena merasa apa yang dilakukan salah, anak enggan
melakukan hal baru. Anak hanya akan menerima dan menunggu hal baru.
Muncul kecemasan dalam diri anak. Anak yang sering dibandingkan dengan anak lain, sering
dimarahi dan sering mendapat teguran yang salah akan merasa cemas dan was-was berlebih.
Anak kesulitan berhubungan dengan teman sebaya karena hilang kepercayaan dirinya. Karena
hilangnya rasa percaya diri anak, anak mulai mengunci dirinya dari lingkungan sekitar. Anak
merasa rendah diri dan malu untuk bersosialisasi.
Murung/Depresi. Kekerasan verbal mampu membuat anak berubah drastis seperti menjadi
anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai penurunan berat badan. Ia
akan menjadi anak yang pemurung, pendiam, kurang percaya diri dan terlihat kurang ekspresif.
Memudah menangis. Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidak nyaman dan aman
dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang bisa melindunginya,
kemungkinan besar pada saat dia besar, dia tidak akan mudah percaya pada orang lain.

Solusi Mencegah Terjadinya Kekerasan Verbal Pada Anak

Sebaiknya dalam mendidik, baik guru dan orangtua saling bekerja sama dalam menumbuhkan
kepercayaan diri sang anak. Anak pada hakikatnya akan lebih bersemangat ketika mendapat
reward atau hadiah dan berikan hukuman yang berupa pengurangan hal yang disukai anak.
Hindari kata-kata yang bersifat mengancam atau menakuti anak, karena pada dasarnya menakuti
anak hanya akan membentuk anak yang kurang percaya diri dan mudah menyerah. Kekerasan
juga tidak selamanya akan membuat anak berhasil, hal ini hanya akan membuat anak yang patuh
ketika di awasi saja dan melakukan yang sebaliknya ketika diluar pengawasan.

Pembahasan

Kekerasan bukanlah hal yang asing terjadi pada anak. Biasanya kekerasan pada anak dilakukan
oleh orang yang terdekat dengan anak. Baik orangtua, guru dan bahkan pengasuh. Secara umum,
tindakan kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain,
baik secara fisik maupun secara psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik
semata, tetapi juga berbentuk eksploitasi psikis. Ketika kekerasan fisik bisa dilihat dampaknya
oleh mata, justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek
traumatis yang cukup lama bagi si korban dan ini tidak bisa terlihat dengan mata telanjang.

Dewasa ini, berbagai bentuk kekerasan mulai dari kekerasan verbal seperti membentak anak
sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar sampai memukul anak telah menjadi fenomena
di dunia pendidikan negeri ini. Kondisi tersebut sudah berlangsung lama, bahkan frekuensinya
meningkat seiring dengan meningkatknya agresifitas anak didik. Kekerasan verbal adalah
bentuk kekerasan yang sangat sulit untuk diidentifikasi. Kadang orang tua dan guru tidak berniat
menyakiti anak melalui kata-katanya. Walaupun begitu, sadar tidak sadar tindakan kekerasan
tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan, sekalipun terdapat beberapa alasan tertentu yang
melatarabelakanginya. Berkembangnya kebiasaan dalam masyarakat kita yang sebenarnya
kurang tepat dalam mendidik anak dengan memarahi berbicara kasar, memaki, dan membentak
anak-anak mereka dengan kata-kata yang sebenarnya tidak pantas dan bersifat mengacam ini
akan membentuk suatu perilaku buruk pada anaknya karena meniru perilaku orang tuanya.
Kekerasan kata-kata (verbal abuse) menyebabkan anak menjadi generasi yang lemah, seperti
agresif, apatis, pemarah , menarik diri, kecemasan berat, gangguan tidur, ketakutan yang
berlebihan, kehilangan harga diri dan depresi. Kekerasan kata-kata (verbal abuse) ini apabila
berlangsung terus menerus akan memperpanjang lingkungan kekerasan. Remaja yang
mengalami kekerasan kata-kata (verbal abuse) selanjutnya akan cenderung menjadi pelaku
tindakan kekerasan kata-kata (verbal abuse) terhadap orang lain. Fenomena ini akhirnya menjadi
suatu mata rantai yang tidak terputus, dimana setiap generasi akan memperlakukan hal yang
sama untuk merespon kondisi situsional yang menekannya.

Adapun penyebab guru dan orangtua melakukan kekerasan kata-kata (verbal abuse) dikarenakan
kurangnya pengetahuan orangtua. Orangtua yang tidak mengetahui atau mengenal sedikit
informasi mengenai kebutuhan perkembangan anak, misalnya harapan-harapan orang tua yang
tidak realistik terhadap perilaku anak berperan memperbesar tindakan kekerasan pada anak.
Kemudian faktor pengalaman orang tua yang waktu kecilnya mendapatkan perlakuan salah
merupakan situasi pencetus terjadinya kekerasan verbal pada anak. Faktor sosial budaya
merupakan faktor yang paling berpengaruh besar dalam melakukan kekerasan kata-kata (verbal
abuse) dimana sosial budaya ini meliputi nilai atau norma yang ada dimasyarakat hubungan
antar manusia, kemajuan zaman yaitu pendidikan, hiburan, olahraga, kesehatan dan hukum.
Sedangkan norma sosial merupakan tindakan orang tua melakukan kekerasan kata-kata (verbal
abuse) karena pada masyarakat tidak ada nilai kontrol sosial pada tindakan kekerasan pada anak
dan remaja. Hubungan anak dengan orang tua berlaku seperti hierarki sosial dimasyarakat.
Atasan tidak boleh dibantah. Sedangkan kekerasan kata-kata (verbal abuse) yang dilakukan oleh
guru dapat berupa teguran atau peringatan yang membuat anak malu pada teman-temannya.

Anak yang kerap mendapatkan kekerasan verbal akan selalu merasa tidak percaya diri dan
merasa terancam. Anak yang dalam keadaan terancam sulit bisa berpikir panjang. Ia tidak biasa
memecahkan masalah yang dihadapinya, karena Ini berkaitan dengan bagian otak yang bernama
korteks, pusat logika. Bagian ini hanya bisa dijalankan kalau emosi anak dalam keadaan tenang.
Bila anak tertekan terus-menerus tertangkap dalam situasi yang kacau, penganiayaan, dan
pengabaian, maka pesan hanya sampai ke batang otak. Sehingga sikap yang timbul hanya
berdasarkan insting tanpa dipertimbangkan lebih dulu, akibatnya anak berperilaku menghindar
dan ingin melawan (agresif).

Orangtua hendaknya memperhatikan dan memilih kata-kata yang akan disampaikan pada anak.
Hal ini dikarenakan anak yang sering menerima kata-kata yang sifatnya makian, ancaman, akan
melakukan hal yang sama pada teman dan anak mereka saat menjadi orang tua kelak. Orangtua
kebanyakan tidak mengerti dan tidak menyadari bahwa mereka melakukan kekerasan kata-kata
(verbal abuse). Orangtua perlu memahami anak dan tumbuh kembangnya agar dapat
memberikan reward dan hukuman sesuai dengan perkembangan kemampuan anak. Serta sebisa
mungkin menghindari kekerasan dalam bentuk apapun termasuk kekerasan kata-kata dan
mampu mendidik anak menjadi anak yang penurut tanpa menggunakan kekerasan dalam bentuk
apapun.

Kesimpulan

Pada masa usia dini anak membutuhkan perhatian, kasih sayang dan lingkungan yang ramah
bagi perkembangannya. Selain itu, Anak juga merupakan pribadi yang masih bersih dan peka
terhadap rangsangan-rangsangan yang diberikan lingkungan. Maka sebagai orangtua ataupun
guru, tugas kita adalah mendidik anak dengan kasih sayang dan tau batasan-batasan sejauh mana
kata-kata yang mendidik kita lontarkan kepada anak. Karena, ketika kekerasan fisik bisa dilihat
dan masih bisa disembuhkan berbeda hal nya dengan kekerasan verbal. Kekerasan verbal akan
sulit untuk kita deteksi dan juga sulit untuk disembuhkan. Selain itu, dampak yang diberikan
oleh kekerasan verbal juga akan membentuk moral dan mental anak usia dini yang buruk.
Padahal, kita semua tau bahwa anak usia dini ibarat kertas putih yang berpotensi menjadi apapun
sesuai dengan stimulasi yang kita berikan. Namun, dengan pola asuh dan stimulasi yang salah,
kita tidak pernah tau, efek apa yang akan muncul dikemudian hari.

Selain itu perlu adanya komunikasi yang baik antara orangtua dan guru dalam mendidik anak
usia dini. Karna, ketika penghargaan diri anak usia dini hanya didapatkan disekolah, ini juga
akan membuat anak merasa tidak dihargai dirumah. Dan ini mengapa anak usia dini lebih
senang dengan gurunya dibandingkan dengan orang tuanya.

Saran

Orang tua

Orang tua seharusnya memahami bahwa anak-anak membutuhkan penghargaan, penilaian dan
penerimaan, maka hendaknya mereka memperlakukan anak-anak dengan pengertian dan
penerimaan. Penerimaan tidak berarti hanya menerima semua kelakuan baik saja, akan tetapi
juga menerima kelakuan-kelakuan negatif anak. Selain itu, orang tua juga harus mengerti dan
paham tahapan-tahapan perkembangan anak, sehingga orang tua mengetahui bagaimana cara
mendidik anak dan memberikan hukuman sesuai dengan perkembangannya dan juga tidak
bersifat emosional.
Pendidik

Pendidik seharusnya memahami perkembangan anak, sehingga dalam mengahadapi anak


didiknya disesuaikan dengan perkembangannya. Selain itu, juga dalam menghukum anak harus
lebih hati-hati agar tidak menyingung perasaan dan mental

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, (1998) Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti

Breire, John N. Child Abuse Trauma. California: Sage Publications Inc, 1992.

Budiardjo, Tri. Anak-anak: Generasi Terpinggirkan?. Yogyakarta: ANDI, 2010.

Dumas, Jean E. & Wendy J. Nilsen. Abnormal Child and Adolescent Psychology. Boston:
Pearson Education Inc, 2003.

Gordon, Thomas. Mengajar Anak Berdisiplin Diri di Rumah dan di Sekolah. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996

Gunarsa D, Singgih . dan Yulia Singgih D. Gunarsa. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan
Keluarga (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993

Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi


Anak,Jakarta:PT.Gramedia Indonesia

Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak
Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti

Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Rani, (5 Oktober 1996) Makalah “ Masalah perlindungan anak “

soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC. 1995

Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah “Hukum Acara Peradilan Anak”,

Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta:
PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000
https://www.kompasiana.com/faieza/kekerasan-verbal-dan-dampaknya-terhadap-mental-anak-
usia-dini_566fa851529773ab0f4241dc

Ini Dia Fakta beberapa Dampak Kekerasan Pada Anak


admin December 3, 2016 Ini Dia Fakta beberapa Dampak Kekerasan Pada Anak2016-12-
03T00:18:23+00:00 Perkembangan No Comment
Apa Saja Dampak Kekerasan Pada Anak?

Secara umum, dampak kekerasan pada anak dapat terdiri dari dua hal, yaitu dampak secara fisik
dan juga dampak secara psikologis. Dampak secara fisik, sudah jelas terlihat, dimana dari segi
fisik, si anak mungkin mengalami luka memar, luka fisik, masalah kesehatan, dan lain
sebagainya. Yang menjadi masalah adalah dampak secara psikologis, yang apabila tidak
ditangani segera, akan sangat mempengaruhi fase kehidupan berikutnya dari si anak, mulai dari
remaja hingga tua nanti. Berikut ini adalah beberapa dampak psikologis dari kekerasan pada
anak :

Siklus menjadi korban

Kemungkinan bahwa si anak akan “ditakdirkan” menjadi korban akan semakin besar. Anak-
anak yang sering mengalami kekerasan, sudah menjadi korban sejak kecil. Di alam bawah
sadarnya, “takdir” menjadi seorang korban akan tertanam kuat. Hal ini kemudian akan
berpengaruh di dalam kehidupannya, dimana si anak akan terus-terusan menjadi korban selama
masa hidupnya.

Menjadi pelaku kekerasan

Selain “takdir” menjadi korban, anak yang mengalami kekerasan juga bisa saja berubah menjadi
pelaku kekerasan. Banyak penelitian mengungkap, salah satunya adalah perilaku bullying,
banyak dilakukan oleh mereka yang dulunya pernah menjadi korban bullying. Karena itu,
kemungkinan bahwa seorang anak kelak akan menjadi pelaku kekerasan, akibat masa lalunya
yang sering menjadi korban kekerasan sangatlah tinggi.

Kepercayaan diri yang rendah

Kekerasan pada anak dapat mengakibatkan rendahnya kepercayaan diri si anak. Kekerasan
seringkali membuat si anak takut salah dalam melakukan sesuatu, sehingga hal ini dapat
menyebabkan si anak menjadi tidak percaya diri dan tidak mampu untuk melakukan hal yang
lebih baik.

Dengan begitu, si anak pun tidak akan berkembang dengan optimal, menjadi “kalahan” di
lingkungannya, atau mungkin malah sulit dalam berteman. Padahal, kepercayaan diri adalah
salah satu modal penting bagi siapapun untuk bisa maju. Percaya diri dan yakin akan
kemampuan dirinya sendiri dapat membantu seseorang meraih impian dan keinginannya.

Luka batin dan trauma

Kekerasan terhadap anak sangat besar peluangnya dalam menimbulkan luka batin dan juga
trauma. Luka batin memiliki dampak yang luar biasa besar bagi kehidupan seseorang, mulai dari
munculnya depresi, mudah stress, hingga gangguan psikologis berat lainnya yang bisa membuat
kehidupan dan aktivitas seseorang menjadi terganggu.

Merasa tidak berguna

Mungkin anda berpikir, bagaimana mungkin seorang anak-anak bisa memiliki rasa tidak
berguna? Ternyata hal ini benar bisa terjadi, terutama pada anak-anak yang sering mengalami
kekerasan pada anak. Rasa tidak berguna, tidak bermanfaat, atau helplessness merupakan hal
yang bisa muncul pada anak-anak korban kekerasan. Hal ini akan membuat mereka menjadi
pendiam, menjauh dari lingkungan sosial, dan bisa saja berujung pada keinginan bunuh diri pada
masa remaja atau dewasa, karena merasa tidak berguna dan tidak bisa melakukan apa-apa.

Itulah beberapa dampak psikologis dari kekerasan pada anak. Semoga para orangtua menjadi
lebih aware dengan kondisi anaknya, dan tidak menjadi “perusak” masa depan anak dengan
melakukan kekerasan terhadap anak. By: Eduarudus Pambudi
http://www.psikoma.com/beberapa-dampak-kekerasan-pada-anak/

Faizatul Faridy
FOLLOW
pelajar/mahasiswa

Mahasiswi sekolah pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia-Bandung


Humaniora Pilihan
Kekerasan Verbal dan Dampaknya Terhadap Mental Anak Usia Dini
15 Desember 2015 12:42 Diperbarui: 15 Desember 2015 17:46 8787 1 0

JURNAL PENDIDIKAN USIA DINI


Vol 9,Edisi 2 (2015): ISSN 1693-1602

Faizatul Faridy

Mahasiswa Pascasarjana UPI

Fey_zha@ymail.com

Abstrak

Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang paling sering ditemui disekitar kehidupan
anak. Namun, tanpa disadari penggunaan bahasa dalam pendidikan bisa mengandung kekerasan
yang sangat berdampak pada anak usia dini. Orangtua dan guru sadar atau tidak mungkin sering
melakukan kekerasan verbal pada anak. Padahal dampak yang ditumbulkan dari kekerasan
verbal ini sangat berpengaruh terhadap mental dan tumbuh kembang anak. Ketika dampak-
dampak tersebut tidak terdeteksi oleh orangtua dan tidak ditangani dengan tepat, maka
kemungkinan dampak-dampak tersebut akan terbawa hingga dewasa. Kekerasan verbal pada
anak juga akan menyebabkan anak kehilangan harga diri dan rasa percaya diri. Diantara
penyebab orang tua dan guru sering melakukan kekerasan verbal kepada anak adalah kurangnya
pengetahuan mereka dalam mendisiplinkan anak. Maka dari itu penulis tertarik untuk membuat
tulisan ini guna menambah wawasan para orang tua dan guru PAUD dalam mencetak penerus
bangsa yang berkualitas.

Kata kunci: Kekerasan Verbal Pada Anak


Pendahuluan

Dalam mendidik anak usia dini, baik orang tua maupun guru harus memberikan pendidikan dan
pola asuh yang baik kepada anak. Hal ini dikarenakan perlakuan dan pola asuh yang didapatkan
anak akan sangat berpengaruh pada pembentukan karakter dan mental anak usia dini. Pada
dasarnya anak usia dini belajar dari apa yang ia lihat dari sekitarnya, anak juga belum bisa
membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Namun anak adalah pembelajar
yang cepat belajar dari kesalahan yang ia buat sendiri.

Ketika anak berbuat salah atau melakukan hal yang tidak disukai, baik guru dan orangtua kerap
memarahi, membentak sampai membandingkan anak dengan anak lain. Terkadang orangtua
hanya ingin menunjukkan rasa tidak suka pada perilaku anak tersebut, atau mungkin sebenarnya
orangtua ingin memberitahukan konsekuensi atas kesalahan yang dibuat anak. Tapi ternyata
perlakuan ini termasuk dalam kekerasan verbal yang sangat berdampak pada anak dalam
pembentukan mental anak usia dini. Padahal pada masa ini adalah masa dimana anak
membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari lingkungan tempat anak tinggal. Maka dari itu
orangtua dan guru seharusnya mampu mengontrol emosi dalam mendidik anak, karena hukuman
secara nonfisik ini bisa lebih berdampak serius jika berlebihan karena dapat mempengaruhi
perkembangan emosi anak untuk selanjutnya.

Orangtua dan guru beranggapan bahwa kekerasan pada anak hanya bersifat fisik, padahal
kekerasan terhadap anak tak hanya selalu bersifat fisik atau seksual, tetapi verbal dan emosional
juga bisa mengarah pada kekerasan. Kekerasan emosional bisa berupa pengabaian terhadap hak–
hak anak, sedang kekerasaan verbal biasanya berupa membandingkan anak dengan anak lain,
menegur anak dengan cara yang salah, melarang atau membentak anak meski berniat
melindungi anak dari hal yang berbahaya hingga hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari
kekerasaan verbal dapat mengakibatkan anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar,
tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.

Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal yang bersifat keras atau
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain
atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan merupakan tindakan yang
disengaja yang mengakibatkan cidera fisik atau tekanan mental (Carpenito, 2009). Campbell dan
Humphrey mendefinisikan kekerasan anak sebagai berikut “setiap tindakan yang mencelakakan/
dapat mencelakakan kesehatan dan kesejahteraan anak yang dilakukan oleh orang yang
seharusnya bertanggung jawab terhadap kesehatandan kesejahteraan anak tersebut” (Yani, S.A.
2008).
Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua
dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya
menjadi tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan,
cacat/kematian. Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan baik
fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah merupakan tindakan kasar yang mencelakakan
anak, sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan/meremehkan anak.
Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari
orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan
terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang
anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental. WHO juga menjelaskan bahwa
kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap
seseorang yang mengakibatkan luka, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan
atau perampasan hak. Bicara soal kekerasan, ada tiga jenis di antaranya fisik, verbal, dan
emosional.

Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-
hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk mencegahnya
dapat dilakukan oleh para petugas hukum. Psikolog pendidikan dan perkembangan anak, Dr
Seto Mulyadi, Msi, mengatakan tindak kekerasan pada anak adalah setiap tindakan yang
menimbulkan rasa sakit secara fisik dan psikis serta membuat anak merasa tak nyaman. ‘'Besar
kecilnya luka yang dialami anak tergantung pada intensitas tindak kekerasan dilakukan oleh
orangtua, karakteristik anak, dan pengalaman hidupnya,'' kata Ketua Umum Komnas
Perlindungan Anak ini. Seto menjelaskan, dampak kekerasan juga akan membentuk kepribadian
baru pada anak. Misalnya anak yang mulanya ceria menjadi mudah sedih atau sensitif.
Sedangkan dampak jangka panjangnya, akan mempengaruhi pembentukan kepribadiannya
seperti agresif dan pemberontak. Selain itu juga bisa mempengaruhi konsep dirinya, anak akan
mempersepsikan dirinya sebagaimana lingkungan melabelinya. ‘'Konsep diri ini akan
berkembang ke arah yang negatif pada anak,'' katanya. Seto juga menjelaskan bahwa, anak yang
sering mendapat perlakuan kasar dari orang-orang terdekatnya lambat laun rasa percaya diri dan
harga dirinya akan terpuruk. Sehingga dapat menghambat kemampuan dan keberanian anak
untuk mencoba hal-hal baru serta mengembangkan minat serta potensinya. Untuk menghindari
hal tersebut, lanjut Seto, “orangtua harus mengubah cara berpikir (mind framing) bahwa setiap
anak itu beharga dan berpotensi. Dan dalam mendidik anak orangtua tak hanya melihat hasilnya
saja tapi juga terhadap prosesnya,'' paparnya.

Terry E. Lawson, psikiater anak membagi kekerasan anak menjadi 4 (empat) macam, yaitu
emotional abuse , verbal abuse , physical abuse dan sexual abuse. Verbal abuse, terjadi ketika
Ibu, mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan
menangis”. Anak mulai berbicara dan Ibu terus menggunakan kekerasan verbal seperti, “kamu
bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, dan seterusnya (Solihin, 2004). Hal yang paling
sering menyebabkan orang tua melakukan kekerasan terutama kekerasan verbal adalah karena
kenakalan anak. Terutama ketika anak memasuki usia 3 tahun, usia ini merupakan masa-masa
pembentukan otak dan perilaku anak (Richard, 1999). Pada masa ini anak dianggap sangat kritis
untuk perkembangan emosi dan psikologis. Perkembangan super ego terjadi selama periode ini
dan kesadaran mulai muncul. Kenakalan anak pada usia 3 sampai 6 tahun merupakan hal yang
wajar, dengan cara seperti itu anak mempelajari lingkungan secara kreatif, tetapi kadang
orangtua melihat hal itu sebagai suatu hal yang mengganggu, dan orangtua tidak segan-segan
untuk melakukan kekerasan verbal seperti membentak dan mengabaikan anak (Wong, 2008)

Jadi berdasarkan beberapa pengertian kekerasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan
verbal adalah kekerasan terhadap perasaan dengan menggunakan kata-kata yang kasar tanpa
menyentuh fisiknya. Akibatnya, ucapan atau kalimat yang dilontarkan tersebut dapat
memengaruhi kondisi emosional anak. Umumnya, kekerasan verbal dilakukan oleh orang
dewasa kepada anak tidak disertai dengan niat jahat. Awalnya, pada beberapa kasus,
orangtua/guru/orang dewasa melakukan hal tersebut dengan tujuan baik, yakni untuk mendidik
si anak, namun pemilihan katanya tidak tepat sehingga membuat anak terganggu perasaannya.

Mengatur perilaku anak agar sesuai dengan aturan norma yang berlaku di suatu lingkungan tidak
perlu dengan kekerasan. Jika melalui wejangan tidak efektif, orangtua bisa memberikan
hukuman misalnya dicabut haknya dalam melakukan hal yang disukainya, dan memberikan
hadiah ketika anak melakukan hal-hal yang baik. Orangtua sebaiknya tidak memberikan
hukuman ataupun memarahi anak terutama di hadapan teman-temannya karena bisa
menjatuhkan harga diri anak. Sebelum memarahi atau menghukum anak sebaiknya coba
mencari tau alasan anak mengapa melakukan tindakan tersebut. Dengan mengetahui perubahan
psikologis anak, orangtua dan guru bisa memahami apa yang diinginkan dan tindakan yang
dibutuhkan oleh anak, termasuk strategi pemberian hukuman. Seto menjelaskan, mendidik anak
tidak harus dengan hukuman namun dengan keteladanan dan kasih sayang

Factor Terjadinya Kekerasan Verbal Pada Anak

Menurut hasil pengaduan yang diterima KOMNAS Perlindungan Anak (2006), diantara pemicu
terjadinya kekerasan terhadap anak adalah :

1) Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu terjadinya kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah,
ibu dan saudara yang lainnya. Anak sering kali menjadi sasaran kemarahan orang tua.
2) Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya
disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing
dan menyayangi,

3) Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya kondisi
keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi,

4) Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak
adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan
oleh orang tua.

Disamping itu, faktor penyebab lainnya adalah terinspirasi dari tayangan-tayangan televisi
maupun media-media lainnya yang tersebar dilingkungan masyarakat. Yang sangat mengejutkan
ternyata 62 % tayangan televisi maupun media lainnya telah membangun dan menciptakan
prilaku kekerasan (Tempo, 2006).

Menurut Sitohang (2004), penyebab munculnya kekerasan pada anak adalah a) Stress berasal
dari anak. Yaitu, kondisi anak yang berbeda, mental yang berbeda atau anak adalah anak angkat,
b) Stress keluarga. Yaitu, kemiskinan pengangguran mobilitas, isolasi, perumahan tidak
memadai, anak yang tidak diharapkan dan lain sebagainya, c) Stress berasal dari orang tua.
Rendah diri, Waktu kecil mendapat perlakuan salah, Depresi, Harapan pada anak yang tidak
realistis, Kelainan karakter/gangguan jiwa. Sitohang (2004) melihat ketiga hal tersebut adalah
situasi awal atau kondisi pencetus munculnya kekerasan pada anak. Pada gilirannya kondisi
tersebut berlanjut pada perilaku yang salah orang tua terhadap anaknya. Contohnya,
penganiayaan dan teror mental.

Unicef (1986) mengemukakan ada 2 faktor yang melatarbelakangi munculnya kekerasan anak
oleh orang tuanya. Faktor tersebut masing-masing berasal baik dari orang tua maupun anak
sendiri. 2 faktor tersebut antara lain; a) Orang tua yang pernah jadi korban penganiayaan anak
dan terpapar oleh kekerasan dalam rumah, orang tua yang kondisi kehidupannya penuh sters,
seperti rumah yang sesak, kemiskinan, orang tua yang menyalahgunakan NAPZA, orang tua
yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi atau psikotik atau gangguan keperibadian. b)
Anak yang premature, anak yang retardasi mental, anak yang cacat fisik, anak yang suka
menangis hebat atau banyak tuntutan. Berdasarkan uraian tersebut baik orang tua maupun anak
sama-sama berpengaruh pada timbulnya kekerasan pada anak.

Beberapa factor diatas merupakan penyebab terjadinya kekerasan secara garis umum, sedang
factor yang menyebabkan terjadinya kekerasan verbal adalah;
Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu sehingga kerap
memancing emosi orang tua ataupun guru dalam mendidik
Kemiskinan keluarga (banyak anak). Tertekannya kondisi keuangan keluarga menyebabkan
orangtua stress dan melampiaskan kemarahannya kepada anak.
Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu/ayah dalam jangka panjang.
Hal ini juga membuat salah satu orangtua merasa strees yang akhirnya menyalahkan anak atas
apa yang orangtua alami.
Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak, anak yang
tidak diinginkan (Unwanted Child) atau anak lahir diluar nikah.
Kondisi lingkungan yang buruk,. Biasanya orangtua yang tumbuh dalam keluarga yang
pendidikannya “keras” kerap menerapkan pola yang sama pada anaknya
Kurangnya pemahaman orangtua dalam mendidik anak. Kadang orang tua beranggapan
bahwa dengan mendidik anak dengan keras adalah merupakan bagian dari pembelajaran agar
anak tumbuh menjadi sosok disiplin. Padahal kekerasan pada anak termasuk kekerasan dalam
rumah tangga

Dampak Kekerasan Terhadap Anak

Ada beberapa dampak dari kekerasan verbal pada anak, Ketika dampak-dampak tersebut tidak
terdeteksi oleh orangtua dan tidak ditangani dengan tepat, maka kemungkinan yang terjadi
adalah dampak-dampak tersebut akan berpengaruh hingga dewasa. Sehingga proses
perkembangannya si anak akan terus terganggu. Berikut beberapa dampak yang mungkin terjadi
berupa:

Hilangnya kepercayaan diri pada anak. Karena sering disalahkan dan dimarahi, anak akan
kehilangan rasa percaya dirinya.
Muncul perasaan tidak berdaya pada anak. Ketika anak disalahkan, anak merasa tidak mampu
dalam hal apapun dan membuat anak mudah menyerah.
Prestasi yang terus menurun, baik prestasi di sekolah maupun luar sekolah. Karena jarang
dipuji, anak tidak semangat dalam hal apapun termasuk bidang akademik.
Lemahnya daya kreativitas anak. Karena merasa apa yang dilakukan salah, anak enggan
melakukan hal baru. Anak hanya akan menerima dan menunggu hal baru.
Muncul kecemasan dalam diri anak. Anak yang sering dibandingkan dengan anak lain, sering
dimarahi dan sering mendapat teguran yang salah akan merasa cemas dan was-was berlebih.
Anak kesulitan berhubungan dengan teman sebaya karena hilang kepercayaan dirinya. Karena
hilangnya rasa percaya diri anak, anak mulai mengunci dirinya dari lingkungan sekitar. Anak
merasa rendah diri dan malu untuk bersosialisasi.
Murung/Depresi. Kekerasan verbal mampu membuat anak berubah drastis seperti menjadi
anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai penurunan berat badan. Ia
akan menjadi anak yang pemurung, pendiam, kurang percaya diri dan terlihat kurang ekspresif.
Memudah menangis. Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidak nyaman dan aman
dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang bisa melindunginya,
kemungkinan besar pada saat dia besar, dia tidak akan mudah percaya pada orang lain.

Solusi Mencegah Terjadinya Kekerasan Verbal Pada Anak

Sebaiknya dalam mendidik, baik guru dan orangtua saling bekerja sama dalam menumbuhkan
kepercayaan diri sang anak. Anak pada hakikatnya akan lebih bersemangat ketika mendapat
reward atau hadiah dan berikan hukuman yang berupa pengurangan hal yang disukai anak.
Hindari kata-kata yang bersifat mengancam atau menakuti anak, karena pada dasarnya menakuti
anak hanya akan membentuk anak yang kurang percaya diri dan mudah menyerah. Kekerasan
juga tidak selamanya akan membuat anak berhasil, hal ini hanya akan membuat anak yang patuh
ketika di awasi saja dan melakukan yang sebaliknya ketika diluar pengawasan.

Pembahasan

Kekerasan bukanlah hal yang asing terjadi pada anak. Biasanya kekerasan pada anak dilakukan
oleh orang yang terdekat dengan anak. Baik orangtua, guru dan bahkan pengasuh. Secara umum,
tindakan kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain,
baik secara fisik maupun secara psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik
semata, tetapi juga berbentuk eksploitasi psikis. Ketika kekerasan fisik bisa dilihat dampaknya
oleh mata, justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek
traumatis yang cukup lama bagi si korban dan ini tidak bisa terlihat dengan mata telanjang.

Dewasa ini, berbagai bentuk kekerasan mulai dari kekerasan verbal seperti membentak anak
sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar sampai memukul anak telah menjadi fenomena
di dunia pendidikan negeri ini. Kondisi tersebut sudah berlangsung lama, bahkan frekuensinya
meningkat seiring dengan meningkatknya agresifitas anak didik. Kekerasan verbal adalah
bentuk kekerasan yang sangat sulit untuk diidentifikasi. Kadang orang tua dan guru tidak berniat
menyakiti anak melalui kata-katanya. Walaupun begitu, sadar tidak sadar tindakan kekerasan
tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan, sekalipun terdapat beberapa alasan tertentu yang
melatarabelakanginya. Berkembangnya kebiasaan dalam masyarakat kita yang sebenarnya
kurang tepat dalam mendidik anak dengan memarahi berbicara kasar, memaki, dan membentak
anak-anak mereka dengan kata-kata yang sebenarnya tidak pantas dan bersifat mengacam ini
akan membentuk suatu perilaku buruk pada anaknya karena meniru perilaku orang tuanya.

Kekerasan kata-kata (verbal abuse) menyebabkan anak menjadi generasi yang lemah, seperti
agresif, apatis, pemarah , menarik diri, kecemasan berat, gangguan tidur, ketakutan yang
berlebihan, kehilangan harga diri dan depresi. Kekerasan kata-kata (verbal abuse) ini apabila
berlangsung terus menerus akan memperpanjang lingkungan kekerasan. Remaja yang
mengalami kekerasan kata-kata (verbal abuse) selanjutnya akan cenderung menjadi pelaku
tindakan kekerasan kata-kata (verbal abuse) terhadap orang lain. Fenomena ini akhirnya menjadi
suatu mata rantai yang tidak terputus, dimana setiap generasi akan memperlakukan hal yang
sama untuk merespon kondisi situsional yang menekannya.

Adapun penyebab guru dan orangtua melakukan kekerasan kata-kata (verbal abuse) dikarenakan
kurangnya pengetahuan orangtua. Orangtua yang tidak mengetahui atau mengenal sedikit
informasi mengenai kebutuhan perkembangan anak, misalnya harapan-harapan orang tua yang
tidak realistik terhadap perilaku anak berperan memperbesar tindakan kekerasan pada anak.
Kemudian faktor pengalaman orang tua yang waktu kecilnya mendapatkan perlakuan salah
merupakan situasi pencetus terjadinya kekerasan verbal pada anak. Faktor sosial budaya
merupakan faktor yang paling berpengaruh besar dalam melakukan kekerasan kata-kata (verbal
abuse) dimana sosial budaya ini meliputi nilai atau norma yang ada dimasyarakat hubungan
antar manusia, kemajuan zaman yaitu pendidikan, hiburan, olahraga, kesehatan dan hukum.
Sedangkan norma sosial merupakan tindakan orang tua melakukan kekerasan kata-kata (verbal
abuse) karena pada masyarakat tidak ada nilai kontrol sosial pada tindakan kekerasan pada anak
dan remaja. Hubungan anak dengan orang tua berlaku seperti hierarki sosial dimasyarakat.
Atasan tidak boleh dibantah. Sedangkan kekerasan kata-kata (verbal abuse) yang dilakukan oleh
guru dapat berupa teguran atau peringatan yang membuat anak malu pada teman-temannya.

Anak yang kerap mendapatkan kekerasan verbal akan selalu merasa tidak percaya diri dan
merasa terancam. Anak yang dalam keadaan terancam sulit bisa berpikir panjang. Ia tidak biasa
memecahkan masalah yang dihadapinya, karena Ini berkaitan dengan bagian otak yang bernama
korteks, pusat logika. Bagian ini hanya bisa dijalankan kalau emosi anak dalam keadaan tenang.
Bila anak tertekan terus-menerus tertangkap dalam situasi yang kacau, penganiayaan, dan
pengabaian, maka pesan hanya sampai ke batang otak. Sehingga sikap yang timbul hanya
berdasarkan insting tanpa dipertimbangkan lebih dulu, akibatnya anak berperilaku menghindar
dan ingin melawan (agresif).
Orangtua hendaknya memperhatikan dan memilih kata-kata yang akan disampaikan pada anak.
Hal ini dikarenakan anak yang sering menerima kata-kata yang sifatnya makian, ancaman, akan
melakukan hal yang sama pada teman dan anak mereka saat menjadi orang tua kelak. Orangtua
kebanyakan tidak mengerti dan tidak menyadari bahwa mereka melakukan kekerasan kata-kata
(verbal abuse). Orangtua perlu memahami anak dan tumbuh kembangnya agar dapat
memberikan reward dan hukuman sesuai dengan perkembangan kemampuan anak. Serta sebisa
mungkin menghindari kekerasan dalam bentuk apapun termasuk kekerasan kata-kata dan
mampu mendidik anak menjadi anak yang penurut tanpa menggunakan kekerasan dalam bentuk
apapun.

Kesimpulan

Pada masa usia dini anak membutuhkan perhatian, kasih sayang dan lingkungan yang ramah
bagi perkembangannya. Selain itu, Anak juga merupakan pribadi yang masih bersih dan peka
terhadap rangsangan-rangsangan yang diberikan lingkungan. Maka sebagai orangtua ataupun
guru, tugas kita adalah mendidik anak dengan kasih sayang dan tau batasan-batasan sejauh mana
kata-kata yang mendidik kita lontarkan kepada anak. Karena, ketika kekerasan fisik bisa dilihat
dan masih bisa disembuhkan berbeda hal nya dengan kekerasan verbal. Kekerasan verbal akan
sulit untuk kita deteksi dan juga sulit untuk disembuhkan. Selain itu, dampak yang diberikan
oleh kekerasan verbal juga akan membentuk moral dan mental anak usia dini yang buruk.
Padahal, kita semua tau bahwa anak usia dini ibarat kertas putih yang berpotensi menjadi apapun
sesuai dengan stimulasi yang kita berikan. Namun, dengan pola asuh dan stimulasi yang salah,
kita tidak pernah tau, efek apa yang akan muncul dikemudian hari.

Selain itu perlu adanya komunikasi yang baik antara orangtua dan guru dalam mendidik anak
usia dini. Karna, ketika penghargaan diri anak usia dini hanya didapatkan disekolah, ini juga
akan membuat anak merasa tidak dihargai dirumah. Dan ini mengapa anak usia dini lebih
senang dengan gurunya dibandingkan dengan orang tuanya.

Saran

Orang tua

Orang tua seharusnya memahami bahwa anak-anak membutuhkan penghargaan, penilaian dan
penerimaan, maka hendaknya mereka memperlakukan anak-anak dengan pengertian dan
penerimaan. Penerimaan tidak berarti hanya menerima semua kelakuan baik saja, akan tetapi
juga menerima kelakuan-kelakuan negatif anak. Selain itu, orang tua juga harus mengerti dan
paham tahapan-tahapan perkembangan anak, sehingga orang tua mengetahui bagaimana cara
mendidik anak dan memberikan hukuman sesuai dengan perkembangannya dan juga tidak
bersifat emosional.

Pendidik

Pendidik seharusnya memahami perkembangan anak, sehingga dalam mengahadapi anak


didiknya disesuaikan dengan perkembangannya. Selain itu, juga dalam menghukum anak harus
lebih hati-hati agar tidak menyingung perasaan dan mental

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, (1998) Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan
Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti

Breire, John N. Child Abuse Trauma. California: Sage Publications Inc, 1992.

Budiardjo, Tri. Anak-anak: Generasi Terpinggirkan?. Yogyakarta: ANDI, 2010.

Dumas, Jean E. & Wendy J. Nilsen. Abnormal Child and Adolescent Psychology. Boston:
Pearson Education Inc, 2003.

Gordon, Thomas. Mengajar Anak Berdisiplin Diri di Rumah dan di Sekolah. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996

Gunarsa D, Singgih . dan Yulia Singgih D. Gunarsa. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan
Keluarga (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993

Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi


Anak,Jakarta:PT.Gramedia Indonesia
Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak
Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti

Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.

Rani, (5 Oktober 1996) Makalah “ Masalah perlindungan anak “

soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC. 1995

Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah “Hukum Acara Peradilan Anak”,

Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta:
PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000
https://www.kompasiana.com/faieza/kekerasan-verbal-dan-dampaknya-terhadap-mental-anak-
usia-dini_566fa851529773ab0f4241dc

Dampak Kekerasan terhadap Anak

Dampak Kekerasan terhadap Anak. Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek
tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada
anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan
apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan
individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain
itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal
juga rusaknya sistem syaraf.

Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku
menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang
anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk
membunuh ibunya.

Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse),
antara lain:

1. Dampak kekerasan fisik


Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan
setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif
melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan
mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil.
Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan
cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban
meninggal dunia.

2. Dampak kekerasan psikis

Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan
penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa
(memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk),
kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991),
kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang
nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang
termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan
membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat
dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.

3. Dampak kekerasan seksual

Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap
pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini
mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami
semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika
kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara
lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola
tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya
masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);

4. Dampak penelantaran anak

Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih
sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari
orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku
akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
5. Dampak kekerasan lainnya

Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam
mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian
dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan
lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga
sehingga anak terpaksa putus sekolah.

Berdasarkan uraian diatas dampak kekerasan terhadap anak antara lain:

1. Kerusakan fisik atau luka fisik


2. Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif
3. Memiliki perilaku menyimpang, seperti: menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat
dan alkohol sampai dengan kecenderungan bunuh diri.
4. Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada
anak, takut menikah, merasa rendah diri, dan lain-lain.
5. Pendidikan anak yang terabaikan.

Sumber:
http://www.duniapsikologi.com
Artikel Dampak Kekerasan terhadap Anak pertama kali diterbitkan dunia psikologi pada 27
November 2008.
https://perludiketahui.wordpress.com/dampak-kekerasan-terhadap-anak/

Kenali Dampak Trauma Fisik dan Mental Akibat Kekerasan Terhadap Anak

Oleh Lika Aprilia Samiadi Data medis direview oleh dr. Yusra Firdaus.

23Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru)23Klik untuk berbagi


pada Twitter(Membuka di jendela yang baru)Klik untuk berbagi pada Tumblr(Membuka di
jendela yang baru)Klik untuk berbagi via Google+(Membuka di jendela yang baru)Klik untuk
berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru)Klik untuk berbagi di Line new(Membuka
di jendela yang baru)

Efek kekerasan terhadap anak


Kekerasan terhadap anak tidak hanya berdampak pada masa sekarang, namun juga bisa
berpotensi bahaya untuk masa depannya. Konsekuensi penganiayaan dan pengabaian dapat
menuai berbagai dampak negatif pada perkembangan, psikologis dan fisik korban.

Dan tidak hanya itu. Dampak kekerasan terhadap anak bisa berkepanjangan. Sehingga tidak
mengherankan kalau ada sangat banyak anak korban kekerasan dan pengabaian yang tidak bisa
menikmati masa kanak-kanaknya, apalagi tumbuh dan berkembang melanjutkan hidup sebagai
orang dewasa yang normal.
Dampak kekerasan terhadap anak pada tumbuh kembangnya

Studi embriologi dan pediatri telah menyatakan bahwa otak berkembang dengan kecepatan yang
luar biasa selama tahap perkembangan awal bayi dan masa kanak-kanak. Paparan berulang
terhadap kekerasan dan tekanan mental berat dapat memengaruhi respon stres otak, sehingga
membuatnya menjadi lebih reaktif dan kurang adaptif. Penelitian juga telah menemukan bahwa
ada kaitan antara kekerasan terhadap anak dengan sejumlah masalah kesehatan di kemudian
hari, yang bisa mencakup sebagai berikut:

Perkembangan otak yang terbelakang


Ketidakseimbangan antara kemampuan sosial, emosional dan kognitif
Gangguan berbahasa yang spesifik
Kesulitan dalam penglihatan, bicara dan pendengaran
Peningkatan risiko terkena penyakit kronis seperti penyakit jantung, kanker, penyakit paru
kronis, penyakit hati, obesitas, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan tingginya kadar
protein reaktif C
Kebiasaan merokok, ketergantungan alkohol (alkoholisme), dan penyalahgunaan obat-obatan

Dampak kekerasan pada anak terhadap kesehatan mentalnya

Anak-anak yang menderita penganiayaan cenderung kurang percaya diri dan tidak percaya pada
orang dewasa. Mereka mungkin tidak bisa mengungkapkan perasaan yang sebenarnya, sehingga
mengalami gangguan dalam mengendalikan emosi. Semakin lama penganiayaan berlanjut,
semakin serius pula dampaknya. Dalam beberapa situasi, kesulitan ini bisa terus berlanjut
sampai masa remaja bahkan dewasa. Trauma kekerasan adalah salah satu faktor risiko dari
gangguan kecemasan dan depresi kronis.

Beberapa kemungkinan efek samping kekerasan anak pada kesehatan mental mereka dapat
meliputi:
Gangguan kecemasan dan depresi
Disosiasi (penarikan diri; isolasi)
Kilas balik trauma (PTSD)
sulit fokus
sulit tidur
gangguan makan
Tidak nyaman dengan sentuhan fisik
Kecenderungan melukai diri sendiri
Usaha bunuh diri

Dampak kekerasan terhadap anak terhadap kesehatan fisiknya

Mengidentifikasi dampak fisik dari kekerasan bisa menjadi sangat penting dalam mengetahui
adanya penganiayaan dan mengambil langkah lebih jauh dalam melindungi anak dari kekerasan
dan pengabaian. Tanda-tanda kekerasan pada anak lebih mudah untuk dikenali daripada jenis
kekerasan lainnya, seperti pengabaian atau kekerasan emosional. Keberadaan satu tanda
kekerasan fisik terhadap anak tidak selalu berarti seorang anak menderita penganiayaan. Namun,
menyadari adanya satu tanda kekerasan pada anak bisa memberikan sinyal diperlukannya
pengamatan lebih lanjut.

Beberapa tanda kekerasan fisik dapat meliputi:

Memar, bengkak
Keseleo atau patah tulang
Luka bakar
Sulit berjalan atau duduk
Nyeri, memar atau perdarahan di area reproduktif
penyakit menular seksual
Kebersihan yang buruk

Tanda-tanda kekerasan terhadap anak tidak selalu tampak jelas, dan seorang anak mungkin tidak
akan memberi tahu siapapun mengenai apa yang terjadi pada mereka. Anak-anak mungkin
merasa takut bahwa pelaku akan mengetahuinya, dan takut jika kekerasan yang dialaminya akan
menjadi lebih buruk. Atau, mereka mungkin berpikir bahwa tidak ada yang bisa mereka beri
tahu atau bahwa mereka tidak akan dipercaya.
Ulurkan tangan bagi anak yang membutuhkan
Terkadang, anak-anak bahkan tidak menyadari bahwa apa yang sedang dialaminya adalah tindak
kekerasan. Maka dari itu, konsekuensi kekerasan dan pengabaian bisa sangat berdampak pada
para korban itu sendiri dan masyarakat tempat mereka tinggal. Tersedia layanan perawatan dan
konseling bagi anak-anak untuk membantu mereka dalam mengatasi trauma dan mengurangi
dampak kekerasan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) memiliki hotline


pengaduan masyarakat di nomor 082125751234 atau hubungi nomor darurat 112 jika Anda
mengetahui adanya tindak kekerasan terhadap anak di sekitar lingkungan Anda. Kedua nomor
ini dapat dihubungi selama 24 jam oleh siapa saja yang ingin melaporkan kasus kekerasan
terhadap anak dan perempuan.

Kekerasan bisa menjadi racun yang paling buruk ketika tidak ada yang melakukan tindakan
apapun untuk menghentikan kekerasan dan melindungi anak-anak.
https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/dampak-kekerasan-terhadap-anak/

Home / Pendidikan Keluarga / Berbagai Dampak Buruk Akibat Kekerasan Fisik pada Anak Usia
Dini
Berbagai Dampak Buruk Akibat Kekerasan Fisik pada Anak Usia Dini
Berbagai Dampak Buruk Akibat Kekerasan Fisik pada Anak Usia Dini_Mendidik anak
merupakan kewajiban bagi setiap orang tua. Akan tetapi mendidik yang dimaksud di sini harus
dengan cara yang benar, tanpa melibatkan kekerasan fisik yang bisa berpotensi menimbulkan
dampak buruk pada sang anak. Terlebih apabila hal itu terjadi pada anak usia dini. Karena selain
bisa berdampak pada luka secara fisik juga bisa menimbulkan luka/trauma secara psikologis.
Dampak Buruk Akibat Kekerasan Fisik pada Anak Usia Dini

Dampak Buruk Akibat Kekerasan Fisik Pada Anak Usia Dini

1. Tidak berkembangnya kecerdasan atau IQ sang anak


Mendidik anak bukan merupakan hal yang mudah dijalani. Terlebih untuk anak usia dini. Masa
kanak-kanak adalah masa di mana ingatan dan pikiran mereka dapat menyimpan segala kejadian
tidak mengenakkan maupun mengenakkan yang disimpan dalam jangka waktu lama.

Bila Anda sebagai orangtua sering melakukan tindak kekerasan kepada anak seperti mencubit
ataupun memukul hal tersebut ternyata dapat menekan tumbuh kembang anak.

Hal yang akan terjadi bila kekerasan pada anak dilakukan yaitu, IQ mereka akan cenderung
statis (tetap) dan hal terburuknya mengalami penurunan. Selain itu, trauma pada anak akan
terjadi yang dapat menimbulkan stres dan laju perkembangan kognitifnya buruk. Sikap mereka
juga akan berubah menjadi lebih agresif dari pada sifat orangtuanya dan mental mereka juga
berkembang semakin lambat sejalan dengan seringnya kekerasan yang dialami.

2. Terjadinya Kecacatan Pada Tubuh


Kerusakan pada tubuh anak merupakan salah satu akibat dari perlakuan kekerasan. Walaupun
terkadang bekas luka tidak timbul dipermukaan kulit, hal tersebut perlu diwaspadai bila saja
terjadi luka dalam. Pemberian kekerasan pada anak memang sangat dilarang.

Pengaruh fisik yang ditimbulkan dari kekerasan fisik sendiri yaitu lebam, luka bakar, lecet,
patah tulang, kerusakan organ dalam, robeknya selaput darah, keracunan, gangguan susunan
saraf pusat, dan lain sebagainya.

3. Anak Menjadi Pendiam


Perlakuan kasar pada anak dibawah umur menyebabkan terganggunya rasa sosial pada
masyarakat. Mereka takut untuk berinteraksi dengan semua orang karena takut bila berbuat salah
akan mendapat hukuman, pukulan atau siksaan.

Dengan pendiamnya anak, akan membawa beberapa pengaruh lain yaitu tidak percaya diri,
sukar bergaul, timbul rasa malu dan bersalah, suka mengompol, cemas, depresi, gangguan
kognitif, gangguan tidur, dan lain sebagainya.

Selain itu, perkembangan mental dan kognitif akan terganggu, sehingga tidak dapat mengingat
atau daya tangkapnya lemah

4. Memicu timbulnya sifat buruk pada anak


Seringnya perlakuan kekerasan fisik yang diterima oleh anak, menyebabkan berubahnya sikap
mereka kepada orang di sekitarnya.

Anak tersebut menjadi hiperaktif, emosional, berperilaku aneh, dan gangguan pengendalian diri.

Anak yang sering mendapat kekerasan akan menganggap bahwa melakukan kekerasan dapat
digunakan sebagai penyelesaian masalah secara mudah.

Dengan demikian anak akan meniru dan melampiaskan kepada orang lain, karena mereka
menganggap kekerasan adalah cara untuk menyelesaikan masalah.
5. Kematian
Selain trauma ataupun kecacatan fisik, kekerasan pada anak usia dini dapat menyebabkan
kematian.

Lemahnya daya tahan serta organ dalam tubuh anak usia dini memungkinkan mereka
mengalami kematian bila mendapatkan kekerasan fisik secara berlebihan dengan tempo yang
sering.

Tidak dapatnya mereka membela diri yang menyebabkan mudahnya para penjahat kekerasan
pada anak melampiaskan kemarahannya.

Anda sebagai orangtua sebaiknya lebih berfikir panjang bila ingin memukul anak Anda.

Belum tentu pukulan yang tidak meninggalkan bekas luka dikulit tidak beresiko terjadinya luka
pada organ bagian dalam yang menyebabkan kematian.

Nah, itulah kelima dampak dari kekerasan fisik yang wajib Anda ketahui. Sebelum Anda
memukul anak Anda, berpikirlah seribu kali agar tidak menyesal di kemudian hari. Semarah apa
pun Anda, jangan sampai melakukan kekerasan terhadap Anak.

Pembaca yang budiman, jika Anda merasa bahwa artikel di Website Pendidikan ini bermanfaat,
silakan berbagi di media sosial lewat tombol share di bawah ini:
Bagikan ke Facebook Tweet ke Twitter Publikasikan ke Google+
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Website Pendidikan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Informasi

© Berbagai Dampak Buruk Akibat Kekerasan Fisik pada Anak Usia Dini - Website Pendidikan
BOLEH COPAS ASALKAN SOPAN_Selamat Anda telah berhasil melakukan copy paste
tulisan dari Website Pendidikan dengan link sumber:
https://www.websitependidikan.com/2016/12/berbagai-dampak-buruk-akibat-kekerasan-fisik-
pada-anak.html
https://www.websitependidikan.com/2016/12/berbagai-dampak-buruk-akibat-kekerasan-fisik-
pada-anak.html
Ternyata Inilah Dampak Fatal yang Diderita Oleh Korban Kekerasan Anak
TOPICS:akibat kekerasan fisik pada anakakibat kekerasan psikis pada anakakibat penelantaran
anakcontoh kekerasan pada anakkekerasan lain pada anakkekerasan seksual pada anakpenyebab
anak agresifpenyebab anak mengurung diripenyebab anak rendah diripenyebab stress pada
anakpenyebab trauma
dampak kekerasan terhadap anakdampak kekerasan terhadap anak

Posted By: Tan June 13, 2016


Share Ilmu Ke Teman-teman Yuk...Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on
Google+Pin on PinterestShare on StumbleUponShare on TumblrDigg thisShare on LinkedIn

Kekerasan anak dalam segi apapun akan memberikan dampak stress dan depresi tingkat rendah
hingga tingkat tinggi pada anak. Disamping itu, bila kekerasan itu sering terjadi dalam waktu
yang lama, maka perkembangan anak akan terganggu baik dalam segi fisik dan psikis. Karena
anak bagai air kosong yang dapat diisi dengan air putih atau air kotor. Selain itu anak hanya bisa
meniru orang-orang disekelilingnya, maka tidak aneh jika anda sebagai orang tua dituntut harus
bisa mengurus anak, bukan hanya menasihatinya saja, tapi juga harus memberi contoh yang
baik.
Apa Dampak Anak yang Sering Mendapat Kekerasan?
dampak buruk kekerasan pada anak

dampak buruk kekerasan pada anak

Contoh kasus salah satu tokoh utama diktator yang ingin menguasai dunia di perang dunia ke 2,
siapa lagi kalau bukan Adolf Hitler? Saat masa kecil, Adolf sangat dibenci oleh ayahnya karena
dinilai sangat aneh. Tidak jarang Hitler dipukul hingga berdarah. Hasilnya? Setelah dewasa ia
tumbuh seperti robot, sangat dingin, kejam dan tidak berperasaan. Tidak mau kan memiliki anak
seperti itu?

Dampak kekerasan anak akan kita bahas setelah mengetahui apa pemicu kekerasan terhadap
anak. Mari baca lebih lanjut.

2 Pemicu utama yang menyebabkan kekerasan pada anak :

1. Orang tuanya mengalami perbuatan yang sama saat masih kecil


2. Anak mengalami cacat entah cacat fisik atau mental

3. Orang tua tidak tau cara mendidik anak

Bila diliat berdasarkan grafik dalam beberapa kejadian yang menimpa tanah air kita, ternyata
kekerasan pada anak sedang membooming dan menjadi sorotan utama diberbagai berita. Apa
sajakah kekerasan terhadap anak?
Ada 5 macam kekerasan terhadap anak :
1. Kekerasan fisik
kekerasan fisik terhadap anak

kekerasan fisik terhadap anak

Kekerasan fisik adalah kekerasan secara langsung atau kontak langsung. Contohnya memukul,
menendang, dan mencubit. Dapat anda bayangkan kekerasan fisik yang telah terjadi di dunia?
Memukul dengan benda tumpul secara berulang-ulang, menendang dengan kaki walau anak
memiliki kesalahan yang sedikit, menginjak perutnya, bahkan menyiksanya.

Pernah anda lihat? Orang tua yang menjewer anaknya hanya karena ia ingin bermain dengan
temannya? Itulah kekerasan fisik yang sangat umum terjadi. Simpel? Iya, namun sekali anda
menjewer anak, dampaknya akan ia bawa hingga dewasa nanti.

Baca juga : Orang Tua Harus Tau Ciri-ciri Anak Autis Sejak Dini
2. Kekerasan psikis
kekerasan psikis

kekerasan psikis

Contoh kekerasan anak tidak terlihat namun benar-benar ada adalah kekerasan psikis.
Contohnya membandingkan anak dengan saudara lain, membentak anak, menghina anak depan
orang-orang, mencap anak dengan sebutan yang tidak pantas (bodoh, tolol, jahat dll).

Hal ini sangat sering orang tua lakukan tanpa disadari ia sedang melakukan kekerasan psikis.

Contoh kasus ketika anak tidak mau mandi, orang tua selalu bilang “kalau ga mandi, teman-
teman ga akan mau deket sama kamu. Kamu kan bau, dekil, kucel kalau ga mandi”. Walau niat
orang tua baik ingin anaknya mandi, namun caranya sangat jahat. Bila pernyataan seperti itu
terus dilakukan, lama kelamaan anak akan kebal dan akan menjadi pembangkang.
3. Kekerasan seksual
kekerasan seksual

kekerasan seksual

Kekerasan seksual ini sangat tidak terpuji, karena bagaimanapun itu adalah anak. Banyak orang
tua yang selalu bilang ” Kami tidak ingin memiliki anak seperti kamu “, kalau dibalikan
bagaimana? Mungkin suatu saat anak anda akan membalas ” siapa juga yang ingin dilahirkan di
keluarga seperti ini?” Bagaimana hati seorang ibu mendengar ucapan anak yang sudah berani
bilang seperti itu?

Belum lagi, tenaga seorang anak yang belum bisa mengalahkan tenaga orang tua. Ya, belum
bisa. Karena mau tidak mau seorang anak selalu menyerap semua yang ia lihat, dan keadaan bisa
berbalik. Suatu saat orang tua tumbuh menjadi separuh baya, dan anak tumbuh menjadi seorang
remaja yang lebih sehat. Yang dulu anak mengalami kekerasan, mungkin suatu saat orang
tuanya mengalami hal yang sama, dengan kata lain ia balas dendam.
4. Penelantaran anak
penelantaran anak

penelantaran anak

Kurangnya kasih sayang dan perhatian dari orang tua dianggap sebuah penelantaran anak. Selain
itu, tidak sedikit orang tua yang mengirim anak ke asrama dengan alasan untuk menimba ilmu
tentang kehidupan. Tapi sayang sekali, sebagian orang tua salah mengartikan, penitipan bukan
harus dilepas. Anak tetaplah anak yang membutuhkan perhatian khusus, walau tidak kontak
langsung, setidaknya memberi kepedulian walau itu hanya lewat HP, menanyakan kabar dan
menanyakan keadaannya disekelilingnya. Terdengar kuno, namun itu sangat berarti bagi seorang
anak.

Penelataran menyebabkan anak berfikir kehadirannya sudah tidak berguna bagi keluarganya, hal
ini menyebabkan kondisi anak sangat rentan dengan bunuh diri.

Baca juga : 5 Permainan Untuk Mengasah Otak Anak


5. Kekerasan lain
kekerasan lain

kekerasan lain
Kekerasan lain terhadap anak sangat banyak bisa fisik dan nonfisik, seperti membeda-bedakan
anak, memasukan fikiran negatif pada anak (menakut-nakuti), membohongi anak, dan
menumbuhkan rasa selalu bersalah. Simpel bukan? Namun hal seperti ini berdampak fatal.

Kasus kekerasan terhadap anak pun telah menjadi salah satu kasus utama penanganan yang
diutamakan dengan adanya Perlindungan Anak (PA)

Kekerasan diatas menyebabkan beberapa gangguan pada pertumbuhan anak. Gangguan apa
sajakah?
Ternyata Inilah Dampak Fatal yang Diderita Oleh Korban Kekerasan Anak :
1. Agresif
agresif

agresif

Kekerasan anak menanamkan sifat agresif yang memicu pada suatu perbuatan yang akan
menyerang sesuatu yang dianggap mengecewakan dirinya. Mengapa anak bisa agresif padahal
orang tua hanya ingin mengajarkan anaknya berprilaku baik dan nurut pada orang tua?
Jawabannya sangat sederhana, kekerasan yang ia telah terima saat kecil.

Selain daripada mengikuti peran orang tua yang menindaki dirinya dengan kekerasan, anak akan
berfikir menyerang adalah satu-satunya jalan memperbaiki masalah. Karena orang tuanya akan
memukulnya ketika ia melakukan salah. Jika anda mengenalkannya kekerasan, maka ia akan
tumbuh seperti anda, mungkin lebih parah. Melakukan kekerasan karena ingin mendidik anak,
dianggap komunikasi paling buruk yang tengah dialami masyarakat kita.

Baca juga : 7 Tips dan Trik Agar Anak Terbiasa Bangun Pagi
2. Mengurung Diri
mengurung diri

mengurung diri

Prilaku mengurung diri adalah salah satu prilaku kelainan psikis yang diderita seseorang, cara
ini adalah cara yang pantas untuk mendapat keamanan pada dirinya (anak). Menurutnya, dengan
cara mengurung diri adalah cara untuk mendapatkan keamanan dalam segi segalanya.
Dampaknya, ia akan sulit bergaul, sulit membina persahabatan, sulit berkomunikasi, bahkan
sering menutup diri pada orang-orang yang baru dikenal.
Bagaimana bila prilaku ini ia bawa hingga dewasa?
Ia akan menjadi bahan bullying teman-temannya, karena dianggap mengalami penyimpangan
sosial. Inilah yang kita kenal, “orang pendiam jika sekali marah lebih menakutkan daripada
orang yang sering marah”. Seorang anak yang mengalami penyimpangan sosial, sulit
berinteraksi dengan teman-temannya, ketika merasa dirinya sudah tidak aman, ia akan secara
kasar melawan teman-temannya. Hal ini dikuatkan dengan adanya kasus yang mengungkapkan
seorang anak yang tertutup, diam-diam membunuh temannya sendiri.
3. Rendah Diri
rendah diri

rendah diri

Rendah diri atau yang sering kita kenal dengan sebutan minder. Menurut Wikipedia rendah diri
dianggap sebagai penyakit yang dianggap akan merugikan diri sendiri. Rendah diri datang hanya
karena imajinasi berlebihan saja, seseorang yang rendah diri tanpa sengaja akan membuat
dirinya sebagai tolak ukur berdasarkan imajinasinya, yang membuat dirinya menjadi anti sosial.
Bagaimana bila rasa rendah diri ini terbawa hingga tumbuh dewasa?

Anak akan dikucilkan, orang-orang disekitar akan menganggap dia tidak ada karena perasaan
minder ini akan menghambat pada prestasinya. Orang yang rendah diri akan merasa selalu
bodoh, tidak berguna, dan tidak melakukan apa-apa. Alhasil… tidak akan ada prestasi yang
dapat ia gapai. Karena alam bawah sadarnya sudah menganggap dirinya seseorang yang tidak
berguna.

Baca juga : 16 Cara Mendidik Anak Agar Lebih Pintar dan Cerdas
4. Trauma
trauma

trauma

Trauma terhadap apa? Padahal hal itu terjadi sekitar ia umur 5 tahun-an? Tidak mungkin jika
anak ingat apa yang telah terjadi padanya? Wow, pernyataan dan pertanyaan ini sungguh tidak
benar. Tahukah anda, seorang anak masih memiliki daya ingat yang sangat kuat, tidak aneh jika
orang tua mencontoh 1x, anak akan dengan mudah menyerap apa yang ia lihat. Anak juga belum
mengalami kerusakan sel saraf, dan tidak mengalami stress seperti yang dialami oleh kita yang
tengah menjelang dewasa. Perbedaan seorang anak dan seorang yang dewasa sungguh sangat
signifikan.
Salah satu ciri seorang yang telah dianggap dewasa adalah seseorang yang sudah bisa memilah
mana yang benar dan yang salah. Sedangkan anak? Hanya menyerap apa yang ia lihat.

Trauma bisa dikarenakan oleh beberapa penyebab salah satunya pelecehan seksual. Hal ini akan
membuat anak takut menikah, takut berhubungan, dan takut berpacaran. Bila tidak segera
diatasi, hal yang terburuk akan terjadi adalah anak tersebut takut menikah.

Bagaimana pandangan orang-orang sekitar?

Tanpa mereka tau latar belakang trauma itu sendiri, hanya akan mencap anak itu aneh.
5. Stress
stress

stress

Seorang anak bisa stress? Harusnya tidak lho. Telah kita ketahui sendiri dampak dari stress ini
sangat beragam, sebagian orang mengalami kelainan jam tidur, mengalami kelainan porsi
makan, dan sering melamun. Padahal menurut psikologi, umur 6 tahun adalah umur dimana otak
sang anak berkembang. Inilah awal dari kegagalan yang mungkin dihadapi sang anak ketika
umur 6 tahun ia mengalami stress.
Apa saja dampak dari stress?

Gagal mencapai pendidikan, gagal berprestasi, kurangnya konsentrasi, terlalu berfikir kritis, dan
masih banyak lagi.
http://www.gudangkesehatan.com/ternyata-inilah-dampak-fatal-yang-diderita-oleh-korban-
kekerasan-anak/

Pengaruh Tindakan Kekerasan Pada Perkembangan Otak Anak


05 May 2016 18:00 WIB
Omg News
Pengaruh Tindakan Kekerasan Pada Perkembangan Otak Anak

Setiap orang yang mempelajari psikologi tentunya mengetahui bahwa terekspos terhadap
tindakan kekerasan alias menjadi korban tindakan kekerasan dapat berdampak pada perilaku
orang tersebut, terutama bila orang tersebut memang telah mempunyai kecenderungan terhadap
tindakan kekerasan.
Para peneliti menduga bahwa trauma psikologis selama masa kanak-kanak dapat mengubah
struktur otak anak, terutama pada bagian otak yang berhubungan dengan pengambilan
keputusan.

Akan tetapi, hal ini bukan berarti setiap anak yang pernah mengalami tindakan kekerasan pasti
akan menjadi seorang pelaku tindak kekerasan. Banyak anak yang pernah menjadi korban tindak
kekerasan tidak berubah menjadi seorang pelaku tindak kekerasan juga.

Pada penelitian yang dilakukan di Swiss ini, para peneliti menemukan bahwa orang yang pernah
mengalami tindakan kekerasan selama masa kanak-kanak ternyata tidak hanya mengalami
trauma psikologis, tetapi juga mengalami perubahan pada area otak tertentu, yaitu pada bagian
korteks orbitofrontal, otak depan bagian bawah, di belakang bola mata Anda.

Para peneliti menduga bahwa bagian korteks orbitofrontal merupakan bagian otak yang
berfungsi untuk mengatur bagian otak lainnya mengenai "hadiah" atau "hukuman" pada situasi
tertentu. Dengan demikian, otak pun dapat beradaptasi mengenai bagaimana caranya
memperoleh hadiah dan menghindari hukuman, seperti yang terjadi pada anak-anak saat belajar
mengenai berbagai hal selama hidupnya.

Bagian otak ini ternyata juga turut berperan dalam hal kecanduan, mempelajari cara bergaul, dan
kemampuan untuk membuat keputusan terbaik berdasarkan potensi yang ada.

Pada situasi sulit, korteks orbitofrontal pada orang sehat akan teraktivasi untuk mencegah
terjadinya impuls agresif dan menjaga interaksi normal.

Pada penelitian ini, para peneliti mempelajari apa sebenarnya efek kekerasan pada masa kanak-
kanak terhadap perilaku agresif di masa dewasa pada hewan percobaan (tikus percobaan). Pada
penelitian ini, para peneliti memaparkan sejumlah tikus pada tindak kekerasan sewaktu muda di
mana para peneliti kemudian mengamati bagaimana perilaku mereka seiring dengan semakin
bertambahnya usia mereka.

Para peneliti juga mempelajari otak para tikus dewasa untuk melihat apakah mereka memiliki
kecenderungan untuk melakukan tindakan kekerasan. Para peneliti menemukan bahwa tikus
jantan memiliki sedikit aktivitas di dalam korteks orbitofrontal, yang membuat tikus menjadi
lebih sulit mengendalikan impuls negatif mereka. Hal ini ternyata juga mempengaruhi amigdala,
suatu bagian otak yang berfungsi untuk mengatur respon emosional.
Pada akhir penelitian, para peneliti menemukan bahwa para tikus yang terpapar oleh tindak
kekerasan di masa mudanya tidak memiliki rantai reaksi yang wajar di dalam otaknya yang
mencegah mereka untuk tidak bertindak secara berlebihan saat mengalami suatu ancaman atau
situasi berbahaya.

Pada beberapa penelitian sebelumnya, para peneliti juga menemukan respon yang sama saat
meneliti otak orang yang sering melakukan tindak kekerasan seperti para pembunuh.

Selain trauma psikologis, para peneliti menemukan bahwa faktor genetika ternyata juga turut
berperan dalam terjadinya perilaku impulsif, antisosial, dan agresif. Gen yang diduga turut
berperan tersebut adalah MAOA. Bagaimana suatu gen dapat mengubah perilaku seseorang?
Para peneliti menduga hal ini dipicu oleh stress psikologis yang menyebabkan terjadinya
perubahan perilaku gen.

Berdasarkan penelitian pada hewan percobaan, para peneliti menemukan bahwa pemberian obat
anti depresi dapat membantu menurunkan perilaku agresif dan mengembalikan fungsi gen
seperti semula. Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana pengaruh
pengobatan terhadap perubahan perilaku.

Baca juga: Bahaya Layar Sentuh Bagi Anak

Sumber: healthline
https://www.dokter.id/berita/pengaruh-tindakan-kekerasan-pada-perkembangan-otak-anak

Anda mungkin juga menyukai